بسم الله
الر حمان الر حيم
“Siapa
yang lebih mementingkan Allah daripada selain Allah, maka Allah akan mementingkan
dirinya daripada mementingkan selainnya.
Siapa yang merasa menjadi milik Allah, maka Allah menjadi miliknya”
(Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)
Mengharapkan Allah, dan berkeinginan melihat Wajah-Nya
serta rindu untuk bersua dengan-Nya merupakan modal di tangan seseorang, pokok
urusannya, penyangga kehidupannya, fondasi kebahagiaan, kesenangan,
keberuntungan, dan kenikmatannya. Untuk
itulah dia diciptakan, diberi perintah, para Rasul diutus, dan kitab-kitab
Suci diturunkan dari atas langit ketujuh (Lauhul Mahfuzh). Tidak ada kebaikan dan
kenikmatan bagi hati, kecuali jika kehendaknya tertuju kepada Allah semata,
sehingga hanya Allah semata yang dia harapkan dan inginkan. Seperti makna firman-Nya,
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabb-mulah hendaknya
kamu berharap.”
(QS. Alam
Nasyrah; 7-8), dan
“Jikalau mereka sungguh-sungghuh ridha terhadap apa
yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata, ‘Cukuplah Allah bagi kami,
Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula)
Rasul-Nya, sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah’, (tentulah yang
demikian itu lebih baik bagi kami).
(QS. At-Taubah; 59)
Orang yang menyukai sesuatu itu ada 3 (tiga) macam;
1.
1. Menyukai karena Allah.
2.
2. Menyukai apa yang
ada di sisi Allah.
3.
3. Orang-orang yang
menyukai selain Allah.
Orang yang jatuh cinta menyukai sesuatu karena
Allah. Orang yang beramal menyukai apa
yang ada di sisi-Nya (keridhaan dan Surga-Nya). Dan orang-orang
yang ridha terhadap dunia dibandingkan Akhirat, adalah orang yang menyukai (sesuatu) selain
Allah. Siapa yang kesukaannya karena
Allah, maka Allah akan memberi kecukupan kepada setiap orang yang memiliki hasrat,
melindunginya dalam segala urusan, menjaganya dari segala hal yang berada di
luar kemampuannya, mengawasinya sebagaimana pengawasan orang tua terhadap
anaknya, dan menjaganya dari segala bencana.
Siapa
yang mengenal Allah, maka tidak ada sesuatu pun yang lebih dia cintai
selain daripada cintanya kepada Allah, dan dia tidak mempunyai kesukaan terhadap selain-Nya, kecuali kesukaan terhadap sesuatu yang bisa mendekatkannya kepada
Allah, dan membantu perjalanannya kepada Allah.
Di antara
tanda-tanda orang yang mengetahui (mengenal) Allah, adalah takut pada-Nya. Selagi pengetahuan seorang
hamba tentang Allah bertambah, maka akan semakin bertambah pula rasa takutnya. Seperti yang dicantumkan dalam makna
firman-Nya;
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu.”
(QS. Fathir; 28), dan hadits;
“Aku adalah orang yang paling mengenal Allah
di antara kalian, dan aku adalah orang yang paling takut pada-Nya.”[1]
Siapa yang mengetahui Allah, maka hidupnya akan menjadi bersih
dan baik, ditakuti segala sesuatu, dan ketakutannya terhadap makhluk Allah
menjadi sirna, lemah-lembut di hadapan Allah, tegas di hadapan manusia,
memiliki rasa malu terhadap Allah, mengagungkan-Nya, mencintai, tawakal,
pasrah, dan ridha kepada-Nya.
Pernah ada yang bertanya kepada Al-Junaid rahimahullah,
“Disana ada sekelompok manusia yang berkata, bahwa mereka bisa sampai kepada
kebajikan karena tidak banyak beraktivitas (amal jawarih / anggota tubuh, pen).”
Maka Al-Junaid berkata, “Mereka itu berbicara dengan
meremehkan amalan. Masalah ini menurutku
adalah masalah besar. Sebab, boleh jadi
orang yang berzina dan mencuri keadaannya lebih baik dari orang yang berkata
seperti itu. Orang-orang yang mengetahui
Allah mengambil amalan dari Allah, dan kepada Allah mereka mengembalikan amalan
itu, Andaikan aku masih diberi umur
1000 tahun lagi, maka aku tidak akan mengurangi amalan sedikit pun.”
Dia juga berkata, “Orang yang berilmu tidak dapat disebut
berilmu, hingga dia bisa menempatkan dirinya seperti tanah yang siap diinjak-injak
oleh orang yang baik maupun yang buruk (jahat), atau seperti hujan yang turun kepada
orang yang suka maupun tidak suka.”
Yahya bin Mu’az berkata, “Orang berilmu tidak layak disebut
sebagai orang yang berilmu, kecuali seandainya dia di anugerahi kerajaan
Sulaiman , tetapi hal itu tidak mengalihkan pandangannya dari Allah sedikit
pun.”
Ada pula yang berkata, “Orang yang berilmu itu ialah, orang yang lemah-lembut di
hadapan Allah dan tegar di hadapan selain Allah, membutuhkan Allah dan tidak
membutuhkan selain Allah, merendahkan diri di hadapan Allah dan merasa tinggi
di hadapan makhluk-Nya.”
Dzun-Nun berkata, “Segala sesuatu memiliki kesudahan,
dan kesudahan orang yang berilmu ialah, tatkala ia berhenti berdzikir kepada
Allah.”
Secara umum dapat dikatakan, bahwa kehidupan hati bersama
Allah tidak dapat disebut sebagai suatu kehidupan tanpa gambaran seperti di
atas. Orang yang dianggap sebagai pecinta
sejati adalah, bila hati dan lidahnya sudah menyatu untuk menyebut Nama-Nya. Hati yang menyatu dengan keinginan Kekasih-nya,
menganggap sedikit perkataan dan perbuatannya yang banyak, menganggap banyak
kebajikan yang sedikit, selalu taat dan meninggalkan pembangkangan, menyingkir
dari segala sesuatu demi Kekasih-nya, dan tak ada sesuatu pun yang tertinggal,
hatinya dipenuhi pengagungan dan mengharapkan ridha-Nya, rindu bersua
dengan-Nya, tidak merasa tenang kecuali dengan menyebut Nama-Nya, menjaga hukum-hukum-Nya,
dan meremehkan selain-Nya. Inilah
pecinta yang sesungguhnya (sejati).
Al-Junaid berkata, “Saya pernah mendengar Al-Harits
Al-Muhasiby berkata, ‘Cinta itu adalah kecenderunganmu terhadap Sesuatu dengan
segenap apa pun yang ada pada dirimu, kemudian engkau lebih mementingkan-Nya
daripada kepentingan terhadap diri sendiri, roh, dan hartamu, kemudian
kesesuaianmu dengan-Nya secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi,
kemudian engkau merasa kurang dalam mencurahkan cinta kepada-Nya.”
Ada pula yang mengatakan, “Cinta itu adalah bara di dalam
hati, membakar apa pun yang tidak dikehendaki (disukai) sang kekasih.”
Dalam sebuah atsar Ilahy disebutkan, “Wahai
hamba-Ku, hakmu atas Diri-Ku adalah mencintai, maka dengan Hak-Ku atas dirimu,
jadilah orang yang mencintai-Ku.”
Abdullah bin Mubarak berkata, “Barangsiapa yang diberi
sedikit rasa cinta, dan dia tidak diberi ketakutan yang setara dengannya, maka
dia adalah orang yang tertipu.”
Yahya bin Mu’az berkata, “Cinta yang hanya seberat biji sawi lebih kusukai daripada ibadah selama 70 tahun tanpa rasa cinta.”
Al-Junaid berkata, “Orang yang jatuh cinta adalah hamba
yang mengabdikan dirinya, selalu menyebut Rabb-nya, melaksanakan
hak-hak-Nya, memandang-Nya dengan hati, membakar hati dengan cahaya
kehendak-Nya, minumannya berasal dari bejana cinta-Nya, jika berbicara
senantiasa menyertakan Allah, jika berucap dari Allah, jika bergerak menurut
perintah Allah, jika diam bersama Allah, dia dengan Allah, milik Allah, dan bersama
Allah.”
Ada yang berkata, “Allah mewahyukan kepada Daud ‘alaihissalam,
‘Wahai Daud, sesungguhnya Aku mengharamkan hati manusia dimasuki cinta
kepada-Ku selagi dibarengi dengan cinta pada selain-Ku.”
Maka para ulama sepakat, bahwa cinta seseorang dianggap
tidak benar, kecuali bila ada kesesuaian di antara kedua belah pihak. Sehingga di antara mereka ada yang berkata, “Hakikat
cinta adalah kesesuaian (kecocokan) dengan kekasih, tatkala dia ridha maupun tatkala marah.”
Mereka juga telah sepakat, bahwa cinta dianggap tidak
benar kecuali dengan menunggalkan Sang Kekasih.
oOo
[1] Ada pula dari hadits Al-Bukhary, dengan lafazh, “Sesungguhnya
aku adalah orang yang paling mengetahui Allah di antara mereka, dan orang yang
paling takut kepada-Nya di antara mereka.”
Di dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh, “Aku adalah orang yang
paling mengetahui Allah di antara mereka…” dan seterusnya.
(Dikutip dan disadur dari kitab, “Taman Orang-Orang Jatuh
Cinta dan Memendam Rindu”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar