بسم الله الر حمان الر حيم
“Syirik dalam niat, kehendak (tujuan hidup) di dunia ini bagaikan lautan yang luas tak bertepi. Sedikit sekali manusia yang bisa selamat (lolos) darinya. Maka, barangsiapa yang dengan amalnya menginginkan selain dari Wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Surga, atau meniatkan segala sesuatu selain untuk taqarrub (mendekatkan diri) dan balasan (keridhaan) dari-Nya, sungguh, dia telah melakukan perbuatan Syirik dalam niat dan kehendak.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
menulis sebuah bab dalam kitab At-Tauhid, “Bab; Termasuk dari Kesyirikan adalah
Menginginkan Dunia dengan Amalan Akhirat”
Berkata Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu
Syaikh rahimahullah, “Yang beliau maksudkan dengan judul itu
adalah, bahwa beramal untuk mendapatkan dunia adalah syirik yang akan menafikan kesempurnaan Tauhid yang wajib, serta membatalkan amalan
tersebut. Hal ini lebih berbahaya daripada
dosa Riya’, karena niat untuk mendapatkan dunia telah menguasai
keinginannya dalam mayoritas amalan, sedangkan Riya’ hanya terbatas pada amalan tertentu saja, tidak pada amalan lain. Riya’ juga tidak terus-menerus
menyertai setiap amalan. Orang-orang
yang beriman harus berhati-hati terhadap semua ini.”
(Fatul Majid, 2/625)
Bukanlah sesuatu yang baru bagi kaum muslimin, jika Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah mengharamkan perbuatan syirik dalam segala
bentuknya, baik itu Syirik Besar, Syirik Kecil, dan Syirik Khafi (tersamar
/ halus). Bahkan mereka mengetahui,
bahwa kesyirikan itu merupakan dosa yang paling besar, dan tidak akan diampuni
bila sampai meninggal belum bertaubat.
Akan tetapi, tahukah mereka segala rincian dari perbuatan-perbuatan
syirik itu? Tentu, jawabannya adalah
tidak. Hal ini bisa disebabkan oleh
banyak faktor. Di antaranya adalah kejahilan
(ketidak-tahuan / kebodohan) mereka terhadap Aqidah yang benar
(lurus). Juga karena adanya penyakit taqlid
buta, fanatik, serta sikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap
orang-orang shalih
(‘Aqidah At-Tauhid hal. 16)
(Selengkapnya baca artikel, SYIRIK)
Para ‘ulama Ahlussunnah telah menjelaskan berbagai macam
bentuk kesyirikan. Di antaranya, ada
syirik yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama Islam yang disebut dengan
Syirik Besar, dan syirik yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam yang
disebut dengan Syirik Kecil, akan tetapi dosanya tetap besar.
Termasuk dalam kategori syirik kecil, adalah beramal karena
ingin mendapatkan dunia. Seperti
seseorang yang melakukan perbuatan baik karena ingin mendapat dukungan suara dalam Pemilu. Atau seperti orang yang melaksanakan ibadah haji karena ingin dipanggil pak haji / bu
haji, atau agar disegani oleh masyarakat sekitarnya, menjadi mu’adzin, imam rawatib untuk mendapatkan imbalan dunia, atau belajar
ilmu agama dan berjihad untuk mendapatkan pamrih dunia. Telah bersabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (artinya),
“Telah celakalah hamba dinar dan dirham. Telah celaka hamba khamishah dan khamilah
(jenis-jenis pakaian). Jika diberi
dia ridha, dan jika tidak diberi dia benci.”
(Aqidah At-Tauhid, hal. 98)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Syirik dalam
iradah (kehendak) dan niat bagaikan lautan luas yang tak bertepi. Sedikit sekali manusia yang selamat
darinya. Maka, barangsiapa yang dengan perbuatannya menginginkan selain Wajah Allah ‘Azza wa Jalla, meniatkan
sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak untuk mendapatkan (keridhaan)-Nya, sungguh dia telah melakukan kesyirikan
dalam niat dan kehendak. Sedangkan
ikhlas adalah, dia mengikhlaskan untuk Allah ‘Azza wa Jalla semata dalam
perbuatan, ucapan, keinginan, dan niatnya.
Inilah yang disebut Hanifiyah, agama (jalannya) Nabi Ibrahim ‘aihissalam,
dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada setiap hamba
untuk mengikutinya, dan Dia tidak akan menerima agama selain dari itu. Ini juga merupakan hakikat Islam, sebagaimana
yang difirmankan-Nya,
و من يبتغ غير الاسلام دينا فلن يقبل منه وهو فى الاخرة من الخسرين / “Wa man yabtaghi ghaira al-islaami
diinan falan yuqbala minhu wahuwa fii al-akhirati mina al-khaasiriina”
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di Akhirat
(dia) termasuk orang-orang yang merugi.”
(QS. Ali-Imran; 85)
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Contoh Orang yang Berpotensi Mencari Dunia dengan Amalan Akhirat;
a. A. Ulama
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari
orang-orang alim Yahudi dan Rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang
dengan jalan bathil dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih.”
(QS. At-Taubah; 34)
Asy-Syaikh As-Sa’di
rahimahullah menjelaskan, “Ini merupakan peringatan dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala kepada setiap orang yang beriman, bahwa mayoritas ulama Yahudi
dan pendeta Nasrani – artinya (setiap) ulama (karena orang Yahudi identik dengan orang berilmu / mengetahui kebenaran, tapi tidak mau beramal dengannya, pen.) dan (setiap) ahli ibadah (Orang Nasrani identik dengan orang yang rajin beramal tetapi tidak didasari ilmu, pen.) – memakan harta manusia dengan cara bathil,
yakni dengan cara tidak benar. Mereka juga
menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya jika mereka mendapatkan gaji dari
harta manusia, atau manusia menyisihkan harta benda mereka untuknya, maka hal tersebut disebabkan ilmu dan
ibadah mereka. Juga karena bimbingan
yang mereka berikan. Namun mereka mengambil semuanya
dan menghalangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, megambil upah dengan cara demikian adalah sebuah kezhaliman. Karena seseorang (jamaah) tidak akan mengorbankan harta
bendanya melainkan agar dia terbimbing ke jalan yang lurus.” (Taisirul Karimirrahman, hal. 296)
(Baca juga artikel, METODE DAKWAH TAUQIFIYAH)
(Baca juga artikel, METODE DAKWAH TAUQIFIYAH)
b. B. Da’i
Mungkinkah seorang da’i dapat terjatuh ke dalam kesyirikan? Jawabannya adalah, sangat mungkin. Terlebih jika sang da’i adalah orang yang
tidak memiliki aqidah yang benar dan manhaj yang lurus. Dia bisa menjadikan dakwahnya dengan ayat-ayat Allah dan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jembatan untuk
mendapatkan kedudukan di hati manusia, sanjungan, dan pujian dari mereka,
mencari pengikut yang banyak, serta menghendaki uluran tangan manusia (harta).
Karena menurut mereka, jalan inilah yang
paling mudah dan tidak memerlukan kerja keras, peras keringat dan “banting
tulang” untuk mendapatkannya.
Barangsiapa yang memiliki niat demikian, baik dia seorang alim, kyai, da’i,
dan yang semacamnya, maka dia telah terjatuh ke dalam perbuatan syirik terhadap
Allah Subhanahu wa Ta’ala (Digambarkan dalam Fathul Majid, hal.
453-454)
(Baca artikel, MANHAJ)
(Baca artikel, MANHAJ)
c.
C. Politikus
Bukanlah sesuatu yang aneh bagi seorang
politikus untuk melontarkan pendapat-pendapatnya dengan menyitir dalil-dalil,
baik dari Al-Qur`an maupun As-Sunnah.
Terlebih-lebih lagi jika dia dahulunya seorang da’i, kemudian terjun
(“membelot”) ke dunia politik. Maka, obsesinya
akan berputar-putar di sekitar;
Pertama; Bagaimana cara mengumpulkan massa (suara).
Kedua; Mengumpulkan dana.
Yang ujung-ujungnya adalah mencari
kedudukan di mata manusia.
Dalam syarah Fadhlul Islam, disebutkan
terjadinya penyimpangan dari Ash-Shirat Al-Awwal (jalan yang dahulunya
lurus), adalah karena di tengah-tengah umat muncul politik yang jahat serta
zhalim, yang telah melencengkan hukum-hukum agama. Karena politik inilah, ahli ilmu, para hakim, para intelektual, dan ahli fatwa memberikan
fatwanya sesuai kebutuhan Negara (Pemerintah) atau kelompok - meskipun dengan cara "mengalahkan" (menutupi) kebenaran (Al-Qur'an dan As-Sunnah).
Nasihat Indah dari Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah;
Al-Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Sayyar telah menceritakan kepadaku; Ja’far telah menceritakan
kepadaku; Aku telah mendengar Malik
bin Dinar rahimahullah berkata, “Berhati-hatilah kalian dari wanita
penyihir. Berhati-hatilah kalian dari
wanita penyihir. Berhati-hatilah kalian
dari wanita penyihir, karena mereka telah menyihir hati-hati para ulama.”
Yahya bin Mu’az
Ar-Razi rahimahullah berkata, “Dunia adalah khamrnya
syaithan. Barangsiapa yang mabuk
karenanya, maka dia tak akan kunjung sadar sampai kematian datang menjemput, dalam
keadaan menyesal di tengah-tengah orang yang merugi. Sedangkan bentuk cinta dunia yang paling ringan adalah, melalaikan seseorang dari cinta dan dzikir kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Barangsiapa yang harta
bendanya telah melalaikannya dari dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
sungguh ia telah termasuk orang-orang yang merugi. Bila hati lalai dari dzikir kepada Allah ‘Azza
wa Jalla, niscaya hati itu akan ditempati oleh Syaithan, yang akan memalingkannya ke arah yang dikehendakinya.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiadalah
setiap orang di dunia ini, melainkan sebagai tamu dan hartanya adalah pinjaman. Tamu tentunya akan berangkat pergi (pamit),
dan pinjaman itu akan kembali kepada Pemiliknya.”
Para ulama
berkata, “Cinta terhadap dunia adalah sumber segala kerusakan (malapetaka). Dia akan merusak agama seseorang dari banyak
sisi, di antaranya;
Pertama; Mencintai dunia akan membuahkan pengagungan terhadapnya,
sementara dunia itu rendah (hina, menjauhkan ) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengagungkan apa yang dihinakan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala termasuk dosa yang paling besar.
Kedua; Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat, membenci, dan murka
terhadap dunia dan segala apa yang ada padanya (kecuali hal-hal yang
diperuntukkan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan faktor-faktor pendukungnya). Barangsiapa yang mencintai apa yang
dilaknat, dibenci, dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti dia
telah menghadapkan dirinya pada laknat, kebencian, dan kemurkaan Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Ketiga; Jika dia mencintainya (dunia), tentu dia akan menjadikan
dunia itu sebagai tujuan utama. Dia akan
mencari jalan untuk masuk ke dalamnya (menguasainya) dengan amalan-amalan yang sebenarnya
telah ditetapkan Allah sebagai sarana (wasilah) kepada-Nya dan kampung Akhirat.”
(Uddatush Shabirin wa Dzakhiratusy
Syakirin, hal. 186)
Wallahu
a’lam bish-shawab
(Allah lebih mengetahui segala sesuatu).
oOo
(Disadur
dari Majalah Asy-Syari’ah, Vol. V/No. 49/1430 H/2009), tulisan Al-Ustadz
Abu Usamah Abdurrahman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar