Rabu, 24 Juli 2019

MENGHARAPKAN APA YANG ADA DI SISI ALLAH



بسم الله الر حمان الر حيم

“Siapa yang lebih mementingkan Allah daripada selain Allah, maka Allah akan mementingkan dirinya daripada mementingkan selainnya.  Siapa yang merasa menjadi milik Allah, maka Allah menjadi miliknya”  
(Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)

Mengharapkan Allah, dan berkeinginan melihat Wajah-Nya serta rindu untuk bersua dengan-Nya merupakan modal di tangan seseorang, pokok urusannya, penyangga kehidupannya, fondasi kebahagiaan, kesenangan, keberuntungan, dan kenikmatannya.  Untuk itulah dia diciptakan, diberi perintah, para Rasul diutus, dan kitab-kitab Suci diturunkan dari atas langit ketujuh (Lauhul Mahfuzh).  Tidak ada kebaikan dan kenikmatan bagi hati, kecuali jika kehendaknya tertuju kepada Allah semata, sehingga hanya Allah semata yang dia harapkan dan inginkan.  Seperti makna firman-Nya,
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabb-mulah hendaknya kamu berharap.  
(QS. Alam Nasyrah;  7-8), dan
“Jikalau mereka sungguh-sungghuh ridha terhadap apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata,Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi kami).  
(QS. At-Taubah;  59)

Orang yang menyukai sesuatu itu ada 3 (tiga) macam;
1.       1. Menyukai karena Allah.
2.       2. Menyukai apa yang ada di sisi Allah.
3.       3. Orang-orang yang menyukai selain Allah.
Orang yang jatuh cinta menyukai sesuatu karena Allah.  Orang yang beramal menyukai apa yang ada di sisi-Nya (keridhaan dan Surga-Nya).  Dan orang-orang yang ridha terhadap dunia dibandingkan Akhirat, adalah orang yang menyukai (sesuatu) selain Allah.  Siapa yang kesukaannya karena Allah, maka Allah akan memberi kecukupan kepada setiap orang yang memiliki hasrat, melindunginya dalam segala urusan, menjaganya dari segala hal yang berada di luar kemampuannya, mengawasinya sebagaimana pengawasan orang tua terhadap anaknya, dan menjaganya dari segala bencana.
Siapa yang mengenal Allah, maka tidak ada sesuatu pun yang lebih dia cintai selain daripada cintanya kepada Allah, dan dia tidak mempunyai kesukaan terhadap selain-Nya, kecuali kesukaan terhadap sesuatu yang bisa mendekatkannya kepada Allah, dan membantu perjalanannya kepada Allah.
Di antara tanda-tanda orang yang mengetahui (mengenal) Allah, adalah takut pada-Nya.  Selagi pengetahuan seorang hamba tentang Allah bertambah, maka akan semakin bertambah pula rasa takutnya.  Seperti yang dicantumkan dalam makna firman-Nya;
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu.”  
(QS. Fathir;  28), dan hadits;
“Aku adalah orang yang paling mengenal Allah di antara kalian, dan aku adalah orang yang paling takut pada-Nya.”[1]
Siapa yang mengetahui Allah, maka hidupnya akan menjadi bersih dan baik, ditakuti segala sesuatu, dan ketakutannya terhadap makhluk Allah menjadi sirna, lemah-lembut di hadapan Allah, tegas di hadapan manusia, memiliki rasa malu terhadap Allah, mengagungkan-Nya, mencintai, tawakal, pasrah, dan ridha kepada-Nya.
Pernah ada yang bertanya kepada Al-Junaid rahimahullah, “Disana ada sekelompok manusia yang berkata, bahwa mereka bisa sampai kepada kebajikan karena tidak banyak beraktivitas (amal jawarih / anggota tubuh, pen).”
Maka Al-Junaid berkata, “Mereka itu berbicara dengan meremehkan amalan.  Masalah ini menurutku adalah masalah besar.  Sebab, boleh jadi orang yang berzina dan mencuri keadaannya lebih baik dari orang yang berkata seperti itu.  Orang-orang yang mengetahui Allah mengambil amalan dari Allah, dan kepada Allah mereka mengembalikan amalan itu,  Andaikan aku masih diberi umur 1000 tahun lagi, maka aku tidak akan mengurangi amalan sedikit pun.”
Dia juga berkata, Orang yang berilmu tidak dapat disebut berilmu, hingga dia bisa menempatkan dirinya seperti tanah yang siap diinjak-injak oleh orang yang baik maupun yang buruk (jahat), atau seperti hujan yang turun kepada orang yang suka maupun tidak suka.”
Yahya bin Mu’az berkata, “Orang berilmu tidak layak disebut sebagai orang yang berilmu, kecuali seandainya dia di anugerahi kerajaan Sulaiman , tetapi hal itu tidak mengalihkan pandangannya dari Allah sedikit pun.”
Ada pula yang berkata, “Orang yang berilmu itu ialah, orang yang lemah-lembut di hadapan Allah dan tegar di hadapan selain Allah, membutuhkan Allah dan tidak membutuhkan selain Allah, merendahkan diri di hadapan Allah dan merasa tinggi di hadapan makhluk-Nya.”
Dzun-Nun berkata, Segala sesuatu memiliki kesudahan, dan kesudahan orang yang berilmu ialah, tatkala ia berhenti berdzikir kepada Allah.”
Secara umum dapat dikatakan, bahwa kehidupan hati bersama Allah tidak dapat disebut sebagai suatu kehidupan tanpa gambaran seperti di atas.  Orang yang dianggap sebagai pecinta sejati adalah, bila hati dan lidahnya sudah menyatu untuk menyebut Nama-Nya.  Hati yang menyatu dengan keinginan Kekasih-nya, menganggap sedikit perkataan dan perbuatannya yang banyak, menganggap banyak kebajikan yang sedikit, selalu taat dan meninggalkan pembangkangan, menyingkir dari segala sesuatu demi Kekasih-nya, dan tak ada sesuatu pun yang tertinggal, hatinya dipenuhi pengagungan dan mengharapkan ridha-Nya, rindu bersua dengan-Nya, tidak merasa tenang kecuali dengan menyebut Nama-Nya, menjaga hukum-hukum-Nya, dan meremehkan selain-Nya.  Inilah pecinta yang sesungguhnya (sejati).
Al-Junaid berkata, “Saya pernah mendengar Al-Harits Al-Muhasiby berkata, ‘Cinta itu adalah kecenderunganmu terhadap Sesuatu dengan segenap apa pun yang ada pada dirimu, kemudian engkau lebih mementingkan-Nya daripada kepentingan terhadap diri sendiri, roh, dan hartamu, kemudian kesesuaianmu dengan-Nya secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, kemudian engkau merasa kurang dalam mencurahkan cinta kepada-Nya.”
Ada pula yang mengatakan, “Cinta itu adalah bara di dalam hati, membakar apa pun yang tidak dikehendaki (disukai) sang kekasih.”
Dalam sebuah atsar Ilahy disebutkan, “Wahai hamba-Ku, hakmu atas Diri-Ku adalah mencintai, maka dengan Hak-Ku atas dirimu, jadilah orang yang mencintai-Ku.”
Abdullah bin Mubarak berkata, Barangsiapa yang diberi sedikit rasa cinta, dan dia tidak diberi ketakutan yang setara dengannya, maka dia adalah orang yang tertipu.”
Yahya bin Mu’az berkata, “Cinta yang hanya seberat biji sawi lebih kusukai daripada ibadah selama 70 tahun tanpa rasa cinta.”
Al-Junaid berkata, “Orang yang jatuh cinta adalah hamba yang mengabdikan dirinya, selalu menyebut Rabb-nya, melaksanakan hak-hak-Nya, memandang-Nya dengan hati, membakar hati dengan cahaya kehendak-Nya, minumannya berasal dari bejana cinta-Nya, jika berbicara senantiasa menyertakan Allah, jika berucap dari Allah, jika bergerak menurut perintah Allah, jika diam bersama Allah, dia dengan Allah, milik Allah, dan bersama Allah.”
Ada yang berkata, “Allah mewahyukan kepada Daud ‘alaihissalam, ‘Wahai Daud, sesungguhnya Aku mengharamkan hati manusia dimasuki cinta kepada-Ku selagi dibarengi dengan cinta pada selain-Ku.”
Maka para ulama sepakat, bahwa cinta seseorang dianggap tidak benar, kecuali bila ada kesesuaian di antara kedua belah pihak.  Sehingga di antara mereka ada yang berkata, “Hakikat cinta adalah kesesuaian (kecocokan) dengan kekasih, tatkala dia ridha maupun tatkala marah.”
Mereka juga telah sepakat, bahwa cinta dianggap tidak benar kecuali dengan menunggalkan Sang Kekasih.

oOo

[1] Ada pula dari hadits Al-Bukhary, dengan lafazh, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling mengetahui Allah di antara mereka, dan orang yang paling takut kepada-Nya di antara mereka.”  Di dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh, “Aku adalah orang yang paling mengetahui Allah di antara mereka…” dan seterusnya.
(Dikutip dan disadur dari kitab, “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar