Jumat, 14 Juni 2019

PENCIPTAAN ALAM ATAS DAN ALAM BAWAH KARENA CINTA



بسم الله الر حمان الر حيم

Apa pun bentuk pergerakan yang terjadi di Jagat Raya ini, baik yang terjadi di Alam Atas maupun Alam Bawah mengikuti (berdasarkan) kehendak dan cinta.  Cinta inilah yang menggerakkan alam, dan karenanya pula alam ini bergerak.  Cinta inilah yang menjadi alasan, baik secara langsung atau tidak langsung.  Bahkan dengan cinta dan karena cinta pula Jagat Raya ini terwujud.

Tulisan pada Bab ini adalah bagian yang paling terhormat dari keseluruhan Bab yang ada di dalam kitab  “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”, karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang kami sadur dan tuangkan kembali secara bebas.
Sebelum penulis melanjutkan tulisan ini, perlu diketahui bahwa gerakan yang terjadi di alam ini ada 3 (tiga) macam;
1.       1. Gerakan berdasarkan kehendak sendiri.
2.       2. Gerakan alami.
3.       3. Gerakan berdasarkan (atas) paksaan.
Secara ringkas dapat disebutkan, bahwa asal dari suatu gerakan itu bisa dari orang yang mengeluarkan gerakan, atau dari selainnya.  Jika gerakan itu berasal dari orang yang bergerak, maka boleh jadi gerakan itu disertai dengan perasaan dan ilmunya, dan boleh jadi juga tanpa disertai perasaan dan ilmunya.
Jadi, engkau bisa berkata tentang berbagai kemungkinan orang yang mengeluarkan gerakan;
1.       Dia bergerak berdasarkan kehendaknya, yang berarti geraknya merupakan gerakan yang memang dikehendaki.
2.       Dia bergerak tidak berdasarkan kehendaknya, yang berarti ada 2 (dua) kemungkinan;
·         Jika gerakan itu mengikuti pusat (orbit)nya, maka itu merupakan gerakan alami.
·         Jika gerakan itu keluar dari pusat (orbit)nya, maka itu merupakan gerakan yang terpaksa.
Jika permasalahan ini telah jelas, maka gerakan yang berdasarkan kehendak akan mengikuti kehendak orang yang bergerak.  Sasarannya (maksud gerakan itu) bisa bagi dirinya sendiri, atau diperuntukkan bagi orang lain.  Sasaran yang diperuntukkan bagi orang lain tentu akan berhenti pada diri orang itu.
Kehendak itu bisa untuk mencari manfaat dan mendapatkan kenikmatan bagi orang yang bergerak atau bagi orang lain, dan bisa juga untuk mengenyahkan bahaya serta hal-hal yang tidak disukai, baik bagi orang yang melakukan gerakan maupun bagi orang lain.  Orang yang berakal tentu tidak akan mendatangkan manfaat bagi orang lain, atau menyingkirkan bahaya dari orang lain kecuali bila tindakannya itu dapat mendatangkan kenikmatan, atau karena ia bisa mengenyahkan penderitaan.  Sehingga, tidak mengherankan jika gerakan yang berdasarkan kehendak sendiri itu akan mengikuti orang yang dicintainya.  Bahkan ini merupakan hukum dari setiap makhluk hidup yang bisa bergerak.
Sedangkan gerakan alami adalah gerakan sesuatu di pusatnya dan tempatnya.  Hal ini mengikuti gerakan yang menuntut sesuatu itu keluar dari tempat diamnya, yang berarti harus ada paksaan.  Paksaan ini berasal dari Pemaksa yang mengeluarkannya dari tempat diamnya, bisa berdasarkan pilihannya sendiri, seperti gerakan batu ke arah bawah setelah ia dilemparkan ke atas, atau bisa juga bukan karena pilihan yang menggerakkannya, seperti gerakan angin di dalam tubuh menuju saluran yang semestinya, detak jantung, dan lain-lain .  Gerakan ini mengikuti kemauan Pemaksa.  Gerakan Pemaksa ini bukan berasal dari dirinya sendiri, tetapi awalnya berasal dari yang lain.
Sebagai contoh adalah, para Malaikat yang dipercaya di Alam Atas dan Alam Bawah, yang telah diatur menurut perintah Allah ‘Azza wa Jalla.  Seperti makna firman-Nya;
“Dan Malaikat-Malaikat yang membagi urusan.”  
(QS. Adz-Dzariyat;  4),
“Demi Malaikat-Malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan, dan Malaikat-Malaikat yang terbang dengan kencangnya, dan (Malaikat-Malaikat) yang membedakan (antara yang hak dan yang bathil) dengan sejelas-jelasnya, dan (Malaikat-Malaikat) yang menyampaikan wahyu.”  
(QS. Al-Mursalat;  1-5),
“Demi (Malaikat-Malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (Malaikat-Malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, dan (Malaikat-Malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (Malaikat-Malaikat) yang mengatur urusan (dunia).”  
(QS. An-Nazi’at;  1-5)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewakilkan (mempercayakan) pengurusan langit, berbagai planet, matahari, bintang-bintang, dan bulan kepada para Malaikat untuk menggerakkannya, mewakilkan angin kepada mereka untuk meniupkannya menurut perintah-Nya, dan mereka adalah para penjaga angin itu.  Sesuai dengan makna firman Allah Ta’ala,
“Adapun kaum Aad, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi sangat kencang.”  
(QS. Al-Haqqah;  6)
Allah mewakilkan (penjagaan) setiap tetes air kepada Malaikat, mempercayakan awan kepada Malaikat, yang menggiringnya ke arah manapun yang dikehendaki  (diperintahkan) Allah ‘Azza wa Jalla.  Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Tatkala seorang laki-laki berada di suatu tempat, tiba-tiba dia mendengar sebuah suara dari atas awan yang berkata, ‘Airilah kebun si Fulan’.  (Lalu) orang itu mengikuti jalannya awan hingga berhenti di sebuah kebun, hingga air (hujan) menggenangi kebun itu.  Dia melihat-lihat, ternyata ada seorang laki-laki di kebun itu yang sedang memindah-mindahkan air dengan menggunakan sekop.  Dia bertanya kepada pemilik kebun itu, ‘Siapakah namamu wahai hamba Allah?’  Pemilik kebun itu menjawab, “Fulan”, yaitu nama yang didengarnya (disebut) di atas awan.  Dia berkata, ‘Sesungguhnya saya tadi mendengar seseorang yang berkata dari atas awan itu, ‘Airilah kebun Fulan!  Apa saja yang engkau perbuat terhadap kebun ini?’  Pemilik kebun itu menjawab, ‘Sesungguhnya aku melihat apa yang dihasilkannya, lalu aku bagi menjadi tiga bagian;  Sepertiganya aku sedekahkan, sepertiganya aku nafkahkan untuk keluargaku, dan sepertiganya lagi aku tanam kembali.’”  (Ditakhrij Muslim)
Allah ‘Azza wa Jalla mewakilkan gunung kepada Malaikat.  Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau didatangi oleh seorang Malaikat penjaga gunung, yang mengucapkan salam lalu meminta izin kepada Beliau untuk ditimpakan kepada kaumnya jika Beliau menghendaki.  Akan tetapi Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Bahkan aku berharap bagi mereka, semoga Allah mengeluarkan dari kalangan mereka orang-orang yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya.”  (Diriwayatkan Asy-Syaikhany)
Allah mewakilkan rahim kepada seorang Malaikat, yang berkata, “Wahai Rabb-ku, adakah setetes sperma?  Adakah segumpal darah?  Adakah sepotong daging?  Laki-laki atau perempuan?  Bagaimana rezekinya?  Bagaimana ajalnya?  Apakah ia bahagia (masuk Surga) ataukah celaka (Neraka)?”
Allah juga mewakilkan setiap manusia kepada 4 (empat) orang Malaikat di dunia ini;  Dua Malaikat yang menjaganya di sebelah kiri dan kanan serta menulis amal-amalnya, dan dua Malaikat yang menyertai di depan dan belakang, minimal ada dua orang Malaikat yang selalu menjaganya atas perintah Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah mewakilkan kematian kepada seorang Malaikat (Malakul Maut) dan para Malaikat lain yang membantunya, mewakilkan pengajuan pertanyaan terhadap orang yang telah meninggal di dalam kubur kepada Malaikat, mewakilkan rahmat-Nya pada seorang Malaikat, mewakilkan adzab-Nya kepada seorang Malaikat, mewakilkan orang mukmin kepada seorang Malaikat yang akan menghelanya kepada berbagai ketaatan, mewakilkan Neraka kepada para Malaikat yang seantiasa berbuat untuk menyalakan apinya, yang membuat belenggu dan rantai serta melaksanakan tugas menurut perintah Allah ‘Azza wa Jalla.  Menyerahkan Surga kepada para Malaikat yang membangun serta menghamparkannya, yang membuat berbagai tempat sandaran, dipan-dipan, bantal-bantal, serta bejana-bejananya.  Semua penanganan Alam Atas dan Alam Bawah, Surga dan Neraka ditangani oleh para Malaikat menurut perkenan Allah dan berdasarkan perintah-Nya.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
Mereka itu (para Malaikat) tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan perintah-perintah-Nya.”  
(QS. Al-Ambiya’;  27),
“Mereka  (para Malaikat) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”  
(QS. At-Tahrim;  6)
Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan, bahwa para Malaikat tidak mendurhakainya jika mendapat perintah-Nya, mereka sanggup melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mereka sama sekali tidak merasa lemah (kelelahan), berbeda dengan manusia yang meninggalkan perintah Allah karena memang tidak sanggup, sehingga orang seperti ini tidak disebut orang yang mendurhakai perintah-Nya – meskipun dia tidak melaksanakannya.
Allah juga mewakilkan lautan kepada Malaikat yang memenuhi permukaannya, dan mencegahnya menggenangi daratan agar penghuni bumi tidak tenggelam.  Amal-amal keturunan Adam yang baik maupun yang buruk juga diwakilkan kepada para Malaikat – untuk ditulis dan dibukukan.  Oleh sebab itu, iman kepada para Malaikat merupakan salah satu Rukun Iman, sehingga rukun-rukun ini belum (tidak) dianggap sempurna bila tidak disertai iman kepada para Malaikat.
Jika hal ini telah diketahui, berarti setiap gerakan di Alam ini disebabkan oleh para Malaikat, dan setiap gerakan mereka merupakan ketaatan kepada Allah berdasarkan perintah dan kehendak-Nya.  Jadi, semua urusan kembali kepada pelaksanaan kehendak Allah, baik hukum-hukum maupun takarannya.  Sedangkan para Malaikat merupakan pelaksana perintah itu.  Oleh karena itu mereka disebut dengan Malaikat, yang berasal dari kata Al-Alukiyah, yang bermakna pengutusan.  Jadi, mereka adalah utusan-utusan Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Secara gamblang, semua gerakan-gerakan planet dan apapun yang ada di sekitarnya mengikuti gerakan yang memang dikekendaki, yang disertai cinta.  Cinta dan kehendak merupakan asal setiap perbuatan dan permulaannya.  Perbuatan tidak akan pernah terwujud kecuali karena cinta dan kehendak, termasuk pula upayanya untuk menyingkirkan hal-hal yang dibenci (tidak disukai).  Dengan kehendak dan cintanya dia menyingkirkan apa yang dibenci dan tidak disukai itu, sekalipun harus mengerjakan hal-hal sebaliknya (tidak patut) demi mendapatkan kenikmatan yang bisa diperolehnya.
Contohnya adalah ucapan, “Amarahnya sudah luruh, dadanya sudah lapang.”  Gambaran lain; Kesembuhan dan afiat merupakan sesuatu yang dicintai, sekalipun harus melakukan hal-hal yang tidak disukai, seperti meminum obat yang pahit untuk menghilangkan rasa sakit (demam).  Sekalipun di satu sisi merupakan hal yang tidak disukai, akan tetapi perbuatan ini dicintai – demi untuk mengenyahkan hal-hal yang tidak disukai dan mendatangkan apa-apa yang dicintai.
Begitu pula melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan diri sendiri.  Sekalipun hal itu tidak disukai, tetapi tetap saja hal itu dilakukan karena adanya cinta dan kehendak.  Meskipun hal itu tidak disukai, toh ini merupakan tuntutan dari orang yang dicintainya.
Makhluk hidup tidak akan meninggalkan apa yang dicintai dan diinginkannya, karena hal itu memang diinginkan dan dicintainya.  Dia akan meninggalkan yang paling tidak disukainya guna mendapatkan apa yang lebih dicintainya.  Oleh sebab itu cinta dan kehendak merupakan sumber kebencian dan ketidak-sukaan.  Sesuatu yang dibenci dan tidak disukai menafikan (melenyapkan) keberadaan apa yang dicintai.  Jika ada hal yang dicintai dan dibenci, maka perbuatan akan mengembalikan keberadaan apa yang dicintai (diinginkan).
Gerakan yang terjadi menurut kemauan sendiri dasarnya adalah kehendak.  Sedangkan gerakan karena paksaan dan alami akan mengikutinya, lalu permasalahannya kembali kepada gerakan yang dikehendaki (penyesuaian).  Semua gerakan Alam Atas dan Alam Bawah mengikuti kehendak dan cinta.  Cinta inilah yang menggerakkan alam, dan karena cinta pula ia bergerak.  Cinta inilah yang menjadi alasan langsung atau tidak langsung.  Bahkan dengan cinta dan karena cinta pula alam ini menjadi ada.  Tidak ada sesuatupun yang bergerak di alam atas dan alam bawah, melainkan kehendak dan cinta merupakan sebab dan tujuannya.  Bahkan, hakikat cinta itu sendiri merupakan gerakan jiwa yang mencintai terhadap yang dicintai.  Cinta adalah gerakan yang tak bisa diam.  Sedangkan kesempurnaan cinta adalah penghambaan, ketundukan, merendahkan diri, dan taat kepada yang dicintai.  Inilah kebenaran, yang karenanya langit dan bumi serta dunia dan Akhirat diciptakan.
Makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar.”  
(QS. Al-Hijr;  85),
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah.”  
(QS. Shad;  27),
“Maka, apakah kalian mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main?”  
(QS. Al-Mukminun;  115)
Yang pasti, tujuan penciptaan adalah penyembahan kepada Allah semata, yang sekaligus menjadi gambaran (refleksi) kesempurnaan cinta, ketundukan, dan merendahkan diri.  Keharusan penyembahan kepada-Nya adalah dengan melaksanaan perintah dan larangan, pahala dan siksa.  Karena itulah para Rasul diutus, kitab-kitab diturunkan dari langit, Surga dan Neraka diciptakan.  Langit dan bumi hanya akan berdiri kokoh  dengan keadilan, yakni jalan Allah, yang Dia juga berada di atasnya dan merupakan sesuatu yang paling Dia sukai.  Allah berfirman tentang keadaan Nabi-Nya, Syu’aib ‘alaihissalam (artinya),
“Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Rabb-ku dan Rabb kalian.  Tidak ada satu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya.  Sesungguhnya Rabb-ku di atas jalan yang lurus.”  
(QS. Hud;  56)
Allah berada di atas jalan yang lurus dalam menetapkan syari’at dan takdir-Nya.  Maksud jalan yang lurus di sini adalah keadilan, yang karenanya makhluk diadakan, perintah, larangan, pahala dan siksa.  Karena itu orang-orang mukmin berkata dalam ibadahnya,
“Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.  Mahasuci Engkau.”  
(QS. Ali-Imran;  191)
Mereka memustahilkan Allah menciptakan langit untuk main-main, tanpa ada hikmah dan tujuan yang terpuji dibalik itu, sebagaimana pujian terhadap Dzat dan Sifat-Sifat-Nya.  Tujuan yang terpuji dalam perbuatan-Nya adalah hikmah yang dicintai dan diridhai-Nya.  Dia menciptakan apa yang tidak disukai sebagai keharusan dari apa yang dicintai, dan menyertai apa yang dicintai-Nya.  Oleh karena itu Allah membiarkan pelaksanaan sebagian yang dicintai-Nya, karena meninggalkan apa yang dicintai-Nya jauh lebih banyak.  Atau Dia membiarkan pelaksanaan apa yang dibenci-Nya sebagai sesuatu yang lebih dibenci daripada apa yang dicintai-Nya.  Hal ini seperti keadaan Allah yang menutup hati musuh-musuh-Nya untuk beriman dan taat kepada-Nya, karena memang mereka tidak menginginkan ketaatan.  Tetapi Allah membiarkan hal yang lebih disenangi-Nya, berupa hal-hal yang sejalan dengan  Al-Wala’ wal-Bara’ (Kesetiaan dan berlepas diri), pengorbanan para wali-Nya, yang memprioritaskan kecintaan kepada-Nya daripada kecintaan terhadap diri mereka sendiri.  Untuk inilah Allah menciptakan kehidupan dan kematian, serta menjadikan hiasan di permukaan bumi sebagai ujian.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.”  
(QS. Al-Mulk;  2),
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”  
(QS. Al-Kahfi;  7),
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah Singasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya.”   
(QS. Hud;  7)
Allah telah mengabarkan tentang penciptaan alam, hidup, mati, dan menjadikan perhiasan di bumi serta apa pun yang ada di permukaannya untuk menguji hamba-hamba-Nya, siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya, sehingga amalnya sesuai dengan apa yang dicintai Allah, sejalan dengan tujuan penciptaannya dan penciptaan alam, yaitu untuk beribadah kepada-Nya, yang meliputi kecintaan dan taat kepada-Nya.  Inilah amal yang paling baik, dan inilah cinta dan ridha-Nya.  Kemudian Allah juga mentakdirkan kebalikan-kebalikannya menurut hikmah-Nya untuk menguji manusia, bagaimana sikap mereka dalam menghadapi perintah dan takdir itu, siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.
Sehubungan dengan ujian ini manusia dibedakan menjadi 2 (dua) golongan;
Pertama;  Golongan manusia yang berbuat berdasarkan perintah dan kecintaan kepada Allah.  Mereka bergerak dan diam sesuai dengan perintah-Nya, menggunakan perintah itu dalam menghadapi takdir, menjalankan bahtera perintah di lautan takdir, menghukumi perintah berdasarkan takdir, melawan takdir dengan takdir, sebagai perwujudan komitmen terhadap perintah-Nya, dan dalam rangka mencari keridhaan-Nya.  Mereka inilah orang-orang yang selamat.
Kedua;  Golongan yang mempertentangkan antara perintah dan takdir, antara apa yang dicintai dan diridhai-Nya dengan kebalikannya, antara apa yang ditakdirkan dan ditetapkan-Nya dengan kebalikannya.  Golongan ini dibagi lagi menjadi 4 (empat) kelompok;
1.     1. Kelompok yang mendustakan takdir karena hendak menjaga perintah dan meniadakan perintah dengan alasan menjaga takdir.  Padahal beriman kepada takdir merupakan dasar iman kepada perintah (Kaidah Tauhid), siapa yang mendustakan takdir berarti telah meniadakan imannya.
2.     2. Kelompok yang menolak perintah dengan alasan takdir.  Mereka adalah orang-orang yang paling kufur, dan mereka inilah yang dikisahkan Allah di dalam Al-Qur`an tatkala mereka berkata,
“Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya, dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.”  
(QS. Al-An’am;  148).
Mereka juga berkata,
“Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (idzin)-Nya.”  
(QS. An-Nahl;  35), dan
“Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah kami tidak menyembah mereka (para Malaikat).”  
(QS. Az-Zukhruf;  20)
“Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan?”  
(QS. Yasin;  47)
Dengan keadaan seperti itu Allah menjadikan mereka orang-orang yang mendustakan dan pembangkangan yang tidak disertai pengetahuan.  Allah juga mengabarkan, bahwa mereka berada dalam kesesatan yang nyata.
3.     3. Kelompok yang bertindak bersama takdir, berjalan menurut jalannya takdir, turun bersama turunnya takdir, tidak peduli apakah itu sesuai dengan perintah atau tidak.  Bahkan Agamanya adalah takdir.  Yang disebut halal adalah yang halal menurut takdir, yang haram ialah apa yang diharamkan takdir.  Mereka bergabung dengan yang menang, baik muslim maupun kafir, orang yang baik maupun yang jahat – dengan alasan takdir.  Tatkala mereka melihat hakikat alam yang dianggapnya sebagai takdir, maka mereka tak segan-segan untuk bergabung dengan orang kafir yang berkuasa.  Mereka ini juga disebut orang-orang kafir.
4.     4. Kelompok yang berbuat bersama takdir – sambil beranggapan, bahwa sebenarnya dia berseberangan dengan perintah.  Mereka tidak membatasi takdir itu melainkan membebaskannya.  Mereka tidak menghukumi perintah dan tidak sanggup menolak takdir dengan takdir untuk dapat mengikuti perintah.  Mereka adalah orang-orang yang menyimpang.  Mereka berada di antara kondisi yang lemah dan mendurhakai Allah.  Mereka adalah orang-orang yang bermakmum kepada pemimpinnya, Iblis.  Sebab iblislah yang pertama kali mendahulukan takdir daripada perintah dan juga menentangnya.  Iblis berkata,
“Iblis berkata, ‘Ya Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.’”  
(QS. Al-Hijr;  39), dan
“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.’”  
(QS. Al-A’raf;  16)
Iblis menolak perintah Allah dengan takdir-Nya, dan beralasan di hadapan Rabb-nya dengan takdir.  Jadi, pengikut Iblis ini terdiri dari 4 (empat) golongan di atas. Iblis dan pasukannya mengirim utusan dengan membawa takdir menurut apa adanya.  Allah berfirman (artinya),
“Tidakkah kamu lihat, bahwa Kami telah mengirim syaithan-syaithan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasut mereka berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh?”  
(QS. Maryam;  83)
Agama mereka adalah takdir, dan kesudahan jalan yang mereka tempuh adalah Neraka.  Lalu Allah mengutus para Rasul untuk membawa perintah, dan memerintahkan agar mereka memerangi orang-orang yang berkilah dibalik takdir ini.  Dengan perintah Allah para Rasul ini membuat perahu, lalu menyuruh para pengikutnya untuk mengarungi lautan takdir.  Yang selamat hanyalah mereka yang mau naik ke atas perahu, seperti keselamatan yang diperoleh pembuat perahu itu (para Rasul).  Yang demikian ini dijadikan bukti penguat bagi seluruh alam.
Orang-orang yang berpegang kepada perintah memerangi orang-orang yang hanya berpegang kepada takdir, untuk membawa mereka kepada perintah.  Sedangkan orang-orang yang hanya berpegang kepada takdir itu juga memerangi orang-orang yang berpegang kepada perintah agar mereka keluar dari perintah itu.  Jalan para Rasul adalah perintah, disertai iman kepada takdir serta mengangkat perintah itu sebagai penentu atas takdir.  Sedangkan jalan Iblis dan pasukannya adalah takdir dan mengenyampingkan perintah.  Perhatikan secara seksama masalah ini, terutama yang berkaitan dengan takdir dan perintah, serta pemilahan dunia menjadi 5 (lima) bagian dalam kaitannya dengan masalah ini (seperti yang telah diterangkan di atas).
Gerakan alam atas dan alam bawah serta apapun yang ada di dalamnya harus sejalan dengan Perintah Agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau perintah alam yang ditakdirkan Allah (Takdir Kauni) yang telah ditetapkan-Nya.  Allah tidak menetapkan takdir baginya secara sia-sia dan main-main.  Sebab di dalam takdir itu terkandung hikmah dan tujuan-tujuan yang terpuji, juga disusul dengan hal-hal yang pasti ada maksudnya, sekalipun mungkin kurang disenangi sebab dan permulaannya.
Allah suka memberi ampunan, sekalipun tidak menyukai kedurhakaan hamba-hamba-Nya.  Allah suka tabir yang menutupi aib, sekalipun tidak menyukai tabir yang menjadi pemisah antara hubungan hamba dengan-Nya.  Allah menyukai kemerdekaan, sekalipun tidak menyukai sebab yang membebaskannya dari api Neraka (tanpa pertanggung jawaban).  Allah menyukai ampunan, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits (artinya),
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan, Engkau menyukai ampunan, maka ampunilah dosaku.”  (Diriwayatkan At-Tirmidzy, An-Nasa’y, dan Ibnu Majah)
Sekalipun Allah tidak menyukai dosa-dosa yang kemudian diampuni-Nya, toh Allah tetap menyukai orang-orang yang bertaubat, sekalipun Dia tidak menyukai kedurhakaan yang kemudian mereka bertaubat darinya.  Allah menyukai jihad dan orang-orang yang berjihad, sekalipun Dia tidak menyukai perbuatan orang-orang yang berjihad melawan (perintah)-Nya.  Ini merupakan masalah yang luas dan pintunya selalu terbuka.  Oleh sebab itu masukilah ia, agar engkau bisa memiliki pengetahuan.
Ini merupakan topik yang dianggap sempit bagi sebagian orang yang berpikir – dan yang hanya masuk dari pintunya sendiri.  Rahasia topik ini adalah, bahwa Allah adalah Mahasempurna, Sifat-Sifat dan Asma-Nya.  Dia memiliki kesempurnaan yang mutlak dari berbagai segi, yang tidak memiliki kekurangan dari satu segi pun.  Dia menyukai Asma dan Sifat-Sifat-Nya, menyukai pengaruhnya pada makhluk-Nya.  Ini merupakan kelaziman kesempurnaan-Nya.  Allah ganjil dan menyukai yang ganjil, Maha Indah dan menyukai keindahan.  Maha mengetahui dan menyukai orang-orang yang memiliki pengetahuan, Murah hati dan menyukai orang-orang yang bermurah hati.  Mahakuat dan menyukai orang-orang mukmin yang kuat daripada yang lemah.  Memiliki Sifat Malu dan menyukai orang-orang yang mempunyai rasa malu.  Menepati janji dan menyukai orang-orang yang menepati janji.  Maha Penerima Syukur dan menyukai orang-orang yang pandai bersyukur.  Mahabenar dan menyukai orang-orang yang benar.  Membalas perbuatan baik dan menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Jika Allah menyukai ampunan, maghfirah, kelembutan, tenggang rasa, menutupi aib dan lain-lainnya, berarti tidak ada campur tangan takdir-Nya terhadap sebab-sebab yang memunculkan pengaruh sifat-sifat itu, dan yang dijadikan manusia sebagai dalil atas kesempurnaan Asma dan Sifat-Sifat-Nya.  Yang demikian ini lebih mendorong mereka untuk mencintai, memuji dan mengagungkan-Nya.  Dengan demikian tercapailah tujuan penciptaan makhluk.  Kalaupun tujuan itu tidak terwujud pada sebagian makhluk, maka itu karena ketiadaan sebab kesempurnaan dan kemunculan (pengaruh).  Perhatikanlah baik-baik masalah ini.
Pada Hari Kiamat, semua yang ada pada diri makhluk akan tersibak, tatkala mereka berhimpun di suatu tempat.  Kebaikan dan keburukan, kenikmatan dan penderitaan akan dikembalikan kepada setiap diri, sekalipun hanya seberat biji sawi.  Setiap diri akan dihela kepada tujuan yang dipersaksikannya.  Pada saat itu pula semua alam akan memuji-Nya, sebagaimana makna firman-nya,
“Dan kamu (Muhammad) akan melihat Malaikat-Malaikat di sekeliling ‘Arsy bertasbih sambil memuji Rabb mereka, dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil, dan diucapkan, ‘Segala Puji bagi Allah Rabb semesta alam.’”  
(QS. Az-Zumar;  75)
Yang melontarkan ucapan seperti akhir ayat di atas tidak disebutkan, karena memang tidak perlu.  Sebab pada hakikatnya setiap orang akan memuji Allah seperti ketetapan yang telah ada pada diri mereka.  Semua penghuni langit dan bumi, yang baik dan yang jahat, manusia dan jin, termasuk pula para penghuni Surga dan Neraka – semua memuji Allah Rabbul ‘Alamin.
Al-Hasan dan yang lainnya berkata, “Sekalipun mereka masuk ke dalam Neraka, tetapi pujian terhadap-Nya tetap ada di dalam hati, selagi mereka mendapatkan cara untuk itu.  Inilah rahasia ditiadakannya siapa yang melontarkan ucapan tersebut, seperti dalam makna firman-Nya,
“Dikatakan (kepada mereka), ‘Masukilah pintu-pintu Neraka Jahannam itu, sedang kalian kekal di dalamnya.”  
(QS. Az-Zumar;  72), dan
“Dan dikatakan (kepada keduanya), ‘Masuklah ke Neraka bersama-sama orang yang masuk (Neraka)’.”  
(QS. At-Tahrim;  10)
Seakan-akan seisi alam mengucapkan pujian itu.  Allah lebih mengetahui mana yang benar.
(Baca juga, Ce-i... Ci + eN, Te-a... Ta, Cinta)

oOo
(Disadur dari kitab, “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”, Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar