بسم الله
الر حمان الر حيم
Qunut subuh yang dimaksud di sini adalah, doa qunut yang
dilakukan terus-menerus setiap pelaksaan shalat subuh, dengan lafazh … اللهم اهدني فيمن هديت / “Allahumma ahdinii fii man hadayit” …dan
seterusnya.
Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Sebagian ulama madzhab Syafi’i dan
Maliki berpendapat disyariatkannya qunut subuh.
Sementara itu, ulama Dari madzhab yang lain berpendapat bahwa qunut
subuh tersebut tidak disyariatkan.
Mereka yang berpendapat disyariatkannya qunut tersebut
berdalil dengan beberapa riwayat, yang paling inti adalah hadits berikut
(artinya),
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melakukan qunut pada shalat subuh
sampai berpisah dengan dunia.”
Untuk
mengetahui manakah dari dua pendapat ini yang paling kuat, tentu kita harus
mempelajari, menguji derajat hadits ini, apakah shahih atau dha’if.
Beberapa ulama (ahli hadits), seperti Az-Zaila’i, Ibnu
Hajar, dan Asy-Syaikh Al-Albani telah membahasnya dalam kitab-kitab takhrij
mereka. Demikian pula Al-Imam
Ibnu Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad.
Berikut rangkuman pembahasan mereka;
Hadits ini diriwayatkan melalui jalan Abu Ja’far Ar-Razi,
dari Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu.
Rabi’ rahimahullah bercerita, “Aku duduk di
samping Anas bin Malik. Ada yang mengatakan kepada Beliau,
‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama satu
bulan.’ Beliau pun menyebutkan (hadits)
seperti yang disebutkan di atas.”
Sekarang, mari kita pelajari sanad hadits ini;
1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Beliau adalah seorang Sahabat yang
terkenal, termasuk salah seorang Sahabat yang meriwayatkan banyak hadits.
2. Rabi’ bin Anas rahimahullah.
Beliau adalah seorang Tabi’in. Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya, Taqribut
Tahdzib, “Shaduq lahu auham” (Jujur, namun memiliki
kekeliruan-kekeliruan).
3. Abu Ja’far Ar-Razi
Namanya adalah, Isa bin Abi Isa Abdullah
bin Mahan. Ibnu Hajar menilainya, “Shaduq
sayyi’ul hifzh” (Jujur, tetapi
hapalannya lemah), terkhusus bila meriwayatkan dari Mughirah.” (Taqrib at-Tahdzib 8077)
Adz-Dzahabi rahimahullah menukilkan
penilaian Abu Zur’ah rahimahullah terhadap Abu Ja’far Ar-Razi; “Yahimu Katsiran” (sering keliru). Adapun penilaian An-Nasa’i terhadapnya, “Laisa
bil Qawi” (tidak kuat betul). Sementara itu Abu Hatim rahimahullah
menganggapnya tsiqah (terpercaya).
(Al-Kasyif 6563)
Alhasil, para ulama ahli hadits dalam
bidang Jarh wa Ta’dil (kritikan dan pujian) berbeda pendapat tentang
keadaannya. Nukilan penilaian para ulama
terhadapnya bisa dilihat dalam kitab Tahdzibut Tahdzib pada Biografi
beliau.
Bisa disimpulkan, bahwa di antara mereka
ada yang menyebutnya sebagai tsiqah, shaduq, ada kelemahan,
melakukan kekeliruan, buruk hafalannya, tidak kuat, dan yang seputar itu. Maknanya, ada sisi kebaikan pada kepribadian
dan keagamaannya, serta punya kemampuan dalam hafalan, namun bukan pada
derajat orang-orang yang tsiqah (terpercaya) atau shaduq
(jujur) secara mutlak. Ini terbukti
dengan adanya kekeliruan-kekeliruannya ketika meriwayatkan (hadits). Kesimpulan perawi yang seperti ini diambil
bila dia meriwayatkan sesuatu tanpa ada dukungan, riwayatnya tertolak. Seperti yang dikatakan Ibnu Hibban rahimahullah,
“Dia bersendiri dalam meriwayatkan dari orang-orang yang terkenal dengan sesuatu
yang diingkari oleh para ulama. Tidak
mengagumkan saya untuk berhujjah dengan haditsnya, kecuali apabila
sesuai dengan hadits orang-orang yang tsiqah. Riwayatnya tidak boleh dianggap, kecuali yang
tidak menyelisihi para perawi yang tsiqah.” (Al-Majruhin 2/120)
Dengan demikian, kita tidak boleh menyatakan haditsnya shahih,
kecuali bila sesuai dengan riwayat para
perawi lain yang tsiqah, atau didukung oleh para perawi lain yang tsiqah.
Dalam kasus ini, keduanya tidak ditemukan.
Dukungan dari perawi lain, yang
diistilahkan dengan mutaba’ah dan syawahid, tidak terwujud
sebagaimana telah dikaji oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya, At-Talkhisul Habir, dan Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Silsilah Adh-Dha’ifah.
Demikian pula kesesuaiannya dengan hadits tsiqah yang lain juga
tidak terwujud, justru yang terjadi adalah bertentangan dengan hadits-hadits
lain yang shahih. Diantaranya;
Pertama; Hadits dari Sahabat Anas Radhiyallahu
‘Anhu sendiri (artinya),
“Selama satu bulan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
qunut setelah ruku’, mendoakan kecelakaan bagi beberapa kabilah.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
“Lalu, Beliau tidak melakukannya lagi.”, dan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan
qunut, kecuali ketika mendoakan kebaikan atau keburukan atas suatu kaum.” (HR.
Al-Khatib Al-Baghdadi)
Kedua: Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (artinya),
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut pada shalat subuh, kecuali ketika mendoakan
kebaikan atau kejelekan atas suatu kaum.”
(HR. Ibnu Hibban)
Sanad kedua hadits tersebut dinyatakan shahih
oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, dan penulis kitab At-Tanqih,
Ibnu Abdil Hadi rahimahullah.
Dengan demikian hadits yang kita bahas di atas memiliki sisi
kelemahan, dan bertentangan dengan kandungan hadits yang shahih. Dalam ilmu Musthalah Hadits, hadits
yang semacam ini disebut Hadits Munkar.
Di antara ulama yang menghukumi lemahnya hadits
ini, adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah. Beliau adalah salah seorang ahli hadits dari madzhab
Syafi'i. Beliau’mengatakan dalam
kitabnya, At-Talkishul Habir (hadits no. 370), “Riwayat-riwayat hadits berbeda-beda
dalam periwayatannya, dari Sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu dan setelahnya goncang. Maka dari itu, hujjah tidak tegak
dengan hadits yang semacam ini.”
Sebelumnya, Ibnul Jauzy rahimahullah
juga melemahkannya dalam
kitab, At-Tahqiq, dan Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah.
Demikian pula Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini munkar dalam kitab, Silsilah
Al-Hadits Adh-Dha’ifah (no. 1238).
Setelah kita mengetahui kedudukan hadits di
atas, kita bahkan mendapati adanya pengingkaran dari sebagian Sahabat terhadap
qunut subuh. Dalam kitab, Bulughul
Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani menyampaikan hadits berikut (artinya),
“Dari Sa’d bin Thariq Al-Asyja’i, ia mengatakan, ‘Aku
bertanya kepada ayahku, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah shalat di
belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhuma.
Apakah mereka melakukan qunut pada shalat subuh?’ Dia menjawab, ‘Wahai anakku, itu sesuatu yang
baru.’ (HR. Al-Khamsah selain Abu Daud, dan dinyatakan shahih
oleh Syaikh Al-Albani)
Dalam kitab, Ithaful Kiram (hal.
90), sebuah syarah ringkas terhadap Bulughul Maram, disebutkan,
“Maksudnya adalah bid’ah, sesuatu yang diada-adakan, dan tidak
ada di zaman mereka (para Sahabat, pen.).
Yang ada adalah Qunut Nazilah yang terkadang dilakukan, dan tidak
pula terus menerus.”
Tinjauan Makna Qunut
Apabila ditinjau dari sisi makna, hadits
Anas radhiyallahu ‘anhu tentang qunut subuh di atas juga tidak secara
tegas menunjukkan disyariatkannya pelaksanaan qunut subuh dengan doa seperti
yang lazim dilakukan saat ini oleh orang-orang.
Sebab, dalam riwayat tersebut tidak disebutkan demikian.
Dari manakah diperoleh keterangan, bahwa
maksud dari qunut tersebut adalah doa seperti yang dilakukan oleh orang-orang? Doa yang biasa dibaca tersebut justru merupakan
doa qunut witir yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada cucu Beliau, Al-Hasan radhiyallahu ‘Anhu, bukanlah doa qunut
subuh. Riwayat berikut ini
menjelaskannya;
“Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, ‘Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang aku baca
dalam shalat witir, - Ibnu Jawwas megatakan, ‘Dalam qunut witir.’,
‘Allahummah-dina fiiman hadait …’ dst.” (Shahih, HR. Abu Daud, At-Tirmidzi,
An-Nassa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimi, dan Ibnu Hibban, diriwayatkan shahih
oleh Syaikh Al-Albani)
Demikian pula kata qunut dalam ungkapan
ayat ataupun hadits, terkadang memiliki makna lain selain dari makna doa, yaitu; Taat, berdiri, khusyuk,
diam, selalu dalam ibadah, dan tasbih.
Makna-makna tersebut bisa dikaji dalam
ayat-ayat berikut ini, Ar-Rum; 26,
Az-Zumar; 9, At-Tahrim;
12, Al-Baqarah; 328,
An-Nahl; 16, Al-Ahzab; 31, dan Ali Imran; 43.
Selain itu, makna tersebut juga terdapat dalam hadits,
افضل
الصلاة طول القنوت / “Afdhalu
ash-shalaati thuulu al-qunuuti”
“Sebaik-baik shalat adalah qunut yang
panjang.” (Shahih, HR. Muslim)
Maksudnya yang lama berdirinya.
Inilah makna berdasarkan kesepakatan ulama, sebagaimana kata An-Nawawi rahimahullah
dalam Syarah Shahih Muslim, (lihat Nashbur Rayah, 2/132, dan Zadul
Ma’ad, 1/267-268)
Dengan demikian, boleh jadi makna hadits di
atas - apabila dikatakan shahih – ialah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tetap melakukan qunut, yakni berdiri lama dalam shalat
subuh hingga Beliau meninggal dunia. Sebab,
memang shalat subuh yang Beliau lakukan selalu panjang / lama. Ayat yang Beliau baca sekitar 60 – 100 ayat.
Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan
(Zaadul Ma’ad, 1/262), “Di antara hal yang sangat diketahui, seandainya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut setiap subuh
dan berdoa dengan doa ini (Allahummah diina fiiman hadait…) serta para Sahabat mengaminkannya, tentunya
penukilan ummat pada perbuatan tersebut semuanya akan sama dengan penukilan
mereka dalam hal mengeraskan bacaan dalam shalat.”
Beliau (Ibnu Qayyim) juga mengatakan, “Selalu
melakukan qunut pada setiap shalat subuh bukan merupakan petunjuk Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Termasuk hal yang
mustahil, apabila setiap subuh setelah i’tidal dari ruku’ Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca, ‘Allahummah diina fiiman
hadait… dst.’ Dan mengeraskan
suaranya, lantas para Sahabat selalu mengaminkannya sampai Beliau meninggal,
kemudian hal tersebut kurang diketahui oleh ummat, lalu mayoritas ummatnya
tidak melakukannya, demikian pula mayoritas para Sahabat, bahkan semuanya. Justru sebagian Sahabat menyebutnya
sebagai bid’ah, seperti yang dikatakan oleh Sa’ad bin Thariq Al-Asyja’i
(dari ayahnya).” (Zaadul Ma’ad,
1/262-263, bisa dilihat pembahasannya secara luas pada kitab tersebut).
Telah difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah kepada kita
semua dan kaum muslimin, agar semakin menyesuaikan cara beribadah kita dengan
cara beribadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allahu’alam.
oOo
(Dikutip dari, Jawaban Al-Ustadz
Qomar Suaidi, pada kolom Problem Anda, Majalah Asy-Syariah, vol.
VIII/No. 88/1433 H/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar