بسم الله
الر حمان الر حيم
Termasuk
salah satu dari sekian banyak tuntutan dan hukum cinta sejati, adalah
menunggalkan kekasih tanpa memadunya dengan yang lain. Jika cinta terhadap yang dicintai semakin
menguat, maka tak ada lagi ruang di hatinya untuk yang lain. Ibarat kata pepatah, “Di dalam hati tidak ada menduakan kekasih, dan di langit tidak ada dua Sesembahan.”
Jika kekuatan cinta tercecer di beberapa tempat, maka
kekuatan cinta itu akan melemah. Hal ini
pasti terjadi. Perhatikan makna firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berikut,
“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah, dan janganlah kamu menuruti
(keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ikutilah apa yang diwahyukan Rabb-mu
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan, dan
bertakwalah kepada Allah. Dan, cukuplah Allah sebagai
Pemelihara.”
(QS. Al-Ahzab; 1-3)
Perhatikan bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mengulang
perintah untuk bertakwa kepada-Nya, yang meliputi penunggalan-Nya dalam
mengikuti perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, sebagai cermin dari cinta,
ketakutan, sekaligus harapan terhadap-Nya.
Takwa tidak akan menjadi sempurna melainkan dengan keadaan seperti ini,
dan mengikuti apa yang diwahyukan kepada Beliau (shallallahu 'alaihi wa sallam), yang juga menuntut agar Beliau
meninggalkan selain Allah. Takwa juga
harus disertai dengan tawakal, yang meliputi penyandaran hati kepada-Nya
semata, yakin, dan kecenderungan terhadap-Nya, serta mengabaikan
selain-Nya. Setelah itu Allah
berfirman lagi,
ما جعل الله لرجل من قلبين في جوفه /
“Maa ja’ala Allahu lirajulin min qalbaini fii jaufihi”
“Allah
sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati di dalam rongganya.” (Al-Ahzab; 4)
Di dalam kalimat ini, engkau bisa menemukan, bahwa hati
itu hanya mempunyai satu arah. Jika
telah tertuju ke satu arah, maka dia tidak akan berpaling (condong) kepada yang
lain. Manusia tidak mempunyai dua
hati, yang dengannya ia mentaati Allah, menjalankan perintah-Nya, dan
bertawakal kepada-Nya, dan satu hati lagi dia peruntukkan bagi selain
Allah. Tetapi, dia hanya memiliki satu
hati. Jika dia tidak menunggalkan
tawakal, cinta, dan takwa kepada Rabb-nya, berarti cinta itu akan beralih
pada yang lain.
Lebih jauh dari itu, Allah tidak menjadikan Ibu seorang
laki-laki sebagai isterinya. Dan juga,
Allah tidak menjadikan anak yang tidak jelas siapa bapaknya sebagai
anaknya. Perhatikan betapa indah dasar
yang dicanangkan ini, yang pasti dapat diterima oleh akal dan pikiran
manusia. Gambaran yang serupa dengan itu
banyak terdapat di dalam Al-Qur`an. Di
antaranya,
“Dialah Yang menciptakan kalian dari diri yang satu,
dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka, setelah dicampurinya, isterinya itu
mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa
waktu). Kemudian tatkala dia merasa
berat, keduanya (suami isteri itu) bermohon kepada Allah, Rabb-nya seraya
berkata, ‘Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang shalih, tentulah kami
termasuk orang-orang yang bersyukur.’ Tatkala Allah memberi kepada keduanya
seorang anak yang shalih, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah
terhadap anak yang telah dianugerahkannya kepada keduanya itu. Maka, Mahatinggi Allah dari apa yang mereka
persekutukan.”
(QS. Al-A’raf; 189-190)
Dari jiwa yang satu dan pasangannya (Adam dan Hawwa’),
kemudian muncul sekutu-sekutu yang diciptakan orang-orang musyrik dari anak
keturunan mereka.
Cinta itu mengharuskan penunggalan orang yang dicintai. Bahkan Abu Muhammad bin Hazm sangat
berlebih-lebihan dalam mengingkari orang yang beranggapan, bahwa dia bisa mencintai
lebih dari satu orang, yang dia katakan dalam syairnya. Kami (Ibnu Qayyim) juga menukil perkataan dalam
syairnya. Setelah berbicara panjang
lebar, dia berkata, “Dari sini terlihat jelas kesalahan orang yang beranggapan,
bahwa dia bisa mencintai dua orang yang saling berbeda. Ini termasuk tendensi syahwat, seperti yang
telah kami isyaratkan di atas. Memang
secara kiasan hal tersebut bisa disebut cinta, tetapi bukan cinta yang
sebenarnya. Tentang jiwa orang yang
mencintai, maka tidak ada kelebihannya jika dia mengalihkannya dari sebab-sebab
agama dan dunia. Lalu bagaimana dengan
orang yang mencintai orang kedua. Dalam
hal ini saya rangkumkan sebuah syair,
Dusta orang yang mengaku dua cinta
Laksana kedustaan Al-Manawiyah dalam dasar agama
Tidak ada tempat bagi dua kekasih dalam satu hati
Satu urusan tidak bisa dituntun dari dua sisi
Seperti hati yang tiada mengetahui Pencipta
Kecuali satu Yang Maha Pengasih atas segalanya
Begitulah hati yang hanya ada satu tiada bertenaga
Tak peduli jauh atau dekat dengan-Nya
Begitu pula agama yang hanya ada satu
Kufur jika ada yang mengikuti dua agama
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
Golongan lain berpendapat, hati itu bisa memiliki dua arah
atau lebih menurut dua pertimbangan.
Hati bisa diarahkan ke satu arah dan tidak terganggu sekalipun juga ditujukan
ke arah yang lain. Menurut mereka hati
itu selalu siap memikul beban apa pun yang dipikulkan padanya, maka dia akan
tetap mengembannya. Namun, jika hati itu
dianggap lemah, maka dia tak sanggup memikul beban melebihi kapasitasnya. Hati yang lapang bisa menyatukan antara
pelaksanaan perintah Allah dan urusan hamba-Nya. Yang satu tidak mengganggu yang lainnya. Hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tertuju kepada Allah tatkala sedang mendirikan shalat, tetapi juga
tidak mengabaikan keadaan orang-orang (ma’mum) yang shalat di belakang
Beliau. Beliau pernah mendengar saeorang
bayi yang menangis tatkala sedang mengimami shalat, lalu Beliau mempercepat
shalatnya, agar ibu si bayi yang juga ikut shalat di belakang Beliau tidak
gundah.
Tidakkah kau lihat kelapangan hati Beliau dalam
memperhatikan kedua urusan tersebut? Hal
ini tidak bisa dianggap sebagai kekhususan Nubuwah semata. Adalah Umar bin Khaththab yang mempersiapkan
pasukan perangnya disaat sedang shalat.
Hatinya begitu lapang untuk urusan shalat sekaligus jihad pada saat yang
bersamaan. Hal ini tergantung pada kelapangan
dan kesempitan hati, kekuatan, dan kelemahannya.
Masih menurut pendapat mereka, kesempurnaan ibadah ialah,
jika hati manusia merasakan kehadiran Dzat Yang disembahnya, dan memperhatikan
adab –adab ibadahnya. Yang satu tidak
akan mengganggu yang lainnya. Yang
seperti ini seringkali terjadi dalam kehidupan nyata. Jika seseorang berbuat sesuatu untuk
kepentingan Kepala Negara misalnya, yang dia lakukan di hadapannya. Sedang Kepala Negara itu menyaksikan secara
langsung, maka hatinya akan menjadi lapang dan mekar. Bahkan, inilah keadaan seseorang yang sedang
jatuh cinta, yang berbuat untuk kepentingan kekasihnya, baik dilakukan di
hadapannya maupun berjauhan dengannya.
Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menangis tatkala kematian putera Beliau, Ibrahim. Tangis Beliau ini merupakan ekspresi dari perasaan
kasih sayang terhadapnya. Hati Beliau
begitu lapang dalam menyayangi
puteranya, sekaligus ridha terhadap takdir Allah. Yang satu tidak mengganggu yang lainnya.
Yang serupa dengan keadaan ini adalah, kelapangan hati
Beliau tatkala mendengar nyanyian dua orang gadis di tempat A’isyah. Hal itu tidak membuat Beliau mengabaikan Rabb-nya. Beliau berbuat seperti itu untuk suatu
kemashlahatan, yaitu membuat ridha jiwa yang lemah. Jika hati yang lemah ini tidak ditangani,
maka ia bisa keluar dari area cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan
Agama-Nya. Sebab, jika jiwa manusia
telah mendapatkan berbagai masukan, maka dia rela meninggalkan Kebenaran. Namun hati Umar bin Khaththab tidak lapang
tatkala menyaksikan nyanyian itu. Maka
oleh sebab itu, dia mengingkarinya.
Berapa banyak pula masukan yang membangkitkan hasrat dan menggerakkan
hati untuk tunduk kepada Allah,
sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair,
Kebaikan
dan kejahatan mengingatkan diri
Aku pun
menjadi takut, berharap dan mawas diri
Barangsiapa
yang terlena dengan masukan-masukan ini, dia bisa lupa terhadap Allah, dan
memutus perjalan hati kepada-Nya. Hati
yang lapang berjalan bersama manusia kepada Allah menurut kesanggupannya, tidak
menghindari mereka, dan tidak pula menyendiri di tengah-tengah padang yang
luas, di puncak gunung, atau di tempat yang sunyi-sepi. Tetapi dia turun menemui siapapun, dia
mengajaknya berjalan berdampingan kepada Allah.
Jika orang itu tidak mau, maka ia berjalan sendirian dan meninggalkan
orang tersebut.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa cinta sejati pasti memerlukan
sikap seperti ini. Ambillah contoh
seorang penyanyi. Jika dia turun dari
panggung, maka dia mengajak semua orang untuk ikut bernyanyi. Jika mereka tidak mau bernyanyi bersamanya,
maka dia tidak ingin membiarkan alat-alatnya sebagai korban aksi kekerasan
mereka. Syaikh kami (Ibnu
Taimiyah) juga cenderung kepada pendapat ini.
Yang pasti,
sesuatu yang layak dicintai itu tak lebih dari satu. Mustahil jika di dalam hati ada dua wujud
kekasih, begitu pula bila di luar hatinya terdapat dua wujud yang berdiri sendiri-sendiri,
dimana setiap wujud tidak membutuhkan yang lain dari berbagai sisi, sebagaimana
kemustahilan alam yang memiliki dua Rabb yang berdiri
sendiri-sendiri. Bukankah wujud yang
layak dicintai hanya Allah semata? Yang
Mahabenar dan tidak membutuhkan selain-Nya? Sedangkan sesuatu yang dicintai dalam rangka
mencintai Allah bisa bermacam ragam.
Cinta hamba kepada sesuatu ini tidak mengganggu cintanya kepada Allah, dan tidak pula menyekutukan-Nya
dalam cinta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mencintai isteri-isteri Beliau, dan yang paling Beliau cintai
adalah A’isyah radhiyallahu ‘anha, Beliau juga mencintai bapaknya (Abu
Bakar Shiddiq), dan mencintai Umar bin Khaththab. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga mencintai para Sahabat, dan cinta Beliau itu bertingkat-tingkat. Namun demikian, semua cinta itu adalah karena
Allah, dan seluruh kekuatan cinta kembali kepada-Nya.
Secara umum cinta itu dapat kita bagi atas 3 (tiga) macam,
1.
1. Cinta terhadap Allah
2.
2. Mencintai karena
Allah
3.
3. Mencintai sesuatu
bersama Allah (syirik).
Mencintai Allah merupakan kesempurnaan cinta, dan
merupakan tuntutan cinta. Mencintai
kekasih mengharuskan untuk mencintai apa yang dicintai kekasih itu, dan
mencintai apa-apa yang bisa membantu (memperkuat) cintanya, mengantarkan kepada
keridhaan-nya, dan kedekatan dengannya.
Bagaimana mungkin seseorang yang beriman tidak mencintai sesuatu yang
akan membantunya mendapatkan keridhaan Rabb, mengantarkan kepada
cinta-Nya, dan kedekatan dengan-Nya?
Inilah cinta karena Allah. Sedangkan
mencintai sesuatu bersama Allah adalah cinta yang berbau syirik, seperti cinta
orang-orang musyrik terhadap sesembahan mereka.
Seperti firman Allah (yang artinya),
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah.”
(QS. Al-Baqarah; 165)
Asal-muasal syirik yang tidak diampunkan Allah, adalah
syirik syirik yang terdapat dalam kecintaan.
Karena kenyataannya, orang-orang musyrik (kafir Quraisy) tidak
menganggap sesembahan dan patung-patung mereka itu sebagai sekutu bagi Allah
dalam hal penciptaan langit dan bumi. Tetapi
syirik mereka ini dilihat dari segi kecintaan mereka terhadap sesembahan itu di
samping cinta mereka kepada Allah, sehingga mereka beralih dari cinta
tersebut kepada penuhanan sesembahan itu, seraya berkata, “Ini adalah sesembahan kecil yang
akan mendekatkan kami kepada sesembahan yang besar (Allah).” Tentu saja ada perbedaan antara mencintai
Allah sebagai dasar, dan mencintai Allah sebagai ikutan dan mencintai sesuatu
bersama Allah. Dengan menelusuri topik ini,
maka di sana akan ditemukan ada persimpangan jalan yang membedakan antara Ahli
Tauhid dan Ahli Syirik.
Dikisahkan, bahwa Al-Fudhail menemui puterinya yang
sedang sakit. Lalu, puterinya bertanya
kepadanya, “Wahai Ayah, apakah engkau mencintaiku?”
“Ya,” jawab Al-Fudhail.
Lalu puterinya menyambung, “Tiada Ilah selain Allah. Demi Allah, aku tidak menyangka engkau
seperti itu, dan aku juga tidak menyangka bahwa engkau bisa mencintai seseorang
disamping mencintai Allah. Tunggalkanlah
Allah dalam cinta, dan berikan kepadaku kasih sayangmu, atau cintamu kepadaku
sebagai cinta karena kasih sayang, yang telah dimasukkan Allah ke dalam hati seorang
tua terhadap anaknya, bukan cinta di samping cinta kepada Allah.”
Allah mempunyai
hak untuk dicintai, yang tidak boleh ada sekutu dengan selain-Nya dalam cinta
itu. Kezhaliman yang paling zhalim
adalah, meletakkan cinta itu bukan pada tempatnya dan ada persekutuan antara
Allah dengan selain-Nya di dalam cinta itu.
Maka, hendaklah orang-orang yang berakal memikirkan masalah ini, karena hal
ini merupakan bagian yang sangat besar manfaatnya di dalam buku ini.
(Baca artikel, "Ce-i... Ci + eN, Te-a... Ta, Cinta, dan SYIRIK)
oOo
(Diringkas dan disadur dari kitab, ” Taman Orang-Orang
Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”,
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar