Selasa, 26 September 2017

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (4)


بسم الله الر مان الر حيم
  •    Ilmu itu tidak akan hinggap pada orang-orang yang malu dan sombong.  Orang yang malu tidak akan mau bertanya karena malu, dan orang yang sombong tidak mau bertanya karena kecongkakannya.

  •    Pelajarilah Al-Qur’an lima ayat-lima ayat, karena hal itu lebih mudah untuk diingat dan difahami.  Karena Jibril  ‘alaihissalam menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lima ayat-lima ayat.
oOo

Selasa, 19 September 2017

PETIKAN DO'A SEORANG PEMUKA TABI'IN


بسم الله الر حمان الر حيم

Secara Istilah Syari'at do’a bisa bermakna Pujian (Ibadah), atau Permohonan (hajat) seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Do’a adalah senjata orang mukmin.  Do’a juga menggambarkan suasana hati orang yang mengucapkannya.
Di tengah-tengah perlombaan kebanyakan manusia akhir zaman dalam berdo'a dan berupaya untuk meraih dunia.  Sengaja kami petikkan sekelumit do’a (munajat) salah seorang pemuka orang-orang zuhud dari Generasi Terbaik Islam Tabi’in.  Semoga bisa dijadikan “Refleksi” kaum muslimin zaman now;

“Wahai Ilahi... sungguh Engkau telah menciptakanku dengan perintah-Mu, lalu Engkau tempatkan aku di dunia ini sesuai kehendak-Mu, lalu Engkau perintahkan,  'Berpegang teguhlah!'  Bagaimana aku akan berpegang teguh jika Engkau tidak menguatkanku dengan kelembutan-Mu yaa Qawiyyu yaa Matiin!  

Wahai Ilahi... sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa, seandainya aku memiliki dunia dengan seluruh isinya, kemudian diminta dariku demi meraih keridhaan-Mu - niscaya akan aku berikan kepada orang yang memintanya, maka berikanlah Jiwaku kepadaku yaa Arhamar Raahimin!  

Wahai Ilahi... kecintaanku pada-Mu yang sangat, membuatku terasa ringan menghadapi musibah, ridha atas segala qadha’, maka aku tidak peduli apapun yang menimpa diriku pada pagi dan sore hari, selagi masih bisa mencintai-Mu.”


(Al-Imam Amir bin Abdillah At-Tamimi rahimahullah)

Renungan
Manusia belum dikatakan memiliki Jiwa seutuhnya bila belum mengenal (dengan pengenalan yang benar), dan mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala secara lahir maupun bathin.  Karena mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Fitrah Awal Penciptaan Manusia yang ditanamkan Allah 'Azza wa Jalla sebelum mereka dilahirkan ke dunia ini.  Merupakan sesuatu yang paling berharga (bernilai) dalam diri seorang manusia.  Namun, seiring perkembangan kehidupan mereka di dunia, Fitrah tersebut  seringkali terdegradasi (tergerus), tercabik-cabik, bahkan tercabut dari jiwa-jiwa mereka karena tidak dijaga dengan tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
(Baca artikel, MANUSIA TANPA QALBU)
Demikianlah hakikat do'a dari orang-orang berilmu, memohon agar Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada mereka "Jiwa yang utuh", karena pengenalan dan cinta mereka terhadap-Nya - yang akan mereka pertaruhkan melebihi segala-galanya.
Bertolak belakang dengan manusia zaman sekarang yang rela kehilangan keutuhan jiwanya demi meraih secuil keuntungan dunia.
(Baca artikel, APA ITU FITRAH?)
(pen blog)


oOo

Kamis, 07 September 2017

KEADAAN MANUSIA YANG BERADA DALAM GELAP-GULITA


بسم الله الر حمان الر حيم

Berbeda dengan orang yang dijadikan Allah cahaya di dalam hatinya, maka orang-orang yang hatinya gelap-gulita bergolak arus syubhat yang bathil, berbagai imajinasi rusak, berbagai macam prasangka dan kejahilan (kebodohan), semua bersumber dari dalam dadanya. 

Sebagaimana firman Allah (artinya),
“Atau seperti gelap-gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; Gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir dia tidak dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, tidaklah dia memiliki cahaya sedikit pun.”  
(QS. An-Nuur; 40)
Perhatikan bagaimana ayat ini merangkum beberapa jalan yang ditempuh beragam golongan manusia, dalam suatu susunan kalimat yang sempurna.
Manusia itu ada dua golongan;
Pertama;  Orang-orang yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan bashirah.  Mereka mengetahui bahwa kebenaran adalah apa yang dibawa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah Ta'ala, bahwa segala sesuatu yang menyalahinya adalah syubhat (kebathilan yang menyerupai / berkedok kebenaran), yang urusannya seperti orang-orang yang minim akal dan pendengarannya, lalu dia menyangka sebagai suatu yang bermanfaat baginya.  Padahal Allah telah menyerupakannya dengan,
“Laksana Fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi ketika didatanginya dia tidak mendapati sesuatu apa pun.  Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal perbuatannya dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.  Atau seperti gelap- gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), diatasnya lagi awan; gelap-gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya oleh Allah, tiadalah dia memiliki cahaya sedikit pun.”  
(QS. An-Nuur; 39-40)
Orang-orang yang mengikuti Petunjuk dan Agama yang benar (lurus) adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, yang membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengabaran-pengabaran Beliau, tidak menyalahinya dengan syubhat, mentaati perintah Beliau dan tidak menyia-nyiakannya dengan syahwat.  Mereka tidak lalai terhadap ilmunya, yang pahala amalnya tidak gugur di dunia dan di Akhirat dan bukan pula orang-orang yang merugi.  Cahaya wahyu yang nyata menyinari mereka, sehingga di bawah cahaya itu mereka bisa melihat orang lain yang berada dalam kegelapan, yang buta dalam kegelapan, yang meraba-raba dalam kesesatan, yang ragu dalam kebimbangan, yang tertipu oleh fatamorgana, yang mencela hikmah dan ketetapan yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Karena mereka mengandalkan pemikiran sendiri dan ridha padanya, karena mereka lebih mendahulukan pemikiran daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tidak mengherankan jika mereka mengikuti Hawa Nafsu dan Langkah-langkah Syaithan.  Karena inilah mereka menentang ayat-ayat Allah 'Azza wa Jalla tanpa landasan ilmu pengetahuan.
Kedua;  Orang-orang bodoh dan zhalim, yang menghimpun kebodohan tentang apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kezhaliman terhadap diri sendiri dan mengikuti Hawa Nafsu.  Mereka inilah yang difirmankan Allah Ta'ala (artinya),
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh Hawa Nafsunya, dan sesungguhnya telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka.”  
(QS. An-Najm; 23)
Golongan yang kedua ini ada dua macam;
A.       1. Orang-orang yang mengira bahwa mereka berada dalam petunjuk, padahal mereka adalah orang-orang bodoh dan sesat.  Dengan begitu, mereka adalah orang-orang yang Jahil Kuadrat (Pangkat dua), yang tidak mengetahui kebenaran serta memerangi orang-orang yang membela kebenaran.  Mereka membela kebathilan dan menolongnya,
Dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat).  Ketahuilah, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang yang pendusta.”  
(QS. Al-Mujadilah; 18)
Karena keyakinan mereka tentang sesuatu, padahal kebenaran yang sesungguhnya tidak seperti keyakinan mereka tersebut, maka mereka diibaratkan seperti orang yang sedang melihat Fatamorgana, yang dikira orang yang dahaga sebagai air.  Tetapi ketika didatanginya, dia tidak mendapatkan apa pun.  Begitulah amal dan ilmu mereka yang diibaratkan sebagai Fatamorgana, yang berkhianat pada saat justru dia sangat membutuhkan.   Bahkan tidak sebatas kekecewaan dan kegagalan, karena tidak mendapatkan apa yang diharapkan, tetapi dia mendapatkan ketetapan Allah Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Adil di antara orang-orang yang adil, lalu mengira bahwa ilmu dan amalnya bermanfaat di sisi-Nya, dan Allah akan memberikan pahala kepada mereka.  Padahal amalnya itu seperti debu yang berterbangan, karena dilakukan tidak ikhlas karena mengharap Wajah-Nya, dan tidak pula menurut Sunnah Rasul-Nya.  Maka berbagai syubhat bathil yang dikira sebagai ilmu yang bermanfaat itu menjadi debu yang berterbangan, sehingga ilmu dan amalnya menjadi penyesalan yang sangat baginya.
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Fatamorgana adalah sesuatu  yang terlihat di atas hamparan padang yang luas karena terpaan sinar matahari pada siang hari yang terik, meliuk-liuk di permukaan bumi, menyerupai air yang sedang mengalir.
Al-Qii’ah adalah hamparan tanah yang luas membentang, tanpa ada gunung dan lembah hijau yang  menghalangi pandangan orang tersebut.
Ilmu yang tidak diambilkan dari Wahyu dan Pengamalannya, diserupakan dengan Fatamorgana yang dilihat musafir di tengah padang yang terik membara, yang mengecohnya ketika didatangi, dan dia justru mendapatkan panas yang membakar.
Begitulah ilmu dan amal orang-orang yang bathil ketika semua manusia dihimpun di Hari Kiamat.  Mereka kehausan dan melihat Fatamorgana yang dikiranya air.  Tetapi ketika didatanginya, mereka mendapatkan ketetapan Allah Ta'ala yang ada di sana.  Maka, mereka pun dilemparkan ke Neraka untuk menerima adzab,
“Dan mereka diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya.”  
(QS. Muhammad; 15)
Air mendidih yang diguyurkan itu adalah ilmu mereka yang tidak bermanfaat, dan amal mereka yang dimaksudkan untuk selain Allah.  Karena itu Allah menjadikannya sebagai minuman yang mendidih lalu diberikan kepada mereka.  Sementara makanan mereka adalah,
“Dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.”  
(QS. Al-Ghasyiyah; 6-7).  Maksudnya adalah, bahwa ilmu dan amal mereka yang bathil ketika masih di dunia, yang tidak bisa menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar.  Mereka inilah yang digambarkan Allah dalam firman-Nya (artinya),
“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’  Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan di dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat dengan sebaik-baiknya. 
(QS. Al-Kahfi; 103-104)
Mereka pula yang difirmankan Allah (artinya),
“Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”  
(QS. Al-Furqan; 23),
“Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya yang menjadi penyesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api Neraka.”  
(QS. Al-Baqarah; 167)
B.       2. Orang-orang yang hidup dalam berbagai kegelapan, yaitu mereka yang tenggelam dalam kejahilan (kebodohan), yang kejahilan (kebodohan) itu mengepung mereka dari segala penjuru, hingga membuat mereka sejajar deengan binatang ternak atau bahkan lebih sesat lagi.  Amal yang mereka kerjakan tidak berdasarkan Bashiirah, tapi hanya sekedar Taqlid dan mengikuti bapak-bapak mereka tanpa ada cahaya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Zhulumaat adalah jamak dari zhulumat, yang berarti berbagai macam kegelapan.  Kegelapan  kebodohan, kegelapan kekufuran, kegelapan kezhaliman terhadap diri sendiri karena taqlid dan mengikuti Hawa Nafsu, kegelapan keragu-raguan dan kesangsian, kegelapan berpaling dari kebenaran yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya, dan cahaya yang diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya.
Orang yang berpaling dari apa yang disampaikan Allah kepada hamba dan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Petunjuk dan Agama yang benar, akan terbolak-balik dalam 5 (lima) macam kegelapan;
1.   Perkataannya yang gelap
2.   Perbuatannya yang gelap
3.   Cara masuk dan cara keluarnya yang gelap
4.   Perjalanannya yang gelap
5.   Hati dan Wajahnya yang gelap
Apabila pandangan matanya yang seperti kelelawar ("kampret") bersirobok dengan apa yang disampaikan Allah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu yang berupa cahaya, maka ia cepat-cepat menghindar darinya, karena cahaya itu menyambar pandangannya.  Karena itu ia lari ke arah kegelapan, karena itulah tempat yang paling cocok baginya, sebagaimana dikatakan dalam sya’ir,
Kelelawar yang kabur pandangannya karena sinar terang
Yang sesuai baginya hanyalah kegelapan malam yang lengang
Jika dia menghampiri pemikiran yang kotor dan menjijikkan, maka dia muncul dengan berjingkrak-jingkrak, tampil dan menampakkan dirinya.  Namun jika terbit Cahaya Wahyu dan Matahari Risalah, dia menyingkir ke lubang layaknya serangga.
Firman Allah “Fii bahrin lujjiyyin”, makna “al-lujjiy”  adalah dalam, yang dinisbatkan kepada lafazh “lujjatul bahri”, lautan yang dalam lagi luas.
Firman Allah (artinya), “Yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya lagi awan”, merupakan gambaran keadaan orang yang berpaling dari wahyuOmbak syubhat dan kebathilan yang bergolak di dalam dadanya diserupakan dengan ombak lautan yang bergolak.  Dan itu merupakan ombak yang disusul dengan ombak berikutnya.  Kemudian ombak itu masih ditindih lagi dengan awan yang gelap.
Di sini ada beberapa macam kegelapan, yaitu kegelapan lautan yang dalam lagi luas, kegelapaan ombak yang ada di atasnya, dan kegelapan awan di atasnya lagi.  Jika orang tersebut mengeluarkan tangannya dari kegelapan-kegelapan ini, maka dia tidak dapat melihat tangannya sendiri.
Pertama-tama Allah menyerupakan amal mereka yang tidak ada manfaatnya dan yang justru mendatangkan mudharat bagi mereka, laksana fatamorgana yang menipu orang-orang yang memandangnya dari kejauhan.  Ketika fatamorgana itu didekati, ternyata yang didapat tidak seperti yang diharapkan.  Kedua kalinya Allah menyerupakan amal-amal mereka dengan kegelapan dan kekelaman, karena itu merupakan amal-amal bathil yang terlepas dari cahaya iman, seperti berbagai kegelapan yang tindih-menindih di tengah lautan luas yang berombak dan ditutupi pula oleh awan di atasnya.
Sungguh, ini merupakan perumpamaan yang sangat mengagumkan, yang sangat tepat dengan keadaan para ahli bid’ah dan orang-orang sesat, serta keadaan orang-orang yang menyembah Allah tidak menurut cara yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan meninggalkan Kitab-Nya.
Perumpamaan ini merupakan perumpamaan bagi amal mereka yang bathil dengan sesuatu yang memang sesuai dengannya sekaligus sebagai pemberian penjelasan, disamping perumpamaan tentang ilmu dan keyakinan mereka yang rusak.
Masing-masing di antara fatamorgana dan kegelapan-kegelapan merupakan perumpamaan bagi himpunan ilmu dan amal mereka, bahwa itu merupakan fatamorgana yang tidak menghasilkan apa-apa, dan itu merupakan kegelapan-kegelapan yang tidak ada cahayanya.
Perumpamaan ini merupakan kebalikan dari perumpamaan amal orang mukmin dan ilmu mereka, yang diambilkan dari Misykaat Nubuwah.  Ilmu dan amalnya seperti hujan yang mendatangkan kehidupan bagi negeri dan manusia, seperti cahaya yang sangat bermanfaat bagi penghuni dunia dan Akhirat.
Ibnu Qayyim mengatakan di dalam “A’laam Al-Muwaqqi’iin”, Allah menyebutkan dua perumpamaan bagi orang-orang kafir, satu perumpamaan seperti fatamorgana dan satu perumpamaan seperti kegelapan yang tindih-menindih.  Pasalnya, orang-orang yang berpaling dari petunjuk dan kebenaran juga ada dua macam;
1.        Orang yang beranggapan bahwa dia berada di atas kebenaran.  Tetapi ketika hakikat telah tersibak, diapun menyadari bahwa ternyata anggapannya itu keliru (meleset).  Ini merupakan keadaan orang yang jahil dan bodoh, ahli bid’ah dan orang-orang sesat, yang mengira bahwa mereka berada pada kebenaran dan ilmu.  Keyakinan dan amal mereka yang tersusun di atas anggapan ini seperti fatamorgana di padang yang luas, yang tampak seperti air yang mengalir dalam pandangan orang-orang yang memandangnya dari kejauhan.
Amal-amal yang dimaksudkan untuk selain Allah ini dan tidak menurut perintah-Nya, dikira bermanfaat oleh pelakunya.  Padahal hakikatnya tidaklah begitu.  Inilah amal-amal yang difirmankan Allah (artinya),
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”  
(QS. Al-Furqan; 23)
Perhatikan bagaimana Allah menciptakan fatamorgana di padang yang luas, suatu permukaan bumi yang gersang dan tanpa ada bangunan, pepohonan atau benda apapun yang menonjol.  Itu merupakan suatu tempat yang kosong-melompongFatamorgana adalah sesuatu yang tidak memiliki hakikat.  Yang demikian ini sangat sesuai dengan amal dan hati mereka yang kosong dari iman dan petunjuk.
Perhatikan pula apa yang terkandung di dalam firman Allah, “Yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga.”  Kata azh-zham’aan berarti orang yang sangat haus.  Ketika dia melihat fatamorgana, dia mengiranya sebagai air yang mengalir.  Karena itu dia menghampirinya, yang ternyata dia tidak mendapatkan apa-apa di sana.  Dia gagal mendapatkan air itu justru pada saat dia sangat membutuhkannya.  Begitu pula yang terjadi pada orang-orang kafir.  Karena amal mereka tidak didasarkan kepada keta’atan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk selain Allah, maka amal-amal itu dijadikan seperti fatamorgana.  Mereka dibuat lebih haus dari pada sebelumnya, justru pada saat mereka sangat membutuhkan amal-amal itu.  Mereka tidak mendapatkan apapun dan yang mereka dapatkan adalah Allah yang akan membalas mereka dan menghisab mereka.
Begitulah keadaan orang yang bathil, yang kebathilannya berkhianat kepadanya justru pada saat dia sangat membutuhkannya dari keadaan sebelumnya.  Sesungguhnya kebathilan itu tidak memiliki hakikat, seperti namanya, kebathilan.
Jika keyakinan tidak sesuai dan tidak pula benar, berarti gantungannya adalah bathil.  Begitu pula tujuan amal yang bathil, seperti amal untuk selain Allah, atau tidak menurut perintah-Nya.  Amal itu bathil karena kebathilan tujuannya, dan bahkan mendatangkan mudharat kepada pelakunya karena kebathilannya, dan dia akan disiksa karena tidak adanya manfaat.  Karena itu Allah berfirman,  “Dan, didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup.”  
(Al-Furqan; 23).  Keadaan ini juga sama dengan keadaan orang yang sesat, yang mengira berada pada petunjuk.

2.       Orang-orang yang diumpamakan seperti kegelapan yang tindih-menindih.  Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan petunjuk, namun mereka lebih mementingkan kegelapan yang bathil dan sesat, sehingga pada diri mereka terdapat kegelapan tabiat yang bertumpuk-tumpuk, kegelapan jiwa dan kegelapan kejahilan (kebodohan), karena mereka tidak mengamalkan ilmunya, sehingga mereka menjadi jahil (bodoh), dan kegelapan mengikuti hawa nafsu, sehingga keadaan mereka seperti keadaan orang yang berada di tengah lautan yang dalam lagi luas, seakan-akan tak bertepi, yang digulung ombak demi ombak, dan di atasnya bergantung awan tebal dan gelap.  Dia berada dalam kegelapan lautan, kegelapan ombak dan kegelapan awan.
Demikian ini serupa dengan keadaan orang yang berada di dalam keadaan yang diliputi kegelapan-kegelapan, dan Allah tidak mengeluarkannya dari kegelapan itu kepada cahaya iman.
Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Allah cahaya langit dan bumi.  Perumpamaan cahaya Allah adalah serperti lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar...”, hingga firman-Nya, “...supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka.  Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”  
(QS. An-Nuur; 35-38)
Ayat-ayat ini mengandung sifat tiga golongan;  
A. Orang-orang yang mendapat nikmat, yaitu orang-orang yang memiliki cahaya.  
B. Orang-orang yang sesat (Orang yang Ilmunya rusak), yaitu orang-orang yang mendapatkan fatamorgana, dan 
C. Orang-orang yang mendapat murka (Orang yang mengetahui kebenaran, namun berpaling darinya), yaitu mereka yang melakukan amalan bathil yang tidak mendatangkan manfaat.
Perumpamaan kedua ini adalah bagi orang-orang yang memiliki ilmu yang tidak bermanfaat dan keyakinan-keyakinan bathil, kedua hal tersebut bertolak belakang dengan petunjuk dan Agama yang benar (lurus).  Karena itu Allah mengumpamakan keadaan golongan yang kedua ini dengan ilmu yang rusak dan ombak syubhat di dalam hati mereka, dengan gulungan ombak lautan, ombak yang tindih-menindih, yang di atasnya ada awan gelap.  Begitulah ombak keragu-raguan dan syubhat di dalam hati yang gelap, yang masih ditambah lagi dengan hawa nafsu dan kebathilan.
Allah juga mengabarkan bahwa yang pasti terjadi, Dia tidak akan menciptakan cahaya bagi mereka, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang memang diciptakan bagi mereka, dan Dia tidak mengeluarkan mereka dari kegelapan itu menuju cahaya.  Sesungguhnya Allah menolong orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.
Di dalam “Al-Musnad” disebutkan hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan dan memberikan kepada mereka sebagian dari cahaya-Nya.  Siapa yang mendapatkan sebagian dari cahaya itu, maka ia mendapat petunjuk, dan siapa yang tidak mendapatkannya, maka dia tersesat.  Karena itulah aku katakan, Al-Qalam (pena) telah mengering berdasarkan Ilmu Allah.’”
Allah menciptakan makhluk dalam kegelapan.  Siapa yang dikehendaki-Nya mendapat petunjuk, maka dijadikan-Nya baginya cahaya yang riil, yang memberikan kehidupan bagi hati dan rohnya, sebagaimana Allah memberikan kehidupan badan dengan roh yang ditiupkan ke dalamnya.
Ini merupakan dua macam kehidupan; *Kehidupan badan dengan roh, dan *Kehidupan roh serta hati dengan cahaya.  Karena itu Allah menyebut Wahyu-Nya dengan Roh, agar tercipta kehidupan yang hakiki padanya, sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Dia menurunkan para Malaikat dengan membawa Wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya.”  
(QS. An-Nahl; 2),
“Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya.”  
(QS. Al-Mukmin; 15),
“Dan demikianlah Kami Wahyukan kepadamu Wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu Cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.”  
(QS. Asy-Syura; 52).
Allah menjadikan Wahyu-Nya sebagai Roh dan Cahaya.  Siapa yang tidak diberi kehidupan dengan Roh ini, maka dia adalah orang yang mati.  Siapa yang tidak diberi Cahaya dari-Nya, maka dia berada dalam kegelapan dan tidak memiliki Cahaya sedikitpun.
(Baca juga artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA, dan KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN LANJUTAN)
oOo

(Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim”)

Rabu, 06 September 2017

ALLAH ADALAH CAHAYA LANGIT DAN BUMI


بسم الله الر حمان الر حيم

“Allah cahaya langit dan bumi.  Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.  Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat  (nya), yang minyaknya  (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.  Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”  (An-Nuur; 35)
Menurut Ubai bin Ka’ab, ini adalah perumpamaan cahaya Allah yang ada di dalam hati orang Muslim.  Inilah cahaya yang dimasukkan Allah ke dalam hati hamba-hamba-Nya, berupa ma’rifat, cinta, mengingat dan iman kepada-Nya.  Inilah cahaya yang diturunkan-Nya kepada mereka, sehingga membuat mereka hidup dan menjadikan mereka dapat berjalan ditengah-tengah manusia.  Asal cahaya itu ada di dalam hati mereka, lalu materinya menguat dan semakin bertambah, sehingga tampak pada wajah, badan, tutur-kata dan seluruh anggota tubuh mereka, bahkan pada pakaian mereka, yang dapat dilihat orang lain yang setara, meskipun orang-orang mengingkari hal ini.  Pada hari kiamat cahaya ini semakin jelasDengan imannya, mereka berjalan di tengah-tengah manusia yang berada di dalam kegelapan jembatan (Ash-Shirat), hingga mereka dapat melewati orang-orang itu, yang berada dalam keadaan lemah karena kelemahan hati mereka dahulu di dunia.
Bahkan cahaya ini merupakan cahaya yang dzahir dan kasat mata, seperti halnya orang-orang munafik yang tidak memiliki cahaya yang tetap di dunia.  Cahaya orang beriman merupakan cahaya yang nyata dan bukan sekedar cahaya bathin, yang mampu memberikan cahaya yang terang, yang menerangi kegelapan. 
Allah menjadikan cahaya ini, tempatnya, pembawanya dan materinya sebagai perumpamaan dengan sebuah misykaat, yaitu sebuah lubang pada dinding yang mirip dada manusia.  Di dalam misykaat itu ada kaca yang sangat bening sehingga diserupakan dengan bintang yang mirip dengan mutiara karena kebeningannya.  Ini merupakan perumpamaan bagi “hati” (jantung).  Ia diserupakan dengan kaca, karena ia menghimpun berbagai sifat di dalam hati orang-orang Mukmin, yaitu Kebeningan, Kejernihan, Kehalusan dan Kekerasan, sehingga terlihat kebenaran dan petunjuk dengan kebeningannya itu, lalu ia menghasilkan kelemah lembutan dan kasih sayang, tetapi juga berjihad memerangi musuh-musuh Allah, menekan mereka, tegas dalam membela kebenaran dan teguh dalam hal ini dengan kekerasannya.  (Al-Fath; 29), (Ali-Imran; 159), (At-Tahrim; 9)
(Baca artikel tentang QALBU (HATI))
Di dalam salah satu atsar disebutkan, “Hati itu adalah bejana Allah yang ada di bumi-Nya.  Bejana yang paling disukai Allah adalah yang paling halus, kuat dan bening.” 
Kemudian di dalam kaca itu ada pelita, yaitu cahaya yang memancar dari sumbu.  Pelita inilah yang membawa cahaya.  Cahaya itu mempunyai bahan bakar berupa minyak yang diperas dari pohon zaitun yang tumbuh di suatu tempat yang paling baik, yang terkena sinar matahari pada awal dan akhir siang.  Minyaknya merupakan minyak yang paling bening dan sama sekali tidak keruh, hingga hampir saja minyak itu mampu memancarkan cahaya karena kebeningannya, meski belum tersentuh api.
Inilah bahan cahaya pelita itu.  Begitu pula bahan cahaya pelita yang ada di dalam hati orang-orang Mukmin, yang berasal dari Pohon Wahyu yang paling besar berkahnya, yang paling jauh dari penyimpangan, bahkan ia merupakan sesuatu yang paling utama, paling adil dan paling pertengahan, tidak menyimpang seperti penyimpangan Agama Nasrani dan tidak pula seperti penyimpangan Agama Yahudi.  Ia berada ditengah-tengah antara dua sisi yang tercela dalam segala hal.  Inilah bahan pelita Iman yang ada di dalam hati orang-orang Beriman.
Karena kebeningannya, minyaknya saja hampir-hampir memancarkan cahaya.  Maka begitu api sudah menyentuhnya, ia semakin bercahaya dan apinya semakin menyala terang.  Yang demikian itu merupakan Cahaya diatas Cahaya.  Begitu pula orang Mukmin.  Hatinya bercahaya, yang hampir-hampir dapat mengetahui kebenaran dengan Fitrah dan Akalnya, tanpa ada bahan lain dari dirinya.  Lalu datang bahan Wahyu yang bercampur dengan hatinya, sehingga menambah cahayanya dengan Wahyu itu, di atas Cahaya Fitrah yang diciptakan Allah di dalam hatinya.  Maka Cahaya Wahyu berkumpul dengan Cahaya Fitrah,  Cahaya di atas Cahaya.  Maka hampir-hampir dia dapat menyatakan kebenaran meskipun belum pernah mendengar atsar.  Ketika dia sudah mendengar atsar yang sesuai dengan Kesaksian Fitrahnya, maka itulah yang dinamakan Cahaya di atas Cahaya.
Inilah keadaan orang-orang Mukmin, yang dengan Fitrahnya dapat mengetahui kebenaran secara global, kemudian dia mendengar atsar, yang datang kepadanya secara terperinci.  Maka Imannya tumbuh dari Kesaksian Wahyu dan Kesaksian Fitrah.
(Baca artikel, APA ITU FITRAH?)
Hendaklah orang-orang yang berakal mau memperhatikan ayat yang Agung ini dan kesesuaiannya dengan makna-makna yang Mulia.  Allah telah menyebutkan bahwa cahaya-Nya di langit dan di bumi, cahaya-Nya di dalam hati hamba-hamba-Nya yang beriman adalah cahaya yang dapat dinalar dan dikenali dengan mata hati, cahaya yang dapat dirasakan dan dipersaksikan dengan pandangan mata, cahaya itu dapat menyinari seluruh penjuru alam atas dan alam bawah.  Ini merupakan dua cahaya yang Agung, yang satu lebih besar daripada yang lain.
Ayat ini mengandung penyebutan hal-hal tersebut secara terperinci.  Pelakunya adalah Allah, yang menganugerahkan cahaya, yang memberikan petunjuk dengan cahaya-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.  Yang menerimanya adalah hamba yang Mukmin (orang-orang beriman).  Tempatnya adalah hatinya.  Pembawanya adalah hasrat dan kehendaknya.  Bahan atau materinya adalah perkataan dan perbuatannya.
Perumpamaan yang mengagumkan yang terkandung dalam ayat ini terdapat rahasia, makna dan penampakan kesempurnaan nikmat Allah kepada hambanya yang mukmin, karena cahaya yang diterimanya, sehingga pandangan mata selalu tertuju kepadanya dan hati menjadi mekar karenanya.
Di dalam perumpamaan ini ada dua jalan bagi para ahli ilmu ma’any, yaitu;
Pertama;  Perhatikan sifat misykaat, yang berupa lubang yang tidak tembus, agar dapat menghimpun dan memantulkan cahaya.  Di lubang itu diletakkan pelita.  Pelita itu berada di dalam kaca, menyerupai bintang yang mirip mutiara karena keindahan dan kejernihannya, yang bahannya merupakan bahan yang paling baik dan paling jernih serta mudah menyalakan api, berasal dari minyak pohon yang tumbuh di tengah-tengah lahan yang terbuka, tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat sesuatu, yang mendapat sinar matahari pada waktu pagi dan sore hari, di tempat yang terjaga ujung-ujungnya, mendapat sinar matahari dalam ukuran yang sedang-sedang saja.  Karena kebeningan minyak pelita itu, hampir-hampir minyak itu sendiri memancarkan cahaya meskipun tidak tersentuh api.  Keseluruhan perumpamaan yang tersusun ini merupakan perumpamaan cahaya Allah yang disifati-Nya dalam hati hamba-hamba-Nya yang mukmin dan hanya dikhususkan-Nya bagi mereka.
Kedua;  Ada yang berpendapat misykaat adalah dada orang mukmin.  Kaca adalah hatinya.  Hati orang mukmin diserupakan dengan kaca karena Kehalusan, Kejernihan dan Kekerasannya.  Begitu pula hati orang Mukmin yang menghimpun ketiga sifat ini.  Dia menyayangi, berbuat baik, mengasihi makhluk dengan kelemah lembutannya, dengan kebeningan  di dalamnya tampak berbagai gambaran Hakikat dan Ilmu.  Kotoran dan kerak tidak terlihat di sana.  Sementara dengan kekerasannya dia bisa menjadi tegar dan teguh dalam urusan Allah, tegas terhadap musuh-musuh Allah serta menegakkan kebenaran karena Allah.
Allah telah menjadikan hati seperti bejana kaca, seperti yang dikatakan sebagian orang salaf,  “Hati itu adalah bejana Allah di bumi-Nya.  Yang paling disukai Allah adalah hati yang paling halus (lemah lembut), paling keras dan paling bening.”  Pelita adalah cahaya iman di dalam hati orang-orang Mukmin.  Pohon yang penuh berkah adalah Pohon Wahyu yang mengandung petunjuk dan agama yang benar.  Ini merupakan bahan baku pelita yang membuatnya menyala.  Cahaya di atas cahaya adalah Cahaya Fitrah yang lurus dan Pengetahuan yang Benar, cahaya Wahyu dan Al-Kitab.  Salah satu cahaya berhubungan dengan cahaya lainnya sehingga satu cahaya menambah kepada cahaya yang lainnya.  Karena itu hampir-hampir orang Mukmin dapat berkata dengan benar dan penuh hikmah sebelum dia mendengar adanya atsar yang berkaitan dengannya.  Ketika atsar datang, ternyata sama dengan apa yang hendak dikatakannya itu.  Dengan begitu ada kesesuaian antara Kesaksian Akal, Syariat, Fitrah dan Wahyu.  Akal dan Fitrahnya membuatnya dapat menyaksikan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah kebenaran, yang tidak bertentangan dengan akal dan naql, keduanya saling bergandengan dan bersamaan.  Ini merupakan tanda Cahaya di atas Cahaya.

oOo


 (Diringkas dan disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim”)