Selasa, 31 Oktober 2017

EMPAT TINGKATAN MANUSIA DALAM MENGHADAPI MUSIBAH

Hasil gambar untuk GAMBAR MUSIBAH

بسم الله الر مان الر حيم

“Musibah senantiasa akan menimpa orang-orang Mukmin (beriman), baik laki-laki maupun perempuan, pada jiwanya, anak-anaknya maupun hartanya hingga mereka menghadap Allah dengan tanpa membawa dosa” (HR. At-Tirmidzi)


Berbagai cobaan dan ujian akan senantiasa menimpa orang-orang Mukmin, hingga ia berjalan di muka bumi ini tanpa membawa dosa (Makna Al-Hadits).
Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, berbagai macam cobaan dan ujian tersebut hanyalah bagian dari ketetapan Allah ‘Azza wa Jalla yang harus disikapi dengan tepat dan tetap mengacu kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya dalam mencari solusinya.
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab sebelum Kami menciptakannya.  Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”  (Al-Hadid (57); 22).
Inilah empat reaksi manusia ketika menghadapi Ujian / Musibah;
I.                    MARAH
Merupakan tingkatan yang paling rendah (buruk), yang diekspresikan manusia dalam bentuk perkataan (mengumpat, melaknat, berteriak-teriak), perbuatan (menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, menjambak rambut, berguling-gulingan di tanah dll.)
Semua ini merupakan perbuatan yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk juga marah yang tidak diekspresikan (tersimpan di dalam hati)
Semua bentuk kemarahan tersebut menunjukkan bahwa yang bersangkutan belum mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengenalan yang sebenarnya, dan belum berlaku ikhlas dalam beribadah kepada-Nya Dia menyembah Allah masih berdasarkan Hawa Nafsunya.  Jika ia mendapatkan apa yang disukai hawa nafsunya, maka akan langgenglah ibadahnya itu.  Akan tetapi jika ia mendapatkan berbagai musibah atau tidak mendapatkan apa yang diinginkan hawa nafsunya, ia akan menolak (marah), dan dengan mudahnya ia kembali kepada kekufuran (baik Kufur Akbar, maupun Kufur Ashgar).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan diantara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam kebaikan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia kebelakang.  Rugilah ia di dunia dan di Akhirat.  Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”  (Al-Hajj (22); 11)

II.                   S A B A R
Orang ini melihat musibah itu adalah sesuatu yang berat baginya, namun dia berusaha untuk menerima dan memikulnya, meskipun hawa nafsunya merasa tidak suka mendapatkan musibah tersebut, akan tetapi keimanannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mencegahnya untuk marah.  Inilah hakikat sabar yang diperintahkan, yaitu menahan diri untuk tetap menta’ati Allah, tidak bermaksiat kepada-Nya dan tidak membenci takdir yang telah ditetapkan-Nya.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Sungguh menakjubkan urusan orang Mukmin itu, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak akan terjadi kecuali bagi orang Mukmin.  Jika ia mendapatkan kegembiraan dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya dan jika ia mendapatkan kesusahan maka dia bersabar dan ini juga merupakan kebaikan baginya   (HSR. Muslim)

III.                 R I D H A
Tingkatan ini lebih tinggi dari dua tingkatan sebelumnya.  Bagi orang ini ada musibah atau tidak sama saja.  Ia ridha dengan semua ketetapan Allah ‘Azza wa Jalla apapun bentuknyaBedanya dengan tingkatan sebelumnya (Sabar); mengharuskan usaha menekan diri untuk tidak marah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ketetapan-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung besarnya ujian.  Dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka.  Barangsiapa yang Ridha , maka baginya keridhaan Allah itu dan barangsiapa yang Murka (tidak ridha, bahkan marah ketika mendapat ujian) maka baginya kemurkaan Allah.”  (HR. Tirmidzi dari Anas bin Malik).
  

IV.                 BERSYUKUR
Inilah derajat manusia yang paling tinggi ketika mendapatkan musibah.  Golongan ini mengetahui bahwa musibah yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya merupakan sebab datangnya kebaikan.  Oleh karena itu, ia pun mensyukuri musibah yang menimpanya.  Selain sebagai jalan untuk mengintrospeksi diri, musibah bagi seorang Mukmin juga merupakan sarana pengampunan dari Allah ‘Azza wa Jalla, sekaligus meninggikan derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan pada dirinya, maka Dia akan memberikan cobaan kepadanya.”  (HSR. Al-Bukhari).

Renungan
"Barang siapa yang tidak mau menerima ketetapan-Ku dan tidak mau bersabar atas ujian-Ku, silahkan mencari tuhan yang lain selain Aku".  (HQR. At-Tirmidzi)


oOo

Minggu, 29 Oktober 2017

AHLUSSUNNAH DAN AQIDAH MEREKA


بسم الله الر حمان الر حيم

A.       DEFINISI
Aqidah dalam istilah yang umum adalah sesuatu yang diimani dan diyakini oleh manusia, baik itu benar atau salah.
AQIDAH ISLAMIYAH – AQIDAH AHLUSSUNNAH yaitu keyakinan yang kokoh kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir dan Takdir yang baik dan yang buruk serta beriman kepada setiap yang datang dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya berupa Ushuluddin (pokok-pokok Agama), berita-berita dari Al-Qur’an, dan segala sesuatu yang telah disepakati oleh Salafus Shalih. Berserah diri kepada Allah dalam masalah Hukum, Perintah, Syari’at dan Takdir.  Pasrah kepada Rasul-Nya dengan menta’ati dan mengikutinya.

B.   NAMA-NAMA ILMU AQIDAH DAN AHLUSSUNNAH
Nama-nama Ilmu Aqidah menurut Ahlussunnah bermacam-macam, diantaranya;
v  At-Tauhid
v  Al-Iman
v  As-Sunnah
v  Asy-Syari’ah
v  Al-Aqidah

Ahlussunnah juga mempunyai banyak sebutan, antara lain;
Ø  Ahlul Atsar
Ø  Ahlul Hadits
Ø  Golongan Yang Selamat (Al-Firqatu An-Najiyah)
Ø  Golongan Yang Menang / Ditolong (At-Taifatu Al-Manshurah)
Ø  As-salafus Shalih
Ø  Ahlul Ittiba’
Ø  Al-Jama’ah

Mengapa disebut Ahlussunnah?
Karena mereka semuanya sepakat untuk berpegang teguh kepada Sunnah (Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan mengamalkannya, baik secara lahir maupun bathin.

C.   KARAKTERISTIK AQIDAH AHLUSSUNNAH
Ahlussunnah memiliki beberapa karakteristik aqidah, diantaranya;
1.    Terjaga kemurniannya, karena berdasarkan Alqur’an, As-Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan) As-Salafus Shalih.
2.    Sesuai dengan Fitrah dan Akal yang sehat.
3.    Gamblang, Mudah dan Jelas.
4.     Tidak ada keraguan dan pertentangan di dalamnya.
5.    Kokoh, tegak dan tetap, tidak berubah-ubah.
6.    Senantiasa Relevan dengan waktu (zaman), tempat dan keadaan ummat manusia.
7.    Memberikan ketenteraman jiwa bagi orang yang berpegang teguh dengannya.
8.    Menjadi sebab datangnya kemenangan.
9.    Tidak bertentangan dengan Ilmu yang benar, bahkan sangat relevan.
10.   Memadukan antara kebutuhan jasmani dan rohani.
11.   Mengakui keberadaan akal, tetapi membatasi ruang lingkup kebebasan berpikirnya.
12.   Mengakui adanya rasa kasih sayang serta mengarahkannya ke arah yang benar.
13.   Ia adalah aqidah yang mendasari Persatuan dan Kesatuan.

D.   KARAKTERISTIK AHLUSSUNNAH
Di antara karakteristik Ahlussunnah adalah sebagai berikut;
1.    Al-Ittiba’ (mengikuti / mengamalkan Sunnah) dan meninggalkan Bid’ah.
2.    Masuk kedalam Islam secara Kaffah (menyeluruh).
3.    Bersikap Adil.
4.    Bersikap pertengahan.
5.    Selalu mengagungkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
6.    Menghargai Salafus Shalih.
7.    Memadukan antara Nash-Nash dan membawa penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an yang Mutasyabbih(1) kepada yang Muhkam (2).
8.    Memadukan antara Ilmu dan Ibadah (amal).
9.    Memadukan antara Rasa Takut, Harap dan Cinta (secara berimbang, pen.)
10.   Menggabungkan antara sikap yang lunak dan keras (tegas).
11.   Memadukan antara Akal dan Perasaan.
12.   Bersifat Amanah Ilmiah.
13.   Meninggalkan perdebatan dan permusuhan dalam masalah Agama.
14.   Menjauhi perkataan qiila wa qaala (kata si Anu..., kata si Anu...), dan banyak tanya (dalam hal-hal yang tidak perlu dibahas).
15.   Membenci ucapan yang tidak bermanfaat dan tidak ada realisasinya / "juntrungannya" (pen.)
16.   Mengutamakan musyawarah diantara mereka (dalam hal-hal yang boleh dimusyawarahkan, pen.)
17.   Infak di jalan Allah.
18.   Mereka senantiasa Berjihad, Berdakwah, Beramar Ma’ruf dan Nahi Mungkar.
19.   Senantiasa memperhatikan permasalahan kaum muslimin dan berusaha bersatu di atas kebenaran.
20.   Berakhlak mulia dan berpandangan luas.
21.   Menyikapi perbedaan dengan penuh adab.
22.   Merekalah yang senantiasa memperbaharui perkara-perkara ummat ini (mengembalikan Agama Islam pada kemurniannya).
23.   Senantiasa memberikan (mengajak) nasihat kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Para Pemimpin Kaum Muslimin dan Ummat Islam pada umumnya.
24.   Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah Aqidah, tidak saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya.
25.   Mereka terjaga dari Bid’ah dan Kesyirikan secara umum.
26.   Tidak bingung dan bimbang dalam pemikirannya.
27.   Berhati-hati dalam berfatwa (para ‘Ulamanya, pen.).
28.   Dalam waktu singkat mereka mampu merasakan Hakikat Ilmu dan Amal yang lebih banyak daripada yang didapatkan selain mereka selama berabad-abad dan beberapa generasi.
29.   Sering menangis, karena hatinya takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
30.   Berwajah cemerlang di dunia dan di Akhirat.

E.   REFERENSI KITAB-KITAB AQIDAH AHLUSSUNNAH
Diantara kitab-kitab referensi aqidah Ahlussunnah adalah;
ü  Sarh Usul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh AL-Lalika’i.
ü  Asy-Syari’ah oleh Al-Ajury
ü  Al-Aqidah Al-Wasithiyah oleh Ibnu Taimiyah
ü  Kitab Tauhid oleh Muhammad bin Abdul Wahab
Dan lain-lain.

oOo

Disalin dengan editan dari tulisan;
(Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd)  
______
(1)Ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam; Atau ayat-ayat yang maknanya hanya Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang  ghaib, misalnya ayat-ayat mengenai hari Kiamat, Surga, Neraka dan lain-lain.

(2)Ayat-ayat yang tegas dan terang maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.

Jumat, 27 Oktober 2017

Rasa MALU



بسم الله الر حمان الر حيم

“Apabila engkau tidak lagi memiliki rasa malu, maka berbuatlah sesukamu” (Makna Al-Hadits)
A.     
DEFINISI
Malu adalah sebuah akhlak yang mendorong manusia melakukan perbuatan yang baik, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk.

B.      KEUTAMAAN MALU
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Malu itu adalah salah satu cabang dari cabang-cabang Iman”.
“Malu itu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan”.
“Sesungguhnya setiap Agama mempunyai akhlak, dan akhlak Agama Islam adalah Sifat Malu”.
“Sesungguhnya dari apa yang telah didapat oleh manusia dari kata-kata kenabian yang pertama ialah, jika engkau tidak punya rasa malu berbuatlah sesuka hatimu”.

C.       PEMBAGIAN MALU
Sifat malu itu terbagi menjadi Tiga Bagian, yaitu;
1.       Malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, diwujudkan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
2.       Malu kepada diri sendiri, yaitu bila engkau tidak rela dirimu berada dalam martabat yang rendah.  Sifat malu ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai jiwa yang besar dan memiliki rasa malu yang tinggi.
3.       Malu kepada manusia, dengan meninggalkan / menghindari perbuatan buruk dihadapan mereka.

D.       TANDA-TANDA SEDIKITNYA RASA MALU PADA DIRI SESEORANG
Sifat Malu memang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam.  Hanya saja di sana ada perbuatan-perbuatan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat yang menunjukkan sedikitnya rasa malu pada diri seseorang.  Di bawah ini beberapa contoh perbuatan tersebut agar seorang Muslim dapat mewaspadainya dan dapat mengingatkan yang lainnya.  Diantara perbuatan-perbuatan tersebut adalah;
1.       Bangga melakukan kemaksiatan secara terang-terangan (melakukan hal-hal yang terlarang dalam Agama Islam, mis. Bermain-main dengan Syari'at Allah Subhanahu wa Ta'ala, pen.)
2.       Banyak berdalih, berdebat, mencela dan mencaci maki orang lain.
3.       Durhaka kepada orang tua.
4.       Merokok, khususnya di tempat-tempat umum.
5.       Kurang sopan terhadap Pendidik, Pemerintah,  Guru dan Orang yang lebih tua.
6.       Berkata jorok, dan menonjolkan aurat.
7.       Suka mengulur-ngulur hutang.
8.       Mengeraskan suara dengan lagu-lagu.
9.       Ber-tabarruj (bagi wanita).
10.   Meniru-niru orang kafir dalam bermajelis (mis. Demo, pergaulan bebas, atau yang lainnya).
11.   Bersenda gurau dengan hal-hal yang tidak senonoh.
12.    Sering bertengkar.
13.   Wanita yang pergi sendirian ke pasar tanpa mahram, bercakap-cakap (mengobrol) dengan para penjual dan berdesak-desakan dengan kaum lelaki.
14.   Mencorat-coret tembok dengan kata-kata yang kotor.
15.   Tidak merapikan diri, selalu berpakain yang kusut, suka menampakkan auratnya dan telanjang.

E.        TIPS MENDAPATKAN RASA MALU
1.       Selalu merasa diawasi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2.       Melihat dan memperhatikan kenikmatan Allah yang telah dianugerahkan kepadanya.
3.       Selalu mengingat dampak positip dari sifat malu tersebut, dan juga sebaliknya.
4.       Bergaul dengan orang-orang yang mempunyai sifat malu, dan menjauhi orang-orang yang tidak memiliki rasa malu.
5.       Senantiasa memerangi hawa nafsunya dan melatihnya agar dapat memiliki rasa malu.
6.       Menguatkan keimanan yang ada dalam dirinya.
7.       Senantiasa menjaga shalatnya.
8.       Membaca Al-Qur’an dengan  tadabbur (merenungkannya), sesungguhnya itu akan menunjukkannya kepada yang lebih lurus, termasuk sifat malu.
9.       Berusaha untuk jujur, karena itu akan mengajak kepada kebaikan, sedangkan malu itu termasuk suatu kebaikan.  Dan berusaha menjauhi perbuatan dusta, karena ia akan mengajak kepada perbuatan fajir (buruk).
10.   Berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Dia berkenan menjadikan engkau termasuk orang-orang yang memiliki rasa malu.
11.   Senantiasa mengingat sifat malu yang dimiliki oleh Para Nabi dan para Sahabatnya radhiyallahu ‘anhuma.
12.   Menyebarkan ruh sifat malu tersebut di tengah-tengah masyarakat.
13.   Berupaya keras menghilangkan hal-hal yang dapat menafikan / menghilangkan sifat malu tersebut.
14.   Mendidik anak agar terbiasa mempunyai sifat malu.
15.   Menasihati antar sesama manusia.

oOo


(Disadur dari kitab “Ringkasan Tema-Tema Islam Sehari-hari”, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Terj. Nur Qamari, Elba, 2008.)

Senin, 09 Oktober 2017

Biografi Syaikh Prof. Dr. Rabi' bin Hadi Al-Madkhali

Al-Mujaddid, Al-'Allaamah Prof. Dr. Rabi' bin Hadi Al-Madkhali Hafizhahullah


بسم الله الر مان الر حيم


Salah satu cabang disiplin Ilmu yang paling langka dan relatip lebih sulit untuk dipahami, sejak dari zaman para Sahabat Radhiyallahu 'Anhuma dahulu hingga kini, adalah Ilmu tentang JARH wa TA'DIL (Kritikan dan Pujian).  Karena, disamping membutuhkan Ilmu-Pengetahuan yang luas dan mendalam dari berbagai cabang disiplin Ilmu Syari'at Islam, juga dibutuhkan ketelitian yang tinggi dan penguasaan permasalahan, sehingga diakui kapabilitasnya serta mendapat dukungan penuh dari para 'ulama lain yang juga ahli dibidang mereka masing-masing. Karena dengan  Ilmu JARH wa TA'DIL inilah Para 'Ulama yang mumpuni dan ahli dibidang itu menjaga kemurnian Syari'at Islam dari segala macam bentuk penyimpangan / kesesatan, secara utuh dan menyeluruh.  Baik yang terselubung, maupun yang tampak dengan jelas.
(Baca juga artikel tentang "MANHAJ")

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas;
DR. Rabi' bin Hadi Al-Madkhali
EraEra modern
AliranAhlussunnah (Sunni)
Syaikh DR. Rabi' bin Hadi Al-Madkhali (Arab: الشيخ ربيع بن هادي المدخلي) adalah seorang ulama hadits masa kini yang cukup berpengaruh. Dilahirkan pada tahun 1932 di desa al-Jaradiyah, sebuah desa kecil di sebelah barat kota Shamithah, Arab Saudi. Syaikh Rabi' adalah guru besar ilmu hadits di Universitas Islam Madinah. Terkenal dengan julukan "Pembawa Bendera Jarh wa Ta'dil", meskipun Beliau sendiri tidak suka dengan julukan ini.

Perkembangan Ilmiyah

Ketika Syaikh Rabi' berusia delapan tahun, ia masuk sekolah yang ada di desanya. Di sekolah tersebut ia belajar membaca dan menulis. Termasuk guru yang membimbing dia dalam belajar menulis adalah Syaikh Syaiban al-'Uraisyi, al-Qadli Ahmad bin Muhammad Jabir Al-Madkhali, dan dari seseorang yang bernama Muhammad bin Husain Makki yang berasal dari kota Shibya'. Syaikh Rabi' mempelajari Al-Qur'an di bawah bimbingan Syaikh Muhammad bin Muhammad Jabir Al-Madkhali disamping belajar ilmu tauhid dan tajwid.
Setelah lulus, Beliau melanjutkan studi ke Madrasah as-Salafiyyah di kota Shamithah. Termasuk guru Syaikh Rabi' di madrasah tersebut adalah Syaikh al-'Alim al-Faqih Nashir Khalufah Thayyasy Mubaraki (murid Syaikh al-Qar'awi). Di bawah bimbingannya, Syaikh Rabi' mempelajari kitab Bulughul Maram dan Nuzhatun Nadhar karya al-Hafizh Ibnu Hajar.
Kemudian Syaikh Rabi' belajar di Ma'had al-'Ilmi di Shamithah kepada sejumlah ulama terkemuka, seperti Syaikh Al-Masyhur Hafidh bin Ahmad al-Hakami dan saudaranya, yaitu Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Hakami, juga kepada Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi. Di ma'had tersebut Syaikh Rabi' belajar akidah kepada DR. Muhammad Amman bin 'Ali Al-Jami'. Demikian pula kepada Syaikh al-Faqih Muhammad Shaghir Khamisi, dia mempelajari ilmu fikih dengan kitab Zaadul Mustaqni' dan kepada beberapa orang lagi selain mereka, di mana Syaikh Rabi' mempelajari ilmu bahasa Arab, adab, ilmu Balaghah dan ilmu 'Arudl (cabang-cabang ilmu bahasa Arab).
Tahun 1960 seusai ujian penentuan akhir, ia lulus dari Ma'had al-'Ilmi di kota Shamithah dan di awal tahun 1961 Syaikh Rabi' masuk ke Fakultas Syari'ah di Riyadh selama beberapa waktu (sekitar satu bulan, satu setengah atau dua bulan saja). Ketika Universitas Islam Madinah berdiri, Syaikh Rabi' pindah kesana dan bergabung di Fakultas Syari'ah. Syaikh Rabi' belajar di Universitas tersebut selama empat tahun dan lulus darinya pada tahun 1964 dengan predikat cumlaude.
Setelah lulus, Syaikh Rabi' pun diangkat menjadi dosen di Universitas Islam Madinah tersebut selama beberapa waktu, kemudian ia melanjutkan studi ke tingkat pasca sarjana dan berhasil meraih gelar master di bidang ilmu hadits dari Universitas al-Malik 'Abdul 'Aziz cabang Mekkah pada tahun 1977 dengan disertasinya yang terkenal, berjudul "Bainal Imamain Muslim wad Daruquthni". Pada tahun 1980 Syaikh Rabi' berhasil menyelesaikan program doktornya di Universitas yang sama dengan predikat cumlaude setelah menyelesaikan tahqiq (penelitian) atas kitab "an-Nukat 'ala Kitab Ibni ash-Shalah", karya al-Hafidh Ibnu Hajar.
Syaikh Rabi' kemudian kembali ke Universitas Islam Madinah dan menjadi dosen di Fakultas Hadits. Ia mengajar ilmu hadits dengan segala bentuk dan cabangnya, serta berkali-kali menjadi ketua jurusan Qismus Sunnah pada program pasca sarjana dan sekarang Syaikh Rabi' menjabat sebagai dosen tinggi.[1][2]

Guru-guru

Selain dari guru-guru awal Syaikh Rabi' yang disebutkan diatas, Syaikh Rabi' juga berguru pada ulama-ulama dibawah ini:
  • Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
  • Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
  • Syaikh Abdul Muhsin bin Hammad Al-'Abbad
  • Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi
  • Syaikh Shalih Al-'Iraqi
  • Syaikh Abdul Ghafar Hasan Al-Hindi
  • Dan Lain-lain.

Karya-karya

  • Bainal Imamain Muslim wad Daruquthni.
  • An-Nukat ‘ala Kitab Ibni Ash-Shalah.
  • Tahqiq Kitab Al- Madkhal ila Ash-Shahih lil Hakim, juz pertama telah dicetak.
  • Tahqiq Kitab At-Tawasul wal Wasilah lil Imam Ibni Taimiyyah, dalam satu jilid.
  • Manhajul Anbiya` fid Da’wah ilallah fihil Hikmah wal ‘Aql.
  • Manhaj Ahlis Sunnah fii Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaif.
  • Taqsimul Hadits ila Shahih wa Hasan wa Dla’if baina Waqi’il Muhadditsin wa Mughalithatil Muta’ashibin, sebuah bantahan terhadap ‘Abdul Fatah Abu Ghuddah dan Muhammad ‘Awamah.
  • Kasyfu Mauqifi Al-Ghazali minas Sunnah wa Ahliha.
  • Shaddu ‘Udwanil Mulhidin wa hukmul Isti’anah bi ghairil Muslimin.
  • Makanatu Ahlil Hadits.
  • Manhajul Imam Muslim fii Tartibi Shahihihi.
  • Ahlul Hadits Hum Ath-Thaifah Al-Manshurah An-Najiyah hiwar ma’a Salman Al-‘Audah
  • Mudzakarah fil Hadits An-Nabawi.
  • Adlwa` Islamiyyah ‘ala ‘Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi.
  • Matha’inu Sayyid Quthb fii Ashhabi Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Al-‘Awashim mimma fii Kutubi Sayyid Quthb minal Qawashim.
  • Al-Haddul Fashil bainal Haq wal Bathil hiwar ma’a Bakr Abi Zaid.
  • Mujazafaatul Hiddaad.
  • Al-Mahajjatul Baidla` fii Himaayatis Sunnah Al-Gharra`.
  • Jamaa’ah Waahidah Laa Jamaa’aat wa Shiraathun Wahidun Laa ‘Asyaraat, hiwar ma’a ‘Abdirrahman ‘Abdil Khaliq.
  • An-Nashrul Aziiz ‘ala Ar-Raddil Wajiiz.
  • At-Ta’ashshub Adz-Dzamim wa Aatsaruhu, yang dikumpulkan oleh Salim Al-‘Ajmi.
  • Bayaanul Fasaadil Mi’yar, Hiwar ma’a Hizbi Mustatir.
  • At-Tankiil bimaa fii Taudhihil Milyibaari minal Abaathiil.
  • Dahdlu Abaathiil Musa Ad-Duwaisy.
  • Izhaaqu Abaathiil ‘Abdil Lathif Basymiil.
  • Inqidladlusy Syihb As-Salafiyyah ‘ala Aukaar ‘Adnan Al-Khalafiyyah.
  • An-Nashihah Hiyal Mas`uliyyah Al-Musytarakah fil ‘Amal Ad-Da’wi, diterbitkan di majalah At-Tau’iyyah Al-Islamiyyah.
  • Al-Kitab was Sunnah Atsaruhuma wa makaanatuhuma wadl Dlarurah ilaihima fii Iqaamatit Ta’liimi fii Madaarisinaa, artikel majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyyah, edisi 16.
  • Hukmul Islam fii man Sabba Rasulallah au Tha’ana fii Syumuli Risaalatihi, artikel koran Al-Qabas Al-Kuwaitiyyah edisi 8576 tahun 9/5/1997.
  • Dan Lain-lain.

Perkataan Para Ulama

  1. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata dalam kaset yang berjudul "Al-Muwazanat Bid'atul 'Ashr": "Secara ringkas aku mengatakan bahwa sesungguhnya pembawa bendera Jarh wa Ta’dil pada hari ini, pada masa ini secara hakiki adalah saudara kami Rabi’. Orang-orang yang membantahnya, tidak membantahnya dengan ilmu sama sekali sedangkan ilmu bersamanya (Syaikh Rabi')"
  2. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata: "Dia adalah seorang imam dalam sunnah"
  3. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin merekomendasi Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhali tatkala ada yang bertanya kepada dia tentang kitab-kitab Syaikh Rabi'. Maka Syaikh al-Utsaimin menjawab: "Zhahirnya, pertanyaan ini tidaklah dibutuhkan sebagaimana Imam Ahmad ditanya tentang Ishaq bin Rahuyah lalu dia menjawab: 'Semisal aku ditanya tentang Ishaq! Bahkan semestinya Ishaq yang ditanya tentang aku.'"
  4. Syaikh Muqbil bin Hadi Al-wadi'i berkata: "Di antara ulama yang paling mengerti tentang kelompok-kelompok menyimpang dan kesalahan-kesalahannya pada masa ini adalah Syaikh Rabi' bin Hadi, barangsiapa yang dikatakan Rabi' bin Hadi (sebagai) hizbi maka akan terbongkarlah keadaannya di hadapan kalian dengan berjalannya waktu bahwa ia adalah hizbi, akan nampak bagi kalian meskipun ia di awal permulaannya belum nampak (ke"hizbi"yyahannya)."
  5. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Banna berkata: "Imam Jarh wa Ta’dil yang jujur lagi amanah, saudara kami Rabi’ Hadi, demi Allah dia adalah imam Jarh wa Ta’dil abad ke 14, Allah mengutus tiap seratus tahun seorang yang memperbaharui ajaran agama mereka...kami menantang (untuk mendatangkan bukti) bahwa Syaikh Rabi' berbicara tentang seseorang tanpa bukti dari ucapannya, kaset-kaset maupun kitab-kitabnya."
  6. Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi berkata: "Seandainya ada seorang yang berkata bahwa tidak ada seorang pun di zaman kita yang telah membantah, menyerang dan mendebat kesalahan-kesalahan ahli bid’ah semisal dengan apa yang dilakukan Syaikh Rabi' tentu perkataannya benar."
  7. Syaikh Ubaid al-Jabiri berkata: "Syaikh Rabi' adalah pembawa bendera Sunnah, dengan persaksian para imam, mereka memberikan tazkiyah dan memuji dia. Tidak semestinya orang sepertiku ditanya tentang dia hafidzahullah."
  8. Syaikh Zaid bin Muhammad berkata: "Bantahan-bantahan yang ditulis oleh Syaikh Rabi' merupakan jihad menegakkan kalimat al-haq dan nasihat bagi kaum muslimin terkhusus para penuntut ilmu yang mubtadi'in dan orang semisal mereka yang tidak memiliki perhatian khusus dalam mendalami permasalahan aqidah, manhaj dan bantahan-bantahan (para ulama) agar mereka tidak terjatuh pada (kesalahan dan kesesatan) yang harus diwaspadai dan diperingatkan." [3]

Referensi

  1. [1]^ Risalah “Radd Ubaid Al-Jabiri ‘ala Qawa’id Al-Halabi Al-Jadidah”
  2. [2]^ “Al-Ibanah ‘an Kaifiyyah At-Ta’amul ma’al Khilaf baina Ahlis Sunnah wal-Jama’ah”
  3. [3]^ 'Ats-Tsana'ul Badii', Syaikh Khalid adz-Dza'firi