Selasa, 23 Juli 2019

KECEMBURUAN ALLAH TERHADAP HAMBA



بسم الله الر حمان الر حيم

Di antara gambaran kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba, adalah kecemburuan-Nya jika ada seseorang yang (tidak layak) ikut andil membicarakan Tauhid, Agama, dan Firman-Nya, padahal dia bukan termasuk Ahlinya (pemahamannya menyimpang).  Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla membuat batasan (dinding pemisah) antara Diri-Nya dengan mereka.

Seperti tergambar dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وجعلنا على قلوبهم اكنة ان يفقهوه وفى اذانهم وقرا  /  “Wa ja’alnaa ‘alaa quluubihim akinnatan an yafqahuuhu wa fii aadzaaa nihim waqran”
“Dan Kami letakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahami dan (Kami letakkan) sumbatan di telinga mereka.”  
(QS. Al-An’am;  25)
Allah cemburu terhadap hamba-Nya, jika hati hamba itu tidak diisi dengan cinta, ketakutan, dan harap kepada-Nya, dan diisi dengan hal-hal selain Allah.  Allah menciptakan hamba agar mereka menyembah-Nya semata, dan memilih manusia di antara sekian banyak makhluk-Nya yang lain.  Dalam sebuah atsar Ilahy disebutkan,
“Wahai anak Adam, Aku menciptakanmu untuk Diri-Ku, dan Aku ciptakan segala sesuatu untukmu.  Dengan hak-Ku atas dirimu, maka janganlah engkau menyibukkan diri dengan apa-apa yang Kuciptakan untukmu, dan mengabaikan tujuan penciptaan dirimu.”
Dalam atsar lain disebutkan, “Aku menciptakanmu untuk Diri-Ku, maka janganlah bermain-main, dan Aku menjamin bagimu rezki dari-Ku, maka janganlah merasa payah.  Wahai anak Adam, carilah Aku, niscaya engkau akan mendapati Aku.  Jika engkau mendapatkan Aku, niscaya engkau akan mendapatkan segala sesuatu.  Jika engkau tidak mendapatkan Aku, niscaya engkau tidak akan mendapatkan segala sesuatu.  Aku lebih baik bagi dirimu daripada segala sesuatu.
Allah Subahanhu wa Ta’ala juga cemburu terhadap hamba-Nya, jika lidah mereka tidak digunakan untuk menyebut Nama-Nya, dan sibuk menyebut nama selain Allah.  Dia juga cemburu terhadap hamba-Nya, jika anggota tubuh mereka tidak digunakan untuk mentaati-Nya, dan sibuk untuk mendurhakai-Nya (mentaati yang lain).  Amatlah buruknya seorang hamba, jika Pelindungnya cemburu terhadap hati, lidah, dan anggota tubuhnya.  Padahal tidak seharusnya Dia (Allah) cemburu terhadap semua itu.
Jika Allah menghendaki suatu kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan menguasai hati hamba tersebut.  Jika Allah berpaling darinya, dan dia sibuk mencintai selain-Nya, maka hatinya akan dipenuhi dengan berbagai siksaan, sampai hamba tersebut mengembalikan hatinya kepada Allah.  Jika anggota tubuhnya sibuk dengan hal-hal selain Allah, maka Dia akan menimpakan berbagai siksaan.  Inilah gambaran kecemburuan Allah terhadap hamba.
Maka kerugian besarlah bagi orang-orang yang tidak mendapatkan siksaan (cambukan) ini di dunia sebagai peringatan (teguran) dari Allah 'Azza wa Jalla, agar kembali padaNya.
Karena Allah cemburu terhadap hamba-Nya yang mukmin (beriman), maka Allah juga cemburu terhadap diri dan kehormatannya.  Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang rusak berbuat semena-mena terhadap kehormatannya – sebagai realisasi dari kecemburuan Allah terhadap hamba yang beriman itu.
Allah melindungi orang-orang beriman, melindungi hati, anggota tubuhnya, keluarga, dan harta benda mereka.  Allah Mahakuasa untuk melindungi semua itu – sebagai perwujudan kecemburuan-Nya terhadap mereka, sebagaimana mereka (orang-orang beriman) itu cemburu terhadap hal-hal yang diharamkan-Nya (pelanggaran).  Allah cemburu terhadap hamba-hamba-Nya yang rusak, baik ditilik dari sisi syariat maupun takdir.  Oleh sebab itu, Dia mengharamkan hal-hal yang keji, dan mensyariatkan hukuman yang keras dan pedih, karena besarnya kecemburuan Allah terhadap hamba-hamba-Nya.  Jika siksaan ini tidak diatur berdasarkan syariat, maka Allah tetap akan memberlakukannya secara takdir (yang buruk).
Di antara gambaran kecemburuan Allah, adalah kecemburuannya bila ada seseorang yang tidak pantas ikut andil membicarakan tauhid, agama, dan firman-Nya, padahal mereka tidak termasuk ahlinya, seperti yang telah disebutkan di awal tulisan ini.
Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla melemahkan (menghalangi) keinginan musuh-musuh-Nya untuk mengikuti (ittiba’) terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bergabung bersama Beliau.  Kecemburuan Allah ini tergambar dalam makna firman-Nya,
Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka (untuk berjihad), dan dikatakan kepada mereka, ‘Tinggallah kalian bersama orang-orang yang tinggal itu.’  Jika mereka berangkat bersama kalian, niscaya mereka tidak akan menambah selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian, untuk menciptakan kekacauan di antara kalian, sedang di antara kalian ada orang-orang yang suka mendengarkan perkataan mereka.  Dan Allah mengetahui orang-orang yang zhalim.”  
(QS. At-Taubah;  46-47)
Allah cemburu terhadap Nabi-Nya serta para Sahabat Beliau, jika orang-orang munafik ikut pergi bersama mereka, lalu menebarkan fitnah di kalangan mereka.  Oleh karena itu Allah melemahkan keinginan orang-orang munafik.
Dikisahkan bahwa Asy-Syibli pernah mendengar seorang qari’ sedang membaca ayat (artinya),
“Dan apabila kamu membaca Al-Qur`an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan Akhirat, suatu dinding yang tertutup.”  
(QS. Al-Isra`;  45)
Asy-Syibli berkata kepada qari` itu, “Tahukah kamu apakah dinding itu?  Dinding itu adalah kecemburuan, dan tidak ada seseorang yang lebih pencemburu daripada Allah.  Dengan kata lain, Allah tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai orang-orang yang layak mengetahuinya.”
Di sinilah letak kecemburuan Allah, yang jenisnya lembut, dan tidak bisa diraba dengan nalar.  Seorang hamba dibukakan baginya pintu-pintu kesenangan dan kehidupan (dunia) - lalu dia menyenanginya dan lupa tehadap tujuan penciptaan dirinya.  Maka Pelindungnya cemburu terhadap dirinya.  Untuk itu Allah mengembalikannya kepada tujuan semula, dengan membuatnya merasa membutuhkan Allah.  Tidak ada sesuatu pun yang murni berasal dari dirinya.  Sehingga kesenangan dan kemewahan itu seakan-akan tidak berarti apa-apa (tidak bernilai).

Kecemburuan terhadap Ilmu yang Mendetail
Di antara kecemburuan itu, ada kecemburuan terhadap ilmu yang mendetail, yang tidak bisa dipahami melalui pendengaran dan penglihatan semata.  Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata tentang kecemburuan ini, “Beritahukanlah kepada manusia (ilmu, pen) menurut kadar pengetahuan mereka.  Apakah kalian suka jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah engkau menyampaikan suatu perkataan kepada segolongan manusia, dimana akal mereka tidak mampu menalarnya, melainkan akan menimbulkan fitnah.”
Orang yang berilmu cemburu terhadap ilmunya jika disampaikan kepada orang yang tidak mampu mencernanya, atau diletakkan bukan pada tempat yang semestinya, sebagaimana yang dikatakan Isa bin Maryam ‘alaihissalam, “Wahai Bani Israil, janganlah kalian halangi hikmah dari orang yang memang ahlinya, sehingga kalian menzhalimi mereka, dan janganlah kalian menyampaikan hikmah itu kepada orang yang bukan ahlinya, sehingga kalian menzhalimi hikmah tersebut.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang makna firman Allah,
“Allah Yang menciptakan tujuh langit, dan seperti itu pula bumi.”  (QS. Ath-Thalaq;  12), maka dia menjawab, “Apa yang bisa membuatmu percaya?  Jika tafsirnya diberitahukan kepadamu, toh kamu tetap akan mengingkarinya.  Karena memang kamu mendustakannya, dan kerdustaanmu terhadap ayat itu merupakan kekufuranmu terhadapnya.”
Masalah mendetail yang diberitahukan kepada orang yang bukan ahlinya, laksana wanita cantik yang diserahkan kepada laki-laki yang buta dan lumpuh untuk dijadikan isteri, sebagaimana yang dikatakan dalam pepatah, “Wanita elok yang diperisteri laki-laki buta dan lumpuh.”
Jika ada suara bisikan di tengah majelis Abu Ali, maka dia berkata, “Ini termasuk kecemburuan yang benar, karena orang yang berbisik-bisik itu menghendaki agar waktu yang digunakan tidak berjalan lancar.”
Seorang penyair berkata,
Dia ingin bersama jika melihat cermin
wajahnya yang elok menahan langkahnya
ini bukan balasan yang kuterima karena keelokannya
aku menyepi sendiri dan hilanglah semua kesedihan
Al-Qusyairi menuturkan, bahwa ada sebagian orang ditanya, “Apakah engkau ingin melihat mereka?”  Dia menjawab, “Tidak.”  Dia ditanya lagi, “Apa sebabnya?”  Dia menjawab, “Karena saya tidak ingin ada orang lain yang melihat keelokannya.”
Dikatakan dalam syair,
Aku mendengki jika ada orang lain yang memandangmu
hingga aku hanya bisa menundukkan kepala jika melihatmu
kulihat ada sentuhan sanubari di dalam sosokmu
itulah yang membuatku terpesona dan cemburu
Menurut pendapat kami (Ibnu Qayyim), ini adalah cemburu yang tidak benar, yang tujuannya agar pelakunya diampuni.  Ini dianggap tindakan yang bodoh dan asal-asalan.  Jika ingin dianggap suatu kemuliaan, maka apabila ditanya, “Sukakah engkau memandang Wajah Allah?”  Maka dia akan menjawab, “Tidak ada kenikmatan penghuni Surga yang lebih tinggi daripada memandang Allah.”  Allah suka terhadap hambanya, jika dia memohon agar bisa memandang-Nya.  Telah disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa di antara doa Beliau adalah,
اللهم انى اسالك لذة النظر الى وجهك وشوق الي لقاءىك   /  “Allahumma inniy as aluka ladzdzata annadzhari ilaa wajhika wasysyauka ilaa liqaaika”
“Ya Allah, aku memohon keledzatan memandang Wajah-Mu dan kerinduan bersua dengan-Mu.”
Perkataan orang itu, “Aku menghindarkan orang lain yang memandang keelokan itu,” karena ini berasal dari tipuan syaithan dan nafsu.  Hal ini tidak berbeda jauh dengan kisah dari sebagian orang, bahwa dia pernah ditanya, “Apakah engkau tak ingin mengingat dirinya?”  Dia menjawab, “Aku tak ingin lidahku terus menerus menyebut dirinya.”
Suatu kali kami pernah mencela seseorang yang meninggalkan shalat.  Dia berkata kepadaku, “Aku memandang diriku tidak layak masuk ke dalam masjid, karena aku ingin melihat orang-orang yang sedang dipermain-mainkan syaithan.”
AL-Qusyairy menuturkan, bahwa Asy-Syibli pernah ditanya, “Kapankah engkau beristirahat?”  Maka dia menjawab, “Jika aku merasa tidak lagi menyebut Nama-Nya.”
Allah telah memerintahkan agar menyebut Nama-Nya dalam keadaan bagaimana pun, sekalipun memang penyebutan Nama itu memiliki berbagai tingkatan.  Penyebutan tertinggi adalah penyebutan (dzikir) dengan hati dan lidah, disertai kebersamaan hati dengan sesuatu yang disebutkan, menggunakan lafazh-lafazh sebutan yang dicintai-Nya.  Tingkatan di bawahnya adalah penyebutan dengan hati dan lidah, tanpa kebersamaan hati dengan sesuatu yang disebutkan.  Tingkatan berikutnya adalah penyebutan dengan hati saja, kemudian penyebutan dengan lidah saja.  Inilah tingkatan-tingkatan penyebutan.  Sebagiannya lebih disukai Allah daripada yang lain.
Sebagian Salaf berkata, “Sesungguhnya Allah suka Nama-Nya disebut dalam keadaan bagaimana pun, kecuali pada saat bersetubuh dan buang hajat.  Allah telah mewahyukan kepada Musa, ‘Sebutlah Nama-Ku seperti apa pun keadaanmu.’  Allah tidak menyia-nyiakan pahala penyebutan dengan lidah semata.  Bahkan Dia tetap memberi balasan terhadap orang-orang yang menyebut Nama-Nya sekalipun hatinya sedang lalai.   Tetapi balasan ini tentunya tidak utuh.”
Kemudian Al-Qusyairy menyebutkan perkataan Asy-Syibli;  Kecemburuan Ilahy terhadap hembusan-hembusan nafas yang terbuang sia-sia karena selain Allah.  Ini adalah perkataan yang baik.
Al-Qusyairy menanggapi sebagai berikut;  Mestinya harus dikatakan, bahwa cemburu itu ada dua macam;
Pertama, kecemburuan Allah terhadap hamba.  Dengan kata lain, kecemburuan ini tidak membuat Allah menjadi kikir terhadap hamba-hamba-Nya.
Kedua, kecemburuan hamba terhadap Allah.  Dengan kata lain, janganlah Dia menjadikan segala sesuatu di sekitar orang tersebut dan hembusan nafas untuk selain Allah.  Jadi, tidak bisa dikatakan, “Aku cemburu terhadap Allah.”  Tetapi harus dikatakan, “Aku cemburu karena Allah.”  Alhasil, kecemburuan terhadap Allah adalah suatu kebodohan, yang bisa jadi akan mendorongnya untuk meninggalkan agama.
Cemburu karena Allah mengharuskan pengagungan terhadap hak-hak-Nya, dan mensucikan amal karena-Nya semata.  Di antara sunnah-Nya yang benar  mengikuti para wali-Nya ialah, jika mereka merasa tertarik terhadap segala sesuatu selain Allah, yang membuat mereka bingung, maka hati mereka menjadi cemburu untuk mengulanginya lagi.  Seperti Adam ‘alaihissalam yang terlintas di dalam hatinya untuk hidup kekal di dalam Surga yang justru membuatnya keluar dari Surga, atau seperti Ibrahim ‘alaihissalam yang sangat mencintai Ismail, lalu diperintahkan Allah untuk menyembelih buah hatinya, sehingga cinta semacam ini hilang dari hati Beliau.  Tatkala keduanya telah memasrahkan diri, tunduk, maka Allah memerintahkan (mengganti) dengan suatu tebusan.
Sebagian orang berkata, “Waspadalah terhadap Allah, karena Dia sangat cemburu jika melihat di dalam hati hamba-Nya ada sesuatu selain-Nya.”  Ada pula yang berkata, “Allah Ta’ala amat pencemburu.  Di antara kecemburuan-Nya, Dia tidak menciptakan jalan lain untuk berhubungan dengan-Nya (selain jalan yang Dia ditunjukkan kepada Rasul-Nya).”
As-Sariy pernah berkata kepada seseorang yang arif, “Aku memiliki penyakit bathin.  Lalu, apa obatnya?”  Orang yang arif itu menjawab, “Wahai Sariy, sesungguhnya Allah itu pencemburu.  Dia tidak ingin melihatmu menyenangi selain-Nya, yang mengakibatkan dirimu menjadi rendah di Mata-Nya.”  Ini merupakan kecemburuan yang benar.

Kecemburuan yang Mengakibatkan Buruk Sangka
Ini adalah cemburu yang tercela, yaitu cemburu yang menimbulkan buruk sangka, sehingga orang yang sedang jatuh cinta itu tega menyakiti kekasihnya, dan memanasi hatinya dengan kemarahan.  Cemburu seperti ini dibenci oleh Allah, terlebih-lebih jika cemburu itu tanpa disertai keragu-raguan (dilakukan dengan pasti).
Ada pula cemburu yang mendorongnya menghukumi sang kekasih melebihi kewajaran, sampai-sampai ada yang tega membunuh kekasih yang dicintainya, hanya karena cemburu.  Ada seorang penyair yang memiliki dua pembantu, seorang pemuda dan seorang gadis.  Yang satu tampan dan yang satu lagi cantik.  Penyair ini sangat mencintai keduanya.  Suatu hari tatkala memasuki rumah, dia melihat keduanya saling berpelukan.  Maka dia mengikat keduanya, lalu membunuh mereka.  Akhirnya dia duduk termenung di dekat kepala pembantu wanitanya, sambil menangis terisak-isak entah berapa lama, kemudian dia berkata,
Wahai yang mengintip kematiannya
Buah kematian yang bergetar di tangannya
Kuguyurkan lelehan darahnya ke butir-butir embun pagi
Seperti cinta yang terguyur saat pertemuan bibir kami
Kukalungkan pedang di batang lehernya yang jenjang
Dan air mataku menetes di pipinya yang kemerahan
Sandalnya lembut menginjak butir-butir embun basah
Tiada yang lebih indah daripada sandal kekasih
Apa pun yang terjadi dia telah meninggal dunia
Aku tak kan menangis jika tanah menimbunnya
Aku tak rela jika ada orang lain menikmati keelokannya
Aku tak rela jika pemuda itu selalu memandangnya
Kemudian dia duduk di dekat pembantu laki-lakinya, lalu melantunkan syair lainnya.
Ada pula orang yang sedang jatuh cinta cemburu terhadap kekasihnya karena dirinya.  Ini termasuk cemburu yang aneh.  Sebab dia khawatir dirinya akan menjadi kunci bagi orang lain.  Dikisahkan, bahwa Al-Hasan bin Hani dan Ali bin Abdullah Al-Ja’fary sedang bercengkerama berdua, lalu mereka saling melantunkan syair.  Al-Hasan berkata terlebih dahulu,
Tatkala kutahu dia tiada menaruh hati padaku
cintanya tiada pula tertuju pada diriku
kuharap dia menjatuhkan cintanya kepada selainku
demi kehangatan cinta dan berbalik lagi padaku
Lalu Ali menimpali,
Boleh jadi aku senang kau menghalangiku
karena engkau ingin mendapatkan pencarianmu
karena khawatir aku menjadi kunci bagi orang lain
kalaupun tidak menyendiri aku pun menyukai harapan
Sebagian orang ada yang tidak mau menyebutkan ciri-ciri kekasihnya dan keindahan dirinya, karena hal tersebut bisa memancing orang lain untuk mencintainya, sebagaimana yang dikatakan Ali bin Isa Ar-Rafi’y,
Aku tak kan menyebut-nyebut diri kekasihku
agar tiada memancing hasrat orang yang punya mau
aku tak kan mengusik hati laki-laki lain
menyembunyikan diri wanita bisa memutus hubungan
Banyak orang-orang bodoh yang menyebutkan ciri-ciri isterinya dan kecantikannya kepada laki-laki lain, yang justru mengakibatkan perceraiannya, dan laki-laki lain itu justru menjalin hubungan dengan isterinya.
Puncak (tingkat) kecemburuan yang tertinggi ada 3 (tiga) macam;
1.       1. Kecemburuan hamba karena Rabb-nya, bila hal-hal yang diharamkan-Nya dilanggar, dan hukum-hukum-Nya disia-siakan.
2.       2. Kecemburuan hamba terhadap hatinya sendiri, jika ia menyenangi hal-hal selain Allah dan cenderung kepada selain-Nya.
3.       3. Kecemburuan hamba terhadap kehormatan dirinya, seperti jika ada orang lain yang mengintipnya (melecehkannya).
Cemburu yang dicintai Allah dan Rasul-Nya berkisar pada ketiga jenis cemburu ini.  Sedangkan jenis yang lain, entah berasal dari tipuan syaithan, atau ujian yang datang dari Allah, seperti kecemburuan isteri terhadap suaminya, jika sang suami menikahi wanita lain.
Jika ada yang bertanya;  Lalu, termasuk jenis cemburu yang manakah kecemburuan Fatimah, puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ali, tatkala Ali hendak menikahi puteri Abu Jahl, dan juga kecemburuan Beliau demi Fatimah?  Bisa dijawab sebagai berikut;
Di antara jenis cemburu itu ada yang disukai Allah dan Rasul-Nya.  Beliau telah mengisyaratkan, bahwa Fatimah adalah bagian dari dirinya.  Apa yang menyakiti Fatimah juga menyakiti Beliau, apa yang menggelisahkan Fatimah juga akan menggelisahkan Beliau.  Kedua wanita itu tidak baik jika berkumpul menjadi satu.  Putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak baik jika berkumpul dengan puteri musuh Beliau, sama-sama menjadi isteri satu orang laki-laki.
Ini merupakan bentuk pengingkaran yang tidak bisa dianggap sepele.  Di samping itu, tatkala Beliau menyebut nama besannya yang dikhabari lalu membenarkan Beliau, diberi peringatan lalu memperhatikan Beliau, merupakan bukti bahwa Ali diberi syarat seperti itu tatkala melaksanakan Akad Nikah, entah melalui perkataan atau pun secara tradisi, atau menurut keadaan yang terjadi saat itu.  Syarat itu ialah, dia (Ali) tidak boleh membuat Fatimah menjadi risau dan menyakitinya, tetapi harus menggaulinya dengan cara yang ma’ruf jika Ali menikahi puteri musuh Beliau dan memancing kebencian Fatimah.  Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kecuali jika Ali bin Abu Thalib ingin menceraikan puteriku dan menikahi puteri Abu Jahl.”  (Kisah ini diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy dan yang lainnya).
Syarat menurut tradisi yang berlaku, seperti syarat yang diucapkan lewat kata-kata menurut pendapat sebagian besar fuqaha, fuqaha Madinah Ahmad bin Hambal dan rekan-rekannya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir akan menimbulkan cobaan terhadap agama Fatimah, karena dia harus berkumpul bersama puteri musuh Allah.  Kecemburuan Beliau tidak hanya sekedar ketidak-sukaan, tetapi lebih kepada kehormatan agama.  Beliau telah mengisyaratkan hal ini dengan sabda, “Sesungguhnya aku khawatir akan mendatangkan cobaan bagi agamanya.”
Allah-lah Yang lebih mengetahui mana yang benar.

oOo

(Dinukil dan disadur dari kitab, “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar