Rabu, 03 Januari 2018

EMPAT TAHAPAN (TINGKATAN) HIDAYAH


بسم الله الر حمان الر حيم

Apa pun jenis makhluk yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan dan dimana pun mereka berada - di seluruh pelosok Jagat Raya ini, baik yang berada di langit maupun di bumi, semuanya dibekali dengan hidayah oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Al-Imam, Al-‘Allaamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menerangkan di dalam kitab “Syifa’ul ‘Alil fi Masailil Qadha’ wal Qadar wal Hikmah wat-Ta’lil” beberapa tahapan (tingkatan) Hidayah yang telah kami sadur sebagai berikut;
1.       
1.       1. HIDAYAH YANG UMUM ('Ammah)
Adalah hidayah yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali, agar mereka dapat melangsungkan kehidupan di permukaan bumi maupun di langit dengan baik, teratur, sesuai dengan Tabi’at mereka masing-masing dan Sunnatullah.
Hidayah ini mencakup seluruh makhluk Allah Ta’ala, seperti para Malaikat, Manusia, Jin, Iblis, Hewan; Binatang buas, Binatang ternak, Burung-burung, Ikan-ikan di laut, Tumbuh-tumbuhan, Jasad Renik, Bakteri, Virus, Jamur, dan lain sebagainya.
Mulai dari cara mereka membuat sarang (tempat-tempat tinggal) mereka, apa saja yang mereka makan, cara berburu, cara melanjutkan keturunan (regenerasi), mempertahankan diri, merawat anak, merawat diri,  membuat koloni, kemampuan berburu, kasih sayang dan sifat-sifat lainnya secara lengkap, sempurna, dan terperinci agar mereka tidak punah.
Hal ini termaktub dalam makna firman-Nya,
"Sucikanlah Nama Rabb-mu Yang Mahatinggi,  Yang menciptakan dan menyempurnakan  (ciptaan-Nya), Yang menentukan kadar (masing-masing), dan Yang memberi petunjuk."  
(QS. Al-'Ala;  1-3)
Yang dimaksud dengan petunjuk  (hidayah) pada ayat di atas adalah hidayah yang umum kepada setiap makhluk-Nya, untuk keberlangsungan kehidupan mereka.  (Makna pada kitab; Syifa'ul 'Alil, hal. 163)
Adh-Dhahhak rahimahullah, dan yang lainnya menafsirkan, "Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan bentuk dan rupa terhadap segala sesuatu, yang sesuai dengan kemanfaatannya, seperti tangan untuk memegang dengan kuat, kaki untuk berjalan, lisan untuk berbicara, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar."  (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, pada tafsir surat Thaha; 50.  Syifa'ul 'Alil, hal.  186-187).
Hidayah ini sama sekali tidak berkaitan dengan iman atau kafirnya seseorang.  Tidak pula berkaitan dengan pahala dan dosa, atau Surga dan Neraka.  Hidayah ini berkaitan dengan (proses) penciptaan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kesempurnaan penciptaan segenap makhluk, dan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi segenap makhluk dalam melakukan aktivitasnya masing-masing.
Hidayah ini amatlah luas dan beragam.  Untuk mengetahuinya secara terperinci - seseorang harus menyingkap semua keajaiban-keajaiban yang ada pada setiap makhluk dalam melakukan aktivitas kehidupan.  Membongkar semua ayat-ayat Kauniyah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada, dan rahasia yang terkandung di dalamnya.

2. HIDAYAH IRSYAD DAN HIDAYAH BAYAN
Hidayah Irsyad (Bimbingan) dan Hidayah Bayan (Penjelasan) ini khusus diberikan kepada para Mukallaf  (Orang-orang yang telah terkena beban Taklif / ketentuan-ketentuan Syara’; Hukum-hukum Agama).
Hidayah ini meliputi Kitab-kitab Suci yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dari atas langit, Pengutusan para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam, Kitab-kitab para ‘Ulama Rabbani serta penjelasan-penjelasan mereka.
Contoh ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan Hidayah Irsyad (Bimbingan) / Hidayah Bayan (Penjelasan);
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus.”  
(QS. Asy-Syuura;  52)
Hidayah ini lebih tinggi dari hidayah sebelumnya (hidayah yang Umum).
Meskipun Hidayah Irsyad / Hidayah Bayan ini merupakan prasyarat (penyebab) seseorang beroleh Hidayah berikutnya (hidayah Taufiq), namun bukanlah suatu kepastian (jaminan) bagi orang-orang yang telah mengetahui Hidayah ini untuk memperoleh Hidayah Taufiq.
Hidayah ini merupakan Hujjah Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kelompok Manusia dan Jin yang membangkang, sebelum Allah Ta’ala menyesatkan dan mengadzab mereka baik di dunia (dengan kesesatan) maupun Akhirat kelak, sebagai hukuman karena penolakan mereka terhadap petunjuk yang telah diberikan-Nya, padahal mereka telah mengetahui, maka setelah itu Dia pun menjadikan mereka tidak lagi mampu melihat petunjuk tersebut.   Seperti disebutkan dalam firman-Nya (artinya),
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum setelah Allah memberi petunjuk kepada mereka, hingga Dia menjelaskan kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.”  
(QS. At-Taubah;  115), dan
“Bagaimana Allah akan memberikan petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, (padahal) mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar Rasul, serta beberapa keterangan (pun) telah datang kepada merekaAllah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”
Demikian itulah sikap Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap siapa saja yang telah dikaruniai-Nya kenikmatan (khususnya kenikmatan Islam, Iman dan Sunnah).  (Baca juga artikel, NIKMAT), lalu dia mengingkarinya, maka Allah Ta’ala akan menarik (mencabut) nikmat tersebut darinya, seperti yang Dia firmankan (artinya),
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”  
(QS. Al-Anfal;  53), dan
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”  
(QS. Al-Isra’;  15), dan
“(Mereka Kami utus) sebagai Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan (lagi) bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya para Rasul tersebut.”  
(QS. An-Nisaa’;  165)
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala sekali-kali tidak akan mengazab suatu kaum sebelum Hujjah Allah tegak atas mereka berupa petunjuk, penjelasan yang disampaikan oleh para Rasul-Nya, dan menampakkan jalan yang lurus kepada mereka dengan jelas, seakan-akan mereka menyaksikan sendiri secara kasat mata, serta berbagai sarana pun telah diberikan kepada mereka yang dapat mengantarkan mereka kepada petunjuk tersebut secara lahir maupun bathin, akan tetapi mereka tetap menolak (membangkang).
(Baca artikel, KEADAAN MANUSIA YANG BERADA DALAM GELAP-GULITA, dan ALLAH MEMALINGKAN HATI ORANG-ORANG MUNAFIK DARI MELIHAT KEBENARAN)

3.       3. HIDAYAH TAUFIQ DAN ILHAM DAN KEHENDAK ALLAH UNTUK MEMBERIKAN PETUNJUK KEPADA HAMBA-NYA
Hidayah ini merupakan hak “Prerogatif” Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Tidak seorang pun baik di langit maupun di bumi yang diberikan wewenang (kemampuan) oleh Allah Ta’ala memberikannya kepada yang lain, baik dari kalangan para Malaikat maupun para Nabi dan Rasul-Nya.
Hidayah Taufiq ini adalah kemampuan seseorang untuk beramal sesuai dengan apa-apa yang dicintai dan diridhai-Nya, yang ditunjukkan oleh Nabi dan Rasul-Nya secara lahir maupun bathin. 
(Baca artikel, RAHASIA HIDAYAH, MANUSIA & HIDAYAH, serta KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Tingkatan Hidayah Taufiq ini mengharuskan adanya dua hal;
*Pertama; Perbuatan Allah Ta’ala, yaitu pemberian petunjuk.
*Kedua; Perbuatan manusia, yaitu menjalankan petunjuk, sekaligus merupakan pengaruh dari Perbuatan-Nya.  Dialah yang memberi petunjuk, sedangkan manusia menerima petunjuk dan menjalankannya.  Hal ini sesuai dengan firman-Nya (artinya),
“Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk.”  
(QS. Al-Isra’;  97)
Hukum Sebab-Akibat menjelaskan bahwa, “Tidak mungkin terjadi pengaruh, kecuali jika ada yang mempengaruhi”, sehingga apabila perbuatan-Nya itu tidak ada, maka perbuatan manusia pun tidak akan pernah ada.
(Baca artikel, ALLAH ADALAH CAHAYA LANGIT DAN BUMI, dan BAGAIMANA MEMAHAMI KESEMPURNAAN QADHA' DAN QADAR ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA)

BEBERAPA AYAT AL-QUR’AN YANG MENGANDUNG ARTI HIDAYAH TAUFIQ
“Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya.”  
(QS. An-Nahl;  37)
Ayat ini secara jelas dan tegas menerangkan, bahwa petunjuk (Taufiq) itu bukan berada di tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan Beliau sangat berharap untuk mendapatkannya.  Dan bukan pula berada di tangan selain Allah ‘Azza wa JallaJika Allah ‘Azza wa Jalla menyesatkan seseorang, maka orang tersebut tidak akan pernah menemukan jalan untuk mendapat petunjuk, meskipun seluruh makhluk yang ada di kolong langit bersekutu untuk memberinya hidayah taufik, sebagaimana difirmankan-Nya (artinya);
“Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang akan memberinya petunjuk.  Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.”  
(QS. Al-A’raf; 186), dan
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk sesat, maka ia akan disesatkan-Nya.  Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk, niscaya Dia akan menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.”  
(QS. Al-An’am;  39), dan
“Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk, lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaithan)?  Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya...”  
(QS. Al-Faathir;  8), dan
Kewajibanmu bukanlah menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi Taufiq) (kepada) siapa yang dikehendaki-Nya.”  
(QS. Al-Baqarah;  272), dan
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk baginya.”  
(QS. As-Sajdah;  13), dan
“Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui, bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman) tentu(lah) Allah memberi petunjuk kepada semua manusia.”  
(QS. Ar-Ra’ad;  31)

ILHAM berarti penyampaian petunjuk ke dalam hati, tidak sekedar penjelasan, keterangan dan pengajaran, sebagaimana dikatakan para Mufassirin (Ahli Tafsir)Yang demikian itu karena orang yang memberikan penjelasan mengenai sesuatu dan mengajarkannya bukan berarti dia telah mengilhaminya.  Hal itu sama sekali tidak dikenal dalam Tata Bahasa (Arab).
Akan tetapi yang benar adalah apa yang dikatakan Ibnu Zaid, "Ilham berarti penyampaian ke dalam hati jalan menuju Kefasikan atau Ketaqwaan."
Allah-lah yang mengilhamkan kepada seseorang jalan menuju Kefasikan dan Ketaqwaannya.
Hal ini berdasarkan (potongan) hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"...Barangsiapa yang telah Allah 'Azza wa Jalla ciptakan baginya salah satu dari dua tempat (Surga dan Neraka), maka Dia pun telah menyiapkan pula AMALAN untuk mendapatkan salah satu dari (dua) tempat tersebut."
Hal ini dibenarkan dalam Al-Qur'an;
"Dan jiwa serta penyempurnaan (penciptaannya).  Maka Allah MENGILHAMKAN kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya."  
(QS. Asy-Syams;  7-8).
Allah  Subhanahu wa Ta'ala dengan segala Ketinggian dan Keagungan Hikmah-Nya berbuat sekehendak-Nya, apakah Dia akan memberikan petunjuk atau hendak menyesatkan seseorang berdasarkan Ilmu dan Hikmah-Nya Yang Mahatinggi.
(Baca artikel, KENAPA ALLAH MENYESATKAN MANUSIA?)

4.       4. HIDAYAH MENUJU SURGA DAN NERAKA
Untuk memasuki Surga atau Neraka, manusia dan Jin masih memerlukan Hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdasarkan firman-Nya (artinya),
“(Kepada Malaikat diperintahkan), ‘Kumpulkan orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke Neraka.’”  
(QS. Ash-Shaffaat;  22-23), dan
“Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.  Allah akan memberi petunjuk kepada mereka dan memperbaiki keadaan mereka.” 
(QS. Muhammad;  4-5).
Ayat yang terakhir ini menjelaskan adanya petunjuk ke Surga, setelah mereka gugur di jalan Allah (Syahid).

Maka, jika masih ada Muslim yang beralasan, belum sanggup menunaikan Shalat Lima Waktu ke Masjid (bagi laki-laki, tanpa udzur syar'i), belum mau berangkat Haji, dan belum tahu (paham) mana ajaran (syari’at) Islam yang benar (lurus) dan mana pula yang sesat (menyimpang), karena belum mendapat Hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka selayaknya kita bertanya padanya, “Hidayah mana yang anda maksudkan?”  Karena Hidayah itu seharusnya diupayakan, dicari, dijemput, bukan ditunggu. 

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah,"Sebab yang bisa mengantarkan seseorang mendapatkan petunjuk (hidayah) adalah:  Adanya keinginan (upaya) untuk mendapatkan kebenaran, kemudian ia mencarinya.
Jika ia menginginkan dan mencarinya, maka Allah akan memberikan petunjuk (hidayah) kepadanya.  Adapun, jika ia menolak dan berpaling (tidak mau berupaya, pen blog) - maka Allah tidak akan memberikan petunjuk (hidayah) kepadanya."
(Tafsir Surat An-Nur, hal. 314)
Demikian penjelasan Asy-Syaikh.


oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar