Sabtu, 22 Juni 2019

BOBOT KENIKMATAN BERGANTUNG PADA KADAR CINTA



بسم الله الر حمان الر حيم

Kenikmatan, kegembiraan, kesenangan, kenyamanan, dan ketenangan merupakan kata-kata yang bersinonim maknanya, yang secara umum merupakan perkara yang dicari (dituntut) oleh jiwa-jiwa manusia, bahkan merupakan tujuan setiap makhluk hidup.

Kenikmatan adalah mendapatkan apa yang cocok dengan jiwa, sedangkan penderitaan adalah mendapatkan (menemui) apa yang meleset dari keinginan, harapan, cita-cita, dan tujuan hidup manusia.  Jadi, mendapatkan apa yang cocok merupakan kenikmatan, dan mendapatkan apa yang meleset merupakan sebab-sebab penderitaan.  Kenikmatan dan penderitaan itu muncul akibat mendapatkan apa yang cocok dan meleset.  Mendapatkan itu sendiri merupakan sebab datangnya kenikmatan atau penderitaan.  Kenikmatan merupakan sesuatu yang lebih ril dari sekedar definisi dengan kata-kata, karena kenikmatan itu merupakan perkara perasaan.  Yang bisa didefenisikan adalah sebab-sebab dan hukum-hukumnya.
Kenikmatan, kegembiraan, kesenangan, ketenangan, dan kenyamanan tersebut merupakan sesuatu yang dicari, bahkan merupakan tujuan setiap makhluk hidup, yang sangat dibutuhkan dalam dimensi yang berbeda-beda.  Sama halnya dengan kedudukan indera dan ilmu-ilmu aksiomatis  (ilmu yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian) sebagai dasar dan pendahulu.  Setiap makhluk hidup tentu memiliki Ilmu dan Indera, memiliki tindakan dan kehendak.  Semua ilmu manusia tidak boleh hanya sekedar Ilmu Argumentatif, karena ketiadaan korelasi dan rotasi (“hubungan sebab dan akibat”, pen blog.).  Tetapi setiap manusia harus mempunyai ilmu yang awalnya bersifat aksiomatis, serta memberikan kepastian pada jiwa.  Karena itulah ilmu tersebut aksiomatis dan principal, termasuk sesuatu yang (mampu) memberi ketetapan dan ketenangan kepada jiwa, yang disebut Kebutuhan Pokok.  Adakalanya jiwa itu secara mutlak membutuhkan ilmu, dan terkadang juga membutuhkan tindakan.
Begitu pula tindakan inisiatif yang memang dikehendakinya, yang disebut kehendak.  Kehendak ini bisa untuk kepentingan diri sendiri, dan bisa juga untuk orang lain.  Tidaklah mungkin semua kehendak diperuntukkan bagi orang lain, agar ada korelasi dan rotasi (“hubungan sebab-akibat”).  Di sana pasti ada sesuatu yang dikehendaki, dicari, dan dicintai bagi dirinya sendiri.  Jika apa yang dicari, dikehendaki, dan dicintai itu tercapai, maka kenikmatan, kegembiraan, kesenangan, ketenangan, dan kenyamanan jiwa yang dirasakan setelahnya (bergantung kepada seberapa kuatnya kadar cinta dan kehendak).  Ini adalah masalah perasaan, masalah sanubari.  Sebab, dengan adanya sesuatu yang dikehendaki dan dicari di dalam perasaan dan sanubari, tentu akan mendatangkan ("melahirkan") kegembiraan dan kesenangan.

Kenikmatan yang Dicela dan Dipuji, Kenikmatan Sementara dan Kenikmatan Abadi;
Jika kenikmatan yang dicari itu untuk diri sendiri, lalu mengakibatkan penderitaan yang lebih besar  atau menghalangi kenikmatan lain yang jauh lebih baik dan kekal, maka itu adalah kenikmatan yang tercela (menipu).  Namun, kenikmatan itu dipuji jika ia bisa membantu mengantarkan kepada kenikmatan yang abadi dan kekal, yang tiada lain adalah kenikmatan di kampung Akhirat, yang kenikmatannya lebih baik dari segala macam jenis kenikmatan serta lebih kekal.  Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.  Dan, sesungguhnya pahala akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.”  (Yusuf;  56-57), dan
“Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik.  Dan, sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang-orang yang bertakwa.”  (An-Nahl;  30), dan
Tetapi kalian (orang-orang yang berbuat kufur) memilih kehidupan duniawi.  Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”  (Al-‘Ala;  16-17), dan
“Dan akhirat itulah sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”  (Al-Ankabut;  64), dan
“...Maka putuskanlah apa (pun) yang hendak kamu putuskan.  Sesungguhnya kamu hanya dapat memutuskan pada kehidupan dunia ini (saja).”  (Thaha;  72)
Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan manusia untuk kepentingan Kampung Akhirat yang abadi, dan menjadikan semua bentuk kenikmatan ada di sana.  Seperti makna firman-Nya,
“Dan di dalam Surga itu terdapat segala apa yang dinginkan hati dan sedap (dipandang) mata.”  (Az-Zukhruf;  71),
“Seseorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan bagi mereka, yaitu (berbagai macam kenikmatan) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (di dunia).”  (As-Sajdah;  17)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Allah berfirman, ‘Aku telah menyediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih apa-apa yang belum (pernah) dilihat mata, dan didengar telinga, serta tidak (pernah) terlintas di hati manusia, tidak seperti yang pernah kalian lihat.'”  (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzy)
Inilah tujuan yang hendak dicapai seorang mukmin (beriman) yang suka berkompetisi dan memperingatkan / menasihati kaumnya, sebagaimana yang dijelaskan Allah,
Wahai kaumku, ikutilah aku.  Aku akan menunjukkan kepada kalian jalan yang benar.  Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan di dunia ini hanyalah kesenangan (sementara), dan sesungguhnya Akhirat itulah negeri yang kekal.”  (Al-Mukmin;  38-39)
Allah mengabarkan, bahwa dunia ini hanyalah kesenangan sementara, yang boleh dinikmati guna mendapatkan kesenangan di kampung yang lain.  Sedangkan Akhirat adalah tempat kembali yang abadi dan merupakan tujuan.

Kenikmatan Sementara dan Kenikmatan Abadi;
Jika telah diketahui, bahwa kenikmatan dunia merupakan perhiasan dan sarana untuk mendapatkan kenikmatan akhirat, maka perhiasan itu pun diciptakanlah, seperti yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Dunia ini hanyalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.”  (Diriwayatkan Muslim, Ahmad dan An-Nasa’i)
Setiap kenikmatan yang bisa membantu kenikmatan Akhirat adalah kenikmatan yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Pelakunya bisa menikmatinya, yang bisa dilihat dari dua sisi;
1.       1. Karena adanya kenikmatan dan kesenangannya terhadap kenikmatan itu.
2.       2. Karena dia mendapatkan keridhaan Allah, dan sebagai jalan untuk mendapatkan kenikmatan yang lebih sempurna lagi.
Inilah kenikmatan yang harus diupayakan setiap orang yang berakal, bukan merupakan kenikmatan yang justru berakibat (mendatangkan) penderitaan, dan tidak mendapatkan kenikmatan yang lebih besar.  Oleh karena itu, orang-orang mukmin mendapatkan pahala dari hal-hal yang mubah (boleh) yang dinikmatinya di dunia – jika dimaksudkan (diniatkan) untuk mendapatkan kenikmatan Akhirat.  Jika dia “mengumpuli” isterinya atau budak yang dicintainya, sehingga dia mendapatkan kepuasan lahir dan bathin – maka dia mendapatkan pahala.  Berbeda dengan orang yang mereguk kenikmatan yang diharamkan, yang dikemudian hari justru mendatangkan siksaan yang lebih besar, sebagai balasan dari kenikmatan yang telah direguknya di dunia.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“’Dan di dalam persetubuhan salah seorang di antara kalian ada pahala.’  Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, adakah salah seorang di antara kami memuaskan birahinya (nafsunya) dan dia mendapatkan pahala karena itu?’  Beliau bersabda, ‘Bagaimana pendapat kalian jika ia meletakkannya pada yang haram, apakah ia mendapatkan dosa?’  Mereka menjawab, ‘Benar.’  Beliau bersabda, ‘Demikian pula jika ia meletakkannya pada yang halal, maka dia mendapat pahala.’”  (Diriwayatkan Muslim)
Ketahuilah (ilmuilah), bahwa kenikmatan ini menjadi berlipat ganda dan semakin bertambah, tergantung seberapa jauh seorang hamba itu meniatkannya karena Allah, melakukannya secara ikhlas, dan untuk tujuan kampung Akhirat. 
Birahi dan kehendak yang terbagi dalam beberapa keadaan terhimpun dalam satu gambaran.  Perasaan takut, gelisah, gundah, dan khawatir yang biasa muncul karena telah mereguk kenikmatan yang diharamkan dapat menjadi sirna (terkalahkan) bila terus-menerus dilakukan.   Hal ini jelas tidak bisa dibandingkan antara kenikmatan yang dirasakannya dengan kenikmatan yang dirasakan orang yang tidak melakukan sesuatu yang diharamkan.  Inilah puncak kenikmatan yang didapatkan di dunia.  Kenikmatan bercinta dengan wanita (isteri) ini dijadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kenikmatan ketiga, dari dua kenikmatan lainnya; Yakni, hati yang bersyukur - lidah yang berdzikir, dan isteri yang baik, yang jika dipandang menyenangkannya, bila ditinggal pergi dia menjaga kehormatannya dan kehormatan dirinya sendiri serta hartanya.
Kegelisahan, kekhawatiran, kegundahan, dan penderitaan juga dapat muncul karena ketidak-tahuan tentang apa yang dicari, dicintai dan bermanfaat, atau karena tidak adanya kehendak untuk lebih mementingkannya (daripada yang lain), sekaligus mengetahuinya (alias, tidak memiliki "skala prioritas" dalam hidup).  Atau tidak berupaya untuk mendapatkan kecintaan terhadapnya.  Ini merupakan penderitaan yang paling berat.  Oleh karena itu, penderitaan manusia di alam barzakh dan Akhirat karena kehilangan apa yang dicintai (diharapkan) lebih besar daripada penderitaannya karena kehilangan sesuatu yang paling dicintainya di dunia.  Hal ini dapat dilihat dari 3 (tiga) sisi;
1.       1. Karena ketika di sana (Akhirat) dia melihat kesempurnaan dari apa yang tidak didapatkannya di dunia.
2.       2. Karena dia sangat membutuhkan apa yang tidak didapatkan itu, menginginkan, dan merindukannya.  Sementara telah nyata ada penghalang antara dirinya dengan apa yang diinginkan hati, sebagaimana makna firman Allah,
“Dan, dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini.”  (Saba’;  54)
3.       3. Karena dia mendapatkan kebalikan dari apa yang diinginkan, yang membuatnya menderita.
Maka hendaklah orang-orang yang berakal mencermati permasalahan ini, serta menempatkan dirinya (seakan-akan) berada pada kedudukan orang yang telah kehilangan segala sesuatu yang paling dicintai, paling bermanfaat, dan paling dibutuhkannya.
Sementara pengetahuannya (sejauh ini) justru akan mendatangkan kebalikannya (hal-hal yang tidak diingini hati).  Berarti ini merupakan musibah yang paling mengerikan, dan keadaan yang paling mengenaskan.  Bagaimana jika keadaan ini dibandingkan dengan orang yang mereguk kenikmatan di dunia untuk mendapatkan kecintaan dan keridhaan Allah, seperti makan, minum, berpakaian, menikah, menahan kesabaran dalam berhadapan dengan musuh dan jihad fii sabilillah?  Terlebih lagi jika kenikmatan itu dimaksudkan untuk mengenal Allah, mencintai-Nya, mengesakan-Nya (Tauhidullah), tunduk, tawakal, dan pasrah kepada-Nya, ikhlas beramal karena-Nya, gembira karena dekat dengan-Nya, dan rindu untuk bertemu dengan-Nya, sebagaimana dalam makna hadits yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim,
 اللهم اني اسالك لذة النظر الى وجهك والشوق الى لقاء يك

"Allahumma inniy as-aluka ladzdzatan nazhar ilaa waj-hika wa syauqa ilaa liqaaiyka"

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keledzatan memandang wajah-Mu, dan rindu untuk bertemu dengan-Mu.”
Kenikmatan yang masih dirasakan di dunia ini senantiasa akan semakin bertambah, jika ada pengurangan peran musuh di dalam bathin (hati) berupa syaithan, hawa nafsu, dan hal-hal keduniaan lainnya, serta musuh yang zhahir.  Lalu bagaimana jika ruh itu terbebas dan meninggalkan tempat tinggal yang penuh penderitaan dan bencana (dunia), untuk berhubungan dengan Allah?  Inilah keadaannya,
Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para Shiddiqqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang  shalih.  Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.  Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.”  (An-Nisa’;  69-70)
Jika telah berada di tempat yang penuh kenikmatan (Surga), maka di sana-sini terdapat berbagai macam kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan yang tidak pernah terlihat oleh mata dan didengar oleh telinga serta terlintas di dalam hati manusia.
Kesengsaraan dan penderitaan yang bakal diterima jiwa-jiwa yang hina dan tercela, yang tidak tergelitik kerinduan terhadap kenikmatan itu, yang bara kehendaknya tidak menyala, dan tidak berupaya untuk meraih kenikmatan itu.  Pandangan matanya seperti yang digambarkan dalam sebuah sya’ir,
Kelelawar yang takut sinar terang
Sesuai pada kegelapan malam
Jiwa yang hina ini hanya berputar-putar di sekitar tempat yang kotor (dunia), sementara jiwa yang mulia berputar-putar di sekitar ‘Arsy Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersembunyi di balik batu tatkala jiwa yang suci telah terbang di angkasa yang tinggi.
(Baca artikel, ENAM ORBIT / LINTASAN HATI MANUSIA)

Kenikmatan yang Berakibat Penderitaan;
Setiap kenikmatan yang berakibat penderitaan, atau menghalangi kenikmatan yang lebih komplit dan kekal pada hakikatnya bukanlah kenikmatan, sekalipun jiwa dapat merasakannya secara berlebihan.  Apalah artinya kenikmatan yang dirasakan seseorang yang menyantap makanan yang lezat dan menggiurkan, namun di dalamnya terdapat racun yang mematikan, menghancurkan usus-ususnya?  Inilah kenikmatan yang dirasakan orang-orang Kafir, Fasik, dan Sesat, karena kemenonjolan (popularitas) mereka di dunia, kesenangan, serta kegembiraan mereka yang menyimpang dari kebenaran.
Contohnya adalah, kenikmatan yang dirasakan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai pelindung.  Mereka mencintainya seperti mencintai Allah.  Memang mereka mendapatkan cinta itu di dunia, namun kemudian berubah menjadi penderitaan yang teramat pahit.  Contoh lain, adalah kenikmatan dan kesenangan terhadap keyakinan-keyakinan yang rusak, kenikmatan orang-orang yang berbuat zhalim, mencuri (korupsi), berzina, meminum khamr (memabukkan) dan lain-lain.  Allah telah mengabarkan, bahwa Dia tidak akan mengukuhkan “kebaikan” seperti yang mereka harapkan, dan yang demikian itu merupakan cobaan dari-Nya terhadap mereka, kemudian Dia akan menimpakan penderitaan yang lebih besar lagi di alam barzakh dan akhirat, sebagaimana makna firman-Nya,
“Apakah mereka mengira, bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka?  Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar (tertipu). (Al-Mukminun;  55-56), dan
Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu.  Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia, dan kelak akan melayang nyawa mereka sedang mereka dalam keadaan kafir.”  (At-Taubah;  55)

Sedikit Kenikmatan Untuk Kemashlahatan;
Kenikmatan di dunia yang berakibat penderitaan di akhirat tentu saja tidak akan menghantarkan kepada kesejahteraan (kenikmatan) di sana, berarti itu merupakan kenikmatan yang bathil.  Rentang waktunya juga sangat singkat, tidak bisa memberikan kenikmatan yang optimal bagi jiwa.  Oleh karena itu, jiwa tersebut harus berusaha mencari dan menentukan mana yang lebih baik dan bermanfaat baginya di dunia maupun di akhirat.  Jika ia tidak mampu, maka cukuplah baginya mencari dasar untuk kenikmatan akhirat.  Inilah yang dimaksudkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap permainan yang dilakukan oleh seseorang adalah bathil, kecuali bisikan anak panah dengan busurnya, melatih kudanya, dan mencandai isterinya.  Yang demikian ini adalah termasuk kebenaran.”  (Diriwayatkan Ashhabus-Sunan)
Menabuh rebana pada saat pernikahan diperbolehkan, karena menabuh rebana itu dapat membantu menyemarakkan pernikahan, seperti kenikmatan membidikkan anak panah dari busurnya dan latihan menunggang kuda yang bisa membantu dalam berjihad.  Keduanya dicintai Allah ‘Azza wa Jalla.  Apa pun yang bisa membantu sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah termasuk kebenaran.  Oleh karena itu, laki-laki yang mencandai isterinya dianggap sebagai kebenaran, karena ia membantu  (menjaga) terciptanya tujuan pernikahan yang dicintai Allah.  Namun hal-hal yang tidak membantu apa-apa yang diridhai dan dicintai Allah termasuk kebathilan, yang di dalamnya tidak terdapat manfaat.  Namun, jika di dalamnya tidak terdapat mudharat yang pasti maka tidak termasuk yang diharamkan (dilarang).  Tetapi jika menghalangi untuk mengingat Allah, seperti shalat, maka hukumnya menjadi makruh dan dibenci Allah, entah pelaksanaannya sekedarnya saja, apalagi secara berlebih-lebihan.
Segala sesuatu yang merintangi kenikmatan yang dicari (ideal) merupakan bencana bagi pelakunya.  Segala sesuatu yang mendatangkan manfaat kenikmatan yang dicari dan abadi, maka itulah yang paling baik dan paling bermanfaat baginya.
Karena jiwa yang lemah itu seperti jiwa wanita atau anak-anak, maka jiwa itu tidak bisa diarahkan kepada kenikmatan yang besar (kekal), kecuali menyertainya dengan sedikit kenikmatan permainan dan senda gurau.  Sebab, jika sedikit permainan ini dihilangkan sama sekali, maka jiwa yang lemah itu akan mencari kenikmatan permainan yang lebih buruk lagi.  Oleh karena itu sedikit permainan merupakan rukhshah (keringanan hukum) yang tidak berlaku bagi yang lain.  Kejadian seperti ini pernah dialami Ummar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala dia memasuki rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana saat itu ada beberapa gadis yang sedang menabuh rebana.  Melihat kedatangan Umar mereka langsung menghentikan tabuhannya.  Lalu Nabi bersabda,
هذا رجل لايحب البا طل  /  “Hadzaa rajulun laa yuhibbu al-baathila”  / “Orang ini tidak menyukai kebathilan”  (HR. Ahmad)
Beliau mengabarkan, bahwa tabuhan rebana itu adalah bathil, tetapi Beliau tidak melarang mereka (gadis-gadis kecil tersebut), karena itu dapat mendatangkan kemashlahatan yang pasti, dan mereka meninggalkan kerusakan lain yang lebih parah daripada dampak negatif menabuh rebana - yaitu, (hilangnya) rasa kasih sayang dan kelembutan, sebagaimana yang Beliau lakukan terhadap Abu Umair yang suka bermain-main dengan anak burung (yang menyebabkan anak burung tersebut mati).  Pengesahan Beliau terhadap dua anak gadis yang bernyanyi, pengesahan Beliau terhadap A’isyah yang menonton orang-orang Habsyi yang menyajikan hiburan di depan masjid, yang semuanya mereka lakukan di hadapan Beliau.[1]  Kejadian lain yang seperti ini masih banyak.
Lalu, bagaimana jika hal ini dibandingkan dengan pendapat para syaikh yang menjadi panutan dalam masalah Agama dan jalan kehidupan - yang mengharamkannya?  Padahal masalah ini memiliki medan yang lapang dan tujuan yang luas.
Sikap serupa juga pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyerahkan zakat kepada para mu’allaf (orang yang baru masuk Islam), yang hatinya masih lemah dan tidak memberikan zakat itu kepada orang-orang yang hatinya sudah mantap dari kalangan Sahabat.  Beliau memberikan zakat kepada kelompok pertama dan tidak memberikannya kepada kelompok kedua.  Kejadian lain juga pernah Beliau lakukan, yaitu bercanda dengan beberapa orang dusun, anak-anak dan wanita, dengan tujuan untuk meluluhkan hati mereka, membangkitkan iman mereka – sekaligus menghibur mereka.
Di dalam Marasilusy-Sya’by disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati beberapa orang yang menari jenis tarian dirakilah,[2] lalu Beliau bersabda (artinya),
“Wahai anakku, sembelihlah kalkun agar orang-orang Yahudi dan Nasrani mengetahui bahwa di dalam agama kita terdapat kelonggaran.” [3]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam rela mengalah dan mengobarkan harta, selagi bisa mendukung kebenaran yang diperintahkan kepada Beliau, dan ternyata apa yang Beliau relakan itu benar-benar bisa dinikmati dan disenangi orang yang memanfaatkannya, sebab hal itu memang merupakan sarana untuk mendekati orang lain, dan Beliau tidak melakukan terhadap orang yang tidak membutuhkannya, seperti terhadap kaum Muhajirin dan Anshar.  Beliau melakukan tindakan-tindakan yang sejenis untuk bermurah hati terhadap mereka, demi kebaikan agama dan kebaikan hidup mereka di dunia.
Karena Umar bin Khaththab termasuk orang yang tidak menyukai kebathilan itu dan juga tidak suka mendengar tabuhan rebana, hatinya tidak perlu diluluhkan, juga tidak diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sebagai sarana yang mutlak untuk membangkitkan iman, maka pengingkarannya terhadap kebathilan sudah total.  Bagaimanapun juga keadaan Beliau (Umar) jauh lebih sempurna.

Macam-Macam Kenikmatan;
Jika permasalahan ini telah diketahui, maka kenikmatan itu bisa dibagi menjadi 3 (tiga) macam;
1.       1. Kenikmatan fisik.
2.       2. Kenikmatan khayalan dan angan-angan (ilusi).
3.       3. Kenikmatan Intelektual dan rohani.
Pertama;  Kenikmatan fisik, adalah kenikmatan makan, minum, dan bersetubuh.  Kenikmatan yang dirasakan manusia ini sama dengan kenikmatan yang dirasakan hewan.  Kesempurnaan manusia dalam kaitannya dengan kenikmatan yang dirasakan hewan ini, bukanlah segala-galanya dan bukan pula kenikmatan yang sempurna.  Sebab, andaikata kenikmatan itu sempurna, tentunya orang yang paling mulia, paling utama, dan paling sempurna adalah orang yang paling banyak makan, minum, dan bersetubuh.  Andaikata kenikmatan itu sempurna, tentunya bagian yang diterima para Rasul dan Nabi, serta para Wali-Nya , akan lebih sempurna dari bagian musuh-musuh-Nya.  Padahal kenyataannya justru berbicara lain, maka jelaslah bahwa kenikmatan tersebut tidak sempurna.  Kenikmatan itu dianggap sempurna jika ia dapat menolong (mengantarkan) kepada kenikmatan yang abadi dan lebih besar, seperti yang sudah dijelaskan pada bagian terdahulu.
Kedua;  Kenikmatan khayalan dan angan-angan (ilusi), adalah kenikmatan kekuasaan, jabatan, dan kemapanan di hadapan manusia, atau menyombongkan diri terhadap mereka.
Sekalipun orang yang mencari kenikmatan ini tampak lebih mulia daripada kenikmatan yang pertama, tetapi penderitaan dan kerusakan yang akan dia alami jauh lebih besar.  Pelakunya bertekad untuk menghadapi siapa pun yang mengunggulinya dan dengan cara apa pun.  Oleh karena itu banyak syarat (yang harus dipenuhi) dan hak (yang dilanggar) yang berakibat pelakunya kehilangan kenikmatan rasa (kenikmatan jiwa), yang pada akhirnya (puncaknya) mendatangkan penderitaan yang lebih besar.  Sehingga, pada hakikatnya ini bukanlah merupakan kenikmatan, sekalipun jiwa merasa senang tatkala melakukannya.
Sehingga, ada yang berkata, ‘Pada hakikatnya tidak ada kenikmatan di dunia ini.  Tujuan kenikmatan adalah mengenyahkan penderitaan, sebagaimana usaha untuk menghilangkan rasa lapar, haus, dan dorongan seks dengan cara makan, minum dan bersetubuh.  Tidak mengherankan, jika penderitaan dan kehinaan di dunia harus “dilakoni” manusia demi untuk meraih kedudukan, pangkat dan jabatan.  Yang pasti, kenikmatan adalah urusan perasaan, yang menuntut pengenyahan penderitaan, rasa malu, dan kehinaan.
Ketiga;   Kenikmatan intelektual dan rohani, merupakan kenikmatan pengetahuan, ilmu, memiliki sifat-sifat kesempurnaan, seperti murah hati, dermawan, menjaga kehormatan diri, pemberani, penyabar, lemah-lembut, berkepribadian dan lain-lain.  Ini termasuk kenikmatan yang paling besar, yaitu kenikmatan jiwa yang terpandang dan terhormat.  Jika kehormatan ini digabungkan dengan kenikmatan mengetahui (mengenal) Allah, mencintai, menyembah-Nya semata tanpa mempersekutukan-Nya dengan yang lain, ridha terhadap-Nya sebagai ganti dari segala sesuatu, maka orang yang merasakan kenikmatan ini seakan-akan telah berada di Surga, sebagai penisbatan (penyandaran) terhadap berbagai kenikmatan dunia.
Tak ada yang lebih nikmat, ledzat, dan manis bagi hati dan ruh manusia selain dari kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasrah kepada-Nya, menyembah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya dan rindu untuk bersua dengan-Nya.  Sekalipun kenikmatan yang dirasakan dari jenis ini hanya sebesar biji sawi, tidak akan menyamai segunung kenikmatan dunia.  Maka dari itu, iman kepada Allah dan Rasul-Nya yang hanya seberat biji sawi bisa membebaskan seseorang dari penderitaan abadi di kampung akhirat.  Lalu, bagaimana dengan iman yang lebih besar yang mampu mencegah penderitaan itu?
(Baca artikel, NIKMAT)
Sebagian orang arif berkata, Siapa yang cinta kepada Allah, maka segala sesuatu akan tampak menyenangkan baginya, dan siapa yang tidak cinta kepada Allah, maka dia akan merasakan berbagai macam kerugian di dunia.
Sebagai bukti tentang keutaman dan kemuliaan kenikmatan ini, perasaan “merugi” karena tidak mendapatkan sebagian dari berbagai macam kenikmatan di dunia itu akan sirna dari hati.  Sehingga, dia justru akan menderita (khawatir) terhadap kenikmatan yang biasa dirasakan orang lain yang bisa mereguknya.  Ini adalah urusan orang-orang yang bijak, yang memiliki perasaan – tidak sekedar ilmu di lidah.”
Sebagian yang lain berkata, “Orang-orang 'miskin di dunia' keluar dari dunia tanpa merasakan kenikmatannya yang terledzat.”  Lalu, ada yang bertanya kepadanya, “Apa jenis kenikmatan yang terledzat itu?”  Dia menjawab, “Cinta dan suka kepada Allah, rindu untuk bertemu dengan-Nya, mengetahui Asma dan Sifat-Sifat-Nya.”
Sebagian yang lain berkata, “Isi dunia yang terbaik adalah mengenal dan mencintai Allah.  Yang ternikmat dari isi Surga adalah memandang-Nya dan mendengarkan firman-Nya tanpa perantara.”
Inilah isyarat dari perkataan Al-Imam Ibnu Taimiyah, "Di dunia ini ada Surga, barangsiapa yang tidak bisa merasakannya tidak akan memasuki Surga Akhirat."
Sebagian yang lain berkata, “Demi Allah, suatu kali ada yang melintas di hatiku.  Lalu, aku katakan, ‘Andaikata penghuni Surga seperti ini keadaannya, tentu dia dalam kehidupan yang menyenangkan.  Engkau mengetahui cinta yang menyertai siksaan di hati dan jiwa.  Bagaimana mungkin cinta semacam ini mendatangkan kenikmatan, padahal dia sendiri tidak mau melepaskan cintanya?”  Seorang penyair berkata,
Sang pencinta mengadukan kerinduannya
Andaikata aku bisa menanggung kesendirian ini
Ada semua kenikmatan cinta di dalam hati
Yang tiada pernah dirasakan siapa-siapa
Rabi’ah berkata, “Hati mereka sibuk mencintai dunia, dan mengabaikan cinta kepada Allah.  Andaikata cinta dunia itu ditingggalkan, tentu mereka bisa hidup kembali dan datang membawa berbagai manfaat.”
Salam Al-Khawwash berkata, “Kalian tinggalkan Allah, dan sebagian mengandalkan sebagian yang lain di antara kalian.  Andaikata kalian menghadap kepada-Nya, tentu kalian akan melihat berbagai macam keajaiban.”
Seorang wanita ahli ibadah berkata, “Andaikata hati orang-orang mukmin (beriman) bisa mengintip apa yang disembunyikan bagi mereka di balik tabir kegaiban – berupa kebaikan di Akhirat, maka tak akan ada sesuatu pun di dunia ini yang terasa enak dan menyenangkan.”
Sebagian yang lain berkata, “Cinta kepada Allah telah menyibukkan hati para pecinta-Nya, sehingga tidak ada lagi tempat untuk menikmati cinta kepada yang lain.  Karena sudah terlanjur cinta kepada Allah, maka tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang menyamai cinta itu.  Tiada kemuliaan yang sangat mereka harapkan di akhirat, selain memandang Wajah Yang mereka cintai.”
Sebagian Salaf berkata, “Setiap manusia tentu memiliki mata di wajahnya untuk memandang urusan dunia, dan dua mata di hati untuk memandang urusan akhirat.  Jika Allah menghendaki suatu kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia (Allah) bukakan kedua matanya yang berada di dalam hati, sehingga dengan dua mata itu dia bisa melihat kenikmatan dan kesenangan yang tidak pernah dilihat kedua mata di kepalanya.  Inilah janji yang diberikan Pemberi janji (Allah) yang dapat dipercaya perkataan-Nya.  Jika Allah menghendaki selain itu, maka Dia akan membiarkan hati itu apa adanya.”  Lalu, orang Salaf itu membaca ayat,
ام عل قلوب اقفا لها  /  “Am ‘alaa quluubin aqfaaluhaa”  /  “Ataukah hati mereka telah terkunci?”  (Muhammad (47);  24)
Sebagian orang arif berkata, “Jika besi tidak dipergunakan, maka dia akan tertutup karat lalu menjadi rusak.  Begitu pula hati, apabila hati tidak digunakan untuk mencintai Allah, merindukan, serta mengingat-Nya, maka ia (hati) akan dikuasai kebodohan – lalu menjadi mati dan rusak.”
Seseorang pernah berkata kepada Al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadukan masalah kekerasan hatiku kepadamu.”  Al-Hasan menjawab, “Cairkanlah ia dengan mengingat Allah.  Hati yang jauh dari Allah adalah hati yang keras.  Kekerasan ini tak akan sirna kecuali dengan cinta dan rasa takut yang membuat badan gemetar.”
Jika ada yang bertanya, “Kenapa orang yang jatuh cinta bisa menikmati cintanya sekalipun dia tidak mendapatkan orang yang dicintainya?”  Bisa dijawab, Cinta itu pasti mendatangkan gerakan jiwa dan desakan pencariannya.  Jiwa itu diciptakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam keadaan selalu bergerak seperti gejolak api.  Gerakan cinta itu bersifat alami.  Siapa pun yang mencintai sesuatu, tentu akan merasakan kenikmatan dan ketenangan.  Jika jiwa itu tidak diisi dengan cinta sama sekali, maka ia tidak akan mempunyai gerakan, lamban, malas, dan tidak menjadi enteng untuk bergerak.  Oleh karena itu, orang-orang yang malas adalah orang-orang yang paling merana, sedih, dan gundah-gulana, tidak memiliki kegembiraan.  Berbeda dengan orang yang sibuk dan banyak kegiatan.  Sebab, giat dalam bekerja dan beraktivitas akan membawa hasil yang menyenangkan.  Sehingga tidak mengherankan jika kenikmatan dan cinta mereka terhadap pekerjaan itu lebih kuat.

oOo

(Disadur dari kitab, “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)
[1]  Semua riwayat ini disebutkan di dalam Ash-Shahihain.
[2]  Dirakilah termasuk jenis tarian bukan dari kalangan bangsa Arab.
[3]  Hadits ini diriwayatkan Al-Kharra’ithy di dalam I’tilalul-Qulub.  Sedangkan di dalam kitab-kitab hadits shahih, disebutkan dengan lafffazh jidu / ‘carilah’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar