Rabu, 26 Juni 2019

TANDA-TANDA CINTA



(Dipersembahkan untuk orang-orang yang sedang Jatuh Cinta)
بسم الله الر حمان الر حيم

Secara umum  dapat dikatakan, bahwa kecenderungan jiwa manusia, orientasi hidup,  serta apa yang dicintainya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) golongan;
1.       1. JIWA SAMAWY  YANG TINGGI
Masalah-masalah yang dicintainya adalah, yang berkaitan dengan pengetahuan, mencari keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia serta menjauhi kehinaan, kerendahan, dan hal-hal yang buruk.  Jiwa ini menyenangi apa-apa yang mendekatkannya kepada Kekasih Yang Mahatinggi.  Itulah santapan, makanan, dan obatnya.  Kesibukan pada hal-hal selain itu merupakan penyakit (siksaan) baginya.
2.       2. JIWA YANG JALANG, BUAS, DAN TEMPERAMENTAL
Kecintaannya adalah hal-hal yang menjurus pada kekuasaan, kesewenang-wenangan, pemaksaan, membanggakan diri di dunia, takabur, menggapai kedudukan dengan cara yang bathil.  Itulah kenikmatan dan kesenangan yang direguknya.
3.       3. JIWA BINATANG YANG PENUH SYAHWAT DAN BIRAHI
Kesenangannya adalah hal-hal yang condong kepada makanan, minuman, dan persetubuhan.  Boleh jadi dua jenis jiwa ini (no. 2 dan no.3) berhimpun menjadi satu, lalu akhirnya kesenangannya condong kepada kesewenang-wenangan di dunia dan kerusakan, sebagaimana makna firman Allah,
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi, dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak wanita mereka.  Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”  (Al-Qashash;  4), dan
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi.  Dan (kesudahan yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”  
(QS. Al-Qashash;  83)
Semua cinta di dunia berputar-putar di sekitar tiga jenis jiwa ini, mana yang dianggap cocok dengan tabiatnya, maka itulah yang dianggapnya terbaik dan disenangi, tak peduli pada cacian dan makian yang ditujukan padanya.  Setiap jenis dari tiga jenis jiwa ini melihat, bahwa apa yang ada di tangannya itulah yang harus diprioritaskan.  Menyibukkan diri (cenderung) pada yang lain mereka anggap sebagai suatu kebodohan dan perbuatan yang sia-sia.
Jiwa Samawy memiliki kecocokan dengan tabiat para Malaikat dan Kekasih Yang Mahatinggi, begitu pula kecenderungan sifat, akhlak dan amalan-amalannya.  Para Malaikat adalah pelindung jenis jiwa ini di dunia maupun di akhirat.  Makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka para Malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kalian merasa takut dan jangan pula bersedih; dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan Allah kepada mereka’, Kami-lah pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (Surga) kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta.  Sebagai hidangan (bagi kalian) dari Rabb Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  
(QS. Fushshilat;  30-32)
Seorang Raja tentunya akan mengangkat pejabat yang cocok dengannya, yang mau menerima nasihat, petunjuk, saran, dukungan, dan pengajarannya, mau menyampaikan kebenaran lewat lidahnya, membela kebenaran itu dihadapan musuh, memintakan ampunan bagi mereka bila bersalah, mengingatkan mereka jika lalai, menghiburnya jika bersedih, menguatkan hatinya jika dia takut, membangunkannya untuk mendirikan shalat jika dia tertidur, menganjurkannya untuk jujur dengan menunaikan janji, memperingatkannya jika cenderung pada keduniaan, dan menganjurkannya meraih pahala di sisi Allah.  Dia bisa dijadikan teman pendamping tatkala sendiri, penolong, pengajar, dan pendukungnya, orang yang menganjurkannya kepada kebaikan - yang memperingatkannya dari kejahatan, memohonkan ampunan jika dia berbuat salah, mendoakan ketabahan hati baginya.  Jika dia sedang tekun mengingat Allah – pendampingnya (para Malaikat) berada di sampingnya jika ada musuh yang hendak berbuat jahat tatkala sedang tidur, pendamping itu membelanya dengan setia.
Sedangkan syaithan menjadi pendamping dan pelindung orang-orang yang mempunyai jenis jiwa kedua, mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan.  Sebagaimana makna firman-Nya,
“Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami kepada ummat-ummat sebelum kamu, tetapi syaithan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka syaithan menjadi pemimpin mereka pada hari itu.”  
(QS. An-Nahl;  63), dan
“Yang telah ditetapkan terhadap syaithan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengannya, tentu dia akan menyesatkannya, dan menggiringnya ke adzab Neraka.” 
(QS. Al-Hajj;  4), dan lain-lain.
Jiwa jenis ini mempunyai kecocokan tabiat dengan syaithan.  Dengan keadaan seperti itu ia cenderung kepada sifat, akhlak, dan perbuatan syaithan.  Syaithan menuntun mereka, berbeda dengan tuntunan para Malaikat, syaithan menyeret mereka kepada kedurhakaan, mengguncang jiwa mereka.  Syaithan menjadikan berbagai keburukan (seperti Syirik, Khurafat / tahayul, Bid'ah) tampak elok di mata mereka, menganggapnya sebagai sesuatu yang sepele (ringan) di hati, dan terasa manis bagi jiwa.  Syaithan mengesankan ketaatan tampak berat di mata mereka, mengalihkan perhatian mereka pada yang lain.  Syaithan menyusupkan perkataan-perkataan yang buruk dan tidak bermanfaat lewat lisan mereka, menjadikannya terdengar indah pada pendengaran orang-orang sesat yang mendengarkannya, hingga syaithan berada dimanapun mereka berada.  Syaithan pun ikut bergabung bersama harta, anak-anak, dan isteri mereka.  Syaithan juga ikut makan, minum, bahkan bersetubuh bersama mereka.  Allah berfirman (artinya),
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan), maka sayithan itulah yang menjadi teman yang senantiasa menyertainya.  Dan sesungguhnya syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar (lurus) dan mereka menyangka mendapat petunjuk.”  
(QS. Az-Zukhruf;  36-37)
Orang-orang yang mempunyai jenis jiwa yang ketiga menyerupai hewan.  Jiwa mereka berorientasi kepada dunia dan kehinaan, tidak ada yang menjadi fokus perhatian mereka selain nafsu syahwat, dan mereka tidak menghendaki selain dari itu.
Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka tanda-tanda cinta juga berlaku pada masing-masing jenis jiwa, bergantung pada apa yang dia cintai dan dikehendakinya.  
Di antara tanda-tanda itu, ada yang langsung bisa diketahui.  Berikut kami uraikan tanda-tanda cinta, dan yang menjadi (faktor-faktor) pendukungnya.

Tanda-Tanda Cinta;
1.      1.  Menghunjamkan Pandangan Mata
Mata merupakan pintu bagi hati, yang juga mengungkapkan apa yang terkandung di dalam hati serta menyibak rahasia-rahasianya.  Dalam hal ini mata lebih mampu menyampaikannya daripada lidah (lisan).  Sebab indikasinya terjadi seketika itu juga, tanpa ada pilihan lain bagi pelakunya.  Sehingga, tidak mengherankan jika pandangan mata orang yang sedang jatuh cinta selalu terarah kepada orang yang dicintainya kamana pun dia pergi, seperti yang diungkapkan dalam syair,
Kuikuti arah pandangan kemana pun kau pergi
Tak seorang pun mampu menghalangi jalan yang kulalui
Bahkan di mata orang yang mencintai, kekasihnya itu ibarat patung (“duplikat”) dirinya, sebagaimana kepribadiannya yang selalu ada di hatinya, seperti ungkapan syair,
Aku heran mengapa ingatanku tertuju kepada mereka
Kuajukan pertanyaan padahal mereka ada di sisiku
Mataku mencari padahal mereka adalah kehitaman mataku
Hatiku merindu padahal mereka ada di antara tulang iga

2.       2. Malu-Malu Jika Orang yang Dicintai Memandangnya
Untuk itu dia hanya bisa menatap ke bawah – ke permukaan tanah, karena ia merasa sungkan terhadap orang yang dicintainya, dorongan perasaan malu dan karena keagungan orang yang dicintai.  Oleh karena itu, para raja menganggap lancang lawan bicaranya jika pembicara mengarahkan pandangan padanya.  Yang benar adalah, dengan cara memandang ke arah bawah.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kesempurnaan adab Rasul-Nya pada malam Isra’,
“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu, dan tidak pula melampauinya.”  
(QS. An-Najm;  17)
Ini merupakan gambaran adab.  Pandangan itu tidak boleh “liar” (jelalatan) ke kiri dan ke kanan, dan tidak pula memandang secara tajam.  Yang benar adalah, memandang lawan bicara sepintas-lalu.  Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang sedang shalat memandang ke arah langit dan mengancam siapa pun yang melakukannya, “Bahwa pandangan matanya bisa menjadi buta”.  Hal yang seperti ini mencerminkan kesempurnaan adab, apalagi orang yang sedang shalat itu berdiri di hadapan Allah.  Orang yang shalat harus berdiri tegap, menundukkan kepala, dan mengarahkan pandangannya ke tanah.  Kalau bukan karena keAgungan Allah di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit – tentu tak akan ada bedanya memandang ke atas maupun ke bawah.
Catatan penulis;
Cukup banyak manhaj menyimpang yang tidak meyakini keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya, atau menafsirkan (mentakwil) kata Istiwa (bersemayam) dengan makna “menguasai” (Istawla), seperti Manhaj Mu’tazilah,  Asy’ariyah, Maturidiyah, dan lain-lain.  Di Indonesia, para da'i yang kerap (gencar) menyuarakan paham menyimpang (dari keyakinan para Salaf Ash-Shalih) ini adalah Abdul Somad, Adi Hidayat dan orang-orang yang semacamnya.

3.      3.  Banyak Mengingat Orang yang Dicintai, Membicarakan, dan Menyebut Namanya
Siapa yang mencintai sesuatu, tentu dia banyak mengingatnya dengan hati maupun menyebutnya dengan lidah.  Oleh karena itu, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar mengingat-Nya dalam keadaan bagaimana pun, dan Allah telah memerintahkan kepada mereka untuk mengingat-Nya dengan gambaran yang paling ekstrim,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka berteguh-hatilah kalian dan sebutlah (Nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.”  (Al-Anfal;  45)
Orang yang jatuh cinta merasa bangga jika bisa menyebut orang yang dicintai tatkala berada dalam puncak ketakutan, atau tatkala berhadapan dengan musuh, sebagaimana yang dikatakan seseorang,
Kusebut diri-Mu tatkala anak panah siap menghunjam
Senjata-senjata yang lain juga datang berseliweran
Disebutkan juga di dalam syair yang lain,
Kusebut dirimu tatkala tombak berlontaran
Seperti lubang sumur yang diguyur susu hitam
Aku siap menangkap sabetan kilat pedang
seperti kilatan buah dadamu yang padat
Dalam sebagian atsar Ilahi disebutkan;  Sesungguhnya hamba-Ku adalah, setiap hamba yang menyebut-Ku”.  Tanda cinta yang sejati adalah, menyebut orang yang dicintai tatkala senang maupun susah.  Penyebutan yang menunjukkan cinta sejati ialah, menyibukkan diri dengan orang yang dicintai, dengan hati maupun dengan lidah, pertama kali saat terbangun dari tidur, dan terakhir kali menjelang tidur, sebagaimana yang dikatakan seseorang,
Kau-lah yang terakhir kusebut sebelum terlelap
Kau pula yang pertama kusebut setelah terjaga
Menyebut diri kekasih yang dicintai bukanlah karena sekian lama telah dilupakan.  Tetapi hal ini muncul dari dorongan yang kuat dari dalam jiwa orang yang sedang jatuh cinta.  Gambaran  penyebutan yang paling tinggi pada orang yang jatuh cinta;  Penanam cinta tentu akan menyiraminya dengan air penyebutan.  Penyebutan yang paling baik adalah yang keluar dari cinta.

4.       4. Tunduk terhadap Perintah Orang yang Dicintai dan Mendahulukannya daripada Kepentingan Diri Sendiri
Bahkan, tanda cinta ini adalah penyatuan kehendak orang yang mencintai dengan  yang dicintai.  Inilah penyatuan yang benar, bukan penyatuan seperti yang dikatakan orang-orang Nasrani (“Tiga dalam Satu”, pen.).  Tidak ada penyatuan kecuali penyatuan kehendak.  Penyatuan ini merupakan tanda cinta sejati.  Kehendak orang yang mencintai dan yang dicintai adalah satu.  Bukanlah dikatakan cinta sejati jika dia mempunyai kehendak yang berlawanan / berbeda dengan yang dicintainya.  Apalagi bila dia memiliki maksud tertentu (yang tidak disukai) orang yang dicintainya, dan tidak bermaksud untuk kepentingan yang dicintai tersebut.  Jika dia memang bermaksud untuk kepentingan orang yang dicintai, tentu dia tidak akan mendahulukan kepentingan pribadinya.
Orang yang mencintai itu ada 3 (tiga) macam;
1.       Orang yang memiliki keinginan tertentu dari orang yang dicintai (mis. materi).
2.       Orang yang berkeinginan terhadap (diri / tubuh) orang yang dicintai.
3.       Orang yang berkeinginan seperti keinginan orang yang dicintai.  Inilah tingkatan tertinggi dari orang yang mencintai.  Ini merupakah tingkatan zuhud yang paling tinggi, sebab dia mampu “meminggirkan” kehendak yang bertentangan dengan orang yang dicintai.  Jarak antara zuhud semacam ini dengan zuhud terhadap dunia lebih jauh daripada jarak antara bumi dan langit.  Sementara zuhud itu dapat dibagi menjadi 5 (lima) macam;
a.       Zuhud dalam masalah keduniaan.
b.      Zuhud  dalam masalah kejiwaan.
c.       Zuhud dalam masalah kedudukan
d.      Zuhud dalam masalah-masalah yang tidak dicintai.
e.      Zuhud dalam setiap kehendak yang bertentengan dengan kehendak orang yang dicintai.  Hal ini hanya bisa terwujud dengan mengikuti (Ittiba’) terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Allah berfirman (artinya),
Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian’.  Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (Ali-Imran;  31)
Allah menjadikan cinta kepada Rasul sebagai sebab kecintaan manusia terhadap Diri-Nya.  Keadaan manusia yang dicintai Allah lebih tinggi daripada keadaan orang yang mencintai Allah.  Jadi, yang penting bukan bagaimana engkau mencintai Allah, tetapi bagaimana agar engkau dicintai Allah.  Keta’atan terhadap yang dicintai merupakan topik cintanya, sebagaimana yang dikatakan dalam syair,
Kau durhakai Allah dan kau katakan mencintai-Nya
yang demikian itu mustahil bisa diqiyaskan dengan usaha
andaikan cintamu tulus tentu kau akan patuh pada-Nya
orang yang mencinta itu tentu patuh kepada yang dicintai

5.       5. Orang yang Mencinta Bersabar Menghadapi Gangguan Orang yang Dicintai
Bahkan kesabarannya dihadapan orang yang dicintai harus berubah menjadi ketaatan terhadapnya.  Sabar dalam menghadapi apa yang tidak disukainya, dan sabar dalam melaksanakan keputusannya merupakan kesabaran orang yang mencintai.  Sedangkan kesabaran yang disertai pemaksaan adalah kesabaran yang kosong.  Dikatakan dalam sebuah syair,
Pujian dikatakan terhadap kesabaran dimana pun jua
pemaksaan terhadap orang yang dicintai bukanlah pujian
Siapa yang tidak sabar menghadapi gangguan orang yang dicintai, bisa mengakibatkan kehilangan apa yang dicarinya.  Dikatakan dalam syair,
Betapa indah sebuah kesabaran
tatkala tak kulihat wajahmu yang menawan
jika suatu hari atau pada saat tertentu
dunia dijual, betapa tinggi harganya

6.       6. Memperhatikan Perkataan Orang yang dicintai dan Mendengarkannya
Di hatinya senantiasa ada ruang untuk mendengarkan perkataannya.  Jika ada perhatian terhadap sesuatu yang lain, berarti itu merupakan perhatian yang dipaksakan.  Dikatakan dalam syair,
Senantiasa kuperhatikan perkataanku
Agar aku tampak mengerti dengan pikiranku
Tatkala minim bicara pun, maka pembicaraan yang paling disukainya adalah membicarakan sesuatu tentang orang yang dicintai.  Terlebih lagi jika memang diajak berbicara, maka topik pembicaraannya tidak akan keluar dari yang dicintai, sebagaimana perkataan seseorang, “Tidak ada sesuatu yang paling disenangi orang yang sedang jatuh cinta, selain mendengarkan tentang sesuatu yang dicintai, karena memang itulah yang dicarinya.”  Oleh karena itu, tidak ada yang lebih disenangi orang yang jatuh cinta kepada Al-Qur`an selain dari mendengarkannya.  Telah disebutkan dalam Ash-Shahih, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadaku, “Bacakanlah Al-Qur`an kepadaku.”
Aku bertanya, “Adakah aku membacakannya kepadamu, padahal ia diturunkan kepadamu?”
Beliau bersabda, “Aku suka mendengarkannya dari orang lain, selain diriku.”
Maka aku membacakan kepada Beliau sejak permulaan surat An-Nisa’, hingga ayat (artinya),
“Maka bagaimanakah halnya (orang-orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap ummat, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka (sebagai) ummatnya?”  (An-Nisa’;  41)
Beliau bersabda, “Cukup sampai di situ!”
Aku mengangkat kepalaku memandang Beliau, ternyata kedua mata Beliau meneteskan air mata.”  (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)
Jika para Sahabat berkumpul, maka mereka menyuruh seseorang untuk membaca Al-Qur`an, dan mereka pun menyimaknya.
Setiap kali Umar bin Khaththab bertemu Abu Musa, maka dia berkata kepadanya, “Wahai Abu Musa, ingatkanlah kami kepada Rabb kami!”  Lalu Abu Musa membaca Al-Qur`an, dan boleh jadi Umar menangis.
Allah Yang berfirman dengan Al-Qur`an juga memasang Telinga dan mendengarkan bacaan yang bagus dan merdu, karena kecintaan-Nya mendengarkan firman-Nya dari bacaan itu, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Allah lebih bersemangat mendengarkan pembaca (Al-Qur`an) yang merdu suaranya daripada penyanyi yang menyanyikan lagunya.”  (Diriwayatkan Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Baihaqy)
Seorang penyair berkata,
Wahai hati, sibukkan dengan canda dan permainan
Sesungguhnya hatiku sedang menyimak dan mendengarkan

7.       7. Mencintai Tempat dan Rumah Sang Kekasih
Di sinilah letak rahasia seseorang yang menggantungkan hatinya untuk mencintai Ka’bah dan Al-Baitul Haram, untuk bisa berdekatan dengan sesuatu yang dicintai, dia rela meninggalkan Negara dan orang-orang yang dicintainya.  Perjalanan yang berat pun terasa ringan dan menyenangkan.  Tidak sedikit bahaya yang mengancam dan kesulitan yang menghadang.  Dia terus berusaha untuk berdekatan dengannya, seakan-akan yang hendak dicapainya itu berada di pelupuk mata.
Kuhampiri diri-Mu seakan-akan Kau ada di pelupuk mata
kutapaki jalan sekalipun jarak jauh tak terkira
Rahasia cinta ini adalah pengaitan Rabb dengan Ka’bah, dengan makna firman-Nya,”Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang berthawaf”  (Al-Hajj;  26)
Seorang penyair berkata,
Aku menjadi pengagung kala kukaitkan diriku dengan diri-Mu
aku menjadi tinggi tanpa orang lain yang berkait denganku
Apa pun yang berkaitan dengan yang dicintai tentu akan menjadi barang kecintaan.  Seperti makna firman-Nya,
“Dan bahwa tatkala hamba Allah itu (Muhammad) berdiri menyembah-Nya...”  (Al-Jinn;  19)
“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.”  (Al-Isra’;  1), dan lain-lain.

8.      8.  Segera Menghampiri yang Dicintai
Jalan yang bisa mengantarkannya kepada orang yang dicintai akan selalu ditempuh, dia berusaha agar bisa berdekatan dan berduaan dengannya, siapa pun yang memotong jalannya akan dipotong, kesibukannya dia tinggalkan, dan menyukai cara apa pun yang bisa mendekatkannya pada orang yang dicintai,
Kan kujalani jika Kau menyuruhku terjun ke api
jika itu yang Kau kehendaki dan mendekatkan badan
kuhampiri dirimu dan kuayunkan langkah kaki
itu petunjuk-Mu ataukah sengaja untuk menyesatkan

9.       9. Mencintai Apa pun yang Dicintai Sang Kekasih
Apa-apa yang dicintai itu bisa saja tetangga, pembantu, dan siapa pun yang ada kaitan dengan orang yang dicintai, termasuk pula pekerjaan, profesi, gelas, bejana, makanan, dan pakaian yang disenanginya.  Dikatakan dalam sebuah syair,
Kucintai Bani Al-Awwam dengan cinta yang bercahaya
untuk itu kucintai pula anjing-anjing di sekitarnya
Dalam cerita cinta orang-orang yang jatuh cinta disebutkan, bahwa ada seseorang yang juga mencintai model celana yang dicintai kekasihnya.  Sehingga dalam daftar harta warisannya ditemukan sepuluh kantong yang berisi celana yang seperti itu.  Ada pula orang yang sangat menyukai lumpang (tempat untuk menumbuk), karena didorong suara lumpang yang ditumbuk kekasihnya.  Sehingga dalam daftar harta warisannya ditemukan sekian banyak lumpang peninggalannya.  Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyenangi labu, karena dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu memandang ke arah hidangan labu dalam mangkuk.

   10. Jalan yang Dilalui Terasa Pendek Sekalipun Panjang Saat Mengunjungi Orang yang Dicintai
Sebaliknya, jalan yang dilalui setelah kembali dari tempat orang yang dicintai terasa panjang sekalipun sebenarnya pendek.  Dikatakan dalam sebuah syair,
Jika malam-malam aku mengunjunginya
kulihat jalan yang jauh serasa dekat di mata
Penyair yang berkata,
Jalan terasa dekat tatkala kukunjungi kalian
dan terasa jauh saat aku kembali pulang

1      11. Salah Tingkah Jika Sedang Mengunjungi Orang yang Dicintai atau Bila Dikunjunginya
Keadaan serupa juga dialami orang yang sedang jatuh cinta, jika dia berpisah dari orang yang dicintai,
Dia menemuiku dan aku pun salah tingkah karenanya
karena kecemasanku ada di dalam genggamannya
kegembiraanku sirna tatkala dia telah berlalu
karena dia menguasai semua kirimanku
Sebagaimana yang telah diketahui, orang yang jatuh cinta tidak memiliki kegembiraan dan kesenangan kecuali jika bersua dengan orang yang dicintai.  Berarti terpisah darinya merupakan siksaan baginya.

   12. Kaget dan Gemetar Tatkala Berhadapan dengan Orang yang Dicintai atau Tatkala Mendengar Namanya Disebut
Terlebih lagi bila dia melihatnya sekonyong-konyong, atau tiba-tiba saja muncul dihadapannya, sebagaimana dikatakan syair,
Aku berpapasan dengannya secara tiba-tiba
aku pun terhenyak tak tahu apa yang harus dikata
aku menata pikiran semenjak semula
dan kuingat apa yang semestinya kulakukan jika ia tiada
Penyair lain berkata,
Tatkala dia tiba-tiba melihat kehadirannya
kedua kakinya gemetar tak kuasa menahannya
Ada perbedaan pendapat manusia tentang apa yang menyebabkannya gemetar.  Ada yang mengatakan karena sang kekasih telah menguasai hatinya, yang jauh lebih kuat daripada kekuasaan raja terhadap rakyatnya.  Hati manusia sudah barang tentu mengagungkan kekasihnya dan tunduk kepadanya.  Ada pula yang berpendapat, karena hatinya menjadi mekar dan berbunga-bunga, sehingga darah menyingkir dari hati, lalu menjadi dingin dan gemetaran – bahkan bisa menyebabkan kematian.
Yang pasti, kembali lagi kami katakan bahwa ini adalah masalah perasaan yang sulit ditelusuri sebab-musababnya.

1     13. Cemburu kepada Orang yang Dicintai
Rasa cemburunya akan bangkit, jika kekasihnya dijahati dan dirampas haknya.  Ini merupakan kecemburuan yang sesungguhnya dari orang yang sedang jatuh cinta.  Semua masalah agama juga termasuk masalah yang harus dicemburui.
Orang yang paling kuat agamanya adalah orang yang paling kuat rasa cemburunya. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits shahih (artinya),
“Apakah kalian heran terhadap kecemburuan Sa’d?  Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d, dan Allah lebih cemburu daripada aku.”  (Diriwayatkan Syaikhany)
Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya cemburu kepada Allah dan Rasul-Nya, tergantung kepada besarnya cinta dan pengagungan.  Jika hatinya tidak memiliki kecemburuan  terhadap Allah dan Rasul-Nya, berarti di hatinya tidak ada cinta, sekalipun dia mengaku mencintai Keduanya.  Orang yang membual mencintai kekasih, padahal dia mengetahui kehormatan kekasihnya telah dilanggar, haknya dirampas, dan membuatnya murka, maka dia adalah seorang pembohong besar, karena dia tidak cemburu kekasihnya diperlakukan seperti itu.  Hatinya dingin.  Bagaimana mungkin seseorang mengaku mencintai Allah, sementara dia tidak cemburu tatkala hak-hak Allah dirampas, dilanggar, dan diabaikan?  Gambaran orang cemburu yang paling buruk ialah, jika ia cemburu karena dorongan hawa nafsu dan karena bisikan syaithan, lalu dia cemburu kepada kekasihnya dengan cara berbuat semena-mena, dan mendurhakainya.
Jika cemburu ini lenyap dari hati, berarti cintanya juga pergi.  Jika ketidak-cemburuan ini ada dalam masalah agama, berarti agamanya juga lenyap sama sekali, meskipun pada dirinya masih terlihat sisa-sisa kecemburuan itu.
Kecemburuan inilah yang menjadi dasar jihad, pelaksanaan Amar ma’ruf dan Nahi Mungkar (Mengajak kepada kebaikan, dan mencegah dari kemungkaran).  Karena dari sinilah lahir kecemburuan terhadap Rabb-nya.  Oleh sebab itu Allah menjadikan jihad sebagai tanda cinta kepada-Nya, seperti makna firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.  Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  (Al-Maidah;  54)
Kecemburuan kepada kekasih adalah sesuatu yang terpuji, jika kecemburuan itu dikhususkan padanya, dan tercela menurut syariat dan akal bila terdapat persekutuan di dalamnya (syirik).
(Baca artikel, SYIRIK)
1     14.  Berkorban untuk Mendapatkan Keridhaan Orang yang Dicintai
Orang yang sedang jatuh cinta rela berkorban menurut kesanggupannya demi keridhaan orang yang dicintai, bukan sekedar menikmati cinta itu.  Keadaan orang yang jatuh cinta dalam masalah ini ada 3 (tiga) macam;
         Awalnya pengorbanan itu terasa berat dan membebani. 
         Tetapi jika cinta itu semakin kuat, maka pengorbanan itu dilakukan secara suka rela dan penuh keridhaan. 
         Jika cinta itu telah tertanam di dalam hati secara mantap, maka pengorbanan itu sudah menjadi tuntutan dan permintaan, yang seakan-akan  merupakan sesuatu yang harus diberikan kepada orang yang dicintai.  Bila perlu mengorbankan nyawanya demi orang yang dicintai, seperti pengorbanan para Sahabat tatkala melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan, sekalipun mereka harus mati dan bergelimpangan di sekeliling Beliau.  Disebutkan dalam sebuah syair,
Kupunya sekeping hati yang ditebari cinta
karena cinta dia rela menghadapi penyiksa
cinta menebus dirimu dengan pengorbanan jiwa
kan kutebus pula dengan sesuatu di atas jiwa
Barangsiapa lebih mementingkan orang yang dicintai, apa pun akan dikorbankannya untuk kepentingan orang yang dicintai itu.  Allah berfirman (artinya),
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang mukmin (beriman) daripada diri mereka sendiri.”  (Al-Ahzab;  6)
(Baca juga artikel, “Ce – i... Ci + eN, Te – a... Ta, Cinta”)
Kedudukan iman mereka belum dianggap mantap, kecuali menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang paling mereka cintai, lebih besar daripada cinta mereka terhadap diri sendiri, apalagi cinta kepada anak dan isteri serta bapak-bapak mereka, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman, sehingga aku menjadi orang yang lebih dicintainya daripada anak dan bapaknya, serta sekalian manusia.”  (Diriwayatkan Asy-Syaikhani, An-Nasa’y, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Jika begini gambaran cinta manusia kepada Rasul Allah, lalu bagaimana dengan cinta mereka terhadap Allah?  Jenis cinta ini tidaklah layak diberikan kecuali terhadap Allah dan Rasul-Nya, baik menurut timbangan syariat maupun menurut timbangan kemanusiaan (tabiat manusia).  Jika ada seseorang yang lebih mementingkan cintanya terhadap diri sendiri dan hartanya berarti itulah hakikat (tujuan) cintanya.  Cinta kepada tujuan tersebut mendorongnya mengorbankan kepentingan lain - demi diri sendiri dan hartanya, bukan cinta kepada dzatnya, tetapi cinta terhadap tujuannya.  Apa yang dicintainya ini merupakan gambaran tersendiri, dan jenis cintanya juga mempunyai gambaran tersendiri pula.  Sedangkan cinta terhadap Allah tidak mempunyai gambaran tersendiri (dia bersifat baku dan berlaku umum, persis seperti yang diajarkan Rasul-Nya, pen.).  Oleh karena itu para Sahabat memasrahkan diri dan harta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berkata, “Ini harta benda kami, ada di hadapan Engkau.  Maka berilah keputusan tentang harta itu, terserah menurut kehendak Engkau.  Dan ini diri kami ada di hadapan Engkau.  Andaikan Engkau membentangkan lautan di hadapan kami, tentu kami akan mengarunginya, siap bertempur di depan dan di belakang Engkau.” 
Qais bin Shirmah Al-Anshary berkata dalam syairnya,
Ada beberapa orang di tengah kaum Quraisy pergi haji
mereka mengingatkan andaikan di sana bertemu kekasih hati
mereka menawarkan diri kepada penduduk di sana
namun tiada yang mau mengajak dan tiada yang mau menerima
tatkala mendatangi kami dan ada bibit hubungan
muncul rona kegembiraan keridhaan pada kebaikan
kami rela mengorbankan harta yang ada dan jiwa
saat peperangan berkecamuk atau tatkala mereda
kami memusuhi siapa pun yang memusuhi
jika memang itu yang dikehendaki kekasih hati
kami tahu bahwa tiada Allah selain-Nya
dan Rasul Allah adalah pembawa petunjuk-Nya

1     15.  Menyenangi apa pun yang Menyenangkan Orang yang Dicintai
Jika ada sesuatu yang membuat kekasihnya benci, maka sesuatu itu tak ubahnya seperti obat yang tak disukai.  Dia tidak menyukai obat itu, namun terpaksa harus meminumnya karena obat itulah yang membuatnya sembuh.  Begitu pula keadaan orang yang jatuh cinta bersama orang yang dicintai.  Dia senang terhadap sesuatu yang disenangi kekasihnya, sekalipun dia tidak menyukainya.  Sedangkan orang yang bersikukuh dengan sesuatu yang disenanginya - sekalipun tidak disenangi kekasihnya, maka itu bukanlah cinta sejati.  Itu adalah cinta yang cacat, sampai dia menyenangi sesuatu yang disenangi kekasihnya.  Jika cinta semacam ini berlaku untuk cinta terhadap yang lain, maka diri orang yang dicintai itu lebih penting dari segala sesuatu,
Hawa nafsuku berhenti karena kehadiranmu
ku tak berani mendahulukan atau mengakhirkannya
kau tundukkan aku dan kutundukkan diriku
hingga tiada lagi orang yang menghinamu
kau laksana musuhku namun tetap mencintai mereka
kedudukanmu di mataku seperti kedudukan mereka jua
mencintai dirimu adalah sebuah kenikmatan
aku tak peduli orang yang suka menghinakan
Penyair lain berkata,
Jika ada yang mencemooh karena cintaku padamu
Aku tetap senang dengan perasaan yang ada di hatiku
Yang serupa dengan ini adalah pernyataan Ahmad bin Al-Husain dalam syairnya,
Wahai orang yang senang jika aku berpisah dengannya
kebersamaan kami adalah segala-galanya tak ada duanya
jika rahasia dirimu seperti ucapan orang yang dengki
apalah artinya luka jika kau lebih suka benci di hati
Demi Allah!  Semua pernyataan ini hanya sekedar “Isapan jempol”, yang tidak memiliki hakikat.  Orang yang bersikap jujur tentu akan mengatakan pengetahuan dan kehendaknya, bukan tentang keadaan dan sifatnya.
Benar apa yang dikatakan seorang penyair,
Mereka ridha terhadap angan-angan dan diuji keadaan
mereka mengarungi lautan cinta, mengakui apa yang dicobakan
mereka gembira tiada beranjak dari tempatnya semula
mereka tak segera berjalan sekalipun tiada lagi beban
Jika ini perkataan orang yang mengalaminya sendiri, berarti dia pula yang mengarungi lautan cinta serta cobaan yang menghadangnya, lalu dia mengabarkan keadaan dirinya yang mampu menyingkap tabir penghalang itu, lalu mencari pengawal untuk membawanya kepada Rabb-nya.  Benar apa yang dikatakan seseorang,
Jika seperti ini kedudukanku dalam cinta
berarti aku telah menyia-nyiakan hari sekian lama
angan-angan telah kugapai setelah sekian lama
hari ini kukira ia hanya angan-angan semata
Inilah keadaan orang yang mencintai Allah yang disertai kecintaan kepada selain-Nya.  Sampai di sini, boleh jadi dia masih bisa bersabar.  Namun lama-kelamaan hakikatnya akan terkuak dengan sendirinya, ternyata dia telah tertipu dan terpedaya oleh suatu angan-angan.  Sepanjang hayat dia mendapatkan dan mengharapkan apa yang diangan-angankannya.  Namun di kemudian hari dia merasa menyesal dan merugi.  Seperti makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka (telah) melihat siksa, dan ketika segala hubungan di antara mereka terputus sama sekali.  Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, ‘Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami (pada hari ini).’  Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatan mereka menjadi penyesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api Neraka.”  (Al-Baqarah;  167-168)
Penyebab terputusnya apa yang diangan-angankan itu adalah Cinta, dan kesenangan terhadap segala sesuatu selain Allah, atau mencintai sesuatu bukan karena Allah.  Inilah yang akan dibawa manusia ke hadapan Allah, lalu Allah menjadikannya bagaikan debu yang berterbangan.  Setiap cinta untuk selain Allah akan menjadi siksaan bagi pelakunya serta penyesalan di kemudian hari, kecuali kecintaan terhadap sesuatu yang bisa mengantarkan (sarana) cinta kepada-Nya dan membantu ketaatan kepada-Nya.  Inilah yang akan tetap bertahan di dalam hati hingga Hari Kiamat, tatkala semua rahasia terbongkar, sebagaimana yang dikatakan penyair,
Di relung hati kalian akan tetap terjaga
rahasia cinta tatkala dikuakkan segala cinta
Yang lain berkata,
Jika kau perlihatkan ciri-ciri cinta mereka
orang yang jatuh cinta punya ciri yang tak tampak
jika kau putus tali cinta saat itu pula
orang yang jatuh cinta punya tali yang tak putus

1     16. Suka Menyendiri
Berarti orang yang jatuh cinta juga suka menjauhi orang lain.  Seakan-akan cintanya menuntutnya untuk berbuat seperti itu.  Tidak ada yang lebih terasa manis bagi orang yang jatuh cinta dengan cinta yang sejati selain dari menyendiri, terlebih lagi bila dia merasakan bahwa dengan cara itu membuatnya lebih dekat dengan kekasihnya.  Sehingga dia tidak menyukai orang ketiga yang mengusik kebersamaan itu.
Karena rahasia seperti inilah Allah (dan Allah lebih mengetahui segala urusan) memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghalau orang lain yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat.  Bahkan jika perlu, orang yang lewat tersebut boleh di bunuh jika dia menolak untuk dihalau.  Beliau juga mengabarkan, bahwa andaikata orang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat itu (tanpa shutrah (pembatas), pen.) mengetahui dosa yang bakal dipikulnya, tentu lebih baik baginya untuk menunggu 40 (empat puluh), daripada harus memaksakan lewat di hadapannya.[1]
Tidak ada yang merasakan derita dan gangguan karena ada orang yang lewat di depannya, kecuali orang yang menyadari benar-benar berada di hadapan Kekasih-nya.  Sehingga rasa cemburunya langsung terusik.  Adanya orang yang lewat di antara dia dan Rabb-nya seperti kemarahan seseorang karena ada orang ketiga yang mengganggu kebersamaannya dengan orang yang dicintai.  Ini adalah masalah yang lumrah, yang tidak bisa dipungkiri perasaan manusia.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat bisa melenyapkan separuh pahalanya.”  Perkataan serupa juga disebutkan  Al-Imam Ahmad.
Saya (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah) pernah diberitahu Taqiyyudin bin Syakir, dia berkata, “Suatu hari Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyah keluar rumah, dan saya membuntutinya.  Setibanya di tengah padang pasir, yang tak seorang manusia pun di sana dan tak ada yang melihatnya, tiba-tiba dia melontarkan ucapan seorang penyair,
Kutinggalkan rumah dengan membawa sebuah angan-angan
siapa tahu aku dapat berbincang dengan hati-Mu sendirian
Kesendirian orang yang jatuh cinta bersama kekasihnya adalah tujuan dari angan-angannya.  Siapa tahu dia benar-benar dapat berduaan dengannya, seandainya pun tidak, dia bisa menyendiri dengan rahasia hatinya.
Orang yang jatuh cinta harus berkata seperti perkataan Yusuf ‘Alahissalam kepada saudara-saudaranya,
“Jika kalian tidak membawanya kepadaku, maka kalian tidak akan mendapat sukatan lagi dariku, dan janganlah kalian mendekatiku.”  (Yusuf;  60)

Dikatakan dalam sebuah syair,
Jika kekasih hatiku di tengah kalian tidak terlihat
biar tak kupandang wajah kalian atau kutidur di liang lahat

1     17. Tunduk dan Patuh kepada Orang yang Dicintai
Sebab, cinta itu didasarkan kepada ketundukan.  Orang yang terpandang pun tidak akan memandang hina orang yang tunduk kepada kekasihnya, tidak menganggapnya sebagai kekurangan atau aib.  Bahkan banyak orang yang menganggapnya sebagai sebuah kehormatan, sebagaimana yang dikatakan dalam syair,
Jika engkau menghendaki kekasih dan tak pasrah
ucapkan kepadanya selamat tinggal untuk berpisah
tunduklah kepada kekasih untuk beroleh kehormatan
berapa banyak kehormatan diperoleh karena ketundukan
Dikatakan pula oleh yang lain,
Aku heran karena ketundukanku padamu
aku tak heran jika aku tunduk tanpa cinta
Selagi ketundukan dan cinta telah bersenyawa, maka muncullah penghambaan, sehingga hati orang yang jatuh cinta menjadi hamba kekasihnya.  Namun rentetan ini tidak berlaku bagi manusia, hanya berlaku bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala saja.

1     18. Helaan Nafas yang Panjang dan Kerap terjadi
Helaan nafas panjang seperti ini ada 2 (dua) keadaan,
1.       Karena susah dan sedih, seperti yang dikatakan penyair,
Berapa banyak malam yang terasa lebih panjang
dari helaan nafas cinta yang terputus talinya
Dan dikatakan pula,
Helaan nafas orang jatuh cinta yang bertubi-tubi
pertanda derita cinta yang terpendam di relung hati
detak-detak cinta menghentak dinding sanubari
menghela nafas panjang untuk mengusir tabiat di hati
2.       Karena gembira dan senang
Penyebab dua keadaan ini adalah, karena penyempitan dan pembengkakan “hati” (jantung) sehingga menimbulkan helaan nafas panjang yang menekan paru-paru (agar mengambil oksigen lebih banyak, pen.).  Ini adalah helaan nafas panjang karena keadaannya yang tertekan, sehingga menimbulkan dorongan udara di dalam paru-paru untuk mencari jalan keluar.

   19. Menghindari Hal-hal yang Merenggangkan Hubungan dengan Orang yang Dicintai atau yang Membuatnya Marah
Sebaliknya, orang yang jatuh cinta akan melakukan apa pun yang dapat mendekatkannya dengan orang yang dicintai, dan memujinya jika sudah melihatnya.  Dalam masalah ini banyak keanehan yang dilakukan orang yang sedang jatuh cinta.  Banyak di antara mereka yang meninggalkan suatu makanan, pakaian, tempat tinggal, pekerjaan, atau kondisi tertentu yang tak disukai orang yang dicintainya dan tak mungkin dilakukan.  Banyak juga di antara mereka yang mencari kelebihan dan keutamaan yang bisa mengangkat pamornya di mata sang kekasih, dan membuat sang kekasih semakin mencintainya.  Masalah ini juga ada 2 (dua) macam;
Pertama;  Ada respon dari orang yang dicintai, sehingga orang yang jatuh cinta berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh gambaran puncak dari apa yang bisa diperbuat menurut kesanggupannya.  Jika orang yang dicintai merasa respek terhadap usaha itu, maka inilah yang diprioritaskan, sehingga ia berusaha lebih bersemangat dari orang yang dicintai.  Jika orang yang dicintai merasa respek terhadap ilmu, maka orang yang jatuh cinta akan berusaha menggali ilmu, lebih dari usaha yang dilakukan orang yang dicintainya.  Jika orang yang dicintai respek terhadap suatu pekerjaan atau profesi, maka orang yang jatuh cinta tersebut akan berusaha mempelajari profesi yang ditekuni orang yang dicintainya (selama hal itu memungkinkan baginya).  Jika orang yang dicintai merasa respek terhadap kisah, cerita, dan hikayat yang bagus-bagus, maka orang yang jatuh cinta akan memperhatikan kisah-kisah yang menarik hati pasangannya.  Cinta yang bermanfaat adalah, yang bisa mendorongmu dalam pencarian kesempurnaan.  Akan tetapi, bencana yang mengerikan akan menimpamu jika engkau dihinggapi cinta yang tidak mendatangkan kebaikan sama sekali.
Kedua;  Tidak ada respon dari orang yang dicintai, sedangkan cinta tetap membara di hati orang yang mencintai, sementara dorongan ambisi dan kehendak guna menaikkan pamornya di mata orang yang dicintai tetap ada.  Oleh karena itu, dia justru akan semakin bersemangat melakukan apa yang bisa dilakukannya.  Dikatakan dalam sebuah syair,
Dia lakukan kebajikan agar menjadi mulia
dan tabiatnya tampak terpuji di hadapan Laila
Boleh jadi di sana ada sebab lain, seperti kebencian orang-orang kepadanya, atau mereka menganggapnya kurang sempurna serta merendahkannya.  Sehingga keadaan ini akan mendorongnya agar tampak hebat di hadapan orang yang dicintai, cemburu terhadapnya, atau ingin bersaing untuk meraih simpatinya.

   20. Adanya Kecocokan antara yang Mencintai dengan yang Dicintai
Terlebih lagi jika cinta itu tumbuh disebabkan adanya rasa kecocokan kedua belah pihak.  Tidak jarang orang yang mencintai jatuh sakit karena orang yang dicintainya juga sakit, dan berbuat seperti yang diperbuatnya, sementara kedua pihak tidak menyadarinya.   Orang yang dicintai mengucapkan suatu perkataan, lalu pada lain kesempatan orang yang mencintai mengucapkan perkataan yang serupa secara persis.
Perhatikan dialog antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Umar bin Khatthab radhiyallahui ‘anhu saat peristiwa Al-Hudaibiyah.  Umar bertanya, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebathilan?”
Beliau menjawab, “Benar.”
Umar bertanya lagi, “Lalu atas dasar apa kita menimpakan kehinaaan terhadap agama kita?”
Beliau menjawab, “Aku adalah Rasul Allah.  Dia adalah penolongku, dan aku tidak akan mendurhakai-Nya.”
Umar bertanya lagi, “Bukankah telah Engkau katakan, bahwa kita akan mendatangi Ka’bah dan Thawaf di sekelilingnya?”
Beliau bertanya balik, “Bukankah sudah kukatakan padamu, bahwa engkau bisa mendatanginya tahun depan?”
Umar menjawab, “Kalau begitu tentu Engkau akan mendatanginya dan berthawaf di sekelilingnya.”
Tak lama kemudian Umar mendatangi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan bertanya kepadanya, “Wahai Abu Bakar, bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebathilan?”
“Benar”, jawab Abu Bakar
Umar bertanya, “Atas dasar apa kita menimpakan kehinaan terhadap agama kita dan kita kembali, padahal Allah belum memutuskan perkara kita?”
Abu Bakar menjawab, “Beliau adalah Rasul Allah.  Allah tentu akan menolongnya dan Beliau tidak akan mendurhakai-Nya.”
Kemudian Abu Bakar bertanya lagi, “Bukankah Beliau sudah memberitahukan, bahwa kita akan mendatangi Ka’bah pada tahun depan dan berthawaf di sana.”
Abu Bakar menjawab persis seperti jawaban yang pernah diberikan Rasulullah, kata per kata tanpa disadari dan diketahuinya.  Hal ini terjadi Karena adanya kecocokan antara yang mencintai dan yang dicintai.  Begitulah yang disebutkan dalam Ash-Shahih Al-Bukhary.  Di dalam sebagian keterangan disebutkan bahwa, pertama-tama Umar mendatangi Abu Bakar yang berkata seperti itu, lalu Umar mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ternyata Beliau memberikan jawaban yang sama seperti jawaban Abu Bakar.  Sehingga jawaban mereka berdua seakan-akan keluar dari satu misykat.
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tingkat kesabaran yang tinggi dan ketabahan dalam menghadapi Qadha'  yang telah digariskan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, maka Allah menganugerahkan kepada Beliau;
1.       Ampunan terhadap semua dosa, yang akan datang maupun yang telah lampau.
2.       Kesempurnaan nikmat yang dianugerahkan kepada Beliau.
3.       Diberitahukan jalan yang lurus.
4.       Diberikan kemenangan yang gemilang.
Di sisi lain, Umar juga memiliki kecocokan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beberapa permasalahan, sehingga beberapa kali turun wahyu (ayat) yang menegaskan (menguatkan) ucapan Beliau.  Kecocokan ini sedemikian kuat, sehingga seakan-akan orang yang mencintai tahu banyak tentang keadaan orang yang dicintai, sekalipun tempatnya berjauhan.  Ini hanya sekedar hubungan kehendak dan tujuan hati, sehingga kehendak mereka berdua sama persis.  Sehingga, boleh jadi kecocokan ini juga disertai dengan kecocokan dan kesesuaian rupa, maka itulah kecocokan yang paling sempurna.

oOo

(Diringkas dan disadur dari kitab, “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)

[1] Hadits tentang ini diriwayatkan Asy-Syaikhani, Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa’y, dan Ibnu Majah.
(Tentang sebutan “empat puluh” itu sendiri hanya sekedar penegasan tentang besarnya masalah ini.  Jadi, tidak menunjukkan kekhususan bilangan (satuan, pen.) tertentu, seperti dalam menafsirkan setiap bilangan yang acap kali disebutkan dalam berbagai nash Al-Qur'an maupun hadits, pent.)
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar