Kamis, 02 Februari 2017

129 BUAH ILMU (Bagian I)




بسم الله الر حما ن الر حيم

Jika manusia tidak memiliki ilmu, maka yang tersisa hanyalah titik persamaan antara dirinya dengan seluruh hewan yang ada, yaitu sama-sama binatang.  Ia tidak lagi memiliki kelebihan atas binatang.  Bahkan, bisa jadi lebih buruk daripada binatang.  Mereka adalah orang-orang bodoh.  Demikian dinukil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an.  
(QS. Al-Anfal; 22-23).

Berikut  ringkasan kitab “BUAH ILMU” karya  Al-Imam, Al-'Allaamah IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH rahimahullah;

1.    KESAKSIAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA TERHADAP ORANG BERILMU
Hal ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang berilmu karena berbagai alasan, diantaranya, (QS. Ali-Imran 18);
Pertama, mereka yang diminta Allah Ta’ala untuk bersaksi terhadap keesaan-Nya adalah orang-orang berilmu, dan bukan kelompok manusia yang lain.
Kedua, Allah menggabungkan kesaksian orang-orang berilmu dengan kesaksian-Nya.
Ketiga, Allah menggabungkan kesaksian orang-orang berilmu dengan kesaksian para Malaikat-Nya.
Keempat, rekomendasi Allah terhadap kesucian orang-orang berilmu, dan keadilan mereka.
Kelima, Allah mensifati mereka sebagai orang-orang yang berilmu.  Ini menunjukkan, bahwa ilmu itu (hanya) diperuntukkan bagi mereka, dan bahwa mereka adalah pemilik ilmu, dan sahabat-sahabat ilmu.
Keenam, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat diri-Nya sebagai “Saksi Ter-Agung”, kemudian meminta makhluk-makhluk-Nya yang terbaik untuk bersaksi, yaitu para Malaikat dan orang-orang berilmu diantara hamba-hamba-Nya.  Ini sudah cukup dijadikan bukti tentang keutamaan orang-orang berilmu dan kemuliaan mereka.
Ketujuh, Allah Subhanahu wa Ta’ala meminta orang-orang berilmu bersaksi terhadap sesuatu yang paling agung untuk diberi persaksian, paling mulia dan paling besar, yaitu kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia saja.
Kedelapan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kesaksian orang-orang berilmu sebagai hujjah atas para pembangkang.  Orang-orang berilmu itu setara dengan dalil-dalil Allah, ayat-ayat-Nya, dan bukti-bukti yang menunjukkan tentang keEsaan-Nya.
Kesembilan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menunggalkan tindakan yang mengandung kesaksian dari-Nya, para Malaikat-Nya, dengan orang-orang berilmu.  Seolah-olah Allah bersaksi atas keEsaan diri-Nya dengan  mulut-mulut mereka dan membuat mereka mengucapkan kesaksian tersebut.
Kesepuluh, Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat orang-orang berilmu menunaikan hak-Nya atas hamba-hamba-Nya dengan kesaksian ini.  Jika mereka telah menunaikan hak Allah tersebut, otomatis mereka telah menunaikan hak Yang dipersaksikan, Allah.  Oleh karenanya semua manusia tanpa terkecuali wajib mengakui Allah Ta’ala.  Itulah puncak kebahagiaan mereka di dunia dan Akhirat.
Inilah karunia besar yang bobot nilainya tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah.

2.   TIDAKLAH SAMA ANTARA KEBODOHAN DENGAN ILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala menolak mensejajarkan orang-orang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu, sebagaimana Dia menolak mensejajarkan penghuni Surga dengan penghuni Neraka.  (QS. Az-Zumar; 9), (QS. Al-Hasyr; 20 ).

3.    ORANG BODOH ITU SEPERTI ORANG BUTA
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyamakan orang bodoh dengan orang buta yang tidak bisa melihat, (QS. Ar-Ra’du; 19).
Jadi, manusia itu hanya ada dua tipe; orang berilmu dan orang buta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa pada hakikatnya orang-orang bodoh adalah orang-orang yang tuli, bisu, dan buta.

4.   TERLIHATNYA KEBENARAN OLEH ORANG-ORANG BERILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang orang-orang berilmu, bahwa mereka melihat apa yang diturunkan Allah kepadanya sebagai sebuah kebenaran.  Ini sekaligus sanjungan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mereka, (QS. Saba; 6).

5.   AHLU ADZ-DZIKRI ADALAH ORANG-ORANG BERILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan manusia bertanya kepada orang-orang berilmu, merujuk kepada ucapan-ucapan mereka dan menjadikan hal tersebut sebagai kesaksian dari mereka. (QS. An-Nahl; 43).
Jadi ahlu adz-dzikri  adalah orang-orang yang mengetahui apa yang diturunkan Allah kepada para Nabi.

6.    KESAKSIAN ALLAH DENGAN ORANG-ORANG BERILMU DAN HUJJAH-NYA DENGAN MEREKA
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersaksi dengan orang-orang berilmu dan berhujjah dengan mereka, tentang kebenaran yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. (QS. Al-An’am; 114).

7.     KEIMANAN ORANG BERILMU
ALLAH Subhanahu wa Ta’ala menghibur Nabi-Nya agar tidak sedih disebabkan banyaknya orang-orang yang tidak beriman kepada Beliau, sebab orang berilmu akan senantiasa beriman kepadanya.  Allah juga memerintahkan Beliau tidak terpengaruh dengan reaksi orang-orang bodoh terhadap Beliau. (QS. Al-Isra’; 106-108).

8.    ALKITAB ADALAH AYAT-AYAT YANG MENERANGKAN DI DADA ORANG-ORANG BERILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang berilmu, menyanjung mereka, dan memuliakan mereka dengan menjadikan kitab-Nya sebagai ayat-ayat yang menerangkan di dalam dada mereka.  Keistimewaan ini khusus diperuntukkan bagi mereka, dan tidak diberikan kepada orang-orang selain mereka. (QS. Al-Ankabut; 47-48).

9.    MEMINTA TAMBAHAN ILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya meminta tambahan ilmu kepada-Nya.  Cukuplah kemuliaan ilmu bahwa Allah memerintahkan Nabi-Nya meminta tambahan ilmu kepada-Nya.  (QS. Thaha; 114).

10.    KETINGGIAN DERAJAT ORANG-ORANG BERILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang ketinggian derajat orang-orang berilmu dan beriman secara khusus. (Al-Mujadillah; 11), (Al-Anfal; 2-3), (Thoha; 75), (An-Nisa; 95-96).  Keempat ayat diatas, tiga ayat diantaranya menjelaskan tentang ketinggian derajat orang-orang beriman.  Iman adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.  Ayat keempat menjelaskan tentang ketinggian derajat para pejuang di jalan Allah.  Jadi ketinggian derajat itu disebabkan karena ilmu dan jihad dan keduanya (ilmu dan jihad) adalah pilar agama Islam.

11.   BERHUJJAH DENGAN UCAPAN ORANG-ORANG BERILMU PADA HARI KIAMAT
Pada hari kiamat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berhujjah dengan ucapan-ucapan orang-orang berilmu dan beriman dalam membongkar ketidak-benaran pendapat orang-orang kafir. (QS. Thoha; 55-56).

12.    ORANG-ORANG BERILMU ADALAH ORANG-ORANG YANG TAKUT KEPADA ALLAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa orang-orang berilmu adalah orang-orang yang takut kepada-Nya, bahkan Allah mengkhususkan sifat takut kepada-Nya ini hanya bagi mereka saja. (QS. Fathir; 28), (QS. Al-Bayyinah; 8).

13.    ORANG-ORANG BERILMU ITU BISA MENGAMBIL MANFAAT DARI PERUMPAMAAN- PERUMPAMAAN YANG DIBUAT ALLAH
Hanya orang-orang berilmu yang mampu memahami perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.  (QS. Al-Ankabut; 43)
Di dalam Al-quran terdapat empat puluhan lebih perumpamaan.
Salah seorang dari generasi Salaf jika membaca perumpamaan yang tidak bisa dipahaminya, ia menangis dan berkata, “Aku bukan termasuk orang-orang berilmu”.

14.    KETINGGIAN DERAJAT ITU DENGAN ILMU HUJJAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan keistimewaan dan ketinggian derajat Nabi Ibrahim dengan ilmu hujjah-hujjah (QS. Al-An’am; 83).

15.    ILMU (PENGETAHUAN) MANUSIA TENTANG TUHANNYA
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhluk, dan meletakkan rumah-Nya yang suci, bulan suci, hewan sembelihan, dan anting-anting agar hamba-hamba-Nya mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.  (QS. Ath-Thalaq; 8).
Ini menunjukkan bahwa pengetahuan manusia tentang Tuhan mereka, Sifat-sifat-Nya, dan beribadah kepada-Nya adalah tujuan riil dari penciptaan dan perintah.

16.    KEBAHAGIAAN ORANG-ORANG BERILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang berilmu agar mereka berbahagia dengan karunia dan rahmat Allah.  (QS. Yunus; 58).
Ada yang menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan Karunia adalah Iman, dan Rahmat-Nya adalah Al-quran.  Keduanya (ilmu yang bermanfaat dan amal shalih) merupakan ilmu yang paling baik dan amal yang paling baik (bermanfaat).

17.    HIKMAH ADALAH ILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersaksi terhadap orang yang diberi-Nya ilmu, bahwa Dia telah memberikan kebaikan yang sangat banyak.  (QS. Al-Baqarah; 269).
Ibnu Qutaibah dan jumhur ulama berkata, “Hikmah adalah mendapatkan kebenaran dan mengamalkannya.”  Dengan kata lain hikmah adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.

18.    ILMU ADALAH NIKMAT ALLAH YANG PALING MULIA
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkalkulasikan nikmat-nikmat-Nya dan karunianya kepada Rasul-Nya, dan menjelaskan bahwa sesuatu yang paling mulia yang Dia berikan kepadanya adalah Al-Quran, Hikmah, dan mengajarinya apa yang belum diketahuinya.  (QS. An-Nisa; 113).

19.    NIKMAT ITU HARUS DISYUKURI
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman akan nikmat-nikmat-Nya, memerintahkan mereka mensyukurinya, dan ingat kepada-Nya yang telah berbuat baik kepada mereka.  (QS. Albaqarah; 151).

20.   ILMU ADALAH KARUNIA ALLAH
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan Adam, dan mengajarkan nama-nama segala sesuatu kepada Adam, Allah memerintahkan para Malaikat bersujud kepada Adam.  Iblis menolak sujud kepadanya, oleh karena itu ia dikutuk dan diusir dari langit.
Ini menunjukkan bahwa ilmu adalah sesuatu yang amat mulia pada diri manusia, dan bahwa keutamaan dan kemuliaan dirinya ialah dengan ilmu.  Juga menunjukkan , bahwa tampilan ilmu pada anak keturunan Adam itu lebih menawan, dan lebih indah daripada tampilan fisik, kendati tampilan fisik itu paling indah sedunia, (QS. Al-Baqarah; 30-33).

21.   ALLAH MENCELA ORANG BODOH
Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang bodoh dalam banyak ayat di dalam kitab-Nya.  (Al-An’am; 37), (Al-An’am; 111), (Al-Furqan; 44), (Al-Anfal; 22), (Al-An’am; 35), (Al-Baqarah; 67), (Huud ; 46), (Al-Isra; 45-46), (Al;-A’raaf; 199), (Al-Qashas; 55), (Al-Furqan; 63).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa orang bodoh lebih buruk daripada makhluk yang paling buruk disisi-Nya yaitu keledai, binatang-binatang buas, anjing, belalang dan binatang-binatang yang lain.  Tidak ada yang lebih membahayakan dalam Agama para Rasul selain dari orang-orang bodoh, bahkan mereka adalah musuh-musuh utama Agama para Rasul.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan hukuman-Nya kepada musuh-musuh-Nya, bahwa dia menghalangi mereka dari mengetahui kitab-Nya, mengenalinya, dan memahaminya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyanjung hamba-hamba-Nya, karena mereka pergi dari orang-orang bodoh, dan tidak bergaul dengan mereka.
Semua ayat di atas menunjukkan sisi negatip kebodohan, kebencian Allah kepada kebodohan dan orang-orang bodoh.  Selain itu, kebodohan juga dibenci manusia, buktinya semua orang berlepas tangan dari kebodohan, dan orang-orang bodoh.

22.   ILMU ADALAH KEHIDUPAN DAN CAHAYA
Sesungguhnya ilmu adalah kehidupan dan cahaya, sedang kebodohan adalah kematian dan kegelapan.  Semua kejahatan dan keburukan penyebabnya ialah tidak adanya kehidupan dan cahaya, dan semua kebaikan penyebabnya adalah cahaya dan kehidupan.
Cahaya itu membongkar hakikat segala sesuatu, dan menjelaskan peringkat-peringkatnya.  Sedang kehidupan, ia adalah pembimbing kepada sifat-sifat kesempurnaan, dan mengharuskan terbentuknya perkataan dan tindakan yang tepat.  Jadi, apa saja yang didasari oleh kehidupan, maka semuanya baik. Misalnya rasa malu, penyebabnya adalah kesempurnaan kehidupan hati, dan pengetahuannya terhadap hakikat keburukan.  Kebalikan dari malu yaitu seronok yang penyebabnya ialah kematian hati, dan tidak adanya kebencian terhadap keburukan.  Sifat malu adalah ibarat hujan yang dengannya segala sesuatu menjadi hidup, (QS. Al-An’am; 122)
Tadinya hatinya mati dengan kebodohan, kemudian Allah Ta’ala menghidupkannya dengan ilmu dan menjadikan keimanannya sebagai cahaya yang ia berjalan di tengah-tengah manusia.
Ilmu adalah ruh yang dengannya terwujud kehidupan dan cahaya, yang dengannya pencahayaan terjadi.  Jadi Allah Ta’ala menyatukan dua hal yang sangat prinsipil, yaitu kehidupan dan cahaya, (Al-Hadid; 28-29), (Al-Baqarah; 257), (Asy-Syura; 52).
Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat perumpamaan tentang cahaya-Nya yang Dia masukkan kedalam hati orang beriman, (Al-Maidah; 15-16), (At-Taghabun; 8), (An-Nisa; 174), (At-Thalaq; 10-11), (An-Nur; 35).  Seperti dikatakan Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘Anhu,  “Perumpamaan cahaya Allah dalam hati hamba-Nya yang beriman adalah seperti cahaya Al-Quran, dan iman yang diberikan Allah kepadanya.  “Sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala  pada ayat diatas, “Cahaya di atas cahaya” Artinya cahaya iman di atas cahaya Al-Quran, seperti dikatakan sebagian orang Salaf, “Nyaris orang mukmin itu mengatakan hikmah kendati ia tidak mendengar atsar (hadits) di dalamnya.  Jika ia mendengar ada atsar didalamnya, itulah cahaya di atas cahaya”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan secara bersamaan kedua cahaya diatas ;  Al-Kitab (Al-Quran) dan Iman dalam banyak ayat seperti (Asy-Syura;52) atau (Yunus; 58).
Karunia Allah adalah iman dan rahmat-Nya adalah Al-Quran.
Atau seperti fiman Allah Ta’ala dalam surat Al-An’am; 122.
Allah Ta’ala berfirman di surat An-Nuur, “Cahaya di atas cahaya”, yaitu cahaya Al-Quran diatas cahaya iman.
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu  berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa ssallam bercerita kepada kami, bahwa amanah itu turun kedalam kalbu manusia, kemudian turunlah Al-Quran.  Merekapun mengetahui banyak hal dari iman kemudian mengetahui banyak hal dari Al-Quran (HR. Al-Bukhari-Muslim).
Al-Quran dan iman adalah cahaya yang dimasukkan Allah Ta’ala kedalam hati siapa pun yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, bahwa keduanya merupakan akar semua kebaikan di dunia dan Akhirat, dan bahwa pengetahuan tentang keduanya merupakan pengetahuan yang paling Agung, bahkan pada dasarnya tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya kecuali ilmu tentang Al-Quran dan Iman, (QS. Al-Baqarah; 213).

23.   ANJING TERLATIH LEBIH BAIK DARIPADA ANJING BODOH
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkategorikan hasil buruan anjing bodoh sebagai bangkai yang haram dimakan dan membolehkan memakan hasil buruan anjing terlatih.  Ini menunjukkan kemuliaan dan keagungan ilmu, (QS. Al-Maidah; 4).
Jika tidak ada kemulian dan keistimewaan ilmu, maka antara anjing terlatih dan anjing yang  bodoh tidak ada perbedaan sama sekali.

24. PERJALANAN SEORANG NABI DALAM RANGKA MENCARI ILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang manusia pilihan-Nya yang Dia beri kitab Taurat yang Dia tulis dengan Tangan-Nya, dan pernah berdialog dengan-Nya, bahwa ia pergi kepada orang berilmu guna menimba ilmu padanya dan menambah ilmunya, (QS. Al-Kahfi; 60).
Cukuplah hal ini sebagai bukti keutamaan dan kemuliaan ilmu, karena Nabi Allah Musa ‘alaihissalam berjalan hingga kelelahan guna mengetahui tiga permasalahan dari orang berilmu tersebut.
Pada kisah Nabi Musa dan Khidhir di atas terdapat banyak ibrah, ayat-ayat, dan hikmah-hikmah yang tidak bisa dijelaskan dengan panjang lebar dalam pembahasan ini.

25.  KEUTAMAAN MENDALAMI ILMU
Pada surat At-Taubah; 122, Allah memerintahkan orang-orang beriman agar mendalami Agamanya dengan mempelajarinya, dan memperingatkan kaumnya jika mereka telah kembali pada mereka dengan mengajarkan ilmunya kepada mereka.

26.  KEBAIKAN DUA KEKUATAN; ILMU DAN PENGAMALAN
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-'Ashr; 1-3 yang dijelaskan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i, “Jika seluruh manusia memikirkan surat Al-'Ashr ini, maka surat tersebut sudah cukup untuk mereka.”
Penjelasan surat di atas, bahwa sifat mulia itu ada empat, dan dengan memiliki keempat sifat tersebut seseorang mendapatkan puncak kesempurnaan.  Keempat sifat mulia tersebut adalah;
Pertama, mengetahui kebenaran.
Kedua,  mengamalkannya.
Ketiga, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya.
Keempat, bersabar pada saat mempelajarinya, mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.     
Inilah puncak kesempurnaan.  Sesungguhnya kesempurnaan itu hendaklah seseorang mampu mencapai kesempurnaan untuk dirinya dan mampu menyempurnakan orang lain.  Kesempurnaan dirinya ialah dengan memperbaiki kedua kekuatannya; kekuatan ilmu dan kekuatan pengamalan.  Kekuatan ilmu adalah dengan beriman dan kekuatan pengamalan dengan mengerjakan amal shalih, menyempurnakan orang lain, mengajarkannya kepadanya, bersabar terhadapnya, dan menasihatinya agar bersabar terhadap ilmu dan pengamalannya.

27.  ILMU SETELAH KEBODOHAN ADALAH NIKMAT
Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan karunia-Nya kepada Nabi-Nabi-Nya, Rasul-Rasul-Nya, wali-wali-Nya, dan hamba-hamba-Nya berupa ilmu yang Dia berikan kepada mereka, (An-Nisa; 113), (yusuf; 22), (Al-Qashas; 14), (Al-Maidah; 110), (Ali Imran; 48), (Shad; 20), (Al-Kahfi; 65), (Al-Ambiya; 78-79), (Al-An’am; 91), (Ali Imran; 164), (Al-Jumu’ah; 2-4).
Pada ayat-ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan, bahwa Dia memberi nikmat kepada manusia dengan mengajari mereka setelah mereka sebelumnya bodoh, dan memberi mereka petunjuk setelah sebelumnya mereka berada dalam kesesatan.  Duhai, nikmat yang mengungguli semua nikmat yang ada! Betapa tingginya nilai nikmat (Ilmu) tersebut hingga tidak bisa dihargai dengan uang oleh manusia.

28.  SURAT AL-QURAN YANG PERTAMA KALI TURUN MENUNJUKKAN TENTANG KEUTAMAAN ILMU
Surat yang pertama kali diturunkan Allah Ta’ala di dalam Al-Quran ialah surat Al-Qalam.  Di dalamnya Allah Ta’ala menyebutkan apa saja yang telah Dia anugerahkan kepada manusia seperti nikmat pengajaran apa yang tidak mereka ketahui.  Allah Ta’ala menyebutkan di dalamnya karunia-Nya yaitu pengajaran-Nya, dan mengutamakan manusia dengan pengajaran yang Dia berikan kepada mereka.  Ini menjadi bukti kemuliaan ilmu dan pengajaran, (QS. Al-‘Alaq; 1-5).

29.  KEKUASAAN ILMU
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hujjah ilmiah sebagai kekuasaan.  Ibnu Abbas radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Semua kekuasaan di dalam Al-Quran adalah hujjah”, (Yunus; 68), (An-Najm; 23), (Ash-Shaffat; 156), (Al-Haqqah; 28-29).
Maksud dari ini semua ialah menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan ilmu hujjah sebagai kekuasaan, karena hujjah menuntut dominasi pemiliknya dan kemampuannya.  Dengan hujjah tersebut , ia mempunyai kekuasaan terhadap orang-orang bodoh.  Bahkan sesungguhnya kekuasan ilmu itu lebih kuat daripada kekuasaan tangan.  Oleh karena itu manusia bisa ditaklukkan dengan hujjah dan tidak dengan tangan, karena hati tunduk kepada hujjah, sedang tangan menundukkan badan.  Hujjah itu mengendalikan, mengemudikan hati dan mengalahkan semua penentang.  Jika muncul pembangkangan dan kesombongan, maka hatinya tetap tunduk kepada hujjah dalam keadaan hina dan kalah dibawah kekuasaan hujjah.  Bahkan kekuasaan jabatan, jika tidak didukung dengan ilmu yang mengendalikannya, maka kekuasaan tersebut tak ubahnya seperti kekuasaan binatang buas, singa, dan lain sebagainya.  Itulah kekuasaan tanpa ilmu dan kasih sayang di dalamnya.  Berbeda dengan kekuasaan hujjah, ia adalah kekuasaan yang didukung ilmu, kasih sayang dan hikmah.  Barang siapa tidak mempunyai kekuasaan dengan ilmunya, itu dikarenakan lemahnya hujjah dan kekuasaannya atau dominasi tangan dan pedang atas dirinya.  Sesungguhnya hujjah itu menolong diri pemiliknya dalam mengalahkan kebathilan.

30.  KEBODOHAN TERMASUK SIFAT PENGHUNI NERAKA
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa di antara sifat penghuni Neraka adalah bodoh, dan bahwa Dia menutup pintu-pintu ilmu bagi mereka, (Al-Mulk; 10-11)
Mereka mengakui bahwa ketika mereka di dunia mereka tidak mau mendengar dan tidak berpikir.
Pendengaran dan berpikir ialah landasan ilmu dan dengan keduanya ilmu didapatkan, (Al-A’raaf; 179).  Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’la menjelaskan bahwa mereka tidak mendapatkan ilmu dari salah satu tiga sumber ilmu, yaitu akal, pendengaran dan penglihatan, (Al-Baqarah; 18), (Al-Hajj; 46), (Al-Ahqaf; 26).
Pada ayat diatas Allah Subhanahu wa Ta’ala melukiskan orang-orang yang celaka itu tidak memiliki ilmu.  Selain itu, Allah Suhanahu wa Ta’ala menyerupakan mereka terkadang dengan binatang ternak, terkadang dengan keledai yang mengangkut muatan, terkadang menjadikan mereka lebih sesat daripada binatang ternak, terkadang menjadikan mereka sebagai makhluk yang paling buruk disisi-Nya, terkadang menjadikan mereka sebagai orang-orang mati yang tidak hidup, terkadang menjelaskan bahwa mereka berada dalam kegelapan kebodohan dan kesesatan, terkadang menjelaskan bahwa di hati mereka terdapat penyakit, di telinga mereka terdapat sumbatan / penutup dan di mata mereka terdapat penghalang.
Ini menunjukkan keburukan kebodohan, kecaman untuk orang-orang bodoh, dan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mereka.  Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai orang-orang berilmu, memuji mereka, dan menyanjung mereka seperti telah dijelaskan pada halaman sebelumnya.
Allah-lah tempat meminta pertolongan.

31.  MENGETAHUI AGAMA TERMASUK TANDA-TANDA KEBAIKAN
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Muawiyah radhiyallahu ‘anhu yang berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
         “Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah membuatnya memahami Agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ini menunjukkan, bahwa barangsiapa tidak dikondisikan Allah Ta’ala mengerti Agama, berarti Allah tidak menghendaki kebaikan baginya.

32.  ILMU ITU SEPERTI HUJAN
Disebutkan dalam hadits Shahih Al-Bukhari dan Muslim sebuah hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu yang bermakna;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengumpamakan ilmu dan petunjuk yang Beliau bawa seperti hujan, karena masing-masing dari ketiganya (ilmu, petunjuk dan hujan) mendatangkan kehidupan, makanan, obat-obatan, dan seluruh kebutuhan manusia yang lain.  Semua itu bisa didapatkan dengan ilmu dan hujan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengelompokkan manusia kedalam tiga kelompok sesuai dengan penerimaan mereka, dan kesiapan mereka menghapal ilmu, memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya dan manfaat-manfaatnya;
Pertama, orang yang mampu menghapal ilmu dan memahaminya.  Mereka memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, dan manfaat-manfaatnya.  Mereka seperti tanah yang menerima air kemudian menumbuhkan rumput yang banyak.  Pemahamannya terhadap Agama, dan istimbath ("pengambilan") hukum adalah seperti tumbuhnya rumput dengan air. Kelompok ini disebut Kelompok Pemenang yang didekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua, orang yang mampu menghapal ilmu, menjaganya, menyebarkannya, dan mengendalikannya, namun tidak mampu memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan manfaat-manfaat dari ilmu tersebut.  Mereka seperti orang yang mampu membaca Al-Quran, menghapalnya, memperhatikan makharijul huruf (tempat keluarnya huruf), dan harakatnya, namun tidak dianugerahi pemahaman khusus oleh Allah, seperti dikatakan Ali Radhiyallahu Anhu, “Kecuali pemahaman yang diberikan Allah kepada hamba-Nya di dalam kitab-Nya.” Kelompok ini disebut Kelompok Pertengahan, termasuk kelompok orang-orang yang berbahagia.
Tingkat pemahaman manusia tentang Allah Ta’ala, dan Rasul-Nya itu tidaklah sama.  Terkadang ada orang cuma mampu memahami satu atau dua hukum dari satu dalil, sedang orang lain mampu memahami seratus atau duaratus hukum dari dalil yang sama.
                Ketiga, orang-orang yang tidak mendapatkan sedikitpun ilmu, baik hapalan atau pemahaman, atau periwayatan.  Mereka seperti tanah lembab yang tidak bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan menahan (menyimpan) air. Mereka adalah kelompok orang-orang celaka.  Mereka lebih brengsek daripada binatang ternak dan mereka itulah bahan bakar Neraka.
Allah Suhanahu wa Ta’ala membuat perumpamaan berupa air, karena air memberi kehidupan, mendinginkan (menyegarkan), dan mengandung manfaat-manfaat yang banyak sekali.  Allah Ta’ala juga membuat perumpamaan berupa api, karena api mengandung cahaya, dan membakar apa saja yang tidak bermanfaat.  Jadi ayat-ayat Al-Quran itu menghidupkan hati sebagaimana tanah dihidupkan dengan air.  Ayat-ayat Al-Quran juga membakar kotoran-kotoran hati, syubhat-syubhatnya (kebatihlan yang berkedok kebenaran), syahwat-syahwatnya, dan dendam kesumatnya sebagaimana api membakar apa saja yang dimasukkan ke dalamnya.  Selain itu, ayat-ayat Al-Quran juga membedakan mana yang baik dari yang buruk sebagaimana api membedakan mana yang buruk dan mana yang baik yang ada pada emas, perak, tembaga, dan lain sebagainya, (Ar-Ra’du; 17).
Inilah sebagian ibrah dan ilmu yang ada dalam perumpamaan yang agung di atas.  Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al-Ankabut; 43).

33.  PETUNJUK ILMU ADALAH PETUNJUK YANG PALING AGUNG
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu,
                      “Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang karena perantaraanmu, maka itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR.  Al-Bukhari-Muslim).
Hadits di atas menunjukkan kelebihan ilmu, dan pengajarannya, dan pelakunya.  Artinya, jika seseorang mendapatkan petunjuk melalui orang berilmu, maka itu lebih baik bagi orang berilmu daripada unta merah yang amat mahal harganya bagi pemiliknya.  Kemudian, apa komentar anda jika pada setiap hari banyak sekali manusia mendapatkan petunjuk melalui dirinya?

34.  DAKWAH KEPADA SUNNAH
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
           “Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, maka ia mendapat pahala sebesar pahala orang yang mengikutinya dan itu tidak mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka.  Dan barang siapa  mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa sebesar dosa orang yang mengikutinya dan itu tidak mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim).
Ini adalah prinsip mulia sebagaimana disebutkan di banyak buku selain buku ini.  Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam (An-Nahl; 25) dan (Al-Ankabut; 13) menunjukkan bahwa, orang yang mengajak ummat kepada selain Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, maka ia musuh bebuyutan Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam, karena ia memotong tibanya pahala orang yang mendapat petunjuk Sunnahnya kepada Beliau.  Ini jelas permusuhan yang paling besar kepada Beliau.  Kita berlindung diri kepada Allah Ta’ala dari kehinaan seperti ini.

35.  IRI KEPADA ILMU
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya;
           “Tidak boleh iri hati kecuali kepada dua orang; orang yang diberi Allah harta - kemudian ia menggunakannya di jalan kebenaran, dan orang yang diberi Allah hikmah kemudian ia memutuskan (perkara) dengannya dan mengajarkannya.” (HR.  Muslim).

36.  KELEBIHAN ORANG BERILMU ATAS AHLI IBADAH
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya;
            “Kelebihan orang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti kelebihanku atas kalian.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda lagi,
            “Sesungguhnya Allah, para Malaikat-Nya, penghuni langit, penghuni bumi, hingga semut di liangnya, dan hingga ikan paus di laut pasti mendoakan orang-orang yang mengajarkan  kebaikan kepada manusia.” (HR.  At-Tirmidzi).
At-Tirmidzi berkata, “Hadits di atas hadits hasan gharib, Aku mendengar Abu Ammar Al-Husain bin Huraits Al-Khuzai berkata, bahwa aku mendengar Fudhail bin Iyadh berkata,”Orang berilmu yang mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya dipanggil sebagai Orang Besar di kerajaan langit”.
Pengajaran kebaikan kepada manusia adalah penyebab keselamatan mereka, kebahagiaan mereka, dan kebersihan jiwa mereka, maka Allah membalasnya sesuai dengan amal perbuatannya dengan memberikan padanya doa-Nya, doa para Malaikat, dan doa penghuni bumi yang menjadi penyebab keselamatannya, kebahagiaannya, dan keberuntungannya.

37.  KERIDHAAN PARA MALAIKAT KEPADA PENCARI ILMU
Abu Daud dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu yang berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
          “Barang siapa melewati salah satu jalan dengan tujuan mencari ilmu, maka Allah membuka dengannya jalan menuju Surga, dan sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya  karena ridha kepada pencari ilmu.  Sesungguhnya orang berilmu itu dimintakan ampunan oleh siapa saja yang ada di langit, siapa saja yang ada di bumi, hingga ikan-ikan di laut.  Kelebihan orang berilmu atas orang beribadah adalah seperti kelebihan bulan atas seluruh bintang.  Sesungguhnya para ulama adalah pewaris Nabi-Nabi.  Sesungguhnya para Nabi tidak  mewariskan dinar, dan tidak pula dirham, namun mereka mewariskan ilmu.  Maka barang siapa mendapatkannya, sungguh ia mendapatkan keberuntungan yang besar.”  (HR.  Abu Daud dan Tirmidzi).
Para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya kepada orang berilmu -adalah salah satu bentuk tawadhu, penghormatan,dan penghargaan para Malaikat kepadanya, karena ia membawa warisan para Nabi dan mencarinya.  Ini sekaligus menunjukkan kecintaan dan penghormatan para Malaikat kepada orang berilmu, dan di antara bentuk kecintaan dan penghormatan mereka kepada orang berilmu, bahwa mereka meletakkan sayap-sayapnya kepada orang berilmu, karena ia sedang mencari apa yang di dalamnya terdapat kehidupan dunia dan keselamatannya.
Jika ada yang berkata, “Kenapa orang berilmu kok diumpamakan dengan bulan dan bukan dengan matahari, padahal sinar matahari itu lebih besar?”
Jawabannya, ada dua hikmah dalam hal ini;
Pertama, karena cahaya bulan berasal dari cahaya matahari, maka perumpamaan orang berilmu seperti bulan yang cahayanya berasal dari "matahari risalah" adalah lebih tepat daripada kalau dia diumpamakan dengan matahari.
Kedua,  sesungguhnya cahaya matahari itu tidak berubah-ubah.  Sedang cahaya bulan dia bisa banyak dan sedikit, penuh dan berkurang.  Kualitas ilmu antara orang-orang berilmu itu berbeda-beda.  Diantara mereka ada orang yang tak ubahnya seperti bulan saat purnama, ada yang seperti bulan  pada tanggal tiga belas atau dua belas, dan lain sebagainya.  Mereka bertingkat-tingkat di sisi Allah.
Adapun perumpamaan orang-orang berilmu seperti bintang, sesungguhnya bintang-bintang itu bisa dijadikan sebagai penunjuk jalan ditengah kegelapan daratan dan lautan.  Orang-orang berilmu juga begitu.  Jika bintang-bintang adalah perhiasan langit, maka orang-orang berilmu adalah perhiasan bumi.  Bintang-bintang adalah panah api untuk Syaithan dan penghalang mereka mencuri wahyu agar tidak mengotori wahyu yang sampai kepada para Rasul dari Allah melalui para Malaikat.  Orang-orang berilmu juga begitu, mereka adalah panah api bagi syaithan-syaithan manusia dan jin, yang membuat kata-kata yang indah untuk menipu.
Tanpa orang-orang berilmu pasti petunjuk-petunjuk agama akan redup akibat distorsi para penyesat.  Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memposisikan orang-orang berilmu sebagai pengawal, penjaga agama-Nya, dan panah api bagi musuh-musuh-Nya dan musuh-musuh Rasul-Nya.

38.  KETAKUTAN SYAITHAN KEPADA ORANG BERILMU
“Satu orang berilmu lebih ditakuti syaithan daripada seribu ahli ibadah.” (HR.  At-Tirmidzi).
At-Tirmidzi berkata, “Hadits di atas adalah hadits gharib.  Kami tidak mengenalnya kecuali dari jalur ini yaitu Al-Walid bin Muslim.”
Namun maknanya benar, bahwa orang berilmu itu merusak apa yang diupayakan dan dibangun syaithan (dari kalangan Jin maupun Manusia).  Setiap kali syaithan ingin menghidupkan bid’ah dan mematikan Sunnah, maka orang berilmu berdiri menghadangnya.  Tidak ada yang paling ditakuti Syaithan selain keberadaan orang berilmu di tengah-tengah ummat, dan tidak ada yang paling disukainya selain dari tidak adanya orang berilmu di antara mereka, agar mereka bisa  leluasa merusak Agama dan menyesatkan ummat.  Adapun ahli ibadah, maka tujuan besarnya ialah ia bisa menyelamatkan dirinya saja dari Syaithan.  Duhai, betapa jauhnya perbedaan orang berilmu dengan ahli ibadah!

39.  PEMILIK ILMU DIKECUALIKAN DARI KUTUKAN
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);
           “Dunia itu terkutuk, dan terkutuk apa saja yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan apa saja yang mendukungnya, orang berilmu, dan orang-orang yang belajar ilmu. ” (HR.  Tirmidzi, At-Tirmidzi berkata, hadits ini hasan).
Karena dunia itu hina disisi Allah, dan tak sebanding dengan sayap nyamuk disisi-Nya, maka dunia tersebut dan apa saja yang ada di dalamnya sangat jauh dari-Nya.  Inilah esensi kutukan.  Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan dunia sebagai ladang untuk Akhirat, jembatan kepadanya, dan tempat berbekal diri hamba-hamba Allah.  Allah tidak mendekatkan kepada-Nya kecuali apa yang mengandung dzikir kepada-Nya, dan mengantarkan kepada cinta-Nya yaitu Ilmu yang dengannya Allah dikenal, disembah, diingat, disanjung, dan diagungkan.  Untuk tujuan inilah, Allah menciptakan dunia dan menciptakan penghuninya, seperti difirmankan Allah Ta’ala (artinya),
            “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat; 56).
Allah Ta’ala juga berfirman,
            “Allah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.  Perintah Allah berlaku padanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq; 12).
Kedua ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah Ta’ala menciptakan langit, bumi, dan apa saja yang ada di antara keduanya agar Dia dikenal dengan Nama-nama-Nya, dan Sifat-sifat-Nya, serta Dia disembah.
Inilah dan apa saja yang mengantarkan kepada Allah seperti ilmu dan pengajarannya, maka ia dikecualikan dari kutukan, dan kutukan terjadi pada selain ilmu dan pengajarannya sebab selain ini (selain ilmu) jauh dari Allah, cinta-Nya dan Agama-Nya.

40.  MENCARI ILMU ITU MERUPAKAN JALAN KE SURGA
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
           “Barangsiapa melewati jalan dimana di dalamnya ia mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju Surga.”  (HR.  Muslim).
Dalil-dalil syar’i dan takdir menegaskan bahwa balasan itu sesuai dengan amal perbuatan.  Maka sebagaimana ia menempuh jalan yang di dalamnya ia mencari kehidupan hatinya dan keselamatannya dari kebinasaan, maka Allah membuatnya berjalan di atas jalan yang mengantarkannya kepada tujuannya.

41.  ORANG BERILMU ITU DIDO'AKAN NABI  SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
At-Tirmidzi dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda,
            “Allah membuat berseri-seri orang yang mendengar Sabdaku kemudian memahaminya, menghapalnya, dan menyampaikannya.  Bisa jadi pembawa ilmu itu pergi kepada orang yang lebih pandai darinya.  Tiga hal yang tidak membuat dengki hati seorang muslim mengikhlaskan amal perbuatan karena Allah, menasihati pemimpin-pemimpin kaum muslimin, dan komitmen di dalam jama'ah mereka.  Sesungguhnya do'a mereka meliputi dari belakang mereka.” (HR. At-Tirmidzi).

Tingkatan-tingkatan ilmu;
Tingkatan pertama dan kedua, tingkatan pendengaran dan pemahaman.  Jika ia mendengar sabda Rasulullahu shallallahu 'alaihi wa sallam, ia memahaminya dengan hatinya.  Artinya ia memikirkannya dan berada di dalam hatinya sebagaimana menetapnya sesuatu jika telah ditempatkan pada tempatnya, dan ia tidak keluar daripadanya.  Begitu pula akalnya, ia adalah seperti tali kekang unta hingga ia tidak lari tak karuan, tidak liar.  Tempat dan akal itu tidak mempunyai fungsi lain selain untuk mengetahui sesuatu.
Tingkatan ketiga, komitmen untuk menghapal ilmu agar ilmu tidak hilang.
Tingkatan keempat, menyampaikan ilmu dan menyebarkannya kepada ummat agar ilmu membuahkan hasilnya, yaitu tersebar luas di tengah-tengah ummat.  Ilmu itu tak ubahnya seperti harta yang disimpan di dalam perut bumi yang jika tidak dibelanjakan, maka ia terancam musnah.  Ilmu jika ia tidak diinfakkan dan  tidak diajarkan, maka terancam musnah.  Jika ia diinfakkan - ia berkembang dan tumbuh.
Barang siapa melakukan keempat tingkatan di atas, maka ia masuk dalam doa Nabi yang mencakup keindahan pisik dan psikis.  Sesungguhnya kecerahan adalah hasil pengaruh iman, kebahagiaan bathin, kegembiraan hati, dan kesenangannya, kemudian hal tersebut menampakkan kecerahan, kebahagiaan, kegembiraan, dan berseri-seri di wajah.  Oleh karena itu, Allah menggabungkan kebahagiaan dan kecerahan seperti terlihat dalam firman-Nya (yang artinya),
           “Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. (Al-Insan; 11).
Kenikmatan dan kebahagiaan hati membuat wajah mereka cerah dan berseri-seri
  seperti difirmankan Allah Ta’ala,
           “Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.” (Al-Mutaffifin; 24)
Jadi kecerahan dan berseri-seri di wajah orang yang mendengar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, memahaminya, menghapalnya dan menyampaikannya adalah hasil dari kemanisan, kecerahan, dan kebahagiaan yang ada di dalam hati dan jiwanya.

42.  PERINTAH NABI UNTUK MENYAMPAIKAN ILMU
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan penyampaian ilmu yang berasal dari Beliau.  Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
           “Sampaikan dariku meski cuma satu ayat.  Berceritalah dari Bani Israil karena itu tidak ada salahnya.  Dan barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menduduki kursinya di Neraka.” (HR.  Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
           “Hendaklah orang yang hadir menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir.” (HR.  Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan penyampaian apa saja yang berasal dari Beliau karena dengan penyampaian tersebut petunjuk didapat, kemudian Beliau mendapatkan pahala orang yang menyampaikan ilmu dari Beliau, dan pahala orang yang menerima ilmu tersebut.
Semakin banyak penyampaiaan ilmu akan semakin meningkat pula pahala Beliau.  Beliau mendapatkan pahala sejumlah orang yang menyampaikan ilmu dari Beliau dan sejumlah orang yang mendapatkan petunjuk dari penyampaian ilmu tersebut (Karena Beliau adalah Da'i yang pertama) selain amal perbuatan yang Beliau kerjakan sendiri.
Jadi para muballigh dari Beliau adalah orang yang sedang berusaha mendapatkan cinta Beliau, manusia yang paling dekat dengan Beliau, manusia yang paling Beliau cintai, duta Beliau, dan wakil Beliau di ummat Beliau.  Cukuplah hal ini sebagai bukti kemuliaan, kelebihan ilmu, dan orang berilmu.

43.  MENDAHULUKAN ILMU SYAR’I
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menempatkan orang berilmu pada jabatan keagamaan yang paling strategis dan paling mulia.  Beliau mendahulukan seseorang karena ilmunya atas orang lain.
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits dari Abu Mas’ud Al Badri dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda (yang artinya),
            “Yang berhak mengimami kaum (jama’ah) ialah siapa yang paling qari’ (hapal) Kitabullah. Jika qira’ah mereka sama, maka siapa diantara mereka yang paling memahami Sunnah.  Jika pemahaman mereka terhadap Sunnah sama, maka siapa diantara mereka yang paling dulu masuk islam, atau paling tua umurnya.” (HR.  Muslim).
Pada hadits di atas, untuk jabatan imam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan aspek ilmu daripada senioritas masuk Islam dan hijrah.  Karena pengetahuan tentang Alquran lebih mulia daripada pengetahuan tentang sunnah, maka pengetahuan tentang Al-Quran lebih didahulukan.  Kemudian pengetahuan terhadap sunnah lebih didahulukan atas hijrah.  Ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan ilmu, dan bahwa orang berilmu paling berhak menduduki jabatan-jabatan keagamaan yang tinggi.

44.  MEMPELAJARI AL-QURAN DAN MENGAJARKANNYA
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari hadits dari Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda (artinya),
            “Orang yang terbaik diantara kalian ialah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya.” (HR.  Al-Bukhari).
Sesungguhnya makna-makna (pemahaman dan pengamalan) Al-Quran adalah tujuan, dan lafalnya (benarnya bacaan / tajwij, dan keindahan bacaan) adalah sarana.  Jadi mempelajari arti dan mengajarkannya adalah mempelajari tujuan dan mengajarkannya, sedang mempelajari lafal dan mengajarkannya adalah mempelajari sarana dan mengajarkannya.  Di antara keduanya terdapat perbedaan sebagaimana perbedaan antara tujuan dengan sarana.

45.  MENCARI ILMU HINGGA AJAL TIBA
Al-Hakim meriwayatkan dalam "Al-Mustadrak" hadits sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda (artinya),
             “Dua orang rakus yang tidak pernah kenyang; orang yang rakus terhadap ilmu dan tidak    pernah kenyang dengan ilmu, dan orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengan dunia.” (HR.  Al-Hakim).
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjadikan rakus terhadap ilmu dan tidak penah kenyang dengannya sebagai tuntutan iman, dan salah satu karakter orang-orang beriman.  Inilah kebiasaan orang beriman hingga ia masuk Surga.  Oleh karena itu, para Imam Islam jika dikatakan kepada salah seorang dari mereka, “Sampai kapan engkau mencari ilmu?”  Ia menjawab, “Sampai ajal tiba.”
Al-Hasan ditanya tentang orang yang telah berusia delapan puluh tahun -apakah ia masih layak bila mencari ilmu, jawab Al-Hasan, “Jika ia masih layak untuk hidup, maka kenapa tidak?”

46.  HIKMAH ADALAH ILMU
Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dari Abu Burdah yang berkata, bahwa dikatakan, “Hikmah adalah barang yang hilang dari orang beriman.  Ia berhak mengambilnya ketika menemukannya.”
Hikmah adalah ilmu.  Jika ilmu hilang dari orang beriman, ia seperti orang yang kehilangan salah satu kekayaannya yang sangat berharga.  Jika ia menemukannya, hatinya bahagia, dan jiwanya senang.  Begitu juga orang beriman, jika ia menemukan kembali kekayaan hatinya dan jiwanya yang selalu ia cari dan idam-idamkan.

47.  ILMU TERMASUK TANDA-TANDA IMAN
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
            “Dua sifat yang tidak bertemu pada diri orang munafik; diam dengan baik dan memahami Agama (dengan benar).” (HR. At-Tirmidzi).
Ini sekaligus pengakuan, bahwa orang yang terkumpul padanya dua sifat diatas; diam dengan baik, dan memahami Agama adalah orang beriman.
Sungguh pantas hadits di atas dikatagorikan sebagai sebuah kebenaran, karena diam dengan baik dan memahami agama termasuk tanda-tanda iman yang paling spesifik dan keduanya tidak disatukan Allah ke dalam hati orang munafik, karena sifat kemunafikan bertentangan dengan keduanya.

48.  WASIAT UNTUK PARA PENCARI ILMU
Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memberi wasiat yang baik kepada pencari ilmu, karena kemuliaan apa yang mereka cari.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
             “Sesungguhnya orang-orang akan mengikuti kalian, dan bahwa akan datang orang-orang dari seluruh belahan bumi dengan tujuan mempelajari Agama.  Jika mereka telah datang kepada kalian, berilah wasiat yang baik kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi).
Dan juga Sabda Beliau,
             “Akan datang kepada kalian orang-orang dari arah timur dengan tujuan belajar.  Jika mereka telah datang kepada kalian, berwasiatlah yang baik kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi).
Jika Abu Sai’d melihat kami, ia berkata, “Selamat datang kepada wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.”

49.  MENCARI ILMU TERMASUK KEBAIKAN YANG PALING UTAMA
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang berkata, “Jika seseorang keluar dari rumahnya dengan menanggung dosa sebesar gunung Tihamah.  Jika ia mendengar ilmu, takut, dan bertaubat, maka ia pulang ke rumahnya dalam keadaan tidak mempunyai dosa.  Oleh karena itu jangan tinggalkan majelis para 'ulama.”

50.  KEGEMBIRAAN PARA MALAIKAT DENGAN PARA PENCARI ILMU
Allah Suhanahu wa Ta’ala berbangga Diri di hadapan para Malaikat dengan orang-orang yang membicarakan ilmu, dzikir kepada Allah, dan memuji-Nya atas nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.
At-Tirmidzi berkata, bahwa berkata kepada kami Muhammad bin Basyar yang berkata, bahwa berkata kepada kami Marhum bin Abdul Aziz Al-Aththar yang berkata, bahwa berkata kepada kami Abu Nu’amah dari Abu Utsman dari Abu Sa’id yang berkata,
“Muawiyah keluar menuju masjid kemudian berkata, “Kenapa kalian duduk di sini?” Orang-orang menjawab, “Kita sedang duduk dzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla.”  Muawiyah berkata, “Demi Allah, apakah kalian tidak duduk karena hal yang lain?”  Mereka menjawab, “Demi Allah, kami tidak duduk karena sesuatu hal yang lain.”  Muawiyah berkata, “sesungguhnya aku meminta kalian bersumpah bukan karena tidak percaya kepada kalian.  Tidak ada orang yang kedudukannya seperti diriku di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.  Aku orang yang paling minim hadits dari Beliau.  Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar menemui salah satu halaqah sahabatnya.  Beliau bertanya, “Kenapa kalian duduk di sini?”  Mereka menjawab, “Kami duduk dzikir kepada Allah, dan memuji-Nya karena Allah telah memberi petunjuk kami kepada islam dan memberi anugerah dengan-Mu.”  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, apakah tidak karena yang lain?”  Mereka menjawab, “Demi Allah, kami duduk tidak karena sebab yang lain.”  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku meminta kalian bersumpah bukan karena tidak percaya kepada kalian.  Sesungguhnya belum lama Jibril datang kepadaku kemudian menjelaskan kepadaku bahwa Allah Ta’ala berbangga Diri dengan kalian di hadapan para Malaikat.”  (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

51.  BASHIRAH, ILMU, DAN ITTIBA’
Sesungguhnya tingkatan yang paling tinggi di sisi Allah ialah tingkatan Risalah dan Nubuwwah.  Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih Rasul dari kalangan para Malaikat dan manusia.  Bagaimana tidak paling mulia disisi Allah makhluk yang dijadikan Allah sebagai mediator (perantara) antara Dia dengan hamba-hamba-Nya, dan bertugas menyampaikan Risalah-Risalah-Nya, mengenalkan Nama-Nama-Nya, Perbuatan-Perbuatan-Nya, Sifat-Sifat-Nya, Hukum-Hukum-Nya, apa saja yang diridhai-Nya, apa saja yang dimurkai-Nya, pahala-Nya, dan siksa-Nya?  Allah mengkhususkan wahyu-Nya kepada mereka, memberi kemuliaan kepada mereka, meridhai mereka menyampaikan Risalah-Nya kepada hamba-hamba-Nya, menjadikan mereka sebagai manusia yang paling bersih jiwanya, paling mulia akhlaknya, paling sempurna ilmu dan amal perbuatannya, paling bagus perawakannya, paling agung cintanya, dan paling simpatik di kalangan manusia.  Allah membersihkan mereka dari aib dan noda, serta semua sifat yang tercela.
Allah menjadikan tingkatan manusia yang tertinggi setelah mereka ialah Khalifah-Khalifah mereka.  Para Khalifah mengikuti manhaj, dan jalan hidup mereka seperti memberi nasihat kepada umat, memberi petunjuk kepada orang yang tersesat, mengajari orang yang bodoh, menolong orang yang teraniaya, menindak orang yang Zhalim, menyuruh orang mengerjakan kebaikan dan melarangnya mengerjakan kemungkaran.
Inilah perilaku pengikut para Rasul dan pewaris para Nabi.  Allah Ta’ala berfirman (artinya);
              “Katakanlah, ‘inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.”  (Yusuf; 108)
Mereka itulah orang-orang yang jujur, pengikut para Nabi yang paling baik, pemimpin mereka, dan orang nomer satu mereka ialah Abu Bakar Ash-shiddiq radhiyallahu 'anhu.
Allah Ta’ala berfirman,
              “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, dan para shiddiqiin, dan orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih.  Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa; 69).
Pada ayat di atas, Allah menyebutkan tingkatan-tingkatan orang-orang yang berbahagia yang terdiri dari empat kelompok.  Allah memulai dengan tingkatan tertinggi, disusul tingkatan sesudahnya dan seterusnya hingga tingkatan terakhir.

52.  KEUNGGULAN ITU DENGAN ILMU
Jika manusia tidak mempunyai ilmu, maka yang tersisa padanya adalah titik persamaan antara dirinya dengan seluruh hewan yang ada, yaitu sama-sama binatang.  Ia tidak lagi mempunyai kelebihan atas binatang, bahkan bisa jadi ia lebih buruk daripada binatang.  Kelompok manusia seperti itu disebutkan Allah dalam firman-Nya (yang artinya),
             “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli, yang tidak mengerti apa-apapun.” (Al-Anfal; 22).
Mereka adalah orang-orang bodoh.  Allah Ta’ala berfirman,
             “Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentu Allah menjadikan mereka  dapat mendengar.” (Al-Anfal; 23).
Maksudnya, bahwa mereka tidak mempunyai tempat (hati) untuk menerima kebaikan.  Jika mereka mempunyai tempat untuk menerima kebaikan, “Tentu Allah menjadikan mereka dapat mendengar.”  Maksudnya, tentu Allah akan membuat mereka paham.  Pendengaran yang dimaksud di sini adalah mendengar untuk paham, sebab pendengaran mereka terhadap suara masih berfungsi dan dengannya hujjah ditegakkan pada mereka.  Allah Ta’ala berfirman,
              “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.”  (Al-Baqarah; 171).  
Mereka tidak layak menyandang hakikat kemanusiaan yang dengannya manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya.
“Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, dan mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).”  Karena di dalam hati mereka terdapat kesombongan, dan sifat anti menerima kebenaran.  Ada dua penyakit pada diri mereka.  Salah satunya ialah bahwa mereka tidak memahami kebenaran karena kebodohan mereka.  Kalaupun mereka memahaminya, pasti mereka tetap berpaling juga dari kebenaran tersebut.  Mereka berpaling dari kebenaran karena kesombongan mereka.  Inilah puncak ketidak sempurnaan, dan puncak 'aib.

53.  ILMU ADALAH PENGUASA ATAS SEGALA SESUATU
Ilmu adalah penguasa atas segala sesuatu, dan tidak ada yang berkuasa atas ilmu.
Jika ilmu telah berkuasa, terputuslah semua perdebatan dan yang ada adalah tunduk pada keputusan ilmu.  Ilmu adalah penguasa atas kerajaan-kerajaan, politik, kekayaan, dan tulisan.  Kerajaan tanpa dukungan ilmu tidak akan tegak.  Pedang tanpa ilmu tidak tepat sasaran.  Pena tanpa ilmu adalah gerakan sia-sia.  Ilmu adalah penguasa dan pengendali atas itu semua.  Tidak ada sesuatu apapun yang bisa berkuasa atas ilmu.
Adapun tingkat-tingkatan kesempurnaan ada empat; Kenabian, Kejujuran, Mati syahid, dan Perwalian (Orang-Orang Shalih).  Keempat tingkatan di atas disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nisa’; 69-70.
Tingkatan tertinggi adalah Risalah dan Nubuwwah (kenabian), disusul tingkatan Kejujuran yaitu para pemimpin pengikut para Rasul.  Tingkatan mereka paling tinggi setelah tingkatan Kenabian.
Kejujuran  ialah kesempurnaan keimanan terhadap apa yang dibawa Rasul; baik dari sisi ilmu, pembenaran, dan pengamalan.  Kejujuran tersebut kembali kepada ilmu.  Jadi orang yang paling mengetahui apa yang dibawa Rasul (dari Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan lebih sempurna pembenarannya terhadap Beliau, maka kejujurannya lebih sempurnaJadi kejujuran adalah pohon, akarnya adalah ilmu dan cabang-cabangnya ialah pembenaran terhadap apa yang dibawa Rasul, dan buahnya adalah amal perbuatan.

54.  IMAN TIDAK AKAN TERWUJUD KECUALI DENGAN ILMU
Nash-nash Nabawiyah secara mutawatir menegaskan bahwa perbuatan yang paling mulia ialah beriman kepada Allah.  Iman kepada Allah adalah landasan segala sesuatu dan segala amal perbuatan.  Iman kepada Allah itu bertingkat-tingkat.
Iman kepada Allah itu mempunyai dua rukun;
Pertama, mengenal apa yang dibawa Rasul dan mengetahuinya.
Kedua, membenarkannya dengan hati, ucapan dan tindakan (amal).  Hubungan Ilmu dengan Iman adalah seperti hubungan Ruh dengan Jasad.  Pohon iman tidak mungkin berdiri tegak kecuali di atas batang Ilmu dan Pengetahuan.  Dengan demikian ilmu adalah tujuan paling utama dan karunia yang paling agung.

55.  SIFAT KESEMPURNAAN ITU KEMBALI KEPADA ILMU
Sesungguhnya semua sifat-sifat kesempurnaan itu kembali kepada Ilmu, kapabilitas, dan keinginan.  Keinginan ini adalah cabang dari Ilmu.  Keinginan menghendaki seseorang merasakan apa yang diinginkan, dan itu membutuhkan ilmu.  Kapabilitas (kemampuan) juga tidak ada artinya tanpa perantara (bimbingan) Ilmu.  Sedangkan Ilmu, ia tidak membutuhkan sedikitpun kapabilitas dan keinginan Adapun kapabilitas dan keinginan dalam hubungannya dengan apa yang diinginkan membutuhkan Ilmu.  Ini semua menunjukkan keutamaan Ilmu dan kemuliaan derajatnya.

56.  ULAMA ADALAH PEMIMPIN
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa Dia menjadikan orang-orang berilmu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk sesuai dengan perintah-Nya dan menjadi panutan bagi orang-orang sepeninggal mereka.  Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
        “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.  Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah; 24).
Di ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
        “Dan orang-orang yang berkata, ‘ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan; 74).
Maksud ayat diatas, “Jadikan kami sebagai pemimpin-pemimpin yang ditauladani orang-orang sepeninggal kami.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam Agama bisa didapatkan dan kepemimpinan tersebut merupakan tingkatan kejujuran yang paling tinggi.
Keyakinan ialah kesempurnaan ilmu dan tujuannya.  Dengan menyempurnakan ilmu, maka kepemimpinan dalam Agama didapatkan.  Kepemimpinan dalam Agama ialah kekuasaan yang alatnya adalah ilmu.  Allah memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya.

57.  KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP ILMU
Sesungguhnya kebutuhan manusia kepada ilmu adalah kebutuhan primer melebihi kebutuhan badan kepada makanan, karena badan membutuhkan makanan dalam sehari hanya sekali atau dua kali, sedangkan kebutuhan manusia terhadap Ilmu sangat banyak sebanyak jumlah nafas, karena setiap hembusan nafas membutuhkan Iman atau Hikmah.  Jika nafasnya nihil dari Iman atau Hikmah, sungguh ia binasa, semakin dekat pada kematiannya, dan tidak ada jalan untuk membebaskan diri kecuali dengan Ilmu.
Imam Ahmad pernah mengungkapkan hal ini.  Katanya, “Manusia amat membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari, sedang ilmu dibutuhkan setiap saat.”

58.  ILMU ADALAH AMAL PERBUATAN YANG SEDIKIT, NAMUN BANYAK PAHALANYA
Sesungguhnya orang berilmu adalah orang yang paling sedikit keletihannya, dan amal perbuatannya, namun paling banyak pahalanya.
Hal ini pernah diisyaratkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda Beliau,
        “Amal perbuatan yang paling utama ialah Beriman kepada Allah kemudian Jihad.” (HR. Muslim).
Jihad mengorbankan nyawa dan menemui banyak sekali kesulitan, sedangkan Iman adalah pengetahuan hati, pengamalannya, dan pembenaran.  Iman adalah amal perbuatan yang paling mulia, padahal jihad jauh lebih berat.  Ini karena ilmu memperkenalkan bobot semua amal perbuatan, tingkatan-tingkatannya, yang mulia dari yang tidak mulia, dan yang kuat dari yang tidak kuatOrang berilmu tidak memilih untuk dirinya kecuali amal perbuatan yang paling mulia, sedang orang yang beramal tanpa Ilmu beranggapan bahwa keutamaan ialah dengan banyaknya kesulitan yang ditemuinya.  Ia menanggung berbagai kesulitan, padahal apa yang ia kerjakan itu bukan amal perbuatan yang mulia.
Abu Bakar bin Ayyasy berkata, “Abu Bakar tidak mengungguli kalian dengan puasa dan shalat yang banyak, namun ia mengungguli kalian dengan sesuatu yang menetap di dalam hatinya (Ilmu dan Iman).”
             Dikatakan dalam syair,
             Siapa yang mampu menandingi perjalananmu yang tenang
             Engkau berjalan pelan-pelan, namun datang pertama kali.

59.  ILMU ADALAH PEMIMPIN AMAL PERBUATAN
Sesungguhnya Ilmu adalah pemimpin amal perbuatan dan panglimanya, sedang amal perbuatan adalah pengikutnya dan anak buahnya.  Setiap amal perbuatan yang tidak berpedoman kepada ilmu dan tidak mengikuti bimbingan ilmu, tidak berguna bagi pelakunya, dan justru akan membahayakannya seperti dikatakan salah seorang dari generasi Salaf, “Barang siapa menyembah Allah tanpa Ilmu, maka apa yang dia rusak itu lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.”
Diterima tidaknya amal perbuatan itu sangat tergantung kepada sesuai / tidaknya amal perbuatan itu dengan IlmuJika amal perbuatan sesuai dengan ilmu, ia diterima, dan jika bertentangan dengannya, maka ia tertolak.
Jadi Ilmu adalah Barometer dan Standar Utama.  Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kalian, siapa diantara kalian  yang lebih baik amalnya.  Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk; 2).
Al Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika amal perbuatan itu ikhlas, namun tidak benar, maka ia tidak diterima.  Jika amal perbuatan tersebut benar, namun tidak ikhlas, ia juga tidak diterima hingga ia ikhlas dan benar.  Ikhlas, hendaklah karena Allah, dan benar hendaklah sesuai dengan Sunnah.”
(Baca artikel, ALLAH TIDAK MENYERAHKAN KEIKHLASAN PADA AKAL-AKAL MANUSIA)
Seseorang tidak mungkin mengerjakan suatu amal perbuatan yang menghimpun kedua syarat tersebut kecuali dengan Ilmu Jika ia tidak mengetahui apa yang dibawa Rasul, tidak mungkin ia bisa berjalan menuju Allah.  Jika ia tidak kenal Tuhannya tidak mungkin ia bisa memaksudkan amal perbuatannya karena Allah semata.  Tanpa Ilmu, amal perbuatannya tidak mungkin diterima Allah.  Jadi Ilmu adalah penunjuk jalan kepada ikhlas, dan penunjuk jalan untuk mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

60.  AMAL PERBUATAN TANPA ILMU ADALAH SEPERTI PERJALANAN TANPA PENUNJUK  ARAH
Sesungguhnya orang beramal tanpa Ilmu adalah seperti pengembara tanpa penunjuk jalan.  Sebagaimana diketahui kecelakaan orang seperti itu lebih dekat daripada keselamatannya.  Kalaupun ia ditakdirkan selamat, itupun jarang terjadi dan hasilnya tetap tidak baik, bahkan tercela di mata orang-orang berakal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barang siapa meninggalkan penunjuk jalan, ia tersesat di jalan, dan tidak ada penunjuk jalan kecuali apa yang dibawa oleh Rasul.”

61.  PETUNJUK IALAH MENGETAHUI KEBENARAN
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui alam ghaib dan alam nyata, Engkau memutuskan diantara hamba-hamba-Mu terhadap apa-apa yang mereka perselisihkan.  Berilah aku petunjuk kepada kebenaran di dalam apa yang diperselisihkan.  Sesungguhnya engkau memberi petunjuk ke jalan yang lurus bagi siapa yang Engkau kehendaki.” (HR. Muslim).
Petunjuk ialah mengetahui kebenaran dan mendahulukannya daripada yang lain.  Orang yang mendapat petunjuk ialah orang yang berbuat dengan benar dan menginginkan kebenaran.  Itulah nikmat Allah yang terbesar kepada seorang hamba.  Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita meminta kepada-Nya jalan yang lurus setiap hari di shalat lima waktu kita.  Seorang hamba membutuhkan pengenalan terhadap kebenaran yang membuat Allah ridha pada setiap gerak-geriknya yang tampak maupun yang tidak tampak (tersembunyi).  Jika ia mengenal kebenaran, ia membutuhkan Pihak yang membimbingnya kearah kebenaran tersebut, kemudian menanamkan keinginan kepada kebenaran ke dalam hatinya dan membuatnya mampu melaksanakan kebenaran tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa apa yang tidak diketahui seorang hamba itu lebih banyak dari apa yang diketahuinya, dan bahwa apa yang dia ketahui sebagai kebenaran itu, maka jiwanya tidak (belum tentu) mendukung untuk menginginkannya.  Jika ia menginginkannya, maka ia tidak mampu mengerjakan semua kebenaran tersebut.  Oleh karena itu, ia setiap saat membutuhkan petunjuk untuk masa silam, masa kini, dan masa yang akan datang.

62.  ILMU ADALAH KEHIDUPAN HATI DAN JIWA
Ilmu adalah sesuatu yang manfaatnya paling universal, paling banyak manfaatnya dan paling abadi manfaatnya.  Kebutuhan kepadanya jauh lebih besar daripada kebutuhan terhadap makanan, bahkan jauh lebih besar daripada kebutuhan akan nafas, sebab puncak kerugian dibalik hilangnya nafas adalah adalah hilangnya kehidupan badan, sedang tidak adanya Ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan Hati dan Jiwa Seorang hamba membutuhkan Ilmu pada setiap kejapan matanya.  Oleh karena itu jika seseorang tidak mempunyai ilmu, ia lebih buruk daripada keledai, bahkan lebih buruk di sisi Allah daripada semua binatang, dan ketika itu tidak ada sesuatu yang paling hina selain daripada dirinya.
Adapun tercapainya kelezatan dan kegembiraan dengan ilmu karena kesempurnaan yang ada pada Ilmu, dan karena harmonisasi antara Ilmu dengan Jiwanya.  Sesungguhnya kebodohan adalah penyakit, ketidak sempurnaan, dan sangat menyakitkan jiwa.  Maka barang siapa tidak bisa merasakan hal tersebut, itu karena perasaannya yang telah hilang dan hatinya telah mati.

63.  KEMULIAAN ITU KARENA KEMULIAAN SESUATU YANG TELAH PASTI
Tidak diragukan lagi , bahwa sesuatu yang telah pasti yang paling Mulia dan paling Agung adalah Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Tuhan semesta alam, Pemelihara semua langit dan bumi, Raja diraja yang Maha Benar dan Maha Menjelaskan, Yang bersifatkan semua kesempurnaan, Yang bersih dari segala aib, kekurangan, segala bentuk perumpamaan dan penyerupaan dalam kesempurnaan-Nya.
Tidak disangsikan lagi, bahwa pengetahuan (ilmu) tentang Allah, Nama-nama-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan Perbuatan-perbuatan-Nya merupakan ilmu yang paling mulia dan paling agung.  Perbandingan antara Pengetahuan (Ilmu) tentang Allah dibandingkan pengetahuan (Ilmu) tentang masalah-masalah yang lain adalah seperti perbandingan antara Allah dengan hal-hal lain selain Allah.  Di samping Pengetahuan (Ilmu) tentang Allah adalah Pengetahuan (Ilmu) yang paling Mulia dan paling Agung, pengetahuan (Ilmu) tentang Allah juga merupakan akar semua Ilmu.
Pengetahuan (Ilmu) tentang Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sifat-sifat-Nya, dan Perbuatan-Perbuatan-Nya  menghendaki seseorang mengetahui (hakikat) apa saja selain Allah. 
Barangsiapa mengetahui Allah, maka ia mengetahui selain Allah, dan barang siapa yang tidak mengetahui Allah maka terhadap selain Allah ia lebih tidak mengetahui (Hakikatnya).
Barangsiapa lupa kepada Tuhan-nya, maka Allah membuatnya lupa kepada dirinya dan kepribadiannya, hingga akhirnya ia tidak mengetahui hakikat dirinya, dan kemaslahatannya.  Bahkan , ia lupa pada kebahagiaan dan keberuntungan dirinya di dunia dan Akhirat, kemudian ia menjadi orang yang tidak berguna seperti binatang.  Bahkan boleh jadi binatang lebih mengetahui kemaslahatannya daripada dia, karena binatang tetap berada pada petunjuk (hidayah umum) yang diberikan Allah padanya.  Sedangkan orang tersebut, ia keluar (terlepas) dari fitrahnya, (Al-Hasyr; 19).
Jadi, Pengetahuan (Ilmu) tentang Allah adalah kebahagiaan seorang hamba, dan tidak mengetahui-Nya adalah akar semua kecelakaan dan kesengsaraan dirinya.

64.  ILMU DAN TAUHID
Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang paling menyenangkan seorang hamba, paling lezat, paling membahagiakan, dan tidak ada yang paling menghibur hati dalam kehidupannya selain cinta kepada Penciptanya, Pemeliharanya, selalu dzikir kepada-Nya, dan berusaha mendapatkan keridhaan-Nya.
Inilah kesempurnaan dan tidak ada kesempurnaan bagi seorang hamba selain dengannya.  Untuknya makhluk diciptakan, karenanya wahyu diturunkan, untuknya para Rasul diutus, untuknya langit dan bumi ditegakkan, untuknya Surga dan Neraka diciptakan, untuknya Syariat dikeluarkan, untuknya Baitullah dibangun, haji diwajibkan dalam rangka mengabadikan dzikir kepada-Nya yang merupakan ekses dari cinta-Nya dan keridhaan-Nya, untuknya Jihad diwajibkan, dipenggal kepala orang yang menolak kesempurnaan di atas dan memilih selain kesempurnaan tersebut, dan dibuatkan untuknya negeri kehinaan yang abadi (Neraka).
Berdasarkan pengaruh besar inilah, agama dibangun, kiblat yang merupakan kutub penciptaan dan perintah dipasang, dan tidak ada jalan masuk kepadanya kecuali dari pintu Ilmu.  Sesungguhnya cinta kepada sesuatu adalah ungkapan dari perasaan hati terhadapnya.  Manusia yang paling mengetahui Allah adalah orang yang paling cinta pada-Nya, karena barang siapa mengetahui Allah, pasti ia mencintai-Nya, dan barang siapa mengetahui dunia , maka ia pasti akan bersikap zuhud terhadapnya.

65.  ILMU ADALAH JALAN YANG PALING DEKAT KEPADA DZAT TERBESAR
Sesungguhnya kenikmatan bersama kekasih itu menguat dan melemah sesuai dengan kuat-tidaknya cinta.  Jika cinta semakin menguat, kelezatanpun semakin membesar.  Oleh karena itu, besarnya kelezatan orang yang kehausan dengan meminum air segar sangat ditentukan oleh besar tidaknya kebutuhannya kepada air.
Kelezatan melihat Allah pada hari pertemuan dengan-Nya juga ditentukan oleh kuat tidaknya cinta pada-Nya dan keinginan terhadap-Nya.  Dan itu semua tergantung kepada pengetahuan terhadap-Nya, dan Sifat-sifat kesempurnaan-Nya.  Jadi, ilmu adalah jalan yang paling dekat kepada Dzat yang paling Agung.

66.  KEBUTUHAN MAKHLUK KEPADA ILMU
Wujud itu ada dua; Wujud Penciptaan dan Wujud Perintah.  Penciptaan dan perintah sumbernya adalah Ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Hikmah-Nya.
Langit, bumi dan apa saja yang ada diantara keduanya tidak tegak kecuali dengan Ilmu.  Para Rasul tidak diutus dan Kitab-Kitab tidak diturunkan kecuali dengan Ilmu.  Allah tidak disembah, dipuji, disanjung, dan diagungkan kecuali dengan Ilmu. Yang halal dan yang haram tidak dapat diketahui (dibedakan) kecuali dengan Ilmu.  Kelebihan Islam atas selain Islam juga tidak akan dapat diketahui kecuali dengan Ilmu.

67.  ILMU, KEUTAMAANNYA DAN PENJELASAN RUANG LINGKUPNYA
Sesungguhnya kelebihan sesuatu itu dapat diketahui dari lawannya.
Tidak disangsikan lagi, bahwa kebodohan adalah akar semua kerusakan.  Semua bentuk kerugian yang menimpa seorang hamba di dunia dan Akhiratnya adalah hasil dari kebodohan. 

68.  PERBEDAAN TINGKATAN DALAM ILMU
Allah Suhanahu wa Ta’ala menciptakan Malaikat dalam bentuk akal tanpa syahwat, menciptakan hewan mempunyai syahwat tanpa akal, dan menciptakan manusia terdiri dari akal dan syahwat.  Maka barangsiapa akalnya mengalahkan syahwatnya maka ia menjadi orang yang lebih baik daripada Malaikat, dan barang siapa syahwatnya mengalahkan akalnya maka ia lebih buruk daripada binatang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyamakan manusia dalam Kualitas Ilmu.  Allah menjadikan orang berilmu di antara mereka sebagai pengajar Malaikat seperti difirmankan Allah Ta’ala (artinya),
           “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.”  (Al-Baqarah; 33).
Ini adalah tingkatan tertinggi, dan tidak ada tingkatan tertinggi di atasnya.  Allah menjadikan orang bodoh di antara mereka sebagai orang yang tidak diridhai syaithan, seperti dikatakan syaithan kepada orang bodoh mereka yang mentaati mereka dalam kekafiran, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu.” (Al-Hasyr; 16).  Syaithan berkata kepada orang-orang bodoh yang durhaka kepada Rasul-Nya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian.” (Al-Anfal; 48).
Demi Allah, betapa besarnya perbedaan di antara kedua tipe orang tersebut.  Orang pertama, para Malaikat sujud kepadanya dan mengajari Malaikat apa yang diajarkan Allah kepadanya.  Orang kedua, syaithan saja tidak rela menjadi pelindungnya!
Perbedaan yang agung ini terjadi pada Ilmu dan Buahnya.  Jika Ilmu tidak memiliki kelebihan selain berdekatan dengan Allah Tuhan alam semesta, bergabung ke alam Malaikat, dan menemani mereka, maka itu sudah cukup dijadikan sebagai bukti kelebihan dan keutamaan Ilmu.

69.  KEMULIAAN ILMU DAN ORANG BERILMU
Sesungguhnya sesuatu termulia yang ada pada diri manusia adalah tempat Ilmu yang tiada lain adalah hati, telinga, dan mata.
Karena hati adalah tempat penampungan Ilmu, Wahyu, dan mata adalah pengintainya, maka hati adalah Raja atas semua organ tubuh.  Ia memerintah semua organ tubuh kemudian organ tubuh mentaati perintahnya.  Ia mengendalikan organ tubuh kemudian organ tubuh tunduk patuh kepadanya.  Begitu pula keberadaan orang-orang berilmu ditengah-tengah manusia, ia ibarat hati bagi organ tubuh .
Manusia berbeda pendapat, mana yang lebih baik di antara mata dan telinga.  Yang benar dalam permasalahan ini, bahwa masing-masing di antara keduanya mempunyai kelebihan atas yang lain.  Yang bisa diketahui dengan telinga itu lebih umum dan universal, sedang yang bisa diketahui dengan mata itu lebih sempurna dan komplit (terperinci).
Sebagaimana diketahui bahwa salam Allah kepada orang-orang beriman, firman-Nya kepada mereka, dan pertemuan-Nya dengan mereka itu tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu apapun, dan tidak ada yang lebih nikmat bagi mereka kecuali melihat Allah dan mendengar firman-Nya.
Oleh karena itu Allah Suhanahu wa Ta’ala mengancam musuh-musuh-Nya bahwa kelak Dia tidak akan berdialog dengan mereka, dan mereka tidak bisa melihat-Nya.  Jadi firman Allah dan melihat wajah-Nya adalah kenikmatan puncak para penghuni Surga, wallahu a’lam.

70.  PERRANGKAT-PERANGKAT MENDAPATKAN ILMU
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia, dan di antaranya bahwa Allah memberi mereka perangkat-perangkat Ilmu.  Allah menyebutkan tentang Hati, Telinga, dan Mata.  Dan terkadang Allah menyebutkan Lisan yang menjadi penyambung keinginan hati.  Allah menjelaskan bahwa Dia menyempurnakan nikmat-nikmat tersebut agar mereka mengetahui nikmat-nikmat tersebut, ingat kepada-Nya, dan mensyukurinya, (An-Nahl; 78), (Al-Ahqaf; 26), (Al-Balad; 8-10), (Al-Insan; 3)
Petunjuk itu dengan Hati, Mata, dan Telinga.  Allah juga menyebutkan tentang Lisan dan dua bibir yang keduanya merupakan perangkat-perangkat Ilmu.  Allah menyebutkan tentang perangkat-perangkat Ilmu dan pengajaran kemudian menjadikannya sebagai Ayat-Ayat-Nya yang menunjukkan tentang diri-Nya, kekuasaan-Nya, Nikmat-Nya yang Dia perkenalkan kepada hamba-hamba-Nya.
Karena ketiga organ tubuh di atas merupakan organ tubuh yang paling mulia, rajanya, pengendalinya, dan penguasanya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan secara khusus bahwa kelak akan dimintakan pertanggungan jawab terhadap ketiganya, (Al-Isra; 36).
Jadi kebahagiaan manusia bertumpu kepada kesehatan ketiga organ tubuh tersebut dan kecelakaannya disebabkan kerusakan ketiganya.
Jadi maksud pemberian ketiga organ tubuh tersebut adalah (untuk meraih) Ilmu dan Buahnya.

71.  SELURUH KEBAHAGIAN ADA DI DALAM ILMU
Sesungguhnya jenis-jenis kebahagiaan yang disukai jiwa itu ada tiga;
Kebahagiaan pertama, Kebahagiaan kekayaan dan jabatan.  Kebahagiaan yang keluar dari diri seseorang ini merupakan pinjaman Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Kebahagiaan dan kegembiraan dengan harta dan jabatan adalah seperti kebahagiaan orang yang botak kepalanya dengan rambut palsu keponakannya, seperti keindahan seseorang dengan pakaian dan perhiasannya.  Jika pandangan anda menembus pakaiannya, maka di dalamnya tidak ada apa-apanya.
Kebahagiaan kedua, Kebahagiaan di dalam badan seperti kesehatan badan, keseimbangan bentuk tubuh, keserasian organ tubuh, keindahan susunan tubuh, kelembutan warna kulit, dan kekuatan organ tubuh.  Kebahagiaan ini lebih kuat dari kebahagiaan pertama, namun tetap keluar dari jati dirinya, karena manusia ialah manusia dengan ruhnya, bukan dengan badannya seperti dikatakan dalam syair,
Wahai budak badan, betapa celakanya engkau dengan menjadi budaknya
Sesungguhnya engkau itu manusia dengan ruh dan bukannya dengan badan
Status kebahagian ini bagi ruh dan jiwa adalah seperti status pakaian bagi badan.
Sesungguhnya badan adalah pinjaman ruh, alatnya ruh, dan salah satu kendaraan ruh.
Keindahan badan adalah kebahagiaan yang keluar dari jati dirinya dan hakikatnya.
Kebahagiaan ketiga, Kebahagiaan hakiki, yaitu kebahagiaan jiwa dan hati yang tiada lain adalah kebahagiaan ilmu yang bermanfaat dan buahnya.  Itulah kebahagiaan abadi sepanjang zaman, dan yang menemani seorang hamba dalam semua perjalanannya di ketiga negeri; negeri dunia, negeri barzakh dan negeri abadi (Akhirat), yang dengannya seorang hamba naik ke tangga-tangga karunia dan tingkatan-tingkatan keutamaan.
Kebahagiaan pertama dan kedua terancam musnah dan berubah menjadi lemah.  Jadi pada hakikatnya tidak ada kebahagiaan kecuali kebahagiaan ketiga.  Zaman semakin tua, namun kebahagiaan tersebut semakin menguat dan meninggi.  Kekuatan kebahagiaan tersebut dan pengaruhnya terlihat dengan jelas ketika kedua kebahagian di atas telah terputus.  Kebahagiaan ini bobotnya tidak bisa diketahui.  Jadi semua kebahagiaan itu kembali kepada ilmu dan apa saja yang dikehendaki ilmu.  Allah memberi bimbingan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.  Tidak ada yang bisa menahan apa yang Dia beri dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Dia tahan.
Mayoritas manusia antipati mencari kebahagiaan jenis ini karena jalannya berliku-liku - prosesnya pahit, dan upaya untuk mendapatkannya melelahkan.  Sesungguhnya kebahagiaan tersebut tidak bisa dicapai kecuali di atas jembatan kelelahan.  Ia tidak dapat diraih kecuali dengan keseriusan yang tinggi.  Ini berbeda dengan dua kebahagiaan sebelumnya bisa dimiliki tanpa jerih payah, seperti hasil warisan atau hibah atau cara-cara yang lain.
Adapun kebahagiaan ilmu, ia tidak diberikan kepada anda kecuali dengan mencurahkan semua tenaga, pencarian yang benar, dan niat yang baik.
Barangsiapa obsesinya melangit menuju ketinggian, ia wajib dengan senang hati menutup jalan-jalan yang hina (keduniawian).
Kebahagiaan ini, kendati pada awalnya tidak lepas dari kesulitan, hal-hal yang tidak mengenakkan, dan menyakitkan.  Namun jika jiwa bisa dipaksa menghadapinya, digiring dalam keadaan patuh, dan bersabar terhadap penderitaannya, maka jiwa pindah dari keadaan sebelumnya menuju taman-taman yang asri, kursi-kursi mulia, dan posisi terhormat.
Jadi kemuliaan dan kebesaran itu dipagari dengan hal-hal yang menyakitkan.  Kebahagiaan tidak bisa diseberangi kecuali di atas jembatan kesulitan, jaraknya tidak bisa ditempuh kecuali dengan perahu keseriusan dan usaha yang sungguh-sungguh.  Namun kelezatan tersebut dilingkari dengan dinding resiko, dan dipagari dengan dinding kebodohan, karena Allah ingin mengkhususkannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang sangat besar.

72.  KESEMPURNAAN ITU DIRAIH DENGAN ILMU
Disebutkan dalam atsar Israil, bahwa Musa bertanya tentang siapa-siapa yang disiksa Allah, kemudian Allah berfirman, “Hai Musa, tanamlah sebuah tanaman!  Allah mewahyukan kepada Musa agar ia memanen hasil cocok tanamnya.  Allah mewahyukan lagi kepadanya agar ia mencabut tanamannya dan mengulitinya.  Musa pun mengerjakan apa yang diperintahkan Tuhannya.  Ia memisahkan antara bijinya, kayunya dan daunnya.  Allah mewahyukan kepadanya, “Sesungguhnya Aku tidak memasukkan hamba-hamba-Ku ke dalam Neraka kecuali orang yang tidak ada kebaikan padanya seperti kayu dan duri yang tidak layak kecuali untuk api.”
Begitulah manusia naik ke tingkatan-tingkatan kesempurnaan setingkat demi setingkat hingga berhenti di puncak kesempurnaan.  Betapa jauhnya perbedaan dirinya ketika masih menjadi setetes sperma dengan keadaannya ketika Allah memberi salam padanya di negeri-Nya dan melihat Wajah-Nya setiap pagi dan petang.
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika pertama kali didatangi Malaikat, Beliau berkata kepadanya, “Aku tidak bisa membaca.”  Kemudian di akhir usianya, Malaikat datang kembali kepada Beliau dengan membawa firman Allah Ta’ala untuk Beliau (artinya),
              “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian Agamamu, dan telah Kucukupkan kepada  kalian nikmat-nikmat-Ku.”  (Al-Maidah; 3).
Allah Ta’ala berfirman khusus untuk Beliau,
             “Dan Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.  Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.”  (An-Nisa’; 113).
Pantaskah orang yang berobsesi besar dimana Allah telah menjauhkan aib dari dirinya, mengenalkan kebahagiaan dan kecelakaan mau menjadi binatang, padahal ia mampu menjadi manusia?  Kemudian dari manusia dia bisa menjadi seperti Malaikat di posisi yang Mulia - di sisi Tuhan Yang Mahaperkasa, kemudian para Malaikat siap menjadi para pelayannya dan masuk kepada mereka dari semua pintu dengan mengatakan,
              “Salam sejahtera untuk kalian atas kesabaran kalian.  Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar-Ra’du;  24).
Kesempurnaan ini hanya bisa didapat dengan Ilmu, menjaganya dan melaksanakan konsekwensinya.  Jadi segala sesuatunya itu kembali kepada Ilmu dan Buahnya.  Allah tempat meminta petunjuk.
Kekurangan terbesar dan kerugian terbesar adalah orang yang mampu mencapai kesempurnaan, namun ia tidak melakukannya seperti perkataan salah seorang Salaf, “Jika jalan-jalan kebaikan itu banyak, maka orang yang keluar dari jalan tersebut amat merugi.”
          Sungguh benar penyair yang berkata,
          Aku tidak melihat aib pada manusia
Seperti kekurangan orang yang mampu meraih kesempurnaan, namun tidak                      melakukannya.                                                                                                                              
Dari sini dapat disimpulkan, bahwa tidak ada sesuatu yang paling buruk pada manusia daripada orang yang lupa diri terhadap hal-hal yang utama dalam Agama, Ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan amal perbuatan yang shalih.  Barangsiapa yang kondisinya seperti itu, ia termasuk orang-orang yang hina yang mengeruhkan air bersih (melecehkan fitrahnya), dan meninggikan harga.  Jika ia hidup, ia hidup tidak dalam keadaan mulia.  Jika ia mati, maka tidak ada yang merasa kehilangan atas kematiannya.  Langit tidak menangisi kematiannya, dan orang-orang asing merasa senang dengan kematiannya.

73.  ILMU ADALAH OBAT BAGI SEMUA PENYAKIT HATI
Ada dua penyakit yang mengancam kehidupan hati.  Yaitu penyakit Syahwat (Hawa nafsu) dan penyakit Syubhat (kebathilan yang menyerupai kebenaran).  Inilah akar penyakit semua manusia kecuali orang yang dibuat sehat oleh Allah.
Tentang penyakit syubhat yang notabene penyakit yang paling sulit diobati dan yang paling mematikan hati, terlihat dengan jelas dalam firman Allah Ta’ala tentang orang-orang munafik (yang artinya),
                       “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya" (Al-Baqarah; 10)
              Allah Ta’ala berfirman,
            “Dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan orang-orang kafir mengatakan, ‘Apa yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ (Al-Mudatstir; 30).
Allah Ta’ala berfirman,
                       “Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaithan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan yang keras hatinya.” (Al-Hajj; 53).
Inilah ketiga ayat di dalam Al-Qur’an.  Yang dimaksud dengan penyakit hati di dalamnya adalah penyakit Kebodohan dan Syubhat.
Sedang penyakit syahwat, seperti firman Allah Ta’ala dalam (QS. Al-Ahzab; 32).
Hati mempunyai penyakit-penyakit lain selain penyakit di atas, yaitu riya’, arogan, ujub, dengki, cinta jabatan, dan sewenang-wenang di muka bumi.
Penyakit tersebut dibangun dari penyakit syubhat dan syahwat.  Penyakit tersebut menghasilkan persepsi yang salah, dan keinginan yang tidak benar seperti ujub dan sombong karena  merasa dirinya mulia dan berharap manusia memuliakannya dan memujinya.
Jadi penyakitnya itu timbul karena syahwat, syubhat, atau perpaduan keduanya.
Semua penyakit ini penyebabnya ialah Kebodohan dan obatnya ialah Ilmu, seperti disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits orang terluka yang disuruh mandi kemudian meninggal dunia,
           “Mereka membunuh orang tersebut dan semoga Allah membunuh mereka.  Kenapa mereka tidak bertanya jika mereka tidak mengerti (mengetahui)? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah bertanya.”  (HR. Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthni).
 Pada hadits di atas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan ketidak mampuan hati untuk mengetahui dan lisan untuk berbicara dengan bertanya kepada para 'ulama.
Penyakit hati itu lebih susah diatasi daripada penyakit pisik, sebab puncak dari penyakit pisik adalah membawa pada kematian.  Sedang penyakit hati, ia membawa penderitanya kepada kecelakaan abadi.  Tidak ada obat bagi penyakit hati kecuali dengan Ilmu.  Oleh karena itu Allah Ta’ala menamakan kitab-Nya  sebagai obat bagi penyakit yang ada di dalam dada (hati).  Allah Ta’ala berfirman,
          “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Yunus; 57).
Oleh karena itu, penisbatan 'ulama kepada hati adalah seperti penisbatan dokter kepada badan, dan gelar “Dokter Rohani” yang diberikan kepada para 'ulama, adalah karena adanya persamaan diantara keduanya.  Jika tidak begitu, sesungguhnya permasalahannya lebih besar lagi, karena banyak diantara bangsa-bangsa, ada orang-orang yang tidak membutuhkan dokter dan dokter itu tidak merata di setiap Negara.  Boleh jadi seseorang menghabiskan semua umurnya tanpa membutuhkan keberadaan seorang dokter.
Sedang para 'ulama yang mengetahui Allah Ta’ala dan perintah-Nya, mereka adalah kehidupan alam semesta dan ruhnya.  Mereka dibutuhkan manusia setiap detik.  Kebutuhan hati terhadap ilmu tidaklah sama seperti kebutuhan badan kepada nafas, bahkan permasalahan ini lebih agung.
Kesimpulannya, sesungguhnya ilmu bagi hati adalah ibarat air bagi ikan,  Jika ikan tidak mendapatkan air, ia mati.  Ilmu bagi hati juga seperti cahaya bagi mata dan pendengaran telinga terhadap suara manusia.  Jika mata tidak mendapatkan cahaya, ia buta (tidak mampu melihat), dan jika telinga tidak mendapatkan suara, ia tuli (tidak mampu mendengar).
Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati orang bodoh sebagai orang buta, tuli dan bisu.  Itulah sifat hatinya yang tidak mempunyai Ilmu yang Bermanfaat.  Oleh karena itu, hatinya berada dalam kebutaan, ketulian, dan kebisuan (terhadap kebenaran).  Allah Ta’ala berfirman,
             “Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih buta, dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). (Al-Isra; 72).
Allah Ta’ala juga berfirman,
             “Dan kami kumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan   buta, bisu dan pekak.  Tempat kediaman mereka adalah Neraka Jahannam.” (Al-Isra; 97).
Ini karena keadaan mereka di dunia seperti itu, dan seseorang itu dibangkitkan seperti pada saat kematiannya.

74.  ILMU ADALAH JALAN KESELAMATAN
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya memberikan kepada seorang hamba musuh yang ahli tentang jalan-jalan yang mencelakakannya, dan sebab-sebab kejahatan yang telah ia siapkan.  Musuh tersebut sangat pakar, ahli, berambisi kuat terhadapnya, dan tidak pernah putus asa.
Seseorang harus mendapatkan salah satu dari enam hal dari syaithan;
          Salah satunya yang notabene merupakan puncak keinginan syaithan ialah menjauhkan seorang hamba dari Ilmu dan Iman kemudian melemparkannya pada jurang kekafiran.
          Jika hal diatas tidak mempan dan mendapat petunjuk kepada Islam, syaithan merubah strategi dengan menjerumuskannya kepada Bid’ah (Dalam aqidah dan amal) yang lebih ia sukai daripada maksiat, karena maksiat dimaafkan, sedang bid’ah tidak dimaafkan.  Disebutkan dalam sebuah atsar, bahwa Iblis berkata, “Aku membinasakan anak keturunan Adam dengan dosa-dosa, dan mereka membinasakanku dengan istigfar dan ucapan laa ilaaha illallahu.  Karena itu yang aku lihat pada mereka, maka aku menyebarkan hawa nafsu pada mereka, kemudian mereka melakukan dosa (bid'ah) dan tidak bertaubat, karena mereka mengira bahwa mereka mengerjakan amal shalih.”   Jika syaithan berhasil menaklukkan hamba tersebut kepada bid’ah, ia menjadikan orang tersebut sebagai salah satu rakyatnya dan penguasanya.
Jika ia tidak mampu menaklukkannya, ia melemparkan orang tersebut kepada tingkatan ketiga yaitu Dosa-Dosa Besar.
Jika ia gagal melakukannya, ia melemparkan orang tersebut ketingkatan keempat yaitu Dosa-Dosa Kecil.
            Jika ia gagal melakukannya, ia membuatnya sibuk dengan amal perbuatan yang tidak penting untuk menghalanginya dari amal perbuatan yang penting. Inilah tingkatan kelima.
            Jika ia gagal menaklukkannya ia pindah ketingkatan keenam, yaitu mengkuasakan kepada “anak buahnya” untuk bertindak kepada orang tersebut dengan menyiksa mereka, menghina mereka, membodohkannya, dan menuduhnya melakukan perbuatan haram, agar orang tersebut sedih dan hatinya lupa dari ilmu, keinginan, dan seluruh amal perbuatan lain.
            Bagaimana mungkin bisa menghindar dari syaithan orang yang tidak memiliki ilmu terhadap semua ini, tidak mempunyai ilmu tentang musuhnya, dan tidak mempunyai ilmu tentang cara berlindung diri darinya?  Sesungguhnya tidak akan selamat dari musuh kecuali orang yang mengetahui jalan musuhnya yang datang kepadanya melalui pintu tersebut dan tentaranya yang ia meminta bantuan kepadanya, mengetahui pintu masuk dan pintu keluarnya, mengetahui  bagaimana strategi memeranginya, mengetahui dengan senjata apa ia memeranginya, mengetahui dengan obat apa ia mengobati lukanya, dan mengetahui dengan apa ia menggantungkan kekuatan untuk memeranginya dan menghadang serangannya.
Itu semua tidak bisa didapatkan kecuali dengan Ilmu.  Sedang orang bodoh, ia lupa dan buta terhadap masalah yang besar ini.
Oleh karena itu, perihal jati diri musuh ini, pasukannya dan tipu dayanya seringkali diungkap dalam Al-Qur’an karena kebutuhan jiwa mengetahui musuhnya, dan cara-cara memeranginya dan melawannya.  Jika Ilmu tidak membongkar ini semua, pasti tidak ada orang yang selamat darinya.  Jadi, Ilmu dan buahnya yang memberikan keselamatan.

75.  ILMU ADALAH KEBALIKAN DARI LALAI
Sesungguhnya sebab terbesar yang menyebabkan seseorang diharamkan dari kebaikan dunia dan Akhirat, kelezatan di dunia dan akhirat, dan musuh masuk padanya melalui sebab tersebut  adalah Lalai dan Malas, yang merupakan kebalikan dari Keinginan dan Tekad yang kuat.  Kedua hal ini (lalai dan malas) merupakan biang petaka seorang hamba dan yang menyebabkannya diharamkan menduduki posisi orang-orang yang berbahagia.  Lalai dan malas ini disebabkan tidak adanya Ilmu.
Lalai bertentangan dengan Ilmu.  Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecam orang yang lalai, melarang manusia menjadi seperti mereka, mentaati mereka, dan menerima mereka,
           “Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf; 205),
           “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan  dari mengingat Kami.” (Al-Kahfi; 28),
           “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).  Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.  Mereka itulah orang-orang yang lalai.(Al-A’raf; 179).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam wasiat Beliau kepada para wanita,
           “Janganlah kalian lalai karena kalian akan lupa kepada rahmat.” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Salah seorang 'ulama pernah ditanya tentang hobi melihat foto-foto, ia menjawabnya, “Itu adalah hati yang lalai dari dzikir kepada Allah kemudian Allah mengujinya dengan menyembah kepada selain Allah.”
Hati yang lalai adalah tempat kediaman Syaithan.  Syaithan membisiki hati orang yang lalai dan membacakan padanya berbagai macam was-was dan ilusi yang bathil.  Jika orang tersebut sadar dan ingat Allah, maka syaithan berkumpul dan bersembunyi serta melemah.  Jadi syaithan itu selalu diantara was-was dan bersembunyi.
Syaithan itu selalu mengincar kelalaian seorang hamba kemudian menaburkan kedalam hatinya benih-benih impian kosong, syahwat dan ilusi yang tiada berarti, kemudian benih tersebut menghasilkan pohon pahit, duri dan banyak petaka.  Syaithan selalu mengurusi benih-benih tersebut dengan cara mengairinya, hingga ia bisa menghalangi dan membutakan mata hatinya.
Adapun malas, eksesnya adalah kesia-siaan, cuek, diharamkan dari banyak hal, dan (berakibat) penyesalan.  Malas adalah kebalikan dari keinginan, dan tekad yang merupakan hasil dari ilmu.  Barang siapa mengetahui bahwa kesempurnaan dirinya ada pada sesuatu, maka ia mencarinya dengan sekuat tenaga, dan hatinya bertekad kuat untuk sampai padanya.  Semua orang berusaha menyempurnakan dirinya dan mendapatkan kelezatannya, namun kebanyakan dari mereka salah jalan karena tidak memiliki Ilmu (Pengetahuan) tentang apa yang mesti dicari.  Jika ia mengetahui dengan pasti bahwa kebahagiaan dirinya, keselamatannya dan keberuntungannya ada pada tujuan tersebut, kenapa ia malas menuju tujuan tersebut?
Oleh karena itu tidak mengherankan kalau Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung diri dari sifat malas,
             “Ya Allah, aku berlindung diri kepadamu dari galau dan sedih, dari lemah dan malas, dari pengecut dan pelit, dari lilitan hutang dan terkanan orang lain.” (HR. Muslim).
Pada hadits diatas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta perlindungan dari delapan hal yang masing-masing daripadanya berpasangan.  Galau dan sedih adalah satu pasangan.  Perbedaan diantara keduanya, bahwa sesuatu yang tidak mengenakkan yang terjadi pada hati itu bisa terjadi pada masa silam dan masa mendatang.  Jika terjadi pada masa silam dinamakan sedih, dan jika pada masa mendatang dinamakan galau.
Orang malas dicela ketimbang orang yang lemah tidak berkemampuan.  Boleh jadi lemah adalah hasil dari malas, kemudian pelakunya dicela karenanya.  Yang sering terjadi, manusia itu malas terhadap sesuatu yang mampu ia capai dan keinginannya lemah untuk mendapatkannya hingga menyebabkannya lemah terhadapnya.
Inilah lemah yang dikecam Allah Ta’ala.  Salah seorang yang bijak berkata, “Tinggalkan malas dan bosan.  Karena malas membuat orang tidak bangkit menuju kemuliaan.  Dan bosan, jika ia tidak bangkit darinya - ia tidak sabar.”
Kebosanan bisa juga diakibatkan oleh malas dan lemah.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan sifat pengecut dan pelit.  Pada dasarnya, orang bisa berbuat baik kepada orang lain dengan kekayaannya atau jiwanya.  Orang pelit menolak memberikan kekayaannya dan pengecut yaitu orang yang tidak mau memberikan jiwanya.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang lilitan hutang dan tekanan orang.  Sesungguhnya tekanan yang diterima orang itu ada dua;
Pertama, tekanan dengan benar, yaitu lilitan hutang.
Kedua, tekanan dengan bathil, yaitu tekanan orang. 
Shalawat dan salam semoga terlimpah atas manusia yang dianugerahi ungkapan yang singkat namun padat isinya, dan khazanah Ilmu dan Hikmah disarikan dari ungkapan-ungkapan Beliau.
Jadi lalai dan malas penyebabnya adalah tidak adanya Ilmu.  Kekurangan penyebabnya adalah tidak adanya ilmu dan tekad.  Kesempurnaan penyebabnya ialah adanya ilmu dan tekad.
Manusia dalam hal ini terbagi dalam empat kelompok;
Kelompok pertama, orang yang dianugerahi ilmu dan didukung oleh tekad yang kuat untuk beramal.  Kelompok ini adalah inti keseluruhan manusia.  Merekalah yang disifati Allah Ta’ala dalam Al-Quran dengan firman-Nya (artinya),
            “Kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan amal shalih.” (Al-Ashr; 3). 
Atau dengan firman-Nya,
            “Yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shaad; 45).
Atau dengan firman-Nya,
             “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?” (Al-An’am; 122).  
Jadi dengan kehidupan - tekad itu didapatkan, dan dengan cahaya - Ilmu diperoleh.
Pemimpin kelompok ini adalah para Rasul Ulul Azmi (Yang Paling Utama).
Kelompok kedua, orang yang tidak dianugerahi ilmu dan tekad yang kuat.  Mereka itulah yang disifatkan oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya,
              “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk disisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. (Al-Anfal; 22).
Atau dengan firman-Nya,
               “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqan; 44).
Atau dengan firman-Nya,
              “Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat  mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan.”(Ar-Rum; 52).
Atau dengan firman-Nya,
              “Dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikan orang yang berada di dalam kubur dapat mendengar.” (Fathir; 22).
Kelompok ini adalah manusia yang paling buruk.  Mereka membuat sempit dunia, dan meninggikan harga Tentang diri mereka sendiri mereka sangat tahu, namun itu sebatas bagian luar dunia, dan mereka lalai dari Akhirat.  Mereka mengerjakan apa yang membahayakan mereka dan tidak membawa manfaat bagi mereka, serta berbicara berdasarkan hawa nafsu.  Mereka berbicara dan berdialog, namun berdasarkan kebodohan.  Mereka berbicara dan beriman namun kepada berhala dan thaghut.  Mereka menyembah, namun kepada selain Allah.  Mereka membantah namun dengan kebathilan untuk mematahkan kebenaranMereka menyembunyikan, namun dalam bentuk perkataan yang tidak diridhai Allah.  Mereka menjelaskan dan berdakwah, namun dengan menyekutukan Allah dengan tuhan yang lain.  Mereka berdoa dan berdzikir, namun jika mereka diingatkan mereka tidak ingat.  Mereka shalat, namun bersama dengan orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, yaitu orang-orang yang riya’ dalam shalatnya dan menolak memberi sesuatu kepada sesamanya.  Mereka berhukum, namun hukum jahiliyah yang mereka cari.  Mereka menulis, namun menulis dengan tangannya kemudian mereka berkata, “Ini berasal dari Allah.”  Karena ingin membeli sesuatu yang sedikit dengannya, maka celakalah apa yang ditulis tangan mereka, dan celakalah apa yang mereka usahakan.  Mereka berkata, “Sesungguhnya kami semua adalah para reformis.”  Ketahuilah, sesungguhnya mereka adalah para perusak (Agama).  Jika dikatakan kepada mereka, “Berimanlah sebagaimana orang-orang lain beriman!”  Mereka berkata, “Apakah kami harus beriman sebagaimana orang-orang bodoh beriman?” Ketahuilah, mereka sendirilah orang-orang bodoh, namun mereka tidak menyadarinya.
Kelompok ini, sekilas seperti  manusia namun pada hakikatnya mereka adalah Syaithan dalam wujud manusia.  Orang yang termulia di antara mereka jika Anda berpikir adalah seperti keledai, atau anjing, atau serigala!
          Salah seorang penyair berkata,
          Engkau jangan terkecoh oleh jenggot dan penampilan luar
         Sembilan keluarga yang Anda lihat sebagai sapi di pohon sarwu
         Mereka seperti pohon yang mempunyai dahan, namun tidak punya buah
           Yang lebih indah dari semua itu ialah firman Allah Ta’ala,
                     “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum.  Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka.  Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar.” (Al-Munafiqun; 4).
                      Seorang penyair berkata,
                       Rekan-rekan seperjalanan tidak mengetahui kebaikan perjalanan
                       Melainkan seperti pengetahuan unta-unta
                       Demi Tuhan, unta pada waktu pagi hari dan sore hari diseret tidak tahu
                       Apa yang ada didepannya
           Yang lebih indah dan tepat dari itu semua ialah firman Allah Ta’ala,
                      “Adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.  Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu.  Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim.” (Al-Jumu’ah; 5).
Kelompok ketiga, orang yang dianugerahi pintu ilmu, dan ditutup dari pintu tekad dan amal perbuatan.  Orang seperti ini setingkat dengan orang bodoh, atau lebih buruk dari orang bodoh.  Orang ini kebodohannya lebih baik baginya, sebab ilmu tidak menambah selain petaka dan siksa baginya.  Orang ini tidak mempunyai keinginan untuk menjadi orang baik.  Sesungguhnya orang yang tersesat dari jalan yang benar bisa diharapkan kembali ke jalan yang benar ketika ia telah melihat jalan tersebut.  Jika ia telah mengetahui jalan kemudian ia berpaling darinya dengan sengaja, bagaimana bisa ia diharapkan mendapat petunjuk?  Allah Ta’ala berfirman,  
“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul (Muhammad) benar-benar Rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka ? Allah tidak menunjuki orang yang zhalim.” (Ali Imran; 86). 
Kelompok keempat, orang yang dianugerahi tekad dan keinginan, namun tidak dianugerahi ilmu.  Orang ini, jika ia telah mentauladani salah satu dari dai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, ia bersama mereka.  Firman Allah Ta’ala,
            “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, dan para Shiddiiqiin, dan orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih.  Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.  Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (An-Nisa; 69-70). 
Mudah-mudahan Allah memberikan karunia-Nya kepada kita, dan tidak mengharamkan hal-hal yang baik kepada kita karena kesalahan perbuatan kita, sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

76.  SIFAT-SIFAT TERPUJI ADALAH BUAH DARI ILMU
Semua sifat-sifat terpuji pada seorang hamba yang dipuji Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an adalah buah dari ilmu dan setiap sifat tercela yang dicela Allah Ta’ala adalah hasil dari kebodohan.  Allah Ta’ala memuji seorang hamba karena keimanannya yang merupakan puncak Ilmu dan saripatinya.  Allah Ta’ala juga memuji seorang hamba karena amal shalih yang merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat.  Allah Ta’ala memujinya karena kesyukurannya, kesabarannya, bersegera kepada kebaikan, cinta kepada-Nya, takut kepada-Nya, berharap kepada-Nya, inabah kepada-Nya, lemah-lembut, cerdas, berpikir, menjaga kesucian diri, dermawan, itsar (mendahulukan kepentingan umum), pemberian nasihat kepada hamba-hamba Allah, menyayangi mereka, ramah, memaafkan kesalahan mereka, memberikan kebaikan kepada mereka tanpa terkecuali, membalas kejahatan dengan kebaikan, mengajak kepada yang baik, melarang dari yang mungkar, sabar terhadap hal-hal yang membutuhkan kesabaran, ridha dengan takdir, lemah-lembut terhadap wali-wali Allah Ta’ala, tegas terhadap musuh-musuh-Nya, benar dalam janji, menepati janji, berpaling dari orang-orang bodoh, menerima nasihat, yakin, tawakal, damai, tentram, saling menyambung hubungan persaudaraan, adil dalam perkataan, tindakan dan akhlak, kuat dalam perintah-Nya, bijaksana dalam agama-Nya, melaksanakan hak-Nya, mengeluarkan hak-Nya dari orang yang menolak mengeluarkannya, dakwah kepada-Nya, keridhaan-Nya dan surga-Nya, memperingatkan manusia dari jalan orang-orang yang sesat, menjelaskan jalan-jalan kesesatan dan keadaan pelakunya, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, menganjurkan pemberian makan kepada orang-orang miskin, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung hubungan sanak kerabat, dan mengucapkan salam kepada seluruh kaum Mukminin.
              Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
                “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis.  Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.  Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.  Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.(Al-Qalam; 1-4).
Aisyah radhiyallahu 'anha ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
                “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” Penanya merasa puas dengan jawaban tersebut kemudian berkata, “Aku paham bahwa aku harus berdiri dan tidak bertanya apa-apa lagi sesudahnya.” (HR. Muslim).
Akhlak tersebut dan akhlak-akhlak lainnya adalah buah dari pohon ilmu.
Adapun pohon kebodohan, ia menghasilkan semua buah yang jelek seperti kekafiran, kerusakan, syirik, kezhaliman, kesesatan, permusuhan, tidak sabar, keluh kesah, tidak syukur, buru-buru, gegabah, emosi, ucapan kotor, porno, dan pelit.
Oleh karena itu, dikatakan tentang definisi pelit,Kebodohan yang dipadukan dengan buruk sangka.”
Diantara dari pohon kebodohan ialah; menipu manusia, sombong, ujub, riya’, sum’ah, kemunafikan, melanggar janji, bersikap kasar terhadap manusia, balas dendam, membalas kebaikan dengan kejahatan, menyuruh kepada yang mungkar, melarang dari yang baik, tidak menerima nasihat, mencintai selain Allah, berharap kepada selain Allah, tawakal kepada selain Allah, mendahulukan ridha selain Allah diatas ridha Allah, mengutamakan perintah selain Allah atas perintah Allah, tidak serius menunaikan hak Allah, serius menunaikan hak dirinya, emosi karena dirinya, mencari kemenangan karena dirinya, jika hak dirinya dilanggar maka balas dendam melebihi haknya, jika hak Allah dilanggar maka urat syarafnya tidak bangkit-marah karena Allah, tidak mempunyai kekuatan untuk melaksanakan perintah-Nya, dan tidak bijak dalam agama-Nya.
Diantara buah pohon kebodohan lainnya ialah,berdakwah ke jalan syaithan, meniti jalan kesesatan, menuruti keinginan hawa nafsu, mendahulukan syahwat atas taat, menyebarkan gossip, banyak bertanya, menghambur-hamburkan uang, mengubur anak hidup-hidup, durhaka kepada ibu, memutus hubungan sanak keluarga, menyakiti tetangga, mengendarai kendaraan kehinaan dan aib.
Kesimpulannya, sesungguhnya kebaikan dan seluruh kandungannya yang terjadi di dunia sekarang ini adalah buah yang dipetik dari pohon Ilmu dan amal perbuatan yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.  Begitu pula dengan keburukan serta kerusakan yang terjadi di dunia sekarang ini hingga hari kiamat dan sesudahnya maka penyebabnya ialah karena melanggar Ilmu dan Amal yang dibawa para Rasul.

77.  MAJLIS-MAJLIS ILMU ADALAH TAMAN-TAMAN SURGA
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu berkata dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda (artinya),
                        “Jika kalian berjalan melewati taman-taman surga, maka perbanyaklah dzikir.”   Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan taman-taman surga?”  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu kelompok-kelompok dzikir.  Sesungguhnya Allah mempunyai utusan dari para Malaikat yang mencari kelompok-kelompok dzikir.  Jika mereka datang ke kelompok-kelompok dzikir tersebut mereka mengelilinginya.”
Atha’ berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan haram; bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat, bersedekah, menikah, mencerai dan berhaji.”
Hal tersebut disebutkan Al-Khatib dalam buku Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih.

78.  ORANG BERILMU DAN KELEBIHANNYA
Al-Khatib meriwayatkan dalam bukunya Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih hadits dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu yang berkata, “Orang berilmu itu lebih besar pahalanya daripada orang yang berpuasa yang mengerjakan Qiyamul lail, dan berperang dijalan Allah.”

79.  ANTARA ILMU DAN JIHAD
Al-Khatib meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang berkata, “Sungguh jika aku mengetahui satu bab ilmu tentang perintah dan larangan itu lebih aku sukai daripada tujuhpuluh kali berperang di jalan Allah.”
Jika ungkapan diatas benar, maka maknanya ialah ”tujuhpuluh kali berperang dijalan Allah yang tidak didasari ilmu.”  Karena amal perbuatan tanpa ilmu, maka kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya.  Atau yang dimaksud Abu Hurairah adalah Ilmu yang dipelajarinya dan diajarkannya kepada orang lain kemudian ia mendapatkan pahala orang beramal dengannya hingga hari kiamat.  Ini jelas tidak bisa didapatkan dengan sekedar perang.

80.  ANTARA ILMU DAN IBADAH
Al-Khatib meriwayatkan dari Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu yang berkata, “Mendiskusikan ilmu satu jam lebih baik daripada qiyamul lail satu jam.”

81.  ANTARA ILMU DAN SEDEKAH
Al-Khatib meriwayatkan dari Al-Hasan, “Sungguh aku mempelajari satu bab ilmu kemudian mengajarkannya kepada orang muslim, itu lebih aku sukai daripada aku mempunyai seluruh dunia kemudian aku infakkan di jalan Allah.”

82.  ILMU ADALAH IBADAH YANG PALING MULIA
Makhul berkata, “Cara terbaik untuk menyembah Allah ialah dengan ilmu.”

83.  IBADAH DENGAN ILMU
Sa’id bin Al-Musayyib berkata, “Beribadah kepada Allah tidaklah dengan puasa dan shalat, namun dengan mendalami agama-Nya.”
          Dua hal yang dikehendaki ungkapan di atas;
Pertama, bahwa ibadah itu bukan dengan puasa dan shalat tanpa ilmu, namun dengan ilmu yang dengannya diketahui bagaimana berpuasa dan shalat dengan benar.
Kedua, bahwa ibadah itu tidak hanya puasa dan shalat saja, namun mendalami agama Allah merupakan ibadah yang paling agung.
Sebelumnya telah dijelaskan kelebihan orang berilmu atas mujahid (orang yang berjihad) dan sebaliknya.

84.  PARA ULAMA DAN PARA NABI
Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah berkata, “Manusia yang paling dekat dengan tingkatan kenabian ialah para 'Ulama dan Mujahidin (Jihad).  Para ulama menjelaskan kepada manusia apa yang dibawa para Rasul dan para Mujahidin mempertahankan apa yang dibawa para Rasul.”

85.  KOMUNITAS PARA ULAMA
Sufyan bin Uyainah berkata, “Manusia yang paling tinggi kedudukannya disisi Allah yaitu orang yang menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya yaitu para Rasul dan para Ulama.”

86.  ILMU ADALAH IBADAH
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, “Cara terbaik menyembah Allah ialah dengan Ilmu.”
Ungkapan di atas dan ungkapan-ungkapan sejenisnya maksudnya bahwa cara terbaik untuk menyembah Allah  ialah dengan mengetahui Agama.  Jadi upaya mempelajari Ilmu adalah ibadah, seperti dikatakan Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, “Hendaklah kalian memperhatikan Ilmu, karena mencari Ilmu karena Allah adalah ibadah.”
Atau bisa jadi yang dimaksudkan ialah bahwa Allah tidak disembah dengan ibadah yang lebih baik daripada ibadah yang didasari Ilmu tentang Agama, karena orang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak ibadah, ibadah-ibadah wajib, ibadah-ibadah sunnah, apa saja yang menyempurnakan ibadah, dan apa saja yang menguranginya.
Kedua interpretasi di atas bisa dibenarkan.

87.  MAJELIS-MAJELIS PARA ULAMA
Sahal bin Abdullah At-Tastari berkata, “Barangsiapa ingin melihat majelis-majelis para Nabi, hendaklah ia melihat majelis-majelis para 'Ulama.”
Ini karena 'Ulama adalah pengganti para Rasul di ummat-ummatnya masing-masing, dan pewaris Ilmu mereka.  Maka majelis-majelis mereka adalah majelis-majelis pengganti Kenabian.

88.  MENCARI ILMU ADALAH AMAL PERBUATAN YANG PALING UTAMA
Banyak sekali para imam mengatakan, bahwa amal perbuatan yang paling utama setelah ibadah-ibadah wajib adalah mencari Ilmu.
Imam Syafi’i berkata, “Tidak ada sesuatu setelah ibadah wajib yang lebih baik daripada mencari Ilmu.”
Inilah yang diriwayatkan sahabat-sahabat Imam Syafi’i bahwa ia adalah madzhabnya.
Ungkapan yang sama juga dikatakan Sufyan bin Uyainah.
Adapun Imam Ahmad, ada tiga riwayat darinya;
Pertama, amal perbuatan yang paling baik setelah ibadah-ibadah wajib adalah Ilmu.  Ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Apa yang paling engkau sukai?  Aku duduk pada suatu malam untuk menulis ataukah aku mengerjakan shalat sunnah?” Imam Ahmad menjawab, “Engkau menulis masalah-masalah agama yang engkau ketahui lebih aku sukai.”
Al-Khalal dalam buku Al-Ilmu meriwayatkan dari Imam Ahmad banyak sekali nash-nash tentang kelebihan ilmu.
Diantara perkataan Imam Ahmad di dalamnya, “Manusia lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan terhadap makanan dan minuman.”
Kedua, amal perbuatan yang paling baik setelah ibadah-ibadah wajib adalah shalat-shalat sunnah.  Untuk Riwayat ini, Imam Ahmad berhujjah dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
          “Ketahuilah, bahwa amal perbuatan kalian yang paling baik ialah shalat.” (HR. Ahmad, Ibnu   Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi).
Imam Ahmad juga berhujah dengan sabda Beliau dalam hadits Abu Dzar yang bertanya tentang shalat, kemudian Beliau bersabda,
“Itu adalah kebaikan yang dipasang.”
Juga karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepada orang yang ingin menemani Beliau di Surga agar ia memperbanyak sujud yang tiada lain adalah shalat.
Juga berhujjah dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang lain,
                     “Hendaklah engkau memperbanyak sujud. Sesungguhnya engkau tidak sujud kepada Allah satu sujud saja melainkan dengan sujud tersebut Allah mengangkat derajatmu, dan menghapus kesalahan darimu.” (HR. Muslim).
Dan hadist-hadits lain yang  menunjukkan kelebihan shalat.
Ketiga, amal perbuatan terbaik setelah ibadah-ibadah wajib adalah jihad, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
                       “Aku tidak membandingkan jihad dengan sesuatu apapun.  Siapakah yang mampu melakukannya?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Tidak diragukan bahwa hadits-hadits yang paling banyak adalah hadits-hadits tentang shalat dan jihad.
Adapun Imam Malik, Ibnu Al-Qasim berkata, aku mendengar Imam Malik berkata, “Sesungguhnya kaum-kaum yang mencari ibadah dan mengenyampingkan ilmu itu menghadapi ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pedang-pedang mereka.  Seandainya mereka mencari Ilmu, niscaya Ilmu mencegah mereka melakukan hal tersebut.”
Syaikh kami Ibnu Taimiyah berkata, “Ketiga hal ini (Shalat, Ilmu dan Jihad) dimana para imam melebihkan sebagiannya atas sebagian yang lain, pernah dikatakan oleh Umar bin Khatab radhiyallahu 'anhu, “Jika di dunia tidak ada tiga hal, aku tidak ingin hidup lama didunia.  Seandainya aku tidak diperintah atau tidak menyiapkan pasukan dijalan Allah, tidak qiyamul lail, dan tidak duduk dengan kaum-kaum yang memilih perkataan-perkataan yang baik-baik sebagaimana buah-buahan yang baik dipilih, maka aku tidak tertarik hidup lama di dunia.”
Yang pertama ialah Jihad, kedua adalah Qiyamul lail, dan ketiga ialah mempelajari Ilmu.
Ketiga hal di atas terkumpul pada diri generasi sahabat dan tidak terkumpul pada generasi sesudah mereka.

89.  ILMU LEBIH BAIK DARIPADA IBADAH-IBADAH SUNNAH
Abu Nua’im dan lain-lain menyebutkan dari beberapa sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Beliau bersabda (artinya),
            “Kelebihan ilmu itu lebih baik daripada amal perbuatan yang sunnah, dan agama kalian yang  paling baik ialah sikap wara’ (menjauhi syubhat dan maksiat).” (HR. Abu Nua’im).
Ungkapan di atas adalah penentu permasalahan ini.  Bahwa jika masing-masing antara Ilmu dan Amal perbuatan adalah ibadah wajib, maka keduanya dibutuhkan seperti puasa dan shalat.  Jika kedua-duanya merupakan ibadah sunnah, maka Ilmu lebih baik daripada amal perbuatan, karena manfaat Ilmu dirasakan pelakunya dan semua manusia, sedang manfaat ibadah hanya terfokus pada pelakunya saja.  Juga karena manfaat Ilmu itu tetap berlangsung setelah kematiannya, sedang manfaat ibadah terputus dengan kematian seperti telah dijelaskan sebelumnya.

90.  ILMU DAN TAKUT KEPADA ALLAH
Al-Khatib, Abu Nua’im, dan lain-lain meriwayatkan dari Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu yang berkata, “Pelajarilah Ilmu, karena mempelajarinya karena Allah akan memunculkan rasa takut kepada Allah, mempelajarinya adalah ibadah, mengkajinya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad, mengajarkannya kepada yang tidak memilikinya adalah sedekah, dan mengeluarkannya kepada yang berhak adalah ibadah.  Dengan Ilmu, Allah dikenal, disembah, dan ditauhidkan.  Dengannya, yang halal dan haram diketahui.  Dengannya sanak kerabat disambung.  Ilmu adalah teman akrab pada saat sendirian.  Ia adalah sahabat karib pada saat kesepian.  Ia adalah petunjuk jalan pada saat makmur, dan pembela pada saat menderita.  Ilmu adalah perdana menteri ketika berada di tengah-tengah sahabat karib, dan orang dekat bagi orang-orang asing.  Ilmu adalah menara jalan ke Surga.  Dengannya Allah mengangkat kaum-kaum kemudian Allah menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin dalam hal-hal yang baik dan sebagai suritauladan bagi orang lain.  Mereka adalah petunjuk kepada kebaikan.  Jejak mereka dinapaktilasi.  Perbuatan-perbuatan mereka ditiru.  Para Malaikat ingin berduaan dengan mereka dan dengan sayap-sayap mereka ingin melindungi mereka.  Musim kemarau dan hujan beristigfar untuk mereka hingga ikan-ikan di lautan, singa, binatang buas didaratan, hewan ternak, langit, dan bintang-bintangnya.  Ilmu adalah penghidup hati dari kebutaan, cahaya bagi mata dari kegelapan, dan penguat badan dan hati dari kelemahan.  Dengannya seorang hamba mencapai kedudukan orang-orang mulia dan posisi tertinggi.  Memikirkan ilmu itu seimbang dengan puasa.  Mengkajinya itu seimbang dengan qiyamul lail.  Ilmu adalah Imam amal perbuatan dan amal perbuatan adalah makmumnya.  Ilmu diberikan kepada orang-orang yang berbahagia dan diharamkan dari orang-orang yang celaka.”

91.  TINGKATAN-TINGKATAN PENCARI ILMU
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
            “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan     orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, dan para shiddiqqiin, dan orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih.  Dan mereka itulah teman yang  sebaik-baiknya.” (An-Nisa; 69).
Jadi tingkatan yang paling mulia adalah tingkatan kenabian, dan tingkatan sesudahnya ialah tingkatan kejujuran (shiddiq), dan sesudahnya ialah tingkatan mati syahid,dan sesudahnya orang-orang yang shalih.
Maka barang siapa mencari ilmu untuk menghidupkan Islam, ia termasuk orang-orang yang jujur dan tingkatannya adalah setelah tingkatan para Nabi.

92. ILMU ADALAH KEBAIKAN DUNIA
Tentang firman Allah Ta’ala (yang artinya),
”Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan didunia.” (Al-Baqarah; 201). 
Al-Hasan berkata, “Yang dimaksud dengan kebaikan di dunia ialah Ilmu.”
Tentang firman Allah Ta’ala, 
“Dan kebaikan di akhirat.” (Al-Baqarah; 201). 
Al-Hasan berkata, “Yang dimaksud dengan kebaikan dia akhirat ialah Surga.”
Penafsiran diatas adalah penafsiran yang paling tepat, karena kebaikan yang paling mulia didunia adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.

93.  ILMU ITU DENGAN BELAJAR
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata,
“Hendaklah kalian peduli kepada ilmu sebelum ilmu tersebut diangkat.  Diangkatnya Ilmu ialah dengan kematian para 'ulama.  Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman Tangan-Nya, pastilah orang-orang yang gugur di jalan Allah sebagai syuhada’ itu menginginkan dibangkitkan Allah sebagai 'ulama karena mereka melihat kemuliaan yang ada pada 'ulama.  Sesungguhnya manusia itu tidak dilahirkan sebagai orang berilmu, namun Ilmu itu dengan belajar.

94.  ANTARA ILMU DAN QIYAMUL LAIL
Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhuma, serta sesudahnya Imam Ahmad berkata,
“Mempelajari ilmu beberapa malam lebih kami sukai daripada menghidupkan malam dengan qiyamul lail.”

95.  PEMBERIAN ALLAH KEPADA HAMBA-HAMBA-NYA DARI KALANGAN ORANG BERILMU
Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata,
“Wahai manusia, hendaklah kalian peduli kepada ilmu, karena sesungguhnya Allah mempunyai pakaian yang disukai-Nya.  Barang siapa mencari salah satu bab Ilmu, Allah menutupinya dengan pakaian-Nya.  Jika ia mengerjakan dosa, Allah menegurnya agar Dia tidak mencabut pakaian-Nya darinya, hingga ia meninggal dunia tetap mengenakan pakaian tersebut.”

96.  KEMATIAN ORANG BERILMU DAN KEMATIAN AHLI IBADAH
Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata,
“Kematian seribu ahli ibadah lebih enteng daripada kematian satu orang berilmu yang ahli tentang hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan Allah.”
Penjelasan ucapan Umar, bahwa orang berilmu dengan Ilmunya dan arahannya mampu menghancurkan apa saja yang dibangun Iblis.  Sedang ahli ibadah, manfaatnya hanya terbatas pada dirinya.

97.  SETIAP HARI ILMU HARUS BERTAMBAH
Salah seorang dari generasi Salaf berkata, “Jika pada suatu hari ilmuku yang mendekatkan diriku kepada Allah Ta’ala tidak bertambah, maka aku tidak diberkahi pada hari itu sejak matahari terbit.”
Salah seorang penyair berkata,
Jika hari berlalu sementara aku tidak bisa mendapatkan apa-apa dari petunjuk.
Dan aku tidak mendapatkan Ilmu, maka hari tersebut bukan umurku.

98.  BUAH IMAN ADALAH ILMU
Salah seorang generasi Salaf berkata,
“Iman itu telanjang.  Pakaiannya adalah Taqwa, perhiasannya adalah Sifat Malu, dan buahnya adalah Ilmu.”

99.  ULAMA ADALAH MANUSIA SEJATI
Ibnu Al-Mubarak pernah ditanya, “Siapakah yang dinamakan manusia itu?”  Beliau menjawab, “Manusia sejati adalah para 'ulama.”  Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah yang dinamakan para Raja yang sebenarnya?”  Beliau menjawab, “Para Raja adalah orang-orang Zahid (Zuhud).”  Ditanyakan lagi kepada Beliau, “Siapakah yang dinamakan orang-orang bodoh itu?”  Ibnu Al-Mubarak menjawab, “Orang-orang bodoh yaitu orang yang makan dengan Agamanya.” 

...Bersambung ke; 129 BUAH ILMU (Bagian II)
     
       



 
         

  


         

  



    


      



Tidak ada komentar:

Posting Komentar