Selasa, 25 Juli 2017

TA'ATLAH KEPADA PEMIMPIN, JANGAN DEMO!



بسم الله الر حمان الر حيم

"Ta’atlah kepada pemimpin, jangan demo",  apalagi memberontak, menjelek-jelekkan, mengumbar ‘aib, menghinakan pemimpin di depan umum / khalayak ramai.  Karena perbuatan tersebut adalah perbuatan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Begitu Sempurna dan Mulianya ajaran Islam yang telah diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kita.  Janganlah kita rusak dengan perbuatan-perbuatan yang akan “mencoreng” Kemuliaan dan Keagungan Syari’at Islam."
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda melalui sebuah hadits shahih (yang artinya), “Barang siapa yang menghinakan Sulthan (yang dijadikan Pemimpin oleh) Allah di muka bumi, maka Allah akan menghinakannya...” (HR. At-Tirmidzi)
“Aku wasiatkan agar senantiasa bertaqwa kepada Allah serta mendengar dan ta’at kepada Pemimpin (Negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.”  (HR.  Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Akan ada setelahku para pemimpin / penguasa yang menjalankan petunjuk bukan dengan petunjukku, dan menjalankan sunnah namun bukan dengan sunnahku.  Dan, akan ada diantara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaithan yang bersemayam di dalam raga manusia."  Maka Hudzaifah pun bertanya, "Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan bila aku menjumpainya?"  Beliau menjawab, "Engkau harus tetap mendengarkan dan ta'at terhadap Pemimpin tersebut, meskipun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil.  Tetaplah mendengar dan ta'at." (HR. Muslim)
Dari 'Ummu Salamah Radhiyallahu 'Anha, Rasulullahu Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari kekeliruan mereka.  Barangsiapa yang mengetahuinya, maka harus berlepas diri dari kemungkaran tersebut.  Dan barangsiapa yang mengingkarinya, maka dia akan selamat.  Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang meridhainya dan tetap mengikuti kekeliruannya."  Para Sahabat bertanya, "Apakah tidak sebaiknya kami memeranginya?"  Maka Beliau menjawab, "Jangan, selama mereka masih menjalankan shalat." (HR. Muslim).
Adalah Imam Ahmad rahimahullah, Imamnya para 'Ulama Ahlul Hadits. Beliau rela dipenjara dan punggung Beliau dicambuk hingga terluka oleh pemerintah yang berkuasa pada waktu itu, demi mempertahankan aqidah Beliau yang lurus, bahwa Alqur'an adalah Kalamullah bukan makhluk. Padahal, seandainya Beliau mau jutaan pendukung Beliau pada waktu itu siap untuk memberontak / memprotes Pemerintah.  Hingga pada saat rantai yang membelenggu kaki Beliau dilepaskan Beliau berkata, "Seandainya mereka membiarkan kami tanpa belenggu, niscaya kami tidak akan keluar (lari dari penjara ini, pen blog) kecuali atas perintah mereka."  (Baca juga artikel tentang, HARAMNYA DEMO, MEMPROVOKASI MASA DAN MEMBERONTAK TERHADAP PEMERINTAH MUSLIM)
Berkata Al-'Allaamah Abdullatif bin Abdirrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh rahimahullah, "Maka mematuhi Pemerintah dan tidak memerangi mereka merupakan Prinsip Thariqah (jalan) Ahlussunnah wal Jama'ah, dan inilah Pasal Kontroversi antara Ahlussunnah dengan Khawarij dan Syi'ah Rafidhah (dua manhaj yang menyimpang, pen blog)."  ("Adduraru Assahiyah" 9/92).
  

Renungan;
  • ·        “Hai orang-orang yang beriman , ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (Pemimpin) di antara kamu.” (An-Nisa; 59)
  • ·        “Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, maka janganlah dia menampakkannya secara terang-terangan / di muka umum, akan tetapi hendaklah dia memegang tangannya (menyendiri bersamanya) dan menasihatinya secara sembunyi-sembunyi.  Apabila dia menerima nasihatnya maka itulah yang diharapkan, dan apabila tidak mau maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajiban dirinya.” (HR. Ahmad)

oOo

Minggu, 16 Juli 2017

PINTU TAUBAT TERTUTUP BAGI PELAKU BID'AH


بسم الله الر حمان الر حيم

“Sesungguhnya Allah menutup pintu taubat bagi pelaku segala macam bid’ah.”  (“Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah”, Syaikh Al-Albani rahimahullah, 4/154, No. 1620).

Sebenarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa apapun yang pernah diperbuat oleh manusia, dan menerima taubat orang-orang yang mau bertaubat, jika mereka bersungguh-sungguh melepaskan diri dari dosa yang pernah diperbuat.  Mereka menyesali perbuatan tersebut dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Demikianlah makna yang terkandung pada ayat berikut;
"Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari  Rahmat Allah.  Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa-dosa.  Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  
(QS. Az-Zumar;  53), dan
"Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, dan menganiaya diri mereka sendiri, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  
(QS. An-Nisa’: 110).
"Namun permasalahannya adalah, para pembuat dan pelaku bid’ah tersebut tidak menyadari, bahwa mereka telah menciptakan dan mengamalkan sesuatu yang tidak disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya, dan mereka terlena dengan keburukan amal-amal tersebut, dan menyangka perbuatan itu adalah suatu kebaikan.  Mereka tidak akan bertaubat selagi meyakini bahwa apa yang mereka perbuat itu adalah suatu kebaikan.  Sedangkan permulaan taubat adalah, mengetahui bahwa perbuatan itu jelek yang menuntutnya untuk bertaubat.  Maka, sepanjang seseorang merasa bahwa perbuatannya baik , sedangkan kenyataannya betul-betul sebuah kejelekan, dia tidak akan mau bertaubat." 
("Majmu’ Fatawa" Ibnu Taimiyah).

Bekata Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah, Bid’ah lebih dicintai Iblis daripada maksiat (dosa-dosa besar lainnya), karena pada maksiat dimungkinkan terjadinya taubat sedangkan pada dosa bid’ah tidak.”
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menempatkan dosa bid’ah pada tingkatan kedua setelah syirik, dan berada di atas dosa-dosa besar lainnya.
(Baca juga artikel tentang; TUDINGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA TERHADAP AHLUL BID'AHdan TUDINGAN 'ULAMA AHLUSSUNNAH TERHADAP AHLUL BID'AH (1) - (5))

Renungan;

  • Ø  Berkata seorang ‘Ulama, “Barangsiapa yang selamat dari bid’ah, maka Allah benar-benar telah menyelamatkan keIslamannya dan memberinya hidayah.  Namun barangsiapa yang terkena satu bid’ah saja, berarti dia benar-benar telah menyimpang dari Islam dan tersesat dari jalan keselamatan.”
  • Ø  Berkata ‘Ulama lainnya, “Yang aku takutkan dari sebuah maksiat bukan hanya dosa dari maksiat tersebut.  Tetapi yang lebih aku takutkan adalah, maksiat tersebut mengundang maksiat-maksiat lainnya.” (Satu perbuatan bid'ah akan mengundang perbuatan bid’ah lainnya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala membalasi seseorang sesuai dengan amal yang dilakukan), (pen blog).

oOo

Jumat, 14 Juli 2017

PILIH RASIONAL ATAU HIKMAH?


Hasil gambar untuk GAMBAR LUKISAN ABSTRAK















بسم الله الرحمان الرحيم
Berkata Amirul mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
“Berhati-hatilah terhadap orang yang terlalu berpikir Rasional, karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah.  Engkau coba membuka kesadaran mereka dengan beberapa hadits agar mereka melestarikannya, namun mereka menggapai-gapainya dengan Perspektip Logika Rasional, maka mereka sesat dan menyesatkan umat Islam.”  
(Ditakhrij oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah dalam “Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fahlihi” (2/1041, No. 2001, 2003 dan 2005, serta beberapa ‘ulama lainnya).

Al-Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah dan jumhur 'ulama mengatakan; Hikmah adalah menemukan kebenaran dan mengamalkannya.  Dengan perkataan lain, hikmah adalah Ilmu yang bermanfaat dan Amal shalih.   
Berkata Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Tidak disebut orang berakal melainkan orang yang mengetahui kebenaran lalu mencari (mengikutinya), mengetahui keburukan lalu menghindarinya.  Karena itulah Allah berfirman tentang penghuni Neraka (artinya);
“Seandainya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala.” 
(QS. Al-Mulk; 10)
Firman Allah yang lain (artinya),
“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah.  Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. 
(QS. Al-Hasyr; 14).

Selagi seseorang melakukan sesuatu, sementara ia juga mengetahui bahwa sesuatu itu mendatangkan mudharat baginya, maka orang semacam ini layak disebut orang yang tidak berakal.  Karena ketakutan kepada Allah mengharuskan ilmu terhadap Allah, maka ilmu tentang Allah juga mengharuskan ketakutan pada-Nya.  Dan takut kepada Allah mengharuskan keta’atan pada-Nya.  Orang yang takut kepada Allah adalah orang yang mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.  Inilah yang kami maksudkan sejak awal, dan ini pula yang ditunjukkan firman Allah (artinya),
“Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya, (yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (Neraka).” 
(QS. Al-A’la; 9-12).
Allah mengabarkan bahwa orang yang takut kepada-Nya tentu ingat, dan ingat ini mengharuskan pelaksanaan ibadah kepada Allah.  Firman-Nya (artinya),
“Dialah yang memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untuk kalian rezki dari langit.  Dan, tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah).” 
(QS. Al-Mukmin; 13).
“Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (kepada Allah).” 
(QS. Qaf; 8).
Yang mau mengambil pelajaran hanyalah orang yang mau kembali kepada keta’atan.  Sebab mengambil pelajaran yang dilakukan secara sungguh-sungguh mengharuskan pengamalannya.  Mengingat-ingat mengharuskan pengamalan apa yang diingatnya.  Jika seseorang mengingat sang kekasih, tentu dia akan mencarinya.  Jika dia mengingat sesuatu yang ditakutinya, tentu dia akan lari darinya.
Sesuatu yang mampu memberikan pengaruh secara penuh, mengharuskan terjadinya pengaruh itu.  Jika tidak ada pengaruhnya berarti tidak ada kesempurnaan.  Jika suatu perbuatan sesuai dengan medannya, maka akan tercipta kesempurnaan.  Jika tidak, juga tidak akan tercipta kesempurnaan itu.  Ini semua harus disertai dengan "kesehatan fitrah" dan keselamatannya.  Tetapi jika fitrah telah rusak, maka seseorang tidak akan merasakan rasa manis dari sesuatu yang sebenarnya manis, atau bahkan hal itu akan menyiksanya (terasa pahit).  Maka begitu pula dengan seseorang yang menikmati sesuatu yang sebenarnya menyiksanya (merusak dirinya, seperti pelaku maksiat, kesyirikan, peminum minuman keras, mengkonsumsi obat-obat terlarang, merokok dll. pen blog), karena fitrah-nya telah rusak.  Kerusakan pun menuntut kekuatan ilmiah dan amaliah (lahir dan batin), seperti orang yang indera perasanya sakit.  Dia merasakan pahit ketika meminum madu, karena indera perasanya rusak, maka dia merasakan sesuatu yang berbeda dengan rasa yang sesungguhnya.  Demikian pula orang yang batinnya rusak (artinya orang yang lemah iman dan aqidahnya)”.  
(Al-Iman, Ibnu Taimiyah).

Renungan;
Perkataan lain Amirul mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, "Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk Hari Besar ditampakkannya amal."  

oOo

Rabu, 12 Juli 2017

PARA DA'I YANG MENGAJAK KE JAHANAM


بسم الله الر حمان الر حيم

Dari Sahabat yang mulia Khuzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu yang berkata, “Orang-orang selalu bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada Beliau tentang keburukan, karena aku takut kalau-kalau nanti menimpa kami,
‘Ya Rasulullah, kami dahulu berada dalam masa kehidupan jahiliyah dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami segala kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?’  Rasul menjawab, ‘Ya, ada.’  Kemudian aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kejelekan itu akan ada lagi kebaikan?’  Rasul menjawab, ‘Ya, dan disana ada kerusakan.’  ‘Apa kerusakannya?’, tanyaku kemudian.
Rasul menjawab, ‘Muncul satu kaum yang menjalankan sesuatu tidak dengan ketetapanku (sunnah-sunnahku) dan mereka memberikan petunjuk tidak pada jalanku.  Sehingga di antara mereka ada yang kalian terima dan ada yang kalian ingkari.’  Maka aku pun bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan itu akan ada lagi kejelekan?’  Rasul menjawab, ‘Ya, para da’i yang mengajak ke pintu Jahanam, barangsiapa yang mengikutinya, akan dilemparkan ke dalamnya (Jahanam).’  Lalu aku bertanya, ‘Ya Rasul, mohon tunjukkan ciri-ciri mereka kepada kami.’
Rasul menjawab, ‘Baiklah, mereka adalah kaum yang kulitnya berasal dari bangsa kita, dan berbicara dengan bahasa kita.’  Khuzaifah berkata, ‘Ya Rasul, apa pendapat Engkau jika kami menemui masa seperti itu?’
Rasul menjawab, ‘Tetaplah bersama jama’ah atau perkumpulan orang-orang muslim dan Imamnya.’  Khuzaifah berkata, ‘Jika mereka tidak lagi memiliki perkumpulan dan tidak pula memiliki Imam?’
Rasul menjawab, ‘Keluarlah dari semua kelompok yang ada itu, meskipun engkau akan berpegang pada pangkal pohon yang bisa membuatmu mati, engkau harus tetap pada tempatmu.’”  (HR. Al-Bukhari, Muttafaqun ‘Alaihi)

Renungan;
Dari Sahabat yang Mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda (artinya), “Akan ada di akhir zaman nanti para dajjal pembohong, mereka menyampaikan kepadamu dengan berbagai hadits yang engkau sendiri atau bapak-bapakmu tidak pernah mendengarnya.  Maka,  waspadalah!  Jangan sampai mereka menyesatkan dan memperdayai kalian.”  (HR. Muslim)
(Baca juga artikel, PARA PENYEMBAH DA'I)
                              oOo

      

Sabtu, 08 Juli 2017

"Ce-i... Ci + eN, Te-a... Ta, Cinta"


بسم الله الر حمان الر حيم
“Ajarkan kepadaku tentang cinta, maka aku akan...”

Mungkin sebagian kita selaku umat Rasullullah shalallahu ‘alaihi wa sallam masih perlu banyak belajar tentang hakikat cinta, bagaimana menempatkan cinta, tanda-tanda cinta dan lain sebagainya.  Meskipun kata tersebut sering kita dengar dan maknanya pun telah sama-sama kita ketahui.

Ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wa sallam, “Ya, Rasulullah, sungguh Engkau adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu, kecuali terhadap diriku.”  Maka ucapan Umar tersebut langsung disanggah oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sehingga aku lebih kamu cintai daripada dirimu sendiri.” Maka Umar segera menyadari kesalahannya, dan berkata,  “Sekarang, Demi Allah, Engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”  
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sekarang, wahai Umar” (engkau telah mengetahuinya).  (Makna HR. Al-Bukhari, no. 3694)

Sudahkah kita mengetahui, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya lebih mencintai kita daripada Ibu kandung kita sendiri?
Bagaimana cara kita membalas cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita selaku umat Beliau?
Kenapa cinta dan kerinduan kita kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sekedar lip service (gincu bibir) belaka?  Padahal kita akan sangat mengharapkan Syafa'at Beliau kelak pada Hari Kiamat?
Tidakkah terpikirkan, betapa besar hak Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap umat ini, yang telah menyampaikan dan memberikan segala-galanya, demi keselamatan hidup mereka di dunia dan Akhirat?
Segudang pertanyaan lagi bisa muncul bila diteruskan, padahal kunci jawabannya terletak pada satu kata saja, yakni Iman.

WASIAT BERHARGA Asy-Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah dalam mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wa salam;

1⃣  Anda mengedepankan kecintaan terhadap Beliau di atas kecintaan terhadap seluruh makhluk.

Anda mengedepankan petunjuk dan ajaran Beliau shallallahu alaihi wa salam di atas petunjuk dan ajaran siapapun.

2⃣  Anda menjadikan Beliau shallallahu alaihi wa salam sebagai Imam (panutan / teladan) bagimu dalam hal ibadah dan akhlaq.

🏜  Dengan menghadirkan (dalam hati) ketika Anda melakukan suatu ibadah tertentu, bahwa Anda mengikuti ajaran Beliau shallallahu alaihi wa salam, seakan-akan Beliau berada di depan dan Anda membuntuti Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dari belakang, serta meniti jejak Beliau.

🔰  Demikian pula ketika bergaul dengan manusia, Anda berhias dengan akhlaq Beliau yang Allah memujinya (artinya):

"Dan sesungguhnya Engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak yang luhur" [QS. Al-Qalam: 4]

💪  Apabila Anda berpegang dengan hal ini, maka Anda akan sangat bersemangat terhadap ilmu syariat dan akhlaq Beliau shallallahu alaihi wa salam.

3⃣  Anda menjadi da'i (penyeru yang mengajak) manusia kepada sunnah Beliau shallallahu 'alaihi wa salam, sebagai penolong dan pembela sunnah Beliau shallallahu 'alaihi wa salam,

"Sungguh Allah akan menolongmu, sesuai dengan kadar pertolonganmu terhadap syariat-Nya."




Renungan;
  • “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin (beriman) daripada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ahzab; 6) 
  • “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian, hingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya dan sekalian manusia.”  (HR. Al-Bukhari-Muslim)
  • “Ada tiga perkara, barangsiapa ketiganya ada padanya, maka ia akan mersakan manisnya iman; Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain Keduanya.  Mencintai seseorang hanya karena Allah.  Dan, dia benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya -  sebagaimana dia benci (bila) dilemparkan ke dalam api Neraka.” (HR. Al-Bukhari-Muslim)
  • "Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku. Berbahagialah orang yang beriman kepadaku meskipun tidak sempat melihatku - Beliau mengulang-ulang perkataan ini hingga 7 (tujuh) kali."  (HR. Ahmad)                                     

Minggu, 02 Juli 2017

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (3)



بسم الله الر حمان الر حيم
                         

§  “Sesungguhnya Ilmu (Agama) bagi hati laksana air bagi ikan.  Bila ikan kehilangan air beberapa saat saja, maka ia akan mati.”

§  “Orang berilmu dengan ilmunya dan arahannya mampu menghancurkan apa saja yang dibangun Iblis.”

oOo

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (2)


بسم الله الر حمان الر حيم
“Ilmu adalah kehidupan dan cahaya, sedang kebodohan adalah kematian dan kegelapan.”

  “Karunia Allah adalah Iman dan rahmat-Nya adalah Al-Quran.”
                                                                  
oOo