بسم الله الر حمان الر حيم
Apa pun bentuk pergerakan yang terjadi di Jagat
Raya ini, baik yang terjadi di Alam Atas maupun Alam Bawah mengikuti
(berdasarkan) kehendak dan cinta. Cinta
inilah yang menggerakkan alam, dan karenanya pula alam ini bergerak. Cinta inilah yang menjadi alasan, baik secara
langsung atau tidak langsung. Bahkan
dengan cinta dan karena cinta pula Jagat Raya ini terwujud.
Tulisan
pada Bab ini adalah bagian yang paling terhormat dari keseluruhan Bab yang ada
di dalam kitab “Taman Orang-Orang
Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”, karya Al-Imam Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah yang kami sadur dan tuangkan kembali secara bebas.
Sebelum
penulis melanjutkan tulisan ini, perlu diketahui bahwa gerakan yang terjadi di
alam ini ada 3 (tiga) macam;
1. 1. Gerakan
berdasarkan kehendak sendiri.
2. 2. Gerakan
alami.
3. 3. Gerakan
berdasarkan (atas) paksaan.
Secara
ringkas dapat disebutkan, bahwa asal dari suatu gerakan itu bisa dari orang
yang mengeluarkan gerakan, atau dari selainnya. Jika gerakan itu berasal dari orang yang
bergerak, maka boleh jadi gerakan itu disertai dengan perasaan dan ilmunya, dan
boleh jadi juga tanpa disertai perasaan dan ilmunya.
Jadi,
engkau bisa berkata tentang berbagai kemungkinan orang yang mengeluarkan
gerakan;
1. Dia bergerak
berdasarkan kehendaknya, yang berarti geraknya merupakan gerakan yang memang
dikehendaki.
2. Dia bergerak
tidak berdasarkan kehendaknya, yang berarti ada 2 (dua) kemungkinan;
·
Jika gerakan itu mengikuti pusat (orbit)nya,
maka itu merupakan gerakan alami.
·
Jika gerakan itu keluar dari pusat (orbit)nya,
maka itu merupakan gerakan yang terpaksa.
Jika
permasalahan ini telah jelas, maka gerakan yang berdasarkan kehendak akan
mengikuti kehendak orang yang bergerak.
Sasarannya (maksud gerakan itu) bisa bagi dirinya sendiri, atau
diperuntukkan bagi orang lain. Sasaran
yang diperuntukkan bagi orang lain tentu akan berhenti pada diri orang itu.
Kehendak
itu bisa untuk mencari manfaat dan mendapatkan kenikmatan bagi orang yang
bergerak atau bagi orang lain, dan bisa juga untuk mengenyahkan bahaya serta hal-hal
yang tidak disukai, baik bagi orang yang melakukan gerakan maupun bagi orang
lain. Orang yang berakal tentu tidak
akan mendatangkan manfaat bagi orang lain, atau menyingkirkan bahaya dari orang
lain kecuali bila tindakannya itu dapat mendatangkan kenikmatan, atau karena ia
bisa mengenyahkan penderitaan. Sehingga,
tidak mengherankan jika gerakan yang berdasarkan kehendak sendiri itu akan
mengikuti orang yang dicintainya. Bahkan
ini merupakan hukum dari setiap makhluk hidup yang bisa bergerak.
Sedangkan
gerakan alami adalah gerakan sesuatu di pusatnya dan tempatnya. Hal ini mengikuti gerakan yang menuntut
sesuatu itu keluar dari tempat diamnya, yang berarti harus ada paksaan. Paksaan ini berasal dari Pemaksa yang mengeluarkannya
dari tempat diamnya, bisa berdasarkan pilihannya sendiri, seperti gerakan batu
ke arah bawah setelah ia dilemparkan ke atas, atau bisa juga bukan karena
pilihan yang menggerakkannya, seperti gerakan angin di dalam tubuh menuju
saluran yang semestinya, detak jantung, dan lain-lain . Gerakan ini mengikuti kemauan Pemaksa. Gerakan Pemaksa ini bukan berasal dari dirinya
sendiri, tetapi awalnya berasal dari yang lain.
Sebagai
contoh adalah, para Malaikat yang dipercaya di Alam Atas dan Alam Bawah, yang
telah diatur menurut perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Seperti makna firman-Nya;
“Dan
Malaikat-Malaikat yang membagi urusan.”
(QS. Adz-Dzariyat; 4),
“Demi
Malaikat-Malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan, dan
Malaikat-Malaikat yang terbang dengan kencangnya, dan (Malaikat-Malaikat) yang
membedakan (antara yang hak dan yang bathil) dengan sejelas-jelasnya, dan
(Malaikat-Malaikat) yang menyampaikan wahyu.”
(QS. Al-Mursalat; 1-5),
“Demi
(Malaikat-Malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (Malaikat-Malaikat)
yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, dan (Malaikat-Malaikat) yang
mendahului dengan kencang, dan (Malaikat-Malaikat) yang mengatur urusan
(dunia).”
(QS. An-Nazi’at; 1-5)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala mewakilkan (mempercayakan) pengurusan langit, berbagai planet,
matahari, bintang-bintang, dan bulan kepada para Malaikat untuk
menggerakkannya, mewakilkan angin kepada mereka untuk meniupkannya menurut
perintah-Nya, dan mereka adalah para penjaga angin itu. Sesuai dengan makna firman Allah Ta’ala,
“Adapun
kaum Aad, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi
sangat kencang.”
(QS. Al-Haqqah; 6)
Allah
mewakilkan (penjagaan) setiap tetes air kepada Malaikat, mempercayakan awan
kepada Malaikat, yang menggiringnya ke arah manapun yang dikehendaki (diperintahkan) Allah ‘Azza wa Jalla.
Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Tatkala
seorang laki-laki berada di suatu tempat, tiba-tiba dia mendengar sebuah suara
dari atas awan yang berkata, ‘Airilah kebun si Fulan’. (Lalu) orang itu mengikuti jalannya awan
hingga berhenti di sebuah kebun, hingga air (hujan) menggenangi kebun itu. Dia melihat-lihat, ternyata ada seorang
laki-laki di kebun itu yang sedang memindah-mindahkan air dengan menggunakan
sekop. Dia bertanya kepada pemilik kebun
itu, ‘Siapakah namamu wahai hamba Allah?’
Pemilik kebun itu menjawab, “Fulan”, yaitu nama yang didengarnya
(disebut) di atas awan. Dia berkata,
‘Sesungguhnya saya tadi mendengar seseorang yang berkata dari atas awan itu,
‘Airilah kebun Fulan! Apa saja yang
engkau perbuat terhadap kebun ini?’
Pemilik kebun itu menjawab, ‘Sesungguhnya aku melihat apa yang
dihasilkannya, lalu aku bagi menjadi tiga bagian; Sepertiganya aku sedekahkan, sepertiganya aku
nafkahkan untuk keluargaku, dan sepertiganya lagi aku tanam kembali.’” (Ditakhrij Muslim)
Allah ‘Azza
wa Jalla mewakilkan gunung kepada Malaikat.
Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
Beliau didatangi oleh seorang Malaikat penjaga gunung, yang mengucapkan salam
lalu meminta izin kepada Beliau untuk ditimpakan kepada kaumnya jika Beliau
menghendaki. Akan tetapi Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab,
“Bahkan
aku berharap bagi mereka, semoga Allah mengeluarkan dari kalangan mereka
orang-orang yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany)
Allah
mewakilkan rahim kepada seorang Malaikat, yang berkata, “Wahai Rabb-ku,
adakah setetes sperma? Adakah segumpal
darah? Adakah sepotong daging? Laki-laki atau perempuan? Bagaimana rezekinya? Bagaimana ajalnya? Apakah ia bahagia (masuk Surga) ataukah celaka (Neraka)?”
Allah juga
mewakilkan setiap manusia kepada 4 (empat) orang Malaikat di dunia ini; Dua Malaikat yang menjaganya di sebelah kiri
dan kanan serta menulis amal-amalnya, dan dua Malaikat yang menyertai di depan dan belakang, minimal ada dua orang Malaikat yang selalu menjaganya atas
perintah Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah
mewakilkan kematian kepada seorang Malaikat (Malakul Maut) dan para Malaikat lain yang membantunya, mewakilkan pengajuan pertanyaan
terhadap orang yang telah meninggal di dalam kubur kepada Malaikat, mewakilkan
rahmat-Nya pada seorang Malaikat, mewakilkan adzab-Nya kepada seorang Malaikat,
mewakilkan orang mukmin kepada seorang Malaikat yang akan menghelanya kepada
berbagai ketaatan, mewakilkan Neraka kepada para Malaikat yang seantiasa
berbuat untuk menyalakan apinya, yang membuat belenggu dan rantai serta
melaksanakan tugas menurut perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Menyerahkan
Surga kepada para Malaikat yang membangun serta menghamparkannya, yang membuat
berbagai tempat sandaran, dipan-dipan, bantal-bantal, serta
bejana-bejananya. Semua penanganan Alam
Atas dan Alam Bawah, Surga dan Neraka ditangani oleh para Malaikat menurut
perkenan Allah dan berdasarkan perintah-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
Mereka
itu (para Malaikat) tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan
perintah-perintah-Nya.”
(QS. Al-Ambiya’; 27),
“Mereka (para Malaikat) tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.”
(QS. At-Tahrim; 6)
Allah ‘Azza
wa Jalla mengabarkan, bahwa para Malaikat tidak mendurhakainya jika
mendapat perintah-Nya, mereka sanggup melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
mereka sama sekali tidak merasa lemah (kelelahan), berbeda dengan manusia yang meninggalkan
perintah Allah karena memang tidak sanggup, sehingga orang seperti ini tidak
disebut orang yang mendurhakai perintah-Nya – meskipun dia tidak
melaksanakannya.
Allah juga
mewakilkan lautan kepada Malaikat yang memenuhi permukaannya, dan mencegahnya
menggenangi daratan agar penghuni bumi tidak tenggelam. Amal-amal keturunan Adam yang baik maupun
yang buruk juga diwakilkan kepada para Malaikat – untuk ditulis dan
dibukukan. Oleh sebab itu, iman kepada
para Malaikat merupakan salah satu Rukun Iman, sehingga rukun-rukun ini belum (tidak)
dianggap sempurna bila tidak disertai iman kepada para Malaikat.
Jika hal ini telah diketahui, berarti setiap
gerakan di Alam ini disebabkan oleh para Malaikat, dan setiap gerakan mereka
merupakan ketaatan kepada Allah berdasarkan perintah dan kehendak-Nya.
Jadi, semua urusan kembali kepada pelaksanaan kehendak Allah, baik hukum-hukum maupun
takarannya. Sedangkan para Malaikat
merupakan pelaksana perintah itu. Oleh
karena itu mereka disebut dengan Malaikat, yang berasal dari kata Al-Alukiyah,
yang bermakna pengutusan. Jadi, mereka
adalah utusan-utusan Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Secara
gamblang, semua gerakan-gerakan planet dan apapun yang ada di sekitarnya
mengikuti gerakan yang memang dikekendaki, yang disertai cinta. Cinta dan
kehendak merupakan asal setiap perbuatan dan permulaannya.
Perbuatan tidak akan pernah terwujud kecuali karena cinta dan kehendak,
termasuk pula upayanya untuk menyingkirkan hal-hal yang dibenci (tidak disukai). Dengan kehendak dan cintanya
dia menyingkirkan apa yang dibenci dan tidak disukai itu, sekalipun harus
mengerjakan hal-hal sebaliknya (tidak patut) demi mendapatkan kenikmatan yang
bisa diperolehnya.
Contohnya
adalah ucapan, “Amarahnya sudah luruh, dadanya sudah lapang.” Gambaran lain; Kesembuhan dan afiat merupakan
sesuatu yang dicintai, sekalipun harus melakukan hal-hal yang tidak disukai,
seperti meminum obat yang pahit untuk menghilangkan rasa sakit (demam). Sekalipun di satu sisi merupakan hal yang
tidak disukai, akan tetapi perbuatan ini dicintai – demi untuk mengenyahkan
hal-hal yang tidak disukai dan mendatangkan apa-apa yang dicintai.
Begitu pula melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
keinginan diri sendiri. Sekalipun hal
itu tidak disukai, tetapi tetap saja hal itu dilakukan karena adanya cinta dan
kehendak. Meskipun hal itu tidak
disukai, toh ini merupakan tuntutan dari orang yang dicintainya.
Makhluk
hidup tidak akan meninggalkan apa yang dicintai dan diinginkannya, karena hal
itu memang diinginkan dan dicintainya.
Dia akan meninggalkan yang paling tidak disukainya guna mendapatkan apa
yang lebih dicintainya. Oleh
sebab itu cinta dan kehendak merupakan sumber kebencian dan ketidak-sukaan.
Sesuatu yang dibenci dan tidak disukai menafikan (melenyapkan) keberadaan
apa yang dicintai. Jika ada hal yang
dicintai dan dibenci, maka perbuatan akan mengembalikan keberadaan apa yang
dicintai (diinginkan).
Gerakan
yang terjadi menurut kemauan sendiri dasarnya adalah kehendak. Sedangkan gerakan karena paksaan dan alami
akan mengikutinya, lalu permasalahannya kembali kepada gerakan yang dikehendaki
(penyesuaian). Semua
gerakan Alam Atas dan Alam Bawah mengikuti kehendak dan cinta. Cinta inilah yang menggerakkan alam, dan
karena cinta pula ia bergerak. Cinta inilah yang menjadi alasan
langsung atau tidak langsung. Bahkan
dengan cinta dan karena cinta pula alam ini menjadi ada. Tidak ada sesuatupun yang bergerak di alam atas
dan alam bawah, melainkan kehendak dan cinta merupakan sebab dan
tujuannya. Bahkan,
hakikat cinta itu sendiri merupakan gerakan jiwa yang mencintai terhadap yang
dicintai. Cinta adalah gerakan yang tak
bisa diam. Sedangkan kesempurnaan cinta
adalah penghambaan, ketundukan, merendahkan diri, dan taat kepada yang
dicintai. Inilah kebenaran, yang
karenanya langit dan bumi serta dunia dan Akhirat diciptakan.
Makna
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;
“Dan tidaklah
Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar.”
(QS. Al-Hijr; 85),
“Dan
Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
tanpa hikmah.”
(QS. Shad; 27),
“Maka,
apakah kalian mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara
main-main?”
(QS. Al-Mukminun; 115)
Yang pasti, tujuan penciptaan adalah penyembahan
kepada Allah semata, yang sekaligus menjadi gambaran (refleksi) kesempurnaan
cinta, ketundukan, dan merendahkan diri.
Keharusan penyembahan kepada-Nya adalah dengan melaksanaan perintah dan
larangan, pahala dan siksa. Karena itulah para Rasul diutus,
kitab-kitab diturunkan dari langit, Surga dan Neraka diciptakan. Langit dan bumi hanya akan berdiri kokoh dengan keadilan, yakni jalan Allah, yang Dia
juga berada di atasnya dan merupakan sesuatu yang paling Dia sukai. Allah berfirman tentang keadaan Nabi-Nya,
Syu’aib ‘alaihissalam (artinya),
“Sesungguhnya
aku bertawakal kepada Allah, Rabb-ku dan Rabb kalian. Tidak ada satu binatang melata pun melainkan
Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya.
Sesungguhnya Rabb-ku di atas jalan yang lurus.”
(QS. Hud;
56)
Allah
berada di atas jalan yang lurus dalam menetapkan syari’at dan takdir-Nya. Maksud jalan yang lurus di sini adalah keadilan,
yang karenanya makhluk diadakan, perintah, larangan, pahala dan siksa. Karena itu orang-orang mukmin berkata dalam
ibadahnya,
“Ya
Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau.”
(QS. Ali-Imran;
191)
Mereka
memustahilkan Allah menciptakan langit untuk main-main, tanpa ada hikmah dan
tujuan yang terpuji dibalik itu, sebagaimana pujian terhadap Dzat dan
Sifat-Sifat-Nya. Tujuan yang terpuji
dalam perbuatan-Nya adalah hikmah yang dicintai dan diridhai-Nya. Dia menciptakan apa yang tidak disukai sebagai
keharusan dari apa yang dicintai, dan menyertai apa yang dicintai-Nya. Oleh karena itu Allah membiarkan pelaksanaan
sebagian yang dicintai-Nya, karena meninggalkan apa yang dicintai-Nya jauh lebih
banyak. Atau Dia membiarkan pelaksanaan
apa yang dibenci-Nya sebagai sesuatu yang lebih dibenci daripada apa yang
dicintai-Nya. Hal ini seperti keadaan
Allah yang menutup hati musuh-musuh-Nya untuk beriman dan taat kepada-Nya,
karena memang mereka tidak menginginkan ketaatan. Tetapi Allah membiarkan hal yang lebih
disenangi-Nya, berupa hal-hal yang sejalan dengan Al-Wala’ wal-Bara’ (Kesetiaan dan
berlepas diri), pengorbanan para wali-Nya, yang memprioritaskan kecintaan
kepada-Nya daripada kecintaan terhadap diri mereka sendiri. Untuk inilah
Allah menciptakan kehidupan dan kematian, serta menjadikan hiasan di permukaan
bumi sebagai ujian. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman (artinya),
“Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian
yang lebih baik amalnya.”
(QS. Al-Mulk; 2),
“Sesungguhnya
Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”
(QS. Al-Kahfi;
7),
“Dan
Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
Singasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara
kalian yang lebih baik amalnya.”
(QS. Hud; 7)
Allah telah
mengabarkan tentang penciptaan alam, hidup, mati, dan menjadikan perhiasan di
bumi serta apa pun yang ada di permukaannya untuk menguji hamba-hamba-Nya,
siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya, sehingga amalnya sesuai
dengan apa yang dicintai Allah, sejalan dengan tujuan penciptaannya dan penciptaan
alam, yaitu untuk beribadah kepada-Nya, yang meliputi kecintaan dan taat
kepada-Nya. Inilah amal yang paling
baik, dan inilah cinta dan ridha-Nya.
Kemudian Allah juga mentakdirkan kebalikan-kebalikannya menurut
hikmah-Nya untuk menguji manusia, bagaimana sikap mereka dalam menghadapi
perintah dan takdir itu, siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.
Sehubungan
dengan ujian ini manusia dibedakan menjadi 2 (dua) golongan;
Pertama;
Golongan
manusia yang berbuat berdasarkan perintah dan kecintaan kepada Allah.
Mereka bergerak dan diam sesuai dengan perintah-Nya, menggunakan
perintah itu dalam menghadapi takdir, menjalankan bahtera perintah di lautan
takdir, menghukumi perintah berdasarkan takdir, melawan takdir dengan takdir,
sebagai perwujudan komitmen terhadap perintah-Nya, dan dalam rangka mencari
keridhaan-Nya. Mereka inilah
orang-orang yang selamat.
Kedua;
Golongan
yang mempertentangkan antara perintah dan takdir, antara apa yang dicintai dan
diridhai-Nya dengan kebalikannya, antara apa yang ditakdirkan dan
ditetapkan-Nya dengan kebalikannya. Golongan ini dibagi lagi menjadi 4
(empat) kelompok;
1. 1. Kelompok
yang mendustakan takdir karena hendak menjaga perintah dan meniadakan perintah
dengan alasan menjaga takdir. Padahal beriman kepada takdir
merupakan dasar iman kepada perintah (Kaidah Tauhid), siapa yang mendustakan
takdir berarti telah meniadakan imannya.
2. 2. Kelompok
yang menolak perintah dengan alasan takdir.
Mereka
adalah orang-orang yang paling kufur, dan mereka inilah yang dikisahkan Allah
di dalam Al-Qur`an tatkala mereka berkata,
“Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukan-Nya, dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa
pun.”
(QS. Al-An’am;
148).
Mereka juga berkata,
“Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa
pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami
mengharamkan sesuatu pun tanpa (idzin)-Nya.”
(QS. An-Nahl; 35), dan
“Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah kami tidak menyembah
mereka (para Malaikat).”
(QS. Az-Zukhruf; 20)
“Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki
tentulah Dia akan memberinya makan?”
(QS. Yasin; 47)
Dengan keadaan seperti itu Allah menjadikan mereka orang-orang yang
mendustakan dan pembangkangan yang tidak disertai pengetahuan. Allah juga mengabarkan, bahwa mereka berada
dalam kesesatan yang nyata.
3. 3. Kelompok
yang bertindak bersama takdir, berjalan menurut jalannya takdir, turun bersama
turunnya takdir, tidak peduli apakah itu sesuai dengan perintah atau tidak. Bahkan Agamanya adalah takdir.
Yang disebut halal adalah yang halal menurut takdir, yang haram ialah
apa yang diharamkan takdir. Mereka
bergabung dengan yang menang, baik muslim maupun kafir, orang yang baik maupun
yang jahat – dengan alasan takdir.
Tatkala mereka melihat hakikat alam yang dianggapnya sebagai takdir,
maka mereka tak segan-segan untuk bergabung dengan orang kafir yang
berkuasa. Mereka ini juga disebut
orang-orang kafir.
4. 4. Kelompok
yang berbuat bersama takdir – sambil beranggapan, bahwa sebenarnya dia
berseberangan dengan perintah. Mereka
tidak membatasi takdir itu melainkan membebaskannya. Mereka tidak menghukumi perintah dan tidak sanggup menolak takdir dengan
takdir untuk dapat mengikuti perintah.
Mereka adalah orang-orang yang menyimpang. Mereka berada di antara kondisi yang lemah
dan mendurhakai Allah. Mereka adalah
orang-orang yang bermakmum kepada pemimpinnya, Iblis. Sebab iblislah yang pertama kali mendahulukan
takdir daripada perintah dan juga menentangnya.
Iblis berkata,
“Iblis berkata, ‘Ya Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa
aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat)
di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’”
(QS. Al-Hijr;
39), dan
“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.’”
(QS. Al-A’raf;
16)
Iblis menolak perintah Allah dengan takdir-Nya, dan beralasan di hadapan
Rabb-nya dengan takdir. Jadi,
pengikut Iblis ini terdiri dari 4 (empat) golongan di atas. Iblis dan
pasukannya mengirim utusan dengan membawa takdir menurut apa adanya. Allah berfirman (artinya),
“Tidakkah kamu lihat, bahwa
Kami telah mengirim syaithan-syaithan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasut
mereka berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh?”
(QS. Maryam; 83)
Agama mereka adalah takdir, dan kesudahan jalan yang mereka tempuh
adalah Neraka. Lalu Allah mengutus para
Rasul untuk membawa perintah, dan memerintahkan agar mereka memerangi
orang-orang yang berkilah dibalik takdir ini.
Dengan perintah Allah para Rasul ini membuat perahu,
lalu menyuruh para pengikutnya untuk mengarungi lautan takdir. Yang selamat hanyalah mereka yang mau naik ke
atas perahu, seperti keselamatan yang diperoleh pembuat perahu itu (para
Rasul). Yang demikian ini dijadikan
bukti penguat bagi seluruh alam.
Orang-orang yang berpegang kepada perintah memerangi orang-orang yang
hanya berpegang kepada takdir, untuk membawa mereka kepada perintah. Sedangkan orang-orang yang hanya berpegang
kepada takdir itu juga memerangi orang-orang yang berpegang kepada perintah
agar mereka keluar dari perintah itu. Jalan
para Rasul adalah perintah, disertai iman kepada takdir serta mengangkat
perintah itu sebagai penentu atas takdir.
Sedangkan jalan Iblis dan pasukannya adalah takdir dan mengenyampingkan
perintah. Perhatikan secara seksama
masalah ini, terutama yang berkaitan dengan takdir dan perintah, serta
pemilahan dunia menjadi 5 (lima) bagian dalam kaitannya dengan masalah ini
(seperti yang telah diterangkan di atas).
Gerakan alam atas dan alam bawah serta apapun yang ada di dalamnya
harus sejalan dengan Perintah Agama yang
dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau perintah alam yang
ditakdirkan Allah (Takdir Kauni) yang telah ditetapkan-Nya. Allah tidak menetapkan takdir baginya secara sia-sia dan main-main. Sebab di dalam takdir itu terkandung
hikmah dan tujuan-tujuan yang terpuji, juga disusul dengan hal-hal yang pasti ada
maksudnya, sekalipun mungkin kurang disenangi sebab dan permulaannya.
Allah suka memberi ampunan, sekalipun tidak menyukai kedurhakaan
hamba-hamba-Nya. Allah suka tabir yang
menutupi aib, sekalipun tidak menyukai tabir yang menjadi pemisah antara
hubungan hamba dengan-Nya. Allah
menyukai kemerdekaan, sekalipun tidak menyukai sebab yang membebaskannya dari
api Neraka (tanpa pertanggung jawaban).
Allah menyukai ampunan, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits
(artinya),
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan, Engkau menyukai
ampunan, maka ampunilah dosaku.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy,
An-Nasa’y, dan Ibnu Majah)
Sekalipun Allah tidak menyukai dosa-dosa yang kemudian diampuni-Nya, toh
Allah tetap menyukai orang-orang yang bertaubat, sekalipun Dia tidak menyukai
kedurhakaan yang kemudian mereka bertaubat darinya. Allah menyukai jihad dan orang-orang
yang berjihad, sekalipun Dia tidak menyukai perbuatan orang-orang yang berjihad
melawan (perintah)-Nya. Ini
merupakan masalah yang luas dan pintunya selalu terbuka. Oleh sebab itu masukilah ia, agar engkau bisa
memiliki pengetahuan.
Ini merupakan topik yang dianggap sempit bagi sebagian orang yang
berpikir – dan yang hanya masuk dari pintunya sendiri. Rahasia topik ini adalah, bahwa Allah adalah
Mahasempurna, Sifat-Sifat dan Asma-Nya.
Dia memiliki kesempurnaan yang mutlak dari berbagai segi, yang tidak
memiliki kekurangan dari satu segi pun.
Dia menyukai Asma dan Sifat-Sifat-Nya, menyukai pengaruhnya pada
makhluk-Nya. Ini merupakan kelaziman
kesempurnaan-Nya. Allah ganjil dan
menyukai yang ganjil, Maha Indah dan menyukai keindahan. Maha mengetahui dan menyukai orang-orang yang
memiliki pengetahuan, Murah hati dan menyukai orang-orang yang bermurah
hati. Mahakuat dan menyukai orang-orang
mukmin yang kuat daripada yang lemah.
Memiliki Sifat Malu dan menyukai orang-orang yang mempunyai rasa
malu. Menepati janji dan menyukai orang-orang
yang menepati janji. Maha Penerima
Syukur dan menyukai orang-orang yang pandai bersyukur. Mahabenar dan menyukai orang-orang yang
benar. Membalas perbuatan baik dan
menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Jika Allah menyukai ampunan, maghfirah, kelembutan, tenggang rasa,
menutupi aib dan lain-lainnya, berarti tidak ada campur tangan takdir-Nya
terhadap sebab-sebab yang memunculkan pengaruh sifat-sifat itu, dan yang
dijadikan manusia sebagai dalil atas kesempurnaan Asma dan
Sifat-Sifat-Nya. Yang demikian ini lebih
mendorong mereka untuk mencintai, memuji dan mengagungkan-Nya. Dengan demikian tercapailah tujuan penciptaan
makhluk. Kalaupun tujuan itu tidak
terwujud pada sebagian makhluk, maka itu karena ketiadaan sebab kesempurnaan
dan kemunculan (pengaruh). Perhatikanlah
baik-baik masalah ini.
Pada Hari Kiamat, semua yang ada pada diri makhluk akan tersibak,
tatkala mereka berhimpun di suatu tempat.
Kebaikan dan keburukan, kenikmatan dan penderitaan akan dikembalikan
kepada setiap diri, sekalipun hanya seberat biji sawi. Setiap diri akan dihela kepada tujuan yang
dipersaksikannya. Pada saat itu pula
semua alam akan memuji-Nya, sebagaimana makna firman-nya,
“Dan kamu (Muhammad) akan melihat Malaikat-Malaikat di sekeliling ‘Arsy
bertasbih sambil memuji Rabb mereka, dan diberi putusan di antara hamba-hamba
Allah dengan adil, dan diucapkan, ‘Segala Puji
bagi Allah Rabb semesta alam.’”
(QS. Az-Zumar; 75)
Yang melontarkan ucapan seperti akhir ayat di atas tidak disebutkan,
karena memang tidak perlu. Sebab pada
hakikatnya setiap orang akan memuji Allah seperti ketetapan yang telah ada pada
diri mereka. Semua penghuni langit dan
bumi, yang baik dan yang jahat, manusia dan jin, termasuk pula para penghuni
Surga dan Neraka – semua memuji Allah Rabbul ‘Alamin.
Al-Hasan dan yang lainnya berkata, “Sekalipun mereka masuk ke dalam Neraka,
tetapi pujian terhadap-Nya tetap ada di dalam hati, selagi mereka mendapatkan
cara untuk itu. Inilah rahasia
ditiadakannya siapa yang melontarkan ucapan tersebut, seperti dalam makna firman-Nya,
“Dikatakan (kepada mereka), ‘Masukilah pintu-pintu Neraka Jahannam itu,
sedang kalian kekal di dalamnya.”
(QS. Az-Zumar; 72), dan
“Dan dikatakan (kepada keduanya), ‘Masuklah ke Neraka bersama-sama orang
yang masuk (Neraka)’.”
(QS. At-Tahrim; 10)
Seakan-akan seisi alam mengucapkan pujian itu. Allah lebih mengetahui mana yang benar.
(Baca juga, Ce-i... Ci + eN, Te-a... Ta, Cinta)
(Baca juga, Ce-i... Ci + eN, Te-a... Ta, Cinta)
oOo
(Disadur dari kitab, “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”,
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar