Selasa, 07 Agustus 2018

SEKILAS TENTANG Al-Imam IBNU KATSIR


(Pengarang Kitab “SEJARAH PARA NABI”)

(700 -774 H)

بسم الله الر حمان الر حيم


Nama lengkap Beliau adalah, Abu Al-Fida’ Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qursyi Al-Bashrawi Al-Damsyiqi.  Beliau adalah seorang Ahli Tafsir, Ahli Sejarah Islam, sekaligus seorang Ahli Fiqih yang hidup pada Abad ke delapan Hijriyah.
Lahir pada tahun 700 H, di sebuah perkampungan di daerah Syam.  Kemudian Beliau pindah ke Damaskus pada tahun 706 H.  Disanalah Beliau tumbuh dan besar.
Di sana Beliau banyak menimba Ilmu dari para ‘ulama Damaskus.  Salah satunya adalah Al-Mazzi, salah seorang Ahli Hasdits di Syam.  Kepadanya Ibnu Katsir mengkoreksikan buku-buku karangannya.
Selain itu, Beliau juga belajar kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Beliau meninggal di Damaskus pada tahun 774 H, dan dikuburkan di Pemakaman Al-Shufiyah, berdampingan dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Berkenaan dengan diri Beliau, Al-Badar mengatakan, “Beliau adalah seorang ‘ulama yang menjadi teladan bagi para ‘ulama dan hufaz (para penghapal Al-Qur'an dan Ahli Hadits, pen.),   serta para Ahli Bahasa.  Dengan tekun Beliau belajar berbagai macam Ilmu Hadits, Ilmu Tafsir, dan Tarikh (Sejarah Islam).  Semasa hidupnya Beliau telah menghasilkan banyak buku-buku yang sangat berharga.”
Salah seorang murid Beliau, yang juga seorang sejarawan (Ahli Tarikh) Islam, Syihabuddin bin Hijji mengatakan, “Beliau adalah seorang yang mempunyai hafalan yang paling bagus tentang matan (kandungan) hadits , dan lebih mengetahui tentang keadaan perawi (periwayat) hadits, keshahihan dan jarh (cacat) hadits daripada Ahli lain yang pernah kami kenal.  Dan para sahabat dan syaikhnya pun mengakui hal tersebut.
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, “Beliau sering mengundang banyak orang untuk mengkaji berbagai macam Ilmu.  Beliau seorang yang berjiwa humoris.  Berbagai buku karangannya menyebar ke berbagai penjuru dunia, dan dimanfaatkan oleh banyak orang.”
Di antara buku karya Ibnu Katsir adalah;
1.       1. “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim”.
2.       2. “Jami’ Al-Massanid”.
3.       3. “Al-Takmil fii Ma’rifati Al-Tsiqaat wa Al-Dhu’afaa wa Al-Majahil fii Rijaali Al-Hadits”.
4.       4. “Syarhu Al-Bukhari" (tetapi buku ini belum sempat diselesaikan).
5.       5. “Al-Ijtihad fii Thalabi Al-Jihad”.
6.       6. “Thabaqaat Al-Syafi’iyyah”.
7.       7. “Al-Fushul fii Siraati Ar-Rasul.”
8.       8. “Al-Bidayah wa An-Nihayah fii Al-Tarikh”, dan
9.       9. “Qishash Al-Anbiya’”. 
Terjemahan buku yang terakhir inilah yang penulis blog sadur, yang dianggap buku rujukan Sejarah Islam terpenting, dalam kajian tentang kehidupan para Nabi.  Sebuah buku yang ditulis dengan bersandarkan pada Al-Qur’an, Hadits-Hadits Shahih, atsar tentang kehidupan para Nabi, yang bersumber langsung dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Semua kisah mengenai para Nabi dan Rasul yang dikisahkan dalam buku tersebut didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an, yang secara langsung atau tidak langsung mengisyaratkan dan menjelaskan tentang kehidupan mereka.

                                                                                             Penulis blog, dari Penerbit

Minggu, 05 Agustus 2018

PAKAIAN KEBESARAN


بسم الله الر حمان الر حيم


Tak seorang pun dari 124.000 Nabi dan Rasul  yang pernah diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala memikirkan apalagi memimpikan kekuasaan

Ketika Pemimpin Rasul Ulul Azmi ditawarkan, apakah akan dijadikan Raja yang menjadi Rasul, atau hamba yang menjadi Rasul - Beliau memilih yang kedua

Kalau dulu para Wali Allah mengucap “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un” ketika ditunjuk menjadi khalifah, kalau sekarang mereka mengucap “Alhamdulillah” dan pestapora ketika mendapatkan musibah

Kalau dulu orang yang berilmu menghindar dari musibah 
Kalau sekarang manusia berlomba-lomba mengejar, menggapai, dan meraih musibah

Kalaupun di antara Nabi ada yang ditakdirkan sebagai Raja, itu hanya sekedar ujian, bukan tujuan – apalagi bergaya hidup Raja
Mereka malu dan takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla

Bukankah, Nabi dan Raja Sulaiman menganyam tikar sekedar tuk pengisi perut Beliau?
Rasulullah Isa 'alaihissalam menggembala kambing
Rasul Nuh bertukang kayu, serta puncak dakwah Beliau membuat sebuah kapal kayu guna menyelamatkan segelintir* penduduk bumi dari Neraka Allah ‘Azza wa Jalla!

Bagaimana kemiskinan dianggap sebagai Neraka, bukan ujian - padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka mayoritas penduduk Surga?
Bagaimana kekayaan dianggap Surga, bukan ujian - padahal merekalah mayoritas penduduk Neraka?    

Tak seorang Nabi dan Rasul  pun memiliki pola-pikir seperti kebanyakan manusia zaman sekarang;  Rebut kekuasaan – lalu perbaiki dari atas

Siapa yang memiliki mata setajam Allah Subhanahu wa Ta’ala?  Yang mampu melihat dan memperbaiki segala sesuatu dari atas?  Bukankah, setiap tetes air mata dan darah rakyat yang tertumpah akan ditanyakan kepada Pemimpinnya?

Apakah  mungkin bisa memperbaiki, bila caranya mengingkari Sunnatullah?
Bukankah, Yang menciptakan lebih tahu bagaimana memperbaikinya?

Pernahkah  Allah 'Azza wa Jalla menuntut manusia melebihi batas kemampuannya?
Dan, pernahkah Allah Ta’ala menyia-nyiakan amalan sebesar dzarrah pun, tanpa balasan dan pertanggung-jawaban?

Jadi, siapakah sebenarnya yang selamat (lolos) dari pertanyaan (musibah)?
Ini dakwah kepada rakyat, bukan dakwah antar Negara!  Apalagi cuma membela bendera  kelompok...

Bagaimana seseorang bisa mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, kalau huruf Alif sebesar pilar istana saja dia tidak mengenalnya?!
Adalah Sunnatullah - memperbaiki itu dari bawah, dan membangun itu dari bawah, bukan dari atap (pucuknya)

Kalaulah,  membangun sebuah gubuk saja harus mengikuti Sunnatullah, apatah lagi membangun jiwa manusia?
Jangan menentang Sunnatullah!
Nanti kau binasa...
Tidakkah Yang membuatnya lebih mengetahui bagaimana cara memperbaikinya?

Perbaikilah rakyatnya - niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memilihkan bagi mereka Pemimpin yang setara dengan rakyatnya, agar tidak menimbulkan kekacauan
Begitulah jalan yang ditempuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta setiap Nabi yang diajarkan kepada manusia

Jangan gunakan logika yang terbalik;  Rebut kekuasaan – lalu duduk dan perbaiki dari atas
Apalagi sampai menjual dan menunggangi Agama demi meraih kekuasaan?

Bukankah Agama untuk dipahami dengan benar, diyakini, dan diamalkan?
Bukan untuk diutak-atik, atau disesuaikan dengan Selera Nusantara?
Telah demikian redupkah Cahaya iman?
Ataukah, kiamat yang telah merembang di Pintu Hati?

Masuklah dari pintu depan dengan cara baik-baik, jangan lewat pintu samping, atau pintu belakang, atau malah dari loteng...

Malulah dan takutlah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
Kenapa manusia tak mengambil pelajaran dari perjuangan yang ditempuh para Wali-Nya?
Bukankah setiap pemimpin itu adalah fotocopy rakyatnya?  Karena ia lahir, tumbuh dan berkembang dari rakyatnya?

Bagaimana akan punya pemimpin setara Khulafa-urrasyidin, bila rakyatnya masih jauh dari gambaran pemimpin yang diimpi-impikan  – mereka tak akan seiring dan sejalan, yang muncul malah salah pengertian dan kekacauan, bukan saling pengertian dan kemakmuran
Bukankah, Yang membuat lebih mengetahui bagaimana cara memperbaiki?  

Kalaupun kekuasaan itu akhirnya diserahkan Allah Ta’ala kepada Wali-Nya sebagai amanah 
tetap saja kekuasaan itu bukan tujuan
Tiada tujuan selain “Laa ilaaha illallah”, sembahlah Allah saja, dan singkirkan segala bentuk thaghut,  maka seluruh manusia akan terlindungi - apapun Agama dan Rasnya

Malulah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan takut hanya kepada-Nya saja

Setelah Fir’aun dan bala tentaranya ditenggelamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di Laut Merah, pernahkah Musa ‘alaihissalam duduk di kursi kebesarannya barang sekejap? 
atau menyarungkan pakaian Fir’aun yang kebesaran 
atau menyorong-nyorongkan mahkota Fir’aun ke kepala Beliau?

Semuanya ditinggalkan oleh Musa ‘alaihissalam, karena bukan itu tujuan Beliau diutus
Apalagi, “kepala” Fir’aun terlalu besar dibandingkan kepala Beliau yang mulia 

Kalau dulu, setiap hari Fir’aun  mengganti pakaiannya yang kebesaran, sementara Musa ‘alaihissalam tak memiliki selembar pun pakaian kebesaran 
Pakaian Beliau satu-satunya hanyalah taqwa

Kalau dulu, Fir’aun menenteng-nenteng tongkat kebesaran dan keberatan kesana-kemari, sementara Musa ‘alaihissalam hanya menyandang tongkat kayu yang ringan untuk memukul dedaunan, guna memberi makan kambing Beliau – akan tetapi sanggup membelah lautan atas ridha Allah 'Azza wa Jalla

Ketika Islam nyaris menguasai duapertiga belahan dunia, bagaimana peri kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?  
Tetesan air mata Umar bin Khaththab dan para Sahabat menjadi saksinya    

Keinginan Beliau hanyalah menjadikan  manusia hidup dibawah ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, tak lain dan tak bukan, dan tidak pula lebih dari itu

Ketika Umar bin Abdil Azis ditunjuk menjadi Khalifah bagaimana peri kehidupan Beliau?  Sampai-sampai isteri Beliau (Ibu Negara) tak memiliki uang 
hanya untuk membeli sebutir apel buat anaknya yang menangis? 

Tak seorang pun Wali Allah yang ingin memperbaiki umat manusia  memiliki pola-pikir;  Rebut kekuasaan, duduk - perbaiki 
Apalagi menghasut rakyat, berbuat onar, dan meruntuhkan Pemerintah Muslim? 
Periksalah sejarah para Waliyullah dan ‘ulama Rabbani
Kemana lagi akan berkaca?

oOo

*  Sembilan puluhan orang 

(Uneg-uneg Pemilu 2019)

Sabtu, 04 Agustus 2018

MENGINGAT ALLAH



بسم الله الر حمان الر حيم


Firman Alah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian, dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.  Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”  (Al-Munafiqun;  9)
Artinya, mengingat Allah secara terus-menerus merupakan sebab tumbuhnya cinta yang juga terus-menerus.  Banyak mengingat Allah merupakan tindakan yang paling bermanfaat bagi hamba, sebab Allah-lah Yang paling berhak untuk dicintai, disembah dan diagungkan dengan sepenuhnya.  Sementara musuh Allah paling berhak menghalangi manusia untuk mengingat dan menyembah-Nya.
Karena itulah Allah menyampaikan perintah di dalam Al-Qur’an, agar banyak mengingat-Nya, dan Dia juga menjadikan perbuatan ini sebagai sebab keberuntungan;
“Dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.”  (Al-Jumu’ah;  10), dan
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut Nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.”  (Al-Ahzab;  41).
Makna dari sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,  Al-Mufarridun telah berlalu.”
Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah Al-Mufarridun itu?”
Beliau menjawab, “Orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah.”
Di dalam riwayat At-Tirmidzi, dari Abud-Darda, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“’Maukah jika aku tunjukkan kepada kalian amal kalian yang lebih baik dan lebih bersih di sisi Raja kalian, lebih tinggi bagi derajat kalian, lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas atau uang, dan lebih baik bagi kalian daripada berhadapan dengan musuh lalu kalian memenggal leher mereka, dan mereka memenggal leher kalian?’  Mereka menjawab, ‘Baiklah wahai Rasulullah.’  Beliau bersabda, ‘Dzikrullah.’”
Disebutkan dalam Al-Muwaththa’, hadits ini mauquf pada Abud-Darda.
Mu’adz bin Jabbal Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam yang lebih dapat menyelamatkannya dari siksa Allah selain dari mengingat Allah.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam biasa menyusuli dzikir dengan dzikir berikutnya.  Dengan perkataan lain, keberlangsungan dzikir merupakan sebab keberlangsungan cinta.
Dzikir bagi hati laksana air bagi tanaman, atau bahkan laksana air bagi ikan, dimana ia tidak akan dapat bertahan hidup kecuali dengan air.
Dzikir itu sendiri bermacam-macam;
1.       1. Menyebut Asma dan Sifat-Sifat-Nya, atau dengan memuji-Nya.
2.       2. Mengucapkan tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), tahlil (Laa ilaha illallah), dan tamjid (Allahuakbar, dan semua keAgungan yang dikaitkan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala; al-majdulillah, pen.).  Inilah lafadz dzikir yang lebih sering digunakan menurut pendapat para ‘ulama mutaakhirin.
3.       3. Mengingat Allah dengan mengingat Hukum, Perintah, dan Larangan-larangan-Nya.  Ini merupakan dzikirnya orang-orang yang berilmu.
Bahkan ketiga macam dzikir ini merupakan dzikir mereka kepada Allah.
4.       4. Dzikir yang paling utama, ialah dengan mengingat Kalam-Nya (Perkataan-Nya), sebagai mana makna firman-Nya,
“Dan barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.”  (Thaha;  124)
Dzikir yang dimaksudkan disini ialah Kalam yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya,
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.  Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”  (Ar-Ra’ad;  28)
5.       5. Termasuk juga dzikir ialah, dengan cara berdo’a, memohon ampunan dan tunduk kepada-Nya.

Inilah 5 (lima) macam dzikir.

oOo
(Disalin dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwi)