Minggu, 21 Juli 2019

CINTA MENUNTUT PENUNGGALAN KEKASIH TANPA MEMADUNYA DENGAN YANG LAIN



بسم الله الر حمان الر حيم

Termasuk salah satu dari sekian banyak tuntutan dan hukum cinta sejati, adalah menunggalkan kekasih tanpa memadunya dengan yang lain.  Jika cinta terhadap yang dicintai semakin menguat, maka tak ada lagi ruang di hatinya untuk yang lain.  Ibarat kata pepatah, “Di dalam hati tidak ada menduakan kekasih, dan di langit tidak ada dua Sesembahan.”

Jika kekuatan cinta tercecer di beberapa tempat, maka kekuatan cinta itu akan melemah.  Hal ini pasti terjadi.  Perhatikan makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala  berikut,
“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah, dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik.  Sesungguhnya Allah  Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.  Dan ikutilah apa yang diwahyukan Rabb-mu kepadamu.  Sesungguhnya  Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan, dan bertakwalah kepada Allah.  Dan, cukuplah Allah sebagai Pemelihara.”  
(QS. Al-Ahzab;  1-3)
Perhatikan bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mengulang perintah untuk bertakwa kepada-Nya, yang meliputi penunggalan-Nya dalam mengikuti perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, sebagai cermin dari cinta, ketakutan, sekaligus harapan terhadap-Nya.  Takwa tidak akan menjadi sempurna melainkan dengan keadaan seperti ini, dan mengikuti apa yang diwahyukan kepada Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam), yang juga menuntut agar Beliau meninggalkan selain Allah.  Takwa juga harus disertai dengan tawakal, yang meliputi penyandaran hati kepada-Nya semata, yakin, dan kecenderungan terhadap-Nya, serta mengabaikan selain-Nya.  Setelah itu Allah berfirman lagi,
ما جعل الله لرجل من قلبين في جوفه   /  “Maa ja’ala Allahu lirajulin min qalbaini fii jaufihi”
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati di dalam rongganya.”  (Al-Ahzab;  4)
Di dalam kalimat ini, engkau bisa menemukan, bahwa hati itu hanya mempunyai satu arah.  Jika telah tertuju ke satu arah, maka dia tidak akan berpaling (condong) kepada yang lain.  Manusia tidak mempunyai dua hati, yang dengannya ia mentaati Allah, menjalankan perintah-Nya, dan bertawakal kepada-Nya, dan satu hati lagi dia peruntukkan bagi selain Allah.  Tetapi, dia hanya memiliki satu hati.  Jika dia tidak menunggalkan tawakal, cinta, dan takwa kepada Rabb-nya, berarti cinta itu akan beralih pada yang lain.
Lebih jauh dari itu, Allah tidak menjadikan Ibu seorang laki-laki sebagai isterinya.  Dan juga, Allah tidak menjadikan anak yang tidak jelas siapa bapaknya sebagai anaknya.  Perhatikan betapa indah dasar yang dicanangkan ini, yang pasti dapat diterima oleh akal dan pikiran manusia.  Gambaran yang serupa dengan itu banyak terdapat di dalam Al-Qur`an.  Di antaranya,
“Dialah Yang menciptakan kalian dari diri yang satu, dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.  Maka, setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu).  Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri itu) bermohon kepada Allah, Rabb-nya seraya berkata, ‘Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang shalih, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.’  Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang shalih, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkannya kepada keduanya itu.  Maka, Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.  
(QS. Al-A’raf;  189-190)
Dari jiwa yang satu dan pasangannya (Adam dan Hawwa’), kemudian muncul sekutu-sekutu yang diciptakan orang-orang musyrik dari anak keturunan mereka.
Cinta itu mengharuskan penunggalan orang yang dicintai.  Bahkan Abu Muhammad bin Hazm sangat berlebih-lebihan dalam mengingkari orang yang beranggapan, bahwa dia bisa mencintai lebih dari satu orang, yang dia katakan dalam syairnya.  Kami (Ibnu Qayyim) juga menukil perkataan dalam syairnya.  Setelah berbicara panjang lebar, dia berkata, “Dari sini terlihat jelas kesalahan orang yang beranggapan, bahwa dia bisa mencintai dua orang yang saling berbeda.  Ini termasuk tendensi syahwat, seperti yang telah kami isyaratkan di atas.  Memang secara kiasan hal tersebut bisa disebut cinta, tetapi bukan cinta yang sebenarnya.  Tentang jiwa orang yang mencintai, maka tidak ada kelebihannya jika dia mengalihkannya dari sebab-sebab agama dan dunia.  Lalu bagaimana dengan orang yang mencintai orang kedua.  Dalam hal ini saya rangkumkan sebuah syair,
Dusta orang yang mengaku dua cinta
Laksana kedustaan Al-Manawiyah dalam dasar agama
Tidak ada tempat bagi dua kekasih dalam satu hati
Satu urusan tidak bisa dituntun dari dua sisi
Seperti hati yang tiada mengetahui Pencipta
Kecuali satu Yang Maha Pengasih atas segalanya
Begitulah hati yang hanya ada satu tiada bertenaga
Tak peduli jauh atau dekat dengan-Nya
Begitu pula agama yang hanya ada satu
Kufur jika ada yang mengikuti dua agama
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
Golongan lain berpendapat, hati itu bisa memiliki dua arah atau lebih menurut dua pertimbangan.  Hati bisa diarahkan ke satu arah dan tidak terganggu sekalipun juga ditujukan ke arah yang lain.  Menurut mereka hati itu selalu siap memikul beban apa pun yang dipikulkan padanya, maka dia akan tetap mengembannya.  Namun, jika hati itu dianggap lemah, maka dia tak sanggup memikul beban melebihi kapasitasnya.  Hati yang lapang bisa menyatukan antara pelaksanaan perintah Allah dan urusan hamba-Nya.  Yang satu tidak mengganggu yang lainnya.  Hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tertuju kepada Allah tatkala sedang mendirikan shalat, tetapi juga tidak mengabaikan keadaan orang-orang (ma’mum) yang shalat di belakang Beliau.  Beliau pernah mendengar saeorang bayi yang menangis tatkala sedang mengimami shalat, lalu Beliau mempercepat shalatnya, agar ibu si bayi yang juga ikut shalat di belakang Beliau tidak gundah.
Tidakkah kau lihat kelapangan hati Beliau dalam memperhatikan kedua urusan tersebut?  Hal ini tidak bisa dianggap sebagai kekhususan Nubuwah semata.   Adalah Umar bin Khaththab yang mempersiapkan pasukan perangnya disaat sedang shalat.  Hatinya begitu lapang untuk urusan shalat sekaligus jihad pada saat yang bersamaan.  Hal ini tergantung pada kelapangan dan kesempitan hati, kekuatan, dan kelemahannya.
Masih menurut pendapat mereka, kesempurnaan ibadah ialah, jika hati manusia merasakan kehadiran Dzat Yang disembahnya, dan memperhatikan adab –adab ibadahnya.  Yang satu tidak akan mengganggu yang lainnya.  Yang seperti ini seringkali terjadi dalam kehidupan nyata.  Jika seseorang berbuat sesuatu untuk kepentingan Kepala Negara misalnya, yang dia lakukan di hadapannya.   Sedang Kepala Negara itu menyaksikan secara langsung, maka hatinya akan menjadi lapang dan mekar.  Bahkan, inilah keadaan seseorang yang sedang jatuh cinta, yang berbuat untuk kepentingan kekasihnya, baik dilakukan di hadapannya maupun berjauhan dengannya.
Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menangis tatkala kematian putera Beliau, Ibrahim.  Tangis Beliau ini merupakan ekspresi dari perasaan kasih sayang terhadapnya.  Hati Beliau begitu lapang dalam menyayangi  puteranya, sekaligus ridha terhadap takdir Allah.  Yang satu tidak mengganggu yang lainnya.
Yang serupa dengan keadaan ini adalah, kelapangan hati Beliau tatkala mendengar nyanyian dua orang gadis di tempat A’isyah.  Hal itu tidak membuat Beliau mengabaikan Rabb-nya.  Beliau berbuat seperti itu untuk suatu kemashlahatan, yaitu membuat ridha jiwa yang lemah.  Jika hati yang lemah ini tidak ditangani, maka ia bisa keluar dari area cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan Agama-Nya.  Sebab, jika jiwa manusia telah mendapatkan berbagai masukan, maka dia rela meninggalkan Kebenaran.  Namun hati Umar bin Khaththab tidak lapang tatkala menyaksikan nyanyian itu.  Maka oleh sebab itu, dia mengingkarinya.  Berapa banyak pula masukan yang membangkitkan hasrat dan menggerakkan hati  untuk tunduk kepada Allah, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,
Kebaikan dan kejahatan mengingatkan diri
Aku pun menjadi takut, berharap dan mawas diri
Barangsiapa yang terlena dengan masukan-masukan ini, dia bisa lupa terhadap Allah, dan memutus perjalan hati kepada-Nya.  Hati yang lapang berjalan bersama manusia kepada Allah menurut kesanggupannya, tidak menghindari mereka, dan tidak pula menyendiri di tengah-tengah padang yang luas, di puncak gunung, atau di tempat yang sunyi-sepi.  Tetapi dia turun menemui siapapun, dia mengajaknya berjalan berdampingan kepada Allah.  Jika orang itu tidak mau, maka ia berjalan sendirian dan meninggalkan orang tersebut.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa cinta sejati pasti memerlukan sikap seperti ini.  Ambillah contoh seorang penyanyi.  Jika dia turun dari panggung, maka dia mengajak semua orang untuk ikut bernyanyi.  Jika mereka tidak mau bernyanyi bersamanya, maka dia tidak ingin membiarkan alat-alatnya sebagai korban aksi kekerasan mereka.  Syaikh kami (Ibnu Taimiyah) juga cenderung kepada pendapat ini.
Yang pasti, sesuatu yang layak dicintai itu tak lebih dari satu.  Mustahil jika di dalam hati ada dua wujud kekasih, begitu pula bila di luar hatinya terdapat dua wujud yang berdiri sendiri-sendiri, dimana setiap wujud tidak membutuhkan yang lain dari berbagai sisi, sebagaimana kemustahilan alam yang memiliki dua Rabb yang berdiri sendiri-sendiri.  Bukankah wujud yang layak dicintai hanya Allah semata?  Yang Mahabenar dan tidak membutuhkan selain-Nya?  Sedangkan sesuatu yang dicintai dalam rangka mencintai Allah bisa bermacam ragam.  Cinta hamba kepada sesuatu ini tidak mengganggu cintanya  kepada Allah, dan tidak pula menyekutukan-Nya dalam cinta.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai isteri-isteri Beliau, dan yang paling Beliau cintai adalah A’isyah radhiyallahu ‘anha, Beliau juga mencintai bapaknya (Abu Bakar Shiddiq), dan mencintai Umar bin Khaththab.  Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mencintai para Sahabat, dan cinta Beliau itu bertingkat-tingkat.  Namun demikian, semua cinta itu adalah karena Allah, dan seluruh kekuatan cinta kembali kepada-Nya.
Secara umum cinta itu dapat kita bagi atas 3 (tiga) macam,
1.       1. Cinta terhadap Allah
2.       2. Mencintai karena Allah
3.       3. Mencintai sesuatu bersama Allah (syirik).
Mencintai Allah merupakan kesempurnaan cinta, dan merupakan tuntutan cinta.  Mencintai kekasih mengharuskan untuk mencintai apa yang dicintai kekasih itu, dan mencintai apa-apa yang bisa membantu (memperkuat) cintanya, mengantarkan kepada keridhaan-nya, dan kedekatan dengannya.  Bagaimana mungkin seseorang yang beriman tidak mencintai sesuatu yang akan membantunya mendapatkan keridhaan Rabb, mengantarkan kepada cinta-Nya, dan kedekatan dengan-Nya?  Inilah cinta karena Allah.  Sedangkan mencintai sesuatu bersama Allah adalah cinta yang berbau syirik, seperti cinta orang-orang musyrik terhadap sesembahan mereka.  Seperti firman Allah (yang artinya),
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.  Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”  
(QS. Al-Baqarah;  165)
Asal-muasal syirik yang tidak diampunkan Allah, adalah syirik syirik yang terdapat dalam kecintaan.  Karena kenyataannya, orang-orang musyrik (kafir Quraisy) tidak menganggap sesembahan dan patung-patung mereka itu sebagai sekutu bagi Allah dalam hal penciptaan langit dan bumi.  Tetapi syirik mereka ini dilihat dari segi kecintaan mereka terhadap sesembahan itu di samping cinta mereka kepada Allah, sehingga mereka beralih dari cinta tersebut kepada penuhanan sesembahan itu, seraya berkata, “Ini adalah sesembahan kecil yang akan mendekatkan kami kepada sesembahan yang besar (Allah).”  Tentu saja ada perbedaan antara mencintai Allah sebagai dasar, dan mencintai Allah sebagai ikutan dan mencintai sesuatu bersama Allah.  Dengan menelusuri topik ini, maka di sana akan ditemukan ada persimpangan jalan yang membedakan antara Ahli Tauhid dan Ahli Syirik.
Dikisahkan, bahwa Al-Fudhail menemui puterinya yang sedang sakit.  Lalu, puterinya bertanya kepadanya, “Wahai Ayah, apakah engkau mencintaiku?”
“Ya,” jawab Al-Fudhail.
Lalu puterinya menyambung, “Tiada Ilah selain Allah.  Demi Allah, aku tidak menyangka engkau seperti itu, dan aku juga tidak menyangka bahwa engkau bisa mencintai seseorang disamping mencintai Allah.  Tunggalkanlah Allah dalam cinta, dan berikan kepadaku kasih sayangmu, atau cintamu kepadaku sebagai cinta karena kasih sayang, yang telah dimasukkan Allah ke dalam hati seorang tua terhadap anaknya, bukan cinta di samping cinta kepada Allah.”
Allah mempunyai hak untuk dicintai, yang tidak boleh ada sekutu dengan selain-Nya dalam cinta itu.  Kezhaliman yang paling zhalim adalah, meletakkan cinta itu bukan pada tempatnya dan ada persekutuan antara Allah dengan selain-Nya di dalam cinta itu.  Maka, hendaklah orang-orang yang berakal memikirkan masalah ini, karena hal ini merupakan bagian yang sangat besar manfaatnya di dalam buku ini.
(Baca artikel, "Ce-i... Ci + eN, Te-a... Ta, Cinta, dan SYIRIK)

oOo
(Diringkas dan disadur dari kitab, ” Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”,  Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar