بسم الله الر حما ن الر حيم
100. ILMU ADALAH KEBERUNTUNGAN YANG PALING AGUNG
Salah seorang dari generasi salaf berkata, “Apalah artinya sesuatu yang didapatkan oleh
orang yang tidak mendapatkan ilmu? Dan
adakah yang hilang dari orang yang telah mendapatkan ilmu?”
101. ILMU ITU MENGHIDUPKAN HATI
Salah seorang yang bijak berkata, “Bukankah orang sakit itu,
jika ia tidak diberi makanan dan minuman, serta obat , ia akan mati?” Para hadirin menjawab, “betul.” Orang bijak itu berkata lagi, “Begitu juga hati, jika ia tidak
mendapatkan ilmu, dan hikmah maka tiga hari kemudian ia akan mati.”
Jika hati tidak mendapatkan suplai ilmu, ia termasuk hati
yang mati, namun yang bersangkutan tidak
merasakan kematiannya seperti halnya orang teler yang telah hilang akal (kesadaran)nya. Pada kondisi seperti itu, mereka tidak
merasakan sakitnya luka, namun jika mereka telah sehat dan pulih dari kondisi
sebelumnya, maka ketika itulah mereka merasakan sakitnya luka tersebut.
Begitulah seorang hamba, jika kematian (maut) telah menghilangkan beban dunia dan kesibukannya, baru ia
merasakan kematian (hati) dan kerugiannya.
Salah seorang penyair berkata,
Sampai kapankah
engkau tidak sadar, padahal zaman semakin mendekat?
Sampai kapankah teler
tidak lenyap dari hatimu?
Ya, engkau akan sadar
ketika tabir telah terkuak
Dan engkau ingat akan
kata-kataku pada saat ingat tidak berguna lagi
Jika tabir telah terkuak, ketidak jelasan telah sirna, semua
rahasia terbongkar, hal-hal tersembunyi terlihat, dibangkitkan apa saja yang
berada di alam kubur, dan dibedah apa saja yang ada di dalam dada, ketika itu
terbuktilah bahwa kebodohan adalah kegelapan bagi orang-orang bodoh dan ilmu adalah kerugian bagi orang-orang yang
tadinya menolaknya.
102. ILMU ADALAH JIHAD
Abu Darda Rmradhiyallahu 'anhu berkata, “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi mencari ilmu tidak
merupakan jihad, sungguh ia kurang akalnya.”
Ungkapan yang sama ialah perkataan Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu seperti telah
disebutkan sebelumnya.
103. ANTARA ORANG BERILMU DAN ORANG YANG BELAJAR
ILMU
Abu Darda radhiyallahu 'anhu berkata, “Orang berilmu dan
orang yang belajar ilmu adalah dua mitra dalam pahala. Dan
seluruh manusia selain mereka berdua adalah orang-orang jalang yang tidak ada
kebaikan pada mereka.”
104. PENCARI ILMU ITU SEPERTI MUJAHID
Abu Hatim bin Hiban meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
(yang artinya),
“Barang siapa masuk ke masjid ini untuk mempelajari kebaikan
atau untuk mengajarkannya, maka ia seperti mujahid di jalan Allah. Dan barang siapa masuk kedalamnya tidak untuk
maksud demikian, maka ia seperti melihat sesuatu yang bukan miliknya.” (HR. Ibnu Hibban).
105. PERLINDUNGAN ALLAH KEPADA PENCARI ILMU
Abu Hatim bin Hibban meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits tentang tiga orang yang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang ketika
itu sedang berada dalam halaqah (forum) ilmiah.
Salah seorang dari ketiganya menolak masuk ke dalam halaqah, salah
satunya merasa malu kemudian duduk di belakang peserta halaqah, sedang orang
ketiga masuk ke tengah-tengah halaqah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Adapun salah seorang dari ketiganya, ia berlindung
kepada Allah, maka Allah melindunginya.
Sedang yang lain merasa malu kemudian Allah pun malu kepadanya. Dan satunya berpaling, maka Allah pun
berpaling darinya," itu sudah cukup dijadikan sebagai bukti kemuliaan dan
keutamaannya.
106. DI ANTARA CONTOH KEMULIAAN ILMU DAN ORANG
BERILMU
Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu berkata, “Sesungguhnya manusia itu pada hakikatnya terbagi ke dalam 3 (tiga) kelompok; Orang berilmu yang Rabbani, orang yang belajar di jalan
keselamatan, dan orang-orang jelata.”
Pembagian ini khusus bagi manusia dan nyata terjadi pada
mereka. Sesungguhnya seorang hamba itu mendapatkan kesempurnaan dengan ilmu dan
amal perbuatan atau tidak sama sekali.
Orang pertama adalah orang berilmu yang Rabbani. Orang kedua yaitu orang yang belajar di jalan
keselamatan. Orang ketiga ialah
orang-orang jelata. Orang pertama telah
sampai pada tujuannya, orang kedua dalam tahap pencarian, dan orang ketiga
diharamkan dari mendapatkan kesempurnaan tersebut.
Kelompok Pertama;
Tentang orang berilmu yang Rabbani, Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, “Yaitu
orang yang mengajarkan ilmu kepada manusia.”
Sibawih berkata, “Mereka menambahkan huruf nun dan alif pada kata Rabbani jika mereka bermaksud membatasi pada ilmu Rabb Tabaraka wa Ta’ala sebagaimana mereka mengatakan sya’rani (orang
yang banyak rambutnya), dan lihyani (orang yang banyak jenggotnya).
Orang berilmu tidak
dinamakan Rabbani hingga ia mengamalkan ilmunya, dan mengajarkannya kepada
manusia.
Kelompok Kedua;
Orang yang berjalan di atas jalan keselamatan. Maksudnya dengan ilmunya, ia mencari
keselamatan. Dialah orang yang ikhlas
dalam mempelajari ilmu. Mempelajari apa
yang bermanfaat baginya, dan mengamalkan apa yang telah diketahuinya. Jika
ia mempelajari ilmu yang bermanfaat baginya namun tidak untuk mencari
keselamatan, ia juga tidak berada di atas jalan keselamatan. Jika ia mempelajarinya dan tidak
mengamalkannya, ia juga tidak mendapatkan keselamatan. Oleh karena itu, ia disifati dengan ciri
“di atas jalan”, maksudnya di atas jalan yang menyelamatkannya.
Tidak termasuk dalam hal ini adalah orang yang mencari ilmu untuk
mendapatkan kekayaan dunia, seperti sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
“Barang siapa mempelajari ilmu yang seharusnya untuk
mendapatkan keridhaan Allah, namun ia tidak mempelajarinya melainkan untuk
mendapatkan kekayaan dunia, maka ia tidak akan mencium aroma Surga.” (HR. Abu Nu'aim).
Kelompok Ketiga;
Orang yang tidak memiliki ilmu dan berpaling dari ilmu. Ia bukan orang yang berilmu, dan bukan pula
orang yang mempelajari ilmu. Ia adalah
orang-orang jelata.
Orang-orang jelata (hamaj)
yang dimaksud ialah orang-orang yang hina dan orang-orang bodoh diantara
mereka. Asal kata hamaj adalah lalat kecil seperti nyamuk yang bergerombol di atas kepala
kambing, dan hewan-hewan lain. Ali bin
Abu Thalib radhiyallahu 'anhu
mengumpamakan orang-orang bodoh seperti gerombolan lalat tersebut.
Ucapan Ali, “Pengikut
semua penyeru.” Maksudnya, bahwa
siapa pun yang menyeru mereka dan mengajak mereka, maka mereka
mengikutinya; baik mereka tidak memiliki
pengetahuan terhadap apa yang diseru kepadanya tersebut benar atau salah, atau
pemiliknya (oknum)? Yang jelas mereka merespon
ajakan orang-orang tersebut. Mereka adalah manusia yang paling
membahayakan Agama. Jumlah mereka sangat banyak, namun bobot
mereka amat kecil di sisi Alah Ta’ala. Mereka adalah provokator seluruh fitnah. Merekalah yang menyulut finah, dan
mengobarkannya. Orang-orang religius
berusaha menghadang fitnah tersebut, namun anehnya orang-orang jelata alias
orang-orang bodoh tersebut mengelola / mengobarkannya.
Penyeru mereka dinamakan naiq
karena mirip dengan hewan ternak yang dipanggil pengembalanya, kemudian hewan
tersebut pergi bersama pengembalanya kemanapun pengembala tersebut pergi.
Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya),
“Dan perumpamaan
(orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang
memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka oleh sebab
itu mereka tidak mengerti.”
(Al-Baqarah; 171).
Itulah penyifatan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu terhadap mereka karena mereka tidak memiliki ilmu dan hati mereka gelap. Mereka tidak mempunyai cahaya dan hati nurani, yang dengannya mereka bisa
membedakan antara kebenaran dengan kebatilan.
Bagi mereka semua itu sama saja (Sama-sama menyeru kepada Islam, pen blog).
Ucapan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, “Mereka bergerak bersama dengan hembusan
angin.” Dalam riwayat lain, “Mereka
bergerak dengan semua penyeru.” Ali bin
Abu Thalib radhiyallahu 'anhu
mengumpamakan akal mereka yang lemah
seperti ranting yang lemah, dan mengumpamakan hawa nafsu dan pendapat seperti
angin. Ranting itu bergerak bersama
angin kemana saja angin berhembus. Dan
akal mereka bergerak bersama dengan setiap hawa nafsu dan setiap penyeru. Jika
akal mereka sempurna, tentu akal mereka seperti pohon besar yang tidak bisa
dipermain-mainkan angin.
Perumpamaan di atas tidak berbeda dengan perumpamaan yang
dibuat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa orang-orang beriman itu seperti batang tanaman. Ia bergoyang ke bawah dan ke atas karena
hembusan angin, dan bahwa orang munafik
itu seperti padi yang tidak bisa dipetik kecuali setelah mencapai usia panen.
Perumpamaan tersebut
dibuat untuk orang beriman dan apa saja yang menimpanya seperti badai hujan,
sakit, dan lain sebagainya. Orang
beriman senantiasa berada diantara sehat dan sakit, ujian dan nikmat keamanan
dan ketakutan, dan lain sebagainya.
Terkadang ia jatuh dan terkadang tegak kembali. Ia doyong sebentar kemudian berdiri seimbang
lagi. Dosa-dosanya dihapus dengan ujian
yang menimpanya. Ia diseleksi dan dibersihkan dari kekeruhan yang ada di dalam
hatinya. Sedang orang kafir
semuanya busuk dan tidak layak kecuali sebagai bahan bakar. Ia tidak mempunyai hikmah dan rahmat dalam
segala musibah dunia yang menimpanya. Ini
jelas berbeda dengan orang beriman.
Inilah keadaan orang beriman dalam musibah.
Adapun terhadap hawa nafsu, provokator-provokator fitnah,
kesesatan dan bid’ah, ia seperti dikatakan dalam syair,
Gunung-gunung nan
kokoh telah runtuh
Sedang hatinya tetap
menetapi janji dan tidak bergeser dan tidak berubah sedikit pun
Ucapan Ali bib Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, “Mereka tidak mendapatkan cahaya ilmu, dan tidak
bersandar pada tiang yang kokoh.” Ali
bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu
ingin menjelaskan sebab yang menjadikan mereka seperti itu adalah karena mereka tidak mendapatkan cahaya ilmu yang
dengannya mereka bisa membedakan (memilah-milah) antara kebenaran dengan kebatilan, seperti
fiman Allah Ta’ala (artinya),
“Hai orang-orang yang
beriman(kepada para Rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasulnya,
niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada kalian dua bagian, dan menjadikan
untuk kalian cahaya yang dengan cahaya itu kalian dapat berjalan.” (Al-Hadid; 28).
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apakah orang yang
sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang
terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat
manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang
sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?” (Al-An’am; 122). Juga firman Allah Ta’ala
dalam surat (Al-Maidah; 16), dan (Asy-Syura; 52).
Karena hati tidak
mempunyai cahaya tersebut, ia menjadi seperti binatang yang tidak mengetahui
kemana ia harus pergi. Karena
kebingungannya, dan kebodohannya terhadap tujuan yang ingin dicapainya, ia
mengikuti semua suara yang didengar (menyambut seruan setiap "pendakwah", pen blog), dan hatinya tidak ditempati ilmu yang
memungkinkan mereka menolak ajakan para penyeru kebatilan.
Sesungguhnya
kebenaran, jika telah bersemayam di dalam hati, hati menjadi kuat dengannya dan
menolak apa saja yang akan merugikan dan mencelakakan dirinya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menamakan hujjah ilmiah sebagai penguasa seperti telah
dijelaskan sebelumnya.
Jika hati nurani seseorang gelap dan hatinya lemah, kemudian
cahaya itu menetap di dalamnya, maka hati nuraninya bersinar kembali dan
hatinya menguat.
Kedua prinsip ini
yaitu ilmu dan kekuatan adalah sentral kebahagiaan. Kedua sifat tersebut diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada guru pertama,
Jibril 'Alaihis Salam. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya),
“Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh
(Jibril) yang sangat kuat.” (An-Najm; 4-5).
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Al Quran
itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang
mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang
mempunyai Arasy.” (At-Takwir;
19-20).
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala
menyifati Jibril 'Alaihis Salam dengan ilmu dan kekuatan.
Ada makna yang lebih indah lagi yang mendekati apa yang
dimaksudkan oleh Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, yaitu bahwa mereka bukan
orang-orang yang memiliki hati nurani yang bersinar dengan cahaya ilmu, tidak
merujuk kepada orang berilmu yang ahli kemudian mereka mengikutinya, dan tidak pula bisa melihat keadaan. Seseorang itu
berada diantara dua keadaan; melihat atau buta, namun bersandar pada orang
melihat yang menuntunnya, atau orang buta yang berjalan tanpa penunjuk jalan!
Ucapan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, “Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjagamu, sedang engkau menjaga harta."
Seseorang tidak mungkin menjerumuskan dirinya ke dalam
kebinasaan jika ia miliki akal. Tetapi orang bodoh, ia dibunuh oleh
kebodohannya.
Orang yang mengetahui Allah Ta’ala dan perintah-Nya, dan mengetahui musuh Allah Ta’ala dan tipu dayanya, serta
tempat-tempat masuknya kepada hamba-hamba Allah, ia dijaga ilmunya dari
bisikan-bisikan syaithan, lintasan syaithan, penanaman keragu-raguan dan
kekafiran ke dalam hatinya. Karena
pengetahuannya terhadap itu semua, ia menolak menerima semua itu. Ilmunya menjaganya dari tipuan syaithan. Setiap
kali syaithan datang menjemputnya, ia diingatkan oleh penjaga ilmu dan iman, kemudian syaithan pulang dengan tangan kosong.
Jadi sesuatu yang paling tangguh yang menjaga seseorang dari
musuh yang terang-terangan ini adalah ilmu
dan iman. Itulah sebab yang berasal dari
diri seorang hamba. Sedang Allah Ta’ala
berada dibalik perlindungannya, penjagaannya dan pemeliharanya. Jika Allah Ta’ala menyerahkan perlindungan dirinya kepada dirinya sendiri,
ketika itulah ia disambar musuh-nya.
Salah seorang yang bijak berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa petunjuk ialah, Allah tidak
menyerahkan dirimu kepada dirimu sendiri.
Mereka juga bersepakat bahwa kehinaan ialah, bahwa Allah menyerahkan
dirimu kepada dirimu sendiri.”
Ilmu yang dipelajarinya terjaga dengan mengajarkannya kepada
orang lain, bahkan ia mendapatkan pasokan ilmu baru yang sebelumnya belum
diketahuinya. Boleh jadi ada
permasalahan yang belum jelas baginya, jika ia membicarakannya dan
mengajarkannya, maka permasalahan tersebut menjadi jelas baginya, bersinar
padanya, dan terbuka baginya ilmu-ilmu yang lain.
Selain itu, sesungguhnya balasan itu sesuai dengan amal
perbuatan. Maka jika ia mengajarkan
manusia dari kebodohannya, maka Allah Ta’ala membalasnya dengan mengajarkannya
dari kebodohan dirinya seperti disebutkan dalam Shahih
Muslim hadits dari Iyadh bin Himar dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda dalam hadits yang
panjang,
“Sesungguhnya Allah berfirman kepadaku, 'Berinfaklah,
niscaya Aku akan berinfak kepadamu.'”
(HR. Muslim).
Infak di atas mencakup infak dengan ilmu dengan menjaganya,
dan menjelaskan maksudnya.
Ada dua cara untuk mengembang-biakkan ilmu dan lain
sebagainya;
Pertama, mengajarkannya.
Kedua, mengamalkannya.
Mengamalkan ilmu juga bisa mengembang-biakkan ilmu,
memperbanyaknya, dan membukakan baginya bab-bab ilmu dan rahasia-rahasianya.
Ilmu itu seperti
seberkas api, jika seluruh penduduk bumi mengambilnya, maka berkas api tersebut
tidak berkurang sedikitpun. Ilmu justru
bertambah dengan diambil. Ilmu tak
ubahnya seperti mata air, jika ia diambil, maka sumbernya semakin banyak dan
melimpah.
Kelebihan Ilmu atas
harta bisa diketahui dari banyak sisi;
Pertama, ilmu adalah warisan para Nabi, sedang harta adalah
warisan para Raja dan orang-orang kaya.
Kedua, ilmu itu menjaga pemiliknya, sedang harta dijaga oleh
pemiliknya.
Ketiga, ilmu adalah penguasa atas harta, sedang harta tidak
mampu berkuasa atas ilmu.
Keempat, harta bisa hilang dengan infak, sedang ilmu malah
bertambah dengan infak.
Kelima, Harta berpisah dengan pemiliknya bila meninggal, sedang
ilmu masuk kedalam kubur bersama pemiliknya.
Keenam, harta bisa didapatkan oleh orang beriman, kafir, orang
baik-baik dan penjahat, sedang ilmu yang bermanfaat ia hanya bisa diperoleh
orang yang beriman saja.
Ketujuh, orang berilmu itu dibutuhkan para raja dan orang-orang
dibawah level mereka, sedang pemilik harta dibutuhkan oleh orang-orang miskin.
Kedelapan, sesungguhnya jiwa menjadi mulia dan bersih dengan
mendapatkan ilmu, sedang harta tidak membersihkan pemiliknya, tidak menambah
kesempurnaan dirinya, malah jiwa menjadi berkurang, dan kikir dengan
mengumpulkan harta dan menginginkannya.
Jadi keinginan terhadap ilmu adalah inti kesempurnaannya, dan keinginan
terhadap harta adalah inti ketidak sempurnaannya.
Kesembilan, sesungguhnya harta itu mengajak seseorang bertindak
sewenang-wenang, dan sombong. Sedang
ilmu, mengajak kepada sifat tawadhu, dan melaksanakan 'ubudiyah. Harta mengajak jiwanya kepada sifat-sifat Raja, sedang ilmu mengajaknya kepada sifat-sifat “budak”.
Kesepuluh, ilmu menarik diri seseorang dan membawanya kepada
kebahagiaan jiwanya yang diciptakan untuknya.
Sedang harta, ia malah menjadi tembok pemisah antara dirinya dengan
kebahagiaan (jiwa)nya.
Kesebelas, sesungguhnya kaya ilmu lebih mulia daripada kaya
harta. Kaya harta adalah kekayaan dengan sesuatu yang berada di luar Hakikat Manusia. Jika kekayaan itu musnah dalam
satu malam, pemiliknya langsung jatuh miskin.
Sedang kekayaan ilmu menyatu dengan hakikat kemanusiaan, bahkan kekayaan
ilmunya bertambah.
Keduabelas, sesungguhnya harta itu memperbudak pencintanya,
seperti disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Celakalah hamba dinar dan dirham.” (HR. Al-Bukhari). Sedang ilmu, ia menjadikan seseorang sebagai
budak Tuhannya dan Penciptanya. Ilmu
tidak mengajaknya kecuali beribadah kepada Allah Ta’ala.
Ketigabelas, Sesungguhnya cinta ilmu dan mencarinya adalah akar
semua ketaatan, sedang cinta dunia, harta dan mencarinya adalah akar semua
kesalahan.
Keempatbelas, sesungguhnya asset orang kaya adalah hartanya,
sedang asset orang berilmu adalah ilmunya.
Orang kaya bila asetnya habis dia tidak lagi mempunyai asset. Sedang orang berilmu, asetnya tidak pernah
habis bahkan selalu bertambah dan meningkat.
Kelimabelas, sesungguhnya bentuk harta itu seperti bentuk
badan, sedang bentuk ilmu itu seperti ruh, seperti dikatakan Yunus bin Habib, “Ilmumu itu berasal dari ruhmu dan hartamu
itu berasal dari badanmu. Perbedaan
antara ilmu dengan harta adalah seperti perbedaan antara ruh dengan badan.”
Keenambelas, Sesungguhnya orang berilmu itu jika ditawari dunia
seisinya sebagai pengganti ilmunya dia tidak akan rela. Sedang orang kaya yang berakal, jika ia
melihat kemuliaan, kelebihan, kebahagiaan dan kesempurnaan dengan ilmu, maka ia
mendambakan seandainya ilmu tersebut menjadi miliknya.
Ketujuhbelas, Harta itu disukai jiwa, maka jika jiwa melihat
ada orang lain yang lebih kaya darinya ia pun cenderung memusuhi dan
membinasakannya. Sedang orang berilmu
jika melihat orang yang lebih pandai darinya, ia pun mencintai, melayani dan
memuliakannya.
Kedelapanbelas, sesungguhnya orang tidak bisa taat kepada Allah
Ta’ala kecuali dengan ilmu, dan
kebanyakan orang yang bermaksiat kepada Allah Ta’ala adalah dengan hartanya.
Kesembilanbelas, sesungguhnya orang berilmu itu mengajak
manusia untuk taat kepada Allah Ta’ala dengan
ilmu dan sikapnya. Sedang orang kaya
mengajak manusia ke Neraka dengan harta dan sikapnya.
Keduapuluh, sesungguhnya
kelezatan yang dihasilkan kekayaan harta adalah kelezatan ilusi dan kelezatan
binatang. Jika pemiliknya mencari
kelezatan dengan mengumpulkannya, itulah kelezatan ilusi. Jika pemiliknya mencari kelezatan untuk
memenuhi ajakan syahwatnya, itulah kelezatan binatang. Sedang kelezatan ilmu, ia adalah kelezatan
akal plus rohani yang mirip dengan kelezatan para Malaikat dan kegembiraan Mereka. Antara kelezatan harta dengan
kelezatan ilmu terdapat perbedaan yang mencolok.
Keduapuluh Satu, sesungguhnya orang-orang berakal dari semua bangsa telah sepakat mencela orang
yang rakus mengumpulkan harta dan ambisi kepadanya. Mereka menganggap hina harta dan
pemiliknya. Mereka juga telah sepakat
memuliakan orang yang rakus mengumpulkan ilmu, dan mencarinya. Mereka memuji orang tersebut, mencintainya,
dan melihatnya dengan mata kesempurnaan.
Keduapuluh dua, mereka sepakat mengagungkan orang yang zuhud
terhadap harta, berpaling daripadanya, tidak tertarik kepadanya, dan tidak
menjadikan hatinya sebagai budak harta.
Mereka juga sepakat mencela orang yang zuhud terhadap ilmu yaitu orang
yang tidak tertarik terhadap ilmu dan tidak menginginkannya.
Keduapuluh tiga, sesungguhnya pemilik harta dipuji jika ia
mengeluarkan hartanya, dan orang berilmu dipuji karena ia bersifatkan ilmu.
Keduapuluh empat, sesungguhnya orang kaya harta selalu diliputi
kekhawatiran dan kesedihan. Ia sedih
sebelum mendapatkan harta, khawatir setelah mendapatkannya. Semakin banyak ia mendapatkan harta, ia
semakin khawatir. Sedang orang kaya ilmu,
semakin banyak ilmunya, ia semakin diliputi keamanan, kebahagiaan, dan
kegembiraan.
Keduapuluh lima, sesungguhnya orang kaya harta suatu saat pasti
berpisah dengan hartanya, kemudian ia tersiksa dan menderita karena berpisah
dengannya. Sedang orang kaya ilmu,
kekayaan ilmunya tidak hilang daripadanya, ia tidak tersiksa dan
menderita. Jadi kelezatan dengan harta
adalah kelezatan yang tidak abadi yang disusul dengan penderitaan. Sedang kelezatan ilmu adalah kelezatan abadi,
permanen dan tidak disusul dengan penderitaan.
Keduapuluh enam, sesungguhnya kelezatan dan kesempurnaan hati
dengan harta adalah kesempurnaan dengan pinjaman yang harus dikembalikan. Jadi jika jiwa berhias dengan harta, ia
berhias dengan pakaian hasil pinjaman yang harus dikembalikan kepada Pemiliknya
pada suatu saat. Namun jika jiwa berhias
dengan ilmu, ia berhias dengan sifat yang kokoh, dan kuat yang tidak akan
meninggalkannya.
Keduapuluh tujuh, sesungguhnya kaya harta adalah inti kemiskinan
jiwa dan kaya ilmu adalah inti kekayaan jiwa.
Kaya ilmu adalah kekayaan jiwa yang sebenarnya. Jadi, kekayaan jiwa dengan ilmu adalah
kekayaan dan kekayaan jiwa dengan harta adalah kemiskinan.
Keduapuluh delapan, sesungguhnya orang yang mulia dan dihormati
karena harta, maka kemuliaan dan kehormatan itu akan hilang jika ia tidak lagi
mempunyai harta. Akan tetapi orang yang
dimuliakan karena ilmunya, maka ilmunya membuatnya semakin dihormati dan
dimuliakan.
Keduapuluh sembilan, sesungguhnya mendahulukan seseorang karena
hartanya adalah inti kehinaannya, dan mengumumkan akan ketidak
sempurnaannya. Sebab jika ia tidak
mempunyai harta pasti ia layak dikesampingkan dan dihina. Sedang mendahulukan seseorang karena ilmunya,
itu adalah inti kesempurnaannya, sebab hal tersebut berdasarkan jiwanya,
sifatnya dan tidak berdasarkan sesuatu yang tidak ada pada dirinya.
Ketigapuluh, orang yang mencari kesempurnaan dengan kekayaan
harta adalah seperti orang yang mengumpulkan dua hal yang saling bertentangan,
dan mencari sesuatu yang ia tidak mendapatkan jalan untuk masuk kedalamnya.
Jika orang berilmu tidak mendapatkan kelezatan orang kaya
dan kenikmatan mereka dengan kekayaannya, maka orang kaya juga tidak mendapatkan
kelezatan orang berilmu, kenikmatan mereka dan kegembiraan mereka dengannya.
Orang berilmu mempunyai sebab-sebab kelezatan yang lebih
agung, lebih kuat, dan lebih langgeng daripada kelezatan orang kaya. Kelelahan orang berilmu dalam mencari ilmu,
dan menjaganya juga lebih sedikit ketimbang kelelahan orang kaya dalam mengumpulkan
harta, seperti yang difirmankan Allah Ta’ala
kepada kaum mukminin sebagai hiburan bagi mereka atas sakit dan kelelahan
mereka karena ta'at kepada-Nya,
“Janganlah kamu
berhati lemah dalam mengejar mereka (musuh-musuh). Jika kamu menderita kesakitan, maka
sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu
menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka
harapkan. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha bijaksana.” (An-Nisa; 104).
Ketigapuluhsatu, sesungguhnya kelezatan yang dihasilkan
kekayaan harta adalah kelezatan sekejap.
Sedang kelanjutannya bisa hilang sama sekali atau berkurang. Sebagai bukti, sesungguhnya watak manusia
tidak pernah bosan berambisi memburu kekayaan, dan selalu berusaha menambah
koleksi kekayaannya. Seandainya ia telah memiliki seluruh kekayaan dunia, maka
kebutuhannya, pencariannya, dan ambisinya kepada harta tetap ada pada dirinya,
karena ia termasuk salah satu dari dua pihak yang rakus yang tidak pernah
merasa kenyang. Ya, ia tidak pernah
lepas dari duka ambisi dan pencarian harta.
Frasa di atas diambil dari makna hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Dua orang rakus yang tak pernah kenyang; Orang yang rakus terhadap Ilmu dan tidak pernah kenyang dengan Ilmu, dan orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengan dunia." (HR. Al-Hakim)
Frasa di atas diambil dari makna hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Dua orang rakus yang tak pernah kenyang; Orang yang rakus terhadap Ilmu dan tidak pernah kenyang dengan Ilmu, dan orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengan dunia." (HR. Al-Hakim)
Ini berbeda dengan kekayaan ilmu dan iman, sesungguhnya
kelezatan pada masa mendatang sama persis dengan kelezatan pada masa
kekiniannya, bahkan semakin bertambah.
Kendati pemilik ilmu selalu mencari ilmu dan berambisi kepadanya,
pencarian dan ambisinya kepada ilmu malah disertai kelezatan yang lama,
kelezatan yang diharapkannya, dan kelezatan pencariannya.
Ketigapuluhdua, Ada dua pilihan bagi orang kaya; Menutup pintu
pemberian atau membukanya. Jika ia
menutup maka ia dikenal sebagai manusia yang jauh dari kebaikan, mereka
membencinya sehingga hatinya diliputi kegalauan, kecemasan dan kesedihan. Jika ia membuka pintu kebaikan bagi dirinya,
ia tidak mampu berbuat baik pada semua orang.
Ini jelas membuka pintu permusuhan dan persengketaan dari kalangan
orang-orang yang tidak mendapat pemberiannya.
Semua sisi negatip ini tidak terjadi pada orang yang kaya
dengan ilmu, karena pemiliknya mampu memberikan ilmu kepada semua orang.
Ketigapuluhtiga, sesungguhnya mengumpulkan harta itu selalu
diliputi tiga sisi negatip dan ujian; petaka sebelum ia mendapatkan harta,
petaka ketika ia mendapatkannya, dan petaka setelah ia berpisah dengannya.
Petaka pertama ialah kesulitan, kelelahan, dan sakit, karena
harta tidak bisa diperoleh kecuali dengan itu semua.
Petaka kedua adalah, kesulitan menjaga hartanya,
melindunginya, dan kedekatan hati dengannya.
Petaka ketiga, yaitu apa yang terjadi setelah orang yang
dekat dengan harta ditinggalkan oleh hartanya.
Ia dituntut untuk melaksanakan hak-hak hartanya, dan dimintai
pertanggung jawaban tentang apa yang
telah didapatkannya; darimana ia mendapatkannya dan untuk apa ia gunakan?
Sedang orang yang kaya ilmu dan iman, disamping ia terbebas
dari ketiga petaka di atas, ilmu menjamin
semua bentuk kelezatan, kebahagiaan, dan kegembiraan. Namun itu semua tidak didapatkan kecuali
di atas jembatan kelelahan, kesabaran dan kesulitan.
Ketigapuluhempat, sesungguhnya kelezatan dengan harta itu
tidak bisa dinikmati sendirian, harus melibatkan orang lain kendati cuma
pembantu-pembantunya, istri-istrinya, dan para pengikutnya. Jika ia menikmati hartanya sendirian tanpa
menyertakan orang lain, maka pemanfaatan hartanya dan kelezatannya tidak
maksimal. Sedangkan keterkaitannya
dengan pihak lain tersebut adalah
pangkal penyakit, sakit, dan berbagai macam kesusahan, terutama keburukan yang
berasal dari keluarga dan sanak kerabat jauh lebih besar daripada keburukan
yang berasal dari orang-orang asing yang tidak ada ikatan keluarga. Semua kondisi di atas tidak ditemui di kekayaan
dengan ilmu.
Ketigapuluhlima, sesungguhnya yang dimaksud dengan harta itu
bukan zatnya dan bentuknya. Dzat harta
pada dasarnya tidak menghasilkan manfaat apapun. Ia tidak mengenyangkan, tidak menghilangkan haus,
tidak menghangatkan, dan tidak melindungi.
Namun yang dimaksud dengan harta adalah sebagai sarana kepada itu semua
(kenyang, menghilangkan haus, ketenangan, dan lain sebagainya).
Sebagaimana diketahui,
tujuan itu lebih mulia daripada sarana. Jadi, tujuan itu lebih Agung daripada sarana.
Sarana, kendati ia mulia, jika
dibandingkan dengan tujuan tidak ada apa-apanya.
Sedang kelezatan ilmu dan iman , ia adalah kelezatan yang
langgeng, selalu membahagiakan, dan menghendaki kegembiraan dan kepuasan. Ia tidak hilang yang menyebabkan orang
berilmu sedih karenanya, dan tidak meninggalkannya kemudian sakit karenanya. Orang-orang berilmu adalah seperti yang
difirmankan Allah Ta’ala (artinya),
“Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (Yunus; 63).
Ketigapuluhenam, Sesungguhnya orang kaya karena harta itu benci
kepada kematian dan pertemuan dengan Allah Ta’ala. Karena kecintaannya kepada harta, ia tidak
ingin berpisah dengannya dan ingin tetap bersamanya agar ia bisa menikmatinya
seperti terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun ilmu, ia membuat orang cinta kepada Allah Ta’ala, dan membuatnya bersikap zuhud
dalam kehidupan dunia yang penuh tipuan, melelahkan dan fana ini.
Ketigapuluhtujuh, sesungguhnya nama besar orang-orang kaya itu
habis bersama dengan kematian mereka.
Sedang para ulama, walaupun mereka telah meninggal dunia, namun nama besar mereka tetap
terjaga, seperti dikatakan Amirul Mukminin, “para penyimpan harta telah mati, kendati mereka masih hidup. Sedang para 'ulama, mereka tetap hidup
sepanjang zaman.”
Jadi, penumpuk harta itu hidup seperti mayat-mayat, dan para
ulama setelah kematian mereka adalah mayat-mayat bagaikan orang-orang yang hidup.
Ketigapuluhdelapan, sesungguhnya kedudukan ilmu bagi ruh
adalah seperti kedudukan nyawa bagi badan.
Ruh itu mati dan kehidupannya
adalah dengan ilmu. Badan juga mati dan
kehidupannya ialah dengan nyawa.
Tujuan orang kaya dengan harta ialah meningkatkan kehidupan
badannya. Sedang ilmu, ia adalah
kehidupan hati dan ruh (jiwa).
Ketigapuluhsembilan, sesungguhnya hati adalah raja badan,
sedang ilmu ialah hiasan badan, bekalnya dan asetnya. Dengan ilmu, kerajaan menjadi tegak. Raja selalu membutuhkan pasukan, senjata,
kekayaan, dan hiasan. Ilmu adalah
kendaraannya, bekal, dan perhiasannya.
Adapun harta, tujuannya adalah untuk menjadi perhiasan dan kosmetik
badan jika memang ia dikeluarkan untuk tujuan tersebut. Jika orang kaya menyimpannya dan tidak
membelanjakannya, ia bukan perhiasan atau kosmetik, justru merupakan cobaan dan
petaka.
Keempatpuluh, sesungguhnya kekayaan yang ideal ialah yang mencukupi
seorang hamba, menyokongnya, dan menutupi kebutuhannya hingga ia mampu memenuhi
kebutuhannya dan berbekal dengannya dalam perjalanannya kepada Allah Azza wa Jalla. Jika
harta lebih dari batasan ideal, ia menyibukkan pemiliknya, mengganggu
perjalanannya kepada Tuhannya, dan merintangi usahanya mencari bekal, serta
mudharatnya lebih banyak daripada kemaslahatannya. Jika kekayaannya semakin bertambah, ia
semakin bertambah lupa menyiapkan bekal untuk masa depannya di akhirat.
Sedang ilmu, semakin bertambah, maka orang berilmu semakin
bersemangat melakukan persiapan, memenuhi kebutuhan, dan menyiapkan bekal
perjalanan. Jadi,
bekal perjalanan ini adalah ilmu dan amal perbuatan, dan bekal berdomisili adalah mengumpulkan harta dan menyimpannya. Barangsiapa menginginkan sesuatu, ia mengadakan persiapan untuknya. Allah Ta’ala berfirman (artinya),
bekal perjalanan ini adalah ilmu dan amal perbuatan, dan bekal berdomisili adalah mengumpulkan harta dan menyimpannya. Barangsiapa menginginkan sesuatu, ia mengadakan persiapan untuknya. Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan jika mereka mau
berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi
Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan
mereka, dan dikatakan kepada mereka, ‘Tinggallah kamu bersama orang-orang yang
tinggal itu.'” (At-Taubah; 46).
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Mencintai ilmu atau orang berilmu adalah agama.” Karena ilmu adalah warisan para Nabi, dan
para 'ulama adalah ahli waris mereka, maka cinta ilmu dan orang berilmu berarti
cinta warisan para Nabi dan pewaris mereka.
Sebaliknya benci ilmu dan orang berilmu berarti benci warisan para Nabi
dan pewaris mereka.
Jadi cinta ilmu
adalah salah satu indikasi kebahagiaan, dan benci ilmu adalah salah satu
indikasi kecelakaan. Ilmu yang dimaksud
yaitu ilmu para Rasul (Ilmu Agama), dan yang mereka wariskan kepada ummat, dan bukan
sembarang ilmu.
Selain itu cinta ilmu membuat orang mempelajarinya dan
mengikutinya. Itulah agama. Dan benci kepadanya membuat orang tidak
mempelajarinya dan mengikutinya. Itulah
kecelakaan dan kesesatan.
Selain itu, sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui
mencintai setiap orang berilmu, dan memberikan ilmu kepada orang yang
dicintai-Nya. Maka barangsiapa cinta
ilmu dan orang berilmu, berarti ia mencintai apa yang dicintai Allah Ta’ala.
Ucapan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, “Ilmu itu membuat orang berilmu dita'ati
sepanjang hidupnya dan menjadi bahan pembicaraan yang baik sepeninggalnya.”
karena kebutuhan kepada ilmu berlaku bagi siapapun baik para Penguasa maupun
rakyat biasa. Semua orang harus taat
kepada orang berilmu, karena ia menyuruh manusia ta'at kepada Allah dan
Rasul-Nya. Firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Hai orang-orang
beriman, ta'atilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kalian.” (An-Nisa; 59).
Ada yang menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan ulil amri pada ayat diatas adalah para 'ulama.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu berkata, “Ulil amri yang
dimaksud adalah para fuqaha dan ahli Agama yang mengajarkan Agama kepada
manusia. Allah Ta’ala mewajibkan taat
kepada mereka.”
Ada lagi yang menafsirkan, bahwa ulil amri yang dimaksud pada ayat diatas adalah para Pemimpin. Itulah pendapat ibnu zaid, dan salah satu dari
dua pendapat Imam Ahmad dan Ibnu Abbas.
Sesungguhnya ayat di atas mencakup kedua penafsiran
tersebut. Taat kepada para pemimpin itu
wajib, jika ia memerintah dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kebaikan ilmu dan agama itu lebih agung daripada kebaikan
harta, karena kebaikan ilmu dan agama adalah dengan hati, lisan dan semua anggota tubuh. Kebaikan tersebut muncul dari
perasaan cinta dan hormat, karena ilmu yang diberikan Allah kepadanya dan Allah
mengutamakannya dengan ilmu tersebut atas orang lain.
Selain itu, kebaikan ilmu adalah karena jiwa orang berilmu,
sedang kebaikan dengan harta adalah karena harta yang terpisah dari dirinya.
Ucapan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, “Sesungguhnya di sini ada ilmu sambil memberi
isyarat ke dada.” Ini menunjukkan bahwa
seseorang diperbolehkan mengungkap ilmu dan kebaikan yang dimilikinya agar
orang lain belajar padanya dan mendapat manfaat darinya, seperti ucapan Yusuf 'alaihissalam,
“Jadikanlah aku
bendaharawan Negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga,
lagi berpengetahuan.” (Yusuf; 55).
Barangsiapa menerangkan sesuatu tentang dirinya seperti
Nabi Yusuf 'alaihissalam di atas untuk memperbanyak kebaikan yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya, maka itu sangat terpuji. Ini
berbeda dengan orang yang menceritakan sesuatu tentang dirinya dengan tujuan
sombong kepada manusia, maka ia dibalas Allah dengan kebencian manusia
kepadanya, dan kekerdilan dirinya dimata mereka. Sedang orang pertama, Allah Ta’ala membalasnya dengan mengagungkannya
di hati dan mata mereka. Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung
kepada niatnya.
Kemudian Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu menyebutkan klasifikasi
para pengemban ilmu yang tidak mengemban ilmu dengan baik, mereka terbagi
ke dalam 4 (empat) kelompok;
Kelompok pertama,
orang yang tidak jujur (amanah) terhadap ilmu, yaitu orang yang dianugerahi
kecerdasan dan daya hapal yang tinggi, namun dia tidak dianugerahi keshalihan. Ia menjadikan ilmu yang notabene alat agama
sebagai alat dunia, menjadikan komoditi Akhirat sebagai komoditi dunia.
Sungguh, orang yang menjadikan komoditi Akhirat sebagai
komoditi dunia telah berkhianat kepada Allah, hamba-hamba-Nya, dan Agama-Nya.
Jika Allah Ta’ala
memberikan nikmat kepadanya, dengan nikmat tersebut ia mengalahkan manusia dan
jika ia mempelajari ilmu, dengannya ia mengalahkan Kitab Allah Ta’ala.
Yang dimaksud dengan
mengalahkan Kitab Allah Ta’ala dengan ilmu ialah, bahwa ia menjadikan ilmunya berkuasa terhadap Kitab Allah Ta’ala,
dan lebih mendahulukan ilmunya atas Kitab Allah Ta’ala.
Inilah realitas dari kebanyakan orang-orang yang memiliki ilmu.
Ia merasa cukup dengan ilmunya, mendahulukannya, dan menjadikannya
berkuasa, serta menjadikan Kitab Allah Ta’ala
sebagai pengikut (anak buah) ilmunya.
Ini bukan perilaku 'ulama, karena ulama sejati yaitu orang berilmu yang memenangkan kitab Allah Ta’ala di atas segala hal. Ia mendahulukan Kitab Allah Ta’ala, menjadikannya berkuasa atas
segala sesuatu, menjadikannya sebagai panutan (imam), barometer, dan pengendali
sebagaimana Allah Ta’ala menjadikan Kitab-Nya seperti itu.
Orang yang memenangkan kitab Allah Ta’ala adalah orang yang mendapat petunjuk dan orang yang
berbahagia, sedang orang yang mengalahkannya adalah orang yang terlantar dan
celaka. Itulah keadaan orang yang sibuk
dengan selain kitab Allah Ta’ala,
mendahulukan selain Kitab Allah Ta’ala,
dan mengakhirkan Kitab Allah Ta’ala.
Kelompok kedua,
orang yang tunduk kepada ilmu namun hatinya tidak senang dengannya. Kendati ia termasuk orang-orang yang berada
di atas jalan keselamatan, ia bukan termasuk da'i-da'i agama. Ia hanya penambah jumlah pasukan, dan bukan
komandannya atau pasukan berkudanya.
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, "Sifat ragu-ragu membekas dalam hatinya karena
syubhat (kebathilan yang berkedok kebenaran) yang datang kepadanya." Itu
disebabkan karena kedangkalan ilmunya, dan minimnya wawasan. Jika syubhat yang paling rendah datang kepada
hatinya, maka syubhat tersebut menimbulkan sifat ragu-ragu pada dirinya. Ini berbeda dengan orang yang ilmunya
mendalam, seandainya syubhat sebanyak ombak laut datang padanya, semua syubhat
itu tidak mampu menghapus keyakinannya dan tidak menimbulkan sifat ragu-ragu
pada dirinya. Karena ilmunya telah
kokoh, maka syubhat apapun yang datang padanya tidak mampu mempengaruhinya,
malah pengemban ilmu dan tentaranya mengusirnya dalam keadaan kalah dan
terpuruk.
Syubhat ialah ibarat
tamu yang berkunjung ke dalam hati dengan tujuan menjauhkan hati dari melihat
kebenaran. Namun jika hati memiliki
hakikat ilmu, syubhat tersebut tidak mampu mempengaruhinya, bahkan ilmunya dan
keyakinannya menguat dengan melawan syubhat tersebut, dan mengetahui ketidak
benarannya. Sebaliknya, jika hakikat ilmu
tidak menembus hatinya, syubhat tersebut mempengaruhinya sejak awal
kedatangannya. Jika ia tidak segera
memperbaiki hatinya, maka syubhat-syubhat yang lain akan datang menyusul
kepadanya hingga akhirnya ia menjadi orang yang serba ragu-ragu.
Hati itu selalu
didatangi dua pasukan kebathilan; Pasukan syahwat kesesatan, dan pasukan
syubhat bebathilan. Jika hati
mendengar syubhat dengan serius, tertarik padanya, menghisapnya, dan sarat
dengannya kemudian lisannya dan anggota badannya basah dengan segala akibatnya,
maka minuman syubhat kebathilan memancarkan keragu-raguan, syubhat-syubhat
yang lain dan keinginan-keinginan rusak pada lisannya, kemudian orang bodoh
menyangka bahwa itu tidak lain karena ilmunya yang luas, padahal itu disebabkan
karena ia tidak memiliki ilmu dan keyakinan.
Suatu ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata kepadaku, “Jangan
jadikan hatimu terhadap keinginan-keinginan dan syubhat-syubhat seperti bunga
karang kemudian dia menghisapnya dan tidak diairi kecuali dengannya. Tapi, jadikan hatimu terhadapnya seperti kaca
yang membisu. Syubhat-syubhat dalam
bentuk aslinya melewatinya dan tidak menetap didalamnya kemudian hati melihat
syubhat tersebut dengan kebeningannya dan melawannya dengan kekokohan
hatinya. Tapi, jika engkau meminumkan
pada hatimu setiap syubhat yang melewatinya, maka hatimu akan menjadi markas
syubhat-syubhat.”
Wasiat di atas sangat bermanfaat bagiku dalam menolak semua
syubhat.
Syubhat dinamakan
syubhat, karena di dalamnya terdapat kemiripan antara kebenaran dan
kebathilan. Syubhat tersebut mengenakan
pakaian kebenaran ke dalam badan kebathilan.
Mayoritas besar manusia terpikat oleh keindahan penampilan luar,
kemudian ia meyakini kebenaran syubhat tersebut.
Adapun orang yang berilmu dan berkeyakinan, ia tidak
terkecoh dengan tipuan di atas. Ia
berusaha melihat bagian dalam pakaian tersebut, dan apa saja yang ada di balik
pakaian syubhat, kemudian terkuak olehnya hakikat pakaian syubhat tersebut.
Kata-kata indah yang
ada pada syubhat adalah seperti lapisan perak pada uang dirham yang palsu, dan
maknanya adalah seperti tembaga yang ada di balik lapisan perak.
Betapa seringnya penipuan seperti di atas membunuh banyak
sekali manusia dan tidak ada yang mengetahui jumlah pastinya kecuali Allah
saja!
Jika orang berakal cerdas mengkaji hal ini dan
merenungkannya, ia dapat melihat bahwa sebagian besar manusia menerima sebuah madzhab
dengan perkataan dan menolaknya dengan perkataan yang lain (tidak berdasarkan dalil yang kuat, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah, pen blog.).
Dalam hal ini, para imam sunnah termasuk Imam Ahmad dan
lain-lain berkata, “Kita tidak menghapus salah satu sifat dari sifat Allah
hanya karena keburukan yang dialamatkan kepadanya. Orang-orang Jahmiyah menamakan penetapan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah
seperti kehidupan-Nya, ilmu-Nya, firman-Nya, pendengaran-Nya,
penglihatan-Nya, dan semua sifat yang Allah sifatkan pada Diri-Nya sebagai bentuk penyerupaan dan upaya humanisasi. Menurut mereka, barang siapa menetapkan hal
di atas, berarti ia melakukan upaya penyerupaan Allah dengan makhluk.”
Barang siapa diberi
penglihatan hati, ia bisa melihat hakikat kebenaran dan kebathilan yang ada
dibalik perkataan di atas dan ia tidak akan terkecoh dengan kata-kata.
Tidak ada yang selamat
dari petaka ini kecuali orang yang dikehendaki Allah kemuliaan baginya dan
meridhainya untuk menerima kebenaran.
Ucapan Ali bin Abu Thalib, “Sejak awal syubhat datang
kepadanya.” Ini adalah bukti lemahnya
akal dan pengetahuan orang tersebut, sebab ia terpengaruh sejak permulaan, dan
goyah sejak awal. Berbeda dengan orang yang akalnya sempurna, ia tidak goyah
dengan permulaan segala sesuatu, tidak goncang karenanya, dan tidak gelisah
karenanya. Sesungguhnya pada awalnya
kebathilan itu mengejutkan dan menakutkan.
Jika hati kokoh menghadapinya, ia mengusirnya lari tunggang langgang.
Allah Ta’ala menyukai ilmu dan sikap hati-hati
pada hamba-Nya, oleh karena itu seseorang jangan tergesa-gesa! Ia harus tetap tegar hingga ia mengetahui dan
meyakini apa yang datang padanya. Seseorang
tidak boleh terburu-buru dalam suatu masalah sebelum ia memikirkannya dengan
matang, karena sikap terburu-buru dan gegabah berasal dari syaithan.
Barang siapa bersikap
tegar pada bentrokan awal, maka ia menghadapi urusannya dengan berlandaskan
ilmu, dan hati yang teguh.
Sebaliknya, barang siapa tidak tegar terhadapnya, maka ia menghadapinya
dengan terburu-buru dan gegabah. Akibatnya
adalah penyesalan, sedang akibat bagi orang pertama adalah terpuji.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berdoa,
اللهم اني اسالك الثبات في الاءمر والعزيمة على لرشد
اللهم اني اسالك الثبات في الاءمر والعزيمة على لرشد
("Allahumma inniy as-aluka ats-tsabaata fiy al-amri wa al-'aziymata 'alaa ar-rusydi")
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ketegaran dalam segala hal, dan keteguhan terhadap petunjuk.” (HR. Ahmad dan An-Nasai).
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ketegaran dalam segala hal, dan keteguhan terhadap petunjuk.” (HR. Ahmad dan An-Nasai).
Kedua kata di atas adalah kunci keberuntungan. Seseorang tidak diberi kedua sifat di atas tidak
lain karena ia menyia-nyiakan kedua sifat tersebut, atau salah satu dari
keduanya. Seseorang tidak diberi kedua sifat tersebut karena ia bersikap
buru-buru, atau gegabah, atau goyah oleh kejutan awal peristiwa, atau lengah,
atau malas, atau membuang sia-sia peluang emas yang ada di depan matanya. Jika seseorang mampu bersikap tegar kemudian
bernyali kuat, sungguh ia mendapatkan puncak keberuntungan. Allah-lah tempat memohon petunjuk.
Kelompok ketiga,
orang yang ambisinya ialah mendapatkan kenikmatan. Ia terseret oleh ajakan syahwat dimanapun ia
berada. Tingkatan Nubuwwah (kenabian)
tidak bisa didapatkan dengan sikap seperti itu.
Ilmu tidak bisa diraih kecuali dengan meninggalkan
kenikmatan-kenikmatan, dan kehidupan santai.
Muslim berkata dalam Shahih-nya,
bahwa Yahya bin Abu Katsir berkata, “Ilmu itu tidak bisa didapatkan dengan
badan yang suka istirahat.”
Ibrahim bin Al-Harbi berkata, “Semua orang-orang berakal
pada setiap ummat telah sepakat, bahwa kebahagiaan itu tidak bisa diperoleh
dengan kenikmatan-kenikmatan. Barang
siapa lebih suka istirahat, ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Apalah artinya derajat orang-orang yang bergelimang
dengan kenikmatan-kenikmatan dibandingkan derajat pewaris para Nabi.”
Seorang penyair berkata,
"Tidak usahlah engkau menulis, karena engkau bukan ahlinya
"Tidak usahlah engkau menulis, karena engkau bukan ahlinya
Kendati engkau
menghitamkan wajahmu dengan tinta"
Sesungguhnya ilmu adalah produksi dan pekerjaan hati. Jika ia tidak berkonsentrasi untuk
memproduksinya, ia tidak mendapatkannya.
Ilmu itu mempunyai satu arah, jika arahnya ditujukan kepada
kenikmatan-kenikmatan, dan syahwat-syahwat, maka arah tersebut berpaling dari
ilmu. Jika kenikmatan mencari ilmu tidak
bisa mengalahkan kenikmatan badannya dan syahwat dirinya, ia tidak akan mendapatkan
derajat ilmu untuk selama-lamanya. Jika
seluruh syahwatnya, dan kenikmatannya terfokus untuk mencari ilmu, ia bisa
diharapkan menjadi orang berilmu.
Kenikmatan ilmu
adalah kelezatan akal dan ruhani dan mirip dengan kenikmatan para Malaikat. Kelezatan syahwat-syahwat makan, minum, dan
seks adalah kelezatan binatang.
Manusia dan binatang sama di dalamnya.
Dan kelezatan kejahatan, kezhaliman, kerusakan, dan arogan di atas
permukaan bumi adalah kelezatan syaithan.
Di dalamnya pelakunya sama dengan iblis dan pasukannya.
Semua kelezatan akan hilang jika ruh berpisah dengan badan,
kecuali kelezatan ilmu dan iman, justru kelezatan tersebut semakin bersemi
sesudahnya, dan karena selama ini badan dan seluruh aktivitasnya malah
mengurangi kelezatan tersebut, dan merintanginya. Jadi, jika ruh terlepas dari
badan, maka ruh mendapatkan kelezatan paripurna karena ia telah mendapatkan
ilmu yang bermanfaat, dan amal perbuatan yang shalih.
Barang siapa mencari kelezatan terbesar, dan mengutamakan
kenikmatan abadi, maka kelezatan dan kenikmatan tersebut berada dalam ilmu dan iman. Kebahagiaan manusia sangat terkait dengan
keduanya.
Apalah arti itu semua jika dibandingkan dengan kelezatan ilmu,
kelezatan iman kepada Allah Ta’ala,
cinta pada-Nya, menghadap pada-Nya, dan asyik ingat pada-Nya?
Kelompok keempat, orang
yang ambisinya dan obsesinya adalah mengumpulkan harta, mengembangkannya, dan
menyimpannya. Ia menemukan kelezatan di
dalamnya, larut dengannya daripada urusan lain, dan tidak melihat kenikmatan
teragung kecuali dengannya. Dimanakah kedudukan
orang tersebut dibandingkan derajat ilmu?
Keempat kelompok di atas tidak termasuk jajaran da'i-da'i
agama, tidak pula tokoh-tokoh ilmu, dan tidak pula orang-orang yang mencarinya
dengan jujur. Barang siapa akrab dengan
mereka, ia termasuk orang-orang yang meniru mereka, orang-orang yang menyerupai
mereka, orang-orang yang mengajak berhubungan dengannya.
Salah seorang dari generasi Sahabat yang mulia berkata, “Hati-hatilah terhadap fitnah orang berilmu
yang banyak dosanya, dan ahli ibadah yang bodoh, karena fitnah keduanya
adalah fitnah bagi semua orang yang terkena fitnahnya.”
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Sesuatu yang paling mirip dengan mereka yaitu binatang ternak.” Penyerupaan ini diambil
dari firman Allah Ta’ala,
“Mereka itu tidak
lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya
(daripada binatang ternak itu).” (Al-Furqan; 44).
Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak saja mengibaratkan mereka dengan binatang ternak, bahkan menyatakan
bahwa mereka lebih sesat daripada binatang ternak.
Allah Ta’ala
sekali waktu mengumpamakan orang bodoh dan sesat seperti binatang ternak, dan
sekali waktu seperti keledai. Ini adalah
perumpamaan bagi orang yang mempelajari ilmu, namun tidak memikirkannya, dan
tidak mengamalkannya. Ia seperti keledai
yang mengangkut barang. Pada kesempatan
lain, Allah Ta’ala mengumpamakan mereka seperti anjing. Perumpamaan tersebut
adalah bagi orang yang berpaling dari ilmu, dan membumi kedalam syahwat dan
hawa nafsu.
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Ilmu itu mati bersamaan dengan kematian
pengembannya.” Ucapan di atas diambil
dari sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam yang diriwayatkan Abdullah bin Amr, Aisyah dan lain-lain,
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara
mencabutnya dari dada manusia. Tapi Dia
mencabutnya dengan mencabut (nyawa) para 'ulama.
Jika orang berilmu tidak ada lagi, maka manusia mengangkat Pemimpin dari
kalangan orang-orang bodoh. Mereka
ditanya kemudian menjawab tanpa dasar ilmu.
Mereka sesat dan menyesatkan.”
(HR. Al-Bukhari).
Jadi, kepergian ilmu adalah dengan kematian para 'ulama. Ketika Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu meninggal dunia, Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Saya
kira pada hari ini Sembilan persepuluh ilmu telah pergi.”
Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Kematian seribu ahli ibadah lebih enteng daripada kematian
satu orang berilmu yang ahli tentang hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan
Allah.”
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Ya Allah, benar sekali bahwa dunia tidak pernah
sepi dari orang yang berusaha dengan serius menegakkan hujjah-hujjah Allah
karena-Nya.” Ucapan tersebut dibenarkan
sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam dalam hadits shahih,
“Akan senantiasa ada pada ummatku sekelompok yang berada di atas kebenaran. Tidak merugikan mereka orang
yang menelantarkan mereka dan menentang mereka hingga datanglah keputusan
Allah, sementara mereka (tetap) dalam keadaan seperti itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan,
“Ilmu ini dalam setiap generasi dihusung oleh orang-orang
yang adil. Mereka membuang daripadanya
distorsi (perusakan) orang-orang yang radikal (berlebih-lebihan), plagiasi (jiplakan) para
pendusta, dan takwil orang-orang bodoh.”
Ini menunjukkan bahwa ilmu itu selalu ada dalam kurun waktu.
Disebutkan dalam Shahih Abu Hatim hadits Al-Khaulani, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Allah senantiasa menanam dalam agama ini tanaman yang
membuat mereka ta'at kepada-Nya.”
Tanaman Allah Ta’ala yang dimaksud adalah orang-orang
berilmu dan mengamalkan ilmunya.
Jika di bumi tidak ada orang berilmu, maka bumi kosong dari tanaman
Allah Ta’ala.
Hujjah adalah
dalil-dalil ilmiah yang dipahami hati dan didengar telinga. Allah Ta’ala
berfirman tentang dialog Nabi Ibrahim dengan kaumnya dan pembuktian ketidak
benaran persepsi mereka dengan dalil ilmiah Nabi Ibrahim, (Al-An’am; 83).
Hujjah yang disandarkan kepada Allah Ta’ala adalah hujjah yang benar.
Terkadang hujjah juga berkonotasi perseteruan (pertengkaran),
(Asy-Syura; 15).
Jika kebenaran telah terlihat, dan tidak ada yang
samar-samar padanya, maka tidak ada lagi gunanya perdebatan.
Sesungguhnya Al-Qur’an sarat dengan hujjah-hujjah,
dalil-dalil, petunjuk tentang masalah-masalah Tauhid, penegasan adanya
Pencipta, Hari Akhirat, pengutusan para Rasul, dan proses terjadinya Alam Semesta.
Al-Qur’an sarat dengan hujjah dan di dalamnya terdapat banyak
sekali berbagai macam dalil, dan barometer kebenaran.
Allah Ta’ala memerintahkan
Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
menegakkan hujjah dan perdebatan. Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik.” (An-Nahl;
125).
Juga firman Allah Ta’ala,
“Dan janganlah kamu
berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik.” (Al-Ankabut; 46).
Tentang perbedaan antara hujjah dengan bayyinah, saya
katakan, bahwa hujjah ialah dalil ilmiah, sedang bayyinah adalah kata
sifat. Dikatakan, ayat bayyinah (ayat yang jelas) atau
hujjah bayyinah (hujjah yang jelas).
Bayyinah ialah
terminologi untuk apa saja yang menjelaskan kebenaran, misalnya tanda atau
isyarat, atau dalil ilmiah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya Kami
telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Neraca (Keadilan).” (Al-Hadid; 25).
Jadi bayyinah ialah
ayat-ayat yang diperlihatkan Allah Ta’ala
sebagai bukti kebenaran para Rasul, misalnya mukjizat. Al-Kitab yang dimaksud pada ayat diatas adalah
dakwah.
Maqam Ibrahim (batu tempat berpijaknya Nabi Ibrahim sewaktu mendirikan Ka'bah) adalah
salah satu ayat yang bisa dilihat oleh mata, dan ia termasuk ayat-ayat Allah Ta’ala yang ada di alam semesta,
(Ali Imran; 96-97).
Pelemparan tongkat oleh Nabi Musa 'Alaihissalam dan perubahannya menjadi ular adalah salah satu
bayyinah (ayat-ayat yang membenarkan kebenaran).
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Mereka jumlahnya tidak seberapa banyak, namun
mereka adalah orang-orang yang paling berbobot ucapannya di sisi Allah.” Tipologi
manusia seperti itu sangat langka, dan itulah penyebab keterasingan mereka. Mereka tidak banyak pada manusia, dan manusia
berbeda jalan dengan mereka.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda,
“Islam datang pertama kali dalam keadaan terasing dan ia
akan kembali dalam keadaan terasing, maka berbahagialah orang-orang yang
asing.” (HR. Muslim).
Kaum mukminin itu sedikit dibandingkan jumlah keseluruhan
manusia, para 'ulama itu sedikit diantara kaum mukminin, dan orang-orang seperti
mereka itu (lebih) sedikit diantara para 'ulama.
Manusia sejati ialah
orang yang memegang teguh kebenaran kendati jumlahnya sedikit.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Janganlah salah
seorang dari kalian menjadi pembeo. Ia
berkata, ‘Aku bersama manusia.’ Namun
hendaklah salah seorang dari kalian memantapkan dirinya untuk menjadi orang
beriman, kendati seluruh manusia kafir.”
Sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengecam kebanyakan manusia dalam banyak ayat di dalam Al-Qur’an,
misalnya;
“Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah.” (Al-An’am; 116),
“Dan sebagian besar
manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf; 103),
“Dan sedikit sekali
dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”
(Saba’; 13), (Shad; 24).
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu, “Dengan mereka, Allah membela hujjah-hujjah-Nya
hingga mereka menunaikannya kepada orang-orang yang semisal dengan mereka, dan
menanamkannya kedalam hati orang yang seperti mereka.” Ini, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk menjaga hujjah-hujjah-Nya
dan keterangan-keterangan-Nya.
Tanaman Allah Ta’ala
yang ditanam-Nya di dalam agama-Nya tidak henti-hentinya menanam ilmu di dalam
hati orang yang disiapkan Allah Ta’ala dan
diridhai-Nya, kemudian orang-orang tersebut menjadi pewaris mereka, sebagaimana
mereka menjadi pewaris para Nabi sebelumnya.
Jadi hujjah-hujjah Allah Ta’ala dan orang yang menegakkannya tidak pernah
terputus (habis) di dunia ini.
Dengan sisi ini dan sisi lainnya, para 'ulama mengungguli
ahli ibadah, karena orang berilmu, jika ia telah menanam ilmunya kemudian
meninggal dunia, maka pahalanya tetap ditulis (mengalir) untuknya, dan namanya tetap
dikenang. Itulah umur kedua, dan
kehidupan kedua. Pada itulah yang pantas diperebutkan peserta perlombaan, dan diimpikan orang-orang yang
menginginkannya.
Ucapan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu, “Dengan
mereka, ilmu menghadapi segala persoalan kemudian mereka menganggap enteng apa
yang dianggap sulit oleh orang-orang yang hidup mewah dan tidak takut terhadap
apa saja yang ditakutkan orang-orang bodoh.” Karena orang-orang bodoh lebih mengutamakan
kenikmatan sekarang daripada kenikmatan masa depan (Akhirat). Mereka lebih antusias memperhatikan dunia dan
memejamkan mata terhadap Akhirat. Mereka
mengamati dengan serius bentuk luar
dunia dan tidak memikirkan bagian dalamnya.
Mereka merasakan manisnya bagian luarnya, dan tidak ingat rasa pahit
sebagai akibatnya.
Adapun orang-orang yang menegakkan hujjah-hujjah Allah Ta’ala, dan para khalifah Nabi-Nya pada
ummatnya, karena kesempurnaan ilmu mereka dan kekuatan ilmunya, ilmu masuk bersama mereka kepada hakikat
segala sesuatu, kemudian mereka melihat dengan pandangan mata yang jelas (tajam), apa
yang terlihat kabur oleh orang-orang bodoh.
Hati mereka merasa damai dengan ilmu dan mereka berusaha
sampai padanya karena mereka mendapatkan ruh keyakinan. Hati mereka amat percaya kepada apa yang
dijanjikan Allah Ta’ala kepada
mereka, kemudian mereka bersikap zuhud terhadap selain Allah, dan mendambakan
apa yang ada di sisi Allah Ta’ala.
Dunia pergi dari hati mereka dengan lari tunggang langgang,
sebagaimana ia datang kepada pecintanya dengan berlari cepat. Akhirat datang kepada hati mereka dengan
cepat sebagaimana Akhirat tersebut cepat datang kepada manusia lainnya. Mereka naik ke puncak tekad dan meninggalkan
kenikmatan tidur. Mereka mengetahui
panjangnya sebuah perjalanan, dan sedikitnya waktu di tempat berbekal
diri (dunia). Mereka mengarungi semua tahapan
perjalanan dan rintangan-rintangan yang ada.
Ini semua adalah buah
dari keyakinan. Sesungguhnya hati,
jika ia yakin akan kemuliaan yang dijanjikan
Allah Ta’ala kepadanya, dan apa
saja yang disiapkan Allah Ta’ala untuknya - dalam arti bahwa ia
seolah-olah melihat kepadanya dari balik "dinding dunia" dan ia mengetahui bahwa
jika dinding tersebut telah hilang maka ia bisa melihat yang dijanjikan dengan
mata-kepalanya, maka hilanglah daripadanya ketakutan yang dirasakan oleh
orang-orang yang “tertinggal” dan menjadi enteng baginya apa yang dianggap
sulit oleh orang-orang yang bergaya hidup mewah.
Itulah tingkatan
yakin yang pertama, yaitu terbukanya sesuatu bagi hati dalam arti, hati
melihatnya dan tidak ragu-ragu terhadapnya seperti terlihatnya sesuatu oleh
mata.
Kemudian diikuti
tingkatan kedua, yaitu tingkatan 'ainul
yaqin. Penisbatan tingkatan ini kepada
mata, sama halnya seperti penisbatan tingkatan pertama kepada hati.
Kemudian disusul
dengan tingkatan ketiga, yaitu haqqul yaqin, adalah merasakan sesuatu dan
menemukannya dalam keadaan sempurna.
Tingkatan pertama seperti pengetahuan anda, bahwa di lembah
ini terdapat air, tingkatan kedua seperti melihatnya langsung, dan tingkatan
ketiga seperti meminumnya (merasakannya).
Disebutkan dalam hadits Haritsah bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
“Bagaimana khabarmu pagi ini wahai Haritsah?” Haritsah menjawab, “Pada pagi ini aku menjadi
orang beriman yang sebenarnya.”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap ucapan itu mempunyai bukti, apa bukti
keimananmu?” Haritsah menjawab, “Jiwaku
lari dari dunia dan syahwat-syahwatnya, kemudian aku membuat tidak tidur malamku
(qiyamul lail), dan membuat haus siangku (puasa). Seolah-olah aku melihat Arasy Tuhanku dengan
jelas, dan seolah-olah aku melihat penduduk Surga sedang saling berkunjung di
dalamnya, dan penghuni Neraka saling meminta tolong.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Itu adalah hamba yang
dijadikan Allah bersinar hatinya.”
Inilah serangan ilmu
dengan pemiliknya terhadap hakikat segala-sesuatu. Barang siapa berhasil sampai pada tingkatan
seperti itu, ia menganggap enteng apa yang dipandang sulit oleh orang-orang
yang bergaya hidup mewah, dan tenang terhadap apa-apa yang ditakutkan
orang-orang bodoh.
Sebaliknya, barangsiapa yang batang keimanannya tidak kuat pada
tingkatan tersebut, maka itu adalah keimanan yang lemah. Bukti bagi orang pertama ialah keterbukaan
hati kepada tingkatan-tingkatan iman, kedamaian hati terhadap perintah Allah,
inabah (kembali) dzikir kepada Allah, cinta pada-Nya, berbahagia bertemu
dengan-Nya, dan jauh dari negeri penuh tipuan (dunia).
Maksud dari ini semua ialah menjelaskan, bahwa sesuatu yang bersama hati masuk kedalam
hakikat iman, menganggap enteng apa yang dipandang sulit oleh orang lain,
dan tidak takut terhadap apa saja yang ditakutkan orang lain, adalah ilmu dan cinta yang murni.
Cinta itu menginduk
kepada ilmu. Ia kuat jika ilmu juga
kuat, dan lemah jika ilmu melemah.
Seorang pecinta biasanya tidak memandang sulit jalan yang
mengantarkannya kepada kekasihnya dan tidak takut pada jalan tersebut.
107. ANTARA ILMU DENGAN DAKWAH
Firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Siapakah yang lebih
baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal
shalih dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’
“ (Fushshilat; 33).
Al-Hasan berkata, “Dialah orang beriman yang merespon dakwah
Allah, mengajak manusia kepada dakwah Allah yang ia respon, dan mengerjakan
amal shalih dengan merespon dakwah-Nya.
Dialah kekasih Allah dan wali-Nya.”
Tingkatan dakwah
kepada Allah adalah tingkatan tertinggi seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan bahwasanya
tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir
saja jin-jin itu desak-mendesak mengerumuninya.” (Al-Jin; 19).
Allah Ta’ala berfirman,
“Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik.” (An-Nahl;
125).
Allah Subhanahu wa
Ta’ala membuat tingkatan-tingkatan dakwah sesuai dengan tingkatan-tingkatan
makhluk;
Orang yang merespon, menerima, dan orang cerdas yang tidak
menentang dakwah, dan tidak cuek kepadanya, didakwahi dengan cara yang hikmah.
Orang yang menerima dakwah, namun mempunyai sedikit sifat
lupa diri dan lamban, didakwahi dengan pelajaran yang baik.
Orang yang menentang dakwah, dan menolaknya didebat dengan
cara yang paling baik.
Itulah penafsiran yang benar tentang ayat di atas.
Seseorang tidak
menjadi pengikut sejati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hingga ia berdakwah kepada apa yang Beliau dakwahkan.
Jika dakwah kepada Allah Ta’ala
adalah tingkatan hamba yang paling mulia, dan agung, maka tingkatan tersebut
tidak bisa diperoleh kecuali dengan ilmu dimana ia berdakwah dengannya dan
kepadanya. Bahkan, merupakan kesempurnaan
dakwah jika pelakunya telah berada di puncak ilmu.
Cukuplah dijadikan sebagai bukti kelebihan ilmu bahwa
pemiliknya mendapatkan kedudukan di atas.
Allah Ta’ala memberikan
karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
108. BUAH ILMU IALAH KEYAKINAN
Cukuplah di antara manfaat ilmu, bahwa ia menghasilkan keyakinan yang notabene merupakan puncak
kehidupan ruh, dan dengannya ruh mendapatkan ketenangan, kekuatan, aktivitas,
dan seluruh tuntutan iman. Oleh
karena itu, dalam kitab-Nya Allah Subhanahu
wa Ta’ala memuji keyakinan dan orang-orang yang memiliki keyakinan. Allah Ta’ala
menyanjung mereka dengan firman-Nya (artinya),
“Dan mereka yakin akan
adanya kehidupan akhirat.”
(Al-Baqarah; 4).
Dan dengan firman-Nya,
“Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Al-A’raf; 32). Juga pada (Al-An’am; 75).
Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengecam orang-orang yang tidak mempunyai keyakinan, (An-Naml; 82).
Jika keyakinan telah
merasuki hati, maka hati penuh dengan cahaya, membuang semua keragu-raguan
padanya, menyembuhkannya dari penyakit-penyakit yang mematikan, dan sarat
dengan syukur kepada Allah Ta’ala,
ingat pada-Nya, cinta kepada-Nya, dan takut kepada-Nya. Hati tersebut hidup dengan keterangan nyata.
Keyakinan dan cinta
adalah tiang iman. Di atas keduanya, dan
dengan keduanya iman berdiri.
Keduanya membantu semua aktifitas hati dan badan. Dari
keduanyalah aktifitas terjadi. Jika
keduanya melemah, aktifitas juga melemah.
Jika keduanya kuat, aktifitas pun menguat.
Semua tingkatan para Sa'irin
(pejalan ruhani) dan orang-orang yang kenal Allah Ta’ala hanya bisa dibuka dengan keyakinan dan cinta. Keyakinan
dan cinta membuahkan amal shalih, ilmu yang bermanfaat dan petunjuk yang lurus.
Al-Junaid berkata, “Keyakinan adalah stabilitas ilmu yang
tidak berubah di dalam hati.”
Sahal berkata, “Haram bagi hati mencium aroma keyakinan,
sedang didalamnya terdapat kedamaian dengan selain Allah.”
Ada yang mengatakan, “Di antara tanda-tanda keyakinan pada
seseorang, bahwa dia menghadap Allah dalam semua kasus, kembali kepadanya dalam
segala urusan, meminta pertolongan kepada-Nya dalam semua kondisi, dan
menginginkan keridhaan-Nya dalam semua gerakan dan diamnya.”
Jadi, ilmu adalah
tingkatan keyakinan yang pertama.
Ada yang mengatakan, “Ilmu itu mempekerjakanmu, dan
keyakinan itu memikulmu. Keyakinan adalah karunia Allah yang paling berharga
pada seorang hamba. Keridhaan tidak tegak
kecuali di atas tingkatan keyakinan.”
Allah Ta’ala
berfirman (artinya),
“Tidak ada sesuatu
musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan barang siapa
beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (At-Taghabun; 11).
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
Anhu berkata, “Dialah seorang hamba yang jika mendapatkan musibah, ia
mengetahui bahwa musibah tersebut berasal dari sisi Allah kemudian ia ridha dan
menyerahkan diri kepada-Nya.”
Oleh karena itu hati
tidak mendapatkan petunjuk, keridhaan, dan penyerahan diri kecuali dengan
keyakinan.
109. ILMU ADALAH KEWAJIBAN SYAR’IYAH
Abu Ya’la Al-Maushili meriwayatkan dalam Musnad-nya hadits
dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu
dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam yang bersabda,
“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang beriman.” (HR. Abu Ya’la).
Itulah, kendati dalam sanadnya terdapat Hafs bin Sulaiman
yang dianggap lemah oleh para pakar hadits, makna hadits dapat dibenarkan. Sesungguhnya keimanan adalah kewajiban bagi
setiap orang. Iman adalah hakikat yang
tersusun dari ilmu dan amal perbuatan. Iman tidak sah tanpa ilmu dan amal
perbuatan.
Syariat Islam juga kewajiban bagi setiap muslim. Syariat
tidak mungkin dilaksanakan kecuali setelah adanya pengetahuan dan ilmu
terhadapnya. Allah Ta’ala mengeluarkan manusia dari perut
ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa.
Jadi, mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang yang muslim.
Ibadah kepada Allah Ta’ala yang notabene merupakan hak Allah
atas hamba-hamba-Nya tidak mungkin terealisir tanpa ilmu!
Ilmu mustahil didapat kecuali dengan mencarinya!
Ilmu yang wajib dipelajari itu ada 2 (dua) macam;
Pertama Fardhu Ain, dimana seorang muslim tidak mempunyai alasan
untuk tidak mengetahuinya. Ilmu jenis
ini terbagi ke dalam beberapa bagian;
Kesatu, ilmu
(pengetahuan) tentang prinsip-prinsip keimanan, yaitu iman kepada Allah, para
Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan Hari Akhirat. Barangsiapa tidak beriman kepada kelima
prinsip ini, ia tidak masuk dalam bab iman dan tidak berhak menyandang gelar
orang mukmin. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, Hari
Kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi.” (Al-Baqarah; 177).
Allah Ta’ala
berfirman,
“Barang siapa kafir
kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan Hari
Kemudian.” Jibril berkata, “Engkau
benar.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Jadi beriman kepada kelima prinsip di atas adalah bagian
dari pengetahuan terhadapnya.
Kedua, ilmu
(pengetahuan) tentang syariat-syariat Islam, terutama ilmu (pengetahuan)
tentang hal-hal yang harus dikerjakan seorang hamba, seperti ilmu (pengetahuan)
tentang wudhu, shalat, puasa, haji dan zakat; syarat-syaratnya dan
pembatal-pembatalnya.
Ketiga, ilmu
(pengetahuan) tentang lima hal-hal yang diharamkan yang disepakati para Rasul,
syariat-syariat, dan kitab-kitab Ilahi yang disebutkan Allah Ta’ala dalam
firman-Nya,
“Katakanlah, Tuhanku
hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kalian ketahui.” (Al-‘Araf;
33).
Hal-hal di atas diharamkan pada setiap orang dalam semua
kondisi melalui lisan para Rasul dan tidak boleh dikerjakan apapun
alasannya. Oleh karena itu, ayat di atas
menggunakan kata innama (sesungguhnya) yang mempunyai fungsi pembatasan. Hal-hal lain diharamkan pada suatu waktu dan
diperbolehkan pada waktu yang lain seperti memakan bangkai, darah, daging babi,
dan lain sebagainya. Hal-hal seperti itu
tidak diharamkan secara mutlak dan terus menerus.
Keempat, ilmu
(pengetahuan) tentang hukum-hukum mu'amalah yang terjadi antara seseorang manusia dengan manusia lainnya. Kewajiban dalam
bagian ini berbeda sesuai dengan perbedaan manusia dan kedudukan mereka. Kewajiban seorang pemimpin terhadap rakyatnya
berbeda dengan kewajiban seseorang terhadap keluarganya dan tetangganya. Kewajiban mengetahui hukum-hukum bisnis bagi
orang yang berkecimpung di dunia bisnis tidak sama dengan kewajiban
mempelajarinya bagi orang yang tidak bergerak dalam aktifitas jual-beli.
Detail permasalahan ini tidak bisa distandarkan karena
perbedaan manusia dalam sebab-sebab ilmu yang wajib dimiliki.
Hal tersebut kembali kepada tiga prinsip; keyakinan,
pengamalan, dan meninggalkan.
Yang wajib dalam keyakinan ialah kesesuaian keyakinan dengan
kebenaran dalam dirinya.
Yang wajib dalam pengamalan
adalah mengetahui kesesuaian gerakan luar dan bathin yang dilakukan dengan
sukarela dengan syariat; perintah atau diperbolehkan.
Yang wajib dalam meninggalkan
ialah mengetahui kesesuaian meninggalkan tersebut dengan kecintaan dan keridhaan Allah Ta’ala.
Termasuk dalam cakupan bagian ini ialah ilmu (pengetahuan)
tentang gerak-gerik hati dan badan.
Adapun fardhu kifayah,
sepengetahuan saya tidak ada batasan yang benar di dalamnya, sebab setiap
orang masuk ke dalamnya jika ia melihat sebagai hal yang fardhu. Sebagian manusia memasukkan dalam bagian ini
ilmu kedokteran, ilmu matematika, ilmu tehnik, dan ilmu tentang jarak.
Sebagian orang memasukkan di dalamnya ilmu tentang
prinsip-prinsip dasar industry seperti ilmu pertanian, ilmu pertenunan, ilmu
tentang perbesian, ilmu tentang penjahitan (modiste), dan lain sebagainya. Sebagian yang lain menambahkan di dalamnya
ilmu tentang mantiq (logika) dan bisa jadi menganggapnya sebagai fardhu 'ain.
Semua itu adalah pikiran gila dan tidak waras, sebab tidak
ada kewajiban kecuali yang telah diwajibkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Adapun ilmu mantiq (logika), jika ia adalah ilmu yang benar,
ia bisa menjadi seperti ilmu tentang jarak, tehnik dan lain sebagainya. Namun, bagaimana pun kebathilan ilmu mantiq itu
jauh lebih banyak daripada kebenarannya!
Kerusakan ilmu mantiq, dan kontroversi prinsip-prinsipnya mengharuskan
seseorang memperhatikannya agar jangan sampai menyesatkan pemikirannya.
Inilah Imam Syafi’i, Imam Ahmad, seluruh imam Islam beserta
buku-buku karangan mereka, Imam-imam bahasa Arab dan buku-buku karangan mereka,
Imam-imam tafsir dan buku-buku karangan mereka bagi orang yang mengkajinya,
apakah mereka semua memuat pembahasan ilmu mantiq di dalamnya? Apakah ilmu mereka benar tanpa ilmu mantiq
atau dengan ilmu mantiq? Sesungguhnya
mereka amat mulia dan lebih agung akalnya daripada menyibukkan akal mereka dengan
igauan orang-orang mantiqi.
Tidaklah mantiq masuk kedalam ilmu kecuali ia merusaknya,
merubah keadaannya, dan memanipulasi kaidah-kaidahnya.
Inilah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau mengetahui bobot ilmu dan orang yang berilmu. Shalawat dan Sallam untuk Beliau.
110. ILMU ITU MEMBUKA HAKIKAT
Sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala menciptakan manusia agar mereka beribadah kepada-Nya yang
mencakup cinta kepada-Nya, mengutamakan keridhaan-Nya. Allah Ta’ala memberikan ilmu kepada seorang
hamba dan ia tidak mendapatkan kesempurnaan tanpa itu. Ilmu tersebut ialah hendaknya gerak-gerik
mereka seluruhnya sesuai dengan keridhaan-Nya, dan cinta-Nya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengutus Rasul-rasul-Nya, menurunkan Kitab-kitab-Nya, dan
membuat syariat-syariat-Nya.
Jadi kesempurnaan seorang hamba hendaknya seluruh
gerak-geriknya selaras dengan apa yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menjadikan mengikuti Rasul
sebagai bukti cinta kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Katakanlah, ‘Jika kalian
benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali
Imran;31).
Seorang pecinta sejati telah berkhianat kepada kekasihnya,
jika ia melakukan tindakan sukarela yang tidak sesuai dengan keridhaan
kekasihnya. Jika ia mengerjakan suatu
tindakan yang diperbolehkan baginya karena tuntutan wataknya dan syahwatnya, ia
bertaubat daripadanya sebagaimana ia bertaubat dari dosa.
Hal ini menguat di dalam hatinya hingga akhirnya hal-hal
yang diperbolehkan baginya menjadi ketaatan-ketaatan, kemudian ia mengharapkan
keridhaan Allah Ta’ala dalam
tidurnya, makannya dan istirahatnya sebagaimana ia mengharapkan keridhaan Allah
Ta’ala dalam qiyamul lail-nya, puasanya, dan ijtihaj-nya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia selalu
bersyukur kepada Allah Ta’ala dan
jika mendapat musibah ia bersabar. Ia selalu berjalan menuju Allah Ta’ala dalam tidur dan bangunnya.
Salah seorang ulama berkata, “Orang-orang cerdas, kebiasaan
mereka adalah ibadah, dan orang-orang bodoh ibadah-ibadah mereka adalah
kebiasaan-kebiasaan.”
Seorang pecinta sejati, jika ia berbicara, ia berbicara
karena Allah Ta’ala dan
dengan-Nya. Jika ia diam, ia diam karena
Allah Ta’ala. Jika ia bergerak maka sesuai dengan perintah
Allah Ta’ala. Jika ia tenang tidak bergerak, ketenangannya
adalah karena meminta pertolongan kepada keridhaan Allah Ta’ala. Ia selalu karena
Allah Ta’ala, dengan-Nya, dan
bersama-Nya.
Sebagaimana
diketahui, bahwa orang yang mencapai tingkatan diatas adalah makhluk Allah
Ta’ala yang paling membutuhkan ilmu. Ia tidak bisa membedakan gerakan yang dicintai
Allah Ta’ala dengan gerakan yang lain,
dan diam yang dicintai Allah Ta’ala
dengan diam yang lain kecuali dengan ilmu.
Kebutuhannya kepada ilmu tidak sama dengan orang yang mencari ilmu
karena dirinya sendiri, karena di dalam dirinya terdapat sifat
kesempurnaan. Bahkan kebutuhannya kepada
ilmu ialah seperti kebutuhannya pada apa yang menguatkan dirinya dan
jiwanya. Oleh karena itu para 'ulama terdahulu
mewasiatkan dengan sangat kepada murid-muridnya agar mereka peduli kepada ilmu
dan mencarinya, bahwa barang siapa tidak
mencari ilmu ia tidak beruntung, bahkan mereka mengkategorikan orang hina bagi
orang yang tidak mempunyai ilmu.
Dzun Nun pernah ditanya, “Siapakah orang-orang hina
itu?” Dzun Nun berkata, “Orang-orang hina adalah orang yang tidak
mengetahui jalan kepada Allah, dan tidak pula berusaha mengetahuinya.”
Abu Hamzah Al-Bazzaz berkata, “Barang siapa mengetahui jalan
kebenaran, ia mudah melewatinya, dan tidak ada petunjuk jalan baginya kecuali
mengikuti Rasul dalam ucapan Beliau, tindakan Beliau, dan keadaan Beliau.”
111. ULAMA ADALAH PELINDUNG SYARIAT
Sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjadikan para 'ulama sebagai wakil-wakil-Nya dan pelindung-pelindung
agama-Nya dan wahyu-Nya. Allah Ta’ala meridhai mereka untuk menjaga
agama-Nya, menegakkan-Nya, dan mempertahankan-Nya. Itulah kedudukan yang tinggi dan mulia,
(Al-An’am; 88-89).
Tidak diragukan lagi, bahwa tugas tersebut terletak di
pundak para Nabi dan orang-orang yang beriman kepada mereka. Manusia yang paling layak masuk dalam cakupan
ayat di atas ialah pengikut Rasul, dan khalifah-khalifahnya di ummatnya. Merekalah yang mendapat tugas dakwah. Jadi penafsiran ini mencakup semua penafsiran
tentang ayat di atas.
112. PARA ULAMA ADALAH ORANG-ORANG YANG ADIL
DALAM UMMAT INI
Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari jalur yang banyak bahwa Beliau
bersabda (artinya),
“Ilmu ini dalam setiap generasi dihusung oleh orang-orang yang adil. Mereka membuang daripadanya
distorsi (perusakan) orang-orang yang radikal (berlebih-lebihan), plagiasi (jiplakan) para
pendusta, dan takwil orang-orang bodoh.”
Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'AlaIhi wa Sallam menjelaskan, bahwa ilmu yang Beliau
bawa kelak akan dipanggul oleh orang-orang yang adil dari ummat ini pada setiap
generasi, hingga ilmu tersebut tidak hilang dan musnah.
Hadits diatas
sekaligus pengakuan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam akan keadilan para pembawa ilmu yang Beliau bawa.
Jadi, semua orang yang membawa ilmu Beliau harus orang yang
adil. Oleh karena itu, keadilan para
pentransver ilmu Beliau dan para pembawa ilmu Beliau telah dikenal dikalangan
ummat sampai pada tingkatan, dimana tidak ada keragu-raguan di dalamnya.
Tidak diragukan lagi, bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah
memfonis adil seseorang, maka tidak ada yang akan mencacatkannya. Para imam yang dikenal ummat mentransver ilmu
nabawi dan warisannya semuanya adalah orang-orang yang adil karena pengakuan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu , tidak dibenarkan kecaman sebagian manusia terhadap sebagian dari
mereka. Ini berbeda dengan
tokoh-tokoh yang dikenal “tidak bersih” seperti tokoh-tokoh bid’ah dan
orang-orang seperti mereka, mereka tidak termasuk pembawa ilmu menurut ummat.
Yang dinamakan orang
adil yaitu orang yang bisa dipercaya dalam agama ini, kendati ia mempunyai dosa
yang ia bertaubat kepada Allah daripadanya.
Sesungguhnya dosa tidak bertentangan dengan keadilannya, atau
keimanannya, dan perwaliannya.
113. KEBERADAAN ILMU ADALAH KEBERADAAN AGAMA DAN
DUNIA
Sesungguhnya keberadaan agama dan dunia terletak pada
keberadaan ilmu, dan dengan hilangnya
ilmu, hilang pula agama dan dunia.
Tegaknya agama dan dunia adalah dengan ilmu.
Al-Auza’i berkata, bahwa Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata,
“Berpegang teguh kepada sunnah adalah keselamatan. Ilmu itu dicabut cepat sekali. Tegaknya ilmu adalah kokohnya agama dan
dunia, dan hilangnya ilmu adalah hilangnya apa saja yang ada di dunia ini.”
114. ILMU ITU MENGANGKAT PEMILIKNYA
Sesungguhnya ilmu
mengangkat pemiliknya di dunia dan akhirat.
Hal ini tidak mampu dikerjakan kekuasaan, atau kekayaan dan lain
sebagainya. Ilmu itu menambah kemuliaan
orang mulia dan mengangkat budak hingga ia didudukkan di kursi para raja,
seperti disebutkan dalam Shahih Muslim hadits dari Az-Zuhri dari Abu At-Thufail
bahwa Nafi’ bin Abdul Harits datang kepada Umar bin Khaththab di Asfan – Ketika
itu Umar bin Khaththab mengangkatnya sebagai walikota Mekkah. Umar berkata kepadanya, “Siapa yang engkau
tunjuk sebagai wakilmu di penduduk lembah tersebut?” Nafi’ berkata, “Aku mengangkat Ibnu Abzi
untuk memimpin mereka.” Umar berkata,
“Siapa Ibnu Abzi?” Nafi’ berkata, “Ia
adalah salah seorang dari mantan budak kami.”
Umar bertanya, “Engkau mengangkat salah seorang mantan budak untuk
memimpin mereka?” Nafi’ berkata, “Ia
penghapal Al-Qur’an dan ahli tentang ilmu Faraid (tata-cara pembagian warisan, pen).” Umar berkata, “Sesungguhnya Nabi kalian
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah dengan kitab
ini mengangkat banyak kaum, dan merendahkan kaum-kaum yang lain dengannya pula.’”
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Barang siapa menginginkan dunia
dan akhirat, hendaklah ia mencari ilmu.”
Sufyan bin Uyainah berkata, “Manusia yang paling tinggi
kedudukannya di sisi Allah ialah orang yang menjadi perantara antara Allah dan
hamba-hamba-Nya. Mereka adalah para Nabi
dan para Ulama.”
115. ILMU ITU MEMBUAT ISTIMEWA PEMILIKNYA
Abu Muawiyah berkata, bahwa aku mendengar Al-A’masi berkata,
“Barang siapa tidak mencari hadits , aku ingin menamparnya dengan sandalku.”
Adalah Sufyan Ats-Tsauri jika ia melihat seorang syaikh
tidak menulis hadits, maka ia berkata, “Semoga Allah tidak membalasmu dengan
kebaikan.”
Inilah, sesungguhnya manusia itu berbeda dengan semua
binatang yang ada dengan ilmu, akal dan pemahaman yang diberikan secara khusus
padanya. Jika ia tidak mempunyai ilmu,
akal dan pemahaman, maka yang tersisa padanya adalah kesamaan antara dirinya
dengan seluruh binatang yaitu sifat kebinatangan. Terhadap orang seperti itu, manusia tidak
malu kepadanya, dan tidak berhenti dari kejahatannya kendati orang tersebut ada
di tengah-tengah mereka dan melihat mereka.
116. ILMU ITU KEKAYAAN
Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata, “Aku sedang berada di rumah
Ahmad bin Abu Imran, kemudian salah seorang yang kaya melewati kami. Aku memperhatikannya dan sibuk dengannya
hingga aku lupa belajarku. Ahmad bin Abu
Imran berkata, “Sepertinya engkau memperhatikan dunia yang diberikan kepada
orang tersebut?” Aku menjawab, “Ya
betul.” Ahmad bin Abu Imran berkata,
“Apakah engkau mau kalau Allah memberikan kekayaan yang dimiliki orang tersebut
kepadamu dan memberikan ilmu yang engkau miliki kepada orang tersebut kemudian
engkau hidup sebagai orang kaya namun bodoh sedang orang tersebut hidup sebagai
orang berilmu tapi miskin?” Aku berkata,
“Aku tidak ingin Allah memberikan ilmu yang ada padaku kepada orang tersebut,
sebab ilmu adalah kekayaan tanpa harta, kejayaan tanpa keluarga, dan kekuasaan
tanpa pasukan.”
Salah seorang penyair berkata,
Ilmu adalah kekayaan
dan simpanan yang tidak pernah habis
Ilmu adalah
sebaik-baik kawan jika tidak ada kawan yang menemani
Bisa jadi seseorang
mampu mengumpulkan harta kemudian ia diharamkan daripadanya hingga ia
mendapatkan kehinaan
Sedang pengumpul
ilmu, ia berbahagia dengannya selama-lamanya
Ia tidak khawatir
ilmunya hilang atau tercabut
Wahai pengumpul ilmu,
sebaik-baik kekayaan adalah apa yang engkau kumpulkan
Engkau jangan menyamakannya
dengan mutiara atau emas
117. ILMU TERMASUK BALASAN YANG PALING BAIK
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa
Dia memberi pahala kepada orang-orang yang berbuat baik lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan. Firman Allah
Ta’ala (yang artinya),
“Dan orang yang
membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang
bertakwa. Mereka memperoleh apa yang
mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka.
Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik.” (Az-Zumar; 33-35).
Balasan di atas
mencakup balasan di dunia dan akhirat.
Allah Suhanahu wa
Ta’ala juga menjelaskan, bahwa Dia membalas kebaikan dengan ilmu. Ini menunjukkan, bahwa ilmu termasuk balasan
yang paling baik. Ini terlihat pada
firman Allah Ta’ala,
“Dan tatkala dia cukup
dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu.
Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik.” (Yusuf; 22).
Al-Hasan berkata, “Barang siapa berbuat baik kepada
hamba-hamba Allah pada usia mudanya, maka Allah memberinya hikmah pada usia
tuanya.” Berdasarkan ayat di atas.
Salah seorang ulama berkata, “Hikmah berkata, ‘Barangsiapa mencariku dan tidak menemukanku,
hendaklah ia mengerjakan sesuatu yang ia ketahui paling baik, dan hendaklah ia
meninggalkan sesuatu yang ia ketahui paling buruk. Jika ia melakukan hal tersebut, aku
bersamanya, kendati ia tidak mengenalku.’”
118. ILMU ADALAH KEHIDUPAN HATI
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’la menjadikan ilmu bagi
hati tak ubahnya seperti hujan bagi bumi.
Sebagaimana bumi tidak mendapatkan kehidupan tanpa hujan, maka tidak ada
kehidupan di hati tanpa ilmu.
Disebutkan dalam Al-Muwatta’ bahwa Luqman berkata kepada
anak-anaknya, “Anakku, duduklah kepada
para ulama, dan mendekatlah kepada mereka dengan kedua lututmu, karena Allah Ta’ala
menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana air hujan
menghidupkan bumi.”
Bumi membutuhkan air hujan hanya dalam beberapa waktu. Jika hujan turun terus-menerus, maka bumi
menginginkannya reda. Adapun ilmu, ia
dibutuhkan hati sebanyak jumlah nafas, dan ilmu yang banyak justru menambah
kebaikan hati dan manfaatnya.
119. ILMU DAN PERTANYAAN
Sesungguhnya kebanyakan akhlak-akhlak yang tidak baik pada
seseorang itu sangat baik dipakai untuk mencari ilmu seperti mengambil muka,
tidak malu, tidak merasa hina, dan mondar-mandir menemui para ulama.
Ibnu Ishaq berkata, “Ali berkata, ‘Beberapa kalimat, jika
kalian berjalan dengan kudanya kepada kalimat-kalimat tersebut, pasti kalian
menghabiskannya sebelum kalian mendapatkan yang semisal dengannya;
Janganlah sekali-kali seorang hamba berharap kecuali kepada Tuhannya,
janganlah sekali-kali ia takut kecuali kepada dosanya, janganlah orang yang
tidak tahu merasa malu untuk belajar, jika ia ditanya tentang sesuatu yang
tidak diketahuinya maka ia jangan malu untuk mengatakan, ‘saya tidak
tahu.’ Ketahuilah, bahwa kedudukan sabar
terhadap iman adalah seperti kedudukan kepala terhadap badan. Jika kepala hilang, hilang pula badan. Jika sabar hilang, hilang pula iman.”
Salah seorang ulama berkata, “Orang yang malu dan sombong tidak akan pernah mendapatkan ilmu. Orang yang pertama dihalangi rasa malunya
untuk belajar, dan orang kedua dihalangi kesombongannya untuk belajar.”
Al-Hasan berkata, “Barangsiapa bersembunyi dari mencari ilmu karena malu, maka ia mengenakan baju kurung
kebodohan. Oleh karena itu, potonglah
baju kurung kebodohan, karena sesungguhnya barangsiapa tipis mukanya, tipis
pula ilmunya.”
Al-Khalil berkata, “Kedudukan kebodohan itu diantara malu
dan kesombongan.”
Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Takut itu menyebabkan kegagalan, dan malu itu menyebabkan
orang diharamkan mendapatkan banyak hal (termasuk ilmu).”
Ibrahim berkata kepada Mansur, “Bertanyalah seperti
pertanyaan orang bodoh, dan hapalkan seperti hapalan orang yang cerdas. Meminta-minta kepada manusia adalah aib dan
ketidak sempurnaan pada seseorang, serta kehinaan yang bertentangan dengan
kejantanan kecuali dalam ilmu.
Sesungguhnya meminta-minta ilmu adalah inti kesempurnaan seseorang,
kejantanannya, dan kebesarannya, seperti dikatakan salah seorang yang berilmu,
‘Sifat yang terbaik pada seseorang ialah bertanya tentang ilmu.’”
An- Nassabah Al-Bakri berkata, “Sesungguhnya ilmu itu mempunyai penyakit, kesulitan, dan cacat. Penyakit ilmu ialah lupa padanya,
kesulitannya ialah berbohong di dalamnya, dan aibnya ialah menyebarkannya
kepada orang yang tidak berhak menerimanya.”
Ilmu itu mempunyai enam tahapan;
Pertama, bertanya dengan baik
Kedua, diam dengan baik
Ketiga, memahami dengan baik
Keempat, menghapal
Kelima, belajar
Keenam, yang merupakan buahnya yaitu mengamalkannya
dan memperhatikan batasan-batasannya.
Di antara manusia ada
orang yang diharamkan dari mendapatkan ilmu karena tidak bisa bertanya dengan
baik.
Di antara manusia ada orang yang diharamkan mendapatkan ilmu
karena tidak bisa diam dengan baik.
Salah seorang salaf berkata, “Jika engkau duduk kepada orang
berilmu, hendaklah mendengar itu lebih engkau sukai daripada berkata.”
Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya.”
(Qaaf; 37).
Cobalah renungkan khazanah ilmu yang terkandung dalam
ungkapan ayat di atas, bagaimana ayat di atas membuka pintu-pintu ilmu dan
petunjuk kepada seorang hamba, dan bagaimana ayat tersebut menutup ilmu dari
seseorang karena ia (ilmu) disia-siakan dan tidak diperhatikan dengan
baik! Sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengungkap ayat-ayat-Nya yang dibaca, dilihat, dan disaksikan tidak
lain sebagai peringatan bagi orang yang mempunyai hati. Orang yang tidak mempunyai hati dan pemahaman
tentang Allah, maka ayat apa pun yang lewat padanya tidak bermanfaat baginya,
kendati semua ayat lewat padanya!
Perjalanan ayat-ayat padanya tak ubahnya seperti terbitnya
matahari, bulan, dan bintang-bintang kepada orang yang tidak mempunyai
mata. Jika ia mempunyai hati, maka ia
seperti orang yang mempunyai mata yang bisa melihat semua ayat yang lewat
padanya. Namun orang yang mempunyai hati
itu tidak bisa menggunakan hatinya kecuali dengan dua cara;
Pertama; ia menghadirkan hatinya terhadap apa yang diberikan
kepadanya. Jika hati tidak ada di
sisinya, dan melang-lang buana ke impian-impian kosong, syahwat dan ilusi, maka
ia tidak akan mendapatkan manfaat dari hatinya.
Jika ia menghadirkan hatinya, ia juga tidak mendapatkan manfaat darinya
kecuali dengan cara ia menggunakan pendengarannya dan mendengarkan dengan
serius apa saja yang dinasihatkan padanya.
Di sini ada tiga permasalahan;
a. Kesehatan hati dan penerimaannya.
b. Menghadirkan hati, menyatukannya, dan mencegahnya kabur dan
berselisih.
c. Menggunakan pendengaran dan
menerima peringatan.
Ketiga hal tersebut disebutkan Allah Ta’ala pada ayat di atas.
Ibnu Athiyah berkata, “Hati
di sini ialah kata lain untuk akal, sebab hati adalah tempat akal. Jadi makna ayat di atas adalah bagi orang
yang mempunyai hati, yang sadar, yang bermanfaat baginya.”
Kata Ibnu Athiyah lagi, bahwa Asy-Syibli berkata, “Yaitu hati yang hadir bersama Allah dan
tidak lupa pada-Nya sekejap mata pun.”
Firman Allah Ta’ala,
“Yang menggunakan pendengarannya, sedang
ia menyaksikannya.” Maksudnya, orang yang mengarahkan pendengarannya kepada
berita dan pelajaran, dan mengokohkannya untuk mendengarnya. Itulah arti penggunaan pendengaran telinga
terhadap pelajaran.
Firman Allah Ta’ala,
“Sedang ia menyaksikannya.” Sebagian para pentakwil berkata, makna ayat
tersebut ialah bahwa ia melihat, dan datang kepadanya, tidak berpaling
daripadanya, dan tidak memikirkan selain yang ia dengar.
Qatadah berkata, “Az-Zajjaj berkata, makna firman Allah
Ta’ala, “Bagi orang-orang yang mempunyai hati.”
Ialah orang yang mengarahkan hatinya untuk belajar. Tidakkah engkau lihat Allah Ta’ala berfirman,
“Mereka tuli, bisu dan buta.” Bahwa
mereka tidak mendengar seperti pendengaran orang yang ingin paham dan ingin
tahu kemudian mereka diposisikan seperti orang yang tidak mendengar, seperti
dikatakan salah seorang penyair,
Aku tuli terhadap apa
yang dikehendaki orang yang mendengar.
Makna firman Allah Ta’ala,
“Atau yang menggunakan pendengarannya.”
Bahwa ia mendengar dan hatinya tidak sibuk dengan selain yang ia
dengar. Firman Allah Ta’ala, “Sedang ia menyaksikannya.” Maknanya, hatinya hadir terhadap apa yang
didengarnya.
Selain itu ayat di atas memuat pengelompokan manusia ke
dalam dua kelompok;
Pertama; Orang yang mempunyai hati.
Kedua; Orang yang menggunakan pendengarannya dan hadir
dengan hatinya.
Inilah, wallahu a’lam rahasia penggunaan kata au (atau) dan bukannya kata waw (dan), karena orang yang bisa
mengambil manfaat dari dari ayat-ayat itu ada dua jenis;
a.
a. Orang
yang mempunyai hati yang sadar, dan bersih yang mendapatkan petunjuk dengan
sedikit peringatan dan ia tidak usah menghadirkan hatinya, karena hatinya
sadar, dan bersih, siap menerima petunjuk, dan tidak berpaling
daripadanya. Orang seperti ini hanya
membutuhkan tibanya petunjuk kepadanya karena kesempurnaan kesiapannya dan
kesehatan fitrahnya. Jika petunjuk
datang padanya, hatinya segera menerimanya seolah-olah petunjuk telah tertanam
dalam hatinya. Ia telah mendapatkan
petunjuk secara global kemudian petunjuk datang padanya secara detail karena
hatinya bersaksi atas kebenarannya secara global.
Itulah kondisi manusia yang paling sempurna
responnya terhadap dakwah para Rasul, dan keadaan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu 'Anhu.
b.
b. Orang yang tidak mempunyai kesiapan dan
penerimaan. Jika petunjuk datang padanya,
ia memperhatikannya dengan telinganya, menghadirkan hatinya, menyatukan
pikirannya kepadanya, dan mengetahui kebenarannya dan keindahannya dengan
nalarnya. Inilah gaya sebagian besar
orang-orang yang merespon dakwah.
Sedang para penentang kebenaran, mereka terbagi kedalam dua
kelompok;
Satu kelompok yang didakwahi dengan debat dengan cara yang
lebih baik jika mereka mau menerima kebenaran.
Jika tidak, mereka diperangi.
Barang siapa mengkaji dakwah Al-Qur’an, ia mendapatinya
merangkum semua kelompok di atas seperti firman Allah Ta’ala,
“Serulah manusia
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik.”
(An-Nahl; 125).
Kelompok pertama didakwahi dengan dialog.
Sedang para penentang, merekalah yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk diperangi agar tidak
terjadi fitnah dan agama menjadi milik Allah Ta’ala seluruhnya.
Maksud dari ini ialah menjelaskan,
bahwa ilmu tidak didapatkan karena keenam hal berikut;
Pertama; Tidak
mau bertanya.
Kedua; Tidak diam
dan tidak menggunakan pendengaran.
Ketiga; Salah
paham
Keempat; Tidak
mau menghapal
Kelima; Tidak menyebarkannya dan tidak
mempelajarinya. Barang siapa menyimpan
ilmunya, tidak menyebarkannya, dan tidak mempelajarinya, maka Allah Ta’ala mengujinya dengan membuatnya lupa,
dan hilang daripadanya sebagai balasan perbuatannya. Fakta ini disaksikan indera manusia dan alam
semesta.
Keenam; Tidak mengamalkannya. Mengamalkan ilmu itu membuat orang ingat pada
ilmu, mengkajinya, memperhatikannya, dan memikirkannya. Jika tidak mengamalkannya, ia lupa padanya.
Salah seorang dari generasi
salaf berkata, “Kita menghapal ilmu dengan cara mengamalkannya.”
Salah seorang dari generasi
salaf yang lain berkata, “Ilmu itu memanggil dengan amal perbuatan. Jika seseorang menyambut panggilannya, ilmu
pun bertempat tinggal padanya. Jika
tidak, ia pun pergi.”
Jadi pengamalan ilmu adalah
unsur terbesar yang membantu penghapalan ilmu, dan tidak mengamalkan membuat
ilmu hilang.
Ilmu tidak bisa dialirkan dan diambil
kecuali dengan amal perbuatan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman (kepada para Rasul), bertakwalah kepada
Allah, dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya
kepada kalian dua bagian, dan menjadikan untuk kalian cahaya yang dengan cahaya
itu kalian dapat berjalan.” (Al-Hadid; 28).
120.
ORANG BERILMU TIDAK SAMA DENGAN ORANG LAIN
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menolak menyamakan orang berilmu dengan orang tidak berilmu,
sebagaimana Allah Ta’ala menolak
menyamakan keburukan dengan kebaikan, orang buta dengan orang melihat, cahaya
dengan kegelapan, naungan dengan hawa panas, penghuni Surga dengan penghuni Neraka, orang bisu yang tidak bisa berbuat apa-apa dengan orang yang memerintah
dengan adil dan berada di atas jalan yang lurus, orang-orang beriman dengan
orang-orang kafir, orang beriman dan beramal shalih dengan orang-orang yang
membuat kerusakan di muka bumi, dan orang-orang bertakwa dengan orang-orang
berdosa.
Pada
kesepuluh tempat di atas Allah Suhanahu wa
Ta’ala menolak menyamakan antara mereka.
Ini menunjukkan, bahwa kedudukan orang berilmu terhadap orang bodoh
adalah seperti kedudukan cahaya terhadap kegelapan, naungan terhadap hawa
panas, dan kebaikan terhadap keburukan.
Ini
sudah cukup untuk menjelaskan kelebihan ilmu.
Bahkan, jika anda mengkaji seluruh kelompok di atas, Anda dapati bahwa
penolakan penyamaan antara mereka itu disebabkan ilmu. Dengan ilmu, kelebihan satu kelompok itu
terjadi, dan penyamaan menjadi tertolak.
121.
ILMU ADALAH JALAN KESELAMATAN
Ketika
Nabi Sulaiman 'Alaihissalam mengancam akan menyiksa Hud-hud dengan siksa yang pedih atau
menyembelihnya, Hud-hud selamat dengan ilmu yang dimilikinya. Hud-hud datang menghadap Nabi Sulaiman 'Alaihissalam dengan
mengatakan, “Aku telah mengetahui sesuatu
yang kamu belum mengetahuinya.” (An-Naml;
22). Hud-hud berani lantang berkata
seperti itu karena ia mempunyai ilmu.
Tanpa kekuasaan ilmu, Hud-hud yang lemah tidak mungkin mampu berkata
seperti itu kepada Nabi Sulaiman yang terkenal kuat.
122.
ILMU ADALAH KEMULIAAN BAGI PEMILIKNYA
Barang
siapa mendapatkan kemulian dunia dan akhirat, ia mendapatkannya dengan ilmu.
Cobalah
renungkan kelebihan yang dicapai Adam atas para Malaikat, dan pengakuan mereka
akan pengajaran nama-nama segala sesuatu oleh Allah Ta’ala, dan musibah yang terjadi padanya dan balasan dari tempat
tinggal Surga dengan apa yang lebih baik yaitu pengetahuan tentang
firman-firman yang ia terima dari Tuhannya.
Begitu
juga apa yang dicapai Yusuf berupa kedudukan yang tinggi di atas permukaan
bumi, kebesaran, dan keagungan karena ilmunya terhadap tabir mimpi, kemudian
ilmunya tentang cara ia mendapatkan saudaranya (Bunyamin) dari
saudara-saudaranya yang lain yang membuat mereka mengakui kesalahannya hingga
urusannya berjalan seperti yang diharapkannya yaitu kebesaran, hasil akhir yang
terpuji, dan kesempurnaan keadaan yang ia capai dengan ilmu sebagaimana yang
diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan firman-Nya,
“Demikianlah Kami atur untuk (mencapai
maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf
menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah
menghendakinya. Kami tinggikan derajat
orang-orang yang Kami kehendaki, dan di atas tiap-tiap orang yang
berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (Yusuf; 76).
Disebutkan
dalam satu penafsiran, bahwa Kami (Allah) mengangkat beberapa derajat siapa
saja yang kami kehendaki karena ilmunya, sebagaimana Kami mengangkat derajat
Yusuf atas saudara-saudaranya karena ilmunya.
Allah
Ta’ala berfirman tentang Nabi Ibrahim 'Alaihissalam (yang artinya),
“Dan itulah hujjah Kami yang kami berikan
kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya, Kami tinggikan siapa yang Kami
kehendaki beberapa derajat.”
(Al-An’am; 83).
Nabi
Ibrahim 'Alaihis Salam mendapatkan ketinggian dengan ilmu hujjah dan Nabi Yusuf 'Alaihissalam mendapatkan ketinggian
dengan ilmu politik.
Begitu
juga apa yang didapatkan Khidhr yang mendapatkan murid semisal Nabi Musa 'Alaihis Salam dan bertanya kepadanya
dengan ramah,
“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?” (Al-Kahfi; 66).
Demikian
pula ilmu bahasa burung yang diperoleh Nabi Sulaiman 'Alaihissalam hingga ia mampu menguasai kerajaan Saba’, dan
masuknya kerajaan Saba’ kedalam wilayah kekuasaannya. Oleh karenanya Nabi Sulaiman 'Alaihissalam berkata,
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia
berkata, ‘Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami
diberi segala sesuatu. Sesungguhnya
(semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata.” (An-Naml; 16).
Demikian
juga , apa yang diperoleh Nabi Daud 'Alaihissalam berupa ilmu menenun baju besi untuk melindungi diri dari senjata
musuh.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala membeberkan
nikmat-nikmat ilmu di atas kepada hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala
berfirman,
“Dan telah kami ajarkan kepada Daud untuk
membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kalian dalam peperangan kalian,
maka apakah kalian bersyukur?” (Al-Ambiya;
80).
Demikian
juga apa yang didapatkan Nabi Isa 'Alaihissalam berupa ilmu tentang Al-Kitab, Al-Hikmah, dan Injil yang dengannya
Allah Ta’ala mengangkatnya
kepada-Nya, melebihkannya dan memuliakannya.
Begitu
juga ilmu yang diterima tokoh keturunan Adam 'Alaihissalam dimana ilmu tersebut disebut Allah
Subhanahu wa Ta’ala sebagai nikmat
dari-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Allah telah menurunkan Kitab dan Hikmah
kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar
atasmu.” (An-Nisa; 113).
123.
ILMU ADALAH JALAN MENUJU KESEMPURNAAN
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi
Ibrahim 'Alaihissalam dalam
firman-Nya,
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang ummat yang dapat dijadikan
teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif.
Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),
(lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya.” (An-Nahl; 120-121).
Keempat
pujian itulah yang diberikan Allah Ta’ala kepada Nabi Ibrahim 'Alaihissalam. Allah Ta’ala mengawali pujian dengan
mengatakan bahwa Nabi Ibrahim Alaihis
Salam adalah ummat dan ummat adalah sosok yang diikuti. Ibnu Mas’ud berkata, “Imam ialah pengajar
kebaikan.”
Ada
perbedaan antara ummat dengan imam;
Pertama; imam ialah setiap orang yang
diikuti baik ia menginginkannya atau tidak. Dari sini kata thariq dinamakan imam, seperti terlihat dalam firman Allah Ta’ala,
“Dan sesungguhnya adalah penduduk Aikah itu
benar-benar kaum yang zalim, maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota itu benar-benar
terletak di jalan umum yang terang.”
(Al-Hijr; 78-79).
Yang
dimaksud dengan kata imam pada ayat di atas ialah jalan yang jelas yang tidak
samar bagi para penggunanya.
Kata
thariq tidak dinamakan ummat. Kedua, sesungguhnya kata ummat itu
mengandung penambahan bobot makna dari kata imam. Ummat
ialah orang yang menghimpun sifat-sifat kesempurnaan yaitu ilmu dan
pengamalannya hingga ia sendiri yang memiliki keduanya. Dialah yang menghimpun sifat-sifat berserakan
yang ada pada orang lain. Sepertinya ia
mengalahkan orang lain dengan menyatunya kesemua sifat tersebut pada dirinya,
di sisi lain semua sifat di atas berserakan atau malah tidak dimiliki oleh
orang lain.
Kedua; Pujian Allah kepada Beliau, “lagi
patuh.” Ibnu Mas’ud berkata, “Yang
dimaksud dengan qanit ialah orang
yang taat.” Kata qanit ditafsirkan dengan banyak sekali penafsiran, namun keseluruhannya
kembali kepada selalu dalam keadaan ta'at.
Ketiga; Pujian Allah, “Hanif.” Yang dimaksud dengan kata hanif ialah orang
yang selalu menghadap kepada Allah Ta’ala,
dan kata tersebut mengharuskannya berpaling dari semua selain Allah Ta’ala.
Keempat; Pujian Allah Ta’ala, “Yang
mensyukuri nikmat-nikmat Allah.”
Syukur
kepada nikmat itu dibangun di atas 3 (tiga) landasan;
1.
a. Mengakui nikmat dan menyandarkannya kepada
pemberi-Nya.
2.
b. Menggunakan nikmat untuk mencari keridhaan-Nya.
3.
c. Mengerjakan apa saja yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala.
Seseorang tidak dinamakan hamba
yang bersyukur kecuali dengan ketiga
landasan di atas.
Maksud dari ini semua
adalah menjelaskan, bahwa Allah Subhanahu
wa Ta’ala memuji Nabi Ibrahim 'Alaihis
Salam dengan empat sifat yang kesemuanya tertumpu pada ilmu, mengerjakan
konsekwensinya, dan mengajarkannya serta menyebarkannya.
Jadi, kesempurnaan seluruhnya berpulang kepada ilmu,
mengerjakan konsekwensinya , dan mengajak manusia kepadanya.
124. ILMU ADALAH JALAN YANG PENUH BERKAH
Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjelaskan tentang Nabi Isa 'Alaihis
Salam bahwa Beliau berkata,
“Sesungghuhnya aku ini
hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang
Nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang
yang diberkati di mana saja aku berada.”
(Maryam; 30-31).
Sufyan bin Uyainah berkata, “Maksud dari Dia menjadikan aku
seorang yang diberkati dimana saja aku berada ialah bahwa Dia menjadikanku sebagai pengajar kebaikan di mana saja aku berada.”
Ini menunjukkan, bahwa pengajaran ilmu oleh seseorang kepada
orang lain adalah keberkahan yang ditempatkan Allah Ta’ala pada kebaikan tersebut.
Keberkahan ialah tercapainya
kebaikan, penambahannya, dan keberlangsungannya.
Pada hakikatnya keberkahan itu tidak
terjadi kecuali pada ilmu yang diwarisi para Nabi, dan pengajarannya. Oleh karenanya, Allah Ta’ala menamakan kitab-Nya sebagai keberkahan, seperti yang Dia
firmankan (artinya),
“Dan Al-Qur’an ini adalah suatu kitab
(peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan.” (Al-Ambiya; 50).
Allah
Ta’ala juga berfirman,
“Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah.” (Shaad; 29).
Allah
Subhanbahu wa Tala menamakan
Rasul-Nya sebagai orang yang diberkahi seperti terlihat dalam ucapan Nabi Isa 'Alaihissalam, (Maryam; 30-31).
Jadi keberkahan kitab-Nya, dan Rasul-Nya
adalah sarana yang dengannya diperoleh ilmu, petunjuk dan dakwah kepada-Nya.
125. PAHALA ITU BISA DIWARISI
Disebutkan
dalam Shahih Muslim hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang bersabda (artinya),
“Jika
anak Adam meninggal dunia, maka (pahala) amalnya terputus kecuali tiga hal; sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, atau anak shalih yang berdoa
untuknya.” (HR. Muslim).
Hadits
di atas adalah dalil terkuat tentang kemuliaan ilmu, keutamaan, dan besarnya
buahnya. Sesungguhnya pahala ilmu tetap
diterima yang bersangkutan setelah kematiannya selagi ilmunya diamalkan orang
lain. Seolah-olah ia tetap hidup dan
amalnya tidak terputus. Ini disamping kenangan dan sanjungan yang
dialamatkan kepadanya. Tetap
berlangsungnya pahala untuk dirinya pada saat pahala amal perbuatan telah
terputus dari manusia adalah kehidupan kedua baginya.
Rasulullah
Shallallahu 'Alahi wa Sallam hanya
mengkhususkan ketiga hal di atas yang pahalanya tetap diterima oleh mayit. Karena dia adalah penyebab keberadaan ketiga
hal tersebut. Karena ia menjadi penyebab
terbentuknya anak yang shalih, sedekah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat, maka
pahalanya tetap berlangsung (mengalir) padanya.
Seorang hamba mendapatkan pahala karena tindakannya langsung, atau yang
tidak langsung.
Dua
prinsip ini disebutkan Allah Ta’ala dalam
kitab-Nya,
“Yang
demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana
kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu
suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah
tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (At-Taubah; 120).
Kesemua
hal di atas lahir dari tindakan mereka dan tidak ditakdirkan bagi mereka. Yang ditakdirkan bagi mereka adalah
sebab-sebabnya yang mereka lakukan secara langsung.
126.
ILMU ADALAH JALAN MENUJU PENGAMPUNAN
Ibnu
Abdulbarr menyebutkan dari Abdullah bin Daud yang berkata, “Pada hari kiamat
Allah membebaskan para ulama dari hisab.
Allah berfirman, ‘Masuklah kalian ke surga seperti biasa. Sesungguhnya Aku tidak menjadikan Ilmu-Ku
yang ada pada kalian kecuali untuk kebaikan yang Aku inginkan bagi kalian.’”
Jika
ada yang berkata, “Kaidah-kaidah syar'i menghendaki orang bodoh diberi
toleransi yang tidak pantas diberikan kepada orang berilmu, dan ia diberi
ampunan yang tidak pantas diberikan kepada orang berilmu, karena hujjah Allah
yang ada pada orang berilmu lebih kuat daripada hujjah Allah yang ada pada
orang bodoh, pengetahuan orang berilmu terhadap keburukan maksiat dan kemarahan
Allah Ta’ala terhadapnya dan
hukuman-Nya terhadapnya lebih kuat dari pengetahuan orang bodoh, dan nikmat
ilmu yang diberikan Allah Ta’ala kepada
orang berilmu lebih besar daripada nikmat-Nya yang diberikan Allah Ta’ala kepada orang bodoh.”
Syari’at
dan hukum-hukum Allah Ta’ala
menunjukkan, bahwa orang yang dianugerahi banyak nikmat, kelebihan dan kemuliaan
kemudian ia menjerumuskan dirinya kedalam syahwat dan mengembalakan dirinya di
atas rumput-rumput kebinasaan, berani melanggar hal-hal yang diharamkan, dan
menganggap kecil kesalahan, ia dibalas dengan siksa dan kecaman yang tidak
diberikan kepada orang yang derajatnya tidak seperti dirinya.
Oleh
Karena itu Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa
diantara kalian mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat
gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat.
Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Al-Ahzab; 30).
Oleh
karena itu pula, hukuman bagi orang merdeka dilipat gandakan dua kali lipat
dari hukuman budak dalam kasus perzinahan, menuduh berzina tanpa bukti, dan meminum minuman keras, karena banyaknya nikmat yang ada pada orang merdeka.
Inilah
Nabi Musa Alaihis Salam yang pernah
berdialog denga Allah 'Azza wa Jalla, Beliau melemparkan lembaran-lembaran yang di dalamnya terdapat firman Allah Ta’ala yang ditulis Allah Ta’ala untuk Beliau. Beliau melemparkannya ke atas bumi hingga
berserakan. Beliau menonjok mata
Malaikat pencabut nyawa hingga keluar.
Beliau mendebat Tuhannya pada malam Isra’ tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dengan
berkata, “Anak muda yang diutus setelahnya kemudian ummatnya lebih banyak masuk Surga daripada ummatku?” Beliau memegang
jenggot saudaranya dan menariknya, padahal Beliau adalah Nabi Allah. Itu semua sedikitpun tidak mengurangi
kedudukan Nabi Musa 'Alaihissalam
di sisi Allah. Allah Ta’ala tetap memuliakannya dan mencintainya. Sesungguhnya tindakan yang dilakukan Nabi
Musa 'Alaihissalam, musuh yang
mengejarnya, kesabaran yang dilakukannya, dan siksaan yang dirasakannya di
jalan Allah, itu semua tidak merubah status Nabi Musa 'Alaihissalam di mata Allah Ta’ala
dan tidak menurunkan derajatnya.
Ini bukan rahasia umum bagi
manusia dan tertanam dalam fitrah mereka, bahwa orang yang mempunyai
beribu-ribu kebaikan, maka satu, dua, atau lebih kesalahannya diampuni. Jika terkumpul padanya alasan untuk
menghukumnya karena kejahatannya dan motif syukurnya karena kebaikannya, maka
motif syukurnya lebih dominan daripada alasan untuk menghukumnya, seperti
dikatakan salah seorang penyair,
Jika kekasih datang dengan membawa satu
dosa
Maka
kebaikan-kebaikannya datang dengan membawa seribu pembela
Penyair lain
berkata,
Jika satu tindakannya menghasilkan satu
dosa
Maka tindakan yang
mereka sembunyikan sangat banyak
Pada Hari Kiamat, Allah Ta’ala menimbang kebaikan dan kesalahan
seorang hamba. Mana yang paling berat diantara keduanya, itulah yang dominan,
kemudian terhadap orang-orang yang mempunyai kebaikan yang banyak, dan lebih
mengutamakan cinta-Nya, keridhaan-Nya, dan kemenangan mereka atas dorongan
syahwatnya, maka Allah Ta'ala memberi
maaf dan ampunan kepadanya yang tidak diberikan kepada orang selain mereka.
Selain
itu, sesungguhnya jika orang berilmu terperosok dalam dosa, ia segera bertaubat
dengan baik, mencari apa yang hilang dari dirinya, dan mengobati lukanya. Ia seperti dokter ahli dan pakar tentang
penyakit, sebab-sebabnya dan cara
pengobatannya. Sesungguhnya pengikisan penyakit itu lebih cepat dilakukan orang
berilmu daripada orang bodoh.
Selain
itu, orang berilmu mempunyai pengetahuan tentang perintah Allah Ta’ala, membenarkan janji-Nya dan
ancaman-Nya, takut kepada-Nya, ia merasa dirinya hina karena mengerjakan
larangan-Nya, ia beriman bahwa Allah mengharamkan perbuatan tersebut, bahwa ia
mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa, dan menyiksa orang karena dosanya. Itu semua bisa menghanguskan dosa, melemahkan
keinginan untuk menyiksa, dan menghilangkan bekasnya. Ini berbeda dengan orang bodoh yang tidak
mengetahui salah satu dari permasalahan di atas, ia tidak mendapatkan apa-apa
selain kegelapan dosa, keburukannya dan bekas-bekasnya yang menghinakan. Jadi tidak sama antara orang berilmu dengan
orang bodoh.
Ini
bukti nyata tentang kelebihan ilmu.
Allah tempat memohon petunjuk.
127. SIBUK DENGAN ILMU ADALAH
IBADAH
Sesungguhnya
orang berilmu yang sibuk dengan ilmu dan pengajarannya senantiasa berada dalam suasana
ibadah. Jadi ia belajar dan mengajar, ia
berada dalam ibadah.
Ibnu
Mas’ud berkata, “Orang yang ahli fiqh itu selalu shalat.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Bagaimana ia
shalat?” Ibnu Mas’ud berkata, “Dengan
dzikir kepada Allah bersama hati dan mulutnya.”
Hadits
di atas diceritakan Ibnu Abdulbarr.
Sufyan
Atsauri berkata,”Tidak ada amal perbuatan yang lebih mulia dari mencari ilmu
jika niatnya benar di dalamnya."
Ibnu
Abbas berkata, “Mempelajari ilmu pada sebagian malam lebih aku sukai daripada
menghidupkan seluruh malam dengan qiyamul
lail.”
Muhammad bin Ali Al-Baqir,
“Satu orang berilmu yang mengamalkan ilmunya lebih baik daripada seribu ahli
ibadah.”
Muhammad
bin Ali Al-Baqir juga berkata, “Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya kepada
manusia lebih baik daripada ibadah seribu ahli ibadah.”
Karena
menuntut ilmu, menulisnya, dan memeriksanya adalah aktivitas hati dan badan,
maka ia termasuk amal perbuatan yang paling mulia, dan statusnya terhadap
aktifitas badan adalah seperti aktifitas hati misalnya ikhlas, tawakal, cinta,
inabah (kembali kepada Allah dalam segala keadaan), takut, ridha, dan lain sebagainya terhadap aktifitas pisik (luar).
Jadi
jika ada yang berkata, “Sesungguhnya ilmu adalah sarana kepada amal perbuatan
dan amal perbuatan adalah tujuan.
Sebagaimana diketahui, tujuan itu lebih mulia daripada sarana, maka
bagaimana dalam hal ini sarana dipandang lebih mulia daripada tujuan?”
Jawabnya;
setiap ilmu dan amal perbuatan terbagi kedalam dua bagian;
Pertama, ada yang menjadi sarana.
Kedua, ada yang menjadi tujuan.
Tidak
semua ilmu menjadi sarana. Ilmu tentang
Allah, Nama-nama-Nya, dan Sifat-sifat-Nya adalah ilmu yang paling mulia secara
mutlak.
Ilmu
seperti itu adalah tujuan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Allah–lah
yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi, Perintah Allah
berlaku padanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya
Allah, Ilmu-Nya benar-benar meliputi
segala sesuatu.” (Ath-Thalaq; 12).
Pada
ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjelaskan, bahwa Dia menciptakan langit dan bumi, menurunkan perintah
di antara langit dan bumi, agar hamba-hamba-Nya mengetahui bahwa Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ilmu tersebut adalah tujuan semua
makhluk. Allah Ta’ala berfirman,
“Maka ketahuilah (ilmuilah), bahwa sesungguhnya tidak
ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.”
(Muhammad; 19).
Jadi ilmu (pengetahuan) tentang
keEsaan Allah, dan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah
adalah tujuan, kendati ilmu itu saja belum cukup, karena ilmu tersebut harus
ditindaklanjuti dengan beribadah kepada-Nya saja. Jadi di sini ada dua hal yang menjadi tujuan;
Yaitu, bahwa Allah diketahui dengan Nama-nama-Nya, Sifat-sifat-Nya,
Perbuatan-perbuatan-Nya, dan Hukum-hukum-Nya.
Sebagaimana beribadah kepada Allah adalah tujuan, maka ilmu (pengetahuan)
tentang Allah, dan mengenal-Nya juga merupakan tujuan.
Selain itu, sesungguhnya ilmu adalah jenis ibadah yang paling mulia sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, karena ilmu mencakup sarana dan tujuan.
Ucapan kalian, “Sesungguhnya
amal perbuatan adalah tujuan.” Ada dua
kemungkinan dalam hal ini. Bisa jadi
amal perbuatan yang kalian maksud adalah amal perbuatan hati dan badan, atau
amal perbuatan badan saja!
Jika kalian menginginkan
kemungkinan pertama, ini benar, dan menunjukkan bahwa ilmu adalah amal
perbuatan hati dan badan seperti disebutkan sebelumnya.
Jika kalian menginginkan
kemungkinan kedua, ini tidak benar, karena pada hakikatnya amal perbuatan hati
adalah tujuan, dan amal perbuatan badan adalah sarana. Selain itu, sesungguhnya pahala, hukuman,
pujian, dan kecaman, itu semua adalah untuk hati kemudian diikuti badan.
Selain itu, ilmu yang merupakan
sarana kepada amal perbuatan, jika ia tidak ditindak-lanjuti dengan amal
perbuatan, maka ilmu `seperti itu tidak berguna bagi pemiliknya. Dalam masalah ini amal perbuatan lebih baik
daripada ilmu.
Adapun ilmu yang membuahkan
hasil, tidak bisa dikatakan bahwa amal tanpa ilmu lebih baik daripadanya! Bagaimana ibadah badan tanpa ilmu bisa dikatakan
lebih baik daripada ilmu (pengetahuan ) tentang Allah, Nama-nama-Nya,
Sifat-sifat-Nya, dan Hukum-hukum-Nya pada Ciptaan-Nya, serta Perintah-Nya! Dan lebih baik daripada ilmu (pengetahuan)
tentang aktifitas-aktifitas hati, penyakit-penyakit jiwa, dan jalan-jalan yang
merusak amal perbuatan, menghalangi pengiriman amal perbuatan dari hati kepada
Allah, membuat jarak antara amal perbuatan dengan hati, serta membuat jarak
antara hati dengan Allah, serta ilmu-ilmu lain seperti ilmu (pengetahuan)
tentang keimanan, dan apa saja yang melemahkan hati dan menguatkannya?
Bagaimana bisa dikatakan, bahwa
ibadah badan tanpa ilmu lebih baik daripada ilmu? Namun jika ada orang yang mampu melakukan
kedua-duanya, ia adalah orang yang sempurna.
Jika pada salah satu dari keduanya terdapat kelebihan maka kelebihan
ilmu adalah lebih baik daripada kelebihan ibadah.
Inilah kata pamungkas tentang
permasalahan ini, wallahu a’lam.
128. ILMU ITU JALAN MENUJU
KEBAHAGIAAN
Imam
Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Kabsyah Al-Anmari yang berkata,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya
dunia itu diberikan kepada empat orang; seorang hamba yang dianugerahi Allah
harta dan ilmu, kemudian ia bertakwa kepada Allah di dalam hartanya, dengannya
ia menyambung hubungan sanak kerabat, dan mengetahui hak Allah di
dalamnya. Orang tersebut kedudukannya
di sisi Allah paling baik. Orang yang
dianugerahi Allah ilmu namun tidak dianugerahi harta. Ia berkata, ‘Seandainya aku mempunyai harta,
pasti aku mengerjakan seperti yang dikerjakan si Fulan.’ Ia berniat seperti itu dan pahala keduanya
sama. Orang yang dianugerahi Allah harta
tapi tidak dianugerahi ilmu, kemudian ia tidak bisa mengatur hartanya, tidak
bertakwa kepada Allah di dalamnya, tidak menyambung hubungan sanak-kerabat
dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya. Kedudukan orang tersebut di sisi Allah paling
jelek. Orang yang tidak dianugerahi
Allah harta dan tidak pula ilmu. Ia berkata,
‘Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti mengerjakan apa yang dikerjakan si
Fulan.’ Ia berniat seperti itu dan
keduanya mendapatkan dosa yang sama.”
(H.R. Ahmad dan Tirmidzi).
Pada
hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membagi manusia kedalam 4 (empat) kelompok;
Pertama,
yang merupakan kelompok terbaik diantara kelompok yang ada, yaitu orang yang
dianugerahi Allah Ilmu dan harta, kemudian ia berbuat baik kepada manusia dan
kepada dirinya sendiri dengan ilmunya dan hartanya.
Kedua,
orang yang dianugerahi Allah ilmu, tapi tidak dianugerahi harta. Pahala orang pertama dan orang kedua dengan
niatnya sama besarnya. Jika tidak
begitu, orang (pertama) yang berinfak, dan bersedekah berada di atasnya dengan
infaknya dan sedekahnya. Orang berilmu,
ia mendapatkan pahala seperti pahala orang pertama dengan niatnya yang serius
yang ditindak-lanjuti dengan apa yang mampu ia kerjakan, yaitu mengucapkan
niatnya dengan lisannya.
Ketiga,
orang yang dianugerahi Allah harta namun tidak dianugerahi ilmu. Kelompok ini, kedudukannya di sisi Allah
paling jelek, karena hartanya mengantarkannya kepada kebinasaan. Jika ia tidak memiliki harta, itu lebih baik
baginya. Ia dikaruniai sesuatu yang
sebenarnya bisa ia jadikan berbekal dengannya menuju Surga, namun kenyataannya
ia menjadikannya bekal ke Neraka.
Keempat,
orang yang tidak dianugerahi harta dan tidak pula ilmu. Ia berniat, seandainya ia mempunyai harta
seperti kelompok ketiga, pasti ia menggunakannya dalam maksiat kepada
Allah. Kelompok ini kedudukannya di
bawah kedudukan orang kaya yang bodoh (kelompok ketiga) dan mendapatkan dosa
yang sama dengan niatnya yang serius yang disertai tindakan yang mampu ia
kerjakan yaitu ucapan.
Jadi,
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
membagi orang-orang yang bahagia kedalam dua kelompok, menjadikan ilmu dan
pengamalannya sebagai sebab kebahagiaan keduanya, membagi orang-orang celaka ke
dalam dua kelompok, dan menjadikan kebodohan dengan segala niatnya sebagai
penyebab kecelakaannya.
Kesimpulannya, semua kebahagiaan itu
terpusat kepada ilmu dan konsekwensinya, dan seluruh kecelakaan terpusat kepada
kebodohan dan buahnya.
129.
ANTARA ILMU DENGAN TAFAKUR
Disebutkan,
bahwa salah seorang dari generasi salaf berkata, “Tafakur sesaat lebih baik
daripada ibadah selama enam puluh tahun.”
Seseorang
bertanya kepada Ummu Darda’ tentang ibadah Abu Darda’, kemudian Ummu Darda’
menjawab, “Seluruh siangnya digunakan untuk tafakur.”
Al-Hasan
berkata, “Tafakur sesaat lebih baik daripada qiyamul lail.”
Al-Fudhail berkata, “Tafakur
adalah cermin yang memperlihatkan kepadamu kebaikan dan kesalahan yang ada
padamu.”
Dikatakan kepada Ibrahim,
“Kenapa engkau tafakur lama sekali?”
Ibrahim menjawab, “Pikiran adalah otak akal.”
Sufyan Ats-Tsauri seringkali
melantunkan syair,
Jika seseorang mempunyai akal pikiran
Maka
segala sesuatu baginya adalah ibrah
Tentang firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya dimuka
bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (Al-A’raaf; 146). Al-Hasan berkata, “Maksudnya bahwa Aku (Allah) membuat mereka tidak mampu berpikir di dunia ini.”
Salah seorang yang bijak
berkata, “Jika hati orang-orang bertakwa dengan
akalnya memikirkan kebaikan akhirat yang berada di tembok keghaiban,
maka kehidupan di dunia tidak ada artinya bagi mereka, dan mata mereka tidak
segar di dalamnya.”
Al-Hasan berkata, “Lama
menyendiri membuat berpikir berjalan dengan sempurna dan lama berpikir adalah
adalah petunjuk jalan menuju surga.”
Wahab berkata, “Tidaklah
seseorang berpikir lama sekali melainkan ia mendapatkan ilmu, dan tidaklah
seseorang mendapatkan ilmu melainkan ia mengamalkannya.”
Umar bin Abdul Aziz berkata,
“Memikirkan nikmat-nikmat Allah adalah ibadah yang paling baik.”
Abdullah bin Mubarak berkata
kepada salah seorang sahabatnya yang ia lihat sedang tafakur, “Sudah sampai
mana? Sahabatnya menjawab, “Sampai
titian.”
Bisyr berkata, “Jika manusia
memikirkan (mentafakuri) keagungan Allah, pasti mereka tidak bermaksiat kepada-Nya.”
Ibnu Abbas berkata, “Dua rakaat
yang dilakukan penuh tafakur lebih baik daripada qiyamul lail tanpa hati.”
Abu Sulaiman berkata,
“Memikirkan dunia menghalangi seseorang dari akhirat, dan hukuman bagi orang
wali. Dan memikirkan akhirat itu menghasilkan
hikmah dan menghidupkan hati.”
Ibnu Abbas berkata, “Memikirkan
kebaikan mendorong seseorang untuk mengamalkannya.”
Imam Syafi’i berkata, “Minta
tolonglah untuk berbicara dengan diam dan mengeluarkan hukum dengan berpikir.”
Ini disebabkan Karena tafakur
adalah aktifitas hati dan ibadah adalah aktifitas badan. Karena hati lebih mulia daripada badan, maka otomatis
aktifitas hati lebih mulia daripada aktifitas badan.
Selain itu, sesungguhnya tafakur
itu membuahkan iman bagi pelakunya dan hal ini tidak mampu dihasilkan oleh
ibadah tanpa tafakur. Tafakur membuat pelakunya mengetahui
hakikat banyak hal, membedakan tingkatan-tingkatannya dalam kebaikan dan
keburukan, mengetahui yang tidak mulia diantara yang mulia, sesuatu yang paling
buruk diantara hal-hal yang buruk, mengetahui sebab-sebab yang mengantarkannya
kepadanya, mengetahui apa saja yang mengganggunya, membedakan antara berusaha
untuk mendapatkannya dengan berusaha menolak sebab-sebabnya, membedakan antara
ilusi yang menghalangi sebagian besar manusia memamfaatkan peluang dengan sebab
penghalang kemudian ia sibuk dengannya daripada dengan yang pertama.
Tidak ada yang memotong seseorang dari kesempurnaan dirinya,
keberuntungannya, dan kebahagiaannya di dunia dan akhirat melainkan ilusi yang kebanyakan
terjadi pada manusia dan khayal yang tiada lain adalah kendaraannya, bahkan
lautannya yang tidak berhenti berenang-renang di dalam dirinya. Namun rintangan ini bisa diatasi dengan
berpikir dengan benar dan tekad yang benar yang dengannya ia bisa membedakan
antara ilusi dengan hakikat.
Begitu juga, jika seseorang
memikirkan akibat segala sesuatu, pemikirannya menembus bangunannya, ia
meletakkan pada tempatnya, dan mengetahui
tingkatan-tingkatannya, maka jika datang padanya dorongan untuk berbuat
dosa, ia tidak menggubris pikiran tentang kelezatan dosa dan syahwat tersebut,
jiwanya merasa damai karena dosa tersebut berakibat fatal dan menghasilkan rasa
sakit dan kesedihan yang tidak seimbang dengan kelezatannya.
Jika seseorang memikirkan itu
semua, ia tidak tertarik kepada dosa.
Jika datang kepada hatinya untuk santai, malas, dan tidak sabar terhadap
kesulitan-kesulitan ketaatan, ia menyeberanginya dengan memikirkan kelezatan,
kebaikan, dan kebahagiaan yang dihasilkan ibadah.
Begitu juga jika pikirannya tenggelam
kedalam hal-hal di atas, ia mencarinya dengan serius, tidak menggubris
kesulitan-kesulitannya, dan ia menghadapinya dengan aktif, tangguh, dan
bersemangat. Demikian pula jika
seseorang memikirkan harta, jabatan dan lain sebagainya yang memperbudak dirinya
dan merenungkannya dengan akalnya, pasti ia malu kepada akalnya dan hatinya
menjadi budak bagi semua itu, seperti dikatakan seorang penyair,
Jika seorang perindu memikirkan akhir
keindahan yang ia cintai
Maka ia tidak akan mencintainya
Demikian juga jika seseorang
memikirkan hasil akhir makanan-makanan lezat yang disukai jiwa-jiwa semisal
binatang, dan bagaimana bentuknya ketika sisanya keluar dari duburnya, maka
pantang baginya mengarahkan semua semangatnya kepadanya, pantang baginya
menjadikannya sebagai Tuhan bagi hatinya; kepadanya ia menghadap, untuknya ia
ridha, marah, bekerja, dan mencintai sebagaimana
disebutkan dalam Musnad dari Nabi
Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
yang bersabda,
“Sesungguhnya Allah menjadikan
makanan anak keturunan Adam sebagai perumpamaan dunia, kendati makanan tersebut
diberi bumbu dan garam, maka anak keturunan Adam mengetahui hasil akhir dari
makanan tersebut.” (H.R. Ahmad).
Jika pikirannya
terkonsentrasi pada itu semua dan
jiwanya merdeka dan anti terhadapnya, maka pantang baginya menjadikan dirinya
sebagai budak bagi sesuatu yang hasil akhirnya sangat busuk, kotor, dan
menjijikkan.
Jika hal ini telah diketahui
dengan baik, maka tafakur ialah
menghadirkan dua pengetahuan kedalam hati untuk menghasilkan pengetahuan
ketiga. Contohnya ialah jika
seseorang menghadirkan kedalam hatinya pemikiran tentang dunia lengkap dengan
kehidupan didalamnya, kenikmatannya, sisi-sisi negatifnya, dan ketidak
abadiannya, kemudian ia menghadirkan kedalam hatinya pemikiran tentang akhirat
lengkap dengan kenikmatannya, kelezatannya, keabadiannya, dan kelebihannya atas
kenikmatan dunia, maka kedua pengetahuan ini menghasilkan pengetahuan ketiga
yaitu bahwa akhirat, dan kenikmatannya yang mulia dan abadi lebih layak untuk
diutamakan bagi orang berakal daripada dunia dan kenikmatannya yang tidak
abadi.
Ada dua cara untuk mengetahui
informasi tentang akhirat;
Pertama, ia mendengar informasi akhirat dari orang lain, namun
hatinya tidak memiliki keyakinan terhadapnya dan tidak berusaha mengetahui
detail akhirat.
Itulah kondisi sebagian besar
manusia. Ia ditarik oleh dua magnet;
Pertama magnet dunia. Magnet tersebut
sangat kuat dalam dirinya, karena ia terlihat dengan jelas olehnya. Kedua, magnet akhirat. Magnet tersebut amat lemah dalam dirinya,karena
ia adalah ajakan berdasarkan wahyu, dan keyakian terhadapnya tidak menyentuh
hatinya. Jika ia meninggalkan dunia dan
memilih akhirat, maka hatinya memberitahukan bahwa ia meninggalkan sesuatu yang
telah jelas demi sesuatu yang masih merupakan dugaan. Bahasa penyeru kepadanya, “Aku tidak
meninggalkan mutiara yang telah tersedia hanya untuk mengejar mutiara yang baru
dijanjikan!”
Itulah penyakit yang menyebabkan
sebagian besar manusia tidak mampu mengadakan persiapan untuk akhirat dan
berusaha untuknya. Itu disebabkan karena
lemahnya pengetahuan tentang akhirat.
Sesungguhnya dengan tekad kuat yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya,
pengabaian terhadap akhirat dan benci kepadanya tidak akan terjadi. Jika seseorang disuguhi makanan yang amat
lezat dan ia sangat membutuhkannya, kemudian ia katakan kepadanya, “Makanan ini
beracun!” Maka ia tidak memakannya,
karena ia mengetahui akibatnya kalau ia memakannya. Maka kenapa keimanan kepada akhirat di dalam
hatinya tidak bisa seperti itu?
Keimanan terhadap akhirat tidak
bisa seperti itu dalam hatinya dikarenakan lemahnya
pohon ilmu dan pohon iman kepada akhirat di dalam hati dan juga karena labilnya
keimanan kepada akhirat di dalam hatinya.
Begitu juga jika ia berjalan disebuah jalan raya kemudian dikatakan
kepadanya, “Di jalan tersebut terdapat banyak perampok dan pencuri yang
membunuh siapa saja yang mereka temui dan merampas kekayaannya!” Maka ia tidak akan melewati jalan tersebut,
kecuali karena salah satu dari dua kemungkinan; Pertama, ia tidak mempercayai
pemberi informasi. Kedua, ia yakin
dirinya mampu mengalahkan para perampok dan pencuri dan menaklukkannya. Jika ia mempercayai pemberi informasi tanpa
keraguan di dalamnya dan mengetahui dirinya lemah tidak mampu melawan mereka,
ia tidak akan melintasi jalan tersebut.
Jika ia mempunyai dua ilmu (pengetahuan) terhadap dunia dan syahwatnya,
ia tidak akan memburu dunia. Dari sini
bisa diketahui, bahwa memilih dunia dan tidak mengadakan persiapan untuk
akhirat tidak akan terjadi jika ia mempunyai keimanan yang sempurna.
Kedua, ia yakin dan percaya tanpa ragu-ragu bahwa ia mempunyai
tempat lain selain dunia ini, dan negeri yang diciptakan untuknya, juga bahwa
negeri dunia ini adalah jalan menuju negeri sesudahnya dan salah satu tempat pemberhentian
orang-orang yang berjalan menuju akhirat.
Ia mengetahui, bahwa negeri akhirat itu abadi, nikmat dan siksanya
tidak berakhir. Perumpamaan kenikmatan
dunia dan penderitaannya ialah seperti memasukkan jari-jarinya ke dalam lautan,
kemudian ia mencabutnya. Air yang
menempel pada jari-jarinya adalah perumpamaan dunia terhadap akhirat
(lautan). Kemudian pengetahuan tentang
itu semua membuatnya mementingkan akhirat, mencarinya, mengadakan persiapan
maksimal untuknya, dan berusaha mendapatkannya.
Itulah yang dinamakan TAFAKUR, TADZAKUR, NADZAR, TA’AMMUL, I’TIBAR,
TADABUR, dan ISTIBSHAR.
Kesemua terminologi diatas
memiliki kesamaan dan perbedaan;
Dinamakan tafakur, karena tafakur
ialah menggunakan pikiran untuk berpikir.
Dinamakan tadzakur, karena tadzakur ialah menghadirkan ilmu. Allah Ta’ala
berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was
dari syaithan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat
kesalahan-kesalahannya.” (Al-A’raaf;
20).
Dinamakan nadzar, karena nadzar adalah menyertakan hati terhadap
apa yang dilihatnya.
Ta’ammul adalah mengkaji
ulang dari waktu ke waktu hingga sesuatu terlihat jelas olehnya.
Dikatakan i’tibar, karena I’tibar adalah menyeberang dari sesuatu
kepada sesuatu yang lain. Ia menyeberang dari
sesuatu yang telah dipahami kepada pengetahuan ketiga. Itulah yang dimaksud dengan I’tibar.
Oleh karena itu I’tibar juga
dinamakan ibrah. Allah Ta’ala
berfirman (artinya),
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal.” (Yusuf; 111).
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang takut (kepada Tuhannya).”
(An-Nazi’at; 26).
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar
bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (An-Nuur; 44).
Dinamakan tadabur, karena tadabur adalah memikirkan kesudahan (akibat) segala
sesuatu, termasuk di dalamnya akibat dari ucapan. Allah Ta’ala
berfirman,
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami)? (Al-Mukminun; 68).
Allah Ta’ala berfirman,
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa; 82).
Mentadaburi ucapan maksudnya
ialah mengamatinya dari awal hingga akhir kemudian mengkaji ulangnya hingga
beberapa kali.
Dinamakan Istibshar, yaitu
terlihatnya sesuatu oleh mata.
Tadzakur dan tafakur memiliki
manfaat yang tidak dimiliki yang lain. Tadzakur menjadikan hati mengkaji ulang
apa yang telah diketahuinya agar sesuatu itu menancap kuat di dalam hatinya dan
tidak hilang daripadanya. Sedang tafakur ialah memperbanyak ilmu dan mendatangkan
sesuatu yang belum dimiliki hati. Jadi
tugas tafakur ialah mendatangkan dan
tugas tadzakur adalah menjaganya.
Jadi kebaikan dan kebahagiaan itu berada di dalam gudang tafakur dan
tadzakur. Seseorang harus melakukan
tafakur dan ilmu yang menghasilkan tafakur, dan stabilisasi yang ada di dalam
hati. Jika orang yang mengetahui sesuatu
yang dicintainya dan dibencinya, ia harus mencelupkan hatinya ke dalam
ilmunya. Stabilisasi yang ada dalam
hatinya menghasilkan keinginan, dan keinginan menghasilkan perbuatan.
Jadi berpikir adalah landasan dan kunci semua kebaikan.
Ini membuka untuk anda kelebihan
tafakur dan kemuliaannya, bahwa tafakur adalah aktifitas hati yang paling mulia
dan paling bermanfaat bagi seseorang hingga dikatakan, “Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun.”
Jadi berpikir itulah yang
memindahkan kematian lupa diri kepada kehidupan terjaga (tidak lupa), dari
hal-hal yang dibenci kepada hal-hal yang disukai, dari ambisius kepada zuhud,
dari penjara dunia kepada angkasa akhirat, dari kesempitan kebodohan kepada
luasnya ilmu, Dari penyakit syahwat yang membumi di dunia ini kepada obat
inabah (kembali) kepada Allah dan menjauhkan diri dari negeri penuh tipuan, dari petaka
kebutaan, ketulian, dan kebisuan terhadap nikmat penglihatan, pendengaran dan
paham tentang Allah, dan dari penyakit-penyakit syubhat kepada kesejukan
keyakinan dan kesegaran dada.
Kesimpulannya, sesungguhnya akar semua ketaatan adalah berpikir. Akar kemaksiatan juga bersumber dari
berpikir. Syaithan itu menempati hati
yang kosong kemudian ia menanam benih-benih pemikiran yang kacau di dalamnya,
kemudian dari dalam hati tersebut muncullah keinginan, dan dari keinginan
lahirlah amal perbuatan. Jika syaithan
mendapati hati yang sibuk dengan benih-benih pemikiran yang lurus tentang untuk
apa ia diciptakan, apa yang diperintahkan kepadanya, apa yang telah disiapkan
untuknya; kenikmatan abadi atau siksa yang pedih, maka syaithan tidak mendapatkan
tempat untuk menanam benihnya. Salah seorang
penyair berkata,
Hawa nafsunya datang kepadaku sebelum aku mengenal hawa nafsu
Kemudian ia mendapatkan hati yang kosong lalu berdiam diri di dalamnya
Kesimpulannya, tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat
bagi hati selain membaca Al-Qur’an dengan tadabur
dan tadzakur. Cara seperti itu mengumpulkan semua kedudukan
para pejalan kepada Allah (sa'irin), keadaan orang-orang yang beramal, dan tingkatan
orang-orang yang mengenal Allah. Cara seperti itu juga menumbuhkan cinta,
rindu, takut, berharap, inabah (kembali kepada Allah), tawakal, ridha, syukur, sabar, dan semua yang
menghidupkan hati dan menyempurnakannya.
Selain itu, cara demikian juga mengusir semua sifat dan tindakan tercela yang
merusak hati serta membinasakannya.
Jika manusia mengetahui semua
manfaat yang ada dalam membaca Al-Qur’an dengan tadabur, pasti mereka sibuk
dengannya daripada yang lain. Jika
seseorang membaca Al-Qur’an dengan tafakur hingga bila melewati ayat yang dia
butuhkan untuk menyembuhkan hatinya, ia membacanya berulang-ulang, kendati
sampai seratus kali dan menghabiskan semalam suntuk. Membaca Al-Qur’an dengan tadabur dan tadzakur lebih baik daripada
membacanya hingga khatam tanpa tadabur dan tadzakur, lebih bermanfaat bagi
hati, dan lebih mendatangkan iman dan merasakan manisnya iman.
Itulah kebiasaan para salafush shalih. Salah seorang dari mereka membaca satu ayat
berulang kali hingga pagi hari. Ayat
tersebut ialah firman Allah Ta’ala,
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah
hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi
Mahabijaksana.” (Al-Maidah; 118).
Jadi membaca Al-Qur’an dengan
tafakur adalah akar kebaikan hati. Oleh
karena itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Janganlah kalian membaca Al-Qur’an seperti
membaca syair dan jangan membacanya seperti membaca sajak. Namun berhentilah pada keajaiban-keajaiban
Al-Qur’an dan gerakkan hati manusia dengannya!
Janganlah obsesi salah seorang dari kalian pada akhir surat!”
Abu Ayyub meriwayatkan dari Abu
Jamrah yang berkata, aku berkata kepada Ibnu Abbas, “Aku sangat cepat kalau
membaca Al-Qur’an. Aku khatam Al-Qur’an dalam
tiga hari! Ibnu Abbas berkata, “Jika aku
membaca satu surat Al-Qur’an dalam satu malam kemudian aku mentadaburinya dan
membacanya dengan tartil, itu lebih aku sukai daripada membaca Al-Qur’an
seperti engkau!”
Merenungkan (tafakur) di dalam
Al-Qur’an itu ada dua macam;
Pertama, merenungkan agar
ia mendapatkan apa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala. Ini adalah merenungkan dalil Al-Qur’an.
Kedua, merenungkan
makna-makna dimana manusia diperintahkan merenungkannya. Ini adalah merenungkan dalil yang ada di alam
nyata.
Oleh karena itu, Allah
menurunkan Al-Qur’an untuk dikaji, dipikirkan dan diamalkan, bukan untuk
sekedar dibaca kemudian tidak dihiraukan.
Al-Hasan Al-Basri berkata,
“Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikan membacanya sebagai salah
satu pengamalannya.”
Inilah akhir dari pembahasan
ilmu ini. Hal-hal bermutu telah aku
berikan padamu. Hendaklah manusia
berlomba-lomba di dalamnya. Aku
perlihatkan wanita-wanita calon pengantin (Bidadari) kepadamu, maka hendaklah para
pelamar berlomba-lomba pergi menemui mereka!
Dan akhir dari do'a kita adalah
Segala Puja Puji hanya bagi Allah Rabb alam semesta.
الحمد لله رب العالمين
الحمد لله رب العالمين
(Tamat)
oOo
oOo