Rabu, 31 Januari 2018

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (5)


بسم الله الر حمان الر حيم


“Dirham (uang) itu laksana kalajengking.  Jika engkau tidak bisa mewaspadainya maka janganlah mengambilnya.  Sebab, jika ia menyengatmu maka racunnya akan membunuhmu.”  
(Yahya bin Muadz rahimahullah)

“Dua musibah tentang harta yang menimpa hamba ketika dia meninggal dunia;  
1*Dia meninggalkan semua hartanya. 
2*Dia akan ditanya tentang harta itu (pertanggungjawaban).”  

(Yahya bin Muadz rahimahullah)

oOo

Selasa, 30 Januari 2018

DI MANA ALLAH?


بسم الله الر حمان الر حيم

Banyak di antara kaum muslimin yang belum mengetahui di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berada (Dzat-Nya).  Kalau pertanyaan itu diajukan kepada mereka, maka berbagai jawaban yang tidak pasti dan ngambang pun bermunculan dari mulut mereka.  Ada yang mengatakan, bahwa Allah itu berada di dalam hati manusia.  Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah itu ada di setiap tempat (di mana-mana), meskipun di tempat-tempat yang tidak layak untuk disebutkan.  Dan ada pula yang mengatakan, bahwa Allah itu tidak di Timur, tidak di Barat, tidak di Utara, tidak di Selatan, dan tidak pula di atas atau dibawah (tidak jelas) keberadaan-Nya.

Meskipun kelihatannya sederhana, pertanyaan ini termasuk bagian terpenting dari Aqidah umat Islam (Ahlus Sunnah wal Jamaah / Salafiyun) yang harus mereka ketahui dengan pasti, serta diyakini dimana keberadaan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya, sehingga menutup berbagai pintu keragu-raguan, syubhat dan pernyataan-pernyataan bathil yang akan menggoyahkan iman seseorang.
Disebutkan dalam sebuah hadits yang cukup panjang, ketika salah seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu 'anhu) menemukan suatu permasalahan pada seorang budak wanita miliknya (artinya);
“Aku memiliki seorang budak yang biasa mengembalakan kambingku sebelum di daerah antara Uhud dan Al-Jawaniyyah.  Lalu pada suatu hari dia membuat suatu kesalahan, dia pergi "membawa" seekor kambing.  Saya adalah manusia, yang juga bisa marah.  Lantas aku menamparnya, kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan perkara ini masih menggelayuti pikiranku, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakan budakku ini?”
“Bawa dia padaku,”  ucap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Kemudian aku membawanya ke hadapan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budakku ini, “Di mana Allah?”  Dia menjawab, “Di atas langit.”  Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa aku?”  Budakku menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”  Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merdekakanlah dia, karena dia adalah seorang Mukminah (Orang yang beriman).”  (HR. Muslim)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan, bahwa barangsiapa yang mengingkari permasalahan ini (keberadaan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit) berarti dia telah menyalahi Musthofa (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Terdapat ratusan dalil di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menujukkan keberadaan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala Bersemayam di atas langit, sesuai dengan Keagungan-Nya, Yang tidak sedikit pun menyerupai bersemayamnya makhluk.  Di samping itu, fitrah manusia (yang masih lurus) dengan pasti menunjukkan ke mana arah hati (jiwa) mereka menghadap ketika memanjatkan do’a / beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Bahkan, orang-orang yang mengingkari eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala pun (Atheis), tidak mampu menghalangi tangannya menghadap ke atas langit ketika berdoa, karena ini merupakan fitrah manusia yang mustahil untuk diingkari.
(Baca juga artikel, APA ITU FITRAH?)
Jadi, bila ada manusia yang mengatakan bahwa Allah berada di bumi bersama manusia (makhluk), maka itu adalah pelecehan yang sangat nyata (besar), sehingga para 'ulama mengkafirkan orang-orang yang berkeyakinan semacam itu.

Berikut tujuh makna ayat Al-Qur’an yang secara jelas menegaskan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Besemayam (Beristiwa) di atas ‘Arsy,  ثم استوى على العرش  /  "Tsumma astawaa 'alaa al-'arsyi",  atau  على العرش استوى  /  "'Alaa al-'arsyi astawaa";
1.       1. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(Ar-Ra’ad (13);  2)
2.       2. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) dia atas ‘Arsy...”
(Yunus (10);  3)
3.       3. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(As-Sajdah (32);  4)
4.       4. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(Al-Hadiid (57);  4)
5.       5. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(Al-Furqan (25);  59)
6.       6. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(Al-A’raf (7);  54)
7.       7. “...Arrahman (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(Toha (20);  5)

Terdapat 4 (empat) Makna  استوى  / Istawa yang dikenal para Salaf;
Pertamaعلى  /  "'Alaa" (Berada di Atas).
Kedua,  ارتفع  /  "Irtafa'a"  (Di Ketinggian).
Ketiga,  صعد  /  "Sha'ida"  (Naik).
Keempat,  استقر  /  "Istaqarra"  (Menetap).
Tiga makna yang awal artinya sama, sedangkan yang terakhir memiliki makna yang berbeda. 
Dalil yang mereka gunakan dalam hal ini mengacu pada seluruh pemakaian dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan bahasa Arab, kata ini tidak hadir kecuali dengan makna-makna tersebut.  Jika dia muta'addi  (transitif) dengan kata bantu  على  /  "'Alaa", maka makna satu-satunya adalah di atas, tidak ada makna yang lain.

Adapun ayat-ayat di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi-Nya yang menyebutkan, bahwa "Allah itu bersama kamu dimana saja kamu berada"  (Al-Hadid; 4), atau
"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya"  (Al-Waqi'ah;  85), Jumhur Mufassirin menafsirkan bahwa, yang dimaksud adalah Ilmu, kekuasaan dan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang meliputi segala sesuatu, hingga makhluk yang sebesar atom sekalipun, atau yang lebih kecil lagi dari itu, baik dalam keadaan basah maupun kering - semuanya tidak luput dari Perhatian-Nya, Pendengaran-Nya, Qodrat, dan Kekuasaan-Nya, ditambah lagi dengan pengawasan / penjagaan para Malaikat-Nya.  Jadi, yang dimaksudkan dalil (ayat) di atas bukanlah Dzat-Nya.
Maha Suci - Maha Tinggi, dan Maha Mulia Allah 'Azza wa Jalla untuk menempati / menyatu dengan dunia yang hina dan dihinakan-Nya ini.

Penulis Blog sengaja tidak mencantumkan berbagai pendapat dan dalil-dalil yang digunakan oleh kelompok-kelompok  (sempalan Islam) yang memiliki pemahaman yang berbeda, bahwa kata  استوى  /  "Istawaa" (Bersemayam) maknanya adalah   استولى  /  "Istaulaa" (Menguasai) berdasarkan takwil mereka.  Karena tafsir semacam ini menyelisihi tafsir para Salaf (Generasi Terbaik Islam) yang telah disepakati.  Bahwa, dalil ijma' mereka  (para Salaf) tidak ada (satupun) penukilan dari mereka yang menyelisihi zhahir lafazh.  Seandainya ada di antara mereka yang berpendapat tidak sesuai dengan zhahir lafazh, niscaya mereka telah menukilkan kepada kita.  Tidak seorang pun dari mereka (para Salaf) yang memahami kata, استوى  / "Istawaa" (Bersemayam) maknanya adalah  استولى  / "Istaulaa" (Menguasai).

Wallahul muwaffiq.

oOo


Renungan

"...Demi Allah, sungguh dunia itu lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian."  (Potongan HR. Muslim No. 2957)
Apakah mungkin (dapat diterima akal sehat) Allah menyatu dengan makhluk yang dihinakan-Nya, seperti yang diyakini oleh kelompok sempalan Sufiyyah dan yang semacamnya?  Laa Haula walaa quwwata Illa Billah.

oOo

Rabu, 17 Januari 2018

SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN

Hasil gambar untuk GAMBAR FATAMORGANA

بسم الله الرحمان الر حيم


Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
"Dan barangsiapa yang Kafir setelah beriman (Tidak Menerima Hukum-Hukum Islam), maka terhapuslah amalannya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi."  
(QS. Al-Maidah (5); 5)

Para ‘Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah telah bersepakat tentang Sepuluh Hal yang dapat membatalkan keIslaman seseorang.  Meskipun pada kenyataannya faktor-faktor yang dapat membatalkan keIslaman itu banyak (lebih dari sepuluh), namun kesepuluh hal berikut merupakan penyebab yang paling penting, dan paling sering terjadi di kalangan Umat Islam;

1.       1. Melakukan Perbuatan Syirik Akbar (Syirik Besar).  
(Baca artikel tentang, SYIRIK)
2.       2. Melakukan perbuatan Tawassul yang Terlarang (menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam berdo’a / beribadah).
3.       3. Tidak Mengkafirkan Orang Musyrik (Orang Kafir), atau ragu-ragu terhadap kekafiran mereka, atau membenarkan salah satu dari keyakinan mereka.
4.       4. Orang-orang yang Meyakini, bahwa ada petunjuk lain selain petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih sempurna.
5.       5. Orang yang Membenci Sedikit saja Ajaran yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.   
6.       6. Orang-orang yang mengejek, melecehkan sedikit saja Ajaran Agama Islam (Al-Qur'an dan As-Sunnah), maka ia juga dihukumi Kafir.
7.       7. Mempelajari Ilmu Sihir / Mengamalkannya.
8.       8. Membantu Orang-orang Musyrik / Kafir memerangi kaum Muslimin.
9.       9. Orang-orang yang berkeyakinan adanya kebolehan (kelonggaran) bagi manusia untuk tidak menerima Syari’at Islam.
10.   10. Berpaling dari Agama Allah Subhanahu wa Ta’ala / Lari dari Kebenaran.

PENJELASAN
Ad. 1  Melakukan Perbuatan Syirik Akbar (Syirik Besar)
Para ‘Ulama membagi perbuatan Syirik menjadi tiga bagian;
·         a* Syirik Akbar (Syirik Besar), menyebabkan seseorang keluar dari Agama Islam (murtad) dan terhapus seluruh amal kebaikannya, serta kekal di dalam Neraka.
·         b* Syirik Ashghar (Syirik Kecil), tidak mengeluarkan seseorang dari Agama Islam, namun ia dapat mengantarkan kepada Syirik Akbar.  Karena, meskipun tergolong syirik kecil tetapi dosanya tetap besar. 
Contoh perbuatan Syirik Ashghar;  Bersumpah dengan nama selain Allah (Termasuk bersumpah atas nama Rasulullah), Riya dalam beribadah kepada Allah, Perkataan seseorang "Kalau bukan karena si Fulan mungkin aku telah mati." dan lain-lain sebagainya.  
·         c* Syirik Khafi (Syirik Halus),
Abdullah bin Abbas rahimahullah menjelaskan, “Tandingan adalah kesyirikan, lebih halus daripada langkah semut hitam yang merayap di atas batu hitam - di tengah malam yang gelap” (Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Baqarah; 22).
      Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan, bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik, bila sampai  meninggal dunia seseorang belum bertaubat darinya, seperti dalam firman-Nya (artinya),
      "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.  Barangsiapa yang mempersekutukan Allah sungguh ia telah berbuat dosa yang besar."  (QS. An-Nisaa' (4); 48).
Dan Firman-Nya yang lain,
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah niscaya Allah haramkan Surga baginya, dan tempatnya adalah Neraka.  Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zhalim itu."  (QS. Al-Maidah (5); 72)
Meskipun terdapat perbedaan pendapat 'Ulama pada Syirik Kecil dan Syirik Khafi dalam hal pengampunan Alah Ta'ala.  Namun, dosa keduanya termasuk dosa besar.

EMPAT CONTOH PERBUATAN  SYIRIK AKBAR
1.       1. Melakukan Tawassul yang Terlarang
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).”  
(QS. Al-Mu’min (40); 14)
2.       2. Syirik dalam Niat, Kehendak dan Tujuan Hidup
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.  Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”  
(QS. Hud (11);  15-16).
Menyembelih hewan dengan niat untuk selain Allah dan lain-lain.
Firman Allah Ta'ala (artinya),
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya Neraka Jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.”  
(QS. Al-Isra(17);  18) ,dan
Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di Akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di Akhirat.”  
(QS. Asy-Syura (42);  20).
Al-‘Allamah Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan, bahwa Syirik dalam Niat, Kehendak dan Tujuan ini bagaikan lautan yang luas tak bertepi, sedikit sekali manusia yang selamat darinya.
3.       3. Syirik dalam Keta’atan
Yakni menta’ati ‘Ulama, Kiyai, Ustadz, Guru, Atasan atau para Da’i yang menyalahi / menyelisihi perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Sujud (beribadah) kepada selain Allah.
(Baca artikel, PARA PENYEMBAH DA'I dan PARA DA'I YANG MENYERU KE JAHANNAM).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
Mereka menjadikan orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Maha Esa; Tidak ada Tuhan selain Dia.  Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”  
(QS. At-Taubah (9);  31).
4.       4. Syirik dalam Kecintaan
Mencintai segala sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala yang serta mengagungkannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan diantara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.  Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah...”  (QS. Al-Baqarah (2);  165), dan
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina.  
(QS. Al-Mujadilah (58); 20).

Ad. 2  Melakukan Perbuatan Tawassul yang Terlarang
Menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dia dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Contoh; Menyertakan sesuatu dalam do’anya yang diyakini sebagai sebab terkabulnya do’a, misalnya berdo’a dengan menggunakan Kedudukan, Keberkahan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdo’a dengan perantara para wali Allah yang telah meninggal dunia di kuburan, dengan perantara Jin, Malaikat dan lain-lain.
Adapun Tawassul yang diperbolehkan adalah;
·         a* Bertawassul dengan Nama-Nama Allah, baik yang umum maupun khusus.
·         b* Bertawassul kepada Allah dengan Iman dan Amal shalihnya sendiri.
·         c* Bertawassul dengan menampakkan kebutuhan, kelemahan dan kepentingan - ketergantungannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.  
·         d* Bertawassul melalui do’a orang-orang shalih yang masih hidup.

Ad. 3 dan 4  Tidak Mengkafirkan Orang Musyrik atau Ragu-Ragu terhadap Kekafiran Mereka, serta Meyakini ada Petunjuk yang Lebih Baik daripada Petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Keluar dari Agama Islam (Murtad / Kafir Riddah) dapat terjadi melalui;
·         a* Ucapan seseorang, seperti melecehkan Ayat-ayat Al-Qur'an dan As-Sunnah.  Mengatakan bahwa semua Agama adalah sama di sisi Allah Subhanahu wa Ta'alaMengamalkan salam lintas Agama, apalagi bila diyakini hal tersebut sama saja di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
·         b* Perbuatan seseorang, misalnya; Menendang, Menginjak-injak Al-Qur’an, Beribadah di tempat-tempat ibadah agama lain, mengamalkan sebagian ajaran agama mereka.
·         c* Keyakinan seseorang yang menyelisihi Aqidah, Tauhid dan Iman yang benar (lurus).  Misalnya orang-orang yang berkeyakinan, bahwa sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an dan As-Sunnah ada yang sudah tidak relevan lagi pada zaman sekarang (Hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah hanya berlaku untuk orang-orang zaman dulu, atau bagi bangsa Arab saja). 
·         d* Keragu-raguan seseorang terhadap kebenaran ajaran Agama Islam.
Keyakinan seseorang, akan adanya Petunjuk Hidup (Aturan Hidup) yang lebih baik / lebih sempurna / lebih cocok daripada Petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) juga dapat menyebabkan seseorang menjadi Kafir.  Hal ini dimungkinkan terjadi melalui;
·         1* Keyakinan seseorang secara umum, bahwa ada petujuk lain yang lebih baik daripada petunjuk Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
·         2* Membela-bela sesuatu selain As-Sunnah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau mengajak (menyeru) manusia kepada selain Sunnah Beliau.

Ad. 5  Membenci Sedikit Saja Ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Misalnya membenci Ajaran Beliau tentang Kewajiban Memelihara Jenggot, Celana di atas mata kaki (tidak Isbal / cingkrang bagi laki-laki), Mencabut bulu ketiak, Mencukur rambut kemaluan, Khitan, Bersiwak, Memotong kuku dan lain-lain.
Meskipun yang bersangkutan mengamalkan Ajaran (Syari’at) Beliau yang lainnya.
(Baca artikel "JENGGOT? YES!", dan "ISBAL? NO!")
Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Jadi, barangsiapa yang membenci Sunnahku, ia tidak termasuk golonganku."  (HR.  Al-Bukhari-Muslim)
Jadi, bila seorang muslim belum sanggup mengamalkan suatu syari'at (ajaran) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam - janganlah membenci, mencela, atau mengolok-oloknya, agar tidak terkena pembatal keIslaman, sementara dia tidak menyadari.
Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci terhadap (Al-Qur'an) yang Allah turunkan, maka Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.
(QS. Muhammad (47); 9)  
(Baca juga artikel tentang MENJADIKAN RASUL SEBAGAI PEMBUAT KEPUTUSAN ADALAH SYARAT WAJIB IMAN)

Ad. 6  Mencela, Mengolok-olok, Melecehkan Sedikit Saja Ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Terdapat kemiripan dengan poin sebelumnya.  Dan telah bersepakat ‘Ulama Ahlussunnah, bahwa Pembatal keIslaman yang ke-5 dan ke-6 ini merupakan sebab timbulnya Kemunafikan.
(Baca artikel, MUNAFIK)
Barangsiapa mengolok-olok sesuatu berupa Agama Allah, suatu Pahala dan Dosa (dalam Agama) atau suatu pembalasan (dalam Agama, seperti Surga dan Neraka), sungguh dia telah kafir.  Dalilnya adalah Firman Allah Ta'ala
(artinya),
"Dan jika kamu bertanya kepada mereka (tentang perbuatan mereka), tentulah mereka akan menjawab, 'Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main.'  Katakanlah, 'Apakah dengan Allah, Ayat-Ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?  Tidak usah kalian memohon maaf, karena sungguh kalian telah kafir setelah beriman.'"  
(QS. At-Taubah (9); 65-66)

Ad. 7  Mempelajari Ilmu Sihir / Mengajarkannya
Termasuk dalam hal ini adalah Ilmu Pengasihan, Hypnotis, Pelet, Pukau, Santet, Teluh, Tinggam, Buluh Perindu, Gasing Tengkorak, Zodiac (Ilmu Perbintangan).  Menjadikan seseorang mencintai pasangannya, atau sebaliknya (membenci) pasangannya.  Dan lain-lain.
Maka secara umum dapat dikatakan, bahwa para Ahli Sihir, Dukun, Paranormal, Supra Naturalist,  Peramal Nasib (Peruntungan), Pawang Hujan dan orang-orang yang mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib dihukumi Kafir oleh para ‘Ulama.  Adapun secara individu, tentu harus diperiksa dulu kasus per kasus, apakah telah ada orang yang menasihatinya, atau apakah telah tegak hujjah padanya, dan lain-lain.
Karena tidak ada seorangpun yang mengetahui perkara ghaib, baik di langit maupun di bumi, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Talala berfirman di dalam Al-Qur'an (yang artinya),
“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatan bagi diriku, dan tidak pula kuasa menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah.  Dan andaikata aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tak akan tertimpa kemudharatan.  Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa khabar gembira bagi orang-orang yang beriman.’”  
(QS. Al-‘Araf (7); 188).
Dan makna Firman-Nya,
"Sedang keduanya (Malaikat Harut dan Marut) tidaklah mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum mengatakan, 'Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (ujian bagimu) maka janganlah kamu menjadi kafir.'"  
(QS. Al-Baqarah (2);  102)

Ad. 8  Membantu Orang-orang Kafir Memerangi Kaum Muslimin
Termasuk dalam hal ini adalah, membantu orang-orang Munafik (orang-orang yang secara lahiriyah menampakkan keIslamannya, namun menyimpan suatu bentuk kekufuran / ketidak senangan / kebencian / ganjalan di hatinya), dan menentang Ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam / memerangi orang-orang yang Beriman (Mukmin).
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
"Barangsiapa diantara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang zhalim."  
(QS. Al-Maidah (5); 51)

Ad. 9  Orang-orang yang Berkeyakinan Adanya Kebolehan (kelonggaran) bagi Manusia untuk Tidak Menerima Syari’at Islam
Meskipun para pemeluk agama Islam tidak boleh memaksa orang lain masuk ke dalam Agama mereka, namun di dalam hati mereka harus tertanam keyakinan dan kecintaan yang kuat terhadap Agama Islam (Al-Qur'an dan As-Sunnah).
Termasuk dalam hal ini adalah, keyakinan seseorang akan kebolehan untuk mengambil sebagian saja dari Ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menolak (meninggalkan) sebagian lainnya.
(Baca artikel EMPAT SYARAT SYAHADAT MUHAMMAD RASULULLAH)
Termasuk dalam hal ini juga ajaran Kaum Sufi, bahwa seorang "wali Allah" (?) yang telah mencapai maqam tertentu “Bebas Taklif” (dibebaskan dari tuntutan dan kewajiban Syari’at Islam).
Dan ajaran sesat Kaum Sufi lainnya tentang "Wihdatul Wujud" (Penyatuan Dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan alam / makhluk).  Maha Suci - Maha Tinggi dan Maha Mulia Allah 'Azza wa Jalla untuk menyatu dengan makhluk yang hina ini.
(Baca juga artikel, "Dimana Allah?")
Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin (beriman), Kami biarkan ia bergelimang dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itulah seburuk-buruk tempat kembali.”  
(QS. An-Nisaa’ (4);  115), karena keridhaan Allah Ta'ala itu ada pada;
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Itulah kemenangan yang besar.  
(QS. At-Taubah (9);  100).

Ad. 10  Berpaling dari Agama Allah, Tidak Mau Belajar dan Mengajarkan
Perbuatan berpaling ini lebih parah daripada perbuatan menyelisihi Syari’at Allah dan Rasul-Nya.
Perbuatan berpaling dari Agama Allah ‘Azza wa Jalla dapat terjadi melalui beberapa jalan;
·         a* Melalui Ucapan.
·         b* Di dalam Hati (tersimpan).
·         c* Dengan Anggota Badan.
Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla (artinya),
“Barangsiapa yang berpaling dari Al-Qur’an, maka sesungguhnya dia akan memikul dosa yang besar pada hari kiamat.”  
(QS. Thoha (20); 100), dan
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”  
(QS. Thoha(20); 124), dan
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya Syaithan (yang menyesatkan), maka Syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.”  
(QS. Az-Zukhruf (43); 36), dan
"Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi.  Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka."  
(QS. An-Najm (53); 29-30), dan
"Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan Ayat-Ayat Rabb-nya, (tetapi) kemudian ia berpaling dari (Ayat-Ayat) tersebut.  Sesungguhnya Kami akan membalas orang-orang yang berdosa."  
(QS. As-Sajdah;  22)

Tidak ada perbedaan pada pembatal-pembatal keislaman ini, antara orang yang bermain-main (bercanda) dengan orang yang bersungguh-sungguh (serius) dan orang yang takut (khawatir) setelah mereka mengetahuinya (tegak hujjah), kecuali orang yang dalam keadaan terpaksa (darurat / berkaitan dengan nyawa manusia).

Wajib hukumnya (Wajib 'Ain) bagi setiap individu Muslim / Mukmin, agar berhati-hati terhadap hal-hal yang dapat membatalkan ke-Islamannya.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara dan melindungi kita dari perbuatan-perbuatan tersebut selama hayat masih di kandung badan, Amiin.

(Sumber; "Nawaqidhul Islam", Asy-Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah dan sumber lain)

Renungan

"Tidaklah seseorang merasa aman dari imannya yang akan dirampas pada saat sakaratul maut, melainkan imannya itu benar-benar akan terampas."  
(Abud Darda radhiyallahu 'anhu).

"Orang Mukmin itu adalah seorang tawanan di dunia.  Dia tidak akan pernah merasa aman, hingga bersua dengan Allah."  
(Ibnu Qudamah rahimahullah).

(Baca juga sya'ir, Inilah DUNIA)  


oOo

Rabu, 03 Januari 2018

EMPAT TAHAPAN (TINGKATAN) HIDAYAH


بسم الله الر حمان الر حيم

Apa pun jenis makhluk yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan dan dimana pun mereka berada - di seluruh pelosok Jagat Raya ini, baik yang berada di langit maupun di bumi, semuanya dibekali dengan hidayah oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Al-Imam, Al-‘Allaamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menerangkan di dalam kitab “Syifa’ul ‘Alil fi Masailil Qadha’ wal Qadar wal Hikmah wat-Ta’lil” beberapa tahapan (tingkatan) Hidayah yang telah kami sadur sebagai berikut;
1.       
1.       1. HIDAYAH YANG UMUM ('Ammah)
Adalah hidayah yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali, agar mereka dapat melangsungkan kehidupan di permukaan bumi maupun di langit dengan baik, teratur, sesuai dengan Tabi’at mereka masing-masing dan Sunnatullah.
Hidayah ini mencakup seluruh makhluk Allah Ta’ala, seperti para Malaikat, Manusia, Jin, Iblis, Hewan; Binatang buas, Binatang ternak, Burung-burung, Ikan-ikan di laut, Tumbuh-tumbuhan, Jasad Renik, Bakteri, Virus, Jamur, dan lain sebagainya.
Mulai dari cara mereka membuat sarang (tempat-tempat tinggal) mereka, apa saja yang mereka makan, cara berburu, cara melanjutkan keturunan (regenerasi), mempertahankan diri, merawat anak, merawat diri,  membuat koloni, kemampuan berburu, kasih sayang dan sifat-sifat lainnya secara lengkap, sempurna, dan terperinci agar mereka tidak punah.
Hal ini termaktub dalam makna firman-Nya,
"Sucikanlah Nama Rabb-mu Yang Mahatinggi,  Yang menciptakan dan menyempurnakan  (ciptaan-Nya), Yang menentukan kadar (masing-masing), dan Yang memberi petunjuk."  
(QS. Al-'Ala;  1-3)
Yang dimaksud dengan petunjuk  (hidayah) pada ayat di atas adalah hidayah yang umum kepada setiap makhluk-Nya, untuk keberlangsungan kehidupan mereka.  (Makna pada kitab; Syifa'ul 'Alil, hal. 163)
Adh-Dhahhak rahimahullah, dan yang lainnya menafsirkan, "Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan bentuk dan rupa terhadap segala sesuatu, yang sesuai dengan kemanfaatannya, seperti tangan untuk memegang dengan kuat, kaki untuk berjalan, lisan untuk berbicara, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar."  (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, pada tafsir surat Thaha; 50.  Syifa'ul 'Alil, hal.  186-187).
Hidayah ini sama sekali tidak berkaitan dengan iman atau kafirnya seseorang.  Tidak pula berkaitan dengan pahala dan dosa, atau Surga dan Neraka.  Hidayah ini berkaitan dengan (proses) penciptaan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kesempurnaan penciptaan segenap makhluk, dan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi segenap makhluk dalam melakukan aktivitasnya masing-masing.
Hidayah ini amatlah luas dan beragam.  Untuk mengetahuinya secara terperinci - seseorang harus menyingkap semua keajaiban-keajaiban yang ada pada setiap makhluk dalam melakukan aktivitas kehidupan.  Membongkar semua ayat-ayat Kauniyah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada, dan rahasia yang terkandung di dalamnya.

2. HIDAYAH IRSYAD DAN HIDAYAH BAYAN
Hidayah Irsyad (Bimbingan) dan Hidayah Bayan (Penjelasan) ini khusus diberikan kepada para Mukallaf  (Orang-orang yang telah terkena beban Taklif / ketentuan-ketentuan Syara’; Hukum-hukum Agama).
Hidayah ini meliputi Kitab-kitab Suci yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dari atas langit, Pengutusan para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam, Kitab-kitab para ‘Ulama Rabbani serta penjelasan-penjelasan mereka.
Contoh ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan Hidayah Irsyad (Bimbingan) / Hidayah Bayan (Penjelasan);
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus.”  
(QS. Asy-Syuura;  52)
Hidayah ini lebih tinggi dari hidayah sebelumnya (hidayah yang Umum).
Meskipun Hidayah Irsyad / Hidayah Bayan ini merupakan prasyarat (penyebab) seseorang beroleh Hidayah berikutnya (hidayah Taufiq), namun bukanlah suatu kepastian (jaminan) bagi orang-orang yang telah mengetahui Hidayah ini untuk memperoleh Hidayah Taufiq.
Hidayah ini merupakan Hujjah Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kelompok Manusia dan Jin yang membangkang, sebelum Allah Ta’ala menyesatkan dan mengadzab mereka baik di dunia (dengan kesesatan) maupun Akhirat kelak, sebagai hukuman karena penolakan mereka terhadap petunjuk yang telah diberikan-Nya, padahal mereka telah mengetahui, maka setelah itu Dia pun menjadikan mereka tidak lagi mampu melihat petunjuk tersebut.   Seperti disebutkan dalam firman-Nya (artinya),
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum setelah Allah memberi petunjuk kepada mereka, hingga Dia menjelaskan kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.”  
(QS. At-Taubah;  115), dan
“Bagaimana Allah akan memberikan petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, (padahal) mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar Rasul, serta beberapa keterangan (pun) telah datang kepada merekaAllah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”
Demikian itulah sikap Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap siapa saja yang telah dikaruniai-Nya kenikmatan (khususnya kenikmatan Islam, Iman dan Sunnah).  (Baca juga Artikel, NIKMAT), lalu dia mengingkarinya, maka Allah Ta’ala akan menarik (mencabut) nikmat tersebut darinya, seperti yang Dia firmankan (artinya),
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”  
(QS. Al-Anfal;  53), dan
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”  
(QS. Al-Isra’;  15), dan
“(Mereka Kami utus) sebagai Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan (lagi) bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya para Rasul tersebut.”  
(QS. An-Nisaa’;  165)
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala sekali-kali tidak akan mengazab suatu kaum sebelum Hujjah Allah tegak atas mereka berupa petunjuk, penjelasan yang disampaikan oleh para Rasul-Nya, dan menampakkan jalan yang lurus kepada mereka dengan jelas, seakan-akan mereka menyaksikan sendiri secara kasat mata, serta berbagai sarana pun telah diberikan kepada mereka yang dapat mengantarkan mereka kepada petunjuk tersebut secara lahir maupun bathin, akan tetapi mereka tetap menolak (membangkang).
(Baca artikel, KEADAAN MANUSIA YANG BERADA DALAM GELAP-GULITA, dan ALLAH MEMALINGKAN HATI ORANG-ORANG MUNAFIK DARI MELIHAT KEBENARAN)

3.       3. HIDAYAH TAUFIQ DAN ILHAM DAN KEHENDAK ALLAH UNTUK MEMBERIKAN PETUNJUK KEPADA HAMBA-NYA
Hidayah ini merupakan hak “Prerogatif” Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Tidak seorang pun baik di langit maupun di bumi yang diberikan wewenang (kemampuan) oleh Allah Ta’ala memberikannya kepada yang lain, baik dari kalangan para Malaikat maupun para Nabi dan Rasul-Nya.
Hidayah Taufiq ini adalah kemampuan seseorang untuk beramal sesuai dengan apa-apa yang dicintai dan diridhai-Nya, yang ditunjukkan oleh Nabi dan Rasul-Nya secara lahir maupun bathin. 
(Baca artikel, RAHASIA HIDAYAH, MANUSIA & HIDAYAH, serta KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Tingkatan Hidayah Taufiq ini mengharuskan adanya dua hal;
*Pertama; Perbuatan Allah Ta’ala, yaitu pemberian petunjuk.
*Kedua; Perbuatan manusia, yaitu menjalankan petunjuk, sekaligus merupakan pengaruh dari Perbuatan-Nya.  Dialah yang memberi petunjuk, sedangkan manusia menerima petunjuk dan menjalankannya.  Hal ini sesuai dengan firman-Nya (artinya),
“Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk.”  
(QS. Al-Isra’;  97)
Hukum Sebab-Akibat menjelaskan bahwa, “Tidak mungkin terjadi pengaruh, kecuali jika ada yang mempengaruhi”, sehingga apabila perbuatan-Nya itu tidak ada, maka perbuatan manusia pun tidak akan pernah ada.
(Baca artikel, ALLAH ADALAH CAHAYA LANGIT DAN BUMI, dan BAGAIMANA MEMAHAMI KESEMPURNAAN QADHA' DAN QADAR ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA)

BEBERAPA AYAT AL-QUR’AN YANG MENGANDUNG ARTI HIDAYAH TAUFIQ
“Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya.”  
(QS. An-Nahl;  37)
Ayat ini secara jelas dan tegas menerangkan, bahwa petunjuk (Taufiq) itu bukan berada di tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan Beliau sangat berharap untuk mendapatkannya.  Dan bukan pula berada di tangan selain Allah ‘Azza wa JallaJika Allah ‘Azza wa Jalla menyesatkan seseorang, maka orang tersebut tidak akan pernah menemukan jalan untuk mendapat petunjuk, meskipun seluruh makhluk yang ada di kolong langit bersekutu untuk memberinya hidayah taufik, sebagaimana difirmankan-Nya (artinya);
“Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang akan memberinya petunjuk.  Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.”  
(QS. Al-A’raf; 186), dan
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk sesat, maka ia akan disesatkan-Nya.  Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk, niscaya Dia akan menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.”  
(QS. Al-An’am;  39), dan
“Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk, lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaithan)?  Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya...”  
(QS. Al-Faathir;  8), dan
Kewajibanmu bukanlah menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi Taufiq) (kepada) siapa yang dikehendaki-Nya.”  
(QS. Al-Baqarah;  272), dan
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk baginya.”  
(QS. As-Sajdah;  13), dan
“Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui, bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman) tentu(lah) Allah memberi petunjuk kepada semua manusia.”  
(QS. Ar-Ra’ad;  31)

ILHAM berarti penyampaian petunjuk ke dalam hati, tidak sekedar penjelasan, keterangan dan pengajaran, sebagaimana dikatakan para Mufassirin (Ahli Tafsir)Yang demikian itu karena orang yang memberikan penjelasan mengenai sesuatu dan mengajarkannya bukan berarti dia telah mengilhaminya.  Hal itu sama sekali tidak dikenal dalam Tata Bahasa (Arab).
Akan tetapi yang benar adalah apa yang dikatakan Ibnu Zaid, "Ilham berarti penyampaian ke dalam hati jalan menuju Kefasikan atau Ketaqwaan."
Allah-lah yang mengilhamkan kepada seseorang jalan menuju Kefasikan dan Ketaqwaannya.
Hal ini berdasarkan (potongan) hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"...Barangsiapa yang telah Allah 'Azza wa Jalla ciptakan baginya salah satu dari dua tempat (Surga dan Neraka), maka Dia pun telah menyiapkan pula AMALAN untuk mendapatkan salah satu dari (dua) tempat tersebut."
Hal ini dibenarkan dalam Al-Qur'an;
"Dan jiwa serta penyempurnaan (penciptaannya).  Maka Allah MENGILHAMKAN kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya."  
(QS. Asy-Syams;  7-8).
Allah  Subhanahu wa Ta'ala dengan segala Ketinggian dan Keagungan Hikmah-Nya berbuat sekehendak-Nya, apakah Dia akan memberikan petunjuk atau hendak menyesatkan seseorang berdasarkan Ilmu dan Hikmah-Nya Yang Mahatinggi.
(Baca artikel, KENAPA ALLAH MENYESATKAN MANUSIA?)

4.       4. HIDAYAH MENUJU SURGA DAN NERAKA
Untuk memasuki Surga atau Neraka, manusia dan Jin masih memerlukan Hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdasarkan firman-Nya (artinya),
“(Kepada Malaikat diperintahkan), ‘Kumpulkan orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke Neraka.’”  
(QS. Ash-Shaffaat;  22-23), dan
“Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.  Allah akan memberi petunjuk kepada mereka dan memperbaiki keadaan mereka.” 
(QS. Muhammad;  4-5).
Ayat yang terakhir ini menjelaskan adanya petunjuk ke Surga, setelah mereka gugur di jalan Allah (Syahid).

Maka, jika masih ada Muslim yang beralasan, belum sanggup menunaikan Shalat Lima Waktu ke Masjid (bagi laki-laki, tanpa udzur syar'i), belum mau berangkat Haji, dan belum tahu (paham) mana ajaran (syari’at) Islam yang benar (lurus) dan mana pula yang sesat (menyimpang), karena belum mendapat Hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka selayaknya kita bertanya padanya, “Hidayah mana yang anda maksudkan?”  Karena Hidayah itu seharusnya diupayakan, dicari, dijemput, bukan ditunggu. 

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah,"Sebab yang bisa mengantarkan seseorang mendapatkan petunjuk (hidayah) adalah:  Adanya keinginan (upaya) untuk mendapatkan kebenaran, kemudian ia mencarinya.
Jika ia menginginkan dan mencarinya, maka Allah akan memberikan petunjuk (hidayah) kepadanya.  Adapun, jika ia menolak dan berpaling (tidak mau berupaya, pen blog) - maka Allah tidak akan memberikan petunjuk (hidayah) kepadanya."
(Tafsir Surat An-Nur, hal. 314)
Demikian penjelasan Asy-Syaikh.


oOo