بسم الله الر حمان الر حيم
Berbeda dengan orang
yang dijadikan Allah cahaya di dalam hatinya, maka orang-orang yang hatinya gelap-gulita bergolak arus syubhat yang bathil, berbagai
imajinasi rusak, berbagai macam prasangka dan kejahilan (kebodohan), semua bersumber dari dalam dadanya.
Sebagaimana firman Allah (artinya),
“Atau seperti gelap-gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh
ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; Gelap gulita yang
tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir dia tidak
dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah,
tidaklah dia memiliki cahaya sedikit pun.”
(QS. An-Nuur; 40)
Perhatikan bagaimana ayat ini merangkum beberapa jalan yang
ditempuh beragam golongan manusia, dalam suatu susunan kalimat yang
sempurna.
Manusia itu ada dua golongan;
Manusia itu ada dua golongan;
Pertama; Orang-orang yang mengikuti petunjuk dan
mendapatkan bashirah. Mereka mengetahui bahwa kebenaran adalah apa yang
dibawa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah Ta'ala, bahwa segala sesuatu yang menyalahinya adalah syubhat (kebathilan yang menyerupai / berkedok kebenaran), yang urusannya seperti orang-orang yang minim akal dan
pendengarannya, lalu dia menyangka sebagai suatu yang bermanfaat baginya. Padahal Allah telah menyerupakannya
dengan,
“Laksana Fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi ketika didatanginya dia tidak mendapati sesuatu
apa pun. Dan didapatinya (ketetapan)
Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal
perbuatannya dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap- gulita di lautan yang dalam,
yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), diatasnya lagi awan;
gelap-gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya,
tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya oleh
Allah, tiadalah dia memiliki cahaya sedikit pun.”
(QS. An-Nuur; 39-40)
Orang-orang yang mengikuti Petunjuk dan Agama yang benar (lurus) adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, yang
membenarkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam pengabaran-pengabaran Beliau, tidak menyalahinya
dengan syubhat, mentaati perintah
Beliau dan tidak menyia-nyiakannya dengan syahwat. Mereka tidak lalai terhadap ilmunya, yang
pahala amalnya tidak gugur di dunia dan di Akhirat dan bukan pula orang-orang
yang merugi. Cahaya wahyu yang nyata menyinari mereka, sehingga di bawah cahaya itu
mereka bisa melihat orang lain yang berada dalam kegelapan, yang buta
dalam kegelapan, yang meraba-raba dalam kesesatan, yang ragu dalam
kebimbangan, yang tertipu oleh fatamorgana, yang mencela hikmah dan ketetapan
yang dibawa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Karena mereka
mengandalkan pemikiran sendiri dan ridha padanya, karena mereka lebih
mendahulukan pemikiran daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tidak mengherankan
jika mereka mengikuti Hawa Nafsu dan Langkah-langkah Syaithan. Karena inilah mereka menentang ayat-ayat
Allah 'Azza wa Jalla tanpa landasan ilmu pengetahuan.
Kedua; Orang-orang bodoh dan
zhalim, yang menghimpun kebodohan tentang apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
kezhaliman terhadap diri sendiri dan mengikuti Hawa Nafsu. Mereka inilah yang difirmankan Allah Ta'ala (artinya),
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang
diingini oleh Hawa Nafsunya, dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
petunjuk dari Rabb mereka.”
(QS. An-Najm; 23)
Golongan yang kedua ini ada dua macam;
A.
1. Orang-orang
yang mengira bahwa mereka berada dalam petunjuk, padahal mereka adalah orang-orang
bodoh dan sesat. Dengan begitu, mereka
adalah orang-orang yang Jahil Kuadrat (Pangkat dua), yang tidak mengetahui
kebenaran serta memerangi orang-orang yang membela kebenaran. Mereka membela kebathilan dan menolongnya,
“Dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya
mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat).
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang yang pendusta.”
(QS. Al-Mujadilah; 18)
Karena keyakinan mereka tentang sesuatu,
padahal kebenaran yang sesungguhnya tidak seperti keyakinan mereka tersebut, maka mereka diibaratkan seperti orang yang
sedang melihat Fatamorgana, yang dikira orang yang dahaga sebagai air. Tetapi ketika didatanginya, dia tidak
mendapatkan apa pun. Begitulah amal dan
ilmu mereka yang diibaratkan sebagai Fatamorgana, yang berkhianat pada saat justru dia sangat membutuhkan.
Bahkan tidak sebatas kekecewaan dan kegagalan, karena tidak mendapatkan
apa yang diharapkan, tetapi dia mendapatkan ketetapan Allah Yang Maha
Bijaksana, Yang Maha Adil di antara orang-orang yang adil, lalu mengira bahwa
ilmu dan amalnya bermanfaat di sisi-Nya, dan Allah akan memberikan pahala
kepada mereka. Padahal amalnya itu seperti
debu yang berterbangan, karena dilakukan tidak ikhlas karena mengharap
Wajah-Nya, dan tidak pula menurut Sunnah Rasul-Nya.
Maka berbagai syubhat bathil yang
dikira sebagai ilmu yang bermanfaat itu menjadi debu yang berterbangan,
sehingga ilmu dan amalnya menjadi penyesalan yang sangat baginya.
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Fatamorgana adalah sesuatu yang terlihat di atas hamparan padang yang
luas karena terpaan sinar matahari pada siang hari yang terik, meliuk-liuk di
permukaan bumi, menyerupai air yang sedang mengalir.
Al-Qii’ah
adalah hamparan tanah yang luas membentang, tanpa ada gunung dan lembah
hijau yang menghalangi pandangan orang
tersebut.
Ilmu
yang tidak diambilkan dari Wahyu dan Pengamalannya, diserupakan dengan
Fatamorgana yang dilihat musafir di tengah padang yang terik membara, yang
mengecohnya ketika didatangi, dan dia justru mendapatkan panas yang membakar.
Begitulah ilmu dan amal orang-orang yang
bathil ketika semua manusia dihimpun di Hari Kiamat. Mereka kehausan dan melihat Fatamorgana yang
dikiranya air. Tetapi ketika didatanginya, mereka mendapatkan ketetapan Allah Ta'ala yang ada di sana. Maka, mereka pun dilemparkan ke Neraka untuk
menerima adzab,
“Dan mereka diberi minuman dengan air yang
mendidih sehingga memotong-motong ususnya.”
(QS. Muhammad; 15)
Air mendidih yang diguyurkan itu adalah ilmu mereka
yang tidak bermanfaat, dan amal mereka yang dimaksudkan untuk selain Allah. Karena itu Allah menjadikannya sebagai
minuman yang mendidih lalu diberikan kepada mereka. Sementara makanan mereka adalah,
“Dari pohon yang berduri, yang tidak
menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.”
(QS. Al-Ghasyiyah; 6-7). Maksudnya adalah, bahwa ilmu dan amal mereka
yang bathil ketika masih di dunia, yang tidak bisa menggemukkan dan tidak pula menghilangkan
rasa lapar. Mereka inilah yang
digambarkan Allah dalam firman-Nya (artinya),
“Katakanlah,
‘Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?’ Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan di dunia, sedangkan
mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat dengan sebaik-baiknya.”
(QS. Al-Kahfi; 103-104)
Mereka pula yang difirmankan Allah
(artinya),
“Dan,
Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan.”
(QS. Al-Furqan; 23),
“Demikianlah
Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya yang menjadi penyesalan
bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api Neraka.”
(QS. Al-Baqarah; 167)
B.
2. Orang-orang yang hidup dalam berbagai
kegelapan, yaitu mereka yang tenggelam dalam kejahilan (kebodohan), yang
kejahilan (kebodohan) itu mengepung mereka dari segala penjuru, hingga membuat
mereka sejajar deengan binatang ternak atau bahkan lebih sesat lagi. Amal yang mereka kerjakan tidak berdasarkan Bashiirah, tapi hanya sekedar Taqlid dan mengikuti bapak-bapak mereka
tanpa ada cahaya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Zhulumaat
adalah jamak dari zhulumat, yang
berarti berbagai macam kegelapan.
Kegelapan kebodohan, kegelapan
kekufuran, kegelapan kezhaliman terhadap diri sendiri karena taqlid dan mengikuti Hawa Nafsu,
kegelapan keragu-raguan dan kesangsian, kegelapan berpaling dari kebenaran yang
disampaikan Allah kepada Rasul-Nya, dan cahaya yang diturunkan untuk
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya.
Orang
yang berpaling dari apa yang disampaikan Allah kepada hamba dan Rasul-Nya,
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dari Petunjuk dan Agama yang benar, akan terbolak-balik dalam 5 (lima) macam
kegelapan;
1. Perkataannya yang gelap
2. Perbuatannya yang gelap
3. Cara masuk dan cara keluarnya yang gelap
4. Perjalanannya yang gelap
5. Hati dan Wajahnya yang gelap
Apabila pandangan matanya yang seperti kelelawar ("kampret") bersirobok dengan apa
yang disampaikan Allah kepada Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu yang berupa cahaya, maka ia cepat-cepat menghindar
darinya, karena cahaya itu menyambar pandangannya. Karena itu ia lari ke arah kegelapan, karena
itulah tempat yang paling cocok baginya, sebagaimana dikatakan dalam
sya’ir,
Kelelawar yang kabur pandangannya
karena sinar terang
Yang sesuai baginya hanyalah
kegelapan malam yang lengang
Jika dia menghampiri pemikiran yang
kotor dan menjijikkan, maka dia muncul dengan berjingkrak-jingkrak, tampil dan
menampakkan dirinya. Namun jika terbit
Cahaya Wahyu dan Matahari Risalah, dia menyingkir ke lubang layaknya serangga.
Firman Allah “Fii bahrin lujjiyyin”, makna “al-lujjiy”
adalah dalam, yang dinisbatkan
kepada lafazh “lujjatul bahri”, lautan yang dalam lagi luas.
Firman Allah (artinya), “Yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya
ombak (pula), di atasnya lagi awan”, merupakan gambaran keadaan orang yang
berpaling dari wahyu. Ombak syubhat dan kebathilan yang bergolak
di dalam dadanya diserupakan dengan ombak lautan yang bergolak. Dan itu merupakan ombak yang disusul dengan
ombak berikutnya. Kemudian ombak itu
masih ditindih lagi dengan awan yang gelap.
Di sini ada beberapa macam
kegelapan, yaitu kegelapan lautan yang dalam lagi luas, kegelapaan ombak yang
ada di atasnya, dan kegelapan awan di atasnya lagi. Jika orang tersebut mengeluarkan tangannya
dari kegelapan-kegelapan ini, maka dia tidak dapat melihat tangannya sendiri.
Pertama-tama Allah menyerupakan
amal mereka yang tidak ada manfaatnya dan yang justru mendatangkan mudharat
bagi mereka, laksana fatamorgana yang menipu orang-orang yang memandangnya dari
kejauhan. Ketika fatamorgana itu
didekati, ternyata yang didapat tidak seperti yang diharapkan. Kedua
kalinya Allah menyerupakan amal-amal mereka dengan kegelapan dan kekelaman,
karena itu merupakan amal-amal bathil yang terlepas dari cahaya iman, seperti
berbagai kegelapan yang tindih-menindih di tengah lautan luas yang berombak dan
ditutupi pula oleh awan di atasnya.
Sungguh, ini merupakan perumpamaan
yang sangat mengagumkan, yang sangat tepat dengan keadaan para ahli bid’ah
dan orang-orang sesat, serta keadaan orang-orang yang menyembah Allah tidak menurut cara yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan meninggalkan Kitab-Nya.
Perumpamaan ini merupakan
perumpamaan bagi amal mereka yang bathil
dengan sesuatu yang memang sesuai dengannya sekaligus sebagai pemberian
penjelasan, disamping perumpamaan tentang ilmu
dan keyakinan mereka yang rusak.
Masing-masing di antara fatamorgana dan kegelapan-kegelapan merupakan
perumpamaan bagi himpunan ilmu dan amal mereka, bahwa itu merupakan fatamorgana
yang tidak menghasilkan apa-apa, dan itu merupakan kegelapan-kegelapan yang
tidak ada cahayanya.
Perumpamaan ini merupakan kebalikan dari perumpamaan amal orang mukmin
dan ilmu mereka, yang diambilkan dari Misykaat
Nubuwah. Ilmu dan amalnya seperti
hujan yang mendatangkan kehidupan bagi negeri dan manusia, seperti cahaya yang
sangat bermanfaat bagi penghuni dunia dan Akhirat.
Ibnu Qayyim mengatakan di dalam
“A’laam Al-Muwaqqi’iin”, Allah menyebutkan dua perumpamaan bagi orang-orang
kafir, satu perumpamaan seperti fatamorgana dan satu perumpamaan seperti
kegelapan yang tindih-menindih.
Pasalnya, orang-orang yang berpaling dari petunjuk dan kebenaran juga
ada dua macam;
1.
Orang
yang beranggapan bahwa dia berada di atas kebenaran. Tetapi ketika hakikat telah tersibak, diapun
menyadari bahwa ternyata anggapannya itu keliru (meleset). Ini merupakan keadaan orang yang jahil dan
bodoh, ahli bid’ah dan orang-orang sesat, yang mengira bahwa mereka berada pada
kebenaran dan ilmu. Keyakinan dan amal
mereka yang tersusun di atas anggapan ini seperti fatamorgana di padang yang
luas, yang tampak seperti air yang mengalir dalam pandangan orang-orang yang
memandangnya dari kejauhan.
Amal-amal yang dimaksudkan untuk selain Allah ini dan tidak menurut
perintah-Nya, dikira bermanfaat oleh pelakunya.
Padahal hakikatnya tidaklah begitu.
Inilah amal-amal yang difirmankan Allah (artinya),
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”
(QS. Al-Furqan; 23)
Perhatikan bagaimana Allah menciptakan fatamorgana di padang yang luas,
suatu permukaan bumi yang gersang dan tanpa ada bangunan, pepohonan atau benda
apapun yang menonjol. Itu merupakan
suatu tempat yang kosong-melompong. Fatamorgana adalah sesuatu yang tidak
memiliki hakikat. Yang demikian ini
sangat sesuai dengan amal dan hati mereka yang kosong dari iman dan petunjuk.
Perhatikan pula apa yang terkandung di dalam firman Allah, “Yang
disangka air oleh orang-orang yang dahaga.”
Kata azh-zham’aan berarti
orang yang sangat haus. Ketika dia
melihat fatamorgana, dia mengiranya sebagai air yang mengalir. Karena itu dia menghampirinya, yang ternyata
dia tidak mendapatkan apa-apa di sana.
Dia gagal mendapatkan air itu justru pada saat dia sangat
membutuhkannya. Begitu pula yang terjadi
pada orang-orang kafir. Karena amal
mereka tidak didasarkan kepada keta’atan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk
selain Allah, maka amal-amal itu dijadikan seperti fatamorgana. Mereka dibuat lebih haus dari pada
sebelumnya, justru pada saat mereka sangat membutuhkan amal-amal itu. Mereka tidak mendapatkan apapun dan yang
mereka dapatkan adalah Allah yang akan membalas mereka dan menghisab mereka.
Begitulah keadaan orang yang bathil, yang kebathilannya berkhianat
kepadanya justru pada saat dia sangat membutuhkannya dari keadaan
sebelumnya. Sesungguhnya kebathilan itu
tidak memiliki hakikat, seperti namanya, kebathilan.
Jika keyakinan tidak sesuai dan tidak pula benar, berarti gantungannya
adalah bathil. Begitu pula tujuan amal
yang bathil, seperti amal untuk selain Allah, atau tidak menurut perintah-Nya. Amal
itu bathil karena kebathilan tujuannya, dan bahkan mendatangkan mudharat kepada
pelakunya karena kebathilannya, dan dia akan disiksa karena tidak adanya
manfaat. Karena itu Allah berfirman, “Dan,
didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amalnya dengan cukup.”
(QS. Al-Furqan; 23). Keadaan
ini juga sama dengan keadaan orang yang sesat, yang mengira berada pada
petunjuk.
2. Orang-orang yang diumpamakan seperti
kegelapan yang tindih-menindih. Mereka
adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan petunjuk, namun mereka lebih mementingkan
kegelapan yang bathil dan sesat, sehingga pada diri mereka terdapat kegelapan
tabiat yang bertumpuk-tumpuk, kegelapan jiwa dan kegelapan kejahilan
(kebodohan), karena mereka tidak mengamalkan ilmunya, sehingga mereka menjadi
jahil (bodoh), dan kegelapan mengikuti hawa nafsu, sehingga keadaan mereka
seperti keadaan orang yang berada di tengah lautan yang dalam lagi luas,
seakan-akan tak bertepi, yang digulung ombak demi ombak, dan di atasnya
bergantung awan tebal dan gelap. Dia
berada dalam kegelapan lautan, kegelapan ombak dan kegelapan awan.
Demikian ini serupa dengan keadaan orang yang berada di dalam keadaan
yang diliputi kegelapan-kegelapan, dan Allah tidak mengeluarkannya dari
kegelapan itu kepada cahaya iman.
Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Allah cahaya langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya Allah adalah serperti lubang yang tidak tembus, yang
di dalamnya ada pelita besar...”, hingga firman-Nya, “...supaya
Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada
mereka. Dan Allah memberi rezki kepada
siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
(QS. An-Nuur; 35-38)
Ayat-ayat ini mengandung sifat tiga golongan;
A. Orang-orang yang mendapat nikmat, yaitu
orang-orang yang memiliki cahaya.
B. Orang-orang yang sesat (Orang yang Ilmunya rusak), yaitu orang-orang yang mendapatkan fatamorgana,
dan
C. Orang-orang yang mendapat murka (Orang yang mengetahui kebenaran, namun berpaling darinya), yaitu mereka yang melakukan amalan bathil
yang tidak mendatangkan manfaat.
Perumpamaan kedua ini adalah bagi
orang-orang yang memiliki ilmu yang tidak bermanfaat dan keyakinan-keyakinan
bathil, kedua hal tersebut bertolak belakang dengan petunjuk dan Agama yang
benar (lurus). Karena itu Allah mengumpamakan
keadaan golongan yang kedua ini dengan ilmu yang rusak dan ombak syubhat di
dalam hati mereka, dengan gulungan ombak lautan, ombak yang tindih-menindih,
yang di atasnya ada awan gelap. Begitulah
ombak keragu-raguan dan syubhat di dalam hati mereka yang gelap, yang masih ditambah
lagi dengan hawa nafsu dan kebathilan.
Allah juga mengabarkan bahwa yang
pasti terjadi, Dia tidak akan menciptakan cahaya bagi mereka, meninggalkan mereka
dalam kegelapan yang memang diciptakan bagi mereka, dan Dia tidak
mengeluarkan mereka dari kegelapan itu menuju cahaya. Sesungguhnya Allah menolong orang-orang yang
beriman untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.
Di dalam “Al-Musnad” disebutkan hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
(artinya),
“Sesungguhnya Allah menciptakan
makhluk-Nya dalam kegelapan dan memberikan kepada mereka sebagian dari
cahaya-Nya. Siapa yang mendapatkan
sebagian dari cahaya itu, maka ia mendapat petunjuk, dan siapa yang tidak
mendapatkannya, maka dia tersesat.
Karena itulah aku katakan, Al-Qalam (pena) telah mengering berdasarkan Ilmu
Allah.’”
Allah menciptakan makhluk dalam kegelapan. Siapa yang dikehendaki-Nya mendapat petunjuk,
maka dijadikan-Nya baginya cahaya yang
riil, yang memberikan kehidupan bagi hati dan rohnya, sebagaimana Allah memberikan kehidupan badan dengan roh yang ditiupkan ke dalamnya.
Ini merupakan dua macam kehidupan;
*Kehidupan badan dengan roh, dan *Kehidupan roh serta hati dengan cahaya. Karena itu Allah menyebut Wahyu-Nya dengan Roh,
agar tercipta kehidupan yang hakiki padanya, sebagaimana firman-Nya
(artinya),
“Dia menurunkan para Malaikat dengan membawa Wahyu dengan perintah-Nya
kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya.”
(QS. An-Nahl; 2),
“Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya.”
(QS. Al-Mukmin; 15),
“Dan demikianlah Kami Wahyukan kepadamu Wahyu (Al-Qur’an) dengan
perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an)
itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an
itu Cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami.”
(QS. Asy-Syura;
52).
Allah menjadikan Wahyu-Nya sebagai
Roh dan Cahaya. Siapa yang tidak diberi
kehidupan dengan Roh ini, maka dia adalah orang yang mati. Siapa yang tidak diberi Cahaya dari-Nya, maka
dia berada dalam kegelapan dan tidak memiliki Cahaya sedikitpun.
(Baca juga artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA, dan KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN LANJUTAN)
oOo
(Disadur
bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar