بسم الله الر حمان الر حيم
Kenikmatan, kegembiraan, kesenangan, kenyamanan,
dan ketenangan merupakan kata-kata yang bersinonim maknanya, yang secara umum
merupakan perkara yang dicari (dituntut) oleh jiwa-jiwa manusia, bahkan merupakan
tujuan setiap makhluk hidup.
Kenikmatan
adalah mendapatkan apa yang cocok dengan jiwa, sedangkan penderitaan adalah
mendapatkan (menemui) apa yang meleset dari keinginan, harapan, cita-cita, dan
tujuan hidup manusia. Jadi, mendapatkan
apa yang cocok merupakan kenikmatan, dan mendapatkan apa yang meleset merupakan
sebab-sebab penderitaan. Kenikmatan dan
penderitaan itu muncul akibat mendapatkan apa yang cocok dan meleset. Mendapatkan itu sendiri merupakan sebab datangnya kenikmatan atau penderitaan. Kenikmatan
merupakan sesuatu yang lebih ril dari sekedar definisi dengan kata-kata, karena
kenikmatan itu merupakan perkara perasaan.
Yang bisa didefenisikan adalah sebab-sebab dan hukum-hukumnya.
Kenikmatan,
kegembiraan, kesenangan, ketenangan, dan kenyamanan tersebut merupakan sesuatu yang dicari,
bahkan merupakan tujuan setiap makhluk hidup, yang sangat dibutuhkan dalam
dimensi yang berbeda-beda. Sama halnya
dengan kedudukan indera dan ilmu-ilmu aksiomatis (ilmu yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa
pembuktian) sebagai dasar dan pendahulu.
Setiap makhluk hidup tentu memiliki Ilmu dan Indera, memiliki tindakan
dan kehendak. Semua ilmu manusia tidak
boleh hanya sekedar Ilmu Argumentatif, karena ketiadaan korelasi dan rotasi (“hubungan
sebab dan akibat”, pen blog.). Tetapi setiap
manusia harus mempunyai ilmu yang awalnya bersifat aksiomatis, serta memberikan kepastian pada jiwa. Karena itulah
ilmu tersebut aksiomatis dan principal, termasuk sesuatu yang (mampu) memberi
ketetapan dan ketenangan kepada jiwa, yang disebut Kebutuhan Pokok. Adakalanya jiwa itu secara mutlak membutuhkan
ilmu, dan terkadang juga membutuhkan tindakan.
Begitu pula
tindakan inisiatif yang memang dikehendakinya, yang disebut kehendak. Kehendak ini bisa untuk kepentingan diri
sendiri, dan bisa juga untuk orang lain.
Tidaklah mungkin semua kehendak diperuntukkan bagi orang lain, agar ada korelasi
dan rotasi (“hubungan sebab-akibat”).
Di sana pasti ada sesuatu yang dikehendaki, dicari, dan dicintai bagi dirinya
sendiri. Jika apa yang dicari,
dikehendaki, dan dicintai itu tercapai, maka kenikmatan, kegembiraan,
kesenangan, ketenangan, dan kenyamanan jiwa yang dirasakan setelahnya (bergantung
kepada seberapa kuatnya kadar cinta dan kehendak). Ini adalah masalah perasaan, masalah
sanubari. Sebab, dengan adanya sesuatu
yang dikehendaki dan dicari di dalam perasaan dan sanubari, tentu akan
mendatangkan ("melahirkan") kegembiraan dan kesenangan.
Kenikmatan
yang Dicela dan Dipuji, Kenikmatan Sementara dan Kenikmatan Abadi;
Jika
kenikmatan yang dicari itu untuk diri sendiri, lalu mengakibatkan penderitaan
yang lebih besar atau menghalangi
kenikmatan lain yang jauh lebih baik dan kekal, maka itu adalah kenikmatan yang
tercela (menipu). Namun, kenikmatan itu dipuji
jika ia bisa membantu mengantarkan kepada kenikmatan yang abadi dan kekal, yang
tiada lain adalah kenikmatan di kampung Akhirat, yang kenikmatannya lebih baik
dari segala macam jenis kenikmatan serta lebih kekal. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
(artinya),
“Dan
Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan, sesungguhnya pahala akhirat itu lebih
baik bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” (Yusuf;
56-57), dan
“Orang-orang
yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan, sesungguhnya kampung akhirat adalah
lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang-orang yang bertakwa.” (An-Nahl;
30), dan
“Tetapi
kalian (orang-orang yang berbuat kufur) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik
dan lebih kekal.” (Al-‘Ala; 16-17), dan
“Dan
akhirat itulah sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut;
64), dan
“...Maka
putuskanlah apa (pun) yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya dapat memutuskan pada
kehidupan dunia ini (saja).” (Thaha; 72)
Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan manusia
untuk kepentingan Kampung Akhirat yang abadi, dan menjadikan semua bentuk kenikmatan
ada di sana. Seperti makna firman-Nya,
“Dan
di dalam Surga itu terdapat segala apa yang dinginkan hati dan sedap
(dipandang) mata.” (Az-Zukhruf; 71),
“Seseorang
pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan bagi mereka, yaitu (berbagai macam
kenikmatan) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan (di dunia).” (As-Sajdah; 17)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Allah
berfirman, ‘Aku telah menyediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih apa-apa
yang belum (pernah) dilihat mata, dan didengar telinga, serta tidak (pernah)
terlintas di hati manusia, tidak seperti yang pernah kalian lihat.'” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan
At-Tirmidzy)
Inilah tujuan yang hendak dicapai seorang mukmin
(beriman) yang suka berkompetisi dan memperingatkan / menasihati kaumnya, sebagaimana yang dijelaskan Allah,
“Wahai
kaumku, ikutilah aku. Aku akan
menunjukkan kepada kalian jalan yang benar.
Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan di dunia ini hanyalah kesenangan
(sementara), dan sesungguhnya Akhirat itulah negeri yang kekal.” (Al-Mukmin;
38-39)
Allah
mengabarkan, bahwa dunia ini hanyalah kesenangan sementara, yang boleh
dinikmati guna mendapatkan kesenangan di kampung yang lain. Sedangkan Akhirat adalah tempat kembali yang
abadi dan merupakan tujuan.
Kenikmatan
Sementara dan Kenikmatan Abadi;
Jika telah
diketahui, bahwa kenikmatan dunia merupakan perhiasan dan sarana untuk
mendapatkan kenikmatan akhirat, maka perhiasan itu pun diciptakanlah, seperti
yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Dunia
ini hanyalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita
shalihah.” (Diriwayatkan Muslim, Ahmad dan An-Nasa’i)
Setiap kenikmatan yang bisa membantu kenikmatan
Akhirat adalah kenikmatan yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Pelakunya bisa menikmatinya, yang
bisa dilihat dari dua sisi;
1. 1. Karena
adanya kenikmatan dan kesenangannya terhadap kenikmatan itu.
2. 2. Karena dia
mendapatkan keridhaan Allah, dan sebagai jalan untuk mendapatkan kenikmatan yang
lebih sempurna lagi.
Inilah
kenikmatan yang harus diupayakan setiap orang yang berakal, bukan merupakan
kenikmatan yang justru berakibat (mendatangkan) penderitaan, dan tidak
mendapatkan kenikmatan yang lebih besar.
Oleh karena itu, orang-orang mukmin mendapatkan pahala dari hal-hal yang
mubah (boleh) yang dinikmatinya di dunia – jika dimaksudkan (diniatkan) untuk
mendapatkan kenikmatan Akhirat. Jika dia “mengumpuli” isterinya atau
budak yang dicintainya, sehingga dia mendapatkan kepuasan lahir dan bathin –
maka dia mendapatkan pahala. Berbeda
dengan orang yang mereguk kenikmatan yang diharamkan, yang dikemudian hari
justru mendatangkan siksaan yang lebih besar, sebagai balasan dari kenikmatan
yang telah direguknya di dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“’Dan di
dalam persetubuhan salah seorang di antara kalian ada pahala.’ Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, adakah
salah seorang di antara kami memuaskan birahinya (nafsunya) dan dia mendapatkan
pahala karena itu?’ Beliau bersabda,
‘Bagaimana pendapat kalian jika ia meletakkannya pada yang haram, apakah ia
mendapatkan dosa?’ Mereka menjawab,
‘Benar.’ Beliau bersabda, ‘Demikian pula
jika ia meletakkannya pada yang halal, maka dia mendapat pahala.’” (Diriwayatkan Muslim)
Ketahuilah
(ilmuilah), bahwa kenikmatan ini menjadi berlipat ganda dan semakin bertambah,
tergantung seberapa jauh seorang hamba itu meniatkannya karena Allah,
melakukannya secara ikhlas, dan untuk tujuan kampung Akhirat.
Birahi dan
kehendak yang terbagi dalam beberapa keadaan terhimpun dalam satu
gambaran. Perasaan takut, gelisah,
gundah, dan khawatir yang biasa muncul karena telah mereguk kenikmatan yang
diharamkan dapat menjadi sirna (terkalahkan) bila terus-menerus dilakukan.
Hal ini jelas tidak bisa dibandingkan antara kenikmatan yang
dirasakannya dengan kenikmatan yang dirasakan orang yang tidak melakukan sesuatu yang
diharamkan. Inilah puncak kenikmatan
yang didapatkan di dunia. Kenikmatan bercinta
dengan wanita (isteri) ini dijadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kenikmatan ketiga, dari dua kenikmatan lainnya; Yakni, hati
yang bersyukur - lidah yang berdzikir, dan isteri yang baik, yang jika
dipandang menyenangkannya, bila ditinggal pergi dia menjaga kehormatannya dan
kehormatan dirinya sendiri serta hartanya.
Kegelisahan,
kekhawatiran, kegundahan, dan penderitaan juga dapat muncul karena ketidak-tahuan
tentang apa yang dicari, dicintai dan bermanfaat, atau karena tidak adanya
kehendak untuk lebih mementingkannya (daripada yang lain), sekaligus mengetahuinya (alias, tidak memiliki "skala prioritas" dalam hidup). Atau tidak berupaya untuk mendapatkan
kecintaan terhadapnya. Ini merupakan
penderitaan yang paling berat. Oleh
karena itu, penderitaan manusia di alam barzakh dan Akhirat karena kehilangan
apa yang dicintai (diharapkan) lebih besar daripada penderitaannya karena
kehilangan sesuatu yang paling dicintainya di dunia.
Hal ini dapat dilihat dari 3 (tiga) sisi;
1. 1. Karena ketika di
sana (Akhirat) dia melihat kesempurnaan dari apa yang tidak didapatkannya di
dunia.
2. 2. Karena dia
sangat membutuhkan apa yang tidak didapatkan itu, menginginkan, dan
merindukannya. Sementara telah nyata ada penghalang antara dirinya dengan apa yang diinginkan hati, sebagaimana
makna firman Allah,
“Dan, dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini.” (Saba’;
54)
3. 3. Karena dia
mendapatkan kebalikan dari apa yang diinginkan, yang membuatnya menderita.
Maka
hendaklah orang-orang yang berakal mencermati permasalahan ini, serta
menempatkan dirinya (seakan-akan) berada pada kedudukan orang yang telah
kehilangan segala sesuatu yang paling dicintai, paling bermanfaat, dan paling
dibutuhkannya.
Sementara
pengetahuannya (sejauh ini) justru akan mendatangkan kebalikannya (hal-hal yang
tidak diingini hati). Berarti ini
merupakan musibah yang paling mengerikan, dan keadaan yang paling
mengenaskan. Bagaimana jika keadaan ini
dibandingkan dengan orang yang mereguk kenikmatan di dunia untuk mendapatkan kecintaan
dan keridhaan Allah, seperti makan, minum, berpakaian, menikah, menahan
kesabaran dalam berhadapan dengan musuh dan jihad fii sabilillah? Terlebih lagi
jika kenikmatan itu dimaksudkan untuk mengenal Allah, mencintai-Nya,
mengesakan-Nya (Tauhidullah), tunduk, tawakal, dan pasrah kepada-Nya, ikhlas
beramal karena-Nya, gembira karena dekat dengan-Nya, dan rindu untuk bertemu
dengan-Nya,
sebagaimana dalam makna hadits yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan
Al-Hakim,
اللهم اني اسالك لذة النظر الى وجهك والشوق الى لقاء يك
"Allahumma inniy as-aluka ladzdzatan nazhar ilaa waj-hika wa syauqa ilaa liqaaiyka"
“Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu keledzatan memandang wajah-Mu, dan rindu untuk bertemu dengan-Mu.”
Kenikmatan
yang masih dirasakan di dunia ini senantiasa akan semakin bertambah, jika ada
pengurangan peran musuh di dalam bathin (hati) berupa syaithan, hawa nafsu, dan
hal-hal keduniaan lainnya, serta musuh yang zhahir. Lalu
bagaimana jika ruh itu terbebas dan meninggalkan tempat tinggal yang penuh
penderitaan dan bencana (dunia), untuk berhubungan dengan Allah? Inilah keadaannya,
“Mereka
itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu para Nabi, para Shiddiqqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
shalih.
Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah,
dan Allah cukup mengetahui.” (An-Nisa’; 69-70)
Jika telah
berada di tempat yang penuh kenikmatan (Surga), maka di sana-sini terdapat
berbagai macam kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan yang tidak pernah
terlihat oleh mata dan didengar oleh telinga serta terlintas di dalam hati
manusia.
Kesengsaraan
dan penderitaan yang bakal diterima jiwa-jiwa yang hina dan tercela, yang tidak
tergelitik kerinduan terhadap kenikmatan itu, yang bara kehendaknya tidak
menyala, dan tidak berupaya untuk meraih kenikmatan itu. Pandangan matanya seperti yang digambarkan
dalam sebuah sya’ir,
Kelelawar
yang takut sinar terang
Sesuai
pada kegelapan malam
Jiwa yang
hina ini hanya berputar-putar di sekitar tempat yang kotor (dunia), sementara
jiwa yang mulia berputar-putar di sekitar ‘Arsy Allah Subhanahu wa Ta’ala,
bersembunyi di balik batu tatkala jiwa yang suci telah terbang di angkasa yang
tinggi.
(Baca
artikel, ENAM ORBIT / LINTASAN HATI MANUSIA)
Kenikmatan
yang Berakibat Penderitaan;
Setiap
kenikmatan yang berakibat penderitaan, atau menghalangi kenikmatan yang lebih
komplit dan kekal pada hakikatnya bukanlah kenikmatan, sekalipun jiwa dapat
merasakannya secara berlebihan. Apalah
artinya kenikmatan yang dirasakan seseorang yang menyantap makanan yang lezat
dan menggiurkan, namun di dalamnya terdapat racun yang mematikan, menghancurkan
usus-ususnya? Inilah
kenikmatan yang dirasakan orang-orang Kafir, Fasik, dan Sesat, karena
kemenonjolan (popularitas) mereka di dunia, kesenangan, serta kegembiraan
mereka yang menyimpang dari kebenaran.
Contohnya
adalah, kenikmatan yang dirasakan orang-orang yang menjadikan selain Allah
sebagai pelindung. Mereka mencintainya
seperti mencintai Allah. Memang mereka
mendapatkan cinta itu di dunia, namun kemudian berubah menjadi penderitaan yang
teramat pahit. Contoh lain, adalah
kenikmatan dan kesenangan terhadap keyakinan-keyakinan yang rusak, kenikmatan
orang-orang yang berbuat zhalim, mencuri (korupsi), berzina, meminum khamr
(memabukkan) dan lain-lain. Allah
telah mengabarkan, bahwa Dia tidak akan mengukuhkan “kebaikan” seperti yang
mereka harapkan, dan yang demikian itu merupakan cobaan dari-Nya terhadap
mereka, kemudian Dia akan menimpakan penderitaan yang lebih besar lagi di alam barzakh
dan akhirat, sebagaimana makna firman-Nya,
“Apakah mereka mengira, bahwa harta dan anak-anak
yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan
kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak,
sebenarnya mereka tidak sadar (tertipu). (Al-Mukminun;
55-56), dan
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak
mereka menarik hatimu. Sesungguhnya
Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa
mereka dalam kehidupan dunia, dan kelak akan melayang nyawa mereka sedang
mereka dalam keadaan kafir.” (At-Taubah; 55)
Sedikit
Kenikmatan Untuk Kemashlahatan;
Kenikmatan
di dunia yang berakibat penderitaan di akhirat tentu saja tidak akan
menghantarkan kepada kesejahteraan (kenikmatan) di sana, berarti itu merupakan
kenikmatan yang bathil. Rentang waktunya
juga sangat singkat, tidak bisa memberikan kenikmatan yang optimal bagi
jiwa. Oleh karena itu, jiwa tersebut
harus berusaha mencari dan menentukan mana yang lebih baik dan bermanfaat
baginya di dunia maupun di akhirat. Jika
ia tidak mampu, maka cukuplah baginya mencari dasar untuk kenikmatan
akhirat. Inilah yang dimaksudkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap
permainan yang dilakukan oleh seseorang adalah bathil, kecuali bisikan anak
panah dengan busurnya, melatih kudanya, dan mencandai isterinya. Yang demikian ini adalah termasuk
kebenaran.” (Diriwayatkan Ashhabus-Sunan)
Menabuh
rebana pada saat pernikahan diperbolehkan, karena menabuh rebana itu dapat
membantu menyemarakkan pernikahan, seperti kenikmatan membidikkan anak panah
dari busurnya dan latihan menunggang kuda yang bisa membantu dalam berjihad. Keduanya dicintai Allah ‘Azza wa Jalla. Apa pun yang bisa membantu sesuatu yang
dicintai dan diridhai Allah termasuk kebenaran. Oleh karena itu, laki-laki yang mencandai
isterinya dianggap sebagai kebenaran, karena ia membantu (menjaga) terciptanya tujuan pernikahan yang
dicintai Allah. Namun hal-hal yang
tidak membantu apa-apa yang diridhai dan dicintai Allah termasuk kebathilan,
yang di dalamnya tidak terdapat manfaat.
Namun, jika di dalamnya tidak terdapat mudharat yang pasti maka tidak
termasuk yang diharamkan (dilarang).
Tetapi jika menghalangi untuk mengingat Allah, seperti shalat, maka
hukumnya menjadi makruh dan dibenci Allah, entah pelaksanaannya sekedarnya
saja, apalagi secara berlebih-lebihan.
Segala
sesuatu yang merintangi kenikmatan yang dicari (ideal) merupakan bencana bagi
pelakunya. Segala sesuatu yang
mendatangkan manfaat kenikmatan yang dicari dan abadi, maka itulah yang paling
baik dan paling bermanfaat baginya.
Karena jiwa
yang lemah itu seperti jiwa wanita atau anak-anak, maka jiwa itu tidak bisa diarahkan
kepada kenikmatan yang besar (kekal), kecuali menyertainya dengan sedikit
kenikmatan permainan dan senda gurau.
Sebab, jika sedikit permainan ini dihilangkan sama sekali, maka jiwa
yang lemah itu akan mencari kenikmatan permainan yang lebih buruk lagi. Oleh karena itu sedikit permainan merupakan rukhshah
(keringanan hukum) yang tidak berlaku bagi yang lain. Kejadian seperti ini pernah dialami Ummar bin
Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala dia memasuki rumah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, dimana saat itu ada beberapa gadis yang sedang menabuh
rebana. Melihat kedatangan Umar mereka
langsung menghentikan tabuhannya. Lalu
Nabi bersabda,
هذا رجل لايحب البا طل
/ “Hadzaa
rajulun laa yuhibbu al-baathila” /
“Orang ini tidak menyukai kebathilan” (HR.
Ahmad)
Beliau
mengabarkan, bahwa tabuhan rebana itu adalah bathil, tetapi Beliau tidak
melarang mereka (gadis-gadis kecil tersebut), karena itu dapat mendatangkan
kemashlahatan yang pasti, dan mereka meninggalkan kerusakan lain yang lebih
parah daripada dampak negatif menabuh rebana - yaitu, (hilangnya) rasa kasih sayang dan kelembutan,
sebagaimana yang Beliau lakukan terhadap Abu Umair yang suka bermain-main
dengan anak burung (yang menyebabkan anak burung tersebut mati). Pengesahan Beliau terhadap dua anak gadis
yang bernyanyi, pengesahan Beliau terhadap A’isyah yang menonton orang-orang
Habsyi yang menyajikan hiburan di depan masjid, yang semuanya mereka lakukan di
hadapan Beliau.[1]
Kejadian lain yang seperti ini masih banyak.
Lalu,
bagaimana jika hal ini dibandingkan dengan pendapat para syaikh yang
menjadi panutan dalam masalah Agama dan jalan kehidupan - yang
mengharamkannya? Padahal masalah ini
memiliki medan yang lapang dan tujuan yang luas.
Sikap
serupa juga pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menyerahkan zakat kepada para mu’allaf (orang yang baru masuk
Islam), yang hatinya masih lemah dan tidak memberikan zakat itu kepada
orang-orang yang hatinya sudah mantap dari kalangan Sahabat. Beliau memberikan zakat kepada kelompok
pertama dan tidak memberikannya kepada kelompok kedua. Kejadian lain juga pernah Beliau lakukan,
yaitu bercanda dengan beberapa orang dusun, anak-anak dan wanita, dengan tujuan
untuk meluluhkan hati mereka, membangkitkan iman mereka – sekaligus menghibur
mereka.
Di dalam Marasilusy-Sya’by
disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati
beberapa orang yang menari jenis tarian dirakilah,[2]
lalu Beliau bersabda (artinya),
“Wahai
anakku, sembelihlah kalkun agar orang-orang Yahudi dan Nasrani
mengetahui bahwa di dalam agama kita terdapat kelonggaran.” [3]
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam rela mengalah dan mengobarkan harta, selagi bisa
mendukung kebenaran yang diperintahkan kepada Beliau, dan ternyata apa yang
Beliau relakan itu benar-benar bisa dinikmati dan disenangi orang yang
memanfaatkannya, sebab hal itu memang merupakan sarana untuk mendekati orang
lain, dan Beliau tidak melakukan terhadap orang yang tidak membutuhkannya,
seperti terhadap kaum Muhajirin dan Anshar.
Beliau melakukan tindakan-tindakan yang sejenis untuk bermurah hati
terhadap mereka, demi kebaikan agama dan kebaikan hidup mereka di dunia.
Karena Umar
bin Khaththab termasuk orang yang tidak menyukai kebathilan itu dan juga tidak
suka mendengar tabuhan rebana, hatinya tidak perlu diluluhkan, juga tidak
diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sebagai sarana yang
mutlak untuk membangkitkan iman, maka pengingkarannya terhadap kebathilan sudah
total. Bagaimanapun juga keadaan Beliau
(Umar) jauh lebih sempurna.
Macam-Macam
Kenikmatan;
Jika
permasalahan ini telah diketahui, maka kenikmatan itu bisa dibagi menjadi 3
(tiga) macam;
1. 1. Kenikmatan
fisik.
2. 2. Kenikmatan
khayalan dan angan-angan (ilusi).
3. 3. Kenikmatan
Intelektual dan rohani.
Pertama;
Kenikmatan
fisik, adalah kenikmatan makan, minum, dan bersetubuh. Kenikmatan yang dirasakan manusia ini sama dengan kenikmatan yang
dirasakan hewan. Kesempurnaan manusia
dalam kaitannya dengan kenikmatan yang dirasakan hewan ini, bukanlah
segala-galanya dan bukan pula kenikmatan yang sempurna. Sebab, andaikata kenikmatan itu
sempurna, tentunya orang yang paling mulia, paling utama, dan paling sempurna
adalah orang yang paling banyak makan, minum, dan bersetubuh. Andaikata kenikmatan itu sempurna,
tentunya bagian yang diterima para Rasul dan Nabi, serta para Wali-Nya , akan lebih
sempurna dari bagian musuh-musuh-Nya.
Padahal kenyataannya justru berbicara lain, maka jelaslah bahwa
kenikmatan tersebut tidak sempurna.
Kenikmatan itu dianggap sempurna jika ia dapat menolong (mengantarkan)
kepada kenikmatan yang abadi dan lebih besar, seperti yang sudah dijelaskan
pada bagian terdahulu.
Kedua; Kenikmatan khayalan dan angan-angan (ilusi),
adalah kenikmatan kekuasaan, jabatan, dan kemapanan di hadapan manusia, atau menyombongkan
diri terhadap mereka.
Sekalipun
orang yang mencari kenikmatan ini tampak lebih mulia daripada kenikmatan yang
pertama, tetapi penderitaan dan kerusakan yang akan dia alami jauh lebih
besar. Pelakunya bertekad untuk
menghadapi siapa pun yang mengunggulinya dan dengan cara apa pun. Oleh karena itu banyak syarat (yang harus
dipenuhi) dan hak (yang dilanggar) yang berakibat pelakunya kehilangan
kenikmatan rasa (kenikmatan jiwa), yang pada akhirnya (puncaknya) mendatangkan penderitaan yang lebih besar. Sehingga, pada hakikatnya ini bukanlah
merupakan kenikmatan, sekalipun jiwa merasa senang tatkala melakukannya.
Sehingga, ada
yang berkata, ‘Pada hakikatnya tidak ada kenikmatan di dunia ini. Tujuan kenikmatan adalah mengenyahkan
penderitaan, sebagaimana usaha untuk menghilangkan rasa lapar, haus, dan
dorongan seks dengan cara makan, minum dan bersetubuh. Tidak mengherankan, jika penderitaan dan kehinaan
di dunia harus “dilakoni” manusia demi untuk meraih kedudukan, pangkat dan
jabatan. Yang pasti, kenikmatan adalah
urusan perasaan, yang menuntut pengenyahan penderitaan, rasa malu, dan
kehinaan.
Ketiga;
Kenikmatan
intelektual dan rohani, merupakan kenikmatan pengetahuan, ilmu, memiliki sifat-sifat
kesempurnaan, seperti murah hati, dermawan, menjaga kehormatan diri, pemberani,
penyabar, lemah-lembut, berkepribadian dan lain-lain. Ini termasuk kenikmatan yang paling besar, yaitu kenikmatan jiwa yang
terpandang dan terhormat. Jika
kehormatan ini digabungkan dengan kenikmatan mengetahui (mengenal) Allah,
mencintai, menyembah-Nya semata tanpa mempersekutukan-Nya dengan yang lain,
ridha terhadap-Nya sebagai ganti dari segala sesuatu, maka orang yang merasakan
kenikmatan ini seakan-akan telah berada di Surga, sebagai penisbatan
(penyandaran) terhadap berbagai kenikmatan dunia.
Tak ada
yang lebih nikmat, ledzat, dan manis bagi hati dan ruh manusia selain dari
kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasrah kepada-Nya,
menyembah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya dan rindu untuk bersua dengan-Nya.
Sekalipun kenikmatan yang dirasakan dari jenis ini hanya sebesar biji
sawi, tidak akan menyamai segunung kenikmatan dunia. Maka dari itu, iman kepada Allah dan
Rasul-Nya yang hanya seberat biji sawi bisa membebaskan seseorang dari
penderitaan abadi di kampung akhirat.
Lalu, bagaimana dengan iman yang lebih besar yang mampu mencegah
penderitaan itu?
(Baca artikel, NIKMAT)
(Baca artikel, NIKMAT)
Sebagian
orang arif berkata, “Siapa yang cinta kepada Allah, maka segala
sesuatu akan tampak menyenangkan baginya, dan siapa yang tidak cinta kepada
Allah, maka dia akan merasakan berbagai macam kerugian di dunia.
Sebagai
bukti tentang keutaman dan kemuliaan kenikmatan ini, perasaan “merugi” karena
tidak mendapatkan sebagian dari berbagai macam kenikmatan di dunia itu akan sirna
dari hati. Sehingga, dia justru akan
menderita (khawatir) terhadap kenikmatan yang biasa dirasakan orang lain yang
bisa mereguknya. Ini adalah urusan
orang-orang yang bijak, yang memiliki perasaan – tidak sekedar ilmu di lidah.”
Sebagian yang
lain berkata, “Orang-orang 'miskin di dunia' keluar dari dunia tanpa merasakan
kenikmatannya yang terledzat.” Lalu,
ada yang bertanya kepadanya, “Apa jenis kenikmatan yang terledzat itu?” Dia menjawab, “Cinta dan suka kepada
Allah, rindu untuk bertemu dengan-Nya, mengetahui Asma dan Sifat-Sifat-Nya.”
Sebagian
yang lain berkata, “Isi dunia yang terbaik adalah mengenal dan mencintai
Allah. Yang ternikmat dari isi Surga
adalah memandang-Nya dan mendengarkan firman-Nya tanpa perantara.”
Inilah isyarat dari perkataan Al-Imam Ibnu Taimiyah, "Di dunia ini ada Surga, barangsiapa yang tidak bisa merasakannya tidak akan memasuki Surga Akhirat."
Sebagian
yang lain berkata, “Demi Allah, suatu kali ada yang melintas di hatiku. Lalu, aku katakan, ‘Andaikata penghuni Surga
seperti ini keadaannya, tentu dia dalam kehidupan yang menyenangkan. Engkau mengetahui cinta yang menyertai
siksaan di hati dan jiwa. Bagaimana
mungkin cinta semacam ini mendatangkan kenikmatan, padahal dia sendiri tidak
mau melepaskan cintanya?” Seorang
penyair berkata,
Sang pencinta mengadukan kerinduannya
Andaikata aku bisa menanggung kesendirian ini
Ada semua kenikmatan cinta di dalam hati
Yang tiada pernah dirasakan siapa-siapa
Rabi’ah
berkata, “Hati mereka sibuk mencintai dunia, dan mengabaikan cinta kepada
Allah. Andaikata cinta dunia itu
ditingggalkan, tentu mereka bisa hidup kembali dan datang membawa berbagai
manfaat.”
Salam
Al-Khawwash berkata, “Kalian tinggalkan Allah, dan sebagian mengandalkan
sebagian yang lain di antara kalian.
Andaikata kalian menghadap kepada-Nya, tentu kalian akan melihat
berbagai macam keajaiban.”
Seorang
wanita ahli ibadah berkata, “Andaikata hati orang-orang mukmin (beriman)
bisa mengintip apa yang disembunyikan bagi mereka di balik tabir kegaiban –
berupa kebaikan di Akhirat, maka tak akan ada sesuatu pun di dunia ini yang
terasa enak dan menyenangkan.”
Sebagian
yang lain berkata, “Cinta kepada Allah telah menyibukkan hati para
pecinta-Nya, sehingga tidak ada lagi tempat untuk menikmati cinta kepada yang
lain. Karena sudah terlanjur cinta
kepada Allah, maka tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang menyamai cinta
itu. Tiada kemuliaan yang sangat mereka
harapkan di akhirat, selain memandang Wajah Yang mereka
cintai.”
Sebagian Salaf
berkata, “Setiap manusia tentu memiliki mata di wajahnya untuk memandang
urusan dunia, dan dua mata di hati untuk memandang urusan akhirat. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan bagi
seorang hamba, maka Dia (Allah) bukakan kedua matanya yang berada di dalam
hati, sehingga dengan dua mata itu dia bisa melihat kenikmatan dan kesenangan
yang tidak pernah dilihat kedua mata di kepalanya. Inilah janji yang diberikan Pemberi janji
(Allah) yang dapat dipercaya perkataan-Nya.
Jika Allah menghendaki selain itu, maka Dia akan membiarkan hati itu apa
adanya.” Lalu, orang Salaf
itu membaca ayat,
ام عل قلوب اقفا لها / “Am ‘alaa quluubin aqfaaluhaa” / “Ataukah
hati mereka telah terkunci?” (Muhammad (47); 24)
Sebagian
orang arif berkata, “Jika besi tidak dipergunakan, maka dia akan tertutup
karat lalu menjadi rusak. Begitu pula
hati, apabila hati tidak digunakan untuk mencintai Allah, merindukan, serta
mengingat-Nya, maka ia (hati) akan dikuasai kebodohan – lalu menjadi mati dan
rusak.”
Seseorang
pernah berkata kepada Al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadukan masalah
kekerasan hatiku kepadamu.” Al-Hasan
menjawab, “Cairkanlah ia dengan mengingat Allah. Hati yang jauh dari Allah adalah hati yang
keras. Kekerasan ini tak akan sirna
kecuali dengan cinta dan rasa takut yang membuat badan gemetar.”
Jika ada
yang bertanya, “Kenapa orang yang jatuh cinta bisa menikmati cintanya
sekalipun dia tidak mendapatkan orang yang dicintainya?” Bisa dijawab, “Cinta itu pasti mendatangkan
gerakan jiwa dan desakan pencariannya.
Jiwa itu diciptakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam keadaan selalu bergerak seperti gejolak api. Gerakan cinta itu bersifat alami. Siapa pun yang mencintai sesuatu, tentu akan
merasakan kenikmatan dan ketenangan.
Jika jiwa itu tidak diisi dengan cinta sama sekali, maka ia tidak akan
mempunyai gerakan, lamban, malas, dan tidak menjadi enteng untuk bergerak. Oleh karena itu, orang-orang yang malas
adalah orang-orang yang paling merana, sedih, dan gundah-gulana, tidak memiliki
kegembiraan. Berbeda dengan orang yang
sibuk dan banyak kegiatan. Sebab, giat
dalam bekerja dan beraktivitas akan membawa hasil yang menyenangkan. Sehingga tidak mengherankan jika kenikmatan
dan cinta mereka terhadap pekerjaan itu lebih kuat.
oOo
(Disadur
dari kitab, “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”, Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah)
[1] Semua riwayat ini disebutkan di dalam Ash-Shahihain.
[2] Dirakilah termasuk jenis tarian bukan
dari kalangan bangsa Arab.
[3] Hadits ini diriwayatkan Al-Kharra’ithy di
dalam I’tilalul-Qulub. Sedangkan di dalam
kitab-kitab hadits shahih, disebutkan dengan lafffazh jidu / ‘carilah’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar