Senin, 13 Februari 2017

129 BUAH ILMU (Bagian II)


بسم الله الر حما ن الر حيم                                                         
100.   ILMU ADALAH KEBERUNTUNGAN YANG PALING AGUNG
Barangsiapa mendapatkan ilmu, maka tidak akan rugi jika apa yang telah didapatkannya hilang, karena ilmu adalah keberuntungan dan pemberian yang paling agung.  Barangsiapa tidak mendapatkan ilmu, maka tidak akan bermanfaat baginya keberuntungan apapun  yang ia dapatkan, dan justru keberuntungan tanpa ilmu adalah petaka baginya dan penyebab kehancuran dirinya.
Salah seorang dari generasi salaf berkata, “Apalah artinya sesuatu yang didapatkan oleh orang yang tidak mendapatkan ilmu?  Dan adakah yang hilang dari orang yang telah mendapatkan ilmu?”

101.   ILMU ITU MENGHIDUPKAN HATI
Salah seorang yang bijak berkata, “Bukankah orang sakit itu, jika ia tidak diberi makanan dan minuman, serta obat , ia akan mati?”  Para hadirin menjawab, “betul.”  Orang bijak itu berkata lagi, “Begitu juga hati, jika ia tidak mendapatkan ilmu, dan hikmah maka tiga hari kemudian ia akan mati.”
Jika hati tidak mendapatkan suplai ilmu, ia termasuk hati yang mati, namun yang bersangkutan tidak merasakan kematiannya seperti halnya orang teler yang telah hilang akal (kesadaran)nya.  Pada kondisi seperti itu, mereka tidak merasakan sakitnya luka, namun jika mereka telah sehat dan pulih dari kondisi sebelumnya, maka ketika itulah mereka merasakan sakitnya luka tersebut.
Begitulah seorang hamba, jika kematian (maut) telah menghilangkan beban dunia dan kesibukannya, baru ia merasakan kematian (hati) dan kerugiannya. 
Salah seorang penyair berkata,
Sampai kapankah engkau tidak sadar, padahal zaman semakin mendekat?
Sampai kapankah teler tidak lenyap dari hatimu?
Ya, engkau akan sadar ketika tabir telah terkuak
Dan engkau ingat akan kata-kataku pada saat ingat tidak berguna lagi
Jika tabir telah terkuak, ketidak jelasan telah sirna, semua rahasia terbongkar, hal-hal tersembunyi terlihat, dibangkitkan apa saja yang berada di alam kubur, dan dibedah apa saja yang ada di dalam dada, ketika itu terbuktilah bahwa kebodohan adalah kegelapan bagi orang-orang bodoh dan ilmu adalah kerugian bagi orang-orang yang tadinya menolaknya.

102.   ILMU ADALAH JIHAD
Abu Darda Rmradhiyallahu 'anhu berkata, “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi mencari ilmu tidak merupakan jihad, sungguh ia kurang akalnya.”
Ungkapan yang sama ialah perkataan Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu seperti telah disebutkan sebelumnya.

103.   ANTARA ORANG BERILMU DAN ORANG YANG BELAJAR ILMU
Abu Darda radhiyallahu 'anhu berkata, “Orang berilmu dan orang yang belajar ilmu adalah dua mitra dalam pahala.  Dan seluruh manusia selain mereka berdua adalah orang-orang jalang yang tidak ada kebaikan pada mereka.”

104.   PENCARI ILMU ITU SEPERTI MUJAHID
Abu Hatim bin Hiban meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Barang siapa masuk ke masjid ini untuk mempelajari kebaikan atau untuk mengajarkannya, maka ia seperti mujahid di jalan Allah.  Dan barang siapa masuk kedalamnya tidak untuk maksud demikian, maka ia seperti melihat sesuatu yang bukan miliknya.”  (HR. Ibnu Hibban).

105.   PERLINDUNGAN ALLAH KEPADA PENCARI ILMU
Abu Hatim bin Hibban meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits tentang tiga orang yang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang ketika itu sedang berada dalam halaqah (forum) ilmiah.  Salah seorang dari ketiganya menolak masuk ke dalam halaqah, salah satunya merasa malu kemudian duduk di belakang peserta halaqah, sedang orang ketiga masuk ke tengah-tengah halaqah.  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Adapun salah seorang dari ketiganya, ia berlindung kepada Allah, maka Allah melindunginya.  Sedang yang lain merasa malu kemudian Allah pun malu kepadanya.  Dan satunya berpaling, maka Allah pun berpaling darinya," itu sudah cukup dijadikan sebagai bukti kemuliaan dan keutamaannya.

106.   DI ANTARA CONTOH KEMULIAAN ILMU DAN ORANG BERILMU
Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu berkata, “Sesungguhnya manusia itu pada hakikatnya terbagi ke dalam 3 (tiga) kelompok; Orang berilmu yang Rabbani, orang yang belajar di jalan keselamatan, dan orang-orang jelata.”
Pembagian ini khusus bagi manusia dan nyata terjadi pada mereka.  Sesungguhnya seorang hamba itu mendapatkan kesempurnaan dengan ilmu dan amal perbuatan atau tidak sama sekali.  Orang pertama adalah orang berilmu yang Rabbani.  Orang kedua yaitu orang yang belajar di jalan keselamatan.  Orang ketiga ialah orang-orang jelata.  Orang pertama telah sampai pada tujuannya, orang kedua dalam tahap pencarian, dan orang ketiga diharamkan dari mendapatkan kesempurnaan tersebut.
Kelompok Pertama;
Tentang orang berilmu yang Rabbani, Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, “Yaitu orang yang mengajarkan ilmu kepada manusia.”
Sibawih berkata, “Mereka menambahkan huruf nun dan alif pada kata Rabbani jika mereka bermaksud membatasi pada ilmu Rabb Tabaraka wa Ta’ala sebagaimana mereka mengatakan sya’rani (orang yang banyak rambutnya), dan lihyani (orang yang banyak jenggotnya).
Orang berilmu tidak dinamakan Rabbani hingga ia mengamalkan ilmunya, dan mengajarkannya kepada manusia.
Kelompok Kedua;
Orang yang berjalan di atas jalan keselamatan.  Maksudnya dengan ilmunya, ia mencari keselamatan.  Dialah orang yang ikhlas dalam mempelajari ilmu.  Mempelajari apa yang bermanfaat baginya, dan mengamalkan apa yang telah diketahuinya.  Jika ia mempelajari ilmu yang bermanfaat baginya namun tidak untuk mencari keselamatan, ia juga tidak berada di atas jalan keselamatan.  Jika ia mempelajarinya dan tidak mengamalkannya, ia juga tidak mendapatkan keselamatan.  Oleh karena itu, ia disifati dengan ciri “di atas jalan”, maksudnya di atas jalan yang menyelamatkannya.  Tidak termasuk dalam hal ini adalah orang yang mencari ilmu untuk mendapatkan kekayaan dunia, seperti sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
“Barang siapa mempelajari ilmu yang seharusnya untuk mendapatkan keridhaan Allah, namun ia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan kekayaan dunia, maka ia tidak akan mencium aroma Surga.”  (HR. Abu Nu'aim).
Kelompok Ketiga;
Orang yang tidak memiliki ilmu dan berpaling dari ilmu.  Ia bukan orang yang berilmu, dan bukan pula orang yang mempelajari ilmu.  Ia adalah orang-orang jelata.
Orang-orang jelata (hamaj) yang dimaksud ialah orang-orang yang hina dan orang-orang bodoh diantara mereka.  Asal kata hamaj adalah lalat kecil seperti nyamuk yang bergerombol di atas kepala kambing, dan hewan-hewan lain.  Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu mengumpamakan orang-orang bodoh seperti gerombolan lalat tersebut.
Ucapan Ali, “Pengikut semua penyeru.”  Maksudnya, bahwa siapa pun yang menyeru mereka dan mengajak mereka, maka mereka mengikutinya;  baik mereka tidak memiliki pengetahuan terhadap apa yang diseru kepadanya tersebut benar atau salah, atau pemiliknya (oknum)?  Yang jelas mereka merespon ajakan orang-orang tersebut.  Mereka adalah manusia yang paling membahayakan Agama.  Jumlah mereka sangat banyak, namun bobot mereka amat kecil di sisi Alah Ta’ala.  Mereka adalah provokator seluruh fitnah.  Merekalah yang menyulut finah, dan mengobarkannya.  Orang-orang religius berusaha menghadang fitnah tersebut, namun anehnya orang-orang jelata alias orang-orang bodoh tersebut mengelola / mengobarkannya.
Penyeru mereka dinamakan naiq karena mirip dengan hewan ternak yang dipanggil pengembalanya, kemudian hewan tersebut pergi bersama pengembalanya kemanapun pengembala tersebut pergi.      
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja.  Mereka tuli, bisu dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti.  (Al-Baqarah; 171).
Itulah penyifatan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu terhadap mereka karena mereka tidak memiliki ilmu dan hati mereka gelap.  Mereka tidak mempunyai cahaya dan hati nurani, yang dengannya mereka bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan.  Bagi mereka semua itu sama saja (Sama-sama menyeru kepada Islam, pen blog).
Ucapan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, “Mereka bergerak bersama dengan hembusan angin.”  Dalam riwayat lain, “Mereka bergerak dengan semua penyeru.”  Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu mengumpamakan akal mereka yang lemah seperti ranting yang lemah, dan mengumpamakan hawa nafsu dan pendapat seperti angin.  Ranting itu bergerak bersama angin kemana saja angin berhembus.  Dan akal mereka bergerak bersama dengan setiap hawa nafsu dan setiap penyeru.  Jika akal mereka sempurna, tentu akal mereka seperti pohon besar yang tidak bisa dipermain-mainkan angin.
Perumpamaan di atas tidak berbeda dengan perumpamaan yang dibuat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa orang-orang beriman itu seperti batang tanaman.  Ia bergoyang ke bawah dan ke atas karena hembusan angin, dan bahwa orang munafik itu seperti padi yang tidak bisa dipetik kecuali setelah mencapai usia panen.
Perumpamaan tersebut dibuat untuk orang beriman dan apa saja yang menimpanya seperti badai hujan, sakit, dan lain sebagainya.  Orang beriman senantiasa berada diantara sehat dan sakit, ujian dan nikmat keamanan dan ketakutan, dan lain sebagainya.  Terkadang ia jatuh dan terkadang tegak kembali.  Ia doyong sebentar kemudian berdiri seimbang lagi.  Dosa-dosanya dihapus dengan ujian yang menimpanya. Ia diseleksi dan dibersihkan dari kekeruhan yang ada di dalam hatinya.  Sedang orang kafir semuanya busuk dan tidak layak kecuali sebagai bahan bakar.  Ia tidak mempunyai hikmah dan rahmat dalam segala musibah dunia yang menimpanya.  Ini jelas berbeda dengan orang beriman.
Inilah keadaan orang beriman dalam musibah.
Adapun terhadap hawa nafsu, provokator-provokator fitnah, kesesatan dan bid’ah, ia seperti dikatakan dalam syair,
Gunung-gunung nan kokoh telah runtuh
Sedang hatinya tetap menetapi janji dan tidak bergeser dan tidak berubah sedikit pun
Ucapan Ali bib Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, “Mereka tidak mendapatkan cahaya ilmu, dan tidak bersandar pada tiang yang kokoh.”  Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu ingin menjelaskan sebab yang menjadikan mereka seperti itu adalah karena mereka tidak mendapatkan cahaya ilmu yang dengannya mereka bisa membedakan (memilah-milah) antara kebenaran dengan kebatilan, seperti fiman Allah Ta’ala (artinya),
“Hai orang-orang yang beriman(kepada para Rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasulnya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada kalian dua bagian, dan menjadikan untuk kalian cahaya yang dengan cahaya itu kalian dapat berjalan.  (Al-Hadid; 28).
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?”  (Al-An’am; 122).  Juga firman Allah Ta’ala dalam surat (Al-Maidah; 16), dan (Asy-Syura; 52).
Karena hati tidak mempunyai cahaya tersebut, ia menjadi seperti binatang yang tidak mengetahui kemana ia harus pergi.  Karena kebingungannya, dan kebodohannya terhadap tujuan yang ingin dicapainya, ia mengikuti semua suara yang didengar (menyambut seruan setiap "pendakwah", pen blog), dan hatinya tidak ditempati ilmu yang memungkinkan mereka menolak ajakan para penyeru kebatilan.
Sesungguhnya kebenaran, jika telah bersemayam di dalam hati, hati menjadi kuat dengannya dan menolak apa saja yang akan merugikan dan mencelakakan dirinya.  Oleh karena itu, Allah Ta’ala menamakan hujjah ilmiah sebagai penguasa seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Jika hati nurani seseorang gelap dan hatinya lemah, kemudian cahaya itu menetap di dalamnya, maka hati nuraninya bersinar kembali dan hatinya menguat.
Kedua prinsip ini yaitu ilmu dan kekuatan adalah sentral kebahagiaan.  Kedua sifat tersebut diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada guru pertama, Jibril 'Alaihis Salam.  Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (An-Najm; 4-5). 
 Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy.”  (At-Takwir; 19-20).
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menyifati Jibril 'Alaihis Salam dengan ilmu dan kekuatan.
Ada makna yang lebih indah lagi yang mendekati apa yang dimaksudkan oleh Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, yaitu bahwa mereka bukan orang-orang yang memiliki hati nurani yang bersinar dengan cahaya ilmu, tidak merujuk kepada orang berilmu yang ahli kemudian mereka mengikutinya, dan tidak pula bisa melihat keadaanSeseorang itu berada diantara dua keadaan; melihat atau buta, namun bersandar pada orang melihat yang menuntunnya, atau orang buta yang berjalan tanpa penunjuk jalan!
Ucapan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, “Ilmu itu lebih baik daripada harta.  Ilmu menjagamu, sedang engkau menjaga harta."
Seseorang tidak mungkin menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan jika ia miliki akal.  Tetapi orang bodoh, ia dibunuh oleh kebodohannya.
Orang yang mengetahui Allah Ta’ala dan perintah-Nya, dan mengetahui musuh Allah Ta’ala dan tipu dayanya, serta tempat-tempat masuknya kepada hamba-hamba Allah, ia dijaga ilmunya dari bisikan-bisikan syaithan, lintasan syaithan, penanaman keragu-raguan dan kekafiran ke dalam hatinya.  Karena pengetahuannya terhadap itu semua, ia menolak menerima semua itu.  Ilmunya menjaganya dari tipuan syaithan.  Setiap kali syaithan datang menjemputnya, ia diingatkan oleh penjaga ilmu dan iman, kemudian syaithan pulang dengan tangan kosong.
Jadi sesuatu yang paling tangguh yang menjaga seseorang dari musuh yang terang-terangan ini adalah ilmu dan iman.  Itulah sebab yang berasal dari diri seorang hamba.  Sedang Allah Ta’ala berada dibalik perlindungannya, penjagaannya dan pemeliharanya.  Jika Allah Ta’ala menyerahkan perlindungan dirinya kepada dirinya sendiri, ketika itulah ia disambar musuh-nya.
Salah seorang yang bijak berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa petunjuk ialah, Allah tidak menyerahkan dirimu kepada dirimu sendiri.  Mereka juga bersepakat bahwa kehinaan ialah, bahwa Allah menyerahkan dirimu kepada dirimu sendiri.”
Ilmu yang dipelajarinya terjaga dengan mengajarkannya kepada orang lain, bahkan ia mendapatkan pasokan ilmu baru yang sebelumnya belum diketahuinya.  Boleh jadi ada permasalahan yang belum jelas baginya, jika ia membicarakannya dan mengajarkannya, maka permasalahan tersebut menjadi jelas baginya, bersinar padanya, dan terbuka baginya ilmu-ilmu yang lain.
Selain itu, sesungguhnya balasan itu sesuai dengan amal perbuatan.  Maka jika ia mengajarkan manusia dari  kebodohannya, maka Allah Ta’ala membalasnya dengan mengajarkannya dari kebodohan dirinya seperti disebutkan dalam Shahih Muslim hadits dari Iyadh bin Himar dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda dalam hadits yang panjang,
“Sesungguhnya Allah berfirman kepadaku, 'Berinfaklah, niscaya Aku akan berinfak kepadamu.'”  (HR. Muslim).
Infak di atas mencakup infak dengan ilmu dengan menjaganya, dan menjelaskan maksudnya.
Ada dua cara untuk mengembang-biakkan ilmu dan lain sebagainya;
Pertama, mengajarkannya.
Kedua, mengamalkannya.
Mengamalkan ilmu juga bisa mengembang-biakkan ilmu, memperbanyaknya, dan membukakan baginya bab-bab ilmu dan rahasia-rahasianya.
Ilmu itu seperti seberkas api, jika seluruh penduduk bumi mengambilnya, maka berkas api tersebut tidak berkurang sedikitpun.  Ilmu justru bertambah dengan diambil.  Ilmu tak ubahnya seperti mata air, jika ia diambil, maka sumbernya semakin banyak dan melimpah.
Kelebihan Ilmu atas harta bisa diketahui dari banyak sisi;
Pertama, ilmu adalah warisan para Nabi, sedang harta adalah warisan para Raja dan orang-orang kaya.
Kedua, ilmu itu menjaga pemiliknya, sedang harta dijaga oleh pemiliknya.
Ketiga, ilmu adalah penguasa atas harta, sedang harta tidak mampu berkuasa atas ilmu.
Keempat, harta bisa hilang dengan infak, sedang ilmu malah bertambah dengan infak.
Kelima, Harta berpisah dengan pemiliknya bila meninggal, sedang ilmu masuk kedalam kubur bersama pemiliknya.
Keenam, harta bisa didapatkan oleh orang beriman, kafir, orang baik-baik dan penjahat, sedang ilmu yang bermanfaat ia hanya bisa diperoleh orang yang beriman saja.
Ketujuh, orang berilmu itu dibutuhkan para raja dan orang-orang dibawah level mereka, sedang pemilik harta dibutuhkan oleh orang-orang miskin.
Kedelapan, sesungguhnya jiwa menjadi mulia dan bersih dengan mendapatkan ilmu, sedang harta tidak membersihkan pemiliknya, tidak menambah kesempurnaan dirinya, malah jiwa menjadi berkurang, dan kikir dengan mengumpulkan harta dan menginginkannya.  Jadi keinginan terhadap ilmu adalah inti kesempurnaannya, dan keinginan terhadap harta adalah inti ketidak sempurnaannya.
Kesembilan, sesungguhnya harta itu mengajak seseorang bertindak sewenang-wenang, dan sombong.  Sedang ilmu, mengajak kepada sifat tawadhu, dan melaksanakan 'ubudiyah.  Harta mengajak jiwanya kepada sifat-sifat Raja, sedang ilmu mengajaknya kepada sifat-sifat “budak”.
Kesepuluh, ilmu menarik diri seseorang dan membawanya kepada kebahagiaan jiwanya yang diciptakan untuknya.  Sedang harta, ia malah menjadi tembok pemisah antara dirinya dengan kebahagiaan (jiwa)nya.
Kesebelas, sesungguhnya kaya ilmu lebih mulia daripada kaya harta.  Kaya harta adalah kekayaan dengan sesuatu yang berada di luar Hakikat Manusia.  Jika kekayaan itu musnah dalam satu malam, pemiliknya langsung jatuh miskin.  Sedang kekayaan ilmu menyatu dengan hakikat kemanusiaan, bahkan kekayaan ilmunya bertambah.
Keduabelas, sesungguhnya harta itu memperbudak pencintanya, seperti disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Celakalah hamba dinar dan dirham.”  (HR. Al-Bukhari).  Sedang ilmu, ia menjadikan seseorang sebagai budak Tuhannya dan Penciptanya.  Ilmu tidak mengajaknya kecuali beribadah kepada Allah Ta’ala.
Ketigabelas, Sesungguhnya cinta ilmu dan mencarinya adalah akar semua ketaatan, sedang cinta dunia, harta dan mencarinya adalah akar semua kesalahan.
Keempatbelas, sesungguhnya asset orang kaya adalah hartanya, sedang asset orang berilmu adalah ilmunya.  Orang kaya bila asetnya habis dia tidak lagi mempunyai asset.  Sedang orang berilmu, asetnya tidak pernah habis bahkan selalu bertambah dan meningkat.
Kelimabelas, sesungguhnya bentuk harta itu seperti bentuk badan, sedang bentuk ilmu itu seperti ruh, seperti dikatakan Yunus bin Habib, “Ilmumu itu berasal dari ruhmu dan hartamu itu berasal dari badanmu.  Perbedaan antara ilmu dengan harta adalah seperti perbedaan antara ruh dengan badan.”
Keenambelas, Sesungguhnya orang berilmu itu jika ditawari dunia seisinya sebagai pengganti ilmunya dia tidak akan rela.   Sedang orang kaya yang berakal, jika ia melihat kemuliaan, kelebihan, kebahagiaan dan kesempurnaan dengan ilmu, maka ia mendambakan seandainya ilmu tersebut menjadi miliknya.
Ketujuhbelas, Harta itu disukai jiwa, maka jika jiwa melihat ada orang lain yang lebih kaya darinya ia pun cenderung memusuhi dan membinasakannya.  Sedang orang berilmu jika melihat orang yang lebih pandai darinya, ia pun mencintai, melayani dan memuliakannya.
Kedelapanbelas, sesungguhnya orang tidak bisa taat kepada Allah Ta’ala kecuali dengan ilmu, dan kebanyakan orang yang bermaksiat kepada Allah Ta’ala adalah dengan hartanya.
Kesembilanbelas, sesungguhnya orang berilmu itu mengajak manusia untuk taat kepada Allah Ta’ala dengan ilmu dan sikapnya.  Sedang orang kaya mengajak manusia ke Neraka dengan harta dan sikapnya.
Keduapuluh, sesungguhnya kelezatan yang dihasilkan kekayaan harta adalah kelezatan ilusi dan kelezatan binatang.  Jika pemiliknya mencari kelezatan dengan mengumpulkannya, itulah kelezatan ilusi.  Jika pemiliknya mencari kelezatan untuk memenuhi ajakan syahwatnya, itulah kelezatan binatang.  Sedang kelezatan ilmu, ia adalah kelezatan akal plus rohani yang mirip dengan kelezatan para Malaikat dan kegembiraan Mereka.  Antara kelezatan harta dengan kelezatan ilmu terdapat perbedaan yang mencolok.
Keduapuluh Satu, sesungguhnya orang-orang berakal dari semua bangsa telah sepakat mencela orang yang rakus mengumpulkan harta dan ambisi kepadanya.  Mereka menganggap hina harta dan pemiliknya.  Mereka juga telah sepakat memuliakan orang yang rakus mengumpulkan ilmu, dan mencarinya.  Mereka memuji orang tersebut, mencintainya, dan melihatnya dengan mata kesempurnaan.
Keduapuluh dua, mereka sepakat mengagungkan orang yang zuhud terhadap harta, berpaling daripadanya, tidak tertarik kepadanya, dan tidak menjadikan hatinya sebagai budak harta.  Mereka juga sepakat mencela orang yang zuhud terhadap ilmu yaitu orang yang tidak tertarik terhadap ilmu dan tidak menginginkannya.
Keduapuluh tiga, sesungguhnya pemilik harta dipuji jika ia mengeluarkan hartanya, dan orang berilmu dipuji karena ia bersifatkan ilmu.
Keduapuluh empat, sesungguhnya orang kaya harta selalu diliputi kekhawatiran dan kesedihan.  Ia sedih sebelum mendapatkan harta, khawatir setelah mendapatkannya.  Semakin banyak ia mendapatkan harta, ia semakin khawatir.  Sedang orang kaya ilmu, semakin banyak ilmunya, ia semakin diliputi keamanan, kebahagiaan, dan kegembiraan.
Keduapuluh lima, sesungguhnya orang kaya harta suatu saat pasti berpisah dengan hartanya, kemudian ia tersiksa dan menderita karena berpisah dengannya.  Sedang orang kaya ilmu, kekayaan ilmunya tidak hilang daripadanya, ia tidak tersiksa dan menderita.  Jadi kelezatan dengan harta adalah kelezatan yang tidak abadi yang disusul dengan penderitaan.  Sedang kelezatan ilmu adalah kelezatan abadi, permanen dan tidak disusul dengan penderitaan.
Keduapuluh enam, sesungguhnya kelezatan dan kesempurnaan hati dengan harta adalah kesempurnaan dengan pinjaman yang harus dikembalikan.  Jadi jika jiwa berhias dengan harta, ia berhias dengan pakaian hasil pinjaman yang harus dikembalikan kepada Pemiliknya pada suatu saat.  Namun jika jiwa berhias dengan ilmu, ia berhias dengan sifat yang kokoh, dan kuat yang tidak akan meninggalkannya.
Keduapuluh tujuh, sesungguhnya kaya harta adalah inti kemiskinan jiwa dan kaya ilmu adalah inti kekayaan jiwa.  Kaya ilmu adalah kekayaan jiwa yang sebenarnya.  Jadi, kekayaan jiwa dengan ilmu adalah kekayaan dan kekayaan jiwa dengan harta adalah kemiskinan.
Keduapuluh delapan, sesungguhnya orang yang mulia dan dihormati karena harta, maka kemuliaan dan kehormatan itu akan hilang jika ia tidak lagi mempunyai harta.  Akan tetapi orang yang dimuliakan karena ilmunya, maka ilmunya membuatnya semakin dihormati dan dimuliakan.
Keduapuluh sembilan, sesungguhnya mendahulukan seseorang karena hartanya adalah inti kehinaannya, dan mengumumkan akan ketidak sempurnaannya.  Sebab jika ia tidak mempunyai harta pasti ia layak dikesampingkan dan dihina.  Sedang mendahulukan seseorang karena ilmunya, itu adalah inti kesempurnaannya, sebab hal tersebut berdasarkan jiwanya, sifatnya dan tidak berdasarkan sesuatu yang tidak ada pada dirinya.
Ketigapuluh, orang yang mencari kesempurnaan dengan kekayaan harta adalah seperti orang yang mengumpulkan dua hal yang saling bertentangan, dan mencari sesuatu yang ia tidak mendapatkan jalan untuk masuk kedalamnya.
Jika orang berilmu tidak mendapatkan kelezatan orang kaya dan kenikmatan mereka dengan kekayaannya, maka orang kaya juga tidak mendapatkan kelezatan orang berilmu, kenikmatan mereka dan kegembiraan mereka dengannya.
Orang berilmu mempunyai sebab-sebab kelezatan yang lebih agung, lebih kuat, dan lebih langgeng daripada kelezatan orang kaya.  Kelelahan orang berilmu dalam mencari ilmu, dan menjaganya juga lebih sedikit ketimbang kelelahan orang kaya dalam mengumpulkan harta, seperti yang difirmankan Allah Ta’ala kepada kaum mukminin sebagai hiburan bagi mereka atas sakit dan kelelahan mereka karena ta'at kepada-Nya,
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuh-musuh).  Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.  Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.” (An-Nisa; 104).
Ketigapuluhsatu, sesungguhnya kelezatan yang dihasilkan kekayaan harta adalah kelezatan sekejap.  Sedang kelanjutannya bisa hilang sama sekali atau berkurang.  Sebagai bukti, sesungguhnya watak manusia tidak pernah bosan berambisi memburu kekayaan, dan selalu berusaha menambah koleksi kekayaannya. Seandainya ia telah memiliki seluruh kekayaan dunia, maka kebutuhannya, pencariannya, dan ambisinya kepada harta tetap ada pada dirinya, karena ia termasuk salah satu dari dua pihak yang rakus yang tidak pernah merasa kenyang.  Ya, ia tidak pernah lepas dari duka ambisi dan pencarian harta.
Frasa di atas diambil dari makna hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Dua orang rakus yang tak pernah kenyang; Orang yang rakus terhadap Ilmu dan tidak pernah kenyang dengan Ilmu, dan orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengan dunia."  (HR.  Al-Hakim)
Ini berbeda dengan kekayaan ilmu dan iman, sesungguhnya kelezatan pada masa mendatang sama persis dengan kelezatan pada masa kekiniannya, bahkan semakin bertambah.  Kendati pemilik ilmu selalu mencari ilmu dan berambisi kepadanya, pencarian dan ambisinya kepada ilmu malah disertai kelezatan yang lama, kelezatan yang diharapkannya, dan kelezatan pencariannya.
Ketigapuluhdua, Ada dua pilihan bagi orang kaya; Menutup pintu pemberian atau membukanya.  Jika ia menutup maka ia dikenal sebagai manusia yang jauh dari kebaikan, mereka membencinya sehingga hatinya diliputi kegalauan, kecemasan dan kesedihan.  Jika ia membuka pintu kebaikan bagi dirinya, ia tidak mampu berbuat baik pada semua orang.  Ini jelas membuka pintu permusuhan dan persengketaan dari kalangan orang-orang yang tidak mendapat pemberiannya.
Semua sisi negatip ini tidak terjadi pada orang yang kaya dengan ilmu, karena pemiliknya mampu memberikan ilmu kepada semua orang.
Ketigapuluhtiga, sesungguhnya mengumpulkan harta itu selalu diliputi tiga sisi negatip dan ujian; petaka sebelum ia mendapatkan harta, petaka ketika ia mendapatkannya, dan petaka setelah ia berpisah dengannya.
Petaka pertama ialah kesulitan, kelelahan, dan sakit, karena harta tidak bisa diperoleh kecuali dengan itu semua.
Petaka kedua adalah, kesulitan menjaga hartanya, melindunginya, dan kedekatan hati dengannya.
Petaka ketiga, yaitu apa yang terjadi setelah orang yang dekat dengan harta ditinggalkan oleh hartanya.  Ia dituntut untuk melaksanakan hak-hak hartanya, dan dimintai pertanggung  jawaban tentang apa yang telah didapatkannya; darimana ia mendapatkannya dan untuk apa ia gunakan?
Sedang orang yang kaya ilmu dan iman, disamping ia terbebas dari ketiga petaka di atas, ilmu menjamin semua bentuk kelezatan, kebahagiaan, dan kegembiraan.  Namun itu semua tidak didapatkan kecuali di atas jembatan kelelahan, kesabaran dan kesulitan.
Ketigapuluhempat, sesungguhnya kelezatan dengan harta itu tidak bisa dinikmati sendirian, harus melibatkan orang lain kendati cuma pembantu-pembantunya, istri-istrinya, dan para pengikutnya.  Jika ia menikmati hartanya sendirian tanpa menyertakan orang lain, maka pemanfaatan hartanya dan kelezatannya tidak maksimal.  Sedangkan keterkaitannya dengan  pihak lain tersebut adalah pangkal penyakit, sakit, dan berbagai macam kesusahan, terutama keburukan yang berasal dari keluarga dan sanak kerabat jauh lebih besar daripada keburukan yang berasal dari orang-orang asing yang tidak ada ikatan keluarga.  Semua kondisi di atas tidak ditemui di kekayaan dengan ilmu.
Ketigapuluhlima, sesungguhnya yang dimaksud dengan harta itu bukan zatnya dan bentuknya.  Dzat harta pada dasarnya tidak menghasilkan manfaat apapun.  Ia tidak mengenyangkan, tidak menghilangkan haus, tidak menghangatkan, dan tidak melindungi.  Namun yang dimaksud dengan harta adalah sebagai sarana kepada itu semua (kenyang, menghilangkan haus, ketenangan, dan lain sebagainya).
Sebagaimana diketahui, tujuan itu lebih mulia daripada sarana.  Jadi, tujuan itu lebih Agung daripada sarana.  Sarana, kendati ia mulia, jika dibandingkan dengan tujuan tidak ada apa-apanya.
Sedang kelezatan ilmu dan iman , ia adalah kelezatan yang langgeng, selalu membahagiakan, dan menghendaki kegembiraan dan kepuasan.  Ia tidak hilang yang menyebabkan orang berilmu sedih karenanya, dan tidak meninggalkannya kemudian sakit karenanya.  Orang-orang berilmu adalah seperti yang difirmankan Allah Ta’ala (artinya),
“Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus; 63).
Ketigapuluhenam, Sesungguhnya orang kaya karena harta itu benci kepada kematian dan pertemuan dengan Allah Ta’alaKarena kecintaannya kepada harta, ia tidak ingin berpisah dengannya dan ingin tetap bersamanya agar ia bisa menikmatinya seperti terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun ilmu, ia membuat orang cinta kepada Allah Ta’ala, dan membuatnya bersikap zuhud dalam kehidupan dunia yang penuh tipuan, melelahkan dan fana ini.
Ketigapuluhtujuh, sesungguhnya nama besar orang-orang kaya itu habis bersama dengan kematian mereka.  Sedang para ulama, walaupun mereka telah meninggal dunia, namun nama besar mereka tetap terjaga, seperti dikatakan Amirul Mukminin, “para penyimpan harta telah mati, kendati mereka masih hidup.  Sedang para 'ulama, mereka tetap hidup sepanjang zaman.”
Jadi, penumpuk harta itu hidup seperti mayat-mayat, dan para ulama setelah kematian mereka adalah mayat-mayat bagaikan orang-orang yang hidup.
Ketigapuluhdelapan, sesungguhnya kedudukan ilmu bagi ruh adalah seperti kedudukan nyawa bagi badan.  Ruh itu mati dan kehidupannya adalah dengan ilmu.  Badan juga mati dan kehidupannya ialah dengan nyawa.  Tujuan orang kaya dengan harta ialah meningkatkan kehidupan badannya.  Sedang ilmu, ia adalah kehidupan hati dan ruh (jiwa).
Ketigapuluhsembilan, sesungguhnya hati adalah raja badan, sedang ilmu ialah hiasan badan, bekalnya dan asetnya.  Dengan ilmu, kerajaan menjadi tegak.  Raja selalu membutuhkan pasukan, senjata, kekayaan, dan hiasan.  Ilmu adalah kendaraannya, bekal, dan perhiasannya.
Adapun harta, tujuannya adalah untuk menjadi perhiasan dan kosmetik badan jika memang ia dikeluarkan untuk tujuan tersebut.  Jika orang kaya menyimpannya dan tidak membelanjakannya, ia bukan perhiasan atau kosmetik, justru merupakan cobaan dan petaka.
Keempatpuluh, sesungguhnya kekayaan yang ideal ialah yang mencukupi seorang hamba, menyokongnya, dan menutupi kebutuhannya hingga ia mampu memenuhi kebutuhannya dan berbekal dengannya dalam perjalanannya kepada Allah Azza wa JallaJika harta lebih dari batasan ideal, ia menyibukkan pemiliknya, mengganggu perjalanannya kepada Tuhannya, dan merintangi usahanya mencari bekal, serta mudharatnya lebih banyak daripada kemaslahatannya.  Jika kekayaannya semakin bertambah, ia semakin bertambah lupa menyiapkan bekal untuk masa depannya di akhirat.  
Sedang ilmu, semakin bertambah, maka orang berilmu semakin bersemangat melakukan persiapan, memenuhi kebutuhan, dan menyiapkan bekal perjalanan.  Jadi,
bekal perjalanan ini adalah ilmu dan amal perbuatan, dan bekal berdomisili adalah mengumpulkan harta dan menyimpannya.  Barangsiapa menginginkan sesuatu, ia mengadakan persiapan untuknya.  Allah Ta’ala berfirman (artinya),
Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, ‘Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.'”  (At-Taubah; 46).
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Mencintai ilmu atau orang berilmu adalah agama.”  Karena ilmu adalah warisan para Nabi, dan para 'ulama adalah ahli waris mereka, maka cinta ilmu dan orang berilmu berarti cinta warisan para Nabi dan pewaris mereka.  Sebaliknya benci ilmu dan orang berilmu berarti benci warisan para Nabi dan pewaris mereka.
Jadi cinta ilmu adalah salah satu indikasi kebahagiaan, dan benci ilmu adalah salah satu indikasi kecelakaan.  Ilmu yang dimaksud yaitu ilmu para Rasul (Ilmu Agama), dan yang mereka wariskan kepada ummat, dan bukan sembarang ilmu.
Selain itu cinta ilmu membuat orang mempelajarinya dan mengikutinya.  Itulah agama.  Dan benci kepadanya membuat orang tidak mempelajarinya dan mengikutinya.  Itulah kecelakaan dan kesesatan.
Selain itu, sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui mencintai setiap orang berilmu, dan memberikan ilmu kepada orang yang dicintai-Nya.  Maka barangsiapa cinta ilmu dan orang berilmu, berarti ia mencintai apa yang dicintai Allah Ta’ala.
Ucapan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, “Ilmu itu membuat orang berilmu dita'ati sepanjang hidupnya dan menjadi bahan pembicaraan yang baik sepeninggalnya.” karena kebutuhan kepada ilmu berlaku bagi siapapun baik para Penguasa maupun rakyat biasa.  Semua orang harus taat kepada orang berilmu, karena ia menyuruh manusia ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya.  Firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Hai orang-orang beriman, ta'atilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian.”  (An-Nisa; 59).
Ada yang menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan ulil amri pada ayat diatas adalah para 'ulama.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu berkata, “Ulil amri yang dimaksud adalah para fuqaha dan ahli Agama yang mengajarkan Agama kepada manusia.  Allah Ta’ala mewajibkan taat kepada mereka.”
Ada lagi yang menafsirkan, bahwa ulil amri yang dimaksud pada ayat diatas adalah para Pemimpin.  Itulah pendapat ibnu zaid, dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad dan Ibnu Abbas.
Sesungguhnya ayat di atas mencakup kedua penafsiran tersebut.  Taat kepada para pemimpin itu wajib, jika ia memerintah dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kebaikan ilmu dan agama itu lebih agung daripada kebaikan harta, karena kebaikan ilmu dan agama adalah dengan hati, lisan dan semua anggota tubuh.  Kebaikan tersebut muncul dari perasaan cinta dan hormat, karena ilmu yang diberikan Allah kepadanya dan Allah mengutamakannya dengan ilmu tersebut atas orang lain.
Selain itu, kebaikan ilmu adalah karena jiwa orang berilmu, sedang kebaikan dengan harta adalah karena harta yang terpisah dari dirinya.
Ucapan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, “Sesungguhnya di sini ada ilmu sambil memberi isyarat ke dada.”  Ini menunjukkan bahwa seseorang diperbolehkan mengungkap ilmu dan kebaikan yang dimilikinya agar orang lain belajar padanya dan mendapat manfaat darinya, seperti ucapan Yusuf  'alaihissalam,
“Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf; 55).
Barangsiapa menerangkan sesuatu tentang dirinya seperti Nabi Yusuf 'alaihissalam di atas untuk memperbanyak kebaikan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, maka itu sangat terpuji.  Ini berbeda dengan orang yang menceritakan sesuatu tentang dirinya dengan tujuan sombong kepada manusia, maka ia dibalas Allah dengan kebencian manusia kepadanya, dan kekerdilan dirinya dimata mereka.  Sedang orang pertama, Allah Ta’ala membalasnya dengan mengagungkannya di hati dan mata mereka.  Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya.
Kemudian Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu menyebutkan klasifikasi para pengemban ilmu yang tidak mengemban ilmu dengan baik, mereka terbagi ke dalam 4 (empat) kelompok;
Kelompok pertama, orang yang tidak jujur (amanah) terhadap ilmu, yaitu orang yang dianugerahi kecerdasan dan daya hapal yang tinggi, namun dia tidak dianugerahi keshalihan.  Ia menjadikan ilmu yang notabene alat agama sebagai alat dunia, menjadikan komoditi Akhirat sebagai komoditi dunia.
Sungguh, orang yang menjadikan komoditi Akhirat sebagai komoditi dunia telah berkhianat kepada Allah, hamba-hamba-Nya, dan Agama-Nya.
Jika Allah Ta’ala memberikan nikmat kepadanya, dengan nikmat tersebut ia mengalahkan manusia dan jika ia mempelajari ilmu, dengannya ia mengalahkan Kitab Allah Ta’ala
Yang dimaksud dengan mengalahkan Kitab Allah Ta’ala dengan ilmu ialah, bahwa ia menjadikan ilmunya berkuasa terhadap Kitab Allah Ta’ala, dan lebih mendahulukan ilmunya atas Kitab Allah Ta’ala.
Inilah realitas dari kebanyakan orang-orang yang memiliki ilmu.  Ia merasa cukup dengan ilmunya, mendahulukannya, dan menjadikannya berkuasa, serta menjadikan Kitab Allah Ta’ala sebagai pengikut (anak buah) ilmunya.
Ini bukan perilaku 'ulama, karena ulama sejati yaitu orang berilmu yang memenangkan kitab Allah Ta’ala di atas segala hal.  Ia mendahulukan Kitab Allah Ta’ala, menjadikannya berkuasa atas segala sesuatu, menjadikannya sebagai panutan (imam), barometer, dan pengendali sebagaimana Allah Ta’ala menjadikan Kitab-Nya seperti itu.
Orang yang memenangkan kitab Allah Ta’ala adalah orang yang mendapat petunjuk dan orang yang berbahagia, sedang orang yang mengalahkannya adalah orang yang terlantar dan celaka.  Itulah keadaan orang yang sibuk dengan selain kitab Allah Ta’ala, mendahulukan selain Kitab Allah Ta’ala, dan mengakhirkan Kitab Allah Ta’ala.
Kelompok kedua, orang yang tunduk kepada ilmu namun hatinya tidak senang dengannya.  Kendati ia termasuk orang-orang yang berada di atas jalan keselamatan, ia bukan termasuk da'i-da'i agama.  Ia hanya penambah jumlah pasukan, dan bukan komandannya atau pasukan berkudanya.
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, "Sifat ragu-ragu membekas dalam hatinya karena syubhat (kebathilan yang berkedok kebenaran) yang datang kepadanya." Itu disebabkan karena kedangkalan ilmunya, dan minimnya wawasan.  Jika syubhat yang paling rendah datang kepada hatinya, maka syubhat tersebut menimbulkan sifat ragu-ragu pada dirinya.  Ini berbeda dengan orang yang ilmunya mendalam, seandainya syubhat sebanyak ombak laut datang padanya, semua syubhat itu tidak mampu menghapus keyakinannya dan tidak menimbulkan sifat ragu-ragu pada dirinya.  Karena ilmunya telah kokoh, maka syubhat apapun yang datang padanya tidak mampu mempengaruhinya, malah pengemban ilmu dan tentaranya mengusirnya dalam keadaan kalah dan terpuruk.
Syubhat ialah ibarat tamu yang berkunjung ke dalam hati dengan tujuan menjauhkan hati dari melihat kebenaran.  Namun jika hati memiliki hakikat ilmu, syubhat tersebut tidak mampu mempengaruhinya, bahkan ilmunya dan keyakinannya menguat dengan melawan syubhat tersebut, dan mengetahui ketidak benarannya.  Sebaliknya, jika hakikat ilmu tidak menembus hatinya, syubhat tersebut mempengaruhinya sejak awal kedatangannya.  Jika ia tidak segera memperbaiki hatinya, maka syubhat-syubhat yang lain akan datang menyusul kepadanya hingga akhirnya ia menjadi orang yang serba ragu-ragu.
Hati itu selalu didatangi dua pasukan kebathilan;  Pasukan syahwat kesesatan, dan pasukan syubhat bebathilan.  Jika hati mendengar syubhat dengan serius, tertarik padanya, menghisapnya, dan sarat dengannya kemudian lisannya dan anggota badannya basah dengan segala akibatnya, maka minuman syubhat kebathilan memancarkan keragu-raguan, syubhat-syubhat yang lain dan keinginan-keinginan rusak pada lisannya, kemudian orang bodoh menyangka bahwa itu tidak lain karena ilmunya yang luas, padahal itu disebabkan karena ia tidak memiliki ilmu dan keyakinan.
Suatu ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata kepadaku, “Jangan jadikan hatimu terhadap keinginan-keinginan dan syubhat-syubhat seperti bunga karang kemudian dia menghisapnya dan tidak diairi kecuali dengannya.  Tapi, jadikan hatimu terhadapnya seperti kaca yang membisu.  Syubhat-syubhat dalam bentuk aslinya melewatinya dan tidak menetap didalamnya kemudian hati melihat syubhat tersebut dengan kebeningannya dan melawannya dengan kekokohan hatinya.  Tapi, jika engkau meminumkan pada hatimu setiap syubhat yang melewatinya, maka hatimu akan menjadi markas syubhat-syubhat.”
Wasiat di atas sangat bermanfaat bagiku dalam menolak semua syubhat.
Syubhat dinamakan syubhat, karena di dalamnya terdapat kemiripan antara kebenaran dan kebathilan.  Syubhat tersebut mengenakan pakaian kebenaran ke dalam badan kebathilan.  Mayoritas besar manusia terpikat oleh keindahan penampilan luar, kemudian ia meyakini kebenaran syubhat tersebut.
Adapun orang yang berilmu dan berkeyakinan, ia tidak terkecoh dengan tipuan di atas.  Ia berusaha melihat bagian dalam pakaian tersebut, dan apa saja yang ada di balik pakaian syubhat, kemudian terkuak olehnya hakikat pakaian syubhat tersebut.
Kata-kata indah yang ada pada syubhat adalah seperti lapisan perak pada uang dirham yang palsu, dan maknanya adalah seperti tembaga yang ada di balik lapisan perak.
Betapa seringnya penipuan seperti di atas membunuh banyak sekali manusia dan tidak ada yang mengetahui jumlah pastinya kecuali Allah saja!
Jika orang berakal cerdas mengkaji hal ini dan merenungkannya, ia dapat melihat bahwa sebagian besar manusia menerima sebuah madzhab dengan perkataan dan menolaknya dengan perkataan yang lain (tidak berdasarkan dalil yang kuat, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah, pen blog.).
Dalam hal ini, para imam sunnah termasuk Imam Ahmad dan lain-lain berkata, “Kita tidak menghapus salah satu sifat dari sifat Allah hanya karena keburukan yang dialamatkan kepadanya.  Orang-orang Jahmiyah menamakan penetapan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah seperti kehidupan-Nya, ilmu-Nya, firman-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan semua sifat yang Allah sifatkan pada Diri-Nya sebagai  bentuk penyerupaan dan upaya humanisasi.  Menurut mereka, barang siapa menetapkan hal di atas, berarti ia melakukan upaya penyerupaan Allah dengan makhluk.”
Barang siapa diberi penglihatan hati, ia bisa melihat hakikat kebenaran dan kebathilan yang ada dibalik perkataan di atas dan ia tidak akan terkecoh dengan kata-kata.
Tidak ada yang selamat dari petaka ini kecuali orang yang dikehendaki Allah kemuliaan baginya dan meridhainya untuk menerima kebenaran.
Ucapan Ali bin Abu Thalib, “Sejak awal syubhat datang kepadanya.”  Ini adalah bukti lemahnya akal dan pengetahuan orang tersebut, sebab ia terpengaruh sejak permulaan, dan goyah sejak awal.  Berbeda dengan orang yang akalnya sempurna, ia tidak goyah dengan permulaan segala sesuatu, tidak goncang karenanya, dan tidak gelisah karenanya.  Sesungguhnya pada awalnya kebathilan itu mengejutkan dan menakutkan.  Jika hati kokoh menghadapinya, ia mengusirnya lari tunggang langgang.
Allah Ta’ala menyukai ilmu dan sikap hati-hati pada hamba-Nya, oleh karena itu seseorang jangan tergesa-gesa!  Ia harus tetap tegar hingga ia mengetahui dan meyakini apa yang datang padanya.  Seseorang tidak boleh terburu-buru dalam suatu masalah sebelum ia memikirkannya dengan matang, karena sikap terburu-buru dan gegabah berasal dari syaithan.
Barang siapa bersikap tegar pada bentrokan awal, maka ia menghadapi urusannya dengan berlandaskan ilmu, dan hati yang teguh.  Sebaliknya, barang siapa tidak tegar terhadapnya, maka ia menghadapinya dengan terburu-buru dan gegabah.  Akibatnya adalah penyesalan, sedang akibat bagi orang pertama adalah terpuji. 
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berdoa,
اللهم اني اسالك الثبات في الاءمر والعزيمة على لرشد 
("Allahumma inniy as-aluka ats-tsabaata fiy al-amri wa al-'aziymata 'alaa ar-rusydi")
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ketegaran dalam segala hal, dan keteguhan terhadap petunjuk.” (HR. Ahmad dan An-Nasai).
Kedua kata di atas adalah kunci keberuntungan.  Seseorang tidak diberi kedua sifat di atas tidak lain karena ia menyia-nyiakan kedua sifat tersebut, atau salah satu dari keduanya.  Seseorang tidak diberi kedua sifat tersebut karena ia bersikap buru-buru, atau gegabah, atau goyah oleh kejutan awal peristiwa, atau lengah, atau malas, atau membuang sia-sia peluang emas yang ada di depan matanya.  Jika seseorang mampu bersikap tegar kemudian bernyali kuat, sungguh ia mendapatkan puncak keberuntungan.  Allah-lah tempat memohon petunjuk.
Kelompok ketiga, orang yang ambisinya ialah mendapatkan kenikmatan.  Ia terseret oleh ajakan syahwat dimanapun ia berada.  Tingkatan Nubuwwah (kenabian) tidak bisa didapatkan dengan sikap seperti itu.  Ilmu tidak bisa diraih kecuali dengan meninggalkan kenikmatan-kenikmatan, dan kehidupan santai.
Muslim berkata dalam Shahih-nya, bahwa Yahya bin Abu Katsir berkata, “Ilmu itu tidak bisa didapatkan dengan badan yang suka istirahat.”
Ibrahim bin Al-Harbi berkata, “Semua orang-orang berakal pada setiap ummat telah sepakat, bahwa kebahagiaan itu tidak bisa diperoleh dengan kenikmatan-kenikmatan.  Barang siapa lebih suka istirahat, ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan.  Apalah artinya derajat orang-orang yang bergelimang dengan kenikmatan-kenikmatan dibandingkan derajat pewaris para Nabi.”
Seorang penyair berkata,
"Tidak usahlah engkau menulis, karena engkau bukan ahlinya
Kendati engkau menghitamkan wajahmu dengan tinta"
Sesungguhnya ilmu adalah produksi dan pekerjaan hati.  Jika ia tidak berkonsentrasi untuk memproduksinya, ia tidak mendapatkannya.  Ilmu itu mempunyai satu arah, jika arahnya ditujukan kepada kenikmatan-kenikmatan, dan syahwat-syahwat, maka arah tersebut berpaling dari ilmu.  Jika kenikmatan mencari ilmu tidak bisa mengalahkan kenikmatan badannya dan syahwat dirinya, ia tidak akan mendapatkan derajat ilmu untuk selama-lamanya.  Jika seluruh syahwatnya, dan kenikmatannya terfokus untuk mencari ilmu, ia bisa diharapkan menjadi orang berilmu.
Kenikmatan ilmu adalah kelezatan akal dan ruhani dan mirip dengan kenikmatan para Malaikat.  Kelezatan syahwat-syahwat makan, minum, dan seks adalah kelezatan binatang.  Manusia dan binatang sama di dalamnya.  Dan kelezatan kejahatan, kezhaliman, kerusakan, dan arogan di atas permukaan bumi adalah kelezatan syaithan.  Di dalamnya pelakunya sama dengan iblis dan pasukannya.
Semua kelezatan akan hilang jika ruh berpisah dengan badan, kecuali kelezatan ilmu dan iman, justru kelezatan tersebut semakin bersemi sesudahnya, dan karena selama ini badan dan seluruh aktivitasnya malah mengurangi kelezatan tersebut, dan merintanginya.  Jadi, jika ruh terlepas dari badan, maka ruh mendapatkan kelezatan paripurna karena ia telah mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan amal perbuatan yang shalih.
Barang siapa mencari kelezatan terbesar, dan mengutamakan kenikmatan abadi, maka kelezatan dan kenikmatan tersebut berada dalam ilmu dan iman.  Kebahagiaan manusia sangat terkait dengan keduanya.
Apalah arti itu semua jika dibandingkan dengan kelezatan ilmu, kelezatan iman kepada Allah Ta’ala, cinta pada-Nya, menghadap pada-Nya, dan asyik ingat pada-Nya?
Kelompok keempat, orang yang ambisinya dan obsesinya adalah mengumpulkan harta, mengembangkannya, dan menyimpannya.  Ia menemukan kelezatan di dalamnya, larut dengannya daripada urusan lain, dan tidak melihat kenikmatan teragung kecuali dengannya.  Dimanakah kedudukan orang tersebut dibandingkan derajat ilmu?
Keempat kelompok di atas tidak termasuk jajaran da'i-da'i agama, tidak pula tokoh-tokoh ilmu, dan tidak pula orang-orang yang mencarinya dengan jujur.  Barang siapa akrab dengan mereka, ia termasuk orang-orang yang meniru mereka, orang-orang yang menyerupai mereka, orang-orang yang mengajak berhubungan dengannya.
Salah seorang dari generasi Sahabat yang mulia berkata, “Hati-hatilah terhadap fitnah orang berilmu yang banyak dosanya, dan ahli ibadah yang bodoh, karena fitnah keduanya adalah fitnah bagi semua orang yang terkena fitnahnya.”
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Sesuatu yang paling mirip dengan mereka yaitu binatang ternak.”  Penyerupaan ini diambil dari firman Allah Ta’ala,
“Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu).”  (Al-Furqan; 44).
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak saja mengibaratkan mereka dengan binatang ternak, bahkan menyatakan bahwa mereka lebih sesat daripada binatang ternak.
Allah Ta’ala sekali waktu mengumpamakan orang bodoh dan sesat seperti binatang ternak, dan sekali waktu seperti keledai.  Ini adalah perumpamaan bagi orang yang mempelajari ilmu, namun tidak memikirkannya, dan tidak mengamalkannya.  Ia seperti keledai yang mengangkut barang.  Pada kesempatan lain, Allah Ta’ala mengumpamakan mereka seperti anjing.  Perumpamaan tersebut adalah bagi orang yang berpaling dari ilmu, dan membumi kedalam syahwat dan hawa nafsu.
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Ilmu itu mati bersamaan dengan kematian pengembannya.”  Ucapan di atas diambil dari sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan Abdullah bin Amr, Aisyah dan lain-lain,
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari dada manusia.  Tapi Dia mencabutnya dengan mencabut (nyawa) para 'ulama.  Jika orang berilmu tidak ada lagi, maka manusia mengangkat Pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh.  Mereka ditanya kemudian menjawab tanpa dasar ilmu.  Mereka sesat dan menyesatkan.”  (HR. Al-Bukhari).
Jadi, kepergian ilmu adalah dengan kematian para 'ulama.  Ketika Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu meninggal dunia, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Saya kira pada hari ini Sembilan persepuluh ilmu telah pergi.”
Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Kematian seribu ahli ibadah lebih enteng daripada kematian satu orang berilmu yang ahli tentang hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan Allah.”
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Ya Allah, benar sekali bahwa dunia tidak pernah sepi dari orang yang berusaha dengan serius menegakkan hujjah-hujjah Allah karena-Nya.”  Ucapan tersebut dibenarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam hadits shahih,
“Akan senantiasa ada pada ummatku sekelompok yang berada di atas kebenaran.  Tidak merugikan mereka orang yang menelantarkan mereka dan menentang mereka hingga datanglah keputusan Allah, sementara mereka (tetap) dalam keadaan seperti itu.”  (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan,
“Ilmu ini dalam setiap generasi dihusung oleh orang-orang yang adil.  Mereka membuang daripadanya distorsi (perusakan) orang-orang yang radikal (berlebih-lebihan), plagiasi (jiplakan) para pendusta, dan takwil orang-orang bodoh.”
Ini menunjukkan bahwa ilmu itu selalu ada dalam kurun waktu.
Disebutkan dalam Shahih Abu Hatim hadits Al-Khaulani, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Allah senantiasa menanam dalam agama ini tanaman yang membuat mereka ta'at kepada-Nya.”
Tanaman Allah Ta’ala yang dimaksud adalah orang-orang berilmu dan mengamalkan ilmunya.  Jika di bumi tidak ada orang berilmu, maka bumi kosong dari tanaman Allah Ta’ala.
Hujjah adalah dalil-dalil ilmiah yang dipahami hati dan didengar telinga.  Allah Ta’ala berfirman tentang dialog Nabi Ibrahim dengan kaumnya dan pembuktian ketidak benaran persepsi mereka dengan dalil ilmiah Nabi Ibrahim, (Al-An’am; 83).
Hujjah yang disandarkan kepada Allah Ta’ala adalah hujjah yang benar.  Terkadang hujjah juga berkonotasi perseteruan (pertengkaran), (Asy-Syura; 15).
Jika kebenaran telah terlihat, dan tidak ada yang samar-samar padanya, maka tidak ada lagi gunanya perdebatan.
Sesungguhnya Al-Qur’an sarat dengan hujjah-hujjah, dalil-dalil, petunjuk tentang masalah-masalah Tauhid, penegasan adanya Pencipta, Hari Akhirat, pengutusan para Rasul, dan proses terjadinya Alam Semesta.
Al-Qur’an sarat dengan hujjah dan di dalamnya terdapat banyak sekali berbagai macam dalil, dan barometer kebenaran.
Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menegakkan hujjah dan perdebatan.  Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”  (An-Nahl; 125).
Juga firman Allah Ta’ala,
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik.”  (Al-Ankabut; 46).
Tentang perbedaan antara hujjah dengan bayyinah, saya katakan, bahwa hujjah ialah dalil ilmiah, sedang bayyinah adalah kata sifat.  Dikatakan, ayat bayyinah (ayat yang jelas) atau hujjah bayyinah (hujjah yang jelas).
Bayyinah ialah terminologi untuk apa saja yang menjelaskan kebenaran, misalnya tanda atau isyarat, atau dalil ilmiah.  Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Neraca (Keadilan).”  (Al-Hadid; 25).
Jadi bayyinah ialah ayat-ayat yang diperlihatkan Allah Ta’ala sebagai bukti kebenaran para Rasul, misalnya mukjizat.  Al-Kitab yang dimaksud pada ayat diatas adalah dakwah.
Maqam Ibrahim (batu tempat berpijaknya Nabi Ibrahim sewaktu mendirikan Ka'bah) adalah salah satu ayat yang bisa dilihat oleh mata, dan ia termasuk ayat-ayat Allah Ta’ala yang ada di alam semesta, (Ali Imran; 96-97).
Pelemparan tongkat oleh Nabi Musa 'Alaihissalam dan perubahannya menjadi ular adalah salah satu bayyinah (ayat-ayat yang membenarkan kebenaran).
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Mereka jumlahnya tidak seberapa banyak, namun mereka adalah orang-orang yang paling berbobot ucapannya di sisi Allah.”  Tipologi manusia seperti itu sangat langka, dan itulah penyebab keterasingan mereka.  Mereka tidak banyak pada manusia, dan manusia berbeda jalan dengan mereka.  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
“Islam datang pertama kali dalam keadaan terasing dan ia akan kembali dalam keadaan terasing, maka berbahagialah orang-orang yang asing.”  (HR. Muslim).
Kaum mukminin itu sedikit dibandingkan jumlah keseluruhan manusia, para 'ulama itu sedikit diantara kaum mukminin, dan orang-orang seperti mereka itu (lebih) sedikit diantara para 'ulama.
Manusia sejati ialah orang yang memegang teguh kebenaran kendati jumlahnya sedikit.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Janganlah salah seorang dari kalian menjadi pembeo.  Ia berkata, ‘Aku bersama manusia.’  Namun hendaklah salah seorang dari kalian memantapkan dirinya untuk menjadi orang beriman, kendati seluruh manusia kafir.”
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecam kebanyakan manusia dalam banyak ayat di dalam Al-Qur’an, misalnya;
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”  (Al-An’am; 116),
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.”  (Yusuf; 103),
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”  (Saba’; 13), (Shad; 24).
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu, “Dengan mereka, Allah membela hujjah-hujjah-Nya hingga mereka menunaikannya kepada orang-orang yang semisal dengan mereka, dan menanamkannya kedalam hati orang yang seperti mereka.”  Ini, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk menjaga hujjah-hujjah-Nya dan keterangan-keterangan-Nya.
Tanaman Allah Ta’ala yang ditanam-Nya di dalam agama-Nya tidak henti-hentinya menanam ilmu di dalam hati orang yang disiapkan Allah Ta’ala dan diridhai-Nya, kemudian orang-orang tersebut menjadi pewaris mereka, sebagaimana mereka menjadi pewaris para Nabi sebelumnya.  Jadi hujjah-hujjah Allah Ta’ala dan orang yang menegakkannya tidak pernah terputus (habis) di dunia ini.
Dengan sisi ini dan sisi lainnya, para 'ulama mengungguli ahli ibadah, karena orang berilmu, jika ia telah menanam ilmunya kemudian meninggal dunia, maka pahalanya tetap ditulis (mengalir) untuknya, dan namanya tetap dikenang.  Itulah umur kedua, dan kehidupan kedua. Pada itulah yang pantas diperebutkan peserta perlombaan, dan diimpikan orang-orang yang menginginkannya.
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Dengan mereka, ilmu menghadapi segala persoalan kemudian mereka menganggap enteng apa yang dianggap sulit oleh orang-orang yang hidup mewah dan tidak takut terhadap apa saja yang ditakutkan orang-orang bodoh.”  Karena orang-orang bodoh lebih mengutamakan kenikmatan sekarang daripada kenikmatan masa depan (Akhirat).  Mereka lebih antusias memperhatikan dunia dan memejamkan mata terhadap Akhirat.  Mereka mengamati dengan  serius bentuk luar dunia dan tidak memikirkan bagian dalamnya.  Mereka merasakan manisnya bagian luarnya, dan tidak ingat rasa pahit sebagai akibatnya.
Adapun orang-orang yang menegakkan hujjah-hujjah Allah Ta’ala, dan para khalifah Nabi-Nya pada ummatnya, karena kesempurnaan ilmu mereka dan kekuatan ilmunya, ilmu masuk bersama mereka kepada hakikat segala sesuatu, kemudian mereka melihat dengan pandangan mata yang jelas (tajam), apa yang terlihat kabur oleh orang-orang bodoh.
Hati mereka merasa damai dengan ilmu dan mereka berusaha sampai padanya karena mereka mendapatkan ruh keyakinan.  Hati mereka amat percaya kepada apa yang dijanjikan Allah Ta’ala kepada mereka, kemudian mereka bersikap zuhud terhadap selain Allah, dan mendambakan apa yang ada di sisi Allah Ta’ala.
Dunia pergi dari hati mereka dengan lari tunggang langgang, sebagaimana ia datang kepada pecintanya dengan berlari cepat.  Akhirat datang kepada hati mereka dengan cepat sebagaimana Akhirat tersebut cepat datang kepada manusia lainnya.  Mereka naik ke puncak tekad dan meninggalkan kenikmatan tidur.  Mereka mengetahui panjangnya sebuah perjalanan, dan sedikitnya waktu di tempat berbekal diri (dunia).  Mereka mengarungi semua tahapan perjalanan dan rintangan-rintangan yang ada.
Ini semua adalah buah dari keyakinan.  Sesungguhnya hati, jika ia yakin akan kemuliaan yang dijanjikan Allah Ta’ala kepadanya, dan apa saja yang disiapkan Allah Ta’ala untuknya - dalam arti bahwa ia seolah-olah melihat kepadanya dari balik "dinding dunia" dan ia mengetahui bahwa jika dinding tersebut telah hilang maka ia bisa melihat yang dijanjikan dengan mata-kepalanya, maka hilanglah daripadanya ketakutan yang dirasakan oleh orang-orang yang “tertinggal” dan menjadi enteng baginya apa yang dianggap sulit oleh orang-orang yang bergaya hidup mewah.
Itulah tingkatan yakin yang pertama, yaitu terbukanya sesuatu bagi hati dalam arti, hati melihatnya dan tidak ragu-ragu terhadapnya seperti terlihatnya sesuatu oleh mata.
Kemudian diikuti tingkatan kedua, yaitu tingkatan 'ainul yaqin.  Penisbatan tingkatan ini kepada mata, sama halnya seperti penisbatan tingkatan pertama kepada hati.
Kemudian disusul dengan tingkatan ketiga, yaitu haqqul yaqin, adalah merasakan sesuatu dan menemukannya dalam keadaan sempurna.
Tingkatan pertama seperti pengetahuan anda, bahwa di lembah ini terdapat air, tingkatan kedua seperti melihatnya langsung, dan tingkatan ketiga seperti meminumnya (merasakannya).
Disebutkan dalam hadits Haritsah bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
“Bagaimana khabarmu pagi ini wahai Haritsah?”  Haritsah menjawab, “Pada pagi ini aku menjadi orang beriman yang sebenarnya.”  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap ucapan itu mempunyai bukti, apa bukti keimananmu?”  Haritsah menjawab, “Jiwaku lari dari dunia dan syahwat-syahwatnya, kemudian aku membuat tidak tidur malamku (qiyamul lail), dan membuat haus siangku (puasa).  Seolah-olah aku melihat Arasy Tuhanku dengan jelas, dan seolah-olah aku melihat penduduk Surga sedang saling berkunjung di dalamnya, dan penghuni Neraka saling meminta tolong.”  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Itu adalah hamba yang dijadikan Allah bersinar hatinya.”
Inilah serangan ilmu dengan pemiliknya terhadap hakikat segala-sesuatu.  Barang siapa berhasil sampai pada tingkatan seperti itu, ia menganggap enteng apa yang dipandang sulit oleh orang-orang yang bergaya hidup mewah, dan tenang terhadap apa-apa yang ditakutkan orang-orang bodoh.
Sebaliknya, barangsiapa yang batang keimanannya tidak kuat pada tingkatan tersebut, maka itu adalah keimanan yang lemah.  Bukti bagi orang pertama ialah keterbukaan hati kepada tingkatan-tingkatan iman, kedamaian hati terhadap perintah Allah, inabah (kembali) dzikir kepada Allah, cinta pada-Nya, berbahagia bertemu dengan-Nya, dan jauh dari negeri penuh tipuan (dunia).
Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa sesuatu yang bersama hati masuk kedalam hakikat iman, menganggap enteng apa yang dipandang sulit oleh orang lain, dan tidak takut terhadap apa saja yang ditakutkan orang lain, adalah ilmu dan cinta yang murni.
Cinta itu menginduk kepada ilmu.  Ia kuat jika ilmu juga kuat, dan lemah jika ilmu melemah.  Seorang pecinta biasanya tidak memandang sulit jalan yang mengantarkannya kepada kekasihnya dan tidak takut pada jalan tersebut.

107.   ANTARA ILMU DENGAN DAKWAH
Firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’  (Fushshilat; 33).
Al-Hasan berkata, “Dialah orang beriman yang merespon dakwah Allah, mengajak manusia kepada dakwah Allah yang ia respon, dan mengerjakan amal shalih dengan merespon dakwah-Nya.  Dialah kekasih Allah dan wali-Nya.”
Tingkatan dakwah kepada Allah adalah tingkatan tertinggi seorang hamba.  Allah Ta’ala berfirman,
“Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin-jin itu desak-mendesak mengerumuninya.”  (Al-Jin; 19).
Allah Ta’ala berfirman,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”  (An-Nahl; 125).
Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat tingkatan-tingkatan dakwah sesuai dengan tingkatan-tingkatan makhluk;
Orang yang merespon, menerima, dan orang cerdas yang tidak menentang dakwah, dan tidak cuek kepadanya, didakwahi dengan cara yang hikmah.
Orang yang menerima dakwah, namun mempunyai sedikit sifat lupa diri dan lamban, didakwahi dengan pelajaran yang baik.
Orang yang menentang dakwah, dan menolaknya didebat dengan cara yang paling baik.
Itulah penafsiran yang benar tentang ayat di atas.
Seseorang tidak menjadi pengikut sejati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hingga ia berdakwah kepada apa yang Beliau dakwahkan.
Jika dakwah kepada Allah Ta’ala adalah tingkatan hamba yang paling mulia, dan agung, maka tingkatan tersebut tidak bisa diperoleh kecuali dengan ilmu dimana ia berdakwah dengannya dan kepadanya.  Bahkan, merupakan kesempurnaan dakwah jika pelakunya telah berada di puncak ilmu.
Cukuplah dijadikan sebagai bukti kelebihan ilmu bahwa pemiliknya mendapatkan kedudukan di atas.  Allah Ta’ala memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

108.   BUAH ILMU IALAH KEYAKINAN
Cukuplah di antara manfaat ilmu, bahwa ia menghasilkan keyakinan yang notabene merupakan puncak kehidupan ruh, dan dengannya ruh mendapatkan ketenangan, kekuatan, aktivitas, dan seluruh tuntutan iman.  Oleh karena itu, dalam kitab-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji keyakinan dan orang-orang yang memiliki keyakinan.  Allah Ta’ala menyanjung mereka dengan firman-Nya (artinya),
“Dan mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat.”  (Al-Baqarah; 4).
Dan dengan firman-Nya,
“Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”  (Al-A’raf; 32).  Juga pada (Al-An’am; 75).
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecam orang-orang yang tidak mempunyai keyakinan, (An-Naml; 82).
Jika keyakinan telah merasuki hati, maka hati penuh dengan cahaya, membuang semua keragu-raguan padanya, menyembuhkannya dari penyakit-penyakit yang mematikan, dan sarat dengan syukur kepada Allah Ta’ala, ingat pada-Nya, cinta kepada-Nya, dan takut kepada-Nya.  Hati tersebut hidup dengan keterangan nyata.
Keyakinan dan cinta adalah tiang iman.  Di atas keduanya, dan dengan keduanya iman berdiri.  Keduanya membantu semua aktifitas hati dan badan.  Dari keduanyalah aktifitas terjadi.  Jika keduanya melemah, aktifitas juga melemah.  Jika keduanya kuat, aktifitas pun menguat.
Semua tingkatan para Sa'irin (pejalan ruhani) dan orang-orang yang kenal Allah Ta’ala hanya bisa dibuka dengan keyakinan dan cinta.  Keyakinan dan cinta membuahkan amal shalih, ilmu yang bermanfaat dan petunjuk yang lurus.
Al-Junaid berkata, “Keyakinan adalah stabilitas ilmu yang tidak berubah di dalam hati.”
Sahal berkata, “Haram bagi hati mencium aroma keyakinan, sedang didalamnya terdapat kedamaian dengan selain Allah.”
Ada yang mengatakan, “Di antara tanda-tanda keyakinan pada seseorang, bahwa dia menghadap Allah dalam semua kasus, kembali kepadanya dalam segala urusan, meminta pertolongan kepada-Nya dalam semua kondisi, dan menginginkan keridhaan-Nya dalam semua gerakan dan diamnya.”
Jadi, ilmu adalah tingkatan keyakinan yang pertama.
Ada yang mengatakan, “Ilmu itu mempekerjakanmu, dan keyakinan itu memikulmu. Keyakinan adalah karunia Allah yang paling berharga pada seorang hamba.  Keridhaan tidak tegak kecuali di atas tingkatan keyakinan.”
Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.  Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”  (At-Taghabun; 11).
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Dialah seorang hamba yang jika mendapatkan musibah, ia mengetahui bahwa musibah tersebut berasal dari sisi Allah kemudian ia ridha dan menyerahkan diri kepada-Nya.”
Oleh karena itu hati tidak mendapatkan petunjuk, keridhaan, dan penyerahan diri kecuali dengan keyakinan.

109.   ILMU ADALAH KEWAJIBAN SYAR’IYAH
Abu Ya’la Al-Maushili meriwayatkan dalam Musnad-nya hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang beriman.”  (HR. Abu Ya’la).
Itulah, kendati dalam sanadnya terdapat Hafs bin Sulaiman yang dianggap lemah oleh para pakar hadits, makna hadits dapat dibenarkan.  Sesungguhnya keimanan adalah kewajiban bagi setiap orang.  Iman adalah hakikat yang tersusun dari ilmu dan amal perbuatan.  Iman tidak sah tanpa ilmu dan amal perbuatan.
Syariat Islam juga kewajiban bagi setiap muslim.  Syariat tidak mungkin dilaksanakan kecuali setelah adanya pengetahuan dan ilmu terhadapnya.  Allah Ta’ala mengeluarkan manusia dari perut ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa.  Jadi, mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang yang muslim.
Ibadah kepada Allah Ta’ala yang notabene merupakan hak Allah atas hamba-hamba-Nya tidak mungkin terealisir tanpa ilmu!
Ilmu mustahil didapat kecuali dengan mencarinya!
Ilmu yang wajib dipelajari itu ada 2 (dua) macam;
Pertama Fardhu Ain, dimana seorang muslim tidak mempunyai alasan untuk tidak mengetahuinya.  Ilmu jenis ini terbagi ke dalam beberapa bagian;
Kesatu, ilmu (pengetahuan) tentang prinsip-prinsip keimanan, yaitu iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan Hari Akhirat.  Barangsiapa tidak beriman kepada kelima prinsip ini, ia tidak masuk dalam bab iman dan tidak berhak menyandang gelar orang mukmin.  Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi.  (Al-Baqarah; 177).
Allah Ta’ala berfirman,
Barang siapa kafir kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan Hari Kemudian.”  Jibril berkata, “Engkau benar.”  (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Jadi beriman kepada kelima prinsip di atas adalah bagian dari pengetahuan terhadapnya.
Kedua, ilmu (pengetahuan) tentang syariat-syariat Islam, terutama ilmu (pengetahuan) tentang hal-hal yang harus dikerjakan seorang hamba, seperti ilmu (pengetahuan) tentang wudhu, shalat, puasa, haji dan zakat; syarat-syaratnya dan pembatal-pembatalnya.
Ketiga, ilmu (pengetahuan) tentang lima hal-hal yang diharamkan yang disepakati para Rasul, syariat-syariat, dan kitab-kitab Ilahi yang disebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui. (Al-‘Araf; 33).
Hal-hal di atas diharamkan pada setiap orang dalam semua kondisi melalui lisan para Rasul dan tidak boleh dikerjakan apapun alasannya.  Oleh karena itu, ayat di atas menggunakan kata innama (sesungguhnya) yang mempunyai fungsi pembatasan.  Hal-hal lain diharamkan pada suatu waktu dan diperbolehkan pada waktu yang lain seperti memakan bangkai, darah, daging babi, dan lain sebagainya.  Hal-hal seperti itu tidak diharamkan secara mutlak dan terus menerus.
Keempat, ilmu (pengetahuan) tentang hukum-hukum mu'amalah yang terjadi antara seseorang manusia dengan manusia lainnya.  Kewajiban dalam bagian ini berbeda sesuai dengan perbedaan manusia dan kedudukan mereka.  Kewajiban seorang pemimpin terhadap rakyatnya berbeda dengan kewajiban seseorang terhadap keluarganya dan tetangganya.  Kewajiban mengetahui hukum-hukum bisnis bagi orang yang berkecimpung di dunia bisnis tidak sama dengan kewajiban mempelajarinya bagi orang yang tidak bergerak dalam aktifitas jual-beli.
Detail permasalahan ini tidak bisa distandarkan karena perbedaan manusia dalam sebab-sebab ilmu yang wajib dimiliki.
Hal tersebut kembali kepada tiga prinsip; keyakinan, pengamalan, dan meninggalkan.
Yang wajib dalam keyakinan ialah kesesuaian keyakinan dengan kebenaran dalam dirinya.
Yang wajib dalam pengamalan adalah mengetahui kesesuaian gerakan luar dan bathin yang dilakukan dengan sukarela dengan syariat; perintah atau diperbolehkan.
Yang wajib dalam meninggalkan ialah mengetahui kesesuaian meninggalkan tersebut dengan kecintaan dan keridhaan Allah Ta’ala.
Termasuk dalam cakupan bagian ini ialah ilmu (pengetahuan) tentang gerak-gerik hati dan badan.
Adapun fardhu kifayah, sepengetahuan saya tidak ada batasan yang benar di dalamnya, sebab setiap orang masuk ke dalamnya jika ia melihat sebagai hal yang fardhu.  Sebagian manusia memasukkan dalam bagian ini ilmu kedokteran, ilmu matematika, ilmu tehnik, dan ilmu tentang jarak.
Sebagian orang memasukkan di dalamnya ilmu tentang prinsip-prinsip dasar industry seperti ilmu pertanian, ilmu pertenunan, ilmu tentang perbesian, ilmu tentang penjahitan (modiste), dan lain sebagainya.  Sebagian yang lain menambahkan di dalamnya ilmu tentang mantiq (logika) dan bisa jadi menganggapnya sebagai fardhu 'ain.
Semua itu adalah pikiran gila dan tidak waras, sebab tidak ada kewajiban kecuali yang telah diwajibkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Adapun ilmu mantiq (logika), jika ia adalah ilmu yang benar, ia bisa menjadi seperti ilmu tentang jarak, tehnik dan lain sebagainya.  Namun,  bagaimana pun kebathilan ilmu mantiq itu jauh lebih banyak daripada kebenarannya!  Kerusakan ilmu mantiq, dan kontroversi prinsip-prinsipnya mengharuskan seseorang memperhatikannya agar jangan sampai menyesatkan pemikirannya.
Inilah Imam Syafi’i, Imam Ahmad, seluruh imam Islam beserta buku-buku karangan mereka, Imam-imam bahasa Arab dan buku-buku karangan mereka, Imam-imam tafsir dan buku-buku karangan mereka bagi orang yang mengkajinya, apakah mereka semua memuat pembahasan ilmu mantiq di dalamnya?  Apakah ilmu mereka benar tanpa ilmu mantiq atau dengan ilmu mantiq?  Sesungguhnya mereka amat mulia dan lebih agung akalnya daripada menyibukkan akal mereka dengan igauan orang-orang mantiqi.
Tidaklah mantiq masuk kedalam ilmu kecuali ia merusaknya, merubah keadaannya, dan memanipulasi kaidah-kaidahnya.
Inilah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau mengetahui bobot ilmu dan orang yang berilmu.  Shalawat dan Sallam untuk Beliau.

110.   ILMU ITU MEMBUKA HAKIKAT
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia agar mereka beribadah kepada-Nya yang mencakup cinta kepada-Nya, mengutamakan keridhaan-Nya.  Allah Ta’ala memberikan ilmu kepada seorang hamba dan ia tidak mendapatkan kesempurnaan tanpa itu.  Ilmu tersebut ialah hendaknya gerak-gerik mereka seluruhnya sesuai dengan keridhaan-Nya, dan cinta-Nya.  Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus Rasul-rasul-Nya, menurunkan Kitab-kitab-Nya, dan membuat syariat-syariat-Nya.
Jadi kesempurnaan seorang hamba hendaknya seluruh gerak-geriknya selaras dengan apa yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala.  Allah Ta’ala menjadikan mengikuti Rasul sebagai bukti cinta kepada-Nya.  Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’  Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (Ali Imran;31).
Seorang pecinta sejati telah berkhianat kepada kekasihnya, jika ia melakukan tindakan sukarela yang tidak sesuai dengan keridhaan kekasihnya.  Jika ia mengerjakan suatu tindakan yang diperbolehkan baginya karena tuntutan wataknya dan syahwatnya, ia bertaubat daripadanya sebagaimana ia bertaubat dari dosa.
Hal ini menguat di dalam hatinya hingga akhirnya hal-hal yang diperbolehkan baginya menjadi ketaatan-ketaatan, kemudian ia mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dalam tidurnya, makannya dan istirahatnya sebagaimana ia mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dalam qiyamul lail-nya, puasanya, dan ijtihaj-nya.  Jika ia mendapatkan kesenangan, ia selalu bersyukur kepada Allah Ta’ala dan jika mendapat musibah ia bersabar.  Ia selalu berjalan menuju Allah Ta’ala dalam tidur dan bangunnya.
Salah seorang ulama berkata, “Orang-orang cerdas, kebiasaan mereka adalah ibadah, dan orang-orang bodoh ibadah-ibadah mereka adalah kebiasaan-kebiasaan.”
Seorang pecinta sejati, jika ia berbicara, ia berbicara karena Allah Ta’ala dan dengan-Nya.  Jika ia diam, ia diam karena Allah Ta’ala.  Jika ia bergerak maka sesuai dengan perintah Allah Ta’ala.  Jika ia tenang tidak bergerak, ketenangannya adalah karena meminta pertolongan kepada keridhaan Allah Ta’ala.  Ia selalu karena Allah Ta’ala, dengan-Nya, dan bersama-Nya.
Sebagaimana diketahui, bahwa orang yang mencapai tingkatan diatas adalah makhluk Allah Ta’ala yang paling membutuhkan ilmu.  Ia tidak bisa membedakan gerakan yang dicintai Allah Ta’ala dengan gerakan yang lain, dan diam yang dicintai Allah Ta’ala dengan diam yang lain kecuali dengan ilmu.  Kebutuhannya kepada ilmu tidak sama dengan orang yang mencari ilmu karena dirinya sendiri, karena di dalam dirinya terdapat sifat kesempurnaan.  Bahkan kebutuhannya kepada ilmu ialah seperti kebutuhannya pada apa yang menguatkan dirinya dan jiwanya.  Oleh karena itu para 'ulama terdahulu mewasiatkan dengan sangat kepada murid-muridnya agar mereka peduli kepada ilmu dan mencarinya,  bahwa barang siapa tidak mencari ilmu ia tidak beruntung, bahkan mereka mengkategorikan orang hina bagi orang yang tidak mempunyai ilmu.
Dzun Nun pernah ditanya, “Siapakah orang-orang hina itu?”  Dzun Nun berkata, “Orang-orang hina adalah orang yang tidak mengetahui jalan kepada Allah, dan tidak pula berusaha mengetahuinya.”
Abu Hamzah Al-Bazzaz berkata, “Barang siapa mengetahui jalan kebenaran, ia mudah melewatinya, dan tidak ada petunjuk jalan baginya kecuali mengikuti Rasul dalam ucapan Beliau, tindakan Beliau, dan keadaan Beliau.”

111.   ULAMA ADALAH PELINDUNG SYARIAT
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan para 'ulama sebagai wakil-wakil-Nya dan pelindung-pelindung agama-Nya dan wahyu-Nya.  Allah Ta’ala meridhai mereka untuk menjaga agama-Nya, menegakkan-Nya, dan mempertahankan-Nya.  Itulah kedudukan yang tinggi dan mulia, (Al-An’am; 88-89).
Tidak diragukan lagi, bahwa tugas tersebut terletak di pundak para Nabi dan orang-orang yang beriman kepada mereka.  Manusia yang paling layak masuk dalam cakupan ayat di atas ialah pengikut Rasul, dan khalifah-khalifahnya di ummatnya.  Merekalah yang mendapat tugas dakwah.  Jadi penafsiran ini mencakup semua penafsiran tentang ayat di atas.

112.   PARA ULAMA ADALAH ORANG-ORANG YANG ADIL DALAM UMMAT INI
Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari jalur yang banyak bahwa Beliau bersabda (artinya),
“Ilmu ini dalam setiap generasi dihusung oleh orang-orang yang adil.  Mereka membuang daripadanya distorsi (perusakan) orang-orang yang radikal (berlebih-lebihan), plagiasi (jiplakan) para pendusta, dan takwil orang-orang bodoh.”
Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'AlaIhi wa Sallam menjelaskan, bahwa ilmu yang Beliau bawa kelak akan dipanggul oleh orang-orang yang adil dari ummat ini pada setiap generasi, hingga ilmu tersebut tidak hilang dan musnah.
Hadits diatas sekaligus pengakuan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam akan keadilan para pembawa ilmu yang Beliau bawa.
Jadi, semua orang yang membawa ilmu Beliau harus orang yang adil.  Oleh karena itu, keadilan para pentransver ilmu Beliau dan para pembawa ilmu Beliau telah dikenal dikalangan ummat sampai pada tingkatan, dimana tidak ada keragu-raguan di dalamnya.
Tidak diragukan lagi, bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah memfonis adil seseorang, maka tidak ada yang akan mencacatkannya.  Para imam yang dikenal ummat mentransver ilmu nabawi dan warisannya semuanya adalah orang-orang yang adil karena pengakuan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Oleh karena itu , tidak dibenarkan kecaman sebagian manusia terhadap sebagian dari mereka.  Ini berbeda dengan tokoh-tokoh yang dikenal “tidak bersih” seperti tokoh-tokoh bid’ah dan orang-orang seperti mereka, mereka tidak termasuk pembawa ilmu menurut ummat.
Yang dinamakan orang adil yaitu orang yang bisa dipercaya dalam agama ini, kendati ia mempunyai dosa yang ia bertaubat kepada Allah daripadanya.  Sesungguhnya dosa tidak bertentangan dengan keadilannya, atau keimanannya, dan perwaliannya.

113.   KEBERADAAN ILMU ADALAH KEBERADAAN AGAMA DAN DUNIA
Sesungguhnya keberadaan agama dan dunia terletak pada keberadaan ilmu, dan dengan hilangnya ilmu, hilang pula agama dan dunia.  Tegaknya agama dan dunia adalah dengan ilmu.
Al-Auza’i berkata, bahwa Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Berpegang teguh kepada sunnah adalah keselamatan.  Ilmu itu dicabut cepat sekali.  Tegaknya ilmu adalah kokohnya agama dan dunia, dan hilangnya ilmu adalah hilangnya apa saja yang ada di dunia ini.”

114.   ILMU ITU MENGANGKAT PEMILIKNYA
Sesungguhnya ilmu mengangkat pemiliknya di dunia dan akhirat.  Hal ini tidak mampu dikerjakan kekuasaan, atau kekayaan dan lain sebagainya.  Ilmu itu menambah kemuliaan orang mulia dan mengangkat budak hingga ia didudukkan di kursi para raja, seperti disebutkan dalam Shahih Muslim hadits dari Az-Zuhri dari Abu At-Thufail bahwa Nafi’ bin Abdul Harits datang kepada Umar bin Khaththab di Asfan – Ketika itu Umar bin Khaththab mengangkatnya sebagai walikota Mekkah.  Umar berkata kepadanya, “Siapa yang engkau tunjuk sebagai wakilmu di penduduk lembah tersebut?”  Nafi’ berkata, “Aku mengangkat Ibnu Abzi untuk memimpin mereka.”  Umar berkata, “Siapa Ibnu Abzi?”  Nafi’ berkata, “Ia adalah salah seorang dari mantan budak kami.”  Umar bertanya, “Engkau mengangkat salah seorang mantan budak untuk memimpin mereka?”  Nafi’ berkata, “Ia penghapal Al-Qur’an dan ahli tentang ilmu Faraid (tata-cara pembagian warisan, pen).”  Umar berkata, “Sesungguhnya Nabi kalian Shalallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah dengan kitab ini mengangkat banyak kaum, dan merendahkan kaum-kaum yang lain dengannya pula.’
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Barang siapa menginginkan dunia dan akhirat, hendaklah ia mencari ilmu.”
Sufyan bin Uyainah berkata, “Manusia yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah ialah orang yang menjadi perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya.  Mereka adalah para Nabi dan para Ulama.”

115.   ILMU ITU MEMBUAT ISTIMEWA PEMILIKNYA
Abu Muawiyah berkata, bahwa aku mendengar Al-A’masi berkata, “Barang siapa tidak mencari hadits , aku ingin menamparnya dengan sandalku.”
Adalah Sufyan Ats-Tsauri jika ia melihat seorang syaikh tidak menulis hadits, maka ia berkata, “Semoga Allah tidak membalasmu dengan kebaikan.”
Inilah, sesungguhnya manusia itu berbeda dengan semua binatang yang ada dengan ilmu, akal dan pemahaman yang diberikan secara khusus padanya.  Jika ia tidak mempunyai ilmu, akal dan pemahaman, maka yang tersisa padanya adalah kesamaan antara dirinya dengan seluruh binatang yaitu sifat kebinatangan.  Terhadap orang seperti itu, manusia tidak malu kepadanya, dan tidak berhenti dari kejahatannya kendati orang tersebut ada di tengah-tengah mereka dan melihat mereka.

116.   ILMU ITU KEKAYAAN
Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata, “Aku sedang berada di rumah Ahmad bin Abu Imran, kemudian salah seorang yang kaya melewati kami.  Aku memperhatikannya dan sibuk dengannya hingga aku lupa belajarku.  Ahmad bin Abu Imran berkata, “Sepertinya engkau memperhatikan dunia yang diberikan kepada orang tersebut?”  Aku menjawab, “Ya betul.”  Ahmad bin Abu Imran berkata, “Apakah engkau mau kalau Allah memberikan kekayaan yang dimiliki orang tersebut kepadamu dan memberikan ilmu yang engkau miliki kepada orang tersebut kemudian engkau hidup sebagai orang kaya namun bodoh sedang orang tersebut hidup sebagai orang berilmu tapi miskin?”  Aku berkata, “Aku tidak ingin Allah memberikan ilmu yang ada padaku kepada orang tersebut, sebab ilmu adalah kekayaan tanpa harta, kejayaan tanpa keluarga, dan kekuasaan tanpa pasukan.”
Salah seorang penyair berkata,
Ilmu adalah kekayaan dan simpanan yang tidak pernah habis
Ilmu adalah sebaik-baik kawan jika tidak ada kawan yang menemani
Bisa jadi seseorang mampu mengumpulkan harta kemudian ia diharamkan daripadanya hingga ia mendapatkan kehinaan
Sedang pengumpul ilmu, ia berbahagia dengannya selama-lamanya
Ia tidak khawatir ilmunya hilang atau tercabut
Wahai pengumpul ilmu, sebaik-baik kekayaan adalah apa yang engkau kumpulkan
Engkau jangan menyamakannya dengan mutiara atau emas

117.   ILMU TERMASUK BALASAN YANG PALING BAIK
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa Dia memberi pahala kepada orang-orang yang berbuat baik lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.  Firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.  Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka.  Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik.”  (Az-Zumar; 33-35).
Balasan di atas mencakup balasan di dunia dan akhirat.
Allah Suhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan, bahwa Dia membalas kebaikan dengan ilmu Ini menunjukkan, bahwa ilmu termasuk balasan yang paling baik.  Ini terlihat pada firman Allah Ta’ala,
“Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu.  Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”  (Yusuf; 22).
Al-Hasan berkata, “Barang siapa berbuat baik kepada hamba-hamba Allah pada usia mudanya, maka Allah memberinya hikmah pada usia tuanya.” Berdasarkan ayat di atas.
Salah seorang ulama berkata, “Hikmah berkata, ‘Barangsiapa mencariku dan tidak menemukanku, hendaklah ia mengerjakan sesuatu yang ia ketahui paling baik, dan hendaklah ia meninggalkan sesuatu yang ia ketahui paling buruk.  Jika ia melakukan hal tersebut, aku bersamanya, kendati ia tidak mengenalku.’”

118.   ILMU ADALAH KEHIDUPAN HATI
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’la menjadikan ilmu bagi hati tak ubahnya seperti hujan bagi bumi.  Sebagaimana bumi tidak mendapatkan kehidupan tanpa hujan, maka tidak ada kehidupan di hati tanpa ilmu.
Disebutkan dalam Al-Muwatta’ bahwa Luqman berkata kepada anak-anaknya, “Anakku, duduklah kepada para ulama, dan mendekatlah kepada mereka dengan kedua lututmu, karena Allah Ta’ala menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana air hujan menghidupkan bumi.”
Bumi membutuhkan air hujan hanya dalam beberapa waktu.  Jika hujan turun terus-menerus, maka bumi menginginkannya reda.  Adapun ilmu, ia dibutuhkan hati sebanyak jumlah nafas, dan ilmu yang banyak justru menambah kebaikan hati dan manfaatnya.

119.   ILMU DAN PERTANYAAN
Sesungguhnya kebanyakan akhlak-akhlak yang tidak baik pada seseorang itu sangat baik dipakai untuk mencari ilmu seperti mengambil muka, tidak malu, tidak merasa hina, dan mondar-mandir menemui para ulama.
Ibnu Ishaq berkata, “Ali berkata, ‘Beberapa kalimat, jika kalian berjalan dengan kudanya kepada kalimat-kalimat tersebut, pasti kalian menghabiskannya sebelum kalian mendapatkan yang semisal dengannya;  Janganlah sekali-kali seorang hamba berharap kecuali kepada Tuhannya, janganlah sekali-kali ia takut kecuali kepada dosanya, janganlah orang yang tidak tahu merasa malu untuk belajar, jika ia ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya maka ia jangan malu untuk mengatakan, ‘saya tidak tahu.’  Ketahuilah, bahwa kedudukan sabar terhadap iman adalah seperti kedudukan kepala terhadap badan.  Jika kepala hilang, hilang pula badan.  Jika sabar hilang, hilang pula iman.”
Salah seorang ulama berkata, “Orang yang malu dan sombong tidak akan pernah mendapatkan ilmu.  Orang yang pertama dihalangi rasa malunya untuk belajar, dan orang kedua dihalangi kesombongannya untuk belajar.”
Al-Hasan berkata, “Barangsiapa bersembunyi dari mencari ilmu karena malu, maka ia mengenakan baju kurung kebodohan.  Oleh karena itu, potonglah baju kurung kebodohan, karena sesungguhnya barangsiapa tipis mukanya, tipis pula ilmunya.”
Al-Khalil berkata, “Kedudukan kebodohan itu diantara malu dan kesombongan.”
Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Takut itu menyebabkan kegagalan, dan malu itu menyebabkan orang diharamkan mendapatkan banyak hal (termasuk ilmu).”
Ibrahim berkata kepada Mansur, “Bertanyalah seperti pertanyaan orang bodoh, dan hapalkan seperti hapalan orang yang cerdas.  Meminta-minta kepada manusia adalah aib dan ketidak sempurnaan pada seseorang, serta kehinaan yang bertentangan dengan kejantanan kecuali dalam ilmu.  Sesungguhnya meminta-minta ilmu adalah inti kesempurnaan seseorang, kejantanannya, dan kebesarannya, seperti dikatakan salah seorang yang berilmu, ‘Sifat yang terbaik pada seseorang ialah bertanya tentang ilmu.’”
An- Nassabah Al-Bakri berkata, “Sesungguhnya ilmu itu mempunyai penyakit, kesulitan, dan cacat.  Penyakit ilmu ialah lupa padanya, kesulitannya ialah berbohong di dalamnya, dan aibnya ialah menyebarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya.”
Ilmu itu mempunyai enam tahapan;
Pertama, bertanya dengan baik
Kedua, diam dengan baik
Ketiga, memahami dengan baik
Keempat, menghapal
Kelima, belajar
Keenam, yang merupakan buahnya yaitu mengamalkannya dan memperhatikan batasan-batasannya.         
 Di antara manusia ada orang yang diharamkan dari mendapatkan ilmu karena tidak bisa bertanya dengan baik.
Di antara manusia ada orang yang diharamkan mendapatkan ilmu karena tidak bisa diam dengan baik.
Salah seorang salaf berkata, “Jika engkau duduk kepada orang berilmu, hendaklah mendengar itu lebih engkau sukai daripada berkata.”
Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya.”  (Qaaf; 37).
Cobalah renungkan khazanah ilmu yang terkandung dalam ungkapan ayat di atas, bagaimana ayat di atas membuka pintu-pintu ilmu dan petunjuk kepada seorang hamba, dan bagaimana ayat tersebut menutup ilmu dari seseorang karena ia (ilmu) disia-siakan dan tidak diperhatikan dengan baik!   Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengungkap ayat-ayat-Nya yang dibaca, dilihat, dan disaksikan tidak lain sebagai peringatan bagi orang yang mempunyai hati.  Orang yang tidak mempunyai hati dan pemahaman tentang Allah, maka ayat apa pun yang lewat padanya tidak bermanfaat baginya, kendati semua ayat lewat padanya!
Perjalanan ayat-ayat padanya tak ubahnya seperti terbitnya matahari, bulan, dan bintang-bintang kepada orang yang tidak mempunyai mata.  Jika ia mempunyai hati, maka ia seperti orang yang mempunyai mata yang bisa melihat semua ayat yang lewat padanya.  Namun orang yang mempunyai hati itu tidak bisa menggunakan hatinya kecuali dengan dua cara;
Pertama; ia menghadirkan hatinya terhadap apa yang diberikan kepadanya.  Jika hati tidak ada di sisinya, dan melang-lang buana ke impian-impian kosong, syahwat dan ilusi, maka ia tidak akan mendapatkan manfaat dari hatinya.  Jika ia menghadirkan hatinya, ia juga tidak mendapatkan manfaat darinya kecuali dengan cara ia menggunakan pendengarannya dan mendengarkan dengan serius apa saja yang dinasihatkan padanya.
Di sini ada tiga permasalahan;
a. Kesehatan hati dan penerimaannya.
b. Menghadirkan hati, menyatukannya, dan mencegahnya kabur dan berselisih.
c. Menggunakan pendengaran dan menerima peringatan.
Ketiga hal tersebut disebutkan Allah Ta’ala pada ayat di atas.
Ibnu Athiyah berkata, “Hati di sini ialah kata lain untuk akal, sebab hati adalah tempat akal.  Jadi makna ayat di atas adalah bagi orang yang mempunyai hati, yang sadar, yang bermanfaat baginya.”
Kata Ibnu Athiyah lagi, bahwa Asy-Syibli berkata, “Yaitu hati yang hadir bersama Allah dan tidak lupa pada-Nya sekejap mata pun.”
Firman Allah Ta’ala, “Yang menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya.” Maksudnya, orang yang mengarahkan pendengarannya kepada berita dan pelajaran, dan mengokohkannya untuk mendengarnya.   Itulah arti penggunaan pendengaran telinga terhadap pelajaran.
Firman Allah Ta’ala, “Sedang ia menyaksikannya.”  Sebagian para pentakwil berkata, makna ayat tersebut ialah bahwa ia melihat, dan datang kepadanya, tidak berpaling daripadanya, dan tidak memikirkan selain yang ia dengar.
Qatadah berkata, “Az-Zajjaj berkata, makna firman Allah Ta’ala, “Bagi orang-orang yang mempunyai hati.”  Ialah orang yang mengarahkan hatinya untuk belajar.  Tidakkah engkau lihat Allah Ta’ala berfirman, “Mereka tuli, bisu dan buta.”  Bahwa mereka tidak mendengar seperti pendengaran orang yang ingin paham dan ingin tahu kemudian mereka diposisikan seperti orang yang tidak mendengar, seperti dikatakan salah seorang penyair,
Aku tuli terhadap apa yang dikehendaki orang yang mendengar.
Makna firman Allah Ta’ala, “Atau yang menggunakan pendengarannya.”  Bahwa ia mendengar dan hatinya tidak sibuk dengan selain yang ia dengar.  Firman Allah Ta’ala, “Sedang ia menyaksikannya.”  Maknanya, hatinya hadir terhadap apa yang didengarnya.
Selain itu ayat di atas memuat pengelompokan manusia ke dalam dua kelompok; 
Pertama; Orang yang mempunyai hati.
Kedua; Orang yang menggunakan pendengarannya dan hadir dengan hatinya.
Inilah, wallahu a’lam rahasia penggunaan kata au (atau) dan bukannya kata waw (dan), karena orang yang bisa mengambil manfaat dari dari ayat-ayat itu ada dua jenis;
a.       a. Orang yang mempunyai hati yang sadar, dan bersih yang mendapatkan petunjuk dengan sedikit peringatan dan ia tidak usah menghadirkan hatinya, karena hatinya sadar, dan bersih, siap menerima petunjuk, dan tidak berpaling daripadanya.  Orang seperti ini hanya membutuhkan tibanya petunjuk kepadanya karena kesempurnaan kesiapannya dan kesehatan fitrahnya.  Jika petunjuk datang padanya, hatinya segera menerimanya seolah-olah petunjuk telah tertanam dalam hatinya.  Ia telah mendapatkan petunjuk secara global kemudian petunjuk datang padanya secara detail karena hatinya bersaksi atas kebenarannya secara global.
Itulah kondisi manusia yang paling sempurna responnya terhadap dakwah para Rasul, dan keadaan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu 'Anhu.
b.      b. Orang yang tidak mempunyai kesiapan dan penerimaan.  Jika petunjuk datang padanya, ia memperhatikannya dengan telinganya, menghadirkan hatinya, menyatukan pikirannya kepadanya, dan mengetahui kebenarannya dan keindahannya dengan nalarnya.  Inilah gaya sebagian besar orang-orang yang merespon dakwah.
Sedang para penentang kebenaran, mereka terbagi kedalam dua kelompok;
Satu kelompok yang didakwahi dengan debat dengan cara yang lebih baik jika mereka mau menerima kebenaran.  Jika tidak, mereka diperangi.
Barang siapa mengkaji dakwah Al-Qur’an, ia mendapatinya merangkum semua kelompok di atas seperti firman Allah Ta’ala,
“Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”  (An-Nahl; 125).
Kelompok pertama didakwahi dengan dialog.
Sedang para penentang, merekalah yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk diperangi agar tidak terjadi fitnah dan agama menjadi milik Allah Ta’ala seluruhnya.
Maksud dari ini ialah menjelaskan, bahwa ilmu tidak didapatkan karena keenam hal berikut;
Pertama; Tidak mau  bertanya.
Kedua; Tidak diam dan tidak menggunakan pendengaran.
Ketiga; Salah paham      
Keempat; Tidak mau menghapal
Kelima; Tidak menyebarkannya dan tidak mempelajarinya.  Barang siapa menyimpan ilmunya, tidak menyebarkannya, dan tidak mempelajarinya, maka Allah Ta’ala mengujinya dengan membuatnya lupa, dan hilang daripadanya sebagai balasan perbuatannya.  Fakta ini disaksikan indera manusia dan alam semesta.
Keenam; Tidak mengamalkannya.  Mengamalkan ilmu itu membuat orang ingat pada ilmu, mengkajinya, memperhatikannya, dan memikirkannya.  Jika tidak mengamalkannya, ia lupa padanya.
                Salah seorang dari generasi salaf berkata, “Kita menghapal ilmu dengan cara mengamalkannya.”
                Salah seorang dari generasi salaf yang lain berkata, “Ilmu itu memanggil dengan amal perbuatan.  Jika seseorang menyambut panggilannya, ilmu pun bertempat tinggal padanya.  Jika tidak, ia pun pergi.”
                Jadi pengamalan ilmu adalah unsur terbesar yang membantu penghapalan ilmu, dan tidak mengamalkan membuat ilmu hilang.
Ilmu tidak bisa dialirkan dan diambil kecuali dengan amal perbuatan.
Allah Ta’ala berfirman,
               “Hai orang-orang yang beriman (kepada para Rasul), bertakwalah kepada Allah, dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada kalian dua bagian, dan menjadikan untuk kalian cahaya yang dengan cahaya itu kalian dapat berjalan. (Al-Hadid; 28).

120.   ORANG BERILMU TIDAK SAMA DENGAN ORANG LAIN
                 Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menolak menyamakan orang berilmu dengan orang tidak berilmu, sebagaimana Allah Ta’ala menolak menyamakan keburukan dengan kebaikan, orang buta dengan orang melihat, cahaya dengan kegelapan, naungan dengan hawa panas, penghuni Surga dengan penghuni Neraka, orang bisu yang tidak bisa berbuat apa-apa dengan orang yang memerintah dengan adil dan berada di atas jalan yang lurus, orang-orang beriman dengan orang-orang kafir, orang beriman dan beramal shalih dengan orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, dan orang-orang bertakwa dengan orang-orang berdosa.
                Pada kesepuluh tempat di atas Allah Suhanahu wa Ta’ala menolak menyamakan antara mereka.  Ini menunjukkan, bahwa kedudukan orang berilmu terhadap orang bodoh adalah seperti kedudukan cahaya terhadap kegelapan, naungan terhadap hawa panas, dan kebaikan terhadap keburukan.
                Ini sudah cukup untuk menjelaskan kelebihan ilmu.  Bahkan, jika anda mengkaji seluruh kelompok di atas, Anda dapati bahwa penolakan penyamaan antara mereka itu disebabkan ilmu.  Dengan ilmu, kelebihan satu kelompok itu terjadi, dan penyamaan menjadi tertolak.

                121.   ILMU ADALAH JALAN KESELAMATAN
                Ketika Nabi Sulaiman 'Alaihissalam mengancam akan menyiksa Hud-hud dengan siksa yang pedih atau menyembelihnya, Hud-hud selamat dengan ilmu yang dimilikinya.  Hud-hud datang menghadap Nabi Sulaiman 'Alaihissalam dengan mengatakan, “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya.”  (An-Naml; 22).  Hud-hud berani lantang berkata seperti itu karena ia mempunyai ilmu.  Tanpa kekuasaan ilmu, Hud-hud yang lemah tidak mungkin mampu berkata seperti itu kepada Nabi Sulaiman yang terkenal kuat.
               
                122.   ILMU ADALAH KEMULIAAN BAGI PEMILIKNYA
                Barang siapa mendapatkan kemulian dunia dan akhirat, ia mendapatkannya dengan ilmu.
                Cobalah renungkan kelebihan yang dicapai Adam atas para Malaikat, dan pengakuan mereka akan pengajaran nama-nama segala sesuatu oleh Allah Ta’ala, dan musibah yang terjadi padanya dan balasan dari tempat tinggal Surga dengan apa yang lebih baik yaitu pengetahuan tentang firman-firman yang ia terima dari Tuhannya.
                Begitu juga apa yang dicapai Yusuf berupa kedudukan yang tinggi di atas permukaan bumi, kebesaran, dan keagungan karena ilmunya terhadap tabir mimpi, kemudian ilmunya tentang cara ia mendapatkan saudaranya (Bunyamin) dari saudara-saudaranya yang lain yang membuat mereka mengakui kesalahannya hingga urusannya berjalan seperti yang diharapkannya yaitu kebesaran, hasil akhir yang terpuji, dan kesempurnaan keadaan yang ia capai dengan ilmu sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan firman-Nya,
                “Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf.  Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya.  Kami tinggikan derajat orang-orang yang Kami kehendaki, dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.”  (Yusuf; 76).
                Disebutkan dalam satu penafsiran, bahwa Kami (Allah) mengangkat beberapa derajat siapa saja yang kami kehendaki karena ilmunya, sebagaimana Kami mengangkat derajat Yusuf atas saudara-saudaranya karena ilmunya.
                Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Ibrahim 'Alaihissalam (yang artinya),
                “Dan itulah hujjah Kami yang kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya, Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat.”  (Al-An’am; 83).
                Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam mendapatkan ketinggian dengan ilmu hujjah dan Nabi Yusuf 'Alaihissalam mendapatkan ketinggian dengan ilmu politik.
                Begitu juga apa yang didapatkan Khidhr yang mendapatkan murid semisal Nabi Musa 'Alaihis Salam dan bertanya kepadanya dengan ramah,
                “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”  (Al-Kahfi; 66).
                Demikian pula ilmu bahasa burung yang diperoleh Nabi Sulaiman 'Alaihissalam hingga ia mampu menguasai kerajaan Saba’, dan masuknya kerajaan Saba’ kedalam wilayah kekuasaannya.  Oleh karenanya Nabi Sulaiman 'Alaihissalam berkata,
                “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata, ‘Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu.  Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata.” (An-Naml; 16).
                Demikian juga , apa yang diperoleh Nabi Daud 'Alaihissalam berupa ilmu menenun baju besi untuk melindungi diri dari senjata musuh.
                Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan nikmat-nikmat ilmu di atas kepada hamba-hamba-Nya.  Allah Ta’ala berfirman,
                “Dan telah kami ajarkan kepada Daud untuk membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kalian dalam peperangan kalian, maka apakah kalian bersyukur?”  (Al-Ambiya; 80).
                Demikian juga apa yang didapatkan Nabi Isa 'Alaihissalam berupa ilmu tentang Al-Kitab, Al-Hikmah, dan Injil yang dengannya Allah Ta’ala mengangkatnya kepada-Nya, melebihkannya dan memuliakannya.
                Begitu juga ilmu yang diterima tokoh keturunan Adam 'Alaihissalam dimana ilmu tersebut disebut Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai nikmat dari-Nya.  Allah Ta’ala berfirman,
                “Dan Allah telah menurunkan Kitab dan Hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.  Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.”  (An-Nisa; 113).

                123.   ILMU ADALAH JALAN MENUJU KESEMPURNAAN
                Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Ibrahim 'Alaihissalam dalam firman-Nya,
                “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang ummat yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif.  Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya.”  (An-Nahl; 120-121).
                Keempat pujian itulah yang diberikan Allah Ta’ala kepada Nabi Ibrahim 'Alaihissalam.  Allah Ta’ala mengawali pujian dengan mengatakan bahwa Nabi Ibrahim Alaihis Salam adalah ummat dan ummat adalah sosok yang diikuti.  Ibnu Mas’ud berkata, “Imam ialah pengajar kebaikan.”
                Ada perbedaan antara ummat dengan imam;
                Pertama; imam ialah setiap orang yang diikuti baik ia menginginkannya atau tidak. Dari sini kata thariq dinamakan imam, seperti terlihat dalam firman Allah Ta’ala,
                “Dan sesungguhnya adalah penduduk Aikah itu benar-benar kaum yang zalim, maka Kami membinasakan mereka.  Dan sesungguhnya kedua kota itu benar-benar terletak di jalan umum yang terang.”  (Al-Hijr; 78-79).
                Yang dimaksud dengan kata imam pada ayat di atas ialah jalan yang jelas yang tidak samar bagi para penggunanya.
                Kata thariq tidak dinamakan ummat.  Kedua, sesungguhnya kata ummat itu mengandung penambahan bobot makna dari kata imam.  Ummat ialah orang yang menghimpun sifat-sifat kesempurnaan yaitu ilmu dan pengamalannya hingga ia sendiri yang memiliki keduanya.  Dialah yang menghimpun sifat-sifat berserakan yang ada pada orang lain.  Sepertinya ia mengalahkan orang lain dengan menyatunya kesemua sifat tersebut pada dirinya, di sisi lain semua sifat di atas berserakan atau malah tidak dimiliki oleh orang lain.
                Kedua;  Pujian Allah kepada Beliau, “lagi patuh.”  Ibnu Mas’ud berkata, “Yang dimaksud dengan qanit ialah orang yang taat.”  Kata qanit ditafsirkan dengan banyak sekali penafsiran, namun keseluruhannya kembali kepada selalu dalam keadaan ta'at.
                Ketiga;  Pujian Allah, “Hanif.”  Yang dimaksud dengan kata hanif ialah orang yang selalu menghadap kepada Allah Ta’ala, dan kata tersebut mengharuskannya berpaling dari semua selain Allah Ta’ala.
                Keempat; Pujian Allah Ta’ala, “Yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah.”
                Syukur kepada nikmat itu dibangun di atas 3 (tiga) landasan;
1.       a. Mengakui nikmat dan menyandarkannya kepada pemberi-Nya.
2.       b. Menggunakan nikmat untuk mencari keridhaan-Nya.
3.       c. Mengerjakan apa saja yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala.
Seseorang tidak dinamakan hamba yang bersyukur  kecuali dengan ketiga landasan di atas.
Maksud dari ini semua adalah menjelaskan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam dengan empat sifat yang kesemuanya tertumpu pada ilmu, mengerjakan konsekwensinya, dan mengajarkannya serta menyebarkannya.
Jadi, kesempurnaan seluruhnya berpulang kepada ilmu, mengerjakan konsekwensinya , dan mengajak manusia kepadanya.

124.   ILMU ADALAH JALAN YANG PENUH BERKAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang Nabi Isa 'Alaihis Salam bahwa Beliau berkata,
“Sesungghuhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.  Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada.”  (Maryam; 30-31).
Sufyan bin Uyainah berkata, “Maksud dari Dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada ialah bahwa Dia menjadikanku sebagai pengajar kebaikan di mana saja aku berada.
Ini menunjukkan, bahwa pengajaran ilmu oleh seseorang kepada orang lain adalah keberkahan yang ditempatkan Allah Ta’ala pada kebaikan tersebut.  Keberkahan ialah tercapainya kebaikan, penambahannya, dan keberlangsungannya.
                Pada hakikatnya keberkahan itu tidak terjadi kecuali pada ilmu yang diwarisi para Nabi, dan pengajarannya.  Oleh karenanya, Allah Ta’ala menamakan kitab-Nya sebagai keberkahan, seperti yang Dia firmankan (artinya),
                “Dan Al-Qur’an ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan.”  (Al-Ambiya; 50).
                Allah Ta’ala juga berfirman,
                “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah.  (Shaad; 29).
                Allah Subhanbahu wa Tala menamakan Rasul-Nya sebagai orang yang diberkahi seperti terlihat dalam ucapan Nabi Isa 'Alaihissalam, (Maryam; 30-31).
                Jadi keberkahan kitab-Nya, dan Rasul-Nya adalah sarana yang dengannya diperoleh ilmu, petunjuk dan dakwah kepada-Nya.

                125.   PAHALA ITU BISA DIWARISI
                Disebutkan dalam Shahih Muslim hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang bersabda (artinya),
                “Jika anak Adam meninggal dunia, maka (pahala) amalnya terputus kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, atau anak shalih yang berdoa untuknya.”  (HR. Muslim).
                Hadits di atas adalah dalil terkuat tentang kemuliaan ilmu, keutamaan,  dan besarnya buahnya.  Sesungguhnya pahala ilmu tetap diterima yang bersangkutan setelah kematiannya selagi ilmunya diamalkan orang lain.  Seolah-olah ia tetap hidup dan amalnya tidak terputusIni disamping kenangan dan sanjungan yang dialamatkan kepadanya.  Tetap berlangsungnya pahala untuk dirinya pada saat pahala amal perbuatan telah terputus dari manusia adalah kehidupan kedua baginya.
                Rasulullah Shallallahu 'Alahi wa Sallam hanya mengkhususkan ketiga hal di atas yang pahalanya tetap diterima oleh mayit.  Karena dia adalah penyebab keberadaan ketiga hal tersebut.  Karena ia menjadi penyebab terbentuknya anak yang shalih, sedekah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat, maka pahalanya tetap berlangsung (mengalir) padanya.  Seorang hamba mendapatkan pahala karena tindakannya langsung, atau yang tidak langsung.
                Dua prinsip ini disebutkan Allah Ta’ala dalam kitab-Nya,
                 “Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih.  Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”  (At-Taubah; 120).
                Kesemua hal di atas lahir dari tindakan mereka dan tidak ditakdirkan bagi mereka.  Yang ditakdirkan bagi mereka adalah sebab-sebabnya yang mereka lakukan secara langsung.

                126.   ILMU ADALAH JALAN MENUJU PENGAMPUNAN
                Ibnu Abdulbarr menyebutkan dari Abdullah bin Daud yang berkata, “Pada hari kiamat Allah membebaskan para ulama dari hisab.  Allah berfirman, ‘Masuklah kalian ke surga seperti biasa.  Sesungguhnya Aku tidak menjadikan Ilmu-Ku yang ada pada kalian kecuali untuk kebaikan yang Aku inginkan bagi kalian.’”
                Jika ada yang berkata, “Kaidah-kaidah syar'i menghendaki orang bodoh diberi toleransi yang tidak pantas diberikan kepada orang berilmu, dan ia diberi ampunan yang tidak pantas diberikan kepada orang berilmu, karena hujjah Allah yang ada pada orang berilmu lebih kuat daripada hujjah Allah yang ada pada orang bodoh, pengetahuan orang berilmu terhadap keburukan maksiat dan kemarahan Allah Ta’ala terhadapnya dan hukuman-Nya terhadapnya lebih kuat dari pengetahuan orang bodoh, dan nikmat ilmu yang diberikan Allah Ta’ala kepada orang berilmu lebih besar daripada nikmat-Nya yang diberikan Allah Ta’ala kepada orang bodoh.”
                Syari’at dan hukum-hukum Allah Ta’ala menunjukkan, bahwa orang yang dianugerahi banyak nikmat, kelebihan dan kemuliaan kemudian ia menjerumuskan dirinya kedalam syahwat dan mengembalakan dirinya di atas rumput-rumput kebinasaan, berani melanggar hal-hal yang diharamkan, dan menganggap kecil kesalahan, ia dibalas dengan siksa dan kecaman yang tidak diberikan kepada orang yang derajatnya tidak seperti dirinya.
                Oleh Karena itu Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
                “Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa diantara kalian mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat.  Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.”  (Al-Ahzab; 30).
                Oleh karena itu pula, hukuman bagi orang merdeka dilipat gandakan dua kali lipat dari hukuman budak dalam kasus perzinahan, menuduh berzina tanpa bukti, dan meminum minuman keras, karena banyaknya nikmat yang ada pada orang merdeka.
                Inilah Nabi Musa Alaihis Salam yang pernah berdialog denga Allah 'Azza wa Jalla, Beliau melemparkan lembaran-lembaran yang di dalamnya terdapat firman Allah Ta’ala yang ditulis Allah Ta’ala untuk Beliau.  Beliau melemparkannya ke atas bumi hingga berserakan.  Beliau menonjok mata Malaikat pencabut nyawa hingga keluar.  Beliau mendebat Tuhannya pada malam Isra’ tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dengan berkata, “Anak muda yang diutus setelahnya kemudian ummatnya lebih banyak masuk Surga daripada ummatku?”  Beliau memegang jenggot saudaranya dan menariknya, padahal Beliau adalah Nabi Allah.  Itu semua sedikitpun tidak mengurangi kedudukan Nabi Musa 'Alaihissalam di sisi Allah.  Allah Ta’ala tetap memuliakannya dan mencintainya.  Sesungguhnya tindakan yang dilakukan Nabi Musa 'Alaihissalam, musuh yang mengejarnya, kesabaran yang dilakukannya, dan siksaan yang dirasakannya di jalan Allah, itu semua tidak merubah status Nabi Musa 'Alaihissalam di mata Allah Ta’ala dan tidak menurunkan derajatnya.
                Ini bukan rahasia umum bagi manusia dan tertanam dalam fitrah mereka, bahwa orang yang mempunyai beribu-ribu kebaikan, maka satu, dua, atau lebih kesalahannya diampuni.  Jika terkumpul padanya alasan untuk menghukumnya karena kejahatannya dan motif syukurnya karena kebaikannya, maka motif syukurnya lebih dominan daripada alasan untuk menghukumnya, seperti dikatakan salah seorang penyair,
                Jika kekasih datang dengan membawa satu dosa
                Maka kebaikan-kebaikannya datang dengan membawa seribu pembela
                Penyair lain berkata,
                Jika satu tindakannya menghasilkan satu dosa
                Maka tindakan yang mereka sembunyikan sangat banyak
                Pada Hari Kiamat, Allah Ta’ala menimbang kebaikan dan kesalahan seorang hamba. Mana yang paling berat diantara keduanya, itulah yang dominan, kemudian terhadap orang-orang yang mempunyai kebaikan yang banyak, dan lebih mengutamakan cinta-Nya, keridhaan-Nya, dan kemenangan mereka atas dorongan syahwatnya, maka Allah Ta'ala memberi maaf dan ampunan kepadanya yang tidak diberikan kepada orang selain mereka.
                Selain itu, sesungguhnya jika orang berilmu terperosok dalam dosa, ia segera bertaubat dengan baik, mencari apa yang hilang dari dirinya, dan mengobati lukanya.  Ia seperti dokter ahli dan pakar tentang penyakit, sebab-sebabnya  dan cara pengobatannya.  Sesungguhnya pengikisan penyakit itu lebih cepat dilakukan orang berilmu daripada orang bodoh.
                Selain itu, orang berilmu mempunyai pengetahuan tentang perintah Allah Ta’ala, membenarkan janji-Nya dan ancaman-Nya, takut kepada-Nya, ia merasa dirinya hina karena mengerjakan larangan-Nya, ia beriman bahwa Allah mengharamkan perbuatan tersebut, bahwa ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa, dan menyiksa orang karena dosanya.  Itu semua bisa menghanguskan dosa, melemahkan keinginan untuk menyiksa, dan menghilangkan bekasnya.  Ini berbeda dengan orang bodoh yang tidak mengetahui salah satu dari permasalahan di atas, ia tidak mendapatkan apa-apa selain kegelapan dosa, keburukannya dan bekas-bekasnya yang menghinakan.  Jadi tidak sama antara orang berilmu dengan orang bodoh.
                Ini bukti nyata tentang kelebihan ilmu.  Allah tempat memohon petunjuk.

                127.   SIBUK DENGAN ILMU ADALAH IBADAH
                Sesungguhnya orang berilmu yang sibuk dengan ilmu dan pengajarannya senantiasa berada dalam suasana ibadah.  Jadi ia belajar dan mengajar, ia berada dalam ibadah.
                Ibnu Mas’ud berkata, “Orang yang ahli fiqh itu selalu shalat.”  Orang-orang bertanya kepadanya, “Bagaimana ia shalat?”  Ibnu Mas’ud berkata, “Dengan dzikir kepada Allah bersama hati dan mulutnya.”
                Hadits di atas diceritakan Ibnu Abdulbarr.
                Sufyan Atsauri berkata,”Tidak ada amal perbuatan yang lebih mulia dari mencari ilmu jika niatnya benar di dalamnya."
                Ibnu Abbas berkata, “Mempelajari ilmu pada sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkan seluruh malam dengan qiyamul lail.”
                Muhammad bin Ali Al-Baqir, “Satu orang berilmu yang mengamalkan ilmunya lebih baik daripada seribu ahli ibadah.”
                Muhammad bin Ali Al-Baqir juga berkata, “Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya kepada manusia lebih baik daripada ibadah seribu ahli ibadah.”
                Karena menuntut ilmu, menulisnya, dan memeriksanya adalah aktivitas hati dan badan, maka ia termasuk amal perbuatan yang paling mulia, dan statusnya terhadap aktifitas badan adalah seperti aktifitas hati misalnya ikhlas, tawakal, cinta, inabah (kembali kepada Allah dalam segala keadaan), takut, ridha, dan lain sebagainya terhadap aktifitas pisik (luar).
                Jadi jika ada yang berkata, “Sesungguhnya ilmu adalah sarana kepada amal perbuatan dan amal perbuatan adalah tujuan.  Sebagaimana diketahui, tujuan itu lebih mulia daripada sarana, maka bagaimana dalam hal ini sarana dipandang lebih mulia daripada tujuan?”
                Jawabnya; setiap ilmu dan amal perbuatan terbagi kedalam dua bagian;
                Pertama, ada yang menjadi sarana.
                Kedua, ada yang menjadi tujuan.
                Tidak semua ilmu menjadi sarana.  Ilmu tentang Allah, Nama-nama-Nya, dan Sifat-sifat-Nya adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak.
                Ilmu seperti itu adalah tujuan.  Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
                “Allah–lah  yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi, Perintah Allah berlaku padanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Maha  Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, Ilmu-Nya  benar-benar meliputi segala sesuatu.”  (Ath-Thalaq; 12).
                Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa Dia menciptakan langit dan bumi, menurunkan perintah di antara langit dan bumi, agar hamba-hamba-Nya mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui segala sesuatu dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.  Ilmu tersebut adalah tujuan semua makhluk.  Allah Ta’ala berfirman,
                “Maka ketahuilah  (ilmuilah), bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.”  (Muhammad; 19).
                Jadi ilmu (pengetahuan) tentang keEsaan Allah, dan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah adalah tujuan, kendati ilmu itu saja belum cukup, karena ilmu tersebut harus ditindaklanjuti dengan beribadah kepada-Nya saja.  Jadi di sini ada dua hal yang menjadi tujuan; Yaitu, bahwa Allah diketahui dengan Nama-nama-Nya, Sifat-sifat-Nya, Perbuatan-perbuatan-Nya, dan Hukum-hukum-Nya.  Sebagaimana beribadah kepada Allah adalah tujuan, maka ilmu (pengetahuan) tentang Allah, dan mengenal-Nya juga merupakan tujuan.
                Selain itu, sesungguhnya ilmu adalah jenis ibadah yang paling mulia sebagaimana dijelaskan sebelumnya, karena ilmu mencakup sarana dan tujuan.
                Ucapan kalian, “Sesungguhnya amal perbuatan adalah tujuan.”  Ada dua kemungkinan dalam hal ini.  Bisa jadi amal perbuatan yang kalian maksud adalah amal perbuatan hati dan badan, atau amal perbuatan badan saja!
                Jika kalian menginginkan kemungkinan pertama, ini benar, dan menunjukkan bahwa ilmu adalah amal perbuatan hati dan badan seperti disebutkan sebelumnya.
                Jika kalian menginginkan kemungkinan kedua, ini tidak benar, karena pada hakikatnya amal perbuatan hati adalah tujuan, dan amal perbuatan badan adalah sarana.  Selain itu, sesungguhnya pahala, hukuman, pujian, dan kecaman, itu semua adalah untuk hati kemudian diikuti badan.
                Selain itu, ilmu yang merupakan sarana kepada amal perbuatan, jika ia tidak ditindak-lanjuti dengan amal perbuatan, maka ilmu `seperti itu tidak berguna bagi pemiliknya.  Dalam masalah ini amal perbuatan lebih baik daripada ilmu.
                Adapun ilmu yang membuahkan hasil, tidak bisa dikatakan bahwa amal tanpa ilmu lebih baik daripadanya!  Bagaimana ibadah badan tanpa ilmu bisa dikatakan lebih baik daripada ilmu (pengetahuan ) tentang Allah, Nama-nama-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan Hukum-hukum-Nya pada Ciptaan-Nya, serta Perintah-Nya!  Dan lebih baik daripada ilmu (pengetahuan) tentang aktifitas-aktifitas hati, penyakit-penyakit jiwa, dan jalan-jalan yang merusak amal perbuatan, menghalangi pengiriman amal perbuatan dari hati kepada Allah, membuat jarak antara amal perbuatan dengan hati, serta membuat jarak antara hati dengan Allah, serta ilmu-ilmu lain seperti ilmu (pengetahuan) tentang keimanan, dan apa saja yang melemahkan hati dan menguatkannya?
                Bagaimana bisa dikatakan, bahwa ibadah badan tanpa ilmu lebih baik daripada ilmu?  Namun jika ada orang yang mampu melakukan kedua-duanya, ia adalah orang yang sempurna.  Jika pada salah satu dari keduanya terdapat kelebihan maka kelebihan ilmu adalah lebih baik daripada kelebihan ibadah.
                Inilah kata pamungkas tentang permasalahan ini, wallahu a’lam.

                128.   ILMU ITU JALAN MENUJU KEBAHAGIAAN
                Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Kabsyah Al-Anmari yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
                “Sesungguhnya dunia itu diberikan kepada empat orang; seorang hamba yang dianugerahi Allah harta dan ilmu, kemudian ia bertakwa kepada Allah di dalam hartanya, dengannya ia menyambung hubungan sanak kerabat, dan mengetahui hak Allah di dalamnya.  Orang tersebut kedudukannya di sisi Allah paling baik.  Orang yang dianugerahi Allah ilmu namun tidak dianugerahi harta.  Ia berkata, ‘Seandainya aku mempunyai harta, pasti aku mengerjakan seperti yang dikerjakan si Fulan.’  Ia berniat seperti itu dan pahala keduanya sama.  Orang yang dianugerahi Allah harta tapi tidak dianugerahi ilmu, kemudian ia tidak bisa mengatur hartanya, tidak bertakwa kepada Allah di dalamnya, tidak menyambung hubungan sanak-kerabat dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya.  Kedudukan orang tersebut di sisi Allah paling jelek.  Orang yang tidak dianugerahi Allah harta dan tidak pula ilmu.  Ia berkata, ‘Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti mengerjakan apa yang dikerjakan si Fulan.’  Ia berniat seperti itu dan keduanya mendapatkan dosa yang sama.”  (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).
                Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membagi manusia kedalam 4 (empat) kelompok;
                Pertama, yang merupakan kelompok terbaik diantara kelompok yang ada, yaitu orang yang dianugerahi Allah Ilmu dan harta, kemudian ia berbuat baik kepada manusia dan kepada dirinya sendiri dengan ilmunya dan hartanya.
                Kedua, orang yang dianugerahi Allah ilmu, tapi tidak dianugerahi harta.  Pahala orang pertama dan orang kedua dengan niatnya sama besarnya.  Jika tidak begitu, orang (pertama) yang berinfak, dan bersedekah berada di atasnya dengan infaknya dan sedekahnya.  Orang berilmu, ia mendapatkan pahala seperti pahala orang pertama dengan niatnya yang serius yang ditindak-lanjuti dengan apa yang mampu ia kerjakan, yaitu mengucapkan niatnya dengan lisannya.
                Ketiga, orang yang dianugerahi Allah harta namun tidak dianugerahi ilmu.  Kelompok ini, kedudukannya di sisi Allah paling jelek, karena hartanya mengantarkannya kepada kebinasaan.  Jika ia tidak memiliki harta, itu lebih baik baginya.  Ia dikaruniai sesuatu yang sebenarnya bisa ia jadikan berbekal dengannya menuju Surga, namun kenyataannya ia menjadikannya bekal ke Neraka.
                Keempat, orang yang tidak dianugerahi harta dan tidak pula ilmu.  Ia berniat, seandainya ia mempunyai harta seperti kelompok ketiga, pasti ia menggunakannya dalam maksiat kepada Allah.  Kelompok ini kedudukannya di bawah kedudukan orang kaya yang bodoh (kelompok ketiga) dan mendapatkan dosa yang sama dengan niatnya yang serius yang disertai tindakan yang mampu ia kerjakan yaitu ucapan.
                Jadi, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membagi orang-orang yang bahagia kedalam dua kelompok, menjadikan ilmu dan pengamalannya sebagai sebab kebahagiaan keduanya, membagi orang-orang celaka ke dalam dua kelompok, dan menjadikan kebodohan dengan segala niatnya sebagai penyebab kecelakaannya.
                Kesimpulannya, semua kebahagiaan itu terpusat kepada ilmu dan konsekwensinya, dan seluruh kecelakaan terpusat kepada kebodohan dan buahnya.

                129.   ANTARA ILMU DENGAN TAFAKUR
                Disebutkan, bahwa salah seorang dari generasi salaf berkata, “Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah selama enam puluh tahun.”
                Seseorang bertanya kepada Ummu Darda’ tentang ibadah Abu Darda’, kemudian Ummu Darda’ menjawab, “Seluruh siangnya digunakan untuk tafakur.”
                Al-Hasan berkata, “Tafakur sesaat lebih baik daripada qiyamul lail.”
                Al-Fudhail berkata, “Tafakur adalah cermin yang memperlihatkan kepadamu kebaikan dan kesalahan yang ada padamu.”
                Dikatakan kepada Ibrahim, “Kenapa engkau tafakur lama sekali?”  Ibrahim menjawab, “Pikiran adalah otak akal.”
                Sufyan Ats-Tsauri seringkali melantunkan syair,
                Jika seseorang mempunyai akal pikiran
                Maka segala sesuatu baginya adalah ibrah
                Tentang firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya dimuka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.”  (Al-A’raaf; 146).  Al-Hasan berkata, “Maksudnya bahwa Aku (Allah) membuat mereka tidak mampu berpikir di dunia ini.”
Salah seorang yang bijak berkata, “Jika hati orang-orang bertakwa dengan  akalnya memikirkan kebaikan akhirat yang berada di tembok keghaiban, maka kehidupan di dunia tidak ada artinya bagi mereka, dan mata mereka tidak segar di dalamnya.”
Al-Hasan berkata, “Lama menyendiri membuat berpikir berjalan dengan sempurna dan lama berpikir adalah adalah petunjuk jalan menuju surga.”
Wahab berkata, “Tidaklah seseorang berpikir lama sekali melainkan ia mendapatkan ilmu, dan tidaklah seseorang mendapatkan ilmu melainkan ia mengamalkannya.”
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Memikirkan nikmat-nikmat Allah adalah ibadah yang paling baik.”
Abdullah bin Mubarak berkata kepada salah seorang sahabatnya yang ia lihat sedang tafakur, “Sudah sampai mana?  Sahabatnya menjawab, “Sampai titian.”
Bisyr berkata, “Jika manusia memikirkan (mentafakuri) keagungan Allah, pasti mereka tidak bermaksiat kepada-Nya.”
Ibnu Abbas berkata, “Dua rakaat yang dilakukan penuh tafakur lebih baik daripada qiyamul lail tanpa hati.”
Abu Sulaiman berkata, “Memikirkan dunia menghalangi seseorang dari akhirat, dan hukuman bagi orang wali.  Dan memikirkan akhirat itu menghasilkan hikmah dan menghidupkan hati.”
Ibnu Abbas berkata, “Memikirkan kebaikan mendorong seseorang untuk mengamalkannya.”
Imam Syafi’i berkata, “Minta tolonglah untuk berbicara dengan diam dan mengeluarkan hukum dengan berpikir.”
Ini disebabkan Karena tafakur adalah aktifitas hati dan ibadah adalah aktifitas badan.  Karena hati lebih mulia daripada badan, maka otomatis aktifitas hati lebih mulia daripada aktifitas badan.
Selain itu, sesungguhnya tafakur itu membuahkan iman bagi pelakunya dan hal ini tidak mampu dihasilkan oleh ibadah tanpa tafakur.  Tafakur membuat pelakunya mengetahui hakikat banyak hal, membedakan tingkatan-tingkatannya dalam kebaikan dan keburukan, mengetahui yang tidak mulia diantara yang mulia, sesuatu yang paling buruk diantara hal-hal yang buruk, mengetahui sebab-sebab yang mengantarkannya kepadanya, mengetahui apa saja yang mengganggunya, membedakan antara berusaha untuk mendapatkannya dengan berusaha menolak sebab-sebabnya, membedakan antara ilusi yang menghalangi sebagian besar manusia memamfaatkan peluang dengan sebab penghalang kemudian ia sibuk dengannya daripada dengan yang pertama.
Tidak ada yang memotong seseorang dari kesempurnaan dirinya, keberuntungannya, dan kebahagiaannya di dunia dan akhirat melainkan ilusi yang kebanyakan terjadi pada manusia dan khayal yang tiada lain adalah kendaraannya, bahkan lautannya yang tidak berhenti berenang-renang di dalam dirinya.  Namun rintangan ini bisa diatasi dengan berpikir dengan benar dan tekad yang benar yang dengannya ia bisa membedakan antara ilusi dengan hakikat.
Begitu juga, jika seseorang memikirkan akibat segala sesuatu, pemikirannya menembus bangunannya, ia meletakkan pada tempatnya, dan mengetahui  tingkatan-tingkatannya, maka jika datang padanya dorongan untuk berbuat dosa, ia tidak menggubris pikiran tentang kelezatan dosa dan syahwat tersebut, jiwanya merasa damai karena dosa tersebut berakibat fatal dan menghasilkan rasa sakit dan kesedihan yang tidak seimbang dengan kelezatannya.
Jika seseorang memikirkan itu semua, ia tidak tertarik kepada dosa.  Jika datang kepada hatinya untuk santai, malas, dan tidak sabar terhadap kesulitan-kesulitan ketaatan, ia menyeberanginya dengan memikirkan kelezatan, kebaikan, dan kebahagiaan yang dihasilkan ibadah.
Begitu juga jika pikirannya tenggelam kedalam hal-hal di atas, ia mencarinya dengan serius, tidak menggubris kesulitan-kesulitannya, dan ia menghadapinya dengan aktif, tangguh, dan bersemangat.  Demikian pula jika seseorang memikirkan harta, jabatan dan lain sebagainya yang memperbudak dirinya dan merenungkannya dengan akalnya, pasti ia malu kepada akalnya dan hatinya menjadi budak bagi semua itu, seperti dikatakan seorang penyair,
Jika seorang perindu memikirkan akhir keindahan yang ia cintai
Maka ia tidak akan mencintainya
Demikian juga jika seseorang memikirkan hasil akhir makanan-makanan lezat yang disukai jiwa-jiwa semisal binatang, dan bagaimana bentuknya ketika sisanya keluar dari duburnya, maka pantang baginya mengarahkan semua semangatnya kepadanya, pantang baginya menjadikannya sebagai Tuhan bagi hatinya; kepadanya ia menghadap, untuknya ia ridha, marah, bekerja, dan mencintai sebagaimana disebutkan dalam Musnad dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Sesungguhnya Allah menjadikan makanan anak keturunan Adam sebagai perumpamaan dunia, kendati makanan tersebut diberi bumbu dan garam, maka anak keturunan Adam mengetahui hasil akhir dari makanan tersebut.”  (H.R. Ahmad).
Jika pikirannya terkonsentrasi  pada itu semua dan jiwanya merdeka dan anti terhadapnya, maka pantang baginya menjadikan dirinya sebagai budak bagi sesuatu yang hasil akhirnya sangat busuk, kotor, dan menjijikkan.
Jika hal ini telah diketahui dengan baik, maka tafakur ialah menghadirkan dua pengetahuan kedalam hati untuk menghasilkan pengetahuan ketiga.  Contohnya ialah jika seseorang menghadirkan kedalam hatinya pemikiran tentang dunia lengkap dengan kehidupan didalamnya, kenikmatannya, sisi-sisi negatifnya, dan ketidak abadiannya, kemudian ia menghadirkan kedalam hatinya pemikiran tentang akhirat lengkap dengan kenikmatannya, kelezatannya, keabadiannya, dan kelebihannya atas kenikmatan dunia, maka kedua pengetahuan ini menghasilkan pengetahuan ketiga yaitu bahwa akhirat, dan kenikmatannya yang mulia dan abadi lebih layak untuk diutamakan bagi orang berakal daripada dunia dan kenikmatannya yang tidak abadi.
Ada dua cara untuk mengetahui informasi tentang akhirat;
Pertama, ia mendengar informasi akhirat dari orang lain, namun hatinya tidak memiliki keyakinan terhadapnya dan tidak berusaha mengetahui detail akhirat.
Itulah kondisi sebagian besar manusia.  Ia ditarik oleh dua magnet; Pertama magnet dunia.  Magnet tersebut sangat kuat dalam dirinya, karena ia terlihat dengan jelas olehnya.  Kedua, magnet akhirat.  Magnet tersebut amat lemah dalam dirinya,karena ia adalah ajakan berdasarkan wahyu, dan keyakian terhadapnya tidak menyentuh hatinya.  Jika ia meninggalkan dunia dan memilih akhirat, maka hatinya memberitahukan bahwa ia meninggalkan sesuatu yang telah jelas demi sesuatu yang masih merupakan dugaan.  Bahasa penyeru kepadanya, “Aku tidak meninggalkan mutiara yang telah tersedia hanya untuk mengejar mutiara yang baru dijanjikan!”
Itulah penyakit yang menyebabkan sebagian besar manusia tidak mampu mengadakan persiapan untuk akhirat dan berusaha untuknya.  Itu disebabkan karena lemahnya pengetahuan tentang akhirat.  Sesungguhnya dengan tekad kuat yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya, pengabaian terhadap akhirat dan benci kepadanya tidak akan terjadi.  Jika seseorang disuguhi makanan yang amat lezat dan ia sangat membutuhkannya, kemudian ia katakan kepadanya, “Makanan ini beracun!”  Maka ia tidak memakannya, karena ia mengetahui akibatnya kalau ia memakannya.  Maka kenapa keimanan kepada akhirat di dalam hatinya tidak bisa seperti itu?
Keimanan terhadap akhirat tidak bisa seperti itu dalam hatinya dikarenakan lemahnya pohon ilmu dan pohon iman kepada akhirat di dalam hati dan juga karena labilnya keimanan kepada akhirat di dalam hatinya.  Begitu juga jika ia berjalan disebuah jalan raya kemudian dikatakan kepadanya, “Di jalan tersebut terdapat banyak perampok dan pencuri yang membunuh siapa saja yang mereka temui dan merampas kekayaannya!”  Maka ia tidak akan melewati jalan tersebut, kecuali karena salah satu dari dua kemungkinan; Pertama, ia tidak mempercayai pemberi informasi.  Kedua, ia yakin dirinya mampu mengalahkan para perampok dan pencuri dan menaklukkannya.  Jika ia mempercayai pemberi informasi tanpa keraguan di dalamnya dan mengetahui dirinya lemah tidak mampu melawan mereka, ia tidak akan melintasi jalan tersebut.  Jika ia mempunyai dua ilmu (pengetahuan) terhadap dunia dan syahwatnya, ia tidak akan memburu dunia.  Dari sini bisa diketahui, bahwa memilih dunia dan tidak mengadakan persiapan untuk akhirat tidak akan terjadi jika ia mempunyai keimanan yang sempurna.
Kedua, ia yakin dan percaya tanpa ragu-ragu bahwa ia mempunyai tempat lain selain dunia ini, dan negeri yang diciptakan untuknya, juga bahwa negeri dunia ini adalah jalan menuju negeri sesudahnya dan salah satu tempat pemberhentian orang-orang yang berjalan menuju akhirat.  Ia mengetahui, bahwa negeri akhirat itu abadi, nikmat dan siksanya tidak berakhir.  Perumpamaan kenikmatan dunia dan penderitaannya ialah seperti memasukkan jari-jarinya ke dalam lautan, kemudian ia mencabutnya.  Air yang menempel pada jari-jarinya adalah perumpamaan dunia terhadap akhirat (lautan).  Kemudian pengetahuan tentang itu semua membuatnya mementingkan akhirat, mencarinya, mengadakan persiapan maksimal untuknya, dan berusaha mendapatkannya.
Itulah yang dinamakan TAFAKUR, TADZAKUR, NADZAR, TA’AMMUL, I’TIBAR, TADABUR, dan ISTIBSHAR.
Kesemua terminologi diatas memiliki kesamaan dan perbedaan;
Dinamakan tafakur, karena tafakur ialah menggunakan pikiran untuk berpikir.
Dinamakan tadzakur, karena tadzakur ialah menghadirkan ilmu.  Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaithan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”  (Al-A’raaf; 20).
Dinamakan nadzar, karena nadzar adalah menyertakan hati terhadap apa yang dilihatnya.
Ta’ammul adalah mengkaji ulang dari waktu ke waktu hingga sesuatu terlihat jelas olehnya.
Dikatakan i’tibar, karena I’tibar adalah menyeberang dari sesuatu kepada sesuatu yang lain.  Ia menyeberang dari sesuatu yang telah dipahami kepada pengetahuan ketiga.  Itulah yang dimaksud dengan I’tibar.  Oleh karena itu I’tibar juga dinamakan ibrah.  Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.”  (Yusuf; 111).
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut (kepada Tuhannya).”  (An-Nazi’at; 26).
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.”  (An-Nuur; 44).
Dinamakan tadabur, karena tadabur  adalah memikirkan kesudahan (akibat) segala sesuatu, termasuk di dalamnya akibat dari ucapan.  Allah Ta’ala berfirman,
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami)?  (Al-Mukminun; 68).
Allah Ta’ala berfirman,
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an?  Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”  (An-Nisa; 82).
Mentadaburi ucapan maksudnya ialah mengamatinya dari awal hingga akhir kemudian mengkaji ulangnya hingga beberapa kali.
Dinamakan Istibshar, yaitu terlihatnya sesuatu oleh mata. 
Tadzakur dan tafakur memiliki manfaat yang tidak dimiliki yang lain.  Tadzakur menjadikan hati mengkaji ulang apa yang telah diketahuinya agar sesuatu itu menancap kuat di dalam hatinya dan tidak hilang daripadanya.  Sedang tafakur ialah memperbanyak ilmu dan mendatangkan sesuatu yang belum dimiliki hati.  Jadi tugas tafakur ialah mendatangkan dan tugas tadzakur adalah menjaganya.
Jadi kebaikan dan kebahagiaan itu berada di dalam gudang tafakur dan tadzakur.  Seseorang harus melakukan tafakur dan ilmu yang menghasilkan tafakur, dan stabilisasi yang ada di dalam hati.  Jika orang yang mengetahui sesuatu yang dicintainya dan dibencinya, ia harus mencelupkan hatinya ke dalam ilmunya.  Stabilisasi yang ada dalam hatinya menghasilkan keinginan, dan keinginan menghasilkan perbuatan.
Jadi berpikir adalah landasan dan kunci semua kebaikan.
Ini membuka untuk anda kelebihan tafakur dan kemuliaannya, bahwa tafakur adalah aktifitas hati yang paling mulia dan paling bermanfaat bagi seseorang hingga dikatakan, “Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun.”
Jadi berpikir itulah yang memindahkan kematian lupa diri kepada kehidupan terjaga (tidak lupa), dari hal-hal yang dibenci kepada hal-hal yang disukai, dari ambisius kepada zuhud, dari penjara dunia kepada angkasa akhirat, dari kesempitan kebodohan kepada luasnya ilmu, Dari penyakit syahwat yang membumi di dunia ini kepada obat inabah (kembali) kepada Allah dan menjauhkan diri dari negeri penuh tipuan, dari petaka kebutaan, ketulian, dan kebisuan terhadap nikmat penglihatan, pendengaran dan paham tentang Allah, dan dari penyakit-penyakit syubhat kepada kesejukan keyakinan dan kesegaran dada.
Kesimpulannya, sesungguhnya akar semua ketaatan adalah berpikir.  Akar kemaksiatan juga bersumber dari berpikir.  Syaithan itu menempati hati yang kosong kemudian ia menanam benih-benih pemikiran yang kacau di dalamnya, kemudian dari dalam hati tersebut muncullah keinginan, dan dari keinginan lahirlah amal perbuatan.  Jika syaithan mendapati hati yang sibuk dengan benih-benih pemikiran yang lurus tentang untuk apa ia diciptakan, apa yang diperintahkan kepadanya, apa yang telah disiapkan untuknya; kenikmatan abadi atau siksa yang  pedih, maka syaithan tidak mendapatkan tempat untuk menanam benihnya.  Salah seorang penyair berkata,
Hawa nafsunya datang kepadaku sebelum aku mengenal hawa nafsu
Kemudian ia mendapatkan hati yang kosong lalu berdiam diri di dalamnya
Kesimpulannya, tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati selain membaca Al-Qur’an dengan tadabur dan tadzakur.  Cara seperti itu mengumpulkan semua kedudukan para pejalan kepada Allah (sa'irin), keadaan orang-orang yang beramal, dan tingkatan orang-orang yang mengenal Allah.  Cara seperti itu juga menumbuhkan cinta, rindu, takut, berharap, inabah (kembali kepada Allah), tawakal, ridha, syukur, sabar, dan semua yang menghidupkan hati dan menyempurnakannya.
Selain itu, cara demikian juga mengusir semua sifat dan tindakan tercela yang merusak hati serta membinasakannya.
Jika manusia mengetahui semua manfaat yang ada dalam membaca Al-Qur’an dengan tadabur, pasti mereka sibuk dengannya daripada yang lain.  Jika seseorang membaca Al-Qur’an dengan tafakur hingga bila melewati ayat yang dia butuhkan untuk menyembuhkan hatinya, ia membacanya berulang-ulang, kendati sampai seratus kali dan menghabiskan semalam suntuk.  Membaca Al-Qur’an dengan  tadabur dan tadzakur lebih baik daripada membacanya hingga khatam tanpa tadabur dan tadzakur, lebih bermanfaat bagi hati, dan lebih mendatangkan iman dan merasakan manisnya iman.
Itulah kebiasaan para salafush shalih.  Salah seorang dari mereka membaca satu ayat berulang kali hingga pagi hari.  Ayat tersebut ialah firman Allah Ta’ala,
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Mahabijaksana.”  (Al-Maidah; 118).
Jadi membaca Al-Qur’an dengan tafakur adalah akar kebaikan hati.  Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Janganlah kalian membaca Al-Qur’an seperti membaca syair dan jangan membacanya seperti membaca sajak.  Namun berhentilah pada keajaiban-keajaiban Al-Qur’an dan gerakkan hati manusia dengannya!  Janganlah obsesi salah seorang dari kalian pada akhir surat!”
Abu Ayyub meriwayatkan dari Abu Jamrah yang berkata, aku berkata kepada Ibnu Abbas, “Aku sangat cepat kalau membaca Al-Qur’an.  Aku khatam Al-Qur’an dalam tiga hari!  Ibnu Abbas berkata, “Jika aku membaca satu surat Al-Qur’an dalam satu malam kemudian aku mentadaburinya dan membacanya dengan tartil, itu lebih aku sukai daripada membaca Al-Qur’an seperti engkau!”
Merenungkan (tafakur) di dalam Al-Qur’an itu ada dua macam;
Pertama, merenungkan agar ia mendapatkan apa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala.  Ini adalah merenungkan dalil Al-Qur’an.
Kedua, merenungkan makna-makna dimana manusia diperintahkan merenungkannya.  Ini adalah merenungkan dalil yang ada di alam nyata.
Oleh karena itu, Allah menurunkan Al-Qur’an untuk dikaji, dipikirkan dan diamalkan, bukan untuk sekedar dibaca kemudian tidak dihiraukan.
Al-Hasan Al-Basri berkata, “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikan membacanya sebagai salah satu pengamalannya.”
Inilah akhir dari pembahasan ilmu ini.  Hal-hal bermutu telah aku berikan padamu.  Hendaklah manusia berlomba-lomba di dalamnya.  Aku perlihatkan wanita-wanita calon pengantin (Bidadari) kepadamu, maka hendaklah para pelamar berlomba-lomba pergi menemui mereka!
Dan akhir dari do'a kita adalah Segala Puja Puji hanya bagi Allah Rabb alam semesta.
الحمد لله رب العالمين
(Tamat)


                                                                 oOo