بسم الله الر حما ن الر حيم
Jika manusia tidak memiliki ilmu, maka yang tersisa hanyalah titik persamaan antara dirinya dengan seluruh hewan yang ada, yaitu sama-sama binatang. Ia tidak lagi memiliki kelebihan atas binatang. Bahkan, bisa jadi lebih buruk daripada binatang. Mereka adalah orang-orang bodoh. Demikian dinukil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an.
(QS. Al-Anfal; 22-23).
Berikut ringkasan kitab “BUAH ILMU” karya Al-Imam, Al-'Allaamah IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH rahimahullah;
1. KESAKSIAN
ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA TERHADAP ORANG BERILMU
Hal
ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang berilmu karena berbagai alasan,
diantaranya, (QS. Ali-Imran 18);
Pertama,
mereka yang diminta Allah Ta’ala untuk bersaksi terhadap keesaan-Nya
adalah orang-orang berilmu, dan bukan kelompok manusia yang lain.
Kedua,
Allah menggabungkan kesaksian orang-orang berilmu dengan kesaksian-Nya.
Ketiga,
Allah menggabungkan kesaksian orang-orang berilmu dengan kesaksian para Malaikat-Nya.
Keempat,
rekomendasi Allah terhadap kesucian orang-orang berilmu, dan keadilan mereka.
Kelima,
Allah mensifati mereka sebagai orang-orang yang berilmu. Ini menunjukkan, bahwa ilmu itu
(hanya) diperuntukkan bagi mereka, dan bahwa mereka adalah pemilik ilmu, dan
sahabat-sahabat ilmu.
Keenam,
Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengangkat diri-Nya sebagai “Saksi Ter-Agung”, kemudian
meminta makhluk-makhluk-Nya yang terbaik untuk bersaksi, yaitu para Malaikat
dan orang-orang berilmu diantara hamba-hamba-Nya. Ini sudah cukup dijadikan bukti tentang
keutamaan orang-orang berilmu dan kemuliaan mereka.
Ketujuh,
Allah Subhanahu
wa Ta’ala meminta orang-orang berilmu bersaksi terhadap sesuatu
yang paling agung untuk diberi persaksian, paling mulia dan paling besar, yaitu
kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia saja.
Kedelapan,
Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjadikan kesaksian orang-orang berilmu sebagai hujjah
atas para pembangkang. Orang-orang
berilmu itu setara dengan dalil-dalil Allah, ayat-ayat-Nya, dan bukti-bukti
yang menunjukkan tentang keEsaan-Nya.
Kesembilan,
Allah Subhanahu
wa Ta’ala menunggalkan tindakan yang mengandung kesaksian
dari-Nya, para Malaikat-Nya, dengan orang-orang berilmu. Seolah-olah Allah bersaksi atas keEsaan
diri-Nya dengan mulut-mulut mereka dan
membuat mereka mengucapkan kesaksian tersebut.
Kesepuluh,
Allah Subhanahu
wa Ta’ala membuat orang-orang berilmu menunaikan hak-Nya atas
hamba-hamba-Nya dengan kesaksian ini. Jika
mereka telah menunaikan hak Allah tersebut, otomatis mereka telah menunaikan
hak Yang dipersaksikan, Allah. Oleh
karenanya semua manusia tanpa terkecuali wajib mengakui Allah Ta’ala. Itulah puncak kebahagiaan mereka di dunia dan
Akhirat.
Inilah
karunia besar yang bobot nilainya tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh
Allah.
2. TIDAKLAH SAMA ANTARA KEBODOHAN DENGAN ILMU
Allah
Subhanahu
wa Ta’ala menolak mensejajarkan orang-orang berilmu dengan
orang-orang yang tidak berilmu, sebagaimana Dia menolak mensejajarkan penghuni Surga dengan penghuni Neraka. (QS. Az-Zumar;
9), (QS. Al-Hasyr; 20 ).
3. ORANG
BODOH ITU SEPERTI ORANG BUTA
Allah Subhanahu
wa Ta’ala menyamakan orang bodoh dengan orang buta yang tidak bisa
melihat, (QS. Ar-Ra’du; 19).
Jadi, manusia itu hanya ada dua tipe; orang berilmu dan orang buta.
Allah
Subhanahu
wa Ta’ala menjelaskan bahwa pada hakikatnya orang-orang bodoh
adalah orang-orang yang tuli, bisu, dan buta.
4. TERLIHATNYA
KEBENARAN OLEH ORANG-ORANG BERILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang
orang-orang berilmu, bahwa mereka melihat apa yang diturunkan Allah kepadanya
sebagai sebuah kebenaran. Ini sekaligus
sanjungan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mereka, (QS. Saba; 6).
5. AHLU ADZ-DZIKRI ADALAH ORANG-ORANG BERILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan manusia
bertanya kepada orang-orang berilmu, merujuk kepada ucapan-ucapan mereka dan
menjadikan hal tersebut sebagai kesaksian dari mereka. (QS. An-Nahl; 43).
Jadi ahlu adz-dzikri
adalah orang-orang yang mengetahui apa yang diturunkan Allah kepada para
Nabi.
6. KESAKSIAN
ALLAH DENGAN ORANG-ORANG BERILMU DAN HUJJAH-NYA DENGAN MEREKA
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersaksi dengan orang-orang
berilmu dan berhujjah dengan mereka, tentang kebenaran yang diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya. (QS. Al-An’am; 114).
7. KEIMANAN
ORANG BERILMU
ALLAH Subhanahu wa Ta’ala menghibur Nabi-Nya agar
tidak sedih disebabkan banyaknya orang-orang yang tidak beriman kepada Beliau,
sebab orang berilmu akan senantiasa beriman kepadanya. Allah juga memerintahkan Beliau tidak
terpengaruh dengan reaksi orang-orang bodoh terhadap Beliau. (QS. Al-Isra’;
106-108).
8. ALKITAB
ADALAH AYAT-AYAT YANG MENERANGKAN DI DADA ORANG-ORANG BERILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang berilmu,
menyanjung mereka, dan memuliakan mereka dengan menjadikan kitab-Nya sebagai
ayat-ayat yang menerangkan di dalam dada mereka. Keistimewaan ini khusus diperuntukkan bagi mereka, dan tidak diberikan kepada orang-orang selain mereka. (QS. Al-Ankabut;
47-48).
9. MEMINTA
TAMBAHAN ILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya
meminta tambahan ilmu kepada-Nya.
Cukuplah kemuliaan ilmu bahwa Allah memerintahkan Nabi-Nya meminta
tambahan ilmu kepada-Nya. (QS. Thaha; 114).
10. KETINGGIAN
DERAJAT ORANG-ORANG BERILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang
ketinggian derajat orang-orang berilmu dan beriman secara khusus.
(Al-Mujadillah; 11), (Al-Anfal; 2-3), (Thoha; 75), (An-Nisa; 95-96). Keempat ayat diatas, tiga ayat diantaranya
menjelaskan tentang ketinggian derajat orang-orang beriman. Iman adalah ilmu yang bermanfaat dan amal
shalih. Ayat keempat menjelaskan tentang
ketinggian derajat para pejuang di jalan Allah.
Jadi ketinggian derajat itu disebabkan karena ilmu dan jihad dan
keduanya (ilmu dan jihad) adalah pilar agama Islam.
11. BERHUJJAH
DENGAN UCAPAN ORANG-ORANG BERILMU PADA HARI KIAMAT
Pada hari kiamat, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berhujjah dengan ucapan-ucapan orang-orang berilmu dan beriman dalam membongkar
ketidak-benaran pendapat orang-orang kafir. (QS. Thoha; 55-56).
12. ORANG-ORANG
BERILMU ADALAH ORANG-ORANG YANG TAKUT KEPADA ALLAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa
orang-orang berilmu adalah orang-orang yang takut kepada-Nya, bahkan Allah
mengkhususkan sifat takut kepada-Nya ini hanya bagi mereka saja. (QS. Fathir; 28),
(QS. Al-Bayyinah; 8).
13. ORANG-ORANG
BERILMU ITU BISA MENGAMBIL MANFAAT DARI PERUMPAMAAN- PERUMPAMAAN YANG DIBUAT
ALLAH
Hanya orang-orang berilmu yang mampu memahami perumpamaan-perumpamaan
yang dibuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. (QS. Al-Ankabut; 43)
Di dalam Al-quran terdapat empat puluhan lebih perumpamaan.
Salah seorang dari generasi Salaf jika membaca perumpamaan
yang tidak bisa dipahaminya, ia menangis dan berkata, “Aku bukan termasuk
orang-orang berilmu”.
14. KETINGGIAN
DERAJAT ITU DENGAN ILMU HUJJAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan keistimewaan
dan ketinggian derajat Nabi Ibrahim dengan ilmu hujjah-hujjah. (QS. Al-An’am; 83).
15. ILMU
(PENGETAHUAN) MANUSIA TENTANG TUHANNYA
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhluk, dan
meletakkan rumah-Nya yang suci, bulan suci, hewan sembelihan, dan anting-anting
agar hamba-hamba-Nya mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui terhadap segala
sesuatu dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(QS. Ath-Thalaq; 8).
Ini menunjukkan bahwa pengetahuan manusia tentang Tuhan
mereka, Sifat-sifat-Nya, dan beribadah kepada-Nya adalah tujuan riil dari
penciptaan dan perintah.
16. KEBAHAGIAAN
ORANG-ORANG BERILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada
orang-orang yang berilmu agar mereka berbahagia dengan karunia dan rahmat
Allah. (QS. Yunus; 58).
Ada yang menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan Karunia
adalah Iman, dan Rahmat-Nya adalah Al-quran.
Keduanya (ilmu yang bermanfaat dan amal shalih) merupakan ilmu yang
paling baik dan amal yang paling baik (bermanfaat).
17. HIKMAH
ADALAH ILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersaksi terhadap orang
yang diberi-Nya ilmu, bahwa Dia telah memberikan kebaikan yang sangat
banyak. (QS. Al-Baqarah; 269).
Ibnu Qutaibah dan jumhur ulama berkata, “Hikmah adalah mendapatkan
kebenaran dan mengamalkannya.” Dengan
kata lain hikmah adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.
18. ILMU
ADALAH NIKMAT ALLAH YANG PALING MULIA
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkalkulasikan
nikmat-nikmat-Nya dan karunianya kepada Rasul-Nya, dan menjelaskan bahwa sesuatu yang
paling mulia yang Dia berikan kepadanya adalah Al-Quran, Hikmah, dan
mengajarinya apa yang belum diketahuinya.
(QS. An-Nisa; 113).
19. NIKMAT
ITU HARUS DISYUKURI
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan
hamba-hamba-Nya yang beriman akan nikmat-nikmat-Nya, memerintahkan mereka
mensyukurinya, dan ingat kepada-Nya yang telah berbuat baik kepada mereka. (QS. Albaqarah; 151).
20. ILMU
ADALAH KARUNIA ALLAH
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan
Adam, dan mengajarkan nama-nama segala sesuatu kepada Adam, Allah memerintahkan
para Malaikat bersujud kepada Adam.
Iblis menolak sujud kepadanya, oleh karena itu ia dikutuk dan diusir
dari langit.
Ini menunjukkan bahwa ilmu adalah sesuatu yang amat mulia pada
diri manusia, dan bahwa keutamaan dan kemuliaan dirinya ialah dengan ilmu. Juga menunjukkan , bahwa tampilan ilmu pada
anak keturunan Adam itu lebih menawan, dan lebih indah daripada tampilan fisik,
kendati tampilan fisik itu paling indah sedunia, (QS. Al-Baqarah; 30-33).
21. ALLAH
MENCELA ORANG BODOH
Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang bodoh dalam
banyak ayat di dalam kitab-Nya. (Al-An’am; 37), (Al-An’am; 111), (Al-Furqan;
44), (Al-Anfal; 22), (Al-An’am; 35), (Al-Baqarah; 67), (Huud ; 46), (Al-Isra;
45-46), (Al;-A’raaf; 199), (Al-Qashas; 55), (Al-Furqan; 63).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa orang
bodoh lebih buruk daripada makhluk yang paling buruk disisi-Nya yaitu keledai,
binatang-binatang buas, anjing, belalang dan binatang-binatang yang lain. Tidak ada yang lebih membahayakan dalam Agama
para Rasul selain dari orang-orang bodoh, bahkan mereka adalah musuh-musuh utama Agama para Rasul.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan hukuman-Nya
kepada musuh-musuh-Nya, bahwa dia menghalangi mereka dari mengetahui kitab-Nya,
mengenalinya, dan memahaminya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyanjung hamba-hamba-Nya,
karena mereka pergi dari orang-orang bodoh, dan tidak bergaul dengan mereka.
Semua ayat di atas menunjukkan sisi negatip kebodohan,
kebencian Allah kepada kebodohan dan orang-orang bodoh. Selain itu, kebodohan juga dibenci manusia,
buktinya semua orang berlepas tangan dari kebodohan, dan orang-orang bodoh.
22. ILMU
ADALAH KEHIDUPAN DAN CAHAYA
Sesungguhnya ilmu adalah kehidupan dan cahaya, sedang
kebodohan adalah kematian dan kegelapan.
Semua kejahatan dan keburukan penyebabnya ialah tidak adanya kehidupan
dan cahaya, dan semua kebaikan penyebabnya adalah cahaya dan kehidupan.
Cahaya itu membongkar hakikat segala sesuatu, dan menjelaskan
peringkat-peringkatnya. Sedang kehidupan, ia adalah pembimbing kepada sifat-sifat kesempurnaan, dan mengharuskan
terbentuknya perkataan dan tindakan yang tepat.
Jadi, apa saja yang didasari oleh kehidupan, maka semuanya baik. Misalnya
rasa malu, penyebabnya adalah kesempurnaan kehidupan hati, dan pengetahuannya
terhadap hakikat keburukan. Kebalikan
dari malu yaitu seronok yang penyebabnya ialah kematian hati, dan tidak adanya
kebencian terhadap keburukan. Sifat malu
adalah ibarat hujan yang dengannya segala sesuatu menjadi hidup, (QS. Al-An’am;
122)
Tadinya hatinya mati dengan kebodohan, kemudian Allah Ta’ala menghidupkannya
dengan ilmu dan menjadikan keimanannya sebagai cahaya yang ia berjalan
di tengah-tengah manusia.
Ilmu adalah ruh yang dengannya terwujud kehidupan dan cahaya, yang
dengannya pencahayaan terjadi. Jadi
Allah Ta’ala
menyatukan dua hal yang sangat prinsipil, yaitu kehidupan dan
cahaya, (Al-Hadid; 28-29), (Al-Baqarah; 257), (Asy-Syura; 52).
Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat
perumpamaan tentang cahaya-Nya yang Dia masukkan kedalam hati orang beriman,
(Al-Maidah; 15-16), (At-Taghabun; 8), (An-Nisa; 174), (At-Thalaq; 10-11),
(An-Nur; 35). Seperti dikatakan Ubay bin
Ka’ab Radhiyallahu ‘Anhu, “Perumpamaan cahaya Allah dalam hati hamba-Nya
yang beriman adalah seperti cahaya Al-Quran, dan iman yang diberikan Allah kepadanya. “Sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala pada ayat diatas, “Cahaya di atas cahaya”
Artinya cahaya iman di atas cahaya Al-Quran, seperti dikatakan sebagian orang Salaf, “Nyaris orang mukmin itu mengatakan hikmah kendati ia tidak mendengar
atsar (hadits) di dalamnya. Jika ia mendengar
ada atsar didalamnya, itulah cahaya di atas cahaya”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan secara
bersamaan kedua cahaya diatas ; Al-Kitab (Al-Quran) dan Iman dalam banyak ayat
seperti (Asy-Syura;52) atau (Yunus; 58).
Karunia Allah adalah iman dan rahmat-Nya adalah Al-Quran.
Atau seperti fiman Allah Ta’ala
dalam surat Al-An’am; 122.
Allah Ta’ala berfirman di surat
An-Nuur, “Cahaya di atas cahaya”, yaitu cahaya Al-Quran diatas cahaya iman.
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa ssallam
bercerita kepada kami, bahwa amanah itu turun kedalam kalbu manusia, kemudian
turunlah Al-Quran. Merekapun mengetahui
banyak hal dari iman kemudian mengetahui banyak hal dari Al-Quran (HR. Al-Bukhari-Muslim).
Al-Quran dan iman adalah cahaya yang dimasukkan Allah Ta’ala kedalam
hati siapa pun yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, bahwa keduanya
merupakan akar semua kebaikan di dunia dan Akhirat, dan bahwa pengetahuan
tentang keduanya merupakan pengetahuan yang paling Agung, bahkan pada dasarnya
tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya kecuali ilmu tentang Al-Quran
dan Iman, (QS. Al-Baqarah; 213).
23. ANJING
TERLATIH LEBIH BAIK DARIPADA ANJING BODOH
Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengkategorikan hasil buruan anjing bodoh sebagai
bangkai yang haram dimakan dan membolehkan memakan hasil buruan anjing
terlatih. Ini menunjukkan kemuliaan dan
keagungan ilmu, (QS. Al-Maidah; 4).
Jika
tidak ada kemulian dan keistimewaan ilmu, maka antara anjing terlatih dan
anjing yang bodoh tidak ada perbedaan sama sekali.
24. PERJALANAN SEORANG NABI DALAM RANGKA MENCARI ILMU
Allah
Subhanahu
wa Ta’ala menjelaskan tentang manusia pilihan-Nya yang Dia beri
kitab Taurat yang Dia tulis dengan Tangan-Nya, dan pernah berdialog dengan-Nya,
bahwa ia pergi kepada orang berilmu guna menimba ilmu padanya dan menambah
ilmunya, (QS. Al-Kahfi; 60).
Cukuplah
hal ini sebagai bukti keutamaan dan kemuliaan ilmu, karena Nabi Allah Musa ‘alaihissalam
berjalan hingga kelelahan guna mengetahui tiga permasalahan dari orang berilmu
tersebut.
Pada
kisah Nabi Musa dan Khidhir di atas terdapat banyak ibrah, ayat-ayat, dan
hikmah-hikmah yang tidak bisa dijelaskan dengan panjang lebar dalam pembahasan
ini.
25. KEUTAMAAN MENDALAMI ILMU
Pada
surat At-Taubah; 122, Allah memerintahkan orang-orang beriman agar mendalami Agamanya dengan mempelajarinya, dan memperingatkan kaumnya jika mereka telah
kembali pada mereka dengan mengajarkan ilmunya kepada mereka.
26. KEBAIKAN DUA KEKUATAN; ILMU DAN PENGAMALAN
Allah
Ta’ala
berfirman dalam surat Al-'Ashr; 1-3 yang dijelaskan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i, “Jika
seluruh manusia memikirkan surat Al-'Ashr ini, maka surat tersebut sudah cukup
untuk mereka.”
Penjelasan
surat di atas, bahwa sifat mulia itu ada empat, dan dengan memiliki keempat
sifat tersebut seseorang mendapatkan puncak kesempurnaan. Keempat sifat mulia tersebut adalah;
Pertama,
mengetahui kebenaran.
Kedua,
mengamalkannya.
Ketiga,
mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya.
Keempat,
bersabar pada saat mempelajarinya, mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang
lain.
Inilah
puncak kesempurnaan. Sesungguhnya
kesempurnaan itu hendaklah seseorang mampu mencapai kesempurnaan untuk dirinya
dan mampu menyempurnakan orang lain.
Kesempurnaan dirinya ialah dengan memperbaiki kedua kekuatannya;
kekuatan ilmu dan kekuatan pengamalan.
Kekuatan ilmu adalah dengan beriman dan kekuatan pengamalan dengan
mengerjakan amal shalih, menyempurnakan orang lain, mengajarkannya kepadanya,
bersabar terhadapnya, dan menasihatinya agar bersabar terhadap ilmu dan
pengamalannya.
27. ILMU SETELAH KEBODOHAN ADALAH
NIKMAT
Allah
Subhanahu
wa Ta’ala membeberkan karunia-Nya kepada Nabi-Nabi-Nya,
Rasul-Rasul-Nya, wali-wali-Nya, dan hamba-hamba-Nya berupa ilmu yang Dia
berikan kepada mereka, (An-Nisa; 113), (yusuf; 22), (Al-Qashas; 14), (Al-Maidah;
110), (Ali Imran; 48), (Shad; 20), (Al-Kahfi; 65), (Al-Ambiya; 78-79),
(Al-An’am; 91), (Ali Imran; 164), (Al-Jumu’ah; 2-4).
Pada
ayat-ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan, bahwa Dia memberi nikmat
kepada manusia dengan mengajari mereka setelah mereka sebelumnya bodoh, dan
memberi mereka petunjuk setelah sebelumnya mereka berada dalam kesesatan. Duhai, nikmat yang mengungguli semua nikmat
yang ada! Betapa tingginya nilai nikmat (Ilmu) tersebut hingga tidak bisa dihargai dengan uang oleh manusia.
28. SURAT
AL-QURAN YANG PERTAMA KALI TURUN MENUNJUKKAN TENTANG KEUTAMAAN ILMU
Surat
yang pertama kali diturunkan Allah Ta’ala di dalam
Al-Quran ialah surat Al-Qalam. Di dalamnya
Allah Ta’ala
menyebutkan apa saja yang telah Dia anugerahkan kepada manusia seperti nikmat
pengajaran apa yang tidak mereka ketahui.
Allah Ta’ala menyebutkan di dalamnya karunia-Nya yaitu
pengajaran-Nya, dan mengutamakan manusia dengan pengajaran yang Dia berikan
kepada mereka. Ini menjadi bukti
kemuliaan ilmu dan pengajaran, (QS. Al-‘Alaq; 1-5).
29. KEKUASAAN ILMU
Sesungguhnya
Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjadikan hujjah ilmiah sebagai kekuasaan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘Anhu
berkata, “Semua kekuasaan di dalam Al-Quran adalah hujjah”, (Yunus; 68),
(An-Najm; 23), (Ash-Shaffat; 156), (Al-Haqqah; 28-29).
Maksud
dari ini semua ialah menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
menamakan ilmu hujjah sebagai kekuasaan, karena hujjah menuntut dominasi pemiliknya
dan kemampuannya. Dengan hujjah tersebut
, ia mempunyai kekuasaan terhadap orang-orang bodoh. Bahkan sesungguhnya kekuasan ilmu itu lebih
kuat daripada kekuasaan tangan. Oleh
karena itu manusia bisa ditaklukkan dengan hujjah dan tidak dengan tangan,
karena hati tunduk kepada hujjah, sedang tangan menundukkan badan. Hujjah itu mengendalikan, mengemudikan hati dan
mengalahkan semua penentang. Jika muncul
pembangkangan dan kesombongan, maka hatinya tetap tunduk kepada hujjah dalam
keadaan hina dan kalah dibawah kekuasaan hujjah. Bahkan kekuasaan jabatan, jika tidak didukung
dengan ilmu yang mengendalikannya, maka kekuasaan tersebut tak ubahnya seperti
kekuasaan binatang buas, singa, dan lain sebagainya. Itulah kekuasaan tanpa ilmu dan kasih sayang
di dalamnya. Berbeda dengan kekuasaan
hujjah, ia adalah kekuasaan yang didukung ilmu, kasih sayang dan hikmah. Barang siapa tidak mempunyai kekuasaan dengan
ilmunya, itu dikarenakan lemahnya hujjah dan kekuasaannya atau dominasi tangan
dan pedang atas dirinya. Sesungguhnya
hujjah itu menolong diri pemiliknya dalam mengalahkan kebathilan.
30. KEBODOHAN TERMASUK SIFAT PENGHUNI
NERAKA
Allah
Subhanahu
wa Ta’ala menjelaskan, bahwa di antara sifat penghuni Neraka
adalah bodoh, dan bahwa Dia menutup pintu-pintu ilmu bagi mereka, (Al-Mulk;
10-11)
Mereka
mengakui bahwa ketika mereka di dunia mereka tidak mau mendengar dan tidak
berpikir.
Pendengaran
dan berpikir ialah landasan ilmu dan dengan keduanya ilmu didapatkan,
(Al-A’raaf; 179). Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa
Ta’la menjelaskan bahwa mereka tidak mendapatkan ilmu dari salah
satu tiga sumber ilmu, yaitu akal, pendengaran dan penglihatan, (Al-Baqarah;
18), (Al-Hajj; 46), (Al-Ahqaf; 26).
Pada
ayat diatas Allah Subhanahu wa Ta’ala melukiskan orang-orang yang
celaka itu tidak memiliki ilmu. Selain
itu, Allah Suhanahu wa Ta’ala menyerupakan mereka terkadang dengan
binatang ternak, terkadang dengan keledai yang mengangkut muatan, terkadang
menjadikan mereka lebih sesat daripada binatang ternak, terkadang menjadikan
mereka sebagai makhluk yang paling buruk disisi-Nya, terkadang menjadikan
mereka sebagai orang-orang mati yang tidak hidup, terkadang menjelaskan bahwa
mereka berada dalam kegelapan kebodohan dan kesesatan, terkadang menjelaskan
bahwa di hati mereka terdapat penyakit, di telinga mereka terdapat sumbatan / penutup dan
di mata mereka terdapat penghalang.
Ini
menunjukkan keburukan kebodohan, kecaman untuk orang-orang bodoh, dan murka
Allah Subhanahu
wa Ta’ala untuk mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai orang-orang berilmu, memuji
mereka, dan menyanjung mereka seperti telah dijelaskan pada halaman sebelumnya.
Allah-lah
tempat meminta pertolongan.
31. MENGETAHUI AGAMA TERMASUK TANDA-TANDA KEBAIKAN
Disebutkan
dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Muawiyah radhiyallahu
‘anhu yang berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah
membuatnya memahami Agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ini
menunjukkan, bahwa barangsiapa tidak dikondisikan Allah Ta’ala mengerti Agama, berarti Allah tidak menghendaki kebaikan baginya.
32. ILMU ITU SEPERTI HUJAN
Disebutkan
dalam hadits Shahih Al-Bukhari dan Muslim sebuah hadits dari Abu Musa
Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu yang bermakna;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengumpamakan ilmu dan petunjuk yang Beliau bawa
seperti hujan, karena masing-masing dari ketiganya (ilmu, petunjuk dan hujan)
mendatangkan kehidupan, makanan, obat-obatan, dan seluruh kebutuhan manusia
yang lain. Semua itu bisa didapatkan
dengan ilmu dan hujan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengelompokkan manusia kedalam tiga kelompok
sesuai dengan penerimaan mereka, dan kesiapan mereka menghapal ilmu, memahami
makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya dan
manfaat-manfaatnya;
Pertama, orang yang
mampu menghapal ilmu dan memahaminya.
Mereka memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya,
hikmah-hikmahnya, dan manfaat-manfaatnya.
Mereka seperti tanah yang menerima air kemudian menumbuhkan rumput yang
banyak. Pemahamannya terhadap Agama, dan
istimbath ("pengambilan") hukum adalah seperti tumbuhnya rumput dengan air. Kelompok ini
disebut Kelompok Pemenang yang didekatkan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Kedua, orang yang mampu
menghapal ilmu, menjaganya, menyebarkannya, dan mengendalikannya, namun tidak
mampu memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan
manfaat-manfaat dari ilmu tersebut.
Mereka seperti orang yang mampu membaca Al-Quran, menghapalnya,
memperhatikan makharijul huruf (tempat keluarnya huruf), dan harakatnya, namun
tidak dianugerahi pemahaman khusus oleh Allah, seperti dikatakan Ali Radhiyallahu
Anhu, “Kecuali pemahaman yang diberikan Allah kepada hamba-Nya di
dalam kitab-Nya.” Kelompok ini disebut Kelompok Pertengahan, termasuk kelompok
orang-orang yang berbahagia.
Tingkat pemahaman manusia tentang Allah Ta’ala,
dan Rasul-Nya itu tidaklah sama. Terkadang
ada orang cuma mampu memahami satu atau dua hukum dari satu dalil, sedang orang
lain mampu memahami seratus atau duaratus hukum dari dalil yang sama.
Ketiga,
orang-orang yang tidak mendapatkan sedikitpun ilmu, baik hapalan atau
pemahaman, atau periwayatan. Mereka
seperti tanah lembab yang tidak bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan menahan
(menyimpan) air. Mereka adalah kelompok orang-orang celaka. Mereka lebih brengsek daripada binatang
ternak dan mereka itulah bahan bakar Neraka.
Allah Suhanahu wa Ta’ala membuat perumpamaan berupa
air, karena air memberi kehidupan, mendinginkan (menyegarkan), dan mengandung
manfaat-manfaat yang banyak sekali.
Allah Ta’ala juga membuat perumpamaan berupa api, karena api mengandung
cahaya, dan membakar apa saja yang tidak bermanfaat. Jadi ayat-ayat Al-Quran itu menghidupkan hati
sebagaimana tanah dihidupkan dengan air.
Ayat-ayat Al-Quran juga membakar kotoran-kotoran hati, syubhat-syubhatnya (kebatihlan yang berkedok kebenaran),
syahwat-syahwatnya, dan dendam kesumatnya sebagaimana api membakar apa saja
yang dimasukkan ke dalamnya. Selain itu,
ayat-ayat Al-Quran juga membedakan mana yang baik dari yang buruk sebagaimana
api membedakan mana yang buruk dan mana yang baik yang ada pada emas, perak, tembaga, dan lain sebagainya, (Ar-Ra’du; 17).
Inilah sebagian ibrah dan ilmu yang ada dalam perumpamaan
yang agung di atas. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia;
dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al-Ankabut; 43).
33. PETUNJUK ILMU ADALAH PETUNJUK YANG PALING
AGUNG
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits
dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu,
“Jika
Allah memberi petunjuk kepada seseorang karena perantaraanmu, maka itu lebih
baik bagimu daripada unta merah” (HR. Al-Bukhari-Muslim).
Hadits di atas menunjukkan kelebihan ilmu, dan pengajarannya,
dan pelakunya. Artinya, jika seseorang mendapatkan
petunjuk melalui orang berilmu, maka itu lebih baik bagi orang berilmu daripada
unta merah yang amat mahal harganya bagi pemiliknya. Kemudian, apa komentar anda jika pada setiap
hari banyak sekali manusia mendapatkan petunjuk melalui dirinya?
34. DAKWAH KEPADA SUNNAH
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, maka ia mendapat
pahala sebesar pahala orang yang mengikutinya dan itu tidak mengurangi
sedikitpun pahala-pahala mereka. Dan
barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa sebesar dosa
orang yang mengikutinya dan itu tidak mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.”
(HR. Muslim).
Ini adalah prinsip mulia sebagaimana disebutkan di banyak
buku selain buku ini. Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam (An-Nahl; 25) dan (Al-Ankabut; 13) menunjukkan
bahwa, orang yang mengajak ummat kepada selain Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, maka ia musuh bebuyutan Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam, karena ia memotong tibanya pahala orang yang
mendapat petunjuk Sunnahnya kepada Beliau.
Ini jelas permusuhan yang paling besar kepada Beliau. Kita berlindung diri kepada Allah Ta’ala
dari kehinaan seperti ini.
35. IRI KEPADA ILMU
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits
dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya;
“Tidak boleh iri hati kecuali kepada dua orang; orang yang
diberi Allah harta - kemudian ia menggunakannya di jalan kebenaran, dan orang
yang diberi Allah hikmah kemudian ia memutuskan (perkara) dengannya dan
mengajarkannya.” (HR. Muslim).
36. KELEBIHAN ORANG BERILMU ATAS AHLI IBADAH
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
yang artinya;
“Kelebihan orang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti
kelebihanku atas kalian.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda lagi,
“Sesungguhnya Allah, para Malaikat-Nya, penghuni langit, penghuni bumi, hingga semut di liangnya, dan hingga ikan paus di laut pasti mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. At-Tirmidzi).
“Sesungguhnya Allah, para Malaikat-Nya, penghuni langit, penghuni bumi, hingga semut di liangnya, dan hingga ikan paus di laut pasti mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. At-Tirmidzi).
At-Tirmidzi berkata, “Hadits di atas hadits hasan gharib,
Aku mendengar Abu Ammar Al-Husain bin Huraits Al-Khuzai berkata, bahwa aku
mendengar Fudhail bin Iyadh berkata,”Orang berilmu yang mengamalkan ilmunya dan
mengajarkannya dipanggil sebagai Orang Besar di kerajaan langit”.
Pengajaran kebaikan kepada manusia adalah penyebab
keselamatan mereka, kebahagiaan mereka, dan kebersihan jiwa mereka, maka Allah
membalasnya sesuai dengan amal perbuatannya dengan memberikan padanya doa-Nya,
doa para Malaikat, dan doa penghuni bumi yang menjadi penyebab keselamatannya,
kebahagiaannya, dan keberuntungannya.
37. KERIDHAAN PARA MALAIKAT KEPADA PENCARI
ILMU
Abu Daud dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu yang berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Barang siapa melewati salah satu jalan dengan tujuan mencari ilmu, maka Allah membuka dengannya jalan menuju Surga, dan sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena ridha kepada pencari ilmu. Sesungguhnya orang berilmu itu dimintakan ampunan oleh siapa saja yang ada di langit, siapa saja yang ada di bumi, hingga ikan-ikan di laut. Kelebihan orang berilmu atas orang beribadah adalah seperti kelebihan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris Nabi-Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar, dan tidak pula dirham, namun mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa mendapatkannya, sungguh ia mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
“Barang siapa melewati salah satu jalan dengan tujuan mencari ilmu, maka Allah membuka dengannya jalan menuju Surga, dan sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena ridha kepada pencari ilmu. Sesungguhnya orang berilmu itu dimintakan ampunan oleh siapa saja yang ada di langit, siapa saja yang ada di bumi, hingga ikan-ikan di laut. Kelebihan orang berilmu atas orang beribadah adalah seperti kelebihan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris Nabi-Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar, dan tidak pula dirham, namun mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa mendapatkannya, sungguh ia mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya kepada orang berilmu -adalah salah satu bentuk tawadhu, penghormatan,dan penghargaan para Malaikat
kepadanya, karena ia membawa warisan para Nabi dan mencarinya. Ini sekaligus menunjukkan kecintaan dan
penghormatan para Malaikat kepada orang berilmu, dan di antara bentuk kecintaan
dan penghormatan mereka kepada orang berilmu, bahwa mereka meletakkan
sayap-sayapnya kepada orang berilmu, karena ia sedang mencari apa yang di
dalamnya terdapat kehidupan dunia dan keselamatannya.
Jika ada yang berkata, “Kenapa orang berilmu kok diumpamakan
dengan bulan dan bukan dengan matahari, padahal sinar matahari itu lebih besar?”
Jawabannya, ada dua hikmah dalam hal ini;
Pertama, karena cahaya bulan berasal dari
cahaya matahari, maka perumpamaan orang berilmu seperti bulan yang cahayanya
berasal dari "matahari risalah" adalah lebih tepat daripada kalau dia
diumpamakan dengan matahari.
Kedua, sesungguhnya
cahaya matahari itu tidak berubah-ubah.
Sedang cahaya bulan dia bisa banyak dan sedikit, penuh dan
berkurang. Kualitas ilmu antara
orang-orang berilmu itu berbeda-beda.
Diantara mereka ada orang yang tak ubahnya seperti bulan saat purnama,
ada yang seperti bulan pada tanggal tiga
belas atau dua belas, dan lain sebagainya.
Mereka bertingkat-tingkat di sisi Allah.
Adapun perumpamaan orang-orang berilmu seperti bintang,
sesungguhnya bintang-bintang itu bisa dijadikan sebagai penunjuk jalan ditengah
kegelapan daratan dan lautan.
Orang-orang berilmu juga begitu.
Jika bintang-bintang adalah perhiasan langit, maka orang-orang berilmu
adalah perhiasan bumi. Bintang-bintang
adalah panah api untuk Syaithan dan penghalang mereka mencuri wahyu agar tidak
mengotori wahyu yang sampai kepada para Rasul dari Allah melalui para
Malaikat. Orang-orang berilmu juga
begitu, mereka adalah panah api bagi syaithan-syaithan manusia dan jin, yang
membuat kata-kata yang indah untuk menipu.
Tanpa orang-orang berilmu pasti petunjuk-petunjuk agama akan
redup akibat distorsi para penyesat.
Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memposisikan orang-orang
berilmu sebagai pengawal, penjaga agama-Nya, dan panah api bagi musuh-musuh-Nya
dan musuh-musuh Rasul-Nya.
38. KETAKUTAN
SYAITHAN KEPADA ORANG BERILMU
“Satu orang berilmu lebih ditakuti syaithan daripada seribu
ahli ibadah.” (HR. At-Tirmidzi).
At-Tirmidzi berkata, “Hadits di atas adalah hadits
gharib. Kami tidak
mengenalnya kecuali dari jalur ini yaitu Al-Walid bin Muslim.”
Namun maknanya benar, bahwa orang berilmu itu merusak apa
yang diupayakan dan dibangun syaithan (dari kalangan Jin maupun Manusia).
Setiap kali syaithan ingin menghidupkan bid’ah dan mematikan Sunnah, maka
orang berilmu berdiri menghadangnya.
Tidak ada yang paling ditakuti Syaithan selain keberadaan orang berilmu
di tengah-tengah ummat, dan tidak ada yang paling disukainya selain dari tidak
adanya orang berilmu di antara mereka, agar mereka bisa leluasa merusak Agama dan menyesatkan ummat. Adapun ahli ibadah, maka tujuan besarnya
ialah ia bisa menyelamatkan dirinya saja dari Syaithan. Duhai, betapa jauhnya perbedaan orang berilmu
dengan ahli ibadah!
39. PEMILIK
ILMU DIKECUALIKAN DARI KUTUKAN
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya);
“Dunia itu terkutuk, dan terkutuk apa saja yang ada di
dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan apa saja yang mendukungnya, orang
berilmu, dan orang-orang yang belajar ilmu. ” (HR. Tirmidzi, At-Tirmidzi
berkata, hadits ini hasan).
Karena dunia itu hina disisi Allah, dan tak sebanding dengan
sayap nyamuk disisi-Nya, maka dunia tersebut dan apa saja yang ada di dalamnya
sangat jauh dari-Nya. Inilah esensi
kutukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan
dunia sebagai ladang untuk Akhirat, jembatan kepadanya, dan tempat berbekal
diri hamba-hamba Allah. Allah tidak
mendekatkan kepada-Nya kecuali apa yang mengandung dzikir kepada-Nya, dan
mengantarkan kepada cinta-Nya yaitu Ilmu yang dengannya Allah dikenal,
disembah, diingat, disanjung, dan diagungkan.
Untuk tujuan inilah, Allah menciptakan dunia dan menciptakan
penghuninya, seperti difirmankan Allah Ta’ala (artinya),
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat;
56).
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Allah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula
bumi. Perintah Allah berlaku padanya,
agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq;
12).
Kedua ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah Ta’ala
menciptakan langit, bumi, dan apa saja yang ada di antara keduanya agar Dia
dikenal dengan Nama-nama-Nya, dan Sifat-sifat-Nya, serta Dia disembah.
Inilah dan apa saja yang mengantarkan kepada Allah seperti ilmu
dan pengajarannya, maka ia dikecualikan dari kutukan, dan kutukan terjadi pada
selain ilmu dan pengajarannya sebab selain ini (selain ilmu) jauh dari Allah,
cinta-Nya dan Agama-Nya.
40. MENCARI
ILMU ITU MERUPAKAN JALAN KE SURGA
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
“Barangsiapa melewati jalan dimana di dalamnya ia mencari
ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju Surga.” (HR. Muslim).
Dalil-dalil syar’i dan takdir menegaskan bahwa balasan itu
sesuai dengan amal perbuatan. Maka
sebagaimana ia menempuh jalan yang di dalamnya ia mencari kehidupan hatinya dan
keselamatannya dari kebinasaan, maka Allah membuatnya berjalan di atas jalan
yang mengantarkannya kepada tujuannya.
41. ORANG BERILMU ITU DIDO'AKAN NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
At-Tirmidzi dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Abdullah
bin Mas’ud radhiallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
yang bersabda,
“Allah membuat berseri-seri orang yang mendengar Sabdaku
kemudian memahaminya, menghapalnya, dan menyampaikannya. Bisa jadi pembawa ilmu itu pergi kepada orang yang lebih pandai darinya. Tiga hal yang
tidak membuat dengki hati seorang muslim mengikhlaskan amal perbuatan karena
Allah, menasihati pemimpin-pemimpin kaum muslimin, dan komitmen di dalam jama'ah
mereka. Sesungguhnya do'a mereka meliputi
dari belakang mereka.” (HR. At-Tirmidzi).
Tingkatan-tingkatan ilmu;
Tingkatan pertama dan kedua, tingkatan
pendengaran dan pemahaman. Jika ia
mendengar sabda Rasulullahu shallallahu 'alaihi wa sallam, ia memahaminya dengan
hatinya. Artinya ia memikirkannya dan
berada di dalam hatinya sebagaimana menetapnya sesuatu jika telah ditempatkan
pada tempatnya, dan ia tidak keluar daripadanya.
Begitu pula akalnya, ia adalah seperti tali kekang unta hingga ia tidak
lari tak karuan, tidak liar. Tempat dan akal itu
tidak mempunyai fungsi lain selain untuk mengetahui sesuatu.
Tingkatan ketiga, komitmen untuk menghapal ilmu
agar ilmu tidak hilang.
Tingkatan keempat, menyampaikan ilmu dan
menyebarkannya kepada ummat agar ilmu membuahkan hasilnya, yaitu tersebar luas
di tengah-tengah ummat. Ilmu itu tak ubahnya seperti
harta yang disimpan di dalam perut bumi yang jika tidak dibelanjakan, maka ia
terancam musnah. Ilmu jika ia tidak
diinfakkan dan tidak diajarkan, maka
terancam musnah. Jika ia diinfakkan - ia
berkembang dan tumbuh.
Barang siapa melakukan keempat tingkatan di atas, maka ia
masuk dalam doa Nabi yang mencakup keindahan pisik dan psikis. Sesungguhnya kecerahan adalah hasil pengaruh
iman, kebahagiaan bathin, kegembiraan hati, dan kesenangannya, kemudian hal
tersebut menampakkan kecerahan, kebahagiaan, kegembiraan, dan berseri-seri di
wajah. Oleh karena itu, Allah menggabungkan
kebahagiaan dan kecerahan seperti terlihat dalam firman-Nya (yang artinya),
“Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan
kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (Al-Insan;
11).
Kenikmatan dan kebahagiaan hati membuat wajah mereka cerah dan
berseri-seri
seperti difirmankan Allah Ta’ala,
“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup
mereka yang penuh kenikmatan.” (Al-Mutaffifin; 24)
Jadi kecerahan dan berseri-seri di wajah orang yang
mendengar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
memahaminya, menghapalnya dan menyampaikannya adalah hasil dari kemanisan,
kecerahan, dan kebahagiaan yang ada di dalam hati dan jiwanya.
42. PERINTAH
NABI UNTUK MENYAMPAIKAN ILMU
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan penyampaian ilmu yang berasal dari Beliau. Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim
hadits dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda (yang artinya),
“Sampaikan dariku meski cuma satu ayat. Berceritalah dari Bani Israil karena itu
tidak ada salahnya. Dan barang siapa
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menduduki kursinya di Neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga
bersabda,
“Hendaklah orang yang hadir menyampaikannya kepada orang
yang tidak hadir.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan penyampaian apa saja yang berasal dari Beliau karena dengan
penyampaian tersebut petunjuk didapat, kemudian Beliau mendapatkan pahala orang
yang menyampaikan ilmu dari Beliau, dan pahala orang yang menerima ilmu
tersebut.
Semakin banyak penyampaiaan ilmu akan semakin meningkat pula pahala Beliau. Beliau mendapatkan pahala
sejumlah orang yang menyampaikan ilmu dari Beliau dan sejumlah orang yang
mendapatkan petunjuk dari penyampaian ilmu tersebut (Karena Beliau adalah Da'i
yang pertama) selain amal perbuatan yang Beliau kerjakan sendiri.
Jadi para muballigh dari Beliau adalah orang yang sedang
berusaha mendapatkan cinta Beliau, manusia yang paling dekat dengan Beliau,
manusia yang paling Beliau cintai, duta Beliau, dan wakil Beliau di ummat Beliau. Cukuplah hal ini sebagai bukti
kemuliaan, kelebihan ilmu, dan orang berilmu.
43. MENDAHULUKAN
ILMU SYAR’I
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
menempatkan orang berilmu pada jabatan keagamaan yang paling strategis dan
paling mulia. Beliau mendahulukan
seseorang karena ilmunya atas orang lain.
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits dari Abu Mas’ud
Al Badri dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang
bersabda (yang artinya),
“Yang berhak mengimami kaum (jama’ah) ialah siapa yang
paling qari’
(hapal) Kitabullah. Jika
qira’ah mereka sama, maka siapa diantara mereka yang paling memahami Sunnah. Jika pemahaman mereka terhadap Sunnah sama,
maka siapa diantara mereka yang paling dulu masuk islam, atau paling tua
umurnya.” (HR. Muslim).
Pada hadits di atas, untuk jabatan imam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan aspek ilmu daripada senioritas masuk
Islam dan hijrah. Karena pengetahuan
tentang Alquran lebih mulia daripada pengetahuan tentang sunnah, maka pengetahuan
tentang Al-Quran lebih didahulukan.
Kemudian pengetahuan terhadap sunnah lebih didahulukan atas hijrah. Ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan ilmu,
dan bahwa orang berilmu paling berhak menduduki jabatan-jabatan keagamaan yang
tinggi.
44. MEMPELAJARI
AL-QURAN DAN MENGAJARKANNYA
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari hadits dari Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
yang bersabda (artinya),
“Orang yang terbaik diantara kalian ialah orang yang
mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari).
Sesungguhnya makna-makna (pemahaman dan pengamalan) Al-Quran adalah tujuan, dan lafalnya (benarnya bacaan / tajwij, dan keindahan bacaan) adalah sarana. Jadi mempelajari arti dan
mengajarkannya adalah mempelajari tujuan dan mengajarkannya, sedang mempelajari
lafal dan mengajarkannya adalah mempelajari sarana dan mengajarkannya. Di antara keduanya terdapat perbedaan
sebagaimana perbedaan antara tujuan dengan sarana.
45. MENCARI
ILMU HINGGA AJAL TIBA
Al-Hakim meriwayatkan dalam "Al-Mustadrak" hadits sesuai
dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
yang bersabda (artinya),
“Dua orang rakus yang tidak pernah kenyang; orang yang rakus
terhadap ilmu dan tidak pernah kenyang dengan ilmu, dan orang yang rakus
terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengan dunia.” (HR. Al-Hakim).
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjadikan
rakus terhadap ilmu dan tidak penah kenyang dengannya sebagai tuntutan iman, dan salah
satu karakter orang-orang beriman.
Inilah kebiasaan orang beriman hingga ia masuk Surga. Oleh karena itu, para Imam Islam jika
dikatakan kepada salah seorang dari mereka, “Sampai kapan engkau mencari ilmu?” Ia menjawab, “Sampai ajal tiba.”
Al-Hasan ditanya tentang orang yang telah berusia delapan
puluh tahun -apakah ia masih layak bila mencari ilmu, jawab Al-Hasan, “Jika ia
masih layak untuk hidup, maka kenapa tidak?”
46. HIKMAH ADALAH ILMU
Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dari Abu Burdah yang berkata,
bahwa dikatakan, “Hikmah adalah barang yang hilang dari orang beriman. Ia berhak mengambilnya ketika menemukannya.”
Hikmah adalah ilmu.
Jika ilmu hilang dari orang beriman, ia seperti orang yang kehilangan
salah satu kekayaannya yang sangat berharga.
Jika ia menemukannya, hatinya bahagia, dan jiwanya senang. Begitu juga orang beriman, jika ia menemukan kembali
kekayaan hatinya dan jiwanya yang selalu ia cari dan idam-idamkan.
47. ILMU TERMASUK TANDA-TANDA IMAN
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Dua sifat yang tidak bertemu pada diri orang munafik; diam
dengan baik dan memahami Agama (dengan benar).” (HR. At-Tirmidzi).
Ini sekaligus pengakuan, bahwa orang yang terkumpul padanya
dua sifat diatas; diam dengan baik, dan memahami Agama adalah orang beriman.
Sungguh pantas hadits di atas dikatagorikan sebagai sebuah
kebenaran, karena diam dengan baik dan memahami agama termasuk tanda-tanda iman
yang paling spesifik dan keduanya tidak disatukan Allah ke dalam hati orang
munafik, karena sifat kemunafikan bertentangan dengan keduanya.
48. WASIAT UNTUK PARA PENCARI ILMU
Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
memberi wasiat yang baik kepada pencari ilmu, karena kemuliaan apa yang mereka
cari.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya orang-orang akan mengikuti kalian, dan bahwa
akan datang orang-orang dari seluruh belahan bumi dengan tujuan mempelajari
Agama. Jika mereka telah datang kepada kalian, berilah wasiat yang baik kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi).
Dan juga Sabda Beliau,
“Akan datang kepada kalian orang-orang dari arah timur
dengan tujuan belajar. Jika mereka telah
datang kepada kalian, berwasiatlah yang baik kepada mereka.” (HR.
At-Tirmidzi).
Jika Abu Sai’d melihat kami, ia berkata, “Selamat datang
kepada wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.”
49. MENCARI ILMU TERMASUK KEBAIKAN YANG PALING
UTAMA
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang
berkata, “Jika seseorang keluar dari rumahnya dengan menanggung dosa sebesar
gunung Tihamah. Jika ia mendengar ilmu,
takut, dan bertaubat, maka ia pulang ke rumahnya dalam keadaan tidak mempunyai
dosa. Oleh karena itu jangan tinggalkan
majelis para 'ulama.”
50. KEGEMBIRAAN PARA MALAIKAT DENGAN PARA
PENCARI ILMU
Allah Suhanahu wa Ta’ala berbangga Diri di hadapan
para Malaikat dengan orang-orang yang membicarakan ilmu, dzikir kepada Allah,
dan memuji-Nya atas nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.
At-Tirmidzi berkata, bahwa berkata kepada kami Muhammad bin
Basyar yang berkata, bahwa berkata kepada kami Marhum bin Abdul Aziz Al-Aththar
yang berkata, bahwa berkata kepada kami Abu Nu’amah dari Abu Utsman dari Abu
Sa’id yang berkata,
“Muawiyah keluar menuju masjid kemudian berkata, “Kenapa
kalian duduk di sini?” Orang-orang menjawab, “Kita sedang duduk dzikir kepada
Allah 'Azza
wa Jalla.” Muawiyah
berkata, “Demi Allah, apakah kalian tidak duduk karena hal yang lain?” Mereka menjawab, “Demi Allah, kami tidak
duduk karena sesuatu hal yang lain.”
Muawiyah berkata, “sesungguhnya aku meminta kalian bersumpah bukan
karena tidak percaya kepada kalian.
Tidak ada orang yang kedudukannya seperti diriku di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku
orang yang paling minim hadits dari Beliau.
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
keluar menemui salah satu halaqah sahabatnya.
Beliau bertanya, “Kenapa kalian duduk di sini?” Mereka menjawab, “Kami duduk dzikir kepada
Allah, dan memuji-Nya karena Allah telah memberi petunjuk kami kepada islam dan
memberi anugerah dengan-Mu.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, apakah tidak karena yang
lain?” Mereka menjawab, “Demi Allah,
kami duduk tidak karena sebab yang lain.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya aku meminta kalian bersumpah bukan karena tidak percaya kepada kalian. Sesungguhnya belum lama Jibril datang
kepadaku kemudian menjelaskan kepadaku bahwa Allah Ta’ala berbangga Diri
dengan kalian di hadapan para Malaikat.”
(Diriwayatkan At-Tirmidzi).
51. BASHIRAH, ILMU, DAN ITTIBA’
Sesungguhnya tingkatan yang paling tinggi di sisi Allah
ialah tingkatan Risalah dan Nubuwwah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih Rasul dari kalangan para
Malaikat dan manusia. Bagaimana tidak
paling mulia disisi Allah makhluk yang dijadikan Allah sebagai mediator (perantara) antara Dia
dengan hamba-hamba-Nya, dan bertugas menyampaikan Risalah-Risalah-Nya,
mengenalkan Nama-Nama-Nya, Perbuatan-Perbuatan-Nya, Sifat-Sifat-Nya,
Hukum-Hukum-Nya, apa saja yang diridhai-Nya, apa saja yang dimurkai-Nya,
pahala-Nya, dan siksa-Nya? Allah
mengkhususkan wahyu-Nya kepada mereka, memberi kemuliaan kepada mereka,
meridhai mereka menyampaikan Risalah-Nya kepada hamba-hamba-Nya, menjadikan
mereka sebagai manusia yang paling bersih jiwanya, paling mulia akhlaknya,
paling sempurna ilmu dan amal perbuatannya, paling bagus perawakannya, paling
agung cintanya, dan paling simpatik di kalangan manusia. Allah membersihkan mereka dari aib dan noda,
serta semua sifat yang tercela.
Allah menjadikan tingkatan manusia yang tertinggi setelah
mereka ialah Khalifah-Khalifah mereka.
Para Khalifah mengikuti manhaj, dan jalan hidup mereka seperti memberi
nasihat kepada umat, memberi petunjuk kepada orang yang tersesat, mengajari
orang yang bodoh, menolong orang yang teraniaya, menindak orang yang Zhalim,
menyuruh orang mengerjakan kebaikan dan melarangnya mengerjakan kemungkaran.
Inilah perilaku pengikut para Rasul dan pewaris para
Nabi. Allah Ta’ala berfirman (artinya);
“Katakanlah, ‘inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci
Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf; 108)
Mereka itulah orang-orang yang jujur, pengikut para Nabi
yang paling baik, pemimpin mereka, dan orang nomer satu mereka ialah Abu Bakar
Ash-shiddiq radhiyallahu 'anhu.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka
itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu Nabi-nabi, dan para shiddiqiin, dan orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa; 69).
Pada ayat di atas, Allah menyebutkan tingkatan-tingkatan
orang-orang yang berbahagia yang terdiri dari empat kelompok. Allah memulai dengan tingkatan tertinggi,
disusul tingkatan sesudahnya dan seterusnya hingga tingkatan terakhir.
52. KEUNGGULAN ITU DENGAN ILMU
Jika manusia tidak mempunyai ilmu, maka yang tersisa padanya
adalah titik persamaan antara dirinya dengan seluruh hewan yang ada, yaitu
sama-sama binatang. Ia tidak lagi
mempunyai kelebihan atas binatang, bahkan bisa jadi ia lebih buruk daripada
binatang. Kelompok manusia seperti itu
disebutkan Allah dalam firman-Nya (yang artinya),
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada
sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli, yang tidak mengerti
apa-apapun.” (Al-Anfal; 22).
Mereka adalah orang-orang bodoh. Allah Ta’ala berfirman,
“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka,
tentu Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (Al-Anfal; 23).
Maksudnya, bahwa mereka tidak mempunyai tempat (hati) untuk
menerima kebaikan. Jika mereka mempunyai
tempat untuk menerima kebaikan, “Tentu Allah menjadikan mereka dapat
mendengar.” Maksudnya, tentu Allah akan
membuat mereka paham. Pendengaran yang
dimaksud di sini adalah mendengar untuk paham, sebab pendengaran mereka
terhadap suara masih berfungsi dan dengannya hujjah ditegakkan pada
mereka. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir
adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain
panggilan dan seruan saja. Mereka tuli,
bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (Al-Baqarah; 171).
Mereka tidak layak menyandang hakikat kemanusiaan yang
dengannya manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya.
“Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar,
niscaya mereka pasti berpaling juga, dan mereka memalingkan diri (dari apa yang
mereka dengar itu).” Karena di dalam hati
mereka terdapat kesombongan, dan sifat anti menerima kebenaran. Ada dua penyakit pada diri mereka. Salah satunya ialah bahwa mereka tidak
memahami kebenaran karena kebodohan mereka.
Kalaupun mereka memahaminya, pasti mereka tetap berpaling juga dari kebenaran
tersebut. Mereka berpaling dari
kebenaran karena kesombongan mereka.
Inilah puncak ketidak sempurnaan, dan puncak 'aib.
53. ILMU ADALAH PENGUASA ATAS SEGALA SESUATU
Ilmu adalah penguasa atas segala sesuatu, dan tidak ada yang
berkuasa atas ilmu.
Jika ilmu telah berkuasa, terputuslah semua perdebatan dan
yang ada adalah tunduk pada keputusan ilmu.
Ilmu adalah penguasa atas kerajaan-kerajaan, politik, kekayaan, dan
tulisan. Kerajaan tanpa dukungan ilmu
tidak akan tegak. Pedang tanpa ilmu
tidak tepat sasaran. Pena tanpa ilmu
adalah gerakan sia-sia. Ilmu adalah
penguasa dan pengendali atas itu semua.
Tidak ada sesuatu apapun yang bisa berkuasa atas ilmu.
Adapun tingkat-tingkatan kesempurnaan ada empat; Kenabian, Kejujuran, Mati syahid, dan Perwalian (Orang-Orang Shalih).
Keempat tingkatan di atas disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam surat An-Nisa’; 69-70.
Tingkatan tertinggi adalah Risalah dan Nubuwwah (kenabian),
disusul tingkatan Kejujuran yaitu para pemimpin pengikut para Rasul. Tingkatan mereka paling tinggi setelah
tingkatan Kenabian.
Kejujuran ialah
kesempurnaan keimanan terhadap apa yang dibawa Rasul; baik dari sisi ilmu, pembenaran, dan pengamalan. Kejujuran
tersebut kembali kepada ilmu. Jadi orang
yang paling mengetahui apa yang dibawa Rasul (dari Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan lebih sempurna pembenarannya terhadap Beliau, maka kejujurannya lebih sempurna.
Jadi kejujuran adalah pohon, akarnya adalah ilmu dan cabang-cabangnya
ialah pembenaran terhadap apa yang dibawa Rasul, dan buahnya adalah amal
perbuatan.
54. IMAN TIDAK AKAN TERWUJUD KECUALI DENGAN ILMU
Nash-nash Nabawiyah secara mutawatir menegaskan bahwa
perbuatan yang paling mulia ialah beriman kepada Allah. Iman kepada Allah adalah landasan segala
sesuatu dan segala amal perbuatan. Iman kepada
Allah itu bertingkat-tingkat.
Iman kepada Allah itu mempunyai dua rukun;
Pertama, mengenal apa yang dibawa Rasul dan
mengetahuinya.
Kedua, membenarkannya dengan hati, ucapan dan
tindakan (amal). Hubungan Ilmu dengan Iman adalah
seperti hubungan Ruh dengan Jasad. Pohon
iman tidak mungkin berdiri tegak kecuali di atas batang Ilmu dan Pengetahuan. Dengan demikian ilmu adalah tujuan
paling utama dan karunia yang paling
agung.
55. SIFAT KESEMPURNAAN ITU KEMBALI KEPADA ILMU
Sesungguhnya semua sifat-sifat kesempurnaan itu kembali
kepada Ilmu, kapabilitas, dan keinginan.
Keinginan ini adalah cabang dari Ilmu.
Keinginan menghendaki seseorang merasakan apa yang diinginkan, dan itu membutuhkan ilmu. Kapabilitas (kemampuan) juga tidak
ada artinya tanpa perantara (bimbingan) Ilmu.
Sedangkan Ilmu, ia tidak membutuhkan sedikitpun kapabilitas dan
keinginan. Adapun kapabilitas dan
keinginan dalam hubungannya dengan apa yang diinginkan membutuhkan Ilmu. Ini semua menunjukkan keutamaan Ilmu dan
kemuliaan derajatnya.
56. ULAMA ADALAH PEMIMPIN
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan,
bahwa Dia menjadikan orang-orang berilmu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk sesuai dengan perintah-Nya dan menjadi panutan bagi orang-orang
sepeninggal mereka. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya),
“Dan Kami jadikan di antara mereka
itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
sabar. Dan adalah mereka meyakini
ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah; 24).
Di ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang berkata, ‘ya
Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa’.” (Al-Furqan; 74).
Maksud ayat diatas, “Jadikan kami sebagai pemimpin-pemimpin
yang ditauladani orang-orang sepeninggal kami.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa dengan
kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam Agama bisa didapatkan dan
kepemimpinan tersebut merupakan tingkatan kejujuran yang paling tinggi.
Keyakinan ialah kesempurnaan ilmu dan tujuannya. Dengan menyempurnakan ilmu, maka kepemimpinan
dalam Agama didapatkan. Kepemimpinan
dalam Agama ialah kekuasaan yang alatnya adalah ilmu. Allah memberikannya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya.
57. KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP ILMU
Sesungguhnya kebutuhan manusia kepada ilmu adalah kebutuhan
primer melebihi kebutuhan badan kepada makanan, karena badan membutuhkan
makanan dalam sehari hanya sekali atau dua kali, sedangkan kebutuhan manusia terhadap Ilmu sangat banyak sebanyak jumlah nafas, karena setiap hembusan nafas
membutuhkan Iman atau Hikmah. Jika nafasnya
nihil dari Iman atau Hikmah, sungguh ia binasa, semakin dekat pada kematiannya, dan
tidak ada jalan untuk membebaskan diri kecuali dengan Ilmu.
Imam Ahmad pernah mengungkapkan hal ini. Katanya, “Manusia amat membutuhkan ilmu
daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman, karena makanan dan
minuman hanya dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari, sedang ilmu
dibutuhkan setiap saat.”
58. ILMU ADALAH AMAL PERBUATAN YANG SEDIKIT,
NAMUN BANYAK PAHALANYA
Sesungguhnya orang berilmu adalah orang yang paling sedikit
keletihannya, dan amal perbuatannya, namun paling banyak pahalanya.
Hal ini pernah diisyaratkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda Beliau,
“Amal perbuatan yang paling utama
ialah Beriman kepada Allah kemudian Jihad.” (HR. Muslim).
Jihad mengorbankan nyawa dan menemui banyak sekali
kesulitan, sedangkan Iman adalah pengetahuan hati, pengamalannya, dan
pembenaran. Iman adalah amal perbuatan
yang paling mulia, padahal jihad jauh lebih berat. Ini karena ilmu memperkenalkan bobot semua amal
perbuatan, tingkatan-tingkatannya, yang mulia dari yang tidak mulia, dan yang
kuat dari yang tidak kuat. Orang berilmu
tidak memilih untuk dirinya kecuali amal perbuatan yang paling mulia, sedang
orang yang beramal tanpa Ilmu beranggapan bahwa keutamaan ialah dengan
banyaknya kesulitan yang ditemuinya. Ia
menanggung berbagai kesulitan, padahal apa yang ia kerjakan itu bukan amal
perbuatan yang mulia.
Abu Bakar bin Ayyasy berkata, “Abu Bakar tidak mengungguli
kalian dengan puasa dan shalat yang banyak, namun ia mengungguli kalian dengan
sesuatu yang menetap di dalam hatinya (Ilmu dan Iman).”
Dikatakan dalam
syair,
Siapa yang mampu menandingi perjalananmu
yang tenang
Engkau berjalan pelan-pelan, namun datang
pertama kali.
59. ILMU ADALAH PEMIMPIN AMAL PERBUATAN
Sesungguhnya Ilmu adalah pemimpin amal perbuatan dan
panglimanya, sedang amal perbuatan adalah pengikutnya dan anak buahnya. Setiap amal perbuatan yang tidak berpedoman
kepada ilmu dan tidak mengikuti bimbingan ilmu, tidak berguna bagi pelakunya, dan justru akan membahayakannya seperti dikatakan salah seorang dari generasi Salaf,
“Barang siapa menyembah Allah tanpa Ilmu, maka apa yang dia rusak itu lebih
banyak daripada apa yang dia perbaiki.”
Diterima tidaknya amal perbuatan itu sangat tergantung kepada
sesuai / tidaknya amal perbuatan itu dengan Ilmu.
Jika amal perbuatan sesuai dengan ilmu, ia diterima, dan jika
bertentangan dengannya, maka ia tertolak.
Jadi Ilmu adalah Barometer dan Standar Utama. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji
kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(Al-Mulk; 2).
Al Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika amal perbuatan itu
ikhlas, namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal perbuatan tersebut benar, namun
tidak ikhlas, ia juga tidak diterima hingga ia ikhlas dan benar. Ikhlas, hendaklah karena Allah, dan benar
hendaklah sesuai dengan Sunnah.”
(Baca artikel, ALLAH TIDAK MENYERAHKAN KEIKHLASAN PADA AKAL-AKAL MANUSIA)
Seseorang tidak mungkin mengerjakan suatu amal perbuatan yang
menghimpun kedua syarat tersebut kecuali dengan Ilmu. Jika ia tidak mengetahui apa yang dibawa
Rasul, tidak mungkin ia bisa berjalan menuju Allah. Jika ia tidak kenal Tuhannya tidak mungkin ia
bisa memaksudkan amal perbuatannya karena Allah semata. Tanpa Ilmu, amal perbuatannya tidak mungkin
diterima Allah. Jadi Ilmu adalah
penunjuk jalan kepada ikhlas, dan penunjuk jalan untuk mengikuti Sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
60. AMAL PERBUATAN TANPA ILMU ADALAH SEPERTI
PERJALANAN TANPA PENUNJUK ARAH
Sesungguhnya orang beramal tanpa Ilmu adalah seperti pengembara
tanpa penunjuk jalan. Sebagaimana
diketahui kecelakaan orang seperti itu lebih dekat daripada
keselamatannya. Kalaupun ia ditakdirkan
selamat, itupun jarang terjadi dan hasilnya tetap tidak baik, bahkan tercela
di mata orang-orang berakal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barang siapa
meninggalkan penunjuk jalan, ia tersesat di jalan, dan tidak ada penunjuk jalan
kecuali apa yang dibawa oleh Rasul.”
61. PETUNJUK IALAH MENGETAHUI KEBENARAN
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail dan
Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui alam ghaib dan alam
nyata, Engkau memutuskan diantara hamba-hamba-Mu terhadap apa-apa yang mereka
perselisihkan. Berilah aku petunjuk
kepada kebenaran di dalam apa yang diperselisihkan. Sesungguhnya engkau memberi petunjuk ke jalan
yang lurus bagi siapa yang Engkau kehendaki.” (HR. Muslim).
Petunjuk ialah mengetahui kebenaran dan mendahulukannya
daripada yang lain. Orang yang mendapat
petunjuk ialah orang yang berbuat dengan benar dan menginginkan kebenaran. Itulah nikmat Allah yang terbesar kepada
seorang hamba. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa
Ta’ala memerintahkan kita meminta kepada-Nya jalan yang lurus
setiap hari di shalat lima waktu kita.
Seorang hamba membutuhkan pengenalan terhadap kebenaran yang membuat Allah
ridha pada setiap gerak-geriknya yang tampak maupun yang tidak tampak (tersembunyi). Jika ia mengenal kebenaran, ia membutuhkan Pihak yang membimbingnya kearah kebenaran tersebut, kemudian menanamkan
keinginan kepada kebenaran ke dalam hatinya dan membuatnya mampu melaksanakan
kebenaran tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa apa yang tidak diketahui seorang
hamba itu lebih banyak dari apa yang diketahuinya, dan bahwa apa yang dia
ketahui sebagai kebenaran itu, maka jiwanya tidak (belum tentu) mendukung untuk
menginginkannya. Jika ia
menginginkannya, maka ia tidak mampu mengerjakan semua kebenaran tersebut. Oleh karena itu, ia setiap saat membutuhkan
petunjuk untuk masa silam, masa kini, dan masa yang akan datang.
62. ILMU ADALAH KEHIDUPAN HATI DAN JIWA
Ilmu adalah sesuatu yang manfaatnya paling universal, paling
banyak manfaatnya dan paling abadi manfaatnya.
Kebutuhan kepadanya jauh lebih besar daripada kebutuhan terhadap
makanan, bahkan jauh lebih besar daripada kebutuhan akan nafas, sebab puncak
kerugian dibalik hilangnya nafas adalah adalah hilangnya kehidupan badan,
sedang tidak adanya Ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan Hati dan Jiwa. Seorang hamba membutuhkan Ilmu pada setiap
kejapan matanya. Oleh karena itu jika
seseorang tidak mempunyai ilmu, ia lebih buruk daripada keledai, bahkan lebih
buruk di sisi Allah daripada semua binatang, dan ketika itu tidak ada sesuatu
yang paling hina selain daripada dirinya.
Adapun tercapainya kelezatan dan kegembiraan dengan ilmu
karena kesempurnaan yang ada pada Ilmu, dan karena harmonisasi antara Ilmu
dengan Jiwanya. Sesungguhnya kebodohan
adalah penyakit, ketidak sempurnaan, dan sangat menyakitkan jiwa. Maka barang siapa tidak bisa merasakan hal tersebut,
itu karena perasaannya yang telah hilang dan hatinya telah mati.
63. KEMULIAAN ITU KARENA KEMULIAAN SESUATU
YANG TELAH PASTI
Tidak diragukan lagi , bahwa sesuatu yang telah pasti yang paling Mulia dan paling Agung adalah Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah
melainkan Tuhan semesta alam, Pemelihara semua langit dan bumi, Raja diraja
yang Maha Benar dan Maha Menjelaskan, Yang bersifatkan semua kesempurnaan, Yang
bersih dari segala aib, kekurangan, segala bentuk perumpamaan dan penyerupaan
dalam kesempurnaan-Nya.
Tidak disangsikan lagi, bahwa pengetahuan (ilmu) tentang
Allah, Nama-nama-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan Perbuatan-perbuatan-Nya merupakan
ilmu yang paling mulia dan paling agung.
Perbandingan antara Pengetahuan (Ilmu) tentang Allah dibandingkan pengetahuan
(Ilmu) tentang masalah-masalah yang lain adalah seperti perbandingan antara
Allah dengan hal-hal lain selain Allah.
Di samping Pengetahuan (Ilmu) tentang Allah adalah Pengetahuan (Ilmu)
yang paling Mulia dan paling Agung, pengetahuan (Ilmu) tentang Allah juga
merupakan akar semua Ilmu.
Pengetahuan (Ilmu) tentang Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Sifat-sifat-Nya, dan Perbuatan-Perbuatan-Nya menghendaki seseorang mengetahui (hakikat) apa saja
selain Allah.
Barangsiapa mengetahui Allah, maka ia mengetahui selain
Allah, dan barang siapa yang tidak mengetahui Allah maka terhadap selain Allah
ia lebih tidak mengetahui (Hakikatnya).
Barangsiapa lupa kepada Tuhan-nya, maka Allah membuatnya
lupa kepada dirinya dan kepribadiannya, hingga akhirnya ia tidak mengetahui
hakikat dirinya, dan kemaslahatannya.
Bahkan , ia lupa pada kebahagiaan dan keberuntungan dirinya di dunia dan
Akhirat, kemudian ia menjadi orang yang tidak berguna seperti binatang. Bahkan boleh jadi binatang lebih mengetahui
kemaslahatannya daripada dia, karena binatang tetap berada pada petunjuk (hidayah umum) yang
diberikan Allah padanya. Sedangkan orang
tersebut, ia keluar (terlepas) dari fitrahnya, (Al-Hasyr; 19).
Jadi, Pengetahuan (Ilmu) tentang Allah adalah kebahagiaan
seorang hamba, dan tidak mengetahui-Nya adalah akar semua kecelakaan dan kesengsaraan dirinya.
64. ILMU DAN TAUHID
Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang paling menyenangkan
seorang hamba, paling lezat, paling membahagiakan, dan tidak ada yang paling
menghibur hati dalam kehidupannya selain cinta kepada Penciptanya, Pemeliharanya, selalu dzikir kepada-Nya, dan berusaha mendapatkan
keridhaan-Nya.
Inilah kesempurnaan dan tidak ada kesempurnaan bagi seorang
hamba selain dengannya. Untuknya makhluk
diciptakan, karenanya wahyu diturunkan, untuknya para Rasul diutus, untuknya
langit dan bumi ditegakkan, untuknya Surga dan Neraka diciptakan, untuknya Syariat dikeluarkan, untuknya Baitullah dibangun, haji diwajibkan dalam rangka
mengabadikan dzikir kepada-Nya yang merupakan ekses dari cinta-Nya dan
keridhaan-Nya, untuknya Jihad diwajibkan, dipenggal kepala orang yang menolak
kesempurnaan di atas dan memilih selain kesempurnaan tersebut, dan dibuatkan
untuknya negeri kehinaan yang abadi (Neraka).
Berdasarkan pengaruh besar inilah, agama dibangun, kiblat
yang merupakan kutub penciptaan dan perintah dipasang, dan tidak ada jalan
masuk kepadanya kecuali dari pintu Ilmu.
Sesungguhnya cinta kepada sesuatu adalah ungkapan dari perasaan hati
terhadapnya. Manusia yang paling mengetahui Allah adalah orang yang paling
cinta pada-Nya, karena barang siapa mengetahui Allah, pasti ia mencintai-Nya, dan barang siapa mengetahui dunia , maka ia pasti akan bersikap zuhud terhadapnya.
65. ILMU
ADALAH JALAN YANG PALING DEKAT KEPADA DZAT TERBESAR
Sesungguhnya kenikmatan bersama kekasih itu menguat dan
melemah sesuai dengan kuat-tidaknya cinta.
Jika cinta semakin menguat, kelezatanpun semakin membesar. Oleh karena itu, besarnya kelezatan orang
yang kehausan dengan meminum air segar sangat ditentukan oleh besar tidaknya
kebutuhannya kepada air.
Kelezatan melihat Allah pada hari pertemuan dengan-Nya juga
ditentukan oleh kuat tidaknya cinta pada-Nya dan keinginan terhadap-Nya. Dan itu semua tergantung kepada pengetahuan
terhadap-Nya, dan Sifat-sifat kesempurnaan-Nya.
Jadi, ilmu adalah jalan yang paling dekat kepada Dzat yang paling Agung.
66. KEBUTUHAN
MAKHLUK KEPADA ILMU
Wujud itu ada dua; Wujud Penciptaan dan Wujud Perintah. Penciptaan dan perintah sumbernya adalah Ilmu
Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Hikmah-Nya.
Langit, bumi dan apa saja yang ada diantara keduanya tidak
tegak kecuali dengan Ilmu. Para Rasul
tidak diutus dan Kitab-Kitab tidak diturunkan kecuali dengan Ilmu. Allah tidak disembah, dipuji, disanjung, dan
diagungkan kecuali dengan Ilmu. Yang halal dan yang haram tidak dapat diketahui (dibedakan) kecuali dengan Ilmu. Kelebihan Islam
atas selain Islam juga tidak akan dapat diketahui kecuali dengan Ilmu.
67. ILMU, KEUTAMAANNYA DAN PENJELASAN RUANG
LINGKUPNYA
Sesungguhnya kelebihan sesuatu itu dapat diketahui dari lawannya.
Tidak disangsikan lagi, bahwa kebodohan adalah akar semua
kerusakan. Semua bentuk kerugian yang
menimpa seorang hamba di dunia dan Akhiratnya adalah hasil dari kebodohan.
68. PERBEDAAN
TINGKATAN DALAM ILMU
Allah Suhanahu wa Ta’ala menciptakan Malaikat dalam
bentuk akal tanpa syahwat, menciptakan hewan mempunyai syahwat tanpa akal, dan
menciptakan manusia terdiri dari akal dan syahwat. Maka barangsiapa akalnya mengalahkan
syahwatnya maka ia menjadi orang yang lebih baik daripada Malaikat, dan barang
siapa syahwatnya mengalahkan akalnya maka ia lebih buruk daripada binatang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyamakan manusia
dalam Kualitas Ilmu. Allah menjadikan orang
berilmu di antara mereka sebagai pengajar Malaikat seperti difirmankan Allah Ta’ala (artinya),
“Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” (Al-Baqarah; 33).
Ini adalah tingkatan tertinggi, dan tidak ada tingkatan tertinggi di atasnya. Allah menjadikan orang bodoh di antara mereka sebagai orang yang tidak diridhai syaithan, seperti dikatakan syaithan kepada orang bodoh mereka yang mentaati mereka dalam kekafiran, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu.” (Al-Hasyr; 16). Syaithan berkata kepada orang-orang bodoh yang durhaka kepada Rasul-Nya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian.” (Al-Anfal; 48).
“Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” (Al-Baqarah; 33).
Ini adalah tingkatan tertinggi, dan tidak ada tingkatan tertinggi di atasnya. Allah menjadikan orang bodoh di antara mereka sebagai orang yang tidak diridhai syaithan, seperti dikatakan syaithan kepada orang bodoh mereka yang mentaati mereka dalam kekafiran, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu.” (Al-Hasyr; 16). Syaithan berkata kepada orang-orang bodoh yang durhaka kepada Rasul-Nya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian.” (Al-Anfal; 48).
Demi Allah, betapa besarnya perbedaan di antara kedua tipe
orang tersebut. Orang pertama, para
Malaikat sujud kepadanya dan mengajari Malaikat apa yang diajarkan Allah
kepadanya. Orang kedua, syaithan saja tidak
rela menjadi pelindungnya!
Perbedaan yang agung ini terjadi pada Ilmu dan Buahnya. Jika Ilmu tidak memiliki kelebihan selain berdekatan
dengan Allah Tuhan alam semesta, bergabung ke alam Malaikat, dan menemani
mereka, maka itu sudah cukup dijadikan sebagai bukti kelebihan dan keutamaan Ilmu.
69. KEMULIAAN ILMU DAN ORANG BERILMU
Sesungguhnya sesuatu termulia yang ada pada diri manusia
adalah tempat Ilmu yang tiada lain adalah hati, telinga, dan mata.
Karena hati adalah tempat penampungan Ilmu, Wahyu, dan mata
adalah pengintainya, maka hati adalah Raja atas semua organ tubuh. Ia memerintah semua organ tubuh kemudian
organ tubuh mentaati perintahnya. Ia
mengendalikan organ tubuh kemudian organ tubuh tunduk patuh kepadanya. Begitu pula keberadaan orang-orang berilmu
ditengah-tengah manusia, ia ibarat hati bagi organ tubuh .
Manusia berbeda pendapat, mana yang lebih baik di antara
mata dan telinga. Yang benar dalam
permasalahan ini, bahwa masing-masing di antara keduanya mempunyai kelebihan
atas yang lain. Yang bisa diketahui
dengan telinga itu lebih umum dan universal, sedang yang bisa diketahui dengan
mata itu lebih sempurna dan komplit (terperinci).
Sebagaimana diketahui bahwa salam Allah kepada orang-orang
beriman, firman-Nya kepada mereka, dan pertemuan-Nya dengan mereka itu tidak
bisa dibandingkan dengan sesuatu apapun, dan tidak ada yang lebih nikmat bagi
mereka kecuali melihat Allah dan mendengar firman-Nya.
Oleh karena itu Allah Suhanahu wa Ta’ala mengancam
musuh-musuh-Nya bahwa kelak Dia tidak akan berdialog dengan mereka, dan mereka
tidak bisa melihat-Nya. Jadi firman
Allah dan melihat wajah-Nya adalah kenikmatan puncak para penghuni Surga, wallahu
a’lam.
70. PERRANGKAT-PERANGKAT MENDAPATKAN ILMU
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan
nikmat-nikmat-Nya kepada manusia, dan di antaranya bahwa Allah memberi mereka
perangkat-perangkat Ilmu. Allah
menyebutkan tentang Hati, Telinga, dan Mata. Dan terkadang Allah menyebutkan Lisan yang menjadi penyambung keinginan hati.
Allah menjelaskan bahwa Dia menyempurnakan nikmat-nikmat tersebut agar
mereka mengetahui nikmat-nikmat tersebut, ingat kepada-Nya, dan mensyukurinya,
(An-Nahl; 78), (Al-Ahqaf; 26), (Al-Balad; 8-10), (Al-Insan; 3)
Petunjuk itu dengan Hati, Mata, dan Telinga. Allah juga menyebutkan tentang Lisan dan dua
bibir yang keduanya merupakan perangkat-perangkat Ilmu. Allah menyebutkan tentang perangkat-perangkat Ilmu dan pengajaran kemudian menjadikannya sebagai Ayat-Ayat-Nya yang
menunjukkan tentang diri-Nya, kekuasaan-Nya, Nikmat-Nya yang Dia perkenalkan
kepada hamba-hamba-Nya.
Karena ketiga organ tubuh di atas merupakan organ tubuh yang
paling mulia, rajanya, pengendalinya, dan penguasanya, maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyebutkan secara khusus bahwa kelak akan dimintakan pertanggungan
jawab terhadap ketiganya, (Al-Isra; 36).
Jadi kebahagiaan manusia bertumpu kepada kesehatan ketiga organ tubuh tersebut dan kecelakaannya disebabkan kerusakan ketiganya.
Jadi kebahagiaan manusia bertumpu kepada kesehatan ketiga organ tubuh tersebut dan kecelakaannya disebabkan kerusakan ketiganya.
Jadi maksud pemberian ketiga organ tubuh tersebut adalah (untuk meraih) Ilmu dan Buahnya.
71. SELURUH KEBAHAGIAN ADA DI DALAM ILMU
Sesungguhnya jenis-jenis kebahagiaan yang disukai jiwa itu
ada tiga;
Kebahagiaan pertama, Kebahagiaan kekayaan dan
jabatan. Kebahagiaan yang keluar dari
diri seseorang ini merupakan pinjaman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kebahagiaan dan kegembiraan dengan harta dan
jabatan adalah seperti kebahagiaan orang yang botak kepalanya dengan rambut
palsu keponakannya, seperti keindahan seseorang dengan pakaian dan
perhiasannya. Jika pandangan anda menembus
pakaiannya, maka di dalamnya tidak ada apa-apanya.
Kebahagiaan kedua, Kebahagiaan di dalam badan
seperti kesehatan badan, keseimbangan bentuk tubuh, keserasian organ tubuh,
keindahan susunan tubuh, kelembutan warna kulit, dan kekuatan organ tubuh. Kebahagiaan ini lebih kuat dari kebahagiaan
pertama, namun tetap keluar dari jati dirinya, karena manusia ialah manusia
dengan ruhnya, bukan dengan badannya seperti dikatakan dalam syair,
Wahai budak badan, betapa celakanya engkau dengan menjadi budaknya
Sesungguhnya engkau itu
manusia dengan ruh dan bukannya dengan badan
Status kebahagian ini bagi ruh dan jiwa adalah seperti status pakaian
bagi badan.
Sesungguhnya badan adalah pinjaman ruh, alatnya ruh, dan salah satu
kendaraan ruh.
Keindahan badan adalah kebahagiaan yang keluar dari jati dirinya dan
hakikatnya.
Kebahagiaan ketiga, Kebahagiaan hakiki, yaitu kebahagiaan jiwa dan hati yang tiada lain
adalah kebahagiaan ilmu yang bermanfaat dan buahnya. Itulah kebahagiaan abadi sepanjang zaman, dan
yang menemani seorang hamba dalam semua perjalanannya di ketiga negeri; negeri
dunia, negeri barzakh dan negeri abadi (Akhirat), yang dengannya seorang hamba
naik ke tangga-tangga karunia dan tingkatan-tingkatan keutamaan.
Kebahagiaan pertama dan kedua terancam musnah dan berubah menjadi lemah. Jadi pada hakikatnya tidak ada kebahagiaan
kecuali kebahagiaan ketiga. Zaman
semakin tua, namun kebahagiaan tersebut semakin menguat dan meninggi. Kekuatan kebahagiaan tersebut dan pengaruhnya
terlihat dengan jelas ketika kedua kebahagian di atas telah terputus. Kebahagiaan ini bobotnya tidak bisa
diketahui. Jadi semua kebahagiaan itu
kembali kepada ilmu dan apa saja yang dikehendaki ilmu. Allah memberi bimbingan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Tidak ada yang bisa
menahan apa yang Dia beri dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Dia tahan.
Mayoritas manusia antipati mencari kebahagiaan jenis ini karena
jalannya berliku-liku - prosesnya pahit, dan upaya untuk mendapatkannya
melelahkan. Sesungguhnya kebahagiaan
tersebut tidak bisa dicapai kecuali di atas jembatan kelelahan. Ia tidak dapat diraih kecuali dengan
keseriusan yang tinggi. Ini berbeda
dengan dua kebahagiaan sebelumnya bisa dimiliki tanpa jerih payah, seperti hasil
warisan atau hibah atau cara-cara yang lain.
Adapun kebahagiaan ilmu, ia tidak diberikan kepada anda kecuali dengan
mencurahkan semua tenaga, pencarian yang benar, dan niat yang baik.
Barangsiapa obsesinya melangit menuju ketinggian, ia wajib dengan
senang hati menutup jalan-jalan yang hina (keduniawian).
Kebahagiaan ini, kendati pada awalnya tidak lepas dari kesulitan,
hal-hal yang tidak mengenakkan, dan menyakitkan. Namun jika jiwa bisa dipaksa menghadapinya,
digiring dalam keadaan patuh, dan bersabar terhadap penderitaannya, maka jiwa
pindah dari keadaan sebelumnya menuju taman-taman yang asri, kursi-kursi mulia,
dan posisi terhormat.
Jadi kemuliaan dan kebesaran itu dipagari dengan hal-hal yang
menyakitkan. Kebahagiaan tidak bisa
diseberangi kecuali di atas jembatan kesulitan, jaraknya tidak bisa ditempuh
kecuali dengan perahu keseriusan dan usaha yang sungguh-sungguh. Namun kelezatan tersebut dilingkari dengan
dinding resiko, dan dipagari dengan dinding kebodohan, karena Allah ingin
mengkhususkannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, dan
Allah mempunyai karunia yang sangat besar.
72. KESEMPURNAAN ITU DIRAIH DENGAN ILMU
Disebutkan dalam atsar Israil, bahwa Musa bertanya tentang siapa-siapa
yang disiksa Allah, kemudian Allah berfirman, “Hai Musa, tanamlah sebuah
tanaman! Allah mewahyukan kepada Musa
agar ia memanen hasil cocok tanamnya.
Allah mewahyukan lagi kepadanya agar ia mencabut tanamannya dan
mengulitinya. Musa pun mengerjakan apa
yang diperintahkan Tuhannya. Ia
memisahkan antara bijinya, kayunya dan daunnya.
Allah mewahyukan kepadanya, “Sesungguhnya Aku tidak memasukkan
hamba-hamba-Ku ke dalam Neraka kecuali orang yang tidak ada kebaikan padanya
seperti kayu dan duri yang tidak layak kecuali untuk api.”
Begitulah manusia naik ke tingkatan-tingkatan kesempurnaan setingkat demi setingkat hingga berhenti di puncak kesempurnaan.
Betapa jauhnya perbedaan dirinya ketika masih menjadi setetes sperma
dengan keadaannya ketika Allah memberi salam padanya di negeri-Nya dan melihat Wajah-Nya setiap pagi dan petang.
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika pertama kali didatangi
Malaikat, Beliau berkata kepadanya, “Aku tidak bisa membaca.” Kemudian di akhir usianya, Malaikat datang kembali kepada Beliau dengan membawa firman Allah Ta’ala untuk Beliau (artinya),
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian Agamamu, dan telah
Kucukupkan kepada kalian nikmat-nikmat-Ku.”
(Al-Maidah; 3).
Allah Ta’ala berfirman khusus untuk Beliau,
“Dan Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.
Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (An-Nisa’; 113).
Pantaskah orang yang berobsesi besar dimana Allah telah menjauhkan aib
dari dirinya, mengenalkan kebahagiaan dan kecelakaan mau menjadi binatang,
padahal ia mampu menjadi manusia?
Kemudian dari manusia dia bisa menjadi seperti Malaikat di posisi yang Mulia - di sisi Tuhan Yang Mahaperkasa, kemudian para Malaikat siap menjadi para pelayannya dan masuk kepada mereka dari semua pintu dengan mengatakan,
“Salam sejahtera untuk kalian atas kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
(Ar-Ra’du; 24).
Kesempurnaan ini hanya bisa didapat dengan Ilmu, menjaganya dan
melaksanakan konsekwensinya. Jadi segala
sesuatunya itu kembali kepada Ilmu dan Buahnya.
Allah tempat meminta petunjuk.
Kekurangan terbesar dan kerugian terbesar adalah orang yang mampu
mencapai kesempurnaan, namun ia tidak melakukannya seperti perkataan salah
seorang Salaf, “Jika jalan-jalan kebaikan itu banyak, maka orang yang keluar
dari jalan tersebut amat merugi.”
Sungguh benar
penyair yang berkata,
Aku tidak melihat aib pada manusia
Seperti kekurangan orang
yang mampu meraih kesempurnaan, namun tidak melakukannya.
Dari
sini dapat disimpulkan, bahwa tidak ada sesuatu yang paling buruk pada manusia
daripada orang yang lupa diri terhadap hal-hal yang utama dalam Agama, Ilmu-ilmu yang
bermanfaat, dan amal perbuatan yang shalih.
Barangsiapa yang kondisinya seperti itu, ia termasuk orang-orang yang hina
yang mengeruhkan air bersih (melecehkan fitrahnya), dan meninggikan harga. Jika ia hidup, ia hidup tidak dalam keadaan
mulia. Jika ia mati, maka tidak ada yang
merasa kehilangan atas kematiannya.
Langit tidak menangisi kematiannya, dan orang-orang asing merasa senang
dengan kematiannya.
73. ILMU ADALAH OBAT BAGI SEMUA PENYAKIT HATI
Ada
dua penyakit yang mengancam kehidupan hati.
Yaitu penyakit Syahwat (Hawa nafsu) dan penyakit Syubhat (kebathilan yang menyerupai kebenaran). Inilah akar penyakit semua manusia kecuali
orang yang dibuat sehat oleh Allah.
Tentang
penyakit syubhat yang notabene penyakit yang paling sulit diobati dan yang paling
mematikan hati, terlihat dengan jelas dalam firman Allah Ta’ala tentang
orang-orang munafik (yang artinya),
“Dalam
hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya" (Al-Baqarah; 10)
Allah
Ta’ala berfirman,
“Dan
supaya orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan orang-orang
kafir mengatakan, ‘Apa yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu
perumpamaan?’ (Al-Mudatstir; 30).
Allah
Ta’ala berfirman,
“Agar
Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaithan itu, sebagai cobaan bagi
orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan yang keras hatinya.”
(Al-Hajj; 53).
Inilah
ketiga ayat di dalam Al-Qur’an. Yang
dimaksud dengan penyakit hati di dalamnya adalah penyakit Kebodohan dan Syubhat.
Sedang
penyakit syahwat, seperti firman Allah Ta’ala dalam (QS. Al-Ahzab; 32).
Hati
mempunyai penyakit-penyakit lain selain penyakit di atas, yaitu riya’, arogan,
ujub, dengki, cinta jabatan, dan sewenang-wenang di muka bumi.
Penyakit
tersebut dibangun dari penyakit syubhat dan syahwat. Penyakit tersebut menghasilkan persepsi yang salah, dan keinginan yang tidak benar seperti ujub dan sombong karena merasa dirinya mulia dan berharap manusia
memuliakannya dan memujinya.
Jadi
penyakitnya itu timbul karena syahwat, syubhat, atau perpaduan keduanya.
Semua
penyakit ini penyebabnya ialah Kebodohan dan obatnya ialah Ilmu, seperti
disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits orang terluka
yang disuruh mandi kemudian meninggal dunia,
“Mereka
membunuh orang tersebut dan semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya jika mereka
tidak mengerti (mengetahui)? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah bertanya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban dan Ad-Daruquthni).
Pada hadits di atas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan ketidak mampuan hati untuk mengetahui dan lisan
untuk berbicara dengan bertanya kepada para 'ulama.
Penyakit
hati itu lebih susah diatasi daripada penyakit pisik, sebab puncak dari
penyakit pisik adalah membawa pada kematian.
Sedang penyakit hati, ia membawa penderitanya kepada kecelakaan abadi. Tidak ada obat bagi penyakit hati kecuali
dengan Ilmu. Oleh karena itu Allah Ta’ala menamakan kitab-Nya sebagai obat bagi penyakit yang ada di dalam
dada (hati). Allah Ta’ala berfirman,
“Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk
serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Yunus; 57).
Oleh
karena itu, penisbatan 'ulama kepada hati adalah seperti penisbatan dokter
kepada badan, dan gelar “Dokter Rohani” yang diberikan kepada para 'ulama,
adalah karena adanya persamaan diantara keduanya. Jika tidak begitu, sesungguhnya
permasalahannya lebih besar lagi, karena banyak diantara bangsa-bangsa, ada
orang-orang yang tidak membutuhkan dokter dan dokter itu tidak merata di setiap
Negara. Boleh jadi seseorang
menghabiskan semua umurnya tanpa membutuhkan keberadaan seorang dokter.
Sedang
para 'ulama yang mengetahui Allah Ta’ala dan perintah-Nya, mereka
adalah kehidupan alam semesta dan ruhnya.
Mereka dibutuhkan manusia setiap detik.
Kebutuhan hati terhadap ilmu tidaklah sama seperti kebutuhan badan kepada
nafas, bahkan permasalahan ini lebih agung.
Kesimpulannya,
sesungguhnya ilmu bagi hati adalah ibarat air bagi ikan, Jika ikan tidak mendapatkan air, ia
mati. Ilmu bagi hati juga seperti cahaya
bagi mata dan pendengaran telinga terhadap suara manusia. Jika mata tidak mendapatkan cahaya, ia buta (tidak mampu melihat),
dan jika telinga tidak mendapatkan suara, ia tuli (tidak mampu mendengar).
Oleh
karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati orang bodoh sebagai orang buta, tuli dan
bisu. Itulah sifat hatinya yang tidak
mempunyai Ilmu yang Bermanfaat. Oleh
karena itu, hatinya berada dalam kebutaan, ketulian, dan kebisuan (terhadap kebenaran). Allah Ta’ala berfirman,
“Dan
barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih
buta, dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). (Al-Isra; 72).
Allah
Ta’ala juga berfirman,
“Dan
kami kumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman
mereka adalah Neraka Jahannam.” (Al-Isra; 97).
Ini
karena keadaan mereka di dunia seperti itu, dan seseorang itu dibangkitkan
seperti pada saat kematiannya.
74. ILMU ADALAH JALAN KESELAMATAN
Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya memberikan kepada seorang hamba musuh yang
ahli tentang jalan-jalan yang mencelakakannya, dan sebab-sebab kejahatan yang
telah ia siapkan. Musuh tersebut sangat
pakar, ahli, berambisi kuat terhadapnya, dan tidak pernah putus asa.
Seseorang
harus mendapatkan salah satu dari enam hal dari syaithan;
Salah
satunya yang notabene merupakan puncak keinginan syaithan ialah menjauhkan
seorang hamba dari Ilmu dan Iman kemudian melemparkannya pada jurang kekafiran.
Jika hal diatas tidak mempan dan
mendapat petunjuk kepada Islam, syaithan merubah strategi dengan
menjerumuskannya kepada Bid’ah (Dalam aqidah dan amal) yang lebih ia sukai daripada maksiat, karena
maksiat dimaafkan, sedang bid’ah tidak dimaafkan. Disebutkan dalam sebuah atsar, bahwa Iblis
berkata, “Aku membinasakan anak keturunan Adam dengan dosa-dosa, dan mereka
membinasakanku dengan istigfar dan ucapan laa ilaaha illallahu. Karena itu yang aku lihat pada mereka, maka
aku menyebarkan hawa nafsu pada mereka, kemudian mereka melakukan dosa (bid'ah) dan tidak
bertaubat, karena mereka mengira bahwa mereka mengerjakan amal shalih.” Jika syaithan berhasil menaklukkan hamba tersebut
kepada bid’ah, ia menjadikan orang tersebut sebagai salah satu rakyatnya dan
penguasanya.
Jika
ia tidak mampu menaklukkannya, ia melemparkan orang tersebut kepada tingkatan
ketiga yaitu Dosa-Dosa Besar.
Jika
ia gagal melakukannya, ia melemparkan orang tersebut ketingkatan keempat yaitu Dosa-Dosa Kecil.
Jika
ia gagal melakukannya, ia membuatnya sibuk dengan amal perbuatan yang tidak
penting untuk menghalanginya dari amal perbuatan yang penting. Inilah tingkatan
kelima.
Jika
ia gagal menaklukkannya ia pindah ketingkatan keenam, yaitu mengkuasakan kepada
“anak buahnya” untuk bertindak kepada orang tersebut dengan menyiksa mereka,
menghina mereka, membodohkannya, dan menuduhnya melakukan perbuatan haram, agar
orang tersebut sedih dan hatinya lupa dari ilmu, keinginan, dan seluruh amal
perbuatan lain.
Bagaimana mungkin bisa
menghindar dari syaithan orang yang tidak memiliki ilmu terhadap semua ini,
tidak mempunyai ilmu tentang musuhnya, dan tidak mempunyai ilmu tentang cara
berlindung diri darinya? Sesungguhnya
tidak akan selamat dari musuh kecuali orang yang mengetahui jalan musuhnya yang
datang kepadanya melalui pintu tersebut dan tentaranya yang ia meminta bantuan
kepadanya, mengetahui pintu masuk dan pintu keluarnya, mengetahui bagaimana strategi memeranginya, mengetahui
dengan senjata apa ia memeranginya, mengetahui dengan obat apa ia mengobati
lukanya, dan mengetahui dengan apa ia menggantungkan kekuatan untuk memeranginya
dan menghadang serangannya.
Itu
semua tidak bisa didapatkan kecuali dengan Ilmu. Sedang orang bodoh, ia lupa dan buta terhadap
masalah yang besar ini.
Oleh
karena itu, perihal jati diri musuh ini, pasukannya dan tipu dayanya seringkali
diungkap dalam Al-Qur’an karena kebutuhan jiwa mengetahui musuhnya, dan
cara-cara memeranginya dan melawannya.
Jika Ilmu tidak membongkar ini semua, pasti tidak ada orang yang selamat
darinya. Jadi, Ilmu dan buahnya yang
memberikan keselamatan.
75. ILMU ADALAH KEBALIKAN DARI LALAI
Sesungguhnya
sebab terbesar yang menyebabkan seseorang diharamkan dari kebaikan dunia dan
Akhirat, kelezatan di dunia dan akhirat, dan musuh masuk padanya melalui sebab
tersebut adalah Lalai dan Malas, yang
merupakan kebalikan dari Keinginan dan Tekad yang kuat. Kedua hal ini (lalai dan malas) merupakan biang
petaka seorang hamba dan yang menyebabkannya diharamkan menduduki posisi
orang-orang yang berbahagia. Lalai dan
malas ini disebabkan tidak adanya Ilmu.
Lalai
bertentangan dengan Ilmu. Allah Subhanahu wa
Ta’ala
mengecam orang yang lalai, melarang manusia menjadi seperti mereka, mentaati
mereka, dan menerima mereka,
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf; 205),
“Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.” (Al-Kahfi; 28),
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf; 179).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam wasiat Beliau kepada para wanita,
“Janganlah
kalian lalai karena kalian akan lupa kepada rahmat.” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Salah
seorang 'ulama pernah ditanya tentang hobi melihat foto-foto, ia menjawabnya, “Itu
adalah hati yang lalai dari dzikir kepada Allah kemudian Allah mengujinya
dengan menyembah kepada selain Allah.”
Hati
yang lalai adalah tempat kediaman Syaithan.
Syaithan membisiki hati orang yang lalai dan membacakan padanya berbagai
macam was-was dan ilusi yang bathil. Jika
orang tersebut sadar dan ingat Allah, maka syaithan berkumpul dan bersembunyi
serta melemah. Jadi syaithan itu selalu
diantara was-was dan bersembunyi.
Syaithan
itu selalu mengincar kelalaian seorang hamba kemudian menaburkan kedalam
hatinya benih-benih impian kosong, syahwat dan ilusi yang tiada berarti, kemudian
benih tersebut menghasilkan pohon pahit, duri dan banyak petaka. Syaithan selalu mengurusi benih-benih tersebut
dengan cara mengairinya, hingga ia bisa menghalangi dan membutakan mata hatinya.
Adapun
malas, eksesnya adalah kesia-siaan, cuek, diharamkan dari banyak hal, dan (berakibat) penyesalan. Malas adalah kebalikan dari
keinginan, dan tekad yang merupakan hasil dari ilmu. Barang siapa mengetahui bahwa kesempurnaan
dirinya ada pada sesuatu, maka ia mencarinya dengan sekuat tenaga, dan hatinya bertekad kuat untuk sampai padanya. Semua orang
berusaha menyempurnakan dirinya dan mendapatkan kelezatannya, namun kebanyakan
dari mereka salah jalan karena tidak memiliki Ilmu (Pengetahuan) tentang apa yang mesti dicari. Jika ia
mengetahui dengan pasti bahwa kebahagiaan dirinya, keselamatannya dan
keberuntungannya ada pada tujuan tersebut, kenapa ia malas menuju tujuan
tersebut?
Oleh
karena itu tidak mengherankan kalau Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung diri dari sifat
malas,
“Ya
Allah, aku berlindung diri kepadamu dari galau dan sedih, dari lemah dan malas,
dari pengecut dan pelit, dari lilitan hutang dan terkanan orang lain.” (HR.
Muslim).
Pada
hadits diatas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta perlindungan dari
delapan hal yang masing-masing daripadanya berpasangan. Galau dan sedih adalah satu pasangan. Perbedaan diantara keduanya, bahwa sesuatu
yang tidak mengenakkan yang terjadi pada hati itu bisa terjadi pada masa silam
dan masa mendatang. Jika terjadi pada
masa silam dinamakan sedih, dan jika pada masa mendatang dinamakan galau.
Orang
malas dicela ketimbang orang yang lemah tidak berkemampuan. Boleh jadi lemah adalah hasil dari malas,
kemudian pelakunya dicela karenanya.
Yang sering terjadi, manusia itu malas terhadap sesuatu yang mampu ia capai dan keinginannya lemah
untuk mendapatkannya hingga menyebabkannya lemah terhadapnya.
Inilah
lemah yang dikecam Allah Ta’ala. Salah
seorang yang bijak berkata, “Tinggalkan malas dan bosan. Karena malas membuat orang tidak bangkit
menuju kemuliaan. Dan bosan, jika ia tidak bangkit darinya - ia tidak sabar.”
Kebosanan bisa juga diakibatkan oleh malas dan lemah.
Kemudian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan sifat pengecut
dan pelit. Pada dasarnya, orang bisa
berbuat baik kepada orang lain dengan kekayaannya atau jiwanya. Orang pelit menolak memberikan kekayaannya
dan pengecut yaitu orang yang tidak mau memberikan jiwanya.
Kemudian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang lilitan
hutang dan tekanan orang. Sesungguhnya
tekanan yang diterima orang itu ada dua;
Pertama, tekanan dengan benar, yaitu lilitan hutang.
Kedua, tekanan dengan bathil, yaitu tekanan orang.
Shalawat
dan salam semoga terlimpah atas manusia yang dianugerahi ungkapan yang singkat namun
padat isinya, dan khazanah Ilmu dan Hikmah disarikan dari ungkapan-ungkapan Beliau.
Jadi
lalai dan malas penyebabnya adalah tidak adanya Ilmu. Kekurangan penyebabnya adalah tidak adanya
ilmu dan tekad. Kesempurnaan penyebabnya
ialah adanya ilmu dan tekad.
Manusia
dalam hal ini terbagi dalam empat kelompok;
Kelompok pertama, orang yang dianugerahi ilmu dan didukung oleh tekad yang kuat untuk beramal. Kelompok ini
adalah inti keseluruhan manusia. Merekalah yang
disifati Allah Ta’ala dalam Al-Quran dengan firman-Nya (artinya),
“Kecuali
orang-orang beriman dan mengerjakan amal shalih.” (Al-Ashr; 3).
Atau
dengan firman-Nya,
“Yang
mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shaad;
45).
Atau
dengan firman-Nya,
“Dan
apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan
di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada
dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?” (Al-An’am;
122).
Jadi
dengan kehidupan - tekad itu didapatkan, dan dengan cahaya - Ilmu diperoleh.
Pemimpin
kelompok ini adalah para Rasul Ulul Azmi (Yang Paling Utama).
Kelompok kedua, orang yang tidak dianugerahi ilmu dan tekad yang
kuat. Mereka itulah yang disifatkan oleh
Allah Ta’ala dengan firman-Nya,
“Sesungguhnya
binatang (makhluk) yang paling buruk disisi Allah ialah orang-orang yang pekak
dan tuli yang tidak mengerti apa-apa.” (Al-Anfal; 22).
Atau
dengan firman-Nya,
“Atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak
itu).” (Al-Furqan; 44).
Atau
dengan firman-Nya,
“Maka
sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan.”(Ar-Rum; 52).
Atau
dengan firman-Nya,
“Dan
kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikan orang yang berada di dalam kubur
dapat mendengar.” (Fathir; 22).
Kelompok
ini adalah manusia yang paling buruk.
Mereka membuat sempit dunia, dan meninggikan harga. Tentang diri mereka sendiri mereka sangat
tahu, namun itu sebatas bagian luar dunia, dan mereka lalai dari Akhirat. Mereka mengerjakan apa yang membahayakan
mereka dan tidak membawa manfaat bagi mereka, serta berbicara berdasarkan hawa
nafsu. Mereka berbicara dan berdialog,
namun berdasarkan kebodohan. Mereka
berbicara dan beriman namun kepada berhala dan thaghut. Mereka menyembah, namun kepada selain
Allah. Mereka membantah namun dengan
kebathilan untuk mematahkan kebenaran.
Mereka menyembunyikan, namun dalam bentuk perkataan yang tidak diridhai
Allah. Mereka menjelaskan dan berdakwah,
namun dengan menyekutukan Allah dengan tuhan yang lain. Mereka berdoa dan berdzikir, namun jika
mereka diingatkan mereka tidak ingat.
Mereka shalat, namun bersama dengan orang-orang yang lalai terhadap
shalatnya, yaitu orang-orang yang riya’ dalam shalatnya dan menolak memberi
sesuatu kepada sesamanya. Mereka
berhukum, namun hukum jahiliyah yang mereka cari. Mereka menulis, namun menulis dengan
tangannya kemudian mereka berkata, “Ini berasal dari Allah.” Karena ingin membeli sesuatu yang sedikit
dengannya, maka celakalah apa yang ditulis tangan mereka, dan celakalah apa yang
mereka usahakan. Mereka berkata,
“Sesungguhnya kami semua adalah para reformis.”
Ketahuilah, sesungguhnya mereka adalah para perusak (Agama).
Jika dikatakan kepada mereka, “Berimanlah sebagaimana orang-orang lain
beriman!” Mereka berkata, “Apakah kami
harus beriman sebagaimana orang-orang bodoh beriman?” Ketahuilah, mereka
sendirilah orang-orang bodoh, namun
mereka tidak menyadarinya.
Kelompok
ini, sekilas seperti manusia namun pada hakikatnya mereka adalah Syaithan dalam wujud manusia. Orang yang termulia di antara
mereka jika Anda berpikir adalah seperti keledai, atau anjing, atau serigala!
Salah
seorang penyair berkata,
Engkau jangan terkecoh oleh jenggot dan
penampilan luar
Sembilan keluarga yang Anda lihat
sebagai sapi di pohon sarwu
Mereka seperti pohon yang
mempunyai dahan, namun tidak punya buah
Yang
lebih indah dari semua itu ialah firman Allah Ta’ala,
“Dan
apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan
perkataan mereka. Mereka adalah
seakan-akan kayu yang tersandar.” (Al-Munafiqun; 4).
Seorang
penyair berkata,
Rekan-rekan seperjalanan tidak mengetahui
kebaikan perjalanan
Melainkan seperti pengetahuan
unta-unta
Demi Tuhan, unta pada waktu pagi
hari dan sore hari diseret tidak tahu
Apa yang ada didepannya
Yang
lebih indah dan tepat dari itu semua ialah firman Allah Ta’ala,
“Adalah
seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim.” (Al-Jumu’ah; 5).
Kelompok ketiga, orang yang dianugerahi pintu ilmu, dan ditutup dari
pintu tekad dan amal perbuatan. Orang
seperti ini setingkat dengan orang bodoh, atau lebih buruk dari orang bodoh. Orang ini kebodohannya lebih baik baginya,
sebab ilmu tidak menambah selain petaka dan siksa baginya. Orang ini tidak mempunyai keinginan untuk
menjadi orang baik. Sesungguhnya orang
yang tersesat dari jalan yang benar bisa diharapkan kembali ke jalan yang benar
ketika ia telah melihat jalan tersebut. Jika
ia telah mengetahui jalan kemudian ia berpaling darinya dengan sengaja,
bagaimana bisa ia diharapkan mendapat petunjuk?
Allah Ta’ala berfirman,
“Bagaimana
Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, serta mereka
telah mengakui bahwa Rasul (Muhammad) benar-benar Rasul, dan
keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka ? Allah tidak menunjuki
orang yang zhalim.” (Ali Imran; 86).
Kelompok keempat, orang yang dianugerahi tekad dan keinginan, namun
tidak dianugerahi ilmu. Orang ini, jika
ia telah mentauladani salah satu dari dai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, ia bersama
mereka. Firman Allah Ta’ala,
“Dan barang siapa yang mentaati Allah dan
Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh
Allah, yaitu Nabi-nabi, dan para Shiddiiqiin, dan orang-orang yang mati syahid,
dan orang-orang shalih. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang
demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (An-Nisa;
69-70).
Mudah-mudahan
Allah memberikan karunia-Nya kepada kita, dan tidak mengharamkan hal-hal yang
baik kepada kita karena kesalahan perbuatan kita, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang.
76. SIFAT-SIFAT TERPUJI ADALAH BUAH DARI ILMU
Semua
sifat-sifat terpuji pada seorang hamba yang dipuji Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an adalah
buah dari ilmu dan setiap sifat tercela yang dicela Allah Ta’ala adalah hasil dari
kebodohan. Allah Ta’ala memuji seorang hamba karena
keimanannya yang merupakan puncak Ilmu dan saripatinya. Allah Ta’ala juga memuji seorang hamba
karena amal shalih yang merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat. Allah Ta’ala memujinya karena kesyukurannya,
kesabarannya, bersegera kepada kebaikan, cinta kepada-Nya, takut kepada-Nya,
berharap kepada-Nya, inabah kepada-Nya, lemah-lembut, cerdas, berpikir, menjaga
kesucian diri, dermawan, itsar (mendahulukan kepentingan
umum), pemberian nasihat kepada hamba-hamba Allah, menyayangi mereka, ramah,
memaafkan kesalahan mereka, memberikan kebaikan kepada mereka tanpa terkecuali,
membalas kejahatan dengan kebaikan, mengajak kepada yang baik, melarang dari
yang mungkar, sabar terhadap hal-hal yang membutuhkan kesabaran, ridha dengan
takdir, lemah-lembut terhadap wali-wali Allah Ta’ala, tegas terhadap musuh-musuh-Nya,
benar dalam janji, menepati janji, berpaling dari orang-orang bodoh, menerima
nasihat, yakin, tawakal, damai, tentram, saling menyambung hubungan
persaudaraan, adil dalam perkataan, tindakan dan akhlak, kuat dalam
perintah-Nya, bijaksana dalam agama-Nya, melaksanakan hak-Nya, mengeluarkan
hak-Nya dari orang yang menolak mengeluarkannya, dakwah kepada-Nya,
keridhaan-Nya dan surga-Nya, memperingatkan manusia dari jalan orang-orang yang
sesat, menjelaskan jalan-jalan kesesatan dan keadaan pelakunya, saling
menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, menganjurkan pemberian makan kepada
orang-orang miskin, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung hubungan sanak
kerabat, dan mengucapkan salam kepada seluruh kaum Mukminin.
Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Nun, demi kalam dan apa yang
mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu
(Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.
Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak
putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu
benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam; 1-4).
Aisyah radhiyallahu 'anha ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
“Akhlak beliau adalah
Al-Qur’an.” Penanya merasa puas dengan jawaban tersebut kemudian berkata, “Aku
paham bahwa aku harus berdiri dan tidak bertanya apa-apa lagi sesudahnya.”
(HR. Muslim).
Akhlak
tersebut dan akhlak-akhlak lainnya adalah buah dari pohon ilmu.
Adapun
pohon kebodohan, ia menghasilkan semua buah yang jelek seperti kekafiran, kerusakan,
syirik, kezhaliman, kesesatan, permusuhan, tidak sabar, keluh kesah, tidak
syukur, buru-buru, gegabah, emosi, ucapan kotor, porno, dan pelit.
Oleh karena itu, dikatakan tentang definisi pelit, “Kebodohan yang dipadukan dengan
buruk sangka.”
Diantara
dari pohon kebodohan ialah; menipu manusia, sombong, ujub, riya’, sum’ah,
kemunafikan, melanggar janji, bersikap kasar terhadap manusia, balas dendam,
membalas kebaikan dengan kejahatan, menyuruh kepada yang mungkar, melarang dari
yang baik, tidak menerima nasihat, mencintai selain Allah, berharap kepada selain
Allah, tawakal kepada selain Allah, mendahulukan ridha selain Allah diatas
ridha Allah, mengutamakan perintah selain Allah atas perintah Allah, tidak
serius menunaikan hak Allah, serius menunaikan hak dirinya, emosi karena
dirinya, mencari kemenangan karena dirinya, jika hak dirinya dilanggar maka
balas dendam melebihi haknya, jika hak Allah dilanggar maka urat syarafnya
tidak bangkit-marah karena Allah, tidak mempunyai kekuatan untuk melaksanakan
perintah-Nya, dan tidak bijak dalam agama-Nya.
Diantara
buah pohon kebodohan lainnya ialah,berdakwah ke jalan syaithan, meniti jalan
kesesatan, menuruti keinginan hawa nafsu, mendahulukan syahwat atas taat,
menyebarkan gossip, banyak bertanya, menghambur-hamburkan uang, mengubur anak
hidup-hidup, durhaka kepada ibu, memutus hubungan sanak keluarga, menyakiti
tetangga, mengendarai kendaraan kehinaan dan aib.
Kesimpulannya,
sesungguhnya kebaikan dan seluruh kandungannya yang terjadi di dunia sekarang
ini adalah buah yang dipetik dari pohon Ilmu dan amal perbuatan yang dibawa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Begitu pula dengan keburukan serta kerusakan
yang terjadi di dunia sekarang ini hingga hari kiamat dan sesudahnya maka
penyebabnya ialah karena melanggar Ilmu dan Amal yang dibawa para Rasul.
77. MAJLIS-MAJLIS ILMU ADALAH TAMAN-TAMAN SURGA
Ibnu
Umar radhiyallahu 'anhu berkata dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda (artinya),
“Jika
kalian berjalan melewati taman-taman surga, maka perbanyaklah dzikir.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
apa yang dimaksud dengan taman-taman surga?”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu
kelompok-kelompok dzikir. Sesungguhnya Allah mempunyai utusan dari para Malaikat yang mencari kelompok-kelompok
dzikir. Jika mereka datang ke
kelompok-kelompok dzikir tersebut mereka mengelilinginya.”
Atha’
berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan
haram; bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat,
bersedekah, menikah, mencerai dan berhaji.”
Hal
tersebut disebutkan Al-Khatib dalam buku Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih.
78. ORANG BERILMU DAN KELEBIHANNYA
Al-Khatib
meriwayatkan dalam bukunya Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih hadits dari Ali bin Abu
Thalib radhiyallahu 'anhu yang berkata, “Orang berilmu itu lebih besar
pahalanya daripada orang yang berpuasa yang mengerjakan Qiyamul lail, dan
berperang dijalan Allah.”
79. ANTARA ILMU DAN JIHAD
Al-Khatib
meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang berkata, “Sungguh jika
aku mengetahui satu bab ilmu tentang perintah dan larangan itu lebih aku sukai
daripada tujuhpuluh kali berperang di jalan Allah.”
Jika
ungkapan diatas benar, maka maknanya ialah ”tujuhpuluh kali berperang dijalan
Allah yang tidak didasari ilmu.” Karena
amal perbuatan tanpa ilmu, maka kerusakannya lebih banyak daripada
kebaikannya. Atau yang dimaksud Abu
Hurairah adalah Ilmu yang dipelajarinya dan diajarkannya kepada orang lain
kemudian ia mendapatkan pahala orang beramal dengannya hingga hari kiamat. Ini jelas tidak bisa didapatkan dengan
sekedar perang.
80. ANTARA ILMU DAN IBADAH
Al-Khatib
meriwayatkan dari Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu yang berkata,
“Mendiskusikan ilmu satu jam lebih baik daripada qiyamul lail satu jam.”
81. ANTARA ILMU DAN SEDEKAH
Al-Khatib
meriwayatkan dari Al-Hasan, “Sungguh aku mempelajari satu bab ilmu kemudian
mengajarkannya kepada orang muslim, itu lebih aku sukai daripada aku mempunyai
seluruh dunia kemudian aku infakkan di jalan Allah.”
82. ILMU ADALAH IBADAH YANG PALING MULIA
Makhul
berkata, “Cara terbaik untuk menyembah Allah ialah dengan ilmu.”
83. IBADAH DENGAN ILMU
Sa’id
bin Al-Musayyib berkata, “Beribadah kepada Allah tidaklah dengan puasa dan
shalat, namun dengan mendalami agama-Nya.”
Dua
hal yang dikehendaki ungkapan di atas;
Pertama, bahwa ibadah itu bukan dengan puasa dan shalat tanpa ilmu,
namun dengan ilmu yang dengannya diketahui bagaimana berpuasa dan shalat dengan
benar.
Kedua, bahwa ibadah itu tidak hanya puasa dan shalat saja, namun
mendalami agama Allah merupakan ibadah yang paling agung.
Sebelumnya
telah dijelaskan kelebihan orang berilmu atas mujahid (orang yang berjihad) dan sebaliknya.
84. PARA ULAMA DAN PARA NABI
Ishaq
bin Abdullah bin Abu Farwah berkata, “Manusia yang paling dekat dengan
tingkatan kenabian ialah para 'Ulama dan Mujahidin (Jihad). Para ulama menjelaskan kepada manusia apa
yang dibawa para Rasul dan para Mujahidin mempertahankan apa yang dibawa para
Rasul.”
85. KOMUNITAS PARA ULAMA
Sufyan
bin Uyainah berkata, “Manusia yang paling tinggi kedudukannya disisi Allah
yaitu orang yang menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya yaitu
para Rasul dan para Ulama.”
86. ILMU ADALAH IBADAH
Muhammad
bin Syihab Az-Zuhri, “Cara terbaik menyembah Allah ialah dengan Ilmu.”
Ungkapan
di atas dan ungkapan-ungkapan sejenisnya maksudnya bahwa cara terbaik untuk
menyembah Allah ialah dengan mengetahui Agama. Jadi upaya mempelajari Ilmu
adalah ibadah, seperti dikatakan Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu,
“Hendaklah kalian memperhatikan Ilmu, karena mencari Ilmu karena Allah adalah
ibadah.”
Atau
bisa jadi yang dimaksudkan ialah bahwa Allah tidak disembah dengan ibadah yang
lebih baik daripada ibadah yang didasari Ilmu tentang Agama, karena orang
berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak ibadah, ibadah-ibadah
wajib, ibadah-ibadah sunnah, apa saja yang menyempurnakan ibadah, dan apa saja
yang menguranginya.
Kedua
interpretasi di atas bisa dibenarkan.
87. MAJELIS-MAJELIS PARA ULAMA
Sahal
bin Abdullah At-Tastari berkata, “Barangsiapa ingin melihat majelis-majelis para
Nabi, hendaklah ia melihat majelis-majelis para 'Ulama.”
Ini
karena 'Ulama adalah pengganti para Rasul di ummat-ummatnya masing-masing, dan
pewaris Ilmu mereka. Maka majelis-majelis
mereka adalah majelis-majelis pengganti Kenabian.
88. MENCARI ILMU ADALAH AMAL PERBUATAN YANG
PALING UTAMA
Banyak sekali para imam mengatakan, bahwa amal perbuatan yang paling utama setelah
ibadah-ibadah wajib adalah mencari Ilmu.
Imam
Syafi’i berkata, “Tidak ada sesuatu setelah ibadah wajib yang lebih baik
daripada mencari Ilmu.”
Inilah
yang diriwayatkan sahabat-sahabat Imam Syafi’i bahwa ia adalah madzhabnya.
Ungkapan
yang sama juga dikatakan Sufyan bin Uyainah.
Adapun Imam Ahmad, ada tiga
riwayat darinya;
Pertama, amal perbuatan yang paling baik setelah ibadah-ibadah wajib
adalah Ilmu. Ditanyakan kepada Imam
Ahmad, “Apa yang paling engkau sukai?
Aku duduk pada suatu malam untuk menulis ataukah aku mengerjakan shalat
sunnah?” Imam Ahmad menjawab, “Engkau menulis masalah-masalah agama yang
engkau ketahui lebih aku sukai.”
Al-Khalal
dalam buku Al-Ilmu meriwayatkan dari Imam Ahmad banyak sekali nash-nash tentang
kelebihan ilmu.
Diantara
perkataan Imam Ahmad di dalamnya, “Manusia lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan terhadap makanan dan minuman.”
Kedua, amal perbuatan yang paling baik setelah ibadah-ibadah wajib
adalah shalat-shalat sunnah. Untuk
Riwayat ini, Imam Ahmad berhujjah dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
“Ketahuilah, bahwa amal
perbuatan kalian yang paling baik ialah shalat.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu
Hibban, dan Al-Baihaqi).
Imam
Ahmad juga berhujah dengan sabda Beliau dalam hadits Abu Dzar yang bertanya
tentang shalat, kemudian Beliau bersabda,
“Itu adalah kebaikan yang
dipasang.”
Juga
karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepada orang yang
ingin menemani Beliau di Surga agar ia memperbanyak sujud yang tiada lain
adalah shalat.
Juga
berhujjah dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang lain,
“Hendaklah
engkau memperbanyak sujud. Sesungguhnya engkau tidak sujud kepada Allah satu
sujud saja melainkan dengan sujud tersebut Allah mengangkat derajatmu, dan menghapus kesalahan darimu.” (HR. Muslim).
Dan
hadist-hadits lain yang menunjukkan
kelebihan shalat.
Ketiga, amal perbuatan terbaik setelah ibadah-ibadah wajib adalah
jihad, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Aku
tidak membandingkan jihad dengan sesuatu apapun. Siapakah yang mampu melakukannya?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Tidak
diragukan bahwa hadits-hadits yang paling banyak adalah hadits-hadits tentang
shalat dan jihad.
Adapun
Imam Malik, Ibnu Al-Qasim berkata, aku mendengar Imam Malik berkata,
“Sesungguhnya kaum-kaum yang mencari ibadah dan mengenyampingkan ilmu itu
menghadapi ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pedang-pedang
mereka. Seandainya mereka mencari Ilmu,
niscaya Ilmu mencegah mereka melakukan hal tersebut.”
Syaikh kami Ibnu Taimiyah berkata, “Ketiga hal ini
(Shalat, Ilmu dan Jihad) dimana para imam melebihkan sebagiannya atas sebagian
yang lain, pernah dikatakan oleh Umar bin Khatab radhiyallahu 'anhu, “Jika
di dunia tidak ada tiga hal, aku tidak ingin hidup lama didunia. Seandainya aku tidak diperintah atau tidak
menyiapkan pasukan dijalan Allah, tidak qiyamul lail, dan tidak duduk dengan kaum-kaum
yang memilih perkataan-perkataan yang baik-baik sebagaimana buah-buahan yang
baik dipilih, maka aku tidak tertarik hidup lama di dunia.”
Yang
pertama ialah Jihad, kedua adalah Qiyamul lail, dan ketiga ialah mempelajari Ilmu.
Ketiga
hal di atas terkumpul pada diri generasi sahabat dan tidak terkumpul pada
generasi sesudah mereka.
89. ILMU LEBIH BAIK DARIPADA IBADAH-IBADAH
SUNNAH
Abu
Nua’im dan lain-lain menyebutkan dari beberapa sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Beliau bersabda (artinya),
“Kelebihan
ilmu itu lebih baik daripada amal perbuatan yang sunnah, dan agama kalian yang paling baik ialah sikap wara’ (menjauhi syubhat dan maksiat).” (HR. Abu
Nua’im).
Ungkapan
di atas adalah penentu permasalahan ini.
Bahwa jika masing-masing antara Ilmu dan Amal perbuatan adalah ibadah
wajib, maka keduanya dibutuhkan seperti puasa dan shalat. Jika kedua-duanya merupakan ibadah sunnah,
maka Ilmu lebih baik daripada amal perbuatan, karena manfaat Ilmu dirasakan
pelakunya dan semua manusia, sedang manfaat ibadah hanya terfokus pada
pelakunya saja. Juga karena manfaat Ilmu
itu tetap berlangsung setelah kematiannya, sedang manfaat ibadah terputus
dengan kematian seperti telah dijelaskan sebelumnya.
90. ILMU DAN TAKUT KEPADA ALLAH
Al-Khatib,
Abu Nua’im, dan lain-lain meriwayatkan dari Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu
yang berkata, “Pelajarilah Ilmu, karena mempelajarinya karena Allah akan memunculkan rasa takut kepada Allah, mempelajarinya adalah ibadah, mengkajinya adalah tasbih,
mencarinya adalah jihad, mengajarkannya kepada yang tidak memilikinya adalah
sedekah, dan mengeluarkannya kepada yang berhak adalah ibadah. Dengan Ilmu, Allah dikenal, disembah, dan
ditauhidkan. Dengannya, yang halal dan
haram diketahui. Dengannya sanak kerabat
disambung. Ilmu adalah teman akrab pada
saat sendirian. Ia adalah sahabat karib
pada saat kesepian. Ia adalah petunjuk
jalan pada saat makmur, dan pembela pada saat menderita. Ilmu adalah perdana menteri ketika berada
di tengah-tengah sahabat karib, dan orang dekat bagi orang-orang asing. Ilmu adalah menara jalan ke Surga. Dengannya Allah mengangkat kaum-kaum kemudian
Allah menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin dalam hal-hal yang baik dan
sebagai suritauladan bagi orang lain.
Mereka adalah petunjuk kepada kebaikan.
Jejak mereka dinapaktilasi.
Perbuatan-perbuatan mereka ditiru.
Para Malaikat ingin berduaan dengan mereka dan dengan sayap-sayap mereka
ingin melindungi mereka. Musim kemarau
dan hujan beristigfar untuk mereka hingga ikan-ikan di lautan, singa, binatang
buas didaratan, hewan ternak, langit, dan bintang-bintangnya. Ilmu adalah penghidup hati dari kebutaan,
cahaya bagi mata dari kegelapan, dan penguat badan dan hati dari kelemahan. Dengannya seorang hamba mencapai kedudukan
orang-orang mulia dan posisi tertinggi.
Memikirkan ilmu itu seimbang dengan puasa. Mengkajinya itu seimbang dengan qiyamul lail. Ilmu adalah Imam amal perbuatan dan amal
perbuatan adalah makmumnya. Ilmu
diberikan kepada orang-orang yang berbahagia dan diharamkan dari orang-orang yang celaka.”
91. TINGKATAN-TINGKATAN
PENCARI ILMU
Allah
Subhanahu
wa Ta’ala
berfirman (artinya),
“Dan
barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, dan para
shiddiqqiin, dan orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
(An-Nisa; 69).
Jadi
tingkatan yang paling mulia adalah tingkatan kenabian, dan tingkatan sesudahnya
ialah tingkatan kejujuran (shiddiq), dan sesudahnya ialah tingkatan mati syahid,dan
sesudahnya orang-orang yang shalih.
Maka
barang siapa mencari ilmu untuk menghidupkan Islam, ia termasuk orang-orang yang
jujur dan tingkatannya adalah setelah tingkatan para Nabi.
92. ILMU ADALAH KEBAIKAN DUNIA
Tentang
firman Allah Ta’ala (yang artinya),
”Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan didunia.” (Al-Baqarah; 201).
Al-Hasan
berkata, “Yang dimaksud dengan kebaikan di dunia ialah Ilmu.”
Tentang
firman Allah Ta’ala,
“Dan kebaikan di akhirat.”
(Al-Baqarah; 201).
Al-Hasan
berkata, “Yang dimaksud dengan kebaikan dia akhirat ialah Surga.”
Penafsiran
diatas adalah penafsiran yang paling tepat, karena kebaikan yang paling mulia
didunia adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.
93. ILMU ITU DENGAN BELAJAR
Ibnu
Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata,
“Hendaklah
kalian peduli kepada ilmu sebelum ilmu tersebut diangkat. Diangkatnya Ilmu ialah dengan kematian para 'ulama. Demi Dzat yang jiwaku berada di
dalam genggaman Tangan-Nya, pastilah orang-orang yang gugur di jalan Allah
sebagai syuhada’ itu menginginkan dibangkitkan Allah sebagai 'ulama karena
mereka melihat kemuliaan yang ada pada 'ulama.
Sesungguhnya manusia itu tidak dilahirkan sebagai orang berilmu, namun Ilmu itu dengan belajar.”
94. ANTARA ILMU DAN QIYAMUL LAIL
Ibnu
Abbas, dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhuma, serta sesudahnya Imam
Ahmad berkata,
“Mempelajari
ilmu beberapa malam lebih kami sukai daripada menghidupkan malam dengan qiyamul
lail.”
95. PEMBERIAN ALLAH KEPADA HAMBA-HAMBA-NYA
DARI KALANGAN ORANG BERILMU
Umar
bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata,
“Wahai
manusia, hendaklah kalian peduli kepada ilmu, karena sesungguhnya Allah
mempunyai pakaian yang disukai-Nya.
Barang siapa mencari salah satu bab Ilmu, Allah menutupinya dengan
pakaian-Nya. Jika ia mengerjakan dosa,
Allah menegurnya agar Dia tidak mencabut pakaian-Nya darinya, hingga ia
meninggal dunia tetap mengenakan pakaian tersebut.”
96. KEMATIAN ORANG BERILMU DAN KEMATIAN AHLI
IBADAH
Umar
bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata,
“Kematian
seribu ahli ibadah lebih enteng daripada kematian satu orang berilmu yang ahli
tentang hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan Allah.”
Penjelasan
ucapan Umar, bahwa orang berilmu dengan Ilmunya dan arahannya mampu
menghancurkan apa saja yang dibangun Iblis.
Sedang ahli ibadah, manfaatnya hanya terbatas pada dirinya.
97. SETIAP HARI ILMU HARUS BERTAMBAH
Salah
seorang dari generasi Salaf berkata, “Jika pada suatu hari ilmuku yang
mendekatkan diriku kepada Allah Ta’ala tidak bertambah, maka aku
tidak diberkahi pada hari itu sejak matahari terbit.”
Salah
seorang penyair berkata,
Jika hari berlalu sementara aku tidak bisa mendapatkan
apa-apa dari petunjuk.
Dan aku tidak mendapatkan Ilmu, maka hari tersebut bukan umurku.
98. BUAH IMAN ADALAH ILMU
Salah
seorang generasi Salaf berkata,
“Iman
itu telanjang. Pakaiannya adalah Taqwa,
perhiasannya adalah Sifat Malu, dan buahnya adalah Ilmu.”
99. ULAMA ADALAH MANUSIA SEJATI
Ibnu
Al-Mubarak pernah ditanya, “Siapakah yang dinamakan manusia itu?” Beliau menjawab, “Manusia sejati adalah para 'ulama.” Ditanyakan kepada beliau,
“Siapakah yang dinamakan para Raja yang sebenarnya?” Beliau menjawab, “Para Raja adalah
orang-orang Zahid (Zuhud).” Ditanyakan
lagi kepada Beliau, “Siapakah yang dinamakan orang-orang bodoh itu?” Ibnu Al-Mubarak menjawab, “Orang-orang bodoh
yaitu orang yang makan dengan Agamanya.”
...Bersambung ke; 129 BUAH ILMU (Bagian II)
...Bersambung ke; 129 BUAH ILMU (Bagian II)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar