بسم الله
الر حمان الر حيم
Hati
seluruh anak-cucu Adam ‘alaihissalam berada di antara Dua Jemari Ar-Rahman. Sehingga, meskipun yang empunya hati adalah
mereka (manusia), tetapi yang menguasai dan mengendalikannya
adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Dia membolak-balikkan hati mereka sekehendak-Nya, menghadapkan hati mereka kepada-Nya atau memalingkannya, bahkan memberi batasan (dinding pemisah) antara hati-hati mereka dengan diri mereka sendiri.
Kecintaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat
menyelamatkan pelakunya dari adzab api Neraka.
Bila hal ini telah diketahui, semestinya
seorang hamba tidak mengalihkan cinta itu kepada selain-Nya.
Sebagian 'ulama pernah ditanya, “Dibagian mana dalam Al-Qur'an engkau mendapatkan (bukti), bahwa Kekasih itu tidak akan mengadzab kekasih-Nya?”
Maka 'ulama tersebut menjawab, “Di dalam makna firman Allah, ‘Orang-orang Yahudi dan Nasrani
mengatakan, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Maka, mengapa Allah menyiksa
kalian karena dosa-dosa kalian?’”
(Al-Maidah; 18)
Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Ismail
bin Yunus, dari Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda,
والله لا يعذب الله حبيبه ولكن قد يبتليه فى الدنيا / “Wa
Allahi laa yu’adzdzibu Allahu habiibahu wa lakin qad` yab`taliihi fii
ad-dunyaa”
“Demi
Allah, Allah tidak akan mengadzab kekasih-Nya, tetapi Dia telah mengujinya
di dunia (sebagai gantinya, pen blog.)”
Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Sayyar, kami
diberitahu Ja’far, kami diberitahu Abu Alib, dia berkata, “Kami mendengar, bahwa perkataan
berikut ini ada dalam wasiat Isa bin Maryam ‘alaihissalam,
‘Wahai para Hawariyyin, cintailah Allah sekalipun mendapat kebencian para pelaku
kedurhakaan, dan mendekatlah pada-Nya sekalipun dengan kemarahan mereka, serta
carilah keridhaan-Nya sekalipun dengan mendapat kemurkaan mereka.”
Para Hawariyyin (pengikut setia Nabi Isa) itu berkata, “Wahai Nabi Allah, lalu dengan
siapakah kami bergaul?”
Isa menjawab, “Bergaullah dengan orang yang perkataannya bisa menambah amal
kalian, yang pandangannya bisa mengingatkan kalian kepada Allah, dan yang
ilmunya bisa membantumu zuhud terhadap dunia.”
Sebagai
bukti, bahwa menghadapkan diri kepada Allah itu saja sudah merupakan balasan
yang tampak (langsung) di dunia, maka Allah menghadapkan hati hamba-Nya kepada
orang-orang yang juga menghadap kepada-Nya, sebagaimana Dia memalingkan hati orang-orang yang berpaling dari-Nya.
Sebab, bukankah hati-hati hamba itu berada di Tangan Allah, bukan di
tangan mereka sendiri?”
Al-Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Hasan dalam Tafsir
Syaibahn, dari Qatadah, dia berkata, “Tidaklah seorang hamba menghadap kepada Allah dengan
hatinya, melainkan Allah menghadapkan hati orang-orang beriman (mukmin) kepadanya,
hingga Dia (Allah) menganugerahkan cinta dan kasih sayang kepadanya.”
Hal ini diriwayatkan secara marfu’ dengan lafazh
(artinya),
“Tidaklah seorang hamba menghadap kepada Allah dengan
hatinya, melainkan Allah menghadap kepadanya dengan hati para hamba-Nya, dan
menjadikan hati mereka menghampirinya dengan membawa kasih sayang, dan
Allah memberikan segala kebaikan
kepadanya lebih cepat lagi.”
Jika hati diciptakan untuk mencintai orang yang berbuat baik
kepadanya dan kebajikan yang ditujukan kepadanya, lalu bagaimana degan Allah?
(tentu keadaannya akan jauh lebih baik lagi, karena Allah adalah Sumber dan Pencipta segala kebaikan). Maka Allah berfirman,
وما بكم من نعمة فمن الله / “Wa maa bikum
min ni’mati famina Allahi”
“Dan,
apa saja nikmat yang ada pada kalian, itu datangnya dari Allah.” (An-Nahl; 53)
Al-Imam Ahmad menuturkan, kami diberitahu Abu
Mu’awiyah, dia berkata, ‘Aku diberitahu Al-A’masy, dari Al-Munhal, dari
Abdullah bin Al-Harits, dia berkata, “Allah mewahyukan kepada Daud ‘alaihissalam dengan
berfirman, ‘Wahai Daud, cintailah Aku, dan buatlah hamba-hamba-Ku mencintai-Ku,
serta buatlah Aku mencintai hamba-hamba-Ku.”
Daud berkata, “Wahai Rabb-ku, aku memang mencintai-Mu dan bisa membuat
hamba-hamba-Mu mencintai-Mu. Tetapi
bagaimana mungkin aku (bisa) membuat Engkau mencintai hamba-hamba-Mu?”
Allah berfirman, “Sebutlah Asma-Ku di tengah-tengah mereka, karena mereka
tidak mengingat dari-Ku kecuali yang baik-baik.”
Di antara permohonan hamba kepada Allah untuk mengharap
cinta-Nya dan cinta orang-orang yang mencintai-Nya, serta mencintai amalan yang
bisa mendekatkan kepada cinta-Nya, adalah ucapan (doa);
اللهم
اني اسالك حبك وحب من يحبك وحب عمل يقر بنى الى حبك اللهم ما رزقتنى مما احب فجعله قوة لى فيما
تحب وما زويت عنى مما احب فجعله فراغا لى
فيما تحب اللهم اجعل حبك احب الي من اهل
ومالى ومنا الماء البارد على الظماء
اللهم حببنى اليك والى ملاءكتك وانبيا ءك ورسلك وعبادك الصا لحين واجعلنى ممن يحبك ويحب ملاءكتك وانبياءك ورسلك
وعبادك الصالحين اللهم احى قلبى بحبك
وجعلنى لك كما تحب اللهم اجعلنى احبك
بفلبى كله وارضيك بجهدى كله اللهم اجعل
حبى كله لك وسعي كله فى مرضاتك
“Allahumma innii as aluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka wa hubba ‘amalin yuqarribunii ilaa hubbika, Allahumma maa razaq`tanii mimmaa uhibbu faj’alhu quwwatan lii fiimaa tuhibbu, wa maa zawaita ‘annii mimmaa uhibbu faj’alhu faraaghan lii fii maa tuhibbu, Allahumma aj’al hubbaka ahabba ilayya min ahlii wa maa lii wa mina al-maa-i al-baaridi ‘alaa adhzdhzamaa-i, Allahumma habbibnii ilaika wa ilaa malaaikatika wa anbiyaaika wa rusulika wa ‘ibaadika ashshaalihiina, wa aj’alnii mimman yuhibbuka wa yuhibbu malaaikataka wa anbiyaa-aka warusulaka wa ‘ibaadaka ashshaalihiina, Allahumma ahii qalbii bihubbika wa aj’alnii laka kamaa tuhibbu, Allahumma aj’alnii uhibbuka biqalbii kullihi, wa ardhiika bijuhdii kullihi, Allahumma aj’al hubbii kullahu laka, wa sa’ii kullahu fii mardhaatika.”
Artinya;
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu, serta cinta yang dapat mendekatkan aku kepada cinta-Mu. Ya Allah, apa yang Engkau anugerahkan kepadaku dari apa-apa yang aku cintai, maka jadikanlah dia sebagai kekuatan bagiku akan apa yang Engkau cintai, dan apa-apa yang Engkau singkirkan dariku akan apa-apa yang aku cintai, maka jadikanlah ia kekosongan bagiku. Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu sesuatu yang paling kucintai daripada cintaku kepada keluargaku, hartaku, dan air dingin tatkala dahaga. Ya Allah, buatlah aku mencintai-Mu, Malaikat-malaikat-Mu, Nabi-nabi-Mu, Rasul-rasul-Mu dan hamba-hamba-Mu yang shalih. Ya Allah, hidupkanlah hatiku dengan cinta-Mu, dan jadikanlah aku bagi-Mu seperti (orang) yang Engkau cintai. Ya Allah, jadikanlah aku mencintai-Mu dengan segenap hatiku dan ridha terhadap-Mu dari segala usahaku. Ya Allah, jadikanlah segenap cintaku bagi-Mu, dan seluruh usahaku di dalam keridhaan-Mu.”[1]
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu, serta cinta yang dapat mendekatkan aku kepada cinta-Mu. Ya Allah, apa yang Engkau anugerahkan kepadaku dari apa-apa yang aku cintai, maka jadikanlah dia sebagai kekuatan bagiku akan apa yang Engkau cintai, dan apa-apa yang Engkau singkirkan dariku akan apa-apa yang aku cintai, maka jadikanlah ia kekosongan bagiku. Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu sesuatu yang paling kucintai daripada cintaku kepada keluargaku, hartaku, dan air dingin tatkala dahaga. Ya Allah, buatlah aku mencintai-Mu, Malaikat-malaikat-Mu, Nabi-nabi-Mu, Rasul-rasul-Mu dan hamba-hamba-Mu yang shalih. Ya Allah, hidupkanlah hatiku dengan cinta-Mu, dan jadikanlah aku bagi-Mu seperti (orang) yang Engkau cintai. Ya Allah, jadikanlah aku mencintai-Mu dengan segenap hatiku dan ridha terhadap-Mu dari segala usahaku. Ya Allah, jadikanlah segenap cintaku bagi-Mu, dan seluruh usahaku di dalam keridhaan-Mu.”[1]
Doa ini merupakan tongkat penyangga “Kemah Islam” yang
dijadikan perangkat untuk menegakkannya.
Ini juga merupakan hakikat syahadat “Laa Ilaaha Illallah wa Anna Muhammadan
Rasulullah”. Orang-orang yang menegakkan hakikat ini
adalah orang-orang yang menegakkan syahadat. Allah memperkenalkan kepada hamba-hamba-Nya
melalui Asma-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan Perbuatan-Nya, yang mengharuskan mereka
untuk mencintai-Nya. Sesungguhnya hati itu difitrahkan
untuk mencintai kesempurnaan, serta siapapun yang memiliki komitmen terhadap
kesempurnaan.
(Baca artikel, APA ITU FITRAH?)
Sementara itu, Allah mempunyai kesempurnaan yang mutlak dari
segala sisi, tanpa ada kekurangan sekecil apa pun. Allah itu indah, dan tidak ada sesuatu yang
lebih indah dari-Nya. Bahkan, seandainya
keindahan seluruh makhluk dihimpun menjadi satu, maka keindahan itu tidak akan
menyamai keindahan Allah sedikit pun.
Hingga, jika keindahan keduanya dipersandingkan layaknya pelita yang memiliki api yang sangat kecil
dibandingkan dengan cahaya matahari (bintang) yang paling besar.
“Dan
Allah mempunyai Sifat Yang Mahatinggi.” (An-Nahl; 60)
Ada beberapa Sahabat yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Sa’id Al-Khudry,
Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab, Tsabit dan Qais, Abud
Darda, Abu Hurairah, dan Abu Raihanah, sabda Beliau,
ان الله جميل يحب الجمال / “Inna Allahu jamiilun
yuhibbu al-jamaala”
“Sesungguhnya
Allah itu indah, dan mencintai keindahan.”
Di antara Asma-Nya adalah Al-Jamiil (Yang Mahaindah),
lalu siapakah yang lebih berhak memiliki sifat keindahan selain dari Yang menciptakan
keindahan itu Sendiri pada setiap benda- benda di alam ini? Allah memiliki keindahan Dzat, keindahan
Sifat, keindahan Perbuatan, dan keindahan Asma.
Semua Asma-Nya adalah baik, semua sifat-Nya adalah kesempurnaan, semua
Perbuatan-Nya adalah indah. Tak seorang
manusia pun bisa melihat keAgungan dan keIndahan-Nya selagi di dunia. Kalau pun mereka bisa memandang Allah nanti
di Surga Adn, maka itu merupakan kenikmatan yang paling tinggi. Saat itu mereka tidak akan berpaling
dari-Nya. Andaikata tidak ada tabir
cahaya di Wajah Allah, tentu cahaya Wajah-Nya itu akan membakar mata makhluk yang
memandang-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhary,
Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak selayaknya Dia
tidur. Menurunkan timbangan dan
menaikkannya. Amal pada waktu malam
disampaikan pada-Nya sebelum amal siang hari, dan amal siang hari disampaikan
pada-Nya sebelum amal malam hari. Tabir-Nya
adalah cahaya, yang andaikan tabir itu disingkap tentu Cahaya Wajah-Nya akan membakar
pandangan makhluk yang melihat-Nya.”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Di sisi Rabb kalian tidak
ada cahaya langit saat malam dan siang seperti cahaya Wajah-Nya. Sesungguhnya
ukuran satu hari di sisi Allah dari hari-hari kalian adalah dua belas
jam. Amal-amal kalian kemarin
ditampakkan pada-Nya pada permulaan siang (pagi hari). Lalu, Allah melihatnya selama tiga jam. Allah melihat sebagian yang tidak
disukai-Nya, sehingga Dia menjadi murka karenanya. Yang pertama kali mengetahui kemurkaannya adalah
para Malaikat yang memikul ‘Arsy-Nya.
‘Arsy itu terasa lebih berat, lalu mereka (Malaikat) yang memikul
‘Arsy, dan para Malaikat yang lain bertasbih memuji-Nya.
Jibril
meniup di bagian tanduk, sehingga tidak ada yang merasa lebih berat kecuali Jin
dan Manusia. Lalu, mereka bertasbih
selama tiga jam sehingga rahmat melingkupi Rabb Yang Maha Pengasih. Berarti jumlahnya enam jam. Kemudian isi rahim didatangkan kepada-Nya,
lalu Allah melihatnya selama tiga jam.
Setelah itu Dia membentuk kalian menurut kehendak-Nya. Sehingga jumlahnya menjadi Sembilan jam. Kemudian Dia melihat rezeki semua makhluk
selama tiga jam. Rezeki itu jatuh kepada
siapa pun yang dikehendaki-Nya, dan hanya Dia-lah Yang memutuskannya.” Kemudian Abdullah bin Mas’ud membaca
ayat (artinya),
“Setiap
waktu Dia (Allah) dalam kesibukan.” (Ar-Rahman; 29)
Abdullah bin Mas’ud berkata lagi, “Inilah keadaan kalian
dan keadaan Rabb kalian.”
Usman bin Sa’id Ad-Darimy juga meriwayatkannya.
Inilah doa yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat kejadian yang Beliau alami di Tha’if (artinya),
“Aku berlindung kepada Cahaya Wajah-Mu, yang segala
kegelapan menjadi berbinar dengannya, urusan dunia dan akhirat pun menjadi
baik, agar kemarahan-Mu (tidak) menimpa atas diriku, atau kemurkaan-Mu tidak
turun kepadaku. Kesudahan adalah bagi-Mu
hingga Engkau ridha. Tiada daya dan
kekuatan melainkan ada pada-Mu.” (Diriwayatkan
Ibnu Ishaq dan Ath-Thabrany)
Jika Allah datang pada Hari Kiamat untuk menegakkan keadilan
di antara hamba-hamba-Nya, maka seluruh permukaan bumi menjadi terang benderang
karena cahaya-Nya, sebagaimana yang Dia firmankan (artinya),
“Dan terang benderanglah Bumi (Padang Masyar) dengan
cahaya (keadilan) Rabb-nya, dan diserahkanlah buku (perhitungan amal-perbuatan
masing-masing).” (Az-Zumar; 69)
Perkataan Abdullah bin Mas’ud, “Cahaya langit dan bumi
berasal dari cahaya Wajah Allah”, merupakan penafsiran dari firman-Nya, “Allah
adalah cahaya langit dan bumi.” (An-Nur; 35)
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu dalam doa iftitah yang dibaca Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tatkala Beliau shalat malam,
اللهم لك الحمد انت نور اسموات ولارض ومن فيهن / “Allahumma laka alhamdu anta nuru
as-samawaati wa al-ardhi wa man fii hinna”
“Ya Allah, kepunyaan-Mu segala puji, Engkaulah cahaya
langit dan bumi dan siapa pun yang ada di dalamnya.”
Di dalam Sunan Ibnu Majah dan Harb As-Sakramany, dari
hadits Al-Fadhl bin Isa Ar-Raqasyi, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jabir
bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Tatkala para penghuni Surga sedang berada dalam
kenikmatannya, tiba-tiba ada cahaya memancar ke arah mereka, mereka
menengadahkan kepala, ternyata Rabb tampak terlihat oleh mereka dari
arah atas seraya berfirman, ‘Kesejahteraan atas kalian, wahai para penghuni
Surga’. Itulah makna firman Allah,
‘(kepada mereka dikatakan) , ‘Salam’, sebagai ucapan selamat dari Rabb
Yang Maha Penyayang. Lalu, mereka
menengadahkan kepala memandang kepada-Nya dan Dia memandang kepada mereka. Mereka tidak mengalihkan pandangan kepada
sesuatu (yang lain) disebabkan nikmatnya, hingga akhirnya Dia tidak terlihat
lagi oleh mereka, namun cahaya dan berkahnya tetap menyisa atas diri mereka,
tempat tinggal dan manzilah mereka.
Di antara doa yang biasa dibaca Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ialah,
اللهم اني اسالك لذة انظر الى وجهك واشوق الى لقاءك / “Allahumma innii as-aluka ladzdzata an-nadzar ilaa wajhika wa asy-syauka
ilaa liqaaika.”
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keledzatan memandang
wajah-Mu, dan kerinduan bersua dengan-Mu.”
Sekarang dengarkan keadaan para wali Allah dan kekasih-kekasih-Nya
tatkala bersua dengan-Nya, kemudian pilihlah untuk dirimu sendiri,
Engkaulah sang pembunuh beserta kekasihmu
pilihlah siapa yang kau kehendaki untuk dirimu
Hisyam bin Hasan menuturkan dari Al-Hasan, dia berkata, “Jika
para penghuni Surga memandang Allah, maka mereka lupa akan (semua) kenikmatan-kenikmatan Surga.”
HIsyam bin Amar berkata, “Kami diberitahu Muhammad bin Said
bin Sabur, kami diberitahu Abdurrahman bin Sulaiman, kami diberitahu Said bin
Abdullah Al-Jarsyi Al-Qadhy, bahwa dia mendengar Abu Ishaq Al-Hamdany
menyampaikan hadits dari Al-Harits Al-A’war, dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu
‘anhu, dengan memarfu’kannya dia berkata (artinya),
“Sesungguhnya jika Allah telah menempatkan para penghuni
Surga di dalam Surga dan menempatkan para penghuni Neraka di dalam Neraka, maka
Dia mengutus Ar-Ruhul-Amin (Jibril ) kepada para penghuni Surga, untuk
berkata, ‘Wahai para penghuni Surga, sesungguhnya Rabb kalian
menyampaikan salam kepada kalian dan memerintahkan agar kalian mengunjungi-Nya
di halaman Surga, yaitu tempat lapang yang berpasir dan berkerikil kecil di
Surga, debunya berupa minyak kesturi, dan kerikilnya berupa butir-butir mutiara
dan yaqut, pepohonannya dari emas yang halus dan daunnya adalah permata
zamrud. Para penghuni Surga keluar dalam
keadaan gembira dan bersuka ria, Di sana
mereka dikumpulkan dan di sana ada kemuliaan Allah serta memandang
Wajah-Nya. Itulah janji yang dipenuhinya
bagi mereka. Lalu, Allah mengizinkan
mereka untuk mendengarkan (suara yang merdu), makan dan minum. Mereka dikenakan perhiasan kemuliaan,
kemudian ada penyeru yang berseru, ‘Wahai wali-wali Allah, adakah sesuatu yang
masih menyisa dari janji Allah kepada kalian?’
Mereka menjawab, ‘Tidak ada, Dia telah memenuhi apa yang pernah
dijanjikan kepada kami. Tidak ada
sesuatu pun yang menyisa selain dari memandang Wajah-Nya.’ Maka Rabb menampakkan diri kepada mereka dari balik
sebuah tabir. Dia berfirman, ‘Wahai
Jibril, singkirkan tabir-Ku ini untuk hamba-hamba-Ku, agar mereka bisa
memandang Wajah-Ku.’ Dia berkata,
‘Maka Jibril menyingkirkan tabir yang pertama, hingga mereka bisa memandang
cahaya dari cahaya Rabb. Seketika
itu mereka merunduk kepada-Nya untuk bersujud.
Rabb berseru kepada mereka, ‘Wahai hamba-hamba-Ku, angkatlah
kepala kalian karena ini bukanlah tempat tinggal untuk melakukan amalan, tetapi
ini adalah tempat tinggal untuk menerima balasan.’ Lalu Jibril menyingkirkan tabir kedua, hingga
mereka bisa memandang suatu urusan yang paling Agung dan Besar. Seketika itu mereka merunduk kepada Allah
untuk memuji dan bersujud. Rabb berseru
kepada mereka, ‘Angkatlah kepala kalian, karena ini bukan tempat tinggal untuk
melakukan amalan, tetapi ini adalah tempat tinggal untuk menerima balasan dan
kenikmatan yang abadi. Lalu, Jibril
menyingkirkan tabir yang ketiga, hingga pada saat itulah mereka bisa memandang
Wajah Rabbul-'alamin. Tatkala
memandang Wajah-Nya itulah mereka berkata, ‘Mahasuci Engkau. Kami belum beribadah kepada-Mu dengan
sebenar-benarnya ibadah.’ Allah
berfirman, ‘Karena kemuliaan dari-Ku itulah yang memungkinkan kalian bisa
memandang Wajah-Ku, dan menempatkan kalian di tempat tinggal-Ku.’ Lalu Allah mengizinkan bagi Surga untuk
berkata-kata, ‘Kebahagiaan bagi orang yang menempatiku, dan kebahagiaan bagi
orang yang hidup abadi di dalamku, dan kebahagiaan bagi orang yang kupersiapkan
baginya.’ Itulah makna firman Allah, ‘Bagi mereka kebahagiaan dan tempat
tinggal yang baik.’ Dan firman Allah, ‘Wajah (orang-orang Mukmin) pada hari
itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka
memandang.’” [2]
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu
Musa radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda (artinya),
“Ada dua Surga yang bejana, perhiasan dan apapun yang
ada di dalamnya keduanya dari emas, dan ada dua Surga yang bejana, perhiasan,
dan apapun yang ada di dalamnya dari perak.
Tidak ada yang membatasi antara orang-orang itu, dan antara memandang Rabb
mereka selain dari pakaian keAgungan pada Wajah-Nya di Surga Adn.”
Utsman bin Said Ad-Darimy menyebutkan, “Kami diberitahu
Abur-Rabi’, kami diberitahu Jabir bin Abdul Hamid, dari Yazid bin Abu Ziyad,
dari Abdullah bin Harits, dari Ka’ab, dia berkata, “Tidaklah Allah memandang
Surga, melainkan Dia berfirman, ‘Buatlah para penghuninya bahagia.’ Maka mereka bertambah bahagia dari
sebelumnya. Jika tiba seperti halnya ‘Id
(hari raya) di dunia, maka mereka keluar menuju sebuah taman di Surga, lalu
Allah menampakkan Diri kepada mereka, dan mereka pun memandang-Nya. Ada bau harum minyak kesturi berhembus kepada
mereka, dan mereka tidak meminta kepada Allah sesuatu pun, melainkan Allah
mengabulkannya. Lalu, mereka kembali
kepada keluarganya, dan mereka semakin bertambah tampan dan indah 70 kali.”
Abd bin Humaid berkata, ‘Saya diberitahu Syababah, dari Bani
Israil, kami diberitahu Tsuwair bin Abu Fakhithah, saya mendengan Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya tingkatan penghuni Surga yang paling
rendah, adalah yang memandang para pembantunya, kenikmatannya, dan
kegembiraannya selama perjalanan 1000 tahun, dan yang paling mulia di antara
mereka, ialah yang memandang Wajah-Nya pada waktu pagi dan petang hari.”
Setelah itu Beliau membaca ayat (artinya), “Wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka memandang.” (Al-Qiyamah; 23)
Tentang firman Allah, “Wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri, kepada Rabb-nya mereka memandang.” Al-Hasan Al-Bashry berkata, “Artinya, Allah membaguskan
wajah mereka dengan melihat Allah, karena itu memang merupakan hak mereka.”
Abu Sufyan Ad-Darany berkata, “Andaikata orang-orang yang
mencintai Allah mencukupkan (diri) dengan ayat ini, tentulah mereka merasa
cukup dengannya.”
An-Nasa’y menyebutkan dari hadits Az-Zuhry, dari Sa’id bin
Al-Musayyab, dar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Kami
bertanya, wahai Rasulullah, apakah kita bisa melihat Rabb kita pada hari
kiamat?”
Beliau menjawab, “Apakah kalian merasa terhalang melihat
matahari yang tiada awan dan melihat bulan pada malam bulan purnama yang tiada
awannya?”
Kami menjawab, “Tidak.”
Beliau bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb
kalian, hingga salah seorang di antara kalian benar-benar bisa
berbincang-bincang dengan-Nya. Lalu
Allah berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, apakah engkau mengenal dosa ini dan
itu?’ Hamba itu menjawab, ‘Wahai Rabb-ku
bukankah Engkau telah mengampuni dosaku?’
Allah berfirman, “Karena ampunan-Ku itulah kamu menjadi
seperti ini.”
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Malik,
dari Zaid bin Aslam, dari Atha bin Yasar, dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
(artinya),
“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada para
penghuni Surga, lalu mereka menjawab, ‘Kami memenuhi panggilan-Mu wahai Rabb kami, kebahagiaan dan
kebaikan ada di Tangan-Mu. Allah
bertanya, ‘Apakah kalian ridha?’ Mereka
menjawab, ‘Apa alasan kami untuk tidak ridha, sementara Engkau telah memberikan
kepada kami apa yang tidak pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu?’ Allah bertanya, ‘Bagaimana jika Kuberikan
kepada kalian yang lebih baik lagi dari itu?’
Mereka bertanya, ‘Wahai Rabb-ku, apakah sesuatu yang lebih baik
dari itu?’ Allah menjawab, ‘Kutetapkan bagi kalian keridhaan-Ku,
dan Aku sama sekali tidak murka kepada kalian.'”
At-Tirmidzy berkata, ‘Kami diberitahu Qutaibah, kami
diberitahu Abdul Aziz bin Muhammad, dari Al-Al-Ala’ bin Abdurrahman, dari
bapaknya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Allah menghimpun manusia kelak pada Hari Kiamat di suatu
tempat, kemudian Allah Rabbul ‘Alamin mengawasi mereka seraya berfirman,
‘Biarlah setiap orang mengikuti apa yang disembahnya. Maka penyembah salib digambarkan dalam rupa
salibnya, penyembah gambar-gambar digambarkan dalam rupa gambar-gambarnya,
penyembah api digambarkan dalam rupa apinya, lalu mereka mengikuti apa yang
disembah, sedangkan orang-orang muslim tetap seperti keadaan mereka. Lalu Allah Rabbul ‘Alamin mengawasi
mereka (orang-orang muslim), seraya bertanya, ‘Mengapa kalian tidak mengikuti
seperti yang dilakukan orang-orang?’
Mereka menjawab, ‘Kami berlindung kepada Allah dari siksa-Mu, kami
berlindung kepada Allah dari siksa-Mu.
Allah adalah Rabb kami, dan ini adalah tempat kami hingga kami
dapat melihat Rabb kami.’ Dia memerintahkan mereka (tetap seperti itu)
dan meneguhkan hati mereka.”
Mereka bertanya, “Apakah kami bisa melihat-Nya wahai
Rasulullah?”
Beliau balik bertanya, “Apakah kalian terhalang tatkala
melihat rembulan pada malam purnama?”
Mereka menjawab, “Tidak wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Kalian tidak akan terhalang tatkala
melihat-Nya saat itu.”
Beliau bersabda lagi, “Kemudian Allah sedikit mundur ke
belakang, lalu memperkenalkan diri-Nya dan berfirman, “Aku adalah Rabb kalian,
maka ikutilah Aku.’ Orang-orang muslim
bangkit, lalu dibentangkan Ash-Shirat, dan mereka pun melewatinya
seperti jalannya kuda dan onta yang bagus.
Perkataan mereka kepada-Nya adalah, ‘Sampaikan salam sejahtera,
sampaikan salam sejahtera.’ Sedangkan
para penghuni Neraka tetap seperti sedia kala, lalu di antara mereka ada yang
dilemparkan ke dalam Neraka, lalu ada yang bertanya, ‘Apakah engkau (Neraka)
sudah penuh?’
Neraka balik bertanya, “Apakah masih ada tambahan lagi?”
Kemudian ada segolongan orang yang dilemparkan ke
dalamnya, lalu dikatakan lagi, “Apakah engkau sudah penuh?”
Neraka balik bertanya, “Apakah masih ada tambahan lagi?”
Hingga tatkala semuanya sudah dimasukkan ke dalamnya, Ar-Rahman
menginjakkan Kaki-Nya ke atas Neraka, hingga sebagian di antara sisi Neraka
menempel pada sebagian yang lain, seraya berkata, “Cukup, cukup.”
Jika Allah telah memasukkan para penghuni Surga ke Surga,
dan memasukkan para penghuni Neraka ke Neraka, maka kematian datang memenuhi
panggilan. Lalu, dipancangkan pagar
antara penghuni Surga dan Neraka, kemudian dikatakan, “Wahai para penghuni
Surga!” Mereka memandang dalam keadaan
takut.”
Kemudian dikatakan, “Wahai para penghuni Neraka!” Mereka memandang dalam keadaan gembira,
mengharapkan syafaat.
Lalu dikatakan kepada para penghuni Surga dan penghuni
Neraka, “Apakah kalian tahu ini?”
Mereka semua menjawab, “Kami telah mengetahuinya. Itu adalah kematian yang diwakilkan untuk
mendatangi kami.”
Kematian itu ditelentangkan, lalu disembelih dengan
sekali sembelihan di atas pagar.
Kemudian dikatakan, “Wahai para penghuni Surga, kekekalan dan tidak ada
kematian (bagi kalian). Wahai para
penghuni Neraka, kekekalan dan tidak ada kematian bagi kalian.”
Yang pasti, sekarang adalah kesabaran. Dan, kesabaran yang paling menakjubkan adalah
kesabaran orang-orang yang jatuh cinta.
Seorang penyair berkata,
Kesabaran dalam segala hal pasti dipuji
Kecuali kesabaran yang menuntut dirimu sendiri
Seseorang berdiri di hadapan Asy-Syibly, seraya bertanya, “Kesabaran apakah yang paling berat di mata orang-orang yang sabar?”
Dia menjawab, “Kesabaran karena Allah.”
Orang itu berkata, “Bukan.”
Asy-Syibly menjawab, “Kesabaran untuk Allah.”
“Bukan,” kata orang itu.
“Kesabaran beserta Allah, ” jawab Asy-Syibly
“Bukan.”
“Kalau begitu apa?”
Tanya Asy-Syibly
Orang tu menjawab, “Kesabaran menunggu bersua dengan
Allah.” Seketika itu juga Asy-Syibly
menjerit karena kaget.
Ketakutan
(terhadap Allah) bisa menjauhkan dirimu dari kedurhakaan, berharap bisa mengeluarkanmu menuju ketaatan,
dan cinta bisa menghelamu kepada kerinduan pada-Nya. Karena Allah mengetahui, bahwa hati
orang-orang yang rindu itu tidak bisa tenang kecuali setelah bersua dengan-Nya,
maka Dia menetapkan ajal tertentu untuk bersua, sekedar untuk menenangkan hati
mereka. Firman-Nya (artinya),
“Barangsiapa
yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang
dijanjikan) Allah itu pasti datang.” (Al-Ankabut; 5)
Dikatakan dalam sebuah syair,
Wahai yang mengeluh rindu karena lama tak bertemu
bersabarlah, siapa tahu esok kau bertemu kekasihmu
hampirilah dia dengan membawa api kerinduan
agar memberi petunjuk untuk pertemuan yang menyenangkan
Orang
yang benar-benar jatuh cinta akan semakin rindu sekalipun telah bertemu dengan
kekasihnya,
Suatu saat kerinduan semakin membara
jika kemahnya berdekatan dengan kemahnya
Jika pandangan orang yang jatuh cinta terpaut pada diri
kekasihnya, maka pandangannya itu pun semakin menyemarakkan kerinduan. Jika pandangannya terpaut pada suatu alam,
maka pikirannya pasti menerawang, tertuju pada kekasihnya. Jika pandangannya telah beralih dari sosok
kekasihnya, maka pandangannya terasa kosong dan redup.
Kerinduan
mendorong orang yang jatuh cinta untuk segera mendapat keridhaan kekasihnya dan
bersegera menghampirinya, sekalipun harus meninggalkan miliknya yang lain.
“Mengapa
kamu datang lebih cepat daripada kaummu hai Musa? Musa menjawab, ‘Itulah mereka sedang menyusul
aku dan aku bersegera kepada-Mu – wahai Rabb-ku, agar supaya Engkau ridha
(kepadaku)’.” (Thaha; 83-84)
Sebagian ulama berpendapat, yang dimaksudkan Musa adalah
kerinduan pada-Mu, lalu kerinduan itu disembunyikan dengan kata keridhaan.
Andaikan kau menyuruhku mencebur ke bara api
karena kau ridha dan merekatkan kasih di antara kami
kan kulakukan jika memang itu kau kehendaki
itu merupakan petunjujuk ataukah penyesatan diri
Di antara tanda cinta yang sejati, orang yang mencintai
tidak merasakan kegembiraan kecuali bersanding dengan kekasihnya. Jika berjauhan dengannya, maka hidupnya terasa
hampa dan hambar.
Memang di sini ada rona kegembiraan
tapi kegembiraan yang sempurna jika bersama kalian
di sini terasa ada yang kurang wahai kekasih hati
jika engkau jauh dan kami ada di tempat ini
Dikatakan dalam syair yang lain,
Bolehlah orang lain gembira pada hari raya
di dalam diriku tiada lagi kegembiraan itu
kegembiraan baru terasa sempurna
jika kekasih hati ada di sisiku
Al-Junaid berkata, “Aku pernah mendengar As-Sary berkata, ‘Kerinduan
itu merupakan keadaan orang arif bijaksana yang paling agung, apalagi jika
disertai kerinduan, sehingga dia tidak menyibukkan diri dengan sesuatu kecuali
yang memupuk kerinduannya’.”
Ada yang berkata, “Allah telah mewahyukan kepada Daud ‘alaihissalam, ‘Katakan kepada para pemuda Bani
Israil, ‘Mengapa kalian menyibukkan diri kalian dengan sesuatu selain diri-Ku? Padahal Aku merindukan kalian? Apakah perangai yang buruk ini? Andaikata orang-orang mengetahui tentang Diri-Ku,
bagaimana Aku menunggu mereka, kebersamaan-Ku dengan mereka, dan cinta-Ku jika
mereka meninggalkan kedurhakaan, tentu mereka lebih senang mati oleh sebab kerinduan
kepada-Ku. Inilah keinginan-Ku terhadap
orang-orang yang memperhatikan Aku.
Lalu, bagaimanakah keinginan-Ku terhadap orang-orang yang hendak
menghadap-Ku?”
Al-Junaid pernah ditanya, “Kenapa orang yang mencintai
meneteskan air mata jika sudah bertemu kekasihnya?” Maka dia menjawab, “Itu terjadi karena
perasaan gembira dan kerinduan yang memuncak padanya.”
Al-Junaid berkata, “Saya mendengar, bahwa ada dua orang
bersaudara yang saling berangkulan.
Salah seorang di antara keduanya berkata, “Aku begitu cinta.” Yang lain berkata, “Aku begitu sayang.”
Sebagian orang berkata, “Hati orang yang dimabuk rindu
itu bersinar karena cahaya Allah. Jika
kerinduan mereka terusik, cahaya itu bersinar di antara langit dan bumi. Lalu Allah membawa mereka kehadapan para
Malaikat, seraya berfirman, ‘Mereka adalah orang-orang yang dimabuk rindu kepada-Ku. Maka, Aku bersaksi kepada kalian, bahwa
Aku juga rindu kepada mereka.”
Ibnu Habil Hawary rahimahullah menuturkan, bahwa Abu
Sulaiman Ad-Darany pernah ditanya, pada saat itu aku juga berada di dekatnya, “Apakah
sesuatu yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah?” Maka dia menangis, lalu menjawab, “Apakah
orang sepertiku layak diberi pertanyaan seperti ini? Sesuatu yang paling bisa mendekatkan dirimu kepada Allah, ialah jika engkau
merasa Dia mengetahui apa yang terpendam di dalam hatimu, dan saat itu pun kamu
tidak menginginkan dunia dan Akhirat kecuali karena-Nya.”
Yahya bin Mu’az berkata, “Yang dinamakan ibadah, adalah pertolongan (Allah) untuk mengetahui
rahasia yang tersembunyi, dan menyingkirkan hal-hal selain Allah dari dalam hati.”
Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sedetik pun waktu
berlalu, melainkan Allah mengetahui apa yang terbetik di dalam hati hamba. Adapun hati yang melirik kepada selain Allah,
maka Dia (Allah) memberikan kekuasaan kepada Iblis.”
Dia juga berkata, “Barangsiapa merasa dekat dengan-Nya,
maka hatinya akan terasa jauh dari hal-hal selain Allah, dan barangsiapa mencari
keridhaan Allah, maka Allah akan membuatnya ridha, dan barangsiapa yang
menyerahkan hatinya kepada Allah, maka Allah menjaga seluruh anggota tubuhnya.”
Dia juga berkata, “Haram bagi hati manusia untuk mencium
aroma keyakinan, selagi di dalamnya terdapat kesenangan terhadap selain
Allah. Haram bagi hati manusia untuk
dimasuki cahaya, selagi di dalamnya terdapat sesuatu yang Allah benci.”
Muslim bin Maimun Al-Khawash berkata, “Kalian meninggalkan
Allah, dan sebagian kalian mengandalkan sebagian yang lain. Andaikata kalian menghadap kepada-Nya, tentu
kalian akan melihat berbagai macam keajaiban.”
oOo
[1] Di dalam Jami’ush-Shahih, At-Tirmidzy
disebutkan; Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Di antara doa yang biasa dipanjatkan Daud adalah…”,
lalu menyebutkan seperti doa ini.
[2] Ayat yang pertama surat Ar-Ra’d; 29, ayat yang kedua surat Al-Qiyamah; 22-23.
(Diringkas dan disadur dari kitab, “Taman Orang-Orang
Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)