بسم الله
الر حمان الر حيم
Di antara
gambaran kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba, adalah
kecemburuan-Nya jika ada seseorang yang (tidak layak) ikut andil membicarakan
Tauhid, Agama, dan Firman-Nya, padahal dia bukan termasuk Ahlinya (pemahamannya menyimpang). Bahkan, Allah ‘Azza
wa Jalla membuat batasan (dinding pemisah) antara Diri-Nya dengan mereka.
Seperti tergambar dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وجعلنا على قلوبهم اكنة ان يفقهوه وفى اذانهم وقرا / “Wa
ja’alnaa ‘alaa quluubihim akinnatan an yafqahuuhu wa fii aadzaaa nihim waqran”
“Dan
Kami letakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahami dan
(Kami letakkan) sumbatan di telinga mereka.”
(QS. Al-An’am; 25)
Allah cemburu terhadap hamba-Nya, jika hati hamba itu
tidak diisi dengan cinta, ketakutan, dan harap kepada-Nya, dan diisi dengan
hal-hal selain Allah. Allah menciptakan
hamba agar mereka menyembah-Nya semata, dan memilih manusia di antara sekian banyak
makhluk-Nya yang lain. Dalam sebuah atsar
Ilahy disebutkan,
“Wahai
anak Adam, Aku menciptakanmu untuk Diri-Ku, dan Aku ciptakan segala sesuatu
untukmu. Dengan hak-Ku atas dirimu, maka
janganlah engkau menyibukkan diri dengan apa-apa yang Kuciptakan untukmu,
dan mengabaikan tujuan penciptaan dirimu.”
Dalam atsar lain disebutkan, “Aku menciptakanmu
untuk Diri-Ku, maka janganlah bermain-main, dan Aku menjamin bagimu rezki
dari-Ku, maka janganlah merasa payah.
Wahai anak Adam, carilah Aku, niscaya engkau akan mendapati Aku. Jika engkau mendapatkan Aku, niscaya
engkau akan mendapatkan segala sesuatu.
Jika engkau tidak mendapatkan Aku, niscaya engkau tidak akan mendapatkan
segala sesuatu. Aku lebih baik bagi
dirimu daripada segala sesuatu.”
Allah Subahanhu wa Ta’ala juga cemburu terhadap
hamba-Nya, jika lidah mereka tidak digunakan untuk menyebut Nama-Nya, dan sibuk
menyebut nama selain Allah. Dia juga
cemburu terhadap hamba-Nya, jika anggota tubuh mereka tidak digunakan untuk
mentaati-Nya, dan sibuk untuk mendurhakai-Nya (mentaati yang lain). Amatlah buruknya seorang hamba, jika
Pelindungnya cemburu terhadap hati, lidah, dan anggota tubuhnya. Padahal tidak seharusnya Dia (Allah) cemburu
terhadap semua itu.
Jika Allah
menghendaki suatu kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan menguasai hati
hamba tersebut. Jika Allah berpaling
darinya, dan dia sibuk mencintai selain-Nya, maka hatinya akan dipenuhi dengan
berbagai siksaan, sampai hamba tersebut mengembalikan hatinya kepada Allah. Jika anggota tubuhnya sibuk dengan
hal-hal selain Allah, maka Dia akan menimpakan berbagai siksaan. Inilah gambaran kecemburuan Allah terhadap
hamba.
Maka kerugian besarlah bagi orang-orang yang tidak mendapatkan siksaan (cambukan) ini di dunia sebagai peringatan (teguran) dari Allah 'Azza wa Jalla, agar kembali padaNya.
Karena Allah cemburu terhadap hamba-Nya yang mukmin
(beriman), maka Allah juga cemburu terhadap diri dan kehormatannya. Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang
rusak berbuat semena-mena terhadap kehormatannya – sebagai realisasi dari kecemburuan
Allah terhadap hamba yang beriman itu.
Allah melindungi orang-orang beriman, melindungi hati,
anggota tubuhnya, keluarga, dan harta benda mereka. Allah Mahakuasa untuk melindungi semua itu –
sebagai perwujudan kecemburuan-Nya terhadap mereka, sebagaimana mereka
(orang-orang beriman) itu cemburu terhadap hal-hal yang diharamkan-Nya (pelanggaran). Allah cemburu terhadap hamba-hamba-Nya yang
rusak, baik ditilik dari sisi syariat maupun takdir. Oleh sebab itu, Dia mengharamkan hal-hal yang
keji, dan mensyariatkan hukuman yang keras dan pedih, karena besarnya
kecemburuan Allah terhadap hamba-hamba-Nya.
Jika siksaan ini tidak diatur berdasarkan syariat, maka Allah tetap akan
memberlakukannya secara takdir (yang buruk).
Di antara gambaran kecemburuan Allah, adalah
kecemburuannya bila ada seseorang yang tidak pantas ikut andil membicarakan
tauhid, agama, dan firman-Nya, padahal mereka tidak termasuk ahlinya, seperti
yang telah disebutkan di awal tulisan ini.
Oleh
karena itu Allah ‘Azza wa Jalla melemahkan (menghalangi) keinginan
musuh-musuh-Nya untuk mengikuti (ittiba’) terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan bergabung bersama Beliau. Kecemburuan Allah ini tergambar dalam makna
firman-Nya,
“Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan
keinginan mereka (untuk berjihad), dan dikatakan kepada mereka, ‘Tinggallah kalian bersama
orang-orang yang tinggal itu.’ Jika
mereka berangkat bersama kalian, niscaya mereka tidak akan menambah selain dari
kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di
celah-celah barisan kalian, untuk menciptakan kekacauan di antara kalian,
sedang di antara kalian ada orang-orang yang suka mendengarkan perkataan
mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang
yang zhalim.”
(QS. At-Taubah; 46-47)
Allah cemburu terhadap Nabi-Nya serta para Sahabat Beliau,
jika orang-orang munafik ikut pergi bersama mereka, lalu menebarkan fitnah di
kalangan mereka. Oleh karena itu Allah
melemahkan keinginan orang-orang munafik.
Dikisahkan bahwa Asy-Syibli pernah mendengar seorang qari’
sedang membaca ayat (artinya),
“Dan apabila kamu membaca Al-Qur`an, niscaya Kami
adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan Akhirat,
suatu dinding yang tertutup.”
(QS. Al-Isra`; 45)
Asy-Syibli berkata kepada qari` itu, “Tahukah kamu apakah dinding
itu? Dinding itu adalah kecemburuan, dan
tidak ada seseorang yang lebih pencemburu daripada Allah. Dengan kata lain, Allah tidak akan menjadikan
orang-orang kafir sebagai orang-orang yang layak mengetahuinya.”
Di sinilah letak kecemburuan Allah, yang jenisnya lembut,
dan tidak bisa diraba dengan nalar.
Seorang hamba dibukakan baginya pintu-pintu kesenangan dan kehidupan (dunia) - lalu dia
menyenanginya dan lupa tehadap tujuan penciptaan dirinya.
Maka Pelindungnya cemburu terhadap dirinya. Untuk itu Allah mengembalikannya kepada
tujuan semula, dengan membuatnya merasa membutuhkan Allah. Tidak ada sesuatu pun yang murni berasal dari
dirinya. Sehingga kesenangan dan kemewahan
itu seakan-akan tidak berarti apa-apa (tidak bernilai).
Kecemburuan terhadap Ilmu yang Mendetail
Di antara kecemburuan itu, ada kecemburuan terhadap ilmu
yang mendetail, yang tidak bisa dipahami melalui pendengaran dan penglihatan semata. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu
berkata tentang kecemburuan ini, “Beritahukanlah kepada manusia (ilmu, pen)
menurut kadar pengetahuan mereka. Apakah
kalian suka jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah
engkau menyampaikan suatu perkataan kepada segolongan manusia, dimana akal
mereka tidak mampu menalarnya, melainkan akan menimbulkan fitnah.”
Orang yang berilmu cemburu terhadap ilmunya jika disampaikan
kepada orang yang tidak mampu mencernanya, atau diletakkan bukan pada tempat
yang semestinya, sebagaimana yang dikatakan Isa bin Maryam ‘alaihissalam,
“Wahai Bani Israil, janganlah kalian halangi hikmah dari orang yang memang
ahlinya, sehingga kalian menzhalimi mereka, dan janganlah kalian
menyampaikan hikmah itu kepada orang yang bukan ahlinya, sehingga kalian menzhalimi
hikmah tersebut.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang
makna firman Allah,
“Allah Yang menciptakan tujuh langit, dan seperti itu
pula bumi.” (QS. Ath-Thalaq; 12), maka dia menjawab, “Apa yang bisa
membuatmu percaya? Jika tafsirnya diberitahukan
kepadamu, toh kamu tetap akan mengingkarinya.
Karena memang kamu mendustakannya, dan kerdustaanmu terhadap ayat itu
merupakan kekufuranmu terhadapnya.”
Masalah
mendetail yang diberitahukan kepada orang yang bukan ahlinya, laksana wanita
cantik yang diserahkan kepada laki-laki yang buta dan lumpuh untuk dijadikan
isteri, sebagaimana yang dikatakan dalam pepatah, “Wanita elok yang diperisteri
laki-laki buta dan lumpuh.”
Jika ada suara bisikan di tengah majelis Abu Ali, maka dia
berkata, “Ini termasuk kecemburuan yang benar, karena orang yang berbisik-bisik
itu menghendaki agar waktu yang digunakan tidak berjalan lancar.”
Seorang penyair berkata,
Dia ingin bersama jika melihat cermin
wajahnya yang elok menahan langkahnya
ini bukan balasan yang kuterima karena keelokannya
aku menyepi sendiri dan hilanglah semua kesedihan
Al-Qusyairi menuturkan, bahwa ada sebagian orang ditanya,
“Apakah engkau ingin melihat mereka?”
Dia menjawab, “Tidak.” Dia
ditanya lagi, “Apa sebabnya?” Dia
menjawab, “Karena saya tidak ingin ada orang lain yang melihat keelokannya.”
Dikatakan dalam syair,
Aku mendengki jika ada orang lain yang memandangmu
hingga aku hanya bisa menundukkan kepala jika
melihatmu
kulihat ada sentuhan sanubari di dalam sosokmu
itulah yang membuatku terpesona dan cemburu
Menurut pendapat kami (Ibnu Qayyim), ini adalah cemburu yang
tidak benar, yang tujuannya agar pelakunya diampuni. Ini dianggap tindakan yang bodoh dan
asal-asalan. Jika ingin dianggap suatu
kemuliaan, maka apabila ditanya, “Sukakah engkau memandang Wajah Allah?” Maka dia akan menjawab, “Tidak ada kenikmatan
penghuni Surga yang lebih tinggi daripada memandang Allah.” Allah suka terhadap hambanya, jika dia
memohon agar bisa memandang-Nya. Telah
disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa di antara doa
Beliau adalah,
اللهم انى اسالك لذة النظر الى وجهك وشوق الي لقاءىك /
“Allahumma inniy as aluka ladzdzata annadzhari ilaa wajhika wasysyauka
ilaa liqaaika”
“Ya Allah, aku memohon keledzatan memandang Wajah-Mu dan
kerinduan bersua dengan-Mu.”
Perkataan orang itu, “Aku menghindarkan orang lain yang
memandang keelokan itu,” karena ini berasal dari tipuan syaithan dan
nafsu. Hal ini tidak berbeda jauh dengan
kisah dari sebagian orang, bahwa dia pernah ditanya, “Apakah engkau tak ingin
mengingat dirinya?” Dia menjawab, “Aku
tak ingin lidahku terus menerus menyebut dirinya.”
Suatu kali kami pernah mencela seseorang yang meninggalkan
shalat. Dia berkata kepadaku, “Aku
memandang diriku tidak layak masuk ke dalam masjid, karena aku ingin melihat
orang-orang yang sedang dipermain-mainkan syaithan.”
AL-Qusyairy menuturkan, bahwa Asy-Syibli pernah ditanya,
“Kapankah engkau beristirahat?” Maka dia
menjawab, “Jika aku merasa tidak lagi menyebut Nama-Nya.”
Allah telah memerintahkan agar menyebut Nama-Nya dalam
keadaan bagaimana pun, sekalipun memang penyebutan Nama itu memiliki berbagai
tingkatan. Penyebutan tertinggi
adalah penyebutan (dzikir) dengan hati dan lidah, disertai kebersamaan hati
dengan sesuatu yang disebutkan, menggunakan lafazh-lafazh sebutan yang
dicintai-Nya. Tingkatan di bawahnya
adalah penyebutan dengan hati dan lidah, tanpa kebersamaan hati dengan sesuatu
yang disebutkan. Tingkatan berikutnya
adalah penyebutan dengan hati saja, kemudian penyebutan dengan lidah saja. Inilah tingkatan-tingkatan penyebutan. Sebagiannya lebih disukai Allah daripada yang
lain.
Sebagian Salaf berkata, “Sesungguhnya Allah suka Nama-Nya
disebut dalam keadaan bagaimana pun, kecuali pada saat bersetubuh dan buang
hajat. Allah telah mewahyukan kepada
Musa, ‘Sebutlah Nama-Ku seperti apa pun keadaanmu.’ Allah tidak menyia-nyiakan pahala penyebutan
dengan lidah semata. Bahkan Dia tetap
memberi balasan terhadap orang-orang yang menyebut Nama-Nya sekalipun hatinya
sedang lalai. Tetapi balasan ini
tentunya tidak utuh.”
Kemudian Al-Qusyairy menyebutkan perkataan Asy-Syibli; Kecemburuan Ilahy terhadap hembusan-hembusan
nafas yang terbuang sia-sia karena selain Allah. Ini adalah perkataan yang baik.
Al-Qusyairy menanggapi sebagai berikut; Mestinya harus dikatakan, bahwa cemburu itu
ada dua macam;
Pertama, kecemburuan Allah terhadap
hamba. Dengan kata lain, kecemburuan ini
tidak membuat Allah menjadi kikir terhadap hamba-hamba-Nya.
Kedua, kecemburuan hamba terhadap Allah. Dengan kata lain, janganlah Dia menjadikan
segala sesuatu di sekitar orang tersebut dan hembusan nafas untuk selain Allah. Jadi, tidak bisa dikatakan, “Aku cemburu
terhadap Allah.” Tetapi harus dikatakan,
“Aku cemburu karena Allah.” Alhasil,
kecemburuan terhadap Allah adalah suatu kebodohan, yang bisa jadi akan
mendorongnya untuk meninggalkan agama.
Cemburu
karena Allah mengharuskan pengagungan terhadap hak-hak-Nya, dan mensucikan amal
karena-Nya semata. Di antara
sunnah-Nya yang benar mengikuti para wali-Nya
ialah, jika mereka merasa tertarik terhadap segala sesuatu selain Allah, yang membuat
mereka bingung, maka hati mereka menjadi cemburu untuk mengulanginya lagi. Seperti Adam ‘alaihissalam yang
terlintas di dalam hatinya untuk hidup kekal di dalam Surga yang justru
membuatnya keluar dari Surga, atau seperti Ibrahim ‘alaihissalam yang
sangat mencintai Ismail, lalu diperintahkan Allah untuk menyembelih buah
hatinya, sehingga cinta semacam ini hilang dari hati Beliau. Tatkala keduanya telah memasrahkan diri,
tunduk, maka Allah memerintahkan (mengganti) dengan suatu tebusan.
Sebagian orang berkata, “Waspadalah terhadap Allah, karena
Dia sangat cemburu jika melihat di dalam hati hamba-Nya ada sesuatu selain-Nya.” Ada pula yang berkata, “Allah Ta’ala
amat pencemburu. Di antara kecemburuan-Nya,
Dia tidak menciptakan jalan lain untuk berhubungan dengan-Nya (selain jalan
yang Dia ditunjukkan kepada Rasul-Nya).”
As-Sariy pernah berkata kepada seseorang yang arif, “Aku
memiliki penyakit bathin. Lalu, apa
obatnya?” Orang yang arif itu menjawab, “Wahai
Sariy, sesungguhnya Allah itu pencemburu.
Dia tidak ingin melihatmu menyenangi selain-Nya, yang mengakibatkan
dirimu menjadi rendah di Mata-Nya.” Ini
merupakan kecemburuan yang benar.
Kecemburuan yang Mengakibatkan Buruk Sangka
Ini adalah cemburu yang tercela, yaitu cemburu yang
menimbulkan buruk sangka, sehingga orang yang sedang jatuh cinta itu tega menyakiti
kekasihnya, dan memanasi hatinya dengan kemarahan. Cemburu seperti ini dibenci oleh Allah,
terlebih-lebih jika cemburu itu tanpa disertai keragu-raguan (dilakukan dengan
pasti).
Ada pula cemburu yang mendorongnya menghukumi sang kekasih
melebihi kewajaran, sampai-sampai ada yang tega membunuh kekasih yang
dicintainya, hanya karena cemburu. Ada
seorang penyair yang memiliki dua pembantu, seorang pemuda dan seorang
gadis. Yang satu tampan dan yang satu
lagi cantik. Penyair ini sangat
mencintai keduanya. Suatu hari tatkala
memasuki rumah, dia melihat keduanya saling berpelukan. Maka dia mengikat keduanya, lalu membunuh
mereka. Akhirnya dia duduk termenung di
dekat kepala pembantu wanitanya, sambil menangis terisak-isak entah berapa
lama, kemudian dia berkata,
Wahai yang mengintip kematiannya
Buah kematian yang bergetar di tangannya
Kuguyurkan lelehan darahnya ke butir-butir embun pagi
Seperti cinta yang terguyur saat pertemuan bibir kami
Kukalungkan pedang di batang lehernya yang jenjang
Dan air mataku menetes di pipinya yang kemerahan
Sandalnya lembut menginjak butir-butir embun basah
Tiada yang lebih indah daripada sandal kekasih
Apa pun yang terjadi dia telah meninggal dunia
Aku tak kan menangis jika tanah menimbunnya
Aku tak rela jika ada orang lain menikmati keelokannya
Aku tak rela jika pemuda itu selalu memandangnya
Kemudian dia duduk di dekat pembantu laki-lakinya, lalu
melantunkan syair lainnya.
Ada pula orang yang sedang jatuh cinta cemburu terhadap
kekasihnya karena dirinya. Ini termasuk
cemburu yang aneh. Sebab dia khawatir
dirinya akan menjadi kunci bagi orang lain.
Dikisahkan, bahwa Al-Hasan bin Hani dan Ali bin Abdullah Al-Ja’fary
sedang bercengkerama berdua, lalu mereka saling melantunkan syair. Al-Hasan berkata terlebih dahulu,
Tatkala kutahu dia tiada menaruh hati padaku
cintanya tiada pula tertuju pada diriku
kuharap dia menjatuhkan cintanya kepada selainku
demi kehangatan cinta dan berbalik lagi padaku
Lalu Ali menimpali,
Boleh jadi aku senang kau menghalangiku
karena engkau ingin mendapatkan pencarianmu
karena khawatir aku menjadi kunci bagi orang lain
kalaupun tidak menyendiri aku pun menyukai harapan
Sebagian orang ada yang tidak mau menyebutkan ciri-ciri
kekasihnya dan keindahan dirinya, karena hal tersebut bisa memancing orang lain
untuk mencintainya, sebagaimana yang dikatakan Ali bin Isa Ar-Rafi’y,
Aku tak kan menyebut-nyebut diri kekasihku
agar tiada memancing hasrat orang yang punya mau
aku tak kan mengusik hati laki-laki lain
menyembunyikan diri wanita bisa memutus hubungan
Banyak orang-orang bodoh yang menyebutkan ciri-ciri
isterinya dan kecantikannya kepada laki-laki lain, yang justru mengakibatkan perceraiannya,
dan laki-laki lain itu justru menjalin hubungan dengan isterinya.
Puncak (tingkat) kecemburuan yang tertinggi ada 3 (tiga) macam;
1.
1. Kecemburuan hamba
karena Rabb-nya, bila hal-hal yang diharamkan-Nya dilanggar, dan hukum-hukum-Nya
disia-siakan.
2.
2. Kecemburuan hamba
terhadap hatinya sendiri, jika ia menyenangi hal-hal selain Allah dan
cenderung kepada selain-Nya.
3.
3. Kecemburuan hamba
terhadap kehormatan dirinya, seperti jika ada orang lain yang mengintipnya (melecehkannya).
Cemburu
yang dicintai Allah dan Rasul-Nya berkisar pada ketiga jenis cemburu ini. Sedangkan jenis yang lain, entah berasal dari
tipuan syaithan, atau ujian yang datang dari Allah, seperti kecemburuan isteri
terhadap suaminya, jika sang suami menikahi wanita lain.
Jika ada yang bertanya;
Lalu, termasuk jenis cemburu yang manakah kecemburuan Fatimah, puteri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ali, tatkala Ali hendak
menikahi puteri Abu Jahl, dan juga kecemburuan Beliau demi Fatimah? Bisa dijawab sebagai berikut;
Di antara jenis cemburu itu ada yang disukai Allah dan
Rasul-Nya. Beliau telah mengisyaratkan,
bahwa Fatimah adalah bagian dari dirinya. Apa yang menyakiti Fatimah juga menyakiti
Beliau, apa yang menggelisahkan Fatimah juga akan menggelisahkan Beliau. Kedua wanita itu tidak baik jika berkumpul
menjadi satu. Putri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak baik jika berkumpul dengan puteri musuh Beliau,
sama-sama menjadi isteri satu orang laki-laki.
Ini merupakan bentuk pengingkaran yang tidak bisa dianggap
sepele. Di samping itu, tatkala Beliau
menyebut nama besannya yang dikhabari lalu membenarkan Beliau, diberi
peringatan lalu memperhatikan Beliau, merupakan bukti bahwa Ali diberi syarat
seperti itu tatkala melaksanakan Akad Nikah, entah melalui perkataan atau pun
secara tradisi, atau menurut keadaan yang terjadi saat itu. Syarat itu ialah, dia (Ali) tidak boleh
membuat Fatimah menjadi risau dan menyakitinya, tetapi harus menggaulinya
dengan cara yang ma’ruf jika Ali menikahi puteri musuh Beliau dan memancing kebencian
Fatimah. Oleh sebab itu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kecuali jika Ali bin Abu Thalib ingin
menceraikan puteriku dan menikahi puteri Abu Jahl.” (Kisah ini diriwayatkan Al-Bukhary,
Muslim, At-Tirmidzy dan yang lainnya).
Syarat menurut tradisi yang berlaku, seperti syarat yang
diucapkan lewat kata-kata menurut pendapat sebagian besar fuqaha, fuqaha
Madinah Ahmad bin Hambal dan rekan-rekannya, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam khawatir akan menimbulkan cobaan terhadap agama Fatimah,
karena dia harus berkumpul bersama puteri musuh Allah. Kecemburuan Beliau tidak hanya sekedar
ketidak-sukaan, tetapi lebih kepada kehormatan agama. Beliau telah mengisyaratkan hal ini dengan
sabda, “Sesungguhnya aku khawatir akan mendatangkan cobaan bagi agamanya.”
Allah-lah Yang lebih mengetahui mana yang benar.
oOo
(Dinukil dan disadur dari kitab, “Taman Orang-Orang Jatuh
Cinta dan Memendam Rindu”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar