Selasa, 26 Desember 2017

ADZ-DZIKR


بسم الله الر حمان الر حيم

Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ke muka bumi ini memiliki beberapa nama antara lain, Al-Furqan (Pembeda), An-Nur (Cahaya), Adz-Dzikr (Peringatan), Al-‘Azhim (Keagungan), Al-Karim (Kemuliaan) dan lain-lain, yang merupakan Mu'jizat terbesar dari sekian ribu Mu'jizat yang pernah diterima oleh Rasul Muhammad shalallahu'alaihi wa sallam.


Apa pun yang dibutuhkan ummat manusia menurut kepentingannya terdapat di dalam Al-Qur’an, ada yang disebutkan secara rinci (jelas) dan ada pula yang disebutkan secara global (umum). 
Akan tetapi Al-Qur’an itu tetap menjelaskan segala sesuatu, seperti firman-Nya (artinya),
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu “  (QS. An-Nahl;  89)
Terkadang Al-Qur’an menyebutkan Dalil dalam suatu masalah, terkadang juga menyebutkan bimbingan yang mengarah kepada Dalil (As-Sunnah), seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.  Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.”  (QS. Al-Hasr;   7)
(Baca juga artikel, MENJADIKAN RASUL SEBAGAI PEMBUAT KEPUTUSAN MERUPAKAN SYARAT WAJIB IMAN)

BEBERAPA  MAKNA  ADZ-DZIKR
1.       1. Nasihat dan Mengambil Pelajaran. 
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
"Dia-lah yang memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untuk kalian rezki dari langit.  Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah."  (QS. Al-Mu'min;  13), dan
"Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (kepada Allah)."  (QS. Qaf;  8)
2.       2. Peringatan yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Manusia dan Jin, yang merupakan peringatan yang paling mulia, karena Al-Qur’an merupakan firman Allah ‘Azza wa Jalla.  Hanya dengan membacanya anda akan menyadari bahwa ia adalah Perkataan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, maka anda akan mengingat Keagungan Allah ‘Azza wa Jalla.  Selain itu Al-Qur’an mencakup beberapa berita yang paling akurat dan paling bermanfaat bagi hati.  Selain karena Ia mencakup berbagai kisah yang merupakan kisah yang paling bagus, paling baik dan paling sempurna.  Juga mencakup Hukum-hukum yang berasal dari Dzat Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, yang mana Ia  merupakan Hukum yang paling adil dan paling lurus bagi kemaslahatan hamba-hamba-Nya di dunia dan Akhirat kelak.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala (artinya),
"Supaya Al-Qur'an itu memberi peringatan bagi orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan adzab) terhadap orang-orang kafir."  (QS. Yasin;  70)
Semua itu merupakan Dzikr.  Dengan demikian Al-Qur’an itu sendiri sebagai dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.  Dan karena Ia mencakup semua makna yang telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam seluruh Kitab Kitab-Nya.
3.       3. Ketinggian (Rif’ah) dan Kemulian bagi orang yang menjalankan dan mengamalkannya, seperti firman-Nya (artinya),
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah benar-benar suatu kemuliaan bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggung jawaban.”  (QS. Az-Zukhruf;  44)
Adz-Dzikr berarti Ketinggian dan Kemuliaan yang terdapat di dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan pada ayat di atas, dan juga firman-Nya (artinya),
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.”  (QS. Alam Nasyrah;  4).  Artinya menyebutmu dengan Kemuliaan, Penghormatan dan Pengagungan.  Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang berpegang kepada Al-Quran, maka baginya Kemuliaan dan Kehormatan atas semua makhluk.
Oleh karena itu aku mendorong kalian untuk berpegang teguh pada Al-Qur’anul ‘Azhim.  Dan jika kalian berpegang teguh padanya sebagai Aqidah, Amal dan Petunjuk, maka kesudahan yang baik pasti akan berpihak kepada kalian.
Al-Qur’an akan mendorong orang lain tertarik mengikuti orang yang menjadikannya sebagai petunjuk, sehingga sedikit-demi sedikit mereka akan menjadi bertambah banyak, seperti batu yang dilemparkan kedalam laut dan kemudian riaknya akan meluas sehingga mencakup laut secara keseluruhan.  Tergantung pengaruh yang ditimbulkan.  Al-Hasil, jika seseorang berpegang teguh pada Al-Qur’anul Karim maka dia akan mendapat Kemuliaan dan Derajat yang Tinggi dan berada di atas sekalian makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada.
Karena, setiap kali kaum muslimin berpegang teguh pada Kitab Yang Mulia ini, maka mereka akan semakin bertambah terhormat dan mulia, demikian juga sebaliknya, setiap kali kaum muslimin menjauhkan diri dari Al-Qur’an maka akan jatuhlah harga diri mereka dan menjadi manusia yang dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika anda perhatikan Al-Qur’an secara seksama berulang kali, maka tidaklah diulang perhatian yang kedua itu melainkan akan tampak bagi anda makna baru selain makna yang pertama, dan tidaklah mungkin bagi seseorang untuk menguasai makna-makna Al-Qur’an itu secara keseluruhan (tuntas), tetapi setiap kali seseorang mencermatinya dalam rangka mencari kebenaran, maka ia akan mendapatkan makna yang cukup banyak, bagaikan “barang tambang” yang sangat bernilai dan tak ada habis-habisnya.  Semua itu sesuai dengan kesiapan seseorang, pemahaman dan pemikirannya.  Setiap kali seseorang mengalami penambahan iman dan taqwa, maka akan bertambah pula petunjuk dari Al-Qur’an terhadap dirinya, sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka balasan ketaqwaannya.”  (QS. Muhammad;  17), dan
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya..."  (QS. Yunus;  9), dan
"Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk."  (QS. Maryam;  76)
Perhatikan bentuk kata kerja Fi'il Mudhari' (Terus menerus / Continuous Tense) pada ayat di atas
Jadi, Ia (Al-Qur'an) merupakan petunjuk (hidayah) yang tak ada habis-habisnya. 
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat manusia, maka Al-Qur’an pasti menjelaskannya, dan selalu Up to date (baru, aktual, dan mutakhir tidak ada usangnya).  Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala (artinya),
“Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Yasin;  69) Dan,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”  (QS. An-Nahl;  89).
الحمد لله رب العالمين 

oOo

(Di sadur bebas dari Kitab “Tafsiir Al-Quranil Karim”, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)

Jumat, 08 Desember 2017

NERAKA JAHANNAM



بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya),
"Setiap kali dilemparkan ke dalam Neraka sekumpulan (orang-orang kafir), para penjaga Neraka itu bertanya kepada mereka, 'Apakah belum pernah datang kepada kalian (di dunia) seseorang yang memberi peringatan?'  Mereka menjawab, 'Benar ada, sesungguhnya telah datang kepada kami seseorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya.'  Dan kami katakan, 'Kalian tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar.'"  (Al-Mulk;  8-9)

Kata "Jahannam" berasal dari kata "Al-Jahmatu", yang berarti kekelaman yang sangat pekat. 
Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya),
“Jahannam akan didatangkan pada hari itu, dan dia mempunyai 70 tali kekang, dan setiap tali kekang akan ditarik oleh 70.000 Malaikat.”  (HR. Muslim no. 2842) dan hadits,
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tiba-tiba Beliau mendengar suara gemuruh.  Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apakah kalian mengetahui suara apa itu?’  Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”  Beliau bersabda, ‘Itu adalah suara batu yang dilemparkan ke dalam Neraka sejak 70 tahun yang lalu, batu itu jatuh ke dalam Neraka dan baru sekarang dia sampai di dasarnya.’”  (HR  Muslim no. 2844)
Berdasarkan Hadits pertama, berarti Neraka Jahannam itu ditarik oleh 4.900.000 (4,9 Juta) Malaikat yang sangat kuat dan perkasa.
Di atas Neraka Jahannam itulah dibentangkan Titian (Ash-Shirat) antara Bumi Mahsyar menuju Surga Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang harus dilewati oleh setiap orang-orang yang beriman, termasuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari hadits Abu Sa'id, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda (artinya),
"Sebuah jembatan dibentangkan di atas neraka Jahannam, dan aku adalah orang pertama yang melewatinya."  (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan keadaannya,
“Licin dan menggelincirkan, di sana terdapat kait-kait seperti duri pohon sa’dan, lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang.” (HR. Muslim)
Di atas titian itulah cahaya orang-orang yang beriman akan disempurnakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kadar ketaqwaan dan amal ibadah mereka dahulu di dunia.
Yang paling tinggi diantara mereka memiliki cahaya sebesar gunung, dan yang paling rendah dari mereka  memiliki cahaya hanya seujung jempol jari kakinya yang kadang-kadang menyala dan kadang-kadang padam, nyaris tanpa cahayaNaudzubillahi min dzaalika.
Cahaya itulah yang akan membantu (membimbing) mereka melewati shirat tersebut.
Ada yang melewatinya secepat kedipan mata, ada yang berlalu seperti kilat di atasnya, ada yang secepat angin berhembus, ada yang secepat burung terbang, ada yang seperti kuda yang berlari dengan kencang, dan ada pula yang seperti unta yang ditunggangi, bahkan tidak sedikit pula yang terseok-seok dan merangkak di atasnya.
Di dalam Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud 'Alaihissalam disebutkan Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
"Apakah kamu tahu siapakah orang yang paling cepat berlalunya di atas Ash-Shirat?  Mereka adalah orang-orang yang ridha terhadap Hukum-Ku dan hati mereka basah karena menyebut Nama-Ku."
(Baca juga artikel, MENJADIKAN RASUL SEBAGAI PEMBUAT KEPUTUSAN MERUPAKAN SYARAT WAJIB IMAN, dan ADAKAH YANG LEBIH SEMPURNA DARI ISLAM?).
Gambaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keadaan orang-orang yang melewatinya (artinya),
“Ada yang selamat tanpa cacat, ada yang tergores tetapi selamat dan ada pula yang terjatuh ke dalam Neraka Jahannam.”  (Muttafaqun ‘Alaihi)
Orang-orang Munafik tidak mendapatkan cahaya sedikit pun dari Allah ‘Azza wa Jalla pada waktu itu (Munafik Tulen), sebagaimana keadaan mereka dahulu di dunia (mereka ditimpa oleh kegelapan yang tindih bertindih) dan di atas Jahannam itu keadaan mereka jauh lebih parah lagi dibandingkan keadaan mereka dahulu di dunia.   Sehingga mereka berteriak-teriak memohon pertolongan (meminta sedikit cahaya) dari hamba-hamba Allah yang memiliki cahaya, namun dikatakan kepada mereka,
“...Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya untukmu...”  (Al-Hadid (57);  12-13)
Maka berguguranlah mereka memasuki Neraka Jahannam itu, ada yang terkait besi-besi pengait kemudian dilemparkan ke dalamnya.
"Pada hari mereka didorong ke Neraka Jahannam dengan sekuat-kuatnya."  (At-Thur;  13), yakni mereka dilemparkan ke dalamnya.
Berbagai teriakan Jin dan Manusia yang mengerikan dan memilukan terdengar di sana, namun semua suara itu tertelan oleh suara gelegar dan kegeraman Neraka Jahannam.
Sebagaimana makna firman-Nya,
"Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya - mereka mendengar suara Neraka yang mengerikan, sedang Neraka itu menggelegak.  Hampir-hampir (Neraka) itu terpecah-belah lantaran sangat marah."  (Al-Mulk;  7-8)
Neraka Jahannam itu memiliki Tujuh Pintu.  Panas apinya melebihi 70 kali panas api yang paling panas di dunia ini.
Tubuh-tubuh manusia yang masuk ke dalamnya diperbesar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala beribu-ribu kali lipat, agar mereka benar-benar merasakan betapa pedihnya siksa Neraka Jahannam tersebut.  Sehingga mereka tidak mati dan tidak pula hidup di dalamnya.
"Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup."  (Al-A'la;  13)
Jarak antara kedua pundak mereka sejauh perjalanan tiga hari, kulit mereka menjadi sangat tebal, setiap kali kulit mereka hangus diganti lagi dengan kulit yang baru.  Gigi geraham mereka sebesar Gunung Uhud.
"Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab."  (An-Nisaa';  56)
Minuman mereka adalah air yang sangat panas, yang mencabik-cabik usus mereka.
"Dan mereka diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya."  (Muhammad;  15).  Sedangkan makanan mereka adalah buah dari Pohon Zaqqum (sejenis pohon yang dijadikan Allah Subhanahu wa Ta'ala dapat tumbuh di dalam Neraka), yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar,
"Dan dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar."  (Al-Ghasyiyah;  6-7)
Dari Abud Darda radhiyallahu 'anhu yang berkata, "Para penghuni Neraka merasakan kelaparan (yang sangat, pen.) dan itu merupakan siksaan bagi mereka.  Maka mereka berteriak-teriak meminta makanan."
Para 'Ulama menerangkan, bahwa minuman dan makanan yang diberikan kepada mereka berupa air mendidih dan pohon zaqqum tersebut merupakan ilmu dan amalan mereka dahulu di dunia yang tidak bermanfat, karena tidak sesuai dengan aturan dan tuntunan Alah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, sehingga tidak pula dapat menghilangkan rasa haus dan  lapar dari jiwa-jiwa mereka.
Mereka berteriak-teriak sambil meratap, meminta pertolongan kepada para Malaikat Penjaga Jahannam, agar mereka memohonkan keringanan adzab kepada Allah 'Azza wa Jalla, namun para Malaikat itu menjawab;
"'Dan apakah belum datang kepada kalian Rasul-Rasul kalian dengan membawa keterangan-keterangan?'  Mereka menjawab, 'Benar sudah datang'.  Penjaga-penjaga Jahannam berkata, 'Berdoalah kalian'.  Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.'" (Al-Mu'min;  50)
Para penghuni Neraka itu juga berseru kepada Malaikat Malik, "Hai Malik, biarlah Allah membunuh kami saja."  Malaikat Malik menjawab, "Kalian akan tetap tinggal di dalam Neraka."
Lalu mereka memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Wahai Rabb kami, keluarkanlah kami daripadanya (dan kembalikanlah kami ke dunia), maka jika kami kembali (lagi kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zhalim."  (Al-Mukminun;  107).  Maka Allah 'Azza wa Jalla menjawab,
"Tinggallah dengan hina di dalamnya dan janganlah kalian berbicara dengan-Ku."  (Al-Mukminun;  108)
Jawaban Allah Ta'ala di atas menyebabkan mereka berputus asa untuk mendapatkan secercah kebaikan sekalipun.  Lalu mereka mengumpat, mencerca dan mencaci-maki.  
Darah dan Nanah (Ghislin) yang baunya sangat busuk dan kotor, bagaikan anak sungai mengalir dari daging para penghuni neraka.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Sungguh!  Penduduk Neraka akan menangis di dalam Neraka.  Seandainya perahu dijalankan di atas genangan air mata mereka - niscaya perahu tersebut akan berjalan.
Kemudian mereka akan menangis darah - sebagai ganti air mata mereka."  (HSR.  Ibnu Majah)

Di dalam Neraka Jahannam tersebut juga terdapat berbagai binatang yang berbisa dengan ukuran yang luar biasa besarnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits,
"Sesungguhnya ular-ularnya seperti leher-leher onta dan kalajengkingnya seperti bagal yang dipasangi pelana."  (Diriwayatkan Ahmad)
Berbagai macam siksaan dan adzab yang sangat mengerikan, yang tak pernah terbayangkan bahkan terlintas dalam hati manusia ketika di dunia.
Berkata Al-Hasan, "Sesungguhnya api neraka itu membakar tubuh mereka dalam sehari sebanyak 70.000 kali, kemudian mereka kembali seperti sedia kala."
Siksaan yang paling ringan di dalamnya adalah, orang yang kedua telapak kakinya beralaskan bara dari api neraka yang membuat otaknya mendidih.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya);
"Sesungguhnya penduduk Neraka yang paling ringan adzabnya, adalah seseorang yang dipakaikan kedua sandal dan tali sandalnya dari api Neraka sehingga otaknya mendidih, sebagaimana mendidihnya Periuk.
Ia mengira, bahwa tidak ada seorangpun yang lebih dahsyat adzabnya daripada dirinya, padahal dialah yang paling ringan adzabnya."
(HR. Al-Bukhari no. 6562, dan Muslim no. 323)

Kulit mereka yang sangat tebal itu tidak hanya serkedar dibakar di dalamnya, tetapi ada yang dilelehkan, diseret dan dibelenggu, serta dipukuli dengan rantai-rantai yang terdapat di dalamnya.
Setiap kali penduduk Neraka dilemparkan ke dalamnya, maka dengan geramnya Neraka itu berkata, “Apakah masih ada tambahan?”  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menerangkan, bahwa kata  "Apakah" di sini maksudnya adalah meminta tambahan, yakni "tambahlah".  Demikian seterusnya berkali-kali.  Padahal dari setiap 1000 orang anak-cucu Adam ‘Alaihissalam, 999 orang telah dibenamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kedalamnya.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Allah berfirman, 'Wahai Adam,'  Adam menjawab, 'Aku memenuhi panggilan-Mu dan demi menyenangkan-Mu.' Lalu Dia (Allah) berseru dengan suara, 'Sesungguhnya Allah memerintahkanmu mengeluarkan rombongan penghuni Neraka dari keturunanmu,' (Muttafaqun 'Alaihi, diriwayatkan oleh Al-Bukhari).  Di dalam hadits yang lain Adam menjawab, "Ya Rabbi, sebanyak apa rombongan penghuni Neraka?"  Allah berfirman, "999 (Sembilanratus sembilanpuluh sembilan) orang, dari 1000 (seribu)."
Demikian terjadi berulang-ulang kali, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan Kaki-Nya di atasnya, yang menyebabkan "mulutnya" mengecil,  lalu Neraka itu pun berkata,  قط  قط  / "Qath' Qath'"  (“Cukup-cukup”).  Karena ia merasa telah penuh.

Banyak lagi sifat-sifat dari Neraka Jahannam itu yang tidak dapat kami sebutkan disini, karena akan membutuhkan uraian yang sangat panjang.  Seperti, Allah 'Azza wa Jalla tidak hanya memberi minum penduduk Neraka dengan air yang mendidih, tetapi juga dengan air yang sangat dingin, sehingga sangking dinginnya air tersebut - juga menimbulkan efek yang membakar mereka, seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Muqatil dalam menafsirkan makna firman-Nya,
"Inilah (adzab mereka), biarlah mereka merasakannya, (minuman mereka) air yang sangat panas dan air yang sangat dingin."  (Shad;  57)

Pertanyaan pamungkasnya adalah, yakinkah kita bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji akan memenuhi Neraka Jahannam itu dengan timbunan Jin dan Manusia???  Kalau yakin, lakukanlah persiapan agar kita tidak menyesal, dan kelak mampu melintas di atasnya dengan selamat serta terhindar dari “terkamannya”.
(Baca juga artikel, INGIN SELAMAT?  IKUTI PETUNJUK! dan PARA DA'I YANG MENGAJAK KE JAHANNAM).

Renungan
"Dan Jikalau Kami menghendaki, niscaya akan Kami berikan kepada setiap jiwa petunjuk baginya, akan tetapi telah tetaplah Perkataan (Ketetapan) dari-Ku, 'Sesungguhnya akan Aku penuhi Neraka Jahannam itu dengan Jin dan manusia bersama-sama.' (As-Sajdah;  13) 

oOo

Senin, 04 Desember 2017

JALAN YANG LURUS


بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
"Sesungguhnya Kami telah memberikan Petunjuk kepadanya Jalan yang Lurus.  Ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur."  
(QS. Al-Insan;  3)

Secara umum, kata At-Thariiq dan As-Sabil dalam Bahasa Arab dapat bermakna jalan-jalan kecil, yang bermuara pada Ash-Shiraat, yang bermakna Jalan yang Lurus, Luas, lagi rata, serta Tunggal. Karena kata Ash-Shirat diambil dari kata Ash-Shiratu atau Az-Ziratu yang berarti menelan sesuatu dengan cepat.  Dan suatu jalan itu tidak dikatakan jalan yang bisa dilalui dengan cepat serta mengantarkan sampai kepada tujuan dengan selamat, kecuali jika jalan itu luas dan rata serta tidak mengandung sedikit pun unsur yang dapat membahayakan / mencelakakan / meragukan  orang-orang yang melewatinya, karena ia dibawah Petunjuk, Pengawasan dan Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Ini adalah jalan-Ku yang lurus, kewajiban-Ku-lah menjaganya."  
(QS. Al-Hijr;  1) dan,
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi."  
(QS. Al-Fajr;  14).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Haadza Shiraatum Mustaqiimun” 
(QS. Yasiin; 61) yang bermakna “Inilah jalan-Ku yang lurus”
Sebagaimana Kalimat Tauhid (Kalimat Ikhlash) “Laa Ilaaha Illallahu” yang mengandung Dua unsur sekaligus yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu “An-Nafyu” (Peniadaan segala sesuatu yang di Ibadahi selain Allah Subhanahu wa Tal’ala) dan unsur “Al-Itsbatu” (Menetapkan satu-satunya Allah sebagai Dzat yang diIbadahi), demikian juga dengan Al-Mustaqiim (Jalan yang Lurus) jalan yang tiada sedikit pun kebengkokan padanya.  Inilah Hakikat Tauhid yang sebenarnya. 
(Baca juga artikel, DUA RUKUN SYAHADAT)
Firman Allah Ta’ala yang mengandung unsur Penafian seperti, “Laa Ta’budus syaithan” (Janganlah kalian menyembah syaithan).  Dan kalimat yang mengandung unsur “Al-Istbatu” (Penetapan), “Wa’ Buduuni” (Dan beribadahlah / sembahlah Aku saja).
Jadi segala sesuatu yang menyuruhmu untuk melanggar perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hakikatnya adalah Syaithan, karena ia merupakan musuh yang nyata bagimu, baik engkau menyadarinya atau tidak.
Firman Allah Ta’ala,  “Mustaqiimun” (lurus).  Maka ini adalah Sifat dari jalan tersebut.  Kata Istiqamah mencakup kelurusan jalan tersebut dan kerataannya.  Dan jika dikatakan jalan itu berkelok-kelok ke kanan dan ke kiri, maka ia tidak bisa disebut sebagai jalan yang lurus, karena sebagiannya tinggi dan sebagiannya lagi rendah.  Dan jika ada bagian yang naik dan turun, maka jalan ini juga tidak bisa disebut sebagai jalan yang lurus.  Dengan demikian, lurus berarti tidak adanya pembelokan ke kanan atau ke kiri serta tidak ada tanah yang naik dan turun (bergelombang).
Firman-Nya (artinya), “Shiraatum Mustaqiimun” (Jalan yang Lurus), yakni jalan yang menuju sekaligus mengantarkan seseorang sampai kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menisbatkan kata “Ash-Shiraatu” kepada Diri-Nya sendiri dan juga kepada makhluk-Nya, dimana Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman dalam surat Al-Faatihah; 7 (artinya), 
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”  
(QS. Al-Faatihah;  7).
Dengan demikian, Allah Ta’ala telah menisbatkan Jalan yang Lurus tersebut kepada orang-orang yang Dia beri nikmat kepada mereka.
(Baca artikel tentang, NIKMAT)
Dan firman-Nya (artinya),
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.  (Yaitu) jalan Allah Yang Kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit maupun di bumi.”  
(QS. Asy-Syuura;  52-53).
Allah Ta’ala menisbatkan Ash-Shiraath (Jalan yang Lurus) kepada orang-orang yang Dia beri kenikmatan, karena mereka telah menempuh jalan tersebut.  Dan Dia juga menisbatkan jalan tersebut kepada Diri-Nya sendiri, karena Dia-lah yang meletakkannya untuk hamba-hamba-Nya, dan Dia pula yang menjaganya, dan mengantarkan sampai kepada-Nya.

BEBERAPA MANFAAT
1.       1. Dzat yang telah memerintahkan kepada kita agar tidak menyembah syaithan dan hanya menyembah Diri-Nya semata, berarti Dia telah memberikan Hujjah kepada kita, sekaligus mengemukakan alasan untuk Diri-Nya, seperti firman Allah Ta’ala (artinya),
“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan (lagi) bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya Rasul-Rasul itu.  
(QS. An-Nisaa’;  165).
2.       2. Penetapan Rahmat Allah ‘Azza wa Jalla kepada seluruh makhluk-Nya.  Dimana Dia tidak menyerahkan keikhlasan mereka pada-Nya berdasarkan akal-akal mereka, tetapi Dia perintahkan mereka melakukan keikhlasan tersebut melalui lisan para Rasul ‘alaihimussalam, karena seandainya Allah ‘Azza wa Jalla menyerahkan Ikhlash itu bersandar pada akal, niscaya akal umat manusia itu sangat berbeda-beda dan beragam, karena Hawa Nafsu itu tidak bisa diatur.  Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla menjamin hal tersebut bagi hamba-hamba-Nya (yang beriman).  
(Baca artikel EMPAT SYARAT SYAHADAT MUHAMMAD RASULULLAHdan CELAAN TERHADAP NAFSU).
3.       3. Perlunya melakukan Tashfiyah (Pemurnian) sebelum Tahliyah (Pengisian).  Atau bisa juga dikatakan Takhliyah (Pengurangan terhadap hal-hal yang mengganggu), karena Dia telah berfirman, “Laa ta’budus syaithan.” (janganlah kalian menyembah syaithan), ini adalah Takhliyah (pengurangan), dan “Wa ani’ buduuni.”  (Dan Ibadahilah Aku saja) ini adalah Tahliyah.  Jadi, Penafian sekaligus Penetapan.  Inilah Hakikat Tauhidullah.
Dengan demikian Tauhid itu dibangun di atas 2 (dua) dasar;  Penafian dan Penetapan, karena bila Penafian semata berarti peniadaan secara murni (keseluruhan).  Sedangkan Penetapan semata tidak menghalangi keikut-sertaan yang lainnya (syirik).
Jadi, Tauhid itu tidak mungkin sempurna kecuali melalui Penafian dan Penetapan keduanya.  Dengan demikian Tauhid itu harus mencakup dua hal di atas.  Tetapi, yang mana yang harus didahulukan?
Allah Subhanahu wa Ta’ala memulainya dengan Penafian, baru kemudian Penetapan.  Hal yang seperti itu cukup banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an, contoh Firman Allah Ta’ala (artinya),
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi aku menyembah Rabb yang menciptakan diriku.”  
(QS. Az-Zukhruf;  26-27)
Dengan demikian hal pertama yang Beliau lakukan adalah, melepaskan diri dari segala yang disembah, untuk kemudian menetapkan Ibadah Beliau hanya untuk Allah semata Yang telah menciptakannya.
4.       4. Tidak disebut ta’at kepada syaithan, kecuali dalam berbuat maksiat kepada Allah yang merupakan suatu bentuk Ibadah seperti Firman-Nya (artinya),
“Agar kalian tidak menyembah syaithan.”
Dan Ibadah itu sendiri berarti Merendahkan Diri.  Oleh karena itu, barangsiapa menta’ati syaithan dalam bermaksiat kepada Allah, berarti dia telah menyembahnya.
5.       5. Ibadah itu tidak khusus berupa Ruku’, Sujud, Penyembelihan, Nadzar dan lain-lain, tetapi bersifat umum yang mencakup semua keta’atan yang di dalamnya disertai ketundukan yang sempurna.
(
Baca juga artikel PARA PENYEMBAH DA'I, dan PARA DA'I YANG MENGAJAK KE JAHANNAM)
6.      Allah Ta’ala telah menyebut keta’atan kepada syaithan itu sebagai Ibadah.  Dengan demikian, di dalamnya terdapat peringatan agar tidak ta’at kepada syaithan dengan berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
7.       Firman-Nya (artinya),
“Dan hendaklah kalian menyembah-Ku.  Inilah jalan yang lurus.”, yaitu adanya keharusan untuk menyembah Allah semata.
“Wa ani’ buduuniy” (Dan hendaklah kalian menyembah-Ku).”
Ibadah itu mengandung Dua Pengertian;
Pertama, Ta’abbud.
Kedua, Muta’abbad bihi.
Ta’abbud,  berarti menghinakan diri kehadirat Allah ‘Azza wa Jalla melalui perbuatan seorang hamba seperti Shalat, Zakat, Qiyamul lail, Haji dan lain sebagainya.
Muta’abbad bihi, sebutan yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridhai Allah ‘Azza wa Jalla, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang bathin maupun yang dzahir, yang bersifat qalbiyah (hati) maupun anggota badan (jawarih).
8.      6. Jalan yang lurus itu adalah Tauhid, yang di dasarkan pada Firman-Nya (artinya), “Inilah Jalan yang lurus.”.  “Hadza” (Inilah), berarti meninggalkan segala macam bentuk penyembahan / peribadatan terhadap syaithan dan hanya beribadah kepada Allah Ta’ala semata.
“Shiraatun Mustaqiim” (Jalan yang Lurus), yakni jalan yang tidak bengkok sedikitpun.
(Baca artikel, MANHAJ)
9.       7. Jalan itu ada yang lurus dan ada yang tidak lurus (bengkok).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia.  Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.”  
(QS. Al-An’aam;  153).
Dengan demikian setiap orang dari umat manusia ini memiliki jalan masing-masing.  Jika dia berjalan di atas syari’at Allah, maka berarti dia berjalan di atas jalan yang lurus.  Dan jika sebaliknya, maka berarti dia berjalan di atas jalan yang tidak lurus (bengkok) / jalan-jalan Syaithan.

oOo

(Disadur bebas dari kitab “Tafsiir Al-Qur’aanil Kariim”, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.)