بسم الله الر حمان الر حيم
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
"Sesungguhnya Kami telah memberikan Petunjuk kepadanya Jalan yang Lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur."
"Sesungguhnya Kami telah memberikan Petunjuk kepadanya Jalan yang Lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur."
(QS. Al-Insan; 3)
Secara umum, kata At-Thariiq dan As-Sabil dalam Bahasa Arab dapat bermakna jalan-jalan kecil, yang bermuara pada Ash-Shiraat, yang bermakna Jalan yang Lurus, Luas, lagi rata, serta Tunggal. Karena kata Ash-Shirat diambil dari kata Ash-Shiratu atau Az-Ziratu yang berarti menelan sesuatu dengan cepat. Dan suatu jalan itu tidak dikatakan jalan yang bisa dilalui dengan cepat serta mengantarkan sampai kepada tujuan dengan selamat, kecuali jika jalan itu luas dan rata serta tidak mengandung sedikit pun unsur yang dapat membahayakan / mencelakakan / meragukan orang-orang yang melewatinya, karena ia dibawah Petunjuk, Pengawasan dan Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Ini adalah jalan-Ku yang lurus, kewajiban-Ku-lah menjaganya."
Secara umum, kata At-Thariiq dan As-Sabil dalam Bahasa Arab dapat bermakna jalan-jalan kecil, yang bermuara pada Ash-Shiraat, yang bermakna Jalan yang Lurus, Luas, lagi rata, serta Tunggal. Karena kata Ash-Shirat diambil dari kata Ash-Shiratu atau Az-Ziratu yang berarti menelan sesuatu dengan cepat. Dan suatu jalan itu tidak dikatakan jalan yang bisa dilalui dengan cepat serta mengantarkan sampai kepada tujuan dengan selamat, kecuali jika jalan itu luas dan rata serta tidak mengandung sedikit pun unsur yang dapat membahayakan / mencelakakan / meragukan orang-orang yang melewatinya, karena ia dibawah Petunjuk, Pengawasan dan Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Ini adalah jalan-Ku yang lurus, kewajiban-Ku-lah menjaganya."
(QS. Al-Hijr; 1) dan,
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi."
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi."
(QS. Al-Fajr; 14).
Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala, “Haadza Shiraatum Mustaqiimun”
(QS. Yasiin; 61) yang bermakna “Inilah jalan-Ku yang lurus”
Sebagaimana Kalimat Tauhid (Kalimat Ikhlash) “Laa
Ilaaha Illallahu” yang mengandung Dua unsur sekaligus yang tidak dapat
dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu “An-Nafyu” (Peniadaan segala sesuatu yang di Ibadahi selain Allah Subhanahu wa Tal’ala) dan unsur “Al-Itsbatu” (Menetapkan satu-satunya
Allah sebagai Dzat yang diIbadahi), demikian juga dengan Al-Mustaqiim (Jalan yang
Lurus) jalan yang tiada sedikit pun kebengkokan padanya. Inilah Hakikat Tauhid yang sebenarnya.
(Baca juga artikel, DUA RUKUN SYAHADAT)
(Baca juga artikel, DUA RUKUN SYAHADAT)
Firman Allah Ta’ala
yang mengandung unsur Penafian
seperti, “Laa Ta’budus syaithan”
(Janganlah kalian menyembah syaithan).
Dan kalimat yang mengandung unsur “Al-Istbatu”
(Penetapan), “Wa’ Buduuni” (Dan
beribadahlah / sembahlah Aku saja).
Jadi segala sesuatu yang
menyuruhmu untuk melanggar perintah Allah Subhanahu
wa Ta’ala pada hakikatnya adalah Syaithan, karena ia merupakan musuh yang nyata
bagimu, baik engkau menyadarinya atau tidak.
Firman Allah Ta’ala, “Mustaqiimun” (lurus). Maka ini adalah Sifat dari jalan tersebut. Kata Istiqamah
mencakup kelurusan jalan tersebut dan kerataannya. Dan jika dikatakan jalan itu berkelok-kelok
ke kanan dan ke kiri, maka ia tidak bisa disebut sebagai jalan yang lurus, karena sebagiannya tinggi dan sebagiannya lagi rendah. Dan jika ada bagian yang naik dan turun, maka jalan ini juga
tidak bisa disebut sebagai jalan yang lurus.
Dengan demikian, lurus berarti tidak adanya pembelokan ke kanan atau ke
kiri serta tidak ada tanah yang naik dan turun (bergelombang).
Firman-Nya (artinya),
“Shiraatum Mustaqiimun” (Jalan yang
Lurus), yakni jalan yang menuju sekaligus mengantarkan seseorang sampai kepada
Allah ‘Azza wa Jalla.
Dan Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menisbatkan kata “Ash-Shiraatu”
kepada Diri-Nya sendiri dan juga kepada makhluk-Nya, dimana Dia Yang Maha Suci
lagi Maha Tinggi berfirman dalam surat Al-Faatihah; 7 (artinya),
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
(QS. Al-Faatihah; 7).
Dengan demikian, Allah Ta’ala
telah menisbatkan Jalan yang Lurus tersebut kepada orang-orang yang Dia beri nikmat kepada mereka.
(Baca artikel tentang, NIKMAT)
(Baca artikel tentang, NIKMAT)
Dan firman-Nya (artinya),
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk kepada
jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah
Yang Kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit maupun di bumi.”
(QS. Asy-Syuura;
52-53).
Allah Ta’ala
menisbatkan Ash-Shiraath (Jalan yang
Lurus) kepada orang-orang yang Dia beri kenikmatan, karena mereka telah
menempuh jalan tersebut. Dan Dia juga
menisbatkan jalan tersebut kepada Diri-Nya sendiri, karena Dia-lah yang
meletakkannya untuk hamba-hamba-Nya, dan Dia pula yang menjaganya, dan mengantarkan sampai
kepada-Nya.
BEBERAPA MANFAAT
1. 1. Dzat yang telah memerintahkan kepada kita agar tidak menyembah syaithan dan hanya menyembah Diri-Nya semata, berarti Dia telah memberikan Hujjah kepada
kita, sekaligus mengemukakan alasan untuk Diri-Nya, seperti firman Allah Ta’ala (artinya),
“(Mereka
Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan (lagi) bagi manusia
membantah Allah setelah diutusnya Rasul-Rasul itu.”
(QS. An-Nisaa’;
165).
2. 2. Penetapan
Rahmat Allah ‘Azza wa Jalla kepada
seluruh makhluk-Nya. Dimana Dia tidak
menyerahkan keikhlasan mereka pada-Nya berdasarkan akal-akal mereka, tetapi Dia perintahkan
mereka melakukan keikhlasan tersebut melalui lisan para Rasul ‘alaihimussalam, karena seandainya Allah ‘Azza
wa Jalla menyerahkan Ikhlash itu bersandar pada akal, niscaya akal umat
manusia itu sangat berbeda-beda dan beragam, karena Hawa Nafsu itu tidak bisa diatur. Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla menjamin hal tersebut bagi hamba-hamba-Nya (yang beriman).
(Baca artikel EMPAT SYARAT SYAHADAT MUHAMMAD RASULULLAH, dan CELAAN TERHADAP NAFSU).
(Baca artikel EMPAT SYARAT SYAHADAT MUHAMMAD RASULULLAH, dan CELAAN TERHADAP NAFSU).
3. 3. Perlunya melakukan Tashfiyah (Pemurnian)
sebelum Tahliyah (Pengisian). Atau bisa juga dikatakan Takhliyah (Pengurangan terhadap hal-hal yang mengganggu), karena
Dia telah berfirman, “Laa ta’budus
syaithan.” (janganlah kalian menyembah syaithan), ini adalah Takhliyah (pengurangan), dan “Wa ani’ buduuni.” (Dan Ibadahilah Aku saja) ini adalah Tahliyah.
Jadi, Penafian sekaligus Penetapan.
Inilah Hakikat Tauhidullah.
Dengan demikian Tauhid itu dibangun di atas 2 (dua) dasar; Penafian dan Penetapan, karena bila Penafian semata berarti peniadaan
secara murni (keseluruhan). Sedangkan
Penetapan semata tidak menghalangi keikut-sertaan yang lainnya (syirik).
Jadi, Tauhid itu tidak mungkin sempurna kecuali melalui Penafian dan Penetapan keduanya. Dengan demikian Tauhid itu harus mencakup dua
hal di atas. Tetapi, yang mana yang harus
didahulukan?
Allah Subhanahu
wa Ta’ala memulainya dengan Penafian, baru kemudian Penetapan. Hal yang seperti itu cukup banyak dijumpai di
dalam Al-Qur’an, contoh Firman Allah Ta’ala
(artinya),
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada
bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa
yang kamu sembah, tetapi aku menyembah Rabb yang menciptakan diriku.”
(QS. Az-Zukhruf;
26-27)
Dengan demikian hal pertama yang Beliau
lakukan adalah, melepaskan diri dari segala yang disembah, untuk kemudian
menetapkan Ibadah Beliau hanya untuk Allah semata Yang telah menciptakannya.
4. 4. Tidak disebut ta’at kepada syaithan, kecuali
dalam berbuat maksiat kepada Allah yang merupakan suatu bentuk Ibadah seperti
Firman-Nya (artinya),
“Agar
kalian tidak menyembah syaithan.”
Dan
Ibadah itu sendiri berarti Merendahkan Diri.
Oleh karena itu, barangsiapa menta’ati syaithan dalam bermaksiat
kepada Allah, berarti dia telah menyembahnya.
5. 5. Ibadah itu tidak khusus berupa Ruku’, Sujud,
Penyembelihan, Nadzar dan lain-lain, tetapi bersifat umum yang mencakup semua
keta’atan yang di dalamnya disertai ketundukan yang sempurna.
(Baca juga artikel PARA PENYEMBAH DA'I, dan PARA DA'I YANG MENGAJAK KE JAHANNAM)
(Baca juga artikel PARA PENYEMBAH DA'I, dan PARA DA'I YANG MENGAJAK KE JAHANNAM)
6. Allah Ta’ala telah menyebut keta’atan kepada
syaithan itu sebagai Ibadah. Dengan
demikian, di dalamnya terdapat peringatan agar tidak ta’at kepada syaithan
dengan berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza
wa Jalla.
7.
Firman-Nya (artinya),
“Dan
hendaklah kalian menyembah-Ku. Inilah
jalan yang lurus.”, yaitu adanya keharusan untuk menyembah Allah semata.
“Wa
ani’ buduuniy” (Dan hendaklah kalian menyembah-Ku).”
Ibadah itu mengandung Dua Pengertian;
Pertama, Ta’abbud.
Kedua, Muta’abbad bihi.
Ta’abbud, berarti menghinakan diri kehadirat
Allah ‘Azza wa Jalla melalui perbuatan
seorang hamba seperti Shalat, Zakat, Qiyamul lail, Haji dan lain sebagainya.
Muta’abbad bihi, sebutan yang
mencakup semua hal yang dicintai dan diridhai Allah ‘Azza wa Jalla, baik berupa
ucapan maupun perbuatan, yang bathin maupun yang dzahir, yang bersifat qalbiyah (hati) maupun anggota badan (jawarih).
8. 6. Jalan yang lurus itu adalah Tauhid, yang
di dasarkan pada Firman-Nya (artinya), “Inilah
Jalan yang lurus.”. “Hadza” (Inilah), berarti meninggalkan segala macam bentuk penyembahan / peribadatan terhadap syaithan dan hanya beribadah kepada Allah Ta’ala semata.
“Shiraatun Mustaqiim” (Jalan yang Lurus), yakni jalan yang tidak bengkok sedikitpun.
(Baca artikel, MANHAJ)
(Baca artikel, MANHAJ)
9. 7. Jalan itu ada yang lurus dan ada yang tidak
lurus (bengkok).
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini)
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia.
Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.”
(QS. Al-An’aam;
153).
Dengan demikian setiap orang dari umat manusia
ini memiliki jalan masing-masing. Jika
dia berjalan di atas syari’at Allah, maka berarti dia berjalan di atas jalan
yang lurus. Dan jika sebaliknya, maka
berarti dia berjalan di atas jalan yang tidak lurus (bengkok) / jalan-jalan Syaithan.
oOo
(Disadur bebas dari kitab “Tafsiir Al-Qur’aanil Kariim”, Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar