بسم الله الرحمن الرحيم
Langkah-langkah Syaithan untuk menjerumuskan, menyesatkan, dan menghancurkan manusia sangatlah banyak, tak cukup waktu untuk menjelaskannya satu persatu.
Dari sekian banyak langkah-langkah Syaithan, ada satu langkah yang halus dan tersamarkan bagi kebanyakan manusia, yaitu "Husnuzhan bin nafsih" (berbaik sangka terhadap diri sendiri), memberikan kepercayaan yang berlebih kepada diri sendiri.
Syaithan sengaja mendorong manusia untuk memberikan kepercayaan yang besar, dan selalu berprasangka baik terhadap diri sendiri. Hal ini sangat berbahaya, karena di dalam diri setiap manusia terdapat potensi keburukan. Hal ini sejak awal telah diperingatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala;
"Sesungguhnya nafsu itu senantiasa mendorong kepada keburukan-keburukan."
(QS. Yusuf; 53)
Seorang muslim yang baik imannya akan selalu mewaspadai diri sendiri. Kita harus selalu waspada terhadap potensi buruk yang ada dalam diri kita. Bagaimana mungkin kita memberikan kepercayaan yang besar kepada diri sendiri, sementara Nabi shallallahu'alaihi wa sallam saja berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala darinya, sebagaimana dalam sabda Beliau (artinya);
"Kita berlindung (kepada Allah) dari keburukan-keburukan amal perbuatan kita."
Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri telah memberikan peringatan sebelumnya, agar jangan pernah memberikan rekomendasi kepada diri kita sendiri, agar jangan kita menganggap bahwa diri kitalah yang paling baik;
"Janganlah kalian memberikan tazkiyah (rekomendasi) terhadap diri-diri kalian."
(QS. An-Najm; 32)
Para Pembaca yang mulia.
Orang yang cenderung memberikan kepercayaan yang lebih kepada diri sendiri sejatinya dia sedang menggali kuburannya sendiri, sejatinya dia sedang berupaya menghancurkan dirinya sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman "wa laaa taq tuluu anfusakum"
(Janganlah kalian membunuh diri-diri kalian).
(QS. An-nisa; 29)
Al-Imam Fudhail bin Iyadh menafsirkan ayat di atas maksudnya adalah, janganlah sekali-kali kalian lalai (lengah) terhadap diri-diri kalian. Karena, barangsiapa yang lalai terhadap dirinya sendiri (lupa dengan berbagai aib sendiri), sungguh ia telah membunuhnya (menghancurkannya).
Setidaknya ada dua keburukan yang terjadi bila kita berhusnuzhan (berprasangka baik) terhadap diri sendiri;
1. Kita akan lupa (lalai) terhadap segala keburukan yang ada pada diri kita. Melupakan segala kekurangan (aib) yang ada pada diri sendiri adalah sebuah kesalahan besar.
Menganggap bahwa aib yang ada pada diri kita merupakan kebaikan. Menganggap bahwa kekurangan yang ada pada diri kita adalah sebuah kesempurnaan. "Wal 'iyaadzubillah" (kita mohon perlindungan kepada Allah).
Kita akan selalu menganggap bahwa diri kita adalah orang yang paling baik. Diri kitalah yang paling segala-galanya dalam segala hal. Dan ini sangat berbahaya.
Para Salaf (generasi terbaik) dahulu, mereka cenderung merendahkan diri mereka masing-masing. Tidak pernah mereka merasa lebih baik daripada yang lain. Padahal, berbicara tentang kebaikan para Salaflah yang memiliki segalanya. Di dalam diri merekalah terkumpul segala kebaikan. Akan tetapi, mereka tidak pernah merasa lebih baik daripada yang lainnya.
Sahabat yang mulia Umar bin Khattab berkata ketika diangkat menjadi Khalifah;
"Umar Ibnul Khattab sebagai Khalifah? Amirul mukminin? Demi Allah, kamu bertakwa kepada Allah wahai Ibnul Khattab, kalau tidak engkau akan diadzab." Sebuah kalimat yang justru memberikan peringatan bagi diri beliau sendiri, agar tidak ada rasa bangga terhadap diri sendiri.
Bakar bin Abdillah Al-Muzani rahimahullah saat berada di Padang Arafah, dimana kaum muslimin sedang berkumpul di sana berkata, "Demi Allah, betapa indahnya perkumpulan kaum muslimin ini seandainya aku tidak berada di tengah-tengah mereka." Perkataan yang keluar dari mulut seorang yang shalih lagi baik, akan tetapi selalu merendah. Sadar bahwa di dalam dirinya terdapat potensi keburukan.
Al-Imam Malik bin Dinar rahimahullah, beliau mengatakan, "Bila nama orang-orang shalih disebut di hadapanku, maka aku merasa bahwa aku adalah yang paling hina."
Mengapa orang-orang masa kini justru merasa tampil lebih baik daripada yang lainnya? Semua karena terlalu berbaik sangka terhadap diri pribadi, sehingga lalai akan aib dan kekurangan diri sendiri.
2. Sibuk dan selalu perhatian terhadap kekurangan dan aib yang ada pada diri orang lain.
Bila manusia telah tertipu oleh dirinya sendiri, maka dia akan sibuk dan perhatian dengan semua kekurangan dan aib orang lain.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya);
"Salah seorang dari kalian itu akan melihat dengan jelas kotoran kecil yang ada di sudut mata saudaranya, sementara batang kayu besar yang ada di hadapannya dilupakan."
(HR. Ibnu Hiban, dari Abu Hurairah)
Mirip dengan pepatah Indonesia yang berbunyi, "Semut di seberang lautan tampak, sementara gajah di pelupuk mata tidak kelihatan." Selalu fokus dan tajam terhadap kekurangan dan aib yang ada pada diri orang lain.
Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu berdoa;
"Ya Allah, jadikanlah aku di sisi-Mu sebagai makhluk yang paling baik, dan di tengah-tengah manusia sebagai makhluk yang pertengahan, dan di hadapan diriku sebagai makhluk yang paling hina."
Mereka semua tidak berprasangka baik terhadap diri sendiri, tidak memberikan rekomendasi terhadap diri sendiri. Apa tujuannya? Agar selalu memperbaiki diri dan sadar dengan kadar (kekurangan) diri. Karena, bagaimanapun baiknya seseorang tetap saja ada potensi keburukan dalam dirinya.
Para pembaca yang mulia. Apa sebenarnya faktor yang mendorong seseorang untuk memberikan kepercayaan yang lebih kepada dirinya? Disebutkan oleh para 'Ulama faktor-faktor tersebut antara lain;
1. Sebab yang pertama adalah Al-Jahlu (kebodohan);
Meskipun orangnya terlihat pintar, cerdas, bagus, luas ilmunya. Tetapi selagi ia masih memberikan kepercayaan yang lebih terhadap diri sendiri, masih berhusnuzhan kepada diri sendiri, merasa bahwa dirinya lebih baik daripada orang lain, maka ia termasuk kategori orang yang paling bodoh, karena orang yang berilmu pengetahuan dan berakal tidak mungkin seperti itu.
(Baca artikel, MANUSIA PALING CERDAS MENURUT ISLAM)
Berkata Masyruq Ibnul Ajda,
"Cukuplah seseorang itu dikatakan berilmu bila ada rasa takut di dalam dirinya. Dan cukuplah seseorang dikatakan bodoh manakala ada rasa bangga terhadap diri sendiri."
2. Sebab yang kedua adalah Al-Gaflah; lalai, tidak perhatian, tidak menjaga diri, kurang berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
3. Sebab yang ketiga adalah suatu penyakit yang justru menjangkiti orang-orang yang taat beragama. Penyakit yang dimaksud adalah Al-Aqdaniyah, selalu ingin tampil terdepan, selalu ingin dianggap paling "wah", paling hebat. Menganggap orang lain selalu dibawahnya, tidak selevel dengannya.
Penyakit ini sering dialami orang-orang yang dianggap berilmu, seperti para penceramah, da'i, ustadz, kiyai, para Habaib. Hal ini akan membahayakan ilmunya, dakwahnya, dan orang-orang (umat) yang mengikutinya. Ketinggian dan kemuliaan itu tidak diraih dengan cara-cara demikian. Justru Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan hal-hal yang bertolak belakang dengannya. Seperti sabda Beliau (yang artinya);
"Barangsiapa yang menampakkan sikap tawadhu' karena Allah, maka Allah akan mengangkat kedudukan (derajat)nya."
4. Sebab keempat yang mendorong seseorang berhusnuzhan terhadap dirinya adalah;
Terbukanya urusan-urusan dunia, dilapangkan urusan dunianya. Dimudahkan segala hal yang berurusan dengan dunianya, sehingga harta yang berlimpah membuatnya terlena, mengeraskan hati. Sulit bagi seseorang untuk lulus dari ujian semacam ini.
Ujian yang berbentuk kelapangan, kenikmatan, kekayaan ini jauh lebih sulit daripada ujian dalam bentuk kesusahan, penderitaan, kesempitan, dan musibah, yang relatif lebih mudah untuk dilalui.
Tidak sedikit manusia yang diuji dengan kesulitan, kemiskinan, dan musibah dengan mudah kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan, betapa banyak manusia yang gagal ketika diuji dengan keberhasilan, kekuasaan, kesuksesan, dan kemewahan duniawi.
5. Merasa aman dari makar Allah (Al-Amnu min makrillah), karena merasa punya kekuatan, kemampuan, kekayaan sehingga timbul sikap husnuzhan terhadap diri sendiri, merasa bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyayangi dirinya.
Sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, dari Abu Musa Al-Asy'ary (artinya);
"Sesungguh! Allah Subhanahu wa Ta'ala benar-benar akan menangguhkan adzab terhadap orang-orang yang zhalim. Hingga ketika Allah menghukumnya Allah tidak akan menyisakan sedikitpun."
Lalu, kapan kita akan bermuhasabah, bertafakur, introspeksi diri bila selalu memberikan kepercayaan yang lebih terhadap diri sendiri?
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati orang yang mengetahui kadar dirinya, tidak merasa lebih baik dari yang lain.
Janganlah sekali-kali seseorang tertipu dengan ketaatan, ilmu, amal shalih, dan kebaikan-kebaikan yang dia lakukan, mintalah selalu Taufiq kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Semoga Allah menjaga kita dari semua sifat-sifat yang akan menghancurkan diri kita sendiri. Amiin.
oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf hafizhahullah),