(Dipersembahkan untuk orang-orang yang sedang
Jatuh Cinta)
بسم الله الر حمان الر حيم
Secara
umum dapat dikatakan, bahwa kecenderungan
jiwa manusia, orientasi hidup, serta apa
yang dicintainya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) golongan;
1. 1. JIWA SAMAWY YANG TINGGI
Masalah-masalah yang dicintainya adalah, yang berkaitan dengan
pengetahuan, mencari keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia
serta menjauhi kehinaan, kerendahan, dan hal-hal yang buruk. Jiwa ini menyenangi apa-apa yang
mendekatkannya kepada Kekasih Yang Mahatinggi.
Itulah santapan, makanan, dan obatnya.
Kesibukan pada hal-hal selain itu merupakan penyakit (siksaan) baginya.
2. 2. JIWA YANG
JALANG, BUAS, DAN TEMPERAMENTAL
Kecintaannya adalah hal-hal yang menjurus pada kekuasaan, kesewenang-wenangan,
pemaksaan, membanggakan diri di dunia, takabur, menggapai kedudukan dengan
cara yang bathil. Itulah kenikmatan dan
kesenangan yang direguknya.
3. 3. JIWA
BINATANG YANG PENUH SYAHWAT DAN BIRAHI
Kesenangannya adalah hal-hal yang condong kepada makanan, minuman, dan
persetubuhan. Boleh jadi dua jenis jiwa
ini (no. 2 dan no.3) berhimpun menjadi satu, lalu akhirnya kesenangannya
condong kepada kesewenang-wenangan di dunia dan kerusakan, sebagaimana makna
firman Allah,
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi, dan
menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka,
menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak wanita
mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash; 4), dan
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan (kesudahan yang baik) itu adalah bagi
orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Qashash; 83)
Semua cinta di
dunia berputar-putar di sekitar tiga jenis jiwa ini, mana yang dianggap cocok
dengan tabiatnya, maka itulah yang dianggapnya terbaik dan disenangi, tak
peduli pada cacian dan makian yang ditujukan padanya. Setiap jenis dari tiga jenis jiwa ini melihat,
bahwa apa yang ada di tangannya itulah yang harus diprioritaskan. Menyibukkan diri (cenderung) pada yang lain
mereka anggap sebagai suatu kebodohan dan perbuatan yang sia-sia.
Jiwa Samawy
memiliki kecocokan dengan tabiat para Malaikat dan Kekasih Yang Mahatinggi,
begitu pula kecenderungan sifat, akhlak dan amalan-amalannya. Para Malaikat adalah pelindung jenis jiwa ini
di dunia maupun di akhirat. Makna firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala;
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’, kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka para Malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan), ‘Janganlah kalian merasa takut dan jangan pula bersedih;
dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan Allah
kepada mereka’, Kami-lah pelindung-pelindung kalian
dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (Surga) kalian memperoleh apa yang
kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Sebagai hidangan (bagi kalian) dari Rabb Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Fushshilat; 30-32)
Seorang
Raja tentunya akan mengangkat pejabat yang cocok dengannya, yang
mau menerima nasihat, petunjuk, saran, dukungan, dan pengajarannya, mau
menyampaikan kebenaran lewat lidahnya, membela kebenaran itu dihadapan musuh, memintakan
ampunan bagi mereka bila bersalah, mengingatkan mereka jika lalai, menghiburnya
jika bersedih, menguatkan hatinya jika dia takut, membangunkannya untuk
mendirikan shalat jika dia tertidur, menganjurkannya untuk jujur dengan menunaikan
janji, memperingatkannya jika cenderung pada keduniaan, dan menganjurkannya
meraih pahala di sisi Allah. Dia bisa
dijadikan teman pendamping tatkala sendiri, penolong, pengajar, dan
pendukungnya, orang yang menganjurkannya kepada kebaikan - yang
memperingatkannya dari kejahatan, memohonkan ampunan jika dia berbuat salah,
mendoakan ketabahan hati baginya. Jika
dia sedang tekun mengingat Allah – pendampingnya (para Malaikat) berada di
sampingnya jika ada musuh yang hendak berbuat jahat tatkala sedang tidur,
pendamping itu membelanya dengan setia.
Sedangkan
syaithan menjadi pendamping dan pelindung orang-orang yang mempunyai jenis jiwa
kedua, mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan. Sebagaimana makna firman-Nya,
“Demi
Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami kepada ummat-ummat
sebelum kamu, tetapi syaithan menjadikan
umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka syaithan
menjadi pemimpin mereka pada hari itu.”
(QS. An-Nahl; 63), dan
“Yang telah ditetapkan terhadap syaithan itu,
bahwa barangsiapa yang berkawan dengannya, tentu dia akan menyesatkannya, dan
menggiringnya ke adzab Neraka.”
(QS. Al-Hajj; 4), dan lain-lain.
Jiwa jenis
ini mempunyai kecocokan tabiat dengan syaithan.
Dengan keadaan seperti itu ia cenderung kepada sifat, akhlak, dan
perbuatan syaithan. Syaithan menuntun
mereka, berbeda dengan tuntunan para Malaikat, syaithan menyeret mereka kepada
kedurhakaan, mengguncang jiwa mereka.
Syaithan menjadikan berbagai keburukan (seperti Syirik, Khurafat / tahayul, Bid'ah) tampak elok di mata mereka,
menganggapnya sebagai sesuatu yang sepele (ringan) di hati, dan terasa manis
bagi jiwa. Syaithan mengesankan ketaatan
tampak berat di mata mereka, mengalihkan perhatian mereka pada yang lain. Syaithan menyusupkan perkataan-perkataan yang
buruk dan tidak bermanfaat lewat lisan mereka, menjadikannya terdengar indah
pada pendengaran orang-orang sesat yang mendengarkannya, hingga syaithan berada
dimanapun mereka berada. Syaithan pun ikut
bergabung bersama harta, anak-anak, dan isteri mereka. Syaithan juga ikut makan, minum, bahkan
bersetubuh bersama mereka. Allah
berfirman (artinya),
“Dan
barangsiapa yang berpaling dari peringatan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami
adakan baginya syaithan (yang menyesatkan), maka
sayithan itulah yang menjadi teman yang senantiasa menyertainya. Dan sesungguhnya syaithan itu benar-benar
menghalangi mereka dari jalan yang benar (lurus) dan mereka menyangka mendapat
petunjuk.”
(QS. Az-Zukhruf;
36-37)
Orang-orang
yang mempunyai jenis jiwa yang ketiga menyerupai hewan. Jiwa mereka berorientasi kepada dunia dan
kehinaan, tidak ada yang menjadi fokus perhatian mereka selain nafsu syahwat,
dan mereka tidak menghendaki selain dari itu.
Jika
engkau telah mengetahui hal ini, maka tanda-tanda cinta juga berlaku pada
masing-masing jenis jiwa, bergantung pada apa yang dia cintai dan
dikehendakinya.
Di antara tanda-tanda itu, ada yang langsung
bisa diketahui. Berikut kami uraikan
tanda-tanda cinta, dan yang menjadi (faktor-faktor) pendukungnya.
Tanda-Tanda
Cinta;
1. 1. Menghunjamkan
Pandangan Mata
Mata merupakan pintu bagi hati, yang juga mengungkapkan apa yang terkandung
di dalam hati serta menyibak rahasia-rahasianya. Dalam hal ini mata lebih mampu
menyampaikannya daripada lidah (lisan).
Sebab indikasinya terjadi seketika itu juga, tanpa ada pilihan lain bagi
pelakunya. Sehingga, tidak mengherankan
jika pandangan mata orang yang sedang jatuh cinta selalu terarah kepada orang
yang dicintainya kamana pun dia pergi, seperti yang diungkapkan dalam syair,
Kuikuti arah pandangan kemana pun kau pergi
Tak seorang pun mampu menghalangi jalan yang kulalui
Bahkan di mata orang yang mencintai, kekasihnya itu ibarat patung
(“duplikat”) dirinya, sebagaimana kepribadiannya yang selalu ada di hatinya,
seperti ungkapan syair,
Aku heran mengapa ingatanku tertuju kepada mereka
Kuajukan pertanyaan padahal mereka ada di sisiku
Mataku mencari padahal mereka adalah kehitaman mataku
Hatiku merindu padahal mereka ada di antara tulang iga
2. 2. Malu-Malu
Jika Orang yang Dicintai Memandangnya
Untuk itu dia hanya bisa menatap ke bawah – ke permukaan tanah, karena
ia merasa sungkan terhadap orang yang dicintainya, dorongan perasaan malu dan
karena keagungan orang yang dicintai.
Oleh karena itu, para raja menganggap lancang lawan bicaranya jika pembicara
mengarahkan pandangan padanya. Yang
benar adalah, dengan cara memandang ke arah bawah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
tentang kesempurnaan adab Rasul-Nya pada malam Isra’,
“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu, dan
tidak pula melampauinya.”
(QS. An-Najm; 17)
Ini merupakan gambaran adab.
Pandangan itu tidak boleh “liar” (jelalatan) ke kiri dan ke kanan, dan tidak pula
memandang secara tajam. Yang benar adalah,
memandang lawan bicara sepintas-lalu.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
orang yang sedang shalat memandang ke arah langit dan mengancam siapa pun yang
melakukannya, “Bahwa pandangan matanya bisa menjadi buta”. Hal yang seperti ini mencerminkan
kesempurnaan adab, apalagi orang yang sedang shalat itu berdiri di hadapan
Allah. Orang yang shalat harus berdiri
tegap, menundukkan kepala, dan mengarahkan pandangannya ke tanah. Kalau bukan karena keAgungan Allah di atas
‘Arsy-Nya yang berada di atas langit – tentu tak akan ada bedanya
memandang ke atas maupun ke bawah.
Catatan penulis;
Cukup banyak manhaj menyimpang yang tidak meyakini keberadaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya, atau menafsirkan (mentakwil) kata Istiwa
(bersemayam) dengan makna “menguasai” (Istawla), seperti Manhaj Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, dan lain-lain. Di Indonesia, para da'i yang kerap (gencar) menyuarakan paham menyimpang (dari keyakinan para Salaf Ash-Shalih) ini adalah Abdul Somad, Adi Hidayat dan orang-orang yang semacamnya.
3. 3. Banyak
Mengingat Orang yang Dicintai, Membicarakan, dan Menyebut Namanya
Siapa yang mencintai sesuatu, tentu dia banyak mengingatnya dengan hati
maupun menyebutnya dengan lidah. Oleh
karena itu, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar mengingat-Nya dalam
keadaan bagaimana pun, dan Allah telah memerintahkan kepada mereka untuk mengingat-Nya
dengan gambaran yang paling ekstrim,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan
(musuh), maka berteguh-hatilah kalian dan sebutlah (Nama) Allah
sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.”
(Al-Anfal; 45)
Orang yang jatuh cinta merasa bangga jika bisa menyebut orang yang
dicintai tatkala berada dalam puncak ketakutan, atau tatkala berhadapan dengan
musuh, sebagaimana yang dikatakan seseorang,
Kusebut diri-Mu tatkala anak panah siap menghunjam
Senjata-senjata yang lain juga datang berseliweran
Disebutkan juga di dalam syair yang lain,
Kusebut dirimu tatkala tombak berlontaran
Seperti lubang sumur yang diguyur susu hitam
Aku siap menangkap sabetan kilat pedang
seperti kilatan buah dadamu yang padat
Dalam sebagian atsar Ilahi disebutkan; “Sesungguhnya hamba-Ku adalah, setiap
hamba yang menyebut-Ku”. Tanda cinta
yang sejati adalah, menyebut orang yang dicintai tatkala senang maupun
susah. Penyebutan yang menunjukkan cinta
sejati ialah, menyibukkan diri dengan orang yang dicintai, dengan hati maupun
dengan lidah, pertama kali saat terbangun dari tidur, dan terakhir kali
menjelang tidur, sebagaimana yang dikatakan seseorang,
Kau-lah yang terakhir kusebut sebelum terlelap
Kau pula yang pertama kusebut setelah terjaga
Menyebut diri kekasih yang dicintai bukanlah karena sekian lama telah
dilupakan. Tetapi hal ini muncul dari
dorongan yang kuat dari dalam jiwa orang yang sedang jatuh cinta. Gambaran
penyebutan yang paling tinggi pada orang yang jatuh cinta; Penanam cinta tentu akan menyiraminya dengan
air penyebutan. Penyebutan yang paling
baik adalah yang keluar dari cinta.
4. 4. Tunduk terhadap Perintah Orang yang Dicintai dan Mendahulukannya daripada Kepentingan
Diri Sendiri
Bahkan, tanda cinta ini adalah penyatuan kehendak orang yang mencintai
dengan yang dicintai. Inilah penyatuan yang benar, bukan penyatuan
seperti yang dikatakan orang-orang Nasrani (“Tiga dalam Satu”, pen.). Tidak ada penyatuan kecuali penyatuan
kehendak. Penyatuan ini merupakan tanda
cinta sejati. Kehendak
orang yang mencintai dan yang dicintai adalah satu. Bukanlah dikatakan cinta sejati jika dia
mempunyai kehendak yang berlawanan / berbeda dengan yang dicintainya. Apalagi bila dia memiliki maksud tertentu (yang
tidak disukai) orang yang dicintainya, dan tidak bermaksud untuk kepentingan
yang dicintai tersebut. Jika dia memang
bermaksud untuk kepentingan orang yang dicintai, tentu dia tidak akan
mendahulukan kepentingan pribadinya.
Orang yang mencintai itu ada 3 (tiga) macam;
1. Orang yang
memiliki keinginan tertentu dari orang yang dicintai (mis. materi).
2. Orang yang
berkeinginan terhadap (diri / tubuh) orang yang dicintai.
3. Orang yang
berkeinginan seperti keinginan orang yang dicintai. Inilah tingkatan tertinggi dari orang yang
mencintai. Ini merupakah tingkatan zuhud
yang paling tinggi, sebab dia mampu “meminggirkan” kehendak yang
bertentangan dengan orang yang dicintai.
Jarak antara zuhud semacam ini dengan zuhud terhadap dunia lebih jauh
daripada jarak antara bumi dan langit.
Sementara zuhud itu dapat dibagi menjadi 5 (lima) macam;
a. Zuhud dalam
masalah keduniaan.
b. Zuhud dalam masalah kejiwaan.
c. Zuhud dalam
masalah kedudukan
d. Zuhud dalam
masalah-masalah yang tidak dicintai.
e. Zuhud dalam
setiap kehendak yang bertentengan dengan kehendak orang yang dicintai. Hal ini hanya bisa terwujud dengan mengikuti
(Ittiba’) terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah berfirman (artinya),
“Katakanlah,
‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosa kalian’. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali-Imran; 31)
Allah menjadikan
cinta kepada Rasul sebagai sebab kecintaan manusia terhadap Diri-Nya.
Keadaan manusia yang dicintai Allah lebih tinggi daripada keadaan
orang yang mencintai Allah. Jadi, yang
penting bukan bagaimana engkau mencintai Allah, tetapi bagaimana agar engkau
dicintai Allah. Keta’atan terhadap yang dicintai merupakan topik cintanya, sebagaimana
yang dikatakan dalam syair,
Kau durhakai Allah
dan kau katakan mencintai-Nya
yang demikian itu
mustahil bisa diqiyaskan dengan usaha
andaikan cintamu
tulus tentu kau akan patuh pada-Nya
orang yang mencinta itu tentu patuh
kepada yang dicintai
5. 5. Orang
yang Mencinta Bersabar Menghadapi Gangguan Orang yang Dicintai
Bahkan kesabarannya dihadapan orang yang dicintai harus berubah menjadi
ketaatan terhadapnya. Sabar dalam
menghadapi apa yang tidak disukainya, dan sabar dalam melaksanakan keputusannya
merupakan kesabaran orang yang mencintai.
Sedangkan kesabaran yang disertai pemaksaan adalah kesabaran yang
kosong. Dikatakan dalam sebuah syair,
Pujian dikatakan terhadap kesabaran dimana pun jua
pemaksaan terhadap orang yang dicintai bukanlah pujian
Siapa yang tidak sabar menghadapi gangguan orang yang dicintai, bisa
mengakibatkan kehilangan apa yang dicarinya.
Dikatakan dalam syair,
Betapa indah sebuah kesabaran
tatkala tak kulihat wajahmu yang menawan
jika suatu hari atau pada saat tertentu
dunia dijual, betapa tinggi harganya
6. 6. Memperhatikan
Perkataan Orang yang dicintai dan Mendengarkannya
Di hatinya senantiasa ada ruang untuk mendengarkan perkataannya. Jika ada perhatian terhadap sesuatu yang
lain, berarti itu merupakan perhatian yang dipaksakan. Dikatakan dalam syair,
Senantiasa kuperhatikan perkataanku
Agar aku tampak mengerti dengan pikiranku
Tatkala minim bicara pun, maka pembicaraan yang paling disukainya adalah
membicarakan sesuatu tentang orang yang dicintai. Terlebih lagi jika memang diajak berbicara,
maka topik pembicaraannya tidak akan keluar dari yang dicintai, sebagaimana
perkataan seseorang, “Tidak ada sesuatu yang paling disenangi orang yang
sedang jatuh cinta, selain mendengarkan tentang sesuatu yang dicintai, karena
memang itulah yang dicarinya.” Oleh
karena itu, tidak ada yang lebih disenangi orang yang jatuh cinta kepada
Al-Qur`an selain dari mendengarkannya.
Telah disebutkan dalam Ash-Shahih, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berkata kepadaku, “Bacakanlah Al-Qur`an kepadaku.”
Aku bertanya, “Adakah aku membacakannya kepadamu, padahal ia diturunkan
kepadamu?”
Beliau bersabda, “Aku suka mendengarkannya dari orang lain, selain
diriku.”
Maka aku membacakan kepada Beliau sejak permulaan surat An-Nisa’, hingga
ayat (artinya),
“Maka bagaimanakah halnya (orang-orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap ummat, dan Kami datangkan
kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka (sebagai) ummatnya?” (An-Nisa’;
41)
Beliau bersabda, “Cukup sampai di situ!”
Aku mengangkat kepalaku memandang Beliau, ternyata kedua mata Beliau
meneteskan air mata.” (Diriwayatkan
Al-Bukhary dan Muslim)
Jika para Sahabat berkumpul, maka mereka menyuruh seseorang untuk
membaca Al-Qur`an, dan mereka pun menyimaknya.
Setiap kali Umar bin Khaththab bertemu Abu Musa, maka dia berkata
kepadanya, “Wahai Abu Musa, ingatkanlah kami kepada Rabb kami!” Lalu Abu Musa membaca Al-Qur`an, dan boleh
jadi Umar menangis.
Allah Yang berfirman dengan Al-Qur`an juga memasang Telinga dan
mendengarkan bacaan yang bagus dan merdu, karena kecintaan-Nya mendengarkan
firman-Nya dari bacaan itu, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (artinya),
“Allah lebih bersemangat mendengarkan pembaca (Al-Qur`an) yang merdu
suaranya daripada penyanyi yang menyanyikan lagunya.” (Diriwayatkan Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim
dan Baihaqy)
Seorang penyair berkata,
Wahai hati, sibukkan dengan canda dan permainan
Sesungguhnya hatiku sedang menyimak dan mendengarkan
7. 7. Mencintai
Tempat dan Rumah Sang Kekasih
Di sinilah letak rahasia seseorang yang menggantungkan hatinya untuk
mencintai Ka’bah dan Al-Baitul Haram, untuk bisa berdekatan dengan
sesuatu yang dicintai, dia rela meninggalkan Negara dan orang-orang yang
dicintainya. Perjalanan yang berat pun
terasa ringan dan menyenangkan. Tidak
sedikit bahaya yang mengancam dan kesulitan yang menghadang. Dia terus berusaha untuk berdekatan
dengannya, seakan-akan yang hendak dicapainya itu berada di pelupuk mata.
Kuhampiri diri-Mu seakan-akan Kau ada di pelupuk mata
kutapaki jalan sekalipun jarak jauh tak terkira
Rahasia cinta ini adalah pengaitan Rabb dengan Ka’bah, dengan
makna firman-Nya,”Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang berthawaf” (Al-Hajj; 26)
Seorang penyair berkata,
Aku menjadi pengagung kala kukaitkan diriku dengan diri-Mu
aku menjadi tinggi tanpa orang lain yang berkait denganku
Apa pun yang berkaitan dengan yang dicintai tentu akan menjadi barang
kecintaan. Seperti makna firman-Nya,
“Dan bahwa tatkala hamba Allah itu (Muhammad) berdiri
menyembah-Nya...” (Al-Jinn; 19)
“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam.” (Al-Isra’;
1), dan lain-lain.
8. 8. Segera
Menghampiri yang Dicintai
Jalan yang bisa mengantarkannya kepada orang yang dicintai akan selalu ditempuh,
dia berusaha agar bisa berdekatan dan berduaan dengannya, siapa pun yang
memotong jalannya akan dipotong, kesibukannya dia tinggalkan, dan menyukai cara
apa pun yang bisa mendekatkannya pada orang yang dicintai,
Kan kujalani jika Kau menyuruhku terjun ke api
jika itu yang Kau kehendaki dan mendekatkan badan
kuhampiri dirimu dan kuayunkan langkah kaki
itu petunjuk-Mu ataukah sengaja untuk menyesatkan
9. 9. Mencintai
Apa pun yang Dicintai Sang Kekasih
Apa-apa yang dicintai itu bisa saja tetangga, pembantu, dan siapa pun
yang ada kaitan dengan orang yang dicintai, termasuk pula pekerjaan, profesi, gelas,
bejana, makanan, dan pakaian yang disenanginya.
Dikatakan dalam sebuah syair,
Kucintai Bani Al-Awwam dengan cinta yang bercahaya
untuk itu kucintai pula anjing-anjing di sekitarnya
Dalam cerita cinta orang-orang yang jatuh cinta disebutkan, bahwa ada
seseorang yang juga mencintai model celana yang dicintai kekasihnya. Sehingga dalam daftar harta warisannya
ditemukan sepuluh kantong yang berisi celana yang seperti itu. Ada pula orang yang sangat menyukai lumpang
(tempat untuk menumbuk), karena didorong suara lumpang yang ditumbuk
kekasihnya. Sehingga dalam daftar harta
warisannya ditemukan sekian banyak lumpang peninggalannya. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
menyenangi labu, karena dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang selalu memandang ke arah hidangan labu dalam mangkuk.
1 10. Jalan
yang Dilalui Terasa Pendek Sekalipun Panjang Saat Mengunjungi Orang yang
Dicintai
Sebaliknya, jalan yang dilalui setelah kembali dari tempat orang yang
dicintai terasa panjang sekalipun sebenarnya pendek. Dikatakan dalam sebuah syair,
Jika malam-malam aku mengunjunginya
kulihat jalan yang jauh serasa dekat di mata
Penyair yang berkata,
Jalan terasa dekat tatkala kukunjungi kalian
dan terasa jauh saat aku kembali pulang
1 11. Salah
Tingkah Jika Sedang Mengunjungi Orang yang Dicintai atau Bila Dikunjunginya
Keadaan serupa juga dialami orang yang sedang jatuh cinta, jika dia
berpisah dari orang yang dicintai,
Dia menemuiku dan aku pun salah tingkah karenanya
karena kecemasanku ada di dalam genggamannya
kegembiraanku sirna tatkala dia telah berlalu
karena dia menguasai semua kirimanku
Sebagaimana yang telah diketahui, orang yang jatuh cinta tidak memiliki
kegembiraan dan kesenangan kecuali jika bersua dengan orang yang dicintai. Berarti terpisah darinya merupakan siksaan baginya.
1 12. Kaget dan
Gemetar Tatkala Berhadapan dengan Orang yang Dicintai atau Tatkala Mendengar
Namanya Disebut
Terlebih lagi bila dia melihatnya sekonyong-konyong, atau tiba-tiba saja
muncul dihadapannya, sebagaimana dikatakan syair,
Aku berpapasan dengannya secara tiba-tiba
aku pun terhenyak tak tahu apa yang harus dikata
aku menata pikiran semenjak semula
dan kuingat apa yang semestinya kulakukan jika ia tiada
Penyair lain berkata,
Tatkala dia tiba-tiba melihat kehadirannya
kedua kakinya gemetar tak kuasa menahannya
Ada perbedaan pendapat manusia tentang apa yang menyebabkannya
gemetar. Ada yang mengatakan karena sang
kekasih telah menguasai hatinya, yang jauh lebih kuat daripada kekuasaan raja
terhadap rakyatnya. Hati manusia sudah
barang tentu mengagungkan kekasihnya dan tunduk kepadanya. Ada pula yang berpendapat, karena hatinya
menjadi mekar dan berbunga-bunga, sehingga darah menyingkir dari hati, lalu
menjadi dingin dan gemetaran – bahkan bisa menyebabkan kematian.
Yang pasti, kembali lagi kami katakan bahwa ini adalah masalah perasaan
yang sulit ditelusuri sebab-musababnya.
1 13. Cemburu
kepada Orang yang Dicintai
Rasa cemburunya akan bangkit, jika kekasihnya dijahati dan dirampas
haknya. Ini merupakan kecemburuan yang
sesungguhnya dari orang yang sedang jatuh cinta. Semua masalah agama juga termasuk masalah
yang harus dicemburui.
Orang yang paling kuat agamanya adalah orang yang paling kuat rasa
cemburunya. Sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits shahih (artinya),
“Apakah kalian heran terhadap kecemburuan Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d, dan
Allah lebih cemburu daripada aku.” (Diriwayatkan Syaikhany)
Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya cemburu kepada Allah dan
Rasul-Nya, tergantung kepada besarnya cinta dan pengagungan. Jika hatinya tidak memiliki
kecemburuan terhadap Allah dan
Rasul-Nya, berarti di hatinya tidak ada cinta, sekalipun dia mengaku mencintai
Keduanya. Orang yang membual
mencintai kekasih, padahal dia mengetahui kehormatan kekasihnya telah
dilanggar, haknya dirampas, dan membuatnya murka, maka dia adalah seorang
pembohong besar, karena dia tidak cemburu kekasihnya diperlakukan seperti
itu. Hatinya dingin. Bagaimana mungkin seseorang mengaku
mencintai Allah, sementara dia tidak cemburu tatkala hak-hak Allah dirampas,
dilanggar, dan diabaikan? Gambaran
orang cemburu yang paling buruk ialah, jika ia cemburu karena dorongan hawa
nafsu dan karena bisikan syaithan, lalu dia cemburu kepada kekasihnya dengan
cara berbuat semena-mena, dan mendurhakainya.
Jika cemburu ini lenyap dari hati, berarti cintanya juga pergi. Jika ketidak-cemburuan ini ada dalam masalah
agama, berarti agamanya juga lenyap sama sekali, meskipun pada dirinya masih
terlihat sisa-sisa kecemburuan itu.
Kecemburuan inilah yang menjadi dasar jihad, pelaksanaan Amar ma’ruf
dan Nahi Mungkar (Mengajak kepada kebaikan, dan mencegah dari kemungkaran). Karena dari sinilah lahir
kecemburuan terhadap Rabb-nya.
Oleh sebab itu Allah menjadikan jihad sebagai tanda cinta kepada-Nya, seperti makna firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad
dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut
terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Maidah; 54)
Kecemburuan kepada kekasih adalah sesuatu yang terpuji, jika kecemburuan
itu dikhususkan padanya, dan tercela menurut syariat dan akal bila terdapat
persekutuan di dalamnya (syirik).
(Baca artikel, SYIRIK)
1 14. Berkorban
untuk Mendapatkan Keridhaan Orang yang Dicintai
Orang yang sedang jatuh cinta rela berkorban menurut kesanggupannya demi
keridhaan orang yang dicintai, bukan sekedar menikmati cinta itu. Keadaan orang yang jatuh cinta dalam masalah
ini ada 3 (tiga) macam;
a·
Awalnya pengorbanan itu terasa berat dan
membebani.
b·
Tetapi jika cinta itu semakin kuat, maka
pengorbanan itu dilakukan secara suka rela dan penuh keridhaan.
c·
Jika cinta itu telah tertanam di dalam hati
secara mantap, maka pengorbanan itu sudah menjadi tuntutan dan permintaan, yang
seakan-akan merupakan sesuatu yang harus
diberikan kepada orang yang dicintai. Bila
perlu mengorbankan nyawanya demi orang yang dicintai, seperti pengorbanan para
Sahabat tatkala melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam peperangan, sekalipun mereka harus mati dan bergelimpangan di sekeliling
Beliau. Disebutkan dalam sebuah syair,
Kupunya sekeping
hati yang ditebari cinta
karena cinta dia
rela menghadapi penyiksa
cinta menebus
dirimu dengan pengorbanan jiwa
kan kutebus pula
dengan sesuatu di atas jiwa
Barangsiapa lebih
mementingkan orang yang dicintai, apa pun akan dikorbankannya untuk kepentingan
orang yang dicintai itu. Allah berfirman
(artinya),
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang mukmin
(beriman) daripada diri mereka sendiri.” (Al-Ahzab; 6)
(Baca juga artikel, “Ce –
i... Ci + eN, Te – a... Ta, Cinta”)
Kedudukan iman mereka belum dianggap mantap, kecuali menjadikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang paling
mereka cintai, lebih besar daripada cinta mereka terhadap diri sendiri, apalagi
cinta kepada anak dan isteri serta bapak-bapak mereka, sebagaimana yang
disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman, sehingga aku menjadi
orang yang lebih dicintainya daripada anak dan bapaknya, serta sekalian
manusia.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhani, An-Nasa’y,
Ibnu Majah, dan Ahmad)
Jika begini gambaran
cinta manusia kepada Rasul Allah, lalu bagaimana dengan cinta mereka terhadap
Allah? Jenis cinta ini tidaklah layak
diberikan kecuali terhadap Allah dan Rasul-Nya, baik menurut timbangan syariat maupun
menurut timbangan kemanusiaan (tabiat manusia).
Jika ada seseorang yang lebih mementingkan cintanya terhadap diri
sendiri dan hartanya berarti itulah hakikat (tujuan) cintanya. Cinta kepada tujuan tersebut mendorongnya
mengorbankan kepentingan lain - demi diri sendiri dan hartanya, bukan cinta
kepada dzatnya, tetapi cinta terhadap tujuannya. Apa yang dicintainya ini merupakan gambaran
tersendiri, dan jenis cintanya juga mempunyai gambaran tersendiri pula. Sedangkan cinta terhadap Allah tidak
mempunyai gambaran tersendiri (dia bersifat baku dan berlaku umum, persis seperti yang diajarkan Rasul-Nya, pen.). Oleh karena itu para Sahabat memasrahkan diri dan harta mereka kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berkata, “Ini harta
benda kami, ada di hadapan Engkau. Maka
berilah keputusan tentang harta itu, terserah menurut kehendak Engkau. Dan ini diri kami ada di hadapan Engkau. Andaikan Engkau membentangkan lautan di
hadapan kami, tentu kami akan mengarunginya, siap bertempur di depan dan di
belakang Engkau.”
Qais bin Shirmah
Al-Anshary berkata dalam syairnya,
Ada beberapa orang
di tengah kaum Quraisy pergi haji
mereka
mengingatkan andaikan di sana bertemu kekasih hati
mereka menawarkan
diri kepada penduduk di sana
namun tiada yang
mau mengajak dan tiada yang mau menerima
tatkala mendatangi
kami dan ada bibit hubungan
muncul rona
kegembiraan keridhaan pada kebaikan
kami rela
mengorbankan harta yang ada dan jiwa
saat peperangan
berkecamuk atau tatkala mereda
kami memusuhi
siapa pun yang memusuhi
jika memang itu
yang dikehendaki kekasih hati
kami tahu bahwa
tiada Allah selain-Nya
dan Rasul Allah adalah pembawa
petunjuk-Nya
1 15. Menyenangi
apa pun yang Menyenangkan Orang yang Dicintai
Jika ada sesuatu yang membuat kekasihnya benci, maka sesuatu itu tak
ubahnya seperti obat yang tak disukai.
Dia tidak menyukai obat itu, namun terpaksa harus meminumnya karena obat
itulah yang membuatnya sembuh. Begitu
pula keadaan orang yang jatuh cinta bersama orang yang dicintai. Dia senang terhadap sesuatu yang disenangi
kekasihnya, sekalipun dia tidak menyukainya.
Sedangkan orang yang bersikukuh dengan sesuatu yang disenanginya -
sekalipun tidak disenangi kekasihnya, maka itu bukanlah cinta sejati. Itu adalah cinta yang cacat, sampai dia
menyenangi sesuatu yang disenangi kekasihnya.
Jika cinta semacam ini berlaku untuk cinta terhadap yang lain, maka
diri orang yang dicintai itu lebih penting dari segala sesuatu,
Hawa nafsuku berhenti karena kehadiranmu
ku tak berani mendahulukan atau mengakhirkannya
kau tundukkan aku dan kutundukkan diriku
hingga tiada lagi orang yang menghinamu
kau laksana musuhku namun tetap mencintai mereka
kedudukanmu di mataku seperti kedudukan mereka jua
mencintai dirimu adalah sebuah kenikmatan
aku tak peduli orang yang suka menghinakan
Penyair lain berkata,
Jika ada yang mencemooh karena cintaku padamu
Aku tetap senang dengan perasaan yang ada di hatiku
Yang serupa dengan ini adalah pernyataan Ahmad bin Al-Husain dalam
syairnya,
Wahai orang yang senang jika aku berpisah dengannya
kebersamaan kami adalah segala-galanya tak ada duanya
jika rahasia dirimu seperti ucapan orang yang dengki
apalah artinya luka jika kau lebih suka benci di hati
Demi Allah! Semua pernyataan ini
hanya sekedar “Isapan jempol”, yang tidak memiliki hakikat. Orang yang bersikap jujur tentu akan
mengatakan pengetahuan dan kehendaknya, bukan tentang keadaan dan sifatnya.
Benar apa yang dikatakan seorang penyair,
Mereka ridha terhadap angan-angan dan diuji keadaan
mereka mengarungi lautan cinta, mengakui apa yang dicobakan
mereka gembira tiada beranjak dari tempatnya semula
mereka tak segera berjalan sekalipun tiada lagi beban
Jika ini perkataan orang yang mengalaminya sendiri, berarti dia pula
yang mengarungi lautan cinta serta cobaan yang menghadangnya, lalu dia
mengabarkan keadaan dirinya yang mampu menyingkap tabir penghalang itu, lalu
mencari pengawal untuk membawanya kepada Rabb-nya. Benar apa yang dikatakan seseorang,
Jika seperti ini kedudukanku dalam cinta
berarti aku telah menyia-nyiakan hari sekian lama
angan-angan telah kugapai setelah sekian lama
hari ini kukira ia hanya angan-angan semata
Inilah keadaan orang yang mencintai
Allah yang disertai kecintaan kepada selain-Nya.
Sampai di sini, boleh jadi dia masih bisa bersabar. Namun lama-kelamaan hakikatnya akan terkuak
dengan sendirinya, ternyata dia telah tertipu dan terpedaya oleh suatu angan-angan. Sepanjang hayat dia mendapatkan dan
mengharapkan apa yang diangan-angankannya.
Namun di kemudian hari dia merasa menyesal dan merugi. Seperti makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka (telah) melihat siksa, dan ketika
segala hubungan di antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, ‘Seandainya
kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka,
sebagaimana mereka berlepas diri dari kami (pada hari ini).’ Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka
amal perbuatan mereka menjadi penyesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka
tidak akan keluar dari api Neraka.” (Al-Baqarah; 167-168)
Penyebab terputusnya apa yang diangan-angankan itu adalah Cinta, dan kesenangan terhadap segala
sesuatu selain Allah, atau mencintai sesuatu bukan karena Allah.
Inilah yang akan dibawa manusia ke hadapan Allah, lalu Allah
menjadikannya bagaikan debu yang berterbangan.
Setiap cinta untuk selain Allah akan menjadi siksaan
bagi pelakunya serta penyesalan di kemudian hari, kecuali kecintaan terhadap
sesuatu yang bisa mengantarkan (sarana) cinta kepada-Nya dan membantu ketaatan
kepada-Nya. Inilah yang akan tetap
bertahan di dalam hati hingga Hari Kiamat, tatkala semua rahasia terbongkar, sebagaimana yang dikatakan penyair,
Di relung hati kalian akan tetap terjaga
rahasia cinta tatkala dikuakkan segala cinta
Yang lain berkata,
Jika kau perlihatkan ciri-ciri cinta mereka
orang yang jatuh cinta punya ciri yang tak tampak
jika kau putus tali cinta saat itu pula
orang yang jatuh cinta punya tali yang tak putus
1 16. Suka
Menyendiri
Berarti orang yang jatuh cinta juga suka menjauhi orang lain. Seakan-akan cintanya menuntutnya untuk berbuat
seperti itu. Tidak ada yang lebih terasa
manis bagi orang yang jatuh cinta dengan cinta yang sejati selain dari
menyendiri, terlebih lagi bila dia merasakan bahwa dengan cara itu membuatnya
lebih dekat dengan kekasihnya. Sehingga
dia tidak menyukai orang ketiga yang mengusik kebersamaan itu.
Karena rahasia seperti inilah Allah (dan Allah lebih mengetahui segala
urusan) memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menghalau orang lain yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat. Bahkan jika perlu, orang yang lewat tersebut
boleh di bunuh jika dia menolak untuk dihalau.
Beliau juga mengabarkan, bahwa andaikata orang yang lewat di hadapan
orang yang sedang shalat itu (tanpa shutrah (pembatas), pen.) mengetahui
dosa yang bakal dipikulnya, tentu lebih baik baginya untuk menunggu 40 (empat
puluh), daripada harus memaksakan lewat di hadapannya.[1]
Tidak ada yang merasakan derita dan gangguan karena ada orang yang lewat
di depannya, kecuali orang yang menyadari benar-benar berada di hadapan
Kekasih-nya. Sehingga rasa cemburunya
langsung terusik. Adanya orang yang
lewat di antara dia dan Rabb-nya seperti kemarahan seseorang karena ada orang
ketiga yang mengganggu kebersamaannya dengan orang yang dicintai. Ini adalah masalah yang lumrah, yang tidak
bisa dipungkiri perasaan manusia.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang yang lewat di
hadapan orang yang sedang shalat bisa melenyapkan separuh pahalanya.” Perkataan serupa juga disebutkan Al-Imam Ahmad.
Saya (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah) pernah diberitahu Taqiyyudin bin Syakir,
dia berkata, “Suatu hari Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyah keluar rumah, dan
saya membuntutinya. Setibanya di tengah
padang pasir, yang tak seorang manusia pun di sana dan tak ada yang melihatnya,
tiba-tiba dia melontarkan ucapan seorang penyair,
Kutinggalkan rumah dengan membawa sebuah angan-angan
siapa tahu aku dapat berbincang dengan hati-Mu sendirian
Kesendirian orang yang jatuh cinta bersama kekasihnya adalah tujuan dari
angan-angannya. Siapa tahu dia
benar-benar dapat berduaan dengannya, seandainya pun tidak, dia bisa menyendiri
dengan rahasia hatinya.
Orang yang jatuh cinta harus berkata seperti perkataan Yusuf ‘Alahissalam
kepada saudara-saudaranya,
“Jika kalian tidak membawanya kepadaku, maka kalian tidak akan mendapat
sukatan lagi dariku, dan janganlah kalian mendekatiku.” (Yusuf;
60)
Dikatakan dalam sebuah syair,
Jika kekasih hatiku di tengah kalian tidak terlihat
biar tak kupandang wajah kalian atau kutidur di liang lahat
1 17. Tunduk
dan Patuh kepada Orang yang Dicintai
Sebab, cinta itu didasarkan kepada ketundukan. Orang yang terpandang pun tidak akan
memandang hina orang yang tunduk kepada kekasihnya, tidak menganggapnya sebagai
kekurangan atau aib. Bahkan banyak orang
yang menganggapnya sebagai sebuah kehormatan, sebagaimana yang dikatakan dalam
syair,
Jika engkau menghendaki kekasih dan tak pasrah
ucapkan kepadanya selamat tinggal untuk berpisah
tunduklah kepada kekasih untuk beroleh kehormatan
berapa banyak kehormatan diperoleh karena ketundukan
Dikatakan pula oleh yang lain,
Aku heran karena ketundukanku padamu
aku tak heran jika aku tunduk tanpa cinta
Selagi ketundukan dan cinta telah bersenyawa, maka muncullah
penghambaan, sehingga hati orang yang jatuh cinta menjadi hamba
kekasihnya. Namun rentetan ini tidak
berlaku bagi manusia, hanya berlaku bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala saja.
1 18. Helaan
Nafas yang Panjang dan Kerap terjadi
Helaan nafas panjang seperti ini ada 2 (dua) keadaan,
1. Karena susah
dan sedih, seperti
yang dikatakan penyair,
Berapa banyak
malam yang terasa lebih panjang
dari helaan nafas
cinta yang terputus talinya
Dan dikatakan pula,
Helaan nafas orang
jatuh cinta yang bertubi-tubi
pertanda derita
cinta yang terpendam di relung hati
detak-detak cinta
menghentak dinding sanubari
menghela nafas
panjang untuk mengusir tabiat di hati
2. Karena gembira
dan senang
Penyebab dua keadaan ini adalah,
karena penyempitan dan pembengkakan “hati” (jantung) sehingga menimbulkan
helaan nafas panjang yang menekan paru-paru (agar mengambil oksigen lebih
banyak, pen.). Ini adalah helaan nafas
panjang karena keadaannya yang tertekan, sehingga menimbulkan dorongan udara di
dalam paru-paru untuk mencari jalan keluar.
1 19. Menghindari
Hal-hal yang Merenggangkan Hubungan dengan Orang yang Dicintai atau yang
Membuatnya Marah
Sebaliknya, orang yang jatuh cinta akan melakukan apa pun yang dapat
mendekatkannya dengan orang yang dicintai, dan memujinya jika sudah
melihatnya. Dalam masalah ini banyak
keanehan yang dilakukan orang yang sedang jatuh cinta. Banyak di antara mereka yang meninggalkan
suatu makanan, pakaian, tempat tinggal, pekerjaan, atau kondisi tertentu yang
tak disukai orang yang dicintainya dan tak mungkin dilakukan. Banyak juga di antara mereka yang mencari
kelebihan dan keutamaan yang bisa mengangkat pamornya di mata sang kekasih, dan
membuat sang kekasih semakin mencintainya.
Masalah ini juga ada 2 (dua) macam;
Pertama; Ada respon dari orang yang dicintai,
sehingga orang yang jatuh cinta berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh
gambaran puncak dari apa yang bisa diperbuat menurut kesanggupannya. Jika orang yang dicintai merasa respek
terhadap usaha itu, maka inilah yang diprioritaskan, sehingga ia berusaha
lebih bersemangat dari orang yang dicintai.
Jika orang yang dicintai merasa respek terhadap ilmu, maka orang yang
jatuh cinta akan berusaha menggali ilmu, lebih dari usaha yang dilakukan orang
yang dicintainya. Jika orang yang
dicintai respek terhadap suatu pekerjaan atau profesi, maka orang yang jatuh
cinta tersebut akan berusaha mempelajari profesi yang ditekuni orang yang
dicintainya (selama hal itu memungkinkan baginya). Jika orang yang dicintai merasa respek
terhadap kisah, cerita, dan hikayat yang bagus-bagus, maka orang yang jatuh
cinta akan memperhatikan kisah-kisah yang menarik hati pasangannya. Cinta yang bermanfaat adalah, yang bisa
mendorongmu dalam pencarian kesempurnaan.
Akan tetapi, bencana yang mengerikan akan menimpamu jika engkau
dihinggapi cinta yang tidak mendatangkan kebaikan sama sekali.
Kedua; Tidak ada respon dari orang yang dicintai,
sedangkan cinta tetap membara di hati orang yang mencintai, sementara dorongan
ambisi dan kehendak guna menaikkan pamornya di mata orang yang dicintai tetap
ada. Oleh karena itu, dia justru akan
semakin bersemangat melakukan apa yang bisa dilakukannya. Dikatakan dalam sebuah syair,
Dia lakukan kebajikan agar menjadi mulia
dan tabiatnya tampak terpuji di hadapan Laila
Boleh jadi di sana ada sebab lain, seperti kebencian orang-orang
kepadanya, atau mereka menganggapnya kurang sempurna serta merendahkannya. Sehingga keadaan ini akan mendorongnya agar
tampak hebat di hadapan orang yang dicintai, cemburu terhadapnya, atau ingin
bersaing untuk meraih simpatinya.
2 20. Adanya
Kecocokan antara yang Mencintai dengan yang Dicintai
Terlebih lagi jika cinta itu tumbuh disebabkan adanya rasa kecocokan
kedua belah pihak. Tidak jarang orang
yang mencintai jatuh sakit karena orang yang dicintainya juga sakit, dan
berbuat seperti yang diperbuatnya, sementara kedua pihak tidak
menyadarinya. Orang yang dicintai
mengucapkan suatu perkataan, lalu pada lain kesempatan orang yang mencintai
mengucapkan perkataan yang serupa secara persis.
Perhatikan dialog antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan Umar bin Khatthab radhiyallahui ‘anhu saat peristiwa Al-Hudaibiyah. Umar bertanya, “Bukankah kita berada di atas
kebenaran dan musuh kita berada di atas kebathilan?”
Beliau menjawab, “Benar.”
Umar bertanya lagi, “Lalu atas dasar apa kita menimpakan kehinaaan
terhadap agama kita?”
Beliau menjawab, “Aku adalah Rasul Allah. Dia adalah penolongku, dan aku tidak akan
mendurhakai-Nya.”
Umar bertanya lagi, “Bukankah telah Engkau katakan, bahwa kita akan
mendatangi Ka’bah dan Thawaf di sekelilingnya?”
Beliau bertanya balik, “Bukankah sudah kukatakan padamu, bahwa engkau
bisa mendatanginya tahun depan?”
Umar menjawab, “Kalau begitu tentu Engkau akan mendatanginya dan berthawaf
di sekelilingnya.”
Tak lama kemudian Umar mendatangi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
dan bertanya kepadanya, “Wahai Abu Bakar, bukankah kita berada di atas
kebenaran dan musuh kita berada di atas kebathilan?”
“Benar”, jawab Abu Bakar
Umar bertanya, “Atas dasar apa kita menimpakan kehinaan terhadap agama
kita dan kita kembali, padahal Allah belum memutuskan perkara kita?”
Abu Bakar menjawab, “Beliau adalah Rasul Allah. Allah tentu akan menolongnya dan Beliau tidak
akan mendurhakai-Nya.”
Kemudian Abu Bakar bertanya lagi, “Bukankah Beliau sudah
memberitahukan, bahwa kita akan mendatangi Ka’bah pada tahun depan dan berthawaf
di sana.”
Abu Bakar menjawab persis seperti jawaban yang pernah diberikan
Rasulullah, kata per kata tanpa disadari dan diketahuinya. Hal ini terjadi Karena adanya kecocokan
antara yang mencintai dan yang dicintai.
Begitulah yang disebutkan dalam Ash-Shahih Al-Bukhary. Di dalam sebagian keterangan disebutkan
bahwa, pertama-tama Umar mendatangi Abu Bakar yang berkata seperti itu, lalu
Umar mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ternyata
Beliau memberikan jawaban yang sama seperti jawaban Abu Bakar. Sehingga jawaban mereka berdua seakan-akan keluar
dari satu misykat.
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tingkat
kesabaran yang tinggi dan ketabahan dalam menghadapi Qadha' yang telah digariskan Allah Subhanahu wa
Ta’ala itu, maka Allah menganugerahkan kepada Beliau;
1. Ampunan
terhadap semua dosa, yang akan datang maupun yang telah lampau.
2. Kesempurnaan
nikmat yang dianugerahkan kepada Beliau.
3. Diberitahukan
jalan yang lurus.
4. Diberikan
kemenangan yang gemilang.
Di sisi lain, Umar juga memiliki kecocokan dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam beberapa permasalahan, sehingga beberapa kali turun wahyu
(ayat) yang menegaskan (menguatkan) ucapan Beliau.
Kecocokan ini sedemikian kuat, sehingga seakan-akan orang yang mencintai
tahu banyak tentang keadaan orang yang dicintai, sekalipun tempatnya
berjauhan. Ini hanya sekedar hubungan
kehendak dan tujuan hati, sehingga kehendak mereka berdua sama persis. Sehingga, boleh jadi kecocokan ini juga
disertai dengan kecocokan dan kesesuaian rupa, maka itulah kecocokan yang
paling sempurna.
oOo
(Diringkas dan disadur dari kitab, “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan
Memendam Rindu”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
[1] Hadits tentang ini diriwayatkan
Asy-Syaikhani, Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa’y, dan Ibnu Majah.
(Tentang sebutan “empat puluh” itu sendiri hanya
sekedar penegasan tentang besarnya masalah ini.
Jadi, tidak menunjukkan kekhususan bilangan (satuan, pen.) tertentu, seperti dalam
menafsirkan setiap bilangan yang acap kali disebutkan dalam berbagai nash
Al-Qur'an maupun hadits, pent.)