بسم الله الرحمن الرحيم
Dari Hadits Qudsi yang berbunyi:
يَا عِبَادِي، كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ.
يَا عِبَادِي، كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ.
يَا عِبَادِي، كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ، فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ.
Hai para hamba-Ku! Setiap kalian adalah sesat kecuali yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku beri kalian petunjuk.
Hai para hamba-Ku! Setiap kalian kelaparan kecuali yang Aku beri makan, maka mintalah makan kepada-Ku, pasti Aku beri kalian makan.
Hai para hamba-Ku! Setiap kalian adalah telanjang kecuali yang Aku beri pakaian, maka mintalah kepada-Ku pakaian, pasti akan Aku beri kalian pakaian.
____
Al-Imam, Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan,
هذا يقتضي أنَّ جميعَ الخلق مُفتقرون إلى الله تعالى في جلب مصالحهم، ودفع مضارِّهم في أمور دينهم ودُنياهم، وإنَّ العباد لا يملِكُون لأنفسهم شيئاً مِنْ ذلك كلِّه، وإنَّ مَنْ لم يتفضَّل اللهُ عليه بالهدى والرزق، فإنَّه يُحرمهما في الدنيا
"Riwayat di atas menunjukkan bahwa seluruh makhluk butuh kepada Allah untuk dapat mewujudkan kemaslahatan (kebutuhan) mereka dan untuk terhindar dari marabahaya, baik dalam urusan Agama maupun dunia mereka. Dan [dipahami pula dari riwayat di atas] bahwa para hamba tidak memiliki kuasa sedikitpun dalam hal;
[1] Mendatangkan manfaat dan
[2] Mencegah mudarat. Seandainya Allah tidak memberi petunjuk dan rezeki kepada seseorang, tentu (secara pasti) ia akan terhalang dari kedua hal tersebut di dunia."
(Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam, hlm. 661)
DUA PELAJARAN LAIN DARI HADITS QUDSI INI
Dalam penggalan hadits qudsi di atas, 'Hai hamba-hamba-Ku! Setiap kalian adalah orang yang sesat kecuali yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku beri kalian petunjuk.' terdapat pelajaran lain bagi kita, yaitu,
أن تسأل الله الهداية دائماً حتى لا تضلّ
"Hendaklah engkau senantiasa memohon hidayah kepada Allah agar tidak tersesat." Demikian kata Asy-Syaikh Al-Utsaimin.
Beliau menjelaskan lebih lanjut,
الحثّ على طلب العلم، لقوله: "كُلُّكُم ضَالٌّ" ولاشكّ أن طلب العلم من أفضل الأعمال، بل قد قال الإمام أحمد - رحمه الله -: العلم لايعدله شيء لمن صحت نيته لاسيما في هذا الزمن الذي كثر فيه الجهل، وكثر فيه الظن وأفتى من لايستحق أن يفتي، فطلب العلم في هذا الزمان متأكد
"(Diambil dari riwayat ini) anjuran untuk mendalami ilmu agama. Berdasarkan firman-Nya, 'Setiap kalian adalah orang yang sesat', tidak diragukan, bahwa mendalami ilmu agama termasuk amalan yang paling utama. Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullah sampai menyatakan, 'Tidak ada yang sebanding dengan (amalan mencari) ilmu agama bagi orang yang lurus niatnya.' Apalagi di zaman sekarang, dimana kebodohan sangat marak, dan dugaan-dugaan (cocoklogi), serta berfatwanya orang-orang yang tidak layak (bodoh) untuk berfatwa. Sehingga mendalami ilmu agama di masa sekarang menjadi semakin ditekankan."
(Syarah Al-Arba'in, hlm. 270-271)
✍️ Jalur Masjid Agung @ Kota Raja
-- Hari Ahadi [Penggalan pembahasan hadits 24 dari kitab Arba'in Nawawi]
Renungan Manusia Fakir, Membutuhkan Allah Setiap Saat dan dalam Setiap Keadaan:
Hakikat hamba, bagaimanapun keadaan manusia pasti butuh kepada Allah dan dari sisi manapun. Butuhnya manusia kepada Allah ini sifatnya mutlak, tidak bisa tidak.
Sebagaimana sifat kaya pada Allah berisfat mutlak, sempurna dari segala sisinya. Maka manusia mustahil tidak butuh kepada Allah, sebagaimana tidak ada pilihan lain bagi mereka sebagai hamba yang diciptakan.
Demikianlah Allah, mustahil bagi-Nya kecuali Maha Kaya secara Dzat, sebagaimana mustahil bagi-Nya kecuali sebagai Rabb yang diibadahi.
Sifat fakir atau butuhnya hamba kepada Allah secara garis besar ada dua macam;
Yang pertama, sifat fakir secara asal, artinya siapapun manusianya tidak bisa tidak kecuali pasti membutuhkan Allah. Inilah sifat fakir secara umum, tidak ada seorang hamba pun yang tidak butuh kepada-Nya.
Baik ia orang jahat atau orang yang shalih. Karena mereka semua diciptakan, mendapatkan semua bentuk rezeki dari Allah, tidak mampu mengelak dari ketetapan tersebut.
Bentuk kebutuhan hamba kepada Allah dari jenis ini tidak ada hubungannya dengan pujian atau celaan, pahala ataupun dosa. Sebagaimana keadaan seluruh hamba sebagai makhluk yang diciptakan dan dipelihara dengan berbagai macam bentuk nikmat dari-Nya.
Yang kedua, adalah sifat butuh kepada Allah melalui usaha dan pilihan (kehendak) sendiri. Perasaan butuh kepada Allah ini sebagai buah dari 2 (dua) ilmu yang mulia; Pengenalan hamba terhadap Rabb-nya, dan Pengenalan hamba terhadap dirinya sendiri.
Siapapun yang memiliki dua ilmu ini, akan terlahirlah (muncul) dari keduanya perasaan fakir, hanya membutuhkan Allah semata. Maka, fakir kepada Allah justru hakikatnya adalah kekayaan, tanda keberuntungan dan kebahagiaan dirinya (demikian pula sebaliknya, ketidak pedulian manusia terhadap Allah adalah tanda kecelakaan dan kebinasaan dirinya).
Perbedaan manusia dalam rasa butuh kepada Allah ini sesuai dengan perbedaan tingkatan ilmu mereka dalam dua hal tersebut. Semakin seseorang mengenal Rabb-nya, bahwa sifat kaya yang sempurna secara mutlak milik-Nya semata, ia akan semakin sadar bahwa dirinya bersifat fakir secara mutlak dari segala sisi.
Semakin seseorang mengenal Rabb-nya sebagai Pemilik kemampuan yang menyeluruh secara sempurna, ia pun akan semakin mengetahui bahwa dirinya sangat lemah dari segala sisi.
Semakin seseorang mengetahui (mengenal) Rabb-nya Yang Maha memiliki kemuliaan yang sempurna, ia akan semakin sadar tentang kerendahan dan kehinaannya.
Semakin meyakini bahwa Allah-lah pemilik ilmu serta hikmah yang Maha sempurna, ia akan semakin paham tentang dirinya yang bodoh, sangat terbatas sekali ilmunya.
Ia menyadari bahwa Allah mengeluarkan hamba dari perut ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, tidak memiliki kemampuan sedikitpun, tidak pula memiliki sesuatu apa. Tidak mampu memberi, mencegah, menimpakan madharat, atau mengusahakan manfaat, tidak mampu sama sekali.
Sifat fakir atau butuhnya pada saat dilahirkan itu, hingga perkembangannya pada tingkat kesempurnaan yang dimiliki saat ini adalah perkara yang mudah disaksikan.
Siapapun akan mengakuinya, bahwa semua itu adalah konsekuensi dari dzat manusia. Berarti manusia pun secara dzat sangat fakir kepada Allah. Ia akan senantiasa butuh kepada Allah hingga kapanpun.
Semenjak lahir ke dunia, bahkan sebelum terlahir ia telah membutuhkan Allah, Dzat yang telah menciptakannya. Karena Allah-lah yang telah mencurahkan kepadanya berbagai nikmat dari-Nya, melimpahkan rahmat, dan menggiring mereka kepada berbagai sebab kesempurnaan wujudnya, lahir maupun batin.
Allah yang menciptakan baginya pendengaran, penglihatan, hati, dan ilmu. Dia semata yang memberikan kemampuan kepada manusia. Allah yang membuat ia bergerak, memungkinkan baginya untuk mendapatkan manfaat dari sesama manusia.
Allah-lah semata yang menundukkan alam untuknya. Hewan-hewan mudah dikuasai oleh manusia, bahkan yang berasal dari hewan liar sekalipun.
Manusia bisa menggali bumi, menanam pohon, mengalirkan air, meninggikan bagunan, dan mengusahakan segala mashlahat, semuanya tidak lain berasal dari Allah.
Allah pula yang memudahkan manusia menghindar dari berbagai mudharat. Manusia kemudian memiliki kemampuan menjaga diri terhadap segala hal yang bisa mengganggunya. Itu semua itu tidak lain dan tidak bukan, kecuali dari Allah semata.
Ya, manusia secara dzat sangat membutuhkan Allah hingga kapanpun. Di kehidupan dunia ini, terlebih lagi nanti di Akhirat. Maka, sangatlah tidak pantas bagi manusia membanggakan diri lagi sombong. Lalu, enggan meminta dan memohon segalanya kepada Sang Pencipta, tidak mau tunduk dan patuh kepada (hukum-hukum)-Nya, bahkan kufur, tidak mau beribadah hanya kepada-Nya. Allahul musta'an (hanya Allah sajalah tempat memohon pertolongan).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
"Hai manusia, kalianlah yang sangat butuh kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji."
(QS. Fathir: 15)
oOo
Disalin dengan editan dari tulisan:
Ustadz Farhan
(Disadur dengan penyesuaian dari petikan kalimat dalam Thariq Hijratain Karya Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah)