Selasa, 30 Januari 2018

DI MANA ALLAH?


بسم الله الر حمان الر حيم

Banyak di antara kaum muslimin yang belum mengetahui di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berada (Dzat-Nya).  Kalau pertanyaan itu diajukan kepada mereka, maka berbagai jawaban yang tidak pasti dan ngambang pun bermunculan dari mulut mereka.  Ada yang mengatakan, bahwa Allah itu berada di dalam hati manusia.  Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah itu ada di setiap tempat (di mana-mana), meskipun di tempat-tempat yang tidak layak untuk disebutkan.  Dan ada pula yang mengatakan, bahwa Allah itu tidak di Timur, tidak di Barat, tidak di Utara, tidak di Selatan, dan tidak pula di atas atau dibawah (tidak jelas) keberadaan-Nya.

Meskipun kelihatannya sederhana, pertanyaan ini termasuk bagian terpenting dari Aqidah umat Islam (Ahlus Sunnah wal Jamaah / Salafiyun) yang harus mereka ketahui dengan pasti, serta diyakini dimana keberadaan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya, sehingga menutup berbagai pintu keragu-raguan, syubhat dan pernyataan-pernyataan bathil yang akan menggoyahkan iman seseorang.
Disebutkan dalam sebuah hadits yang cukup panjang, ketika salah seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu 'anhu) menemukan suatu permasalahan pada seorang budak wanita miliknya (artinya);
“Aku memiliki seorang budak yang biasa mengembalakan kambingku sebelum di daerah antara Uhud dan Al-Jawaniyyah.  Lalu pada suatu hari dia membuat suatu kesalahan, dia pergi "membawa" seekor kambing.  Saya adalah manusia, yang juga bisa marah.  Lantas aku menamparnya, kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan perkara ini masih menggelayuti pikiranku, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakan budakku ini?”
“Bawa dia padaku,”  ucap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Kemudian aku membawanya ke hadapan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budakku ini, “Di mana Allah?”  Dia menjawab, “Di atas langit.”  Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa aku?”  Budakku menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”  Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merdekakanlah dia, karena dia adalah seorang Mukminah (Orang yang beriman).”  (HR. Muslim)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan, bahwa barangsiapa yang mengingkari permasalahan ini (keberadaan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit) berarti dia telah menyalahi Musthofa (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Terdapat ratusan dalil di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menujukkan keberadaan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala Bersemayam di atas langit, sesuai dengan Keagungan-Nya, Yang tidak sedikit pun menyerupai bersemayamnya makhluk.  Di samping itu, fitrah manusia (yang masih lurus) dengan pasti menunjukkan ke mana arah hati (jiwa) mereka menghadap ketika memanjatkan do’a / beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Bahkan, orang-orang yang mengingkari eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala pun (Atheis), tidak mampu menghalangi tangannya menghadap ke atas langit ketika berdoa, karena ini merupakan fitrah manusia yang mustahil untuk diingkari.
(Baca juga artikel, APA ITU FITRAH?)
Jadi, bila ada manusia yang mengatakan bahwa Allah berada di bumi bersama manusia (makhluk), maka itu adalah pelecehan yang sangat nyata (besar), sehingga para 'ulama mengkafirkan orang-orang yang berkeyakinan semacam itu.

Berikut tujuh makna ayat Al-Qur’an yang secara jelas menegaskan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Besemayam (Beristiwa) di atas ‘Arsy,  ثم استوى على العرش  /  "Tsumma astawaa 'alaa al-'arsyi",  atau  على العرش استوى  /  "'Alaa al-'arsyi astawaa";
1.       1. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(Ar-Ra’ad (13);  2)
2.       2. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) dia atas ‘Arsy...”
(Yunus (10);  3)
3.       3. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(As-Sajdah (32);  4)
4.       4. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(Al-Hadiid (57);  4)
5.       5. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(Al-Furqan (25);  59)
6.       6. “...Kemudian Dia (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(Al-A’raf (7);  54)
7.       7. “...Arrahman (Allah) Beristiwa (Bersemayam) di atas ‘Arsy...”
(Toha (20);  5)

Terdapat 4 (empat) Makna  استوى  / Istawa yang dikenal para Salaf;
Pertamaعلى  /  "'Alaa" (Berada di Atas).
Kedua,  ارتفع  /  "Irtafa'a"  (Di Ketinggian).
Ketiga,  صعد  /  "Sha'ida"  (Naik).
Keempat,  استقر  /  "Istaqarra"  (Menetap).
Tiga makna yang awal artinya sama, sedangkan yang terakhir memiliki makna yang berbeda. 
Dalil yang mereka gunakan dalam hal ini mengacu pada seluruh pemakaian dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan bahasa Arab, kata ini tidak hadir kecuali dengan makna-makna tersebut.  Jika dia muta'addi  (transitif) dengan kata bantu  على  /  "'Alaa", maka makna satu-satunya adalah di atas, tidak ada makna yang lain.

Adapun ayat-ayat di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi-Nya yang menyebutkan, bahwa "Allah itu bersama kamu dimana saja kamu berada"  (Al-Hadid; 4), atau
"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya"  (Al-Waqi'ah;  85), Jumhur Mufassirin menafsirkan bahwa, yang dimaksud adalah Ilmu, kekuasaan dan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang meliputi segala sesuatu, hingga makhluk yang sebesar atom sekalipun, atau yang lebih kecil lagi dari itu, baik dalam keadaan basah maupun kering - semuanya tidak luput dari Perhatian-Nya, Pendengaran-Nya, Qodrat, dan Kekuasaan-Nya, ditambah lagi dengan pengawasan / penjagaan para Malaikat-Nya.  Jadi, yang dimaksudkan dalil (ayat) di atas bukanlah Dzat-Nya.
Maha Suci - Maha Tinggi, dan Maha Mulia Allah 'Azza wa Jalla untuk menempati / menyatu dengan dunia yang hina dan dihinakan-Nya ini.

Penulis Blog sengaja tidak mencantumkan berbagai pendapat dan dalil-dalil yang digunakan oleh kelompok-kelompok  (sempalan Islam) yang memiliki pemahaman yang berbeda, bahwa kata  استوى  /  "Istawaa" (Bersemayam) maknanya adalah   استولى  /  "Istaulaa" (Menguasai) berdasarkan takwil mereka.  Karena tafsir semacam ini menyelisihi tafsir para Salaf (Generasi Terbaik Islam) yang telah disepakati.  Bahwa, dalil ijma' mereka  (para Salaf) tidak ada (satupun) penukilan dari mereka yang menyelisihi zhahir lafazh.  Seandainya ada di antara mereka yang berpendapat tidak sesuai dengan zhahir lafazh, niscaya mereka telah menukilkan kepada kita.  Tidak seorang pun dari mereka (para Salaf) yang memahami kata, استوى  / "Istawaa" (Bersemayam) maknanya adalah  استولى  / "Istaulaa" (Menguasai).

Wallahul muwaffiq.

oOo


Renungan

"...Demi Allah, sungguh dunia itu lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian."  (Potongan HR. Muslim No. 2957)
Apakah mungkin (dapat diterima akal sehat) Allah menyatu dengan makhluk yang dihinakan-Nya, seperti yang diyakini oleh kelompok sempalan Sufiyyah dan yang semacamnya?  Laa Haula walaa quwwata Illa Billah.

oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar