Rabu, 10 Juli 2019

SYIRIK DALAM NIAT DAN KEHENDAK (TUJUAN HIDUP)


بسم الله الر حمان الر حيم                       


 “Syirik dalam niat, kehendak (tujuan hidup) di dunia ini bagaikan lautan yang luas tak bertepi. Sedikit sekali manusia yang bisa selamat (lolos) darinya.  Maka, barangsiapa yang dengan amalnya menginginkan selain dari Wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Surga, atau meniatkan segala sesuatu selain untuk taqarrub (mendekatkan diri) dan balasan (keridhaan) dari-Nya, sungguh, dia telah melakukan perbuatan Syirik dalam niat dan kehendak.”  
(Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menulis sebuah bab dalam kitab At-Tauhid, “Bab;  Termasuk dari Kesyirikan adalah Menginginkan Dunia dengan Amalan Akhirat
Berkata Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah, “Yang beliau maksudkan dengan judul itu adalah, bahwa beramal untuk mendapatkan dunia adalah syirik yang akan menafikan kesempurnaan Tauhid yang wajib, serta membatalkan amalan tersebut.  Hal ini lebih berbahaya daripada dosa Riya’, karena niat untuk mendapatkan dunia telah menguasai keinginannya dalam mayoritas amalan, sedangkan Riya’ hanya terbatas pada amalan tertentu saja, tidak pada amalan lain.  Riya’ juga tidak terus-menerus menyertai setiap amalan.  Orang-orang yang beriman harus berhati-hati terhadap semua ini.”  
(Fatul Majid, 2/625)
Bukanlah sesuatu yang baru bagi kaum muslimin, jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah mengharamkan perbuatan syirik dalam segala bentuknya, baik itu Syirik Besar, Syirik Kecil, dan Syirik Khafi (tersamar / halus).  Bahkan mereka mengetahui, bahwa kesyirikan itu merupakan dosa yang paling besar, dan tidak akan diampuni bila sampai meninggal belum bertaubat.  Akan tetapi, tahukah mereka segala rincian dari perbuatan-perbuatan syirik itu?  Tentu, jawabannya adalah tidak.  Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor.  Di antaranya adalah kejahilan (ketidak-tahuan / kebodohan) mereka terhadap Aqidah yang benar (lurus).  Juga karena adanya penyakit taqlid buta, fanatik, serta sikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang-orang shalih 
(‘Aqidah At-Tauhid hal. 16)
(Selengkapnya baca artikel, SYIRIK)
Para ‘ulama Ahlussunnah telah menjelaskan berbagai macam bentuk kesyirikan.  Di antaranya, ada syirik yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama Islam yang disebut dengan Syirik Besar, dan syirik yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam yang disebut dengan Syirik Kecil, akan tetapi dosanya tetap besar.
Termasuk dalam kategori syirik kecil, adalah beramal karena ingin mendapatkan dunia.  Seperti seseorang yang melakukan perbuatan baik karena ingin mendapat dukungan suara dalam Pemilu.  Atau seperti orang yang melaksanakan ibadah haji karena ingin dipanggil pak haji / bu haji, atau agar disegani oleh masyarakat sekitarnya, menjadi mu’adzin,  imam rawatib  untuk mendapatkan imbalan dunia, atau belajar ilmu agama dan berjihad untuk mendapatkan pamrih dunia.  Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Telah celakalah hamba dinar dan dirham.  Telah celaka hamba khamishah dan khamilah (jenis-jenis pakaian).  Jika diberi dia ridha, dan jika tidak diberi dia benci.”  
(Aqidah At-Tauhid, hal. 98)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, Syirik dalam iradah (kehendak) dan niat bagaikan lautan luas yang tak bertepi.  Sedikit sekali manusia yang selamat darinya.  Maka, barangsiapa yang dengan perbuatannya menginginkan selain Wajah Allah ‘Azza wa Jalla, meniatkan sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak untuk mendapatkan (keridhaan)-Nya, sungguh dia telah melakukan kesyirikan dalam niat dan kehendak.  Sedangkan ikhlas adalah, dia mengikhlaskan untuk Allah ‘Azza wa Jalla semata dalam perbuatan, ucapan, keinginan, dan niatnya.  Inilah yang disebut Hanifiyah, agama (jalannya) Nabi Ibrahim ‘aihissalam, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada setiap hamba untuk mengikutinya, dan Dia tidak akan menerima agama selain dari itu.  Ini juga merupakan hakikat Islam, sebagaimana yang difirmankan-Nya,
و من يبتغ غير الاسلام دينا فلن يقبل منه وهو فى الاخرة من الخسرين    /  “Wa man yabtaghi ghaira al-islaami diinan falan yuqbala minhu wahuwa fii al-akhirati mina al-khaasiriina”
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di Akhirat (dia) termasuk orang-orang yang merugi.”  (QS. Ali-Imran;  85)
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)

Contoh Orang yang Berpotensi Mencari Dunia dengan Amalan Akhirat;
a.     A.  Ulama
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan Rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan bathil dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.  Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih.”  
(QSAt-Taubah;  34)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Ini merupakan peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada setiap orang yang beriman, bahwa mayoritas ulama Yahudi dan pendeta Nasrani – artinya (setiap) ulama (karena orang Yahudi identik dengan orang berilmu / mengetahui kebenaran, tapi tidak mau beramal dengannya, pen.) dan (setiap) ahli ibadah (Orang Nasrani identik dengan orang yang rajin beramal tetapi tidak didasari ilmu, pen.) – memakan harta manusia dengan cara bathil, yakni dengan cara tidak benar.  Mereka juga menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya jika mereka mendapatkan gaji dari harta manusia, atau manusia menyisihkan harta benda mereka untuknya, maka hal tersebut disebabkan ilmu dan ibadah mereka.  Juga karena bimbingan yang mereka berikan.  Namun mereka mengambil semuanya dan menghalangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Sehingga, megambil upah dengan cara demikian adalah sebuah kezhaliman.  Karena seseorang (jamaah) tidak akan mengorbankan harta bendanya melainkan agar dia terbimbing ke jalan yang lurus.  (Taisirul Karimirrahman, hal. 296)
(Baca juga artikel, METODE DAKWAH TAUQIFIYAH)

b.     B. Da’i
Mungkinkah seorang da’i dapat terjatuh ke dalam kesyirikan?  Jawabannya adalah, sangat mungkin.  Terlebih jika sang da’i adalah orang yang tidak memiliki aqidah yang benar dan manhaj yang lurus.  Dia bisa menjadikan dakwahnya dengan ayat-ayat Allah dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jembatan untuk mendapatkan kedudukan di hati manusia, sanjungan, dan pujian dari mereka, mencari pengikut yang banyak, serta menghendaki uluran tangan manusia (harta).
Karena menurut mereka, jalan inilah yang paling mudah dan tidak memerlukan kerja keras, peras keringat dan “banting tulang” untuk mendapatkannya.  Barangsiapa yang memiliki niat demikian, baik dia seorang alim, kyai, da’i, dan yang semacamnya, maka dia telah terjatuh ke dalam perbuatan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala (Digambarkan dalam Fathul Majid, hal. 453-454)
(Baca artikel, MANHAJ)

c.       C. Politikus
Bukanlah sesuatu yang aneh bagi seorang politikus untuk melontarkan pendapat-pendapatnya dengan menyitir dalil-dalil, baik dari Al-Qur`an maupun As-Sunnah.  Terlebih-lebih lagi jika dia dahulunya seorang da’i, kemudian terjun (“membelot”) ke dunia politik.  Maka, obsesinya akan berputar-putar di sekitar;
Pertama;  Bagaimana cara mengumpulkan massa (suara).
Kedua;  Mengumpulkan dana.
Yang ujung-ujungnya adalah mencari kedudukan di mata manusia.
Dalam syarah Fadhlul Islam, disebutkan terjadinya penyimpangan dari Ash-Shirat Al-Awwal (jalan yang dahulunya lurus), adalah karena di tengah-tengah umat muncul politik yang jahat serta zhalim, yang telah melencengkan hukum-hukum agama.  Karena politik inilah, ahli ilmu, para hakim, para intelektual, dan ahli fatwa memberikan fatwanya sesuai kebutuhan Negara (Pemerintah) atau kelompok - meskipun dengan cara "mengalahkan" (menutupi) kebenaran (Al-Qur'an dan As-Sunnah).

Nasihat Indah dari Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah;
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Sayyar telah menceritakan kepadaku; Ja’far telah menceritakan kepadaku;  Aku telah mendengar Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Berhati-hatilah kalian dari wanita penyihir.  Berhati-hatilah kalian dari wanita penyihir.  Berhati-hatilah kalian dari wanita penyihir, karena mereka telah menyihir hati-hati para ulama.”
Yahya bin Mu’az Ar-Razi rahimahullah berkata, Dunia adalah khamrnya syaithan.  Barangsiapa yang mabuk karenanya, maka dia tak akan kunjung sadar sampai kematian datang menjemput, dalam keadaan menyesal di tengah-tengah orang yang merugi.  Sedangkan bentuk cinta dunia yang paling ringan adalah, melalaikan seseorang dari cinta dan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Barangsiapa yang harta bendanya telah melalaikannya dari dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sungguh ia telah termasuk orang-orang yang merugi.  Bila hati lalai dari dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, niscaya hati itu akan ditempati oleh Syaithan, yang akan memalingkannya ke arah yang dikehendakinya.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiadalah setiap orang di dunia ini, melainkan sebagai tamu dan hartanya adalah pinjaman.  Tamu tentunya akan berangkat pergi (pamit), dan pinjaman itu akan kembali kepada Pemiliknya.”
Para ulama berkata, “Cinta terhadap dunia adalah sumber segala kerusakan (malapetaka).  Dia akan merusak agama seseorang dari banyak sisi, di antaranya;
Pertama;  Mencintai dunia akan membuahkan pengagungan terhadapnya, sementara dunia itu rendah (hina, menjauhkan ) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Mengagungkan apa yang dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk dosa yang paling besar.
Kedua;  Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat, membenci, dan murka terhadap dunia dan segala apa yang ada padanya (kecuali hal-hal yang diperuntukkan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan faktor-faktor pendukungnya).  Barangsiapa yang mencintai apa yang dilaknat, dibenci, dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti dia telah menghadapkan dirinya pada laknat, kebencian, dan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketiga;  Jika dia mencintainya (dunia), tentu dia akan menjadikan dunia itu sebagai tujuan utama.  Dia akan mencari jalan untuk masuk ke dalamnya (menguasainya) dengan amalan-amalan yang sebenarnya telah ditetapkan Allah sebagai sarana (wasilah) kepada-Nya dan kampung Akhirat.  
(Uddatush Shabirin wa Dzakhiratusy Syakirin, hal. 186)

Wallahu a’lam bish-shawab (Allah lebih mengetahui segala sesuatu).

oOo

(Disadur dari Majalah Asy-Syari’ah, Vol. V/No. 49/1430 H/2009), tulisan Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar