Senin, 04 Desember 2017

JALAN YANG LURUS


بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
"Sesungguhnya Kami telah memberikan Petunjuk kepadanya Jalan yang Lurus.  Ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur."  
(QS. Al-Insan;  3)

Secara umum, kata At-Thariiq dan As-Sabil dalam Bahasa Arab dapat bermakna jalan-jalan kecil, yang bermuara pada Ash-Shiraat, yang bermakna Jalan yang Lurus, Luas, lagi rata, serta Tunggal. Karena kata Ash-Shirat diambil dari kata Ash-Shiratu atau Az-Ziratu yang berarti menelan sesuatu dengan cepat.  Dan suatu jalan itu tidak dikatakan jalan yang bisa dilalui dengan cepat serta mengantarkan sampai kepada tujuan dengan selamat, kecuali jika jalan itu luas dan rata serta tidak mengandung sedikit pun unsur yang dapat membahayakan / mencelakakan / meragukan  orang-orang yang melewatinya, karena ia dibawah Petunjuk, Pengawasan dan Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Ini adalah jalan-Ku yang lurus, kewajiban-Ku-lah menjaganya."  
(QS. Al-Hijr;  1) dan,
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi."  
(QS. Al-Fajr;  14).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Haadza Shiraatum Mustaqiimun” 
(QS. Yasiin; 61) yang bermakna “Inilah jalan-Ku yang lurus”
Sebagaimana Kalimat Tauhid (Kalimat Ikhlash) “Laa Ilaaha Illallahu” yang mengandung Dua unsur sekaligus yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu “An-Nafyu” (Peniadaan segala sesuatu yang di Ibadahi selain Allah Subhanahu wa Tal’ala) dan unsur “Al-Itsbatu” (Menetapkan satu-satunya Allah sebagai Dzat yang diIbadahi), demikian juga dengan Al-Mustaqiim (Jalan yang Lurus) jalan yang tiada sedikit pun kebengkokan padanya.  Inilah Hakikat Tauhid yang sebenarnya. 
(Baca juga artikel, DUA RUKUN SYAHADAT)
Firman Allah Ta’ala yang mengandung unsur Penafian seperti, “Laa Ta’budus syaithan” (Janganlah kalian menyembah syaithan).  Dan kalimat yang mengandung unsur “Al-Istbatu” (Penetapan), “Wa’ Buduuni” (Dan beribadahlah / sembahlah Aku saja).
Jadi segala sesuatu yang menyuruhmu untuk melanggar perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hakikatnya adalah Syaithan, karena ia merupakan musuh yang nyata bagimu, baik engkau menyadarinya atau tidak.
Firman Allah Ta’ala,  “Mustaqiimun” (lurus).  Maka ini adalah Sifat dari jalan tersebut.  Kata Istiqamah mencakup kelurusan jalan tersebut dan kerataannya.  Dan jika dikatakan jalan itu berkelok-kelok ke kanan dan ke kiri, maka ia tidak bisa disebut sebagai jalan yang lurus, karena sebagiannya tinggi dan sebagiannya lagi rendah.  Dan jika ada bagian yang naik dan turun, maka jalan ini juga tidak bisa disebut sebagai jalan yang lurus.  Dengan demikian, lurus berarti tidak adanya pembelokan ke kanan atau ke kiri serta tidak ada tanah yang naik dan turun (bergelombang).
Firman-Nya (artinya), “Shiraatum Mustaqiimun” (Jalan yang Lurus), yakni jalan yang menuju sekaligus mengantarkan seseorang sampai kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menisbatkan kata “Ash-Shiraatu” kepada Diri-Nya sendiri dan juga kepada makhluk-Nya, dimana Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman dalam surat Al-Faatihah; 7 (artinya), 
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”  
(QS. Al-Faatihah;  7).
Dengan demikian, Allah Ta’ala telah menisbatkan Jalan yang Lurus tersebut kepada orang-orang yang Dia beri nikmat kepada mereka.
(Baca artikel tentang, NIKMAT)
Dan firman-Nya (artinya),
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.  (Yaitu) jalan Allah Yang Kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit maupun di bumi.”  
(QS. Asy-Syuura;  52-53).
Allah Ta’ala menisbatkan Ash-Shiraath (Jalan yang Lurus) kepada orang-orang yang Dia beri kenikmatan, karena mereka telah menempuh jalan tersebut.  Dan Dia juga menisbatkan jalan tersebut kepada Diri-Nya sendiri, karena Dia-lah yang meletakkannya untuk hamba-hamba-Nya, dan Dia pula yang menjaganya, dan mengantarkan sampai kepada-Nya.

BEBERAPA MANFAAT
1.       1. Dzat yang telah memerintahkan kepada kita agar tidak menyembah syaithan dan hanya menyembah Diri-Nya semata, berarti Dia telah memberikan Hujjah kepada kita, sekaligus mengemukakan alasan untuk Diri-Nya, seperti firman Allah Ta’ala (artinya),
“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan (lagi) bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya Rasul-Rasul itu.  
(QS. An-Nisaa’;  165).
2.       2. Penetapan Rahmat Allah ‘Azza wa Jalla kepada seluruh makhluk-Nya.  Dimana Dia tidak menyerahkan keikhlasan mereka pada-Nya berdasarkan akal-akal mereka, tetapi Dia perintahkan mereka melakukan keikhlasan tersebut melalui lisan para Rasul ‘alaihimussalam, karena seandainya Allah ‘Azza wa Jalla menyerahkan Ikhlash itu bersandar pada akal, niscaya akal umat manusia itu sangat berbeda-beda dan beragam, karena Hawa Nafsu itu tidak bisa diatur.  Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla menjamin hal tersebut bagi hamba-hamba-Nya (yang beriman).  
(Baca artikel EMPAT SYARAT SYAHADAT MUHAMMAD RASULULLAHdan CELAAN TERHADAP NAFSU).
3.       3. Perlunya melakukan Tashfiyah (Pemurnian) sebelum Tahliyah (Pengisian).  Atau bisa juga dikatakan Takhliyah (Pengurangan terhadap hal-hal yang mengganggu), karena Dia telah berfirman, “Laa ta’budus syaithan.” (janganlah kalian menyembah syaithan), ini adalah Takhliyah (pengurangan), dan “Wa ani’ buduuni.”  (Dan Ibadahilah Aku saja) ini adalah Tahliyah.  Jadi, Penafian sekaligus Penetapan.  Inilah Hakikat Tauhidullah.
Dengan demikian Tauhid itu dibangun di atas 2 (dua) dasar;  Penafian dan Penetapan, karena bila Penafian semata berarti peniadaan secara murni (keseluruhan).  Sedangkan Penetapan semata tidak menghalangi keikut-sertaan yang lainnya (syirik).
Jadi, Tauhid itu tidak mungkin sempurna kecuali melalui Penafian dan Penetapan keduanya.  Dengan demikian Tauhid itu harus mencakup dua hal di atas.  Tetapi, yang mana yang harus didahulukan?
Allah Subhanahu wa Ta’ala memulainya dengan Penafian, baru kemudian Penetapan.  Hal yang seperti itu cukup banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an, contoh Firman Allah Ta’ala (artinya),
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi aku menyembah Rabb yang menciptakan diriku.”  
(QS. Az-Zukhruf;  26-27)
Dengan demikian hal pertama yang Beliau lakukan adalah, melepaskan diri dari segala yang disembah, untuk kemudian menetapkan Ibadah Beliau hanya untuk Allah semata Yang telah menciptakannya.
4.       4. Tidak disebut ta’at kepada syaithan, kecuali dalam berbuat maksiat kepada Allah yang merupakan suatu bentuk Ibadah seperti Firman-Nya (artinya),
“Agar kalian tidak menyembah syaithan.”
Dan Ibadah itu sendiri berarti Merendahkan Diri.  Oleh karena itu, barangsiapa menta’ati syaithan dalam bermaksiat kepada Allah, berarti dia telah menyembahnya.
5.       5. Ibadah itu tidak khusus berupa Ruku’, Sujud, Penyembelihan, Nadzar dan lain-lain, tetapi bersifat umum yang mencakup semua keta’atan yang di dalamnya disertai ketundukan yang sempurna.
(
Baca juga artikel PARA PENYEMBAH DA'I, dan PARA DA'I YANG MENGAJAK KE JAHANNAM)
6.      Allah Ta’ala telah menyebut keta’atan kepada syaithan itu sebagai Ibadah.  Dengan demikian, di dalamnya terdapat peringatan agar tidak ta’at kepada syaithan dengan berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
7.       Firman-Nya (artinya),
“Dan hendaklah kalian menyembah-Ku.  Inilah jalan yang lurus.”, yaitu adanya keharusan untuk menyembah Allah semata.
“Wa ani’ buduuniy” (Dan hendaklah kalian menyembah-Ku).”
Ibadah itu mengandung Dua Pengertian;
Pertama, Ta’abbud.
Kedua, Muta’abbad bihi.
Ta’abbud,  berarti menghinakan diri kehadirat Allah ‘Azza wa Jalla melalui perbuatan seorang hamba seperti Shalat, Zakat, Qiyamul lail, Haji dan lain sebagainya.
Muta’abbad bihi, sebutan yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridhai Allah ‘Azza wa Jalla, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang bathin maupun yang dzahir, yang bersifat qalbiyah (hati) maupun anggota badan (jawarih).
8.      6. Jalan yang lurus itu adalah Tauhid, yang di dasarkan pada Firman-Nya (artinya), “Inilah Jalan yang lurus.”.  “Hadza” (Inilah), berarti meninggalkan segala macam bentuk penyembahan / peribadatan terhadap syaithan dan hanya beribadah kepada Allah Ta’ala semata.
“Shiraatun Mustaqiim” (Jalan yang Lurus), yakni jalan yang tidak bengkok sedikitpun.
(Baca artikel, MANHAJ)
9.       7. Jalan itu ada yang lurus dan ada yang tidak lurus (bengkok).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia.  Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.”  
(QS. Al-An’aam;  153).
Dengan demikian setiap orang dari umat manusia ini memiliki jalan masing-masing.  Jika dia berjalan di atas syari’at Allah, maka berarti dia berjalan di atas jalan yang lurus.  Dan jika sebaliknya, maka berarti dia berjalan di atas jalan yang tidak lurus (bengkok) / jalan-jalan Syaithan.

oOo

(Disadur bebas dari kitab “Tafsiir Al-Qur’aanil Kariim”, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar