Sabtu, 10 Agustus 2019

HUKUM QUNUT SUBUH



بسم الله الر حمان الر حيم

Qunut subuh yang dimaksud di sini adalah, doa qunut yang dilakukan terus-menerus setiap pelaksaan shalat subuh, dengan lafazh … اللهم اهدني فيمن هديت    / “Allahumma ahdinii fii man hadayit” …dan seterusnya.

Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini.  Sebagian ulama madzhab Syafi’i dan Maliki berpendapat disyariatkannya qunut subuh.  Sementara itu, ulama Dari madzhab yang lain berpendapat bahwa qunut subuh tersebut tidak disyariatkan.
Mereka yang berpendapat disyariatkannya qunut tersebut berdalil dengan beberapa riwayat, yang paling inti adalah hadits berikut (artinya),
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melakukan qunut pada shalat subuh sampai berpisah dengan dunia.”
Untuk mengetahui manakah dari dua pendapat ini yang paling kuat, tentu kita harus mempelajari, menguji derajat hadits ini, apakah shahih atau dha’if.
Beberapa ulama (ahli hadits), seperti Az-Zaila’i, Ibnu Hajar, dan Asy-Syaikh Al-Albani telah membahasnya dalam kitab-kitab takhrij mereka.  Demikian pula Al-Imam Ibnu Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad.
Berikut rangkuman pembahasan mereka;
Hadits ini diriwayatkan melalui jalan Abu Ja’far Ar-Razi, dari Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Rabi’ rahimahullah bercerita, “Aku duduk di samping  Anas bin Malik.  Ada yang mengatakan kepada Beliau, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama satu bulan.’  Beliau pun menyebutkan (hadits) seperti yang disebutkan di atas.”
Sekarang, mari kita pelajari sanad hadits ini;
1.       Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Beliau adalah seorang Sahabat yang terkenal, termasuk salah seorang Sahabat yang meriwayatkan banyak hadits.
2.       Rabi’ bin Anas rahimahullah.
Beliau adalah seorang Tabi’in.  Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya, Taqribut Tahdzib, “Shaduq lahu auham”  (Jujur, namun memiliki kekeliruan-kekeliruan).
3.       Abu Ja’far Ar-Razi
Namanya adalah, Isa bin Abi Isa Abdullah bin Mahan.  Ibnu Hajar menilainya, “Shaduq sayyi’ul hifzh”  (Jujur, tetapi hapalannya lemah), terkhusus bila meriwayatkan dari Mughirah.”  (Taqrib at-Tahdzib 8077)
Adz-Dzahabi rahimahullah menukilkan penilaian Abu Zur’ah rahimahullah terhadap Abu Ja’far Ar-Razi;  “Yahimu Katsiran”  (sering keliru).  Adapun penilaian An-Nasa’i terhadapnya, “Laisa bil Qawi”  (tidak kuat betul).  Sementara itu Abu Hatim rahimahullah menganggapnya  tsiqah (terpercaya).
(Al-Kasyif 6563)
Alhasil, para ulama ahli hadits dalam bidang Jarh wa Ta’dil (kritikan dan pujian) berbeda pendapat tentang keadaannya.  Nukilan penilaian para ulama terhadapnya bisa dilihat dalam kitab Tahdzibut Tahdzib pada Biografi beliau.
Bisa disimpulkan, bahwa di antara mereka ada yang menyebutnya sebagai tsiqah, shaduq, ada kelemahan, melakukan kekeliruan, buruk hafalannya, tidak kuat, dan yang seputar itu.  Maknanya, ada sisi kebaikan pada kepribadian dan keagamaannya, serta punya kemampuan dalam hafalan, namun bukan pada derajat orang-orang yang tsiqah (terpercaya) atau shaduq (jujur) secara mutlak.  Ini terbukti dengan adanya kekeliruan-kekeliruannya ketika meriwayatkan (hadits).  Kesimpulan perawi yang seperti ini diambil bila dia meriwayatkan sesuatu tanpa ada dukungan, riwayatnya tertolak.  Seperti yang dikatakan Ibnu Hibban rahimahullah, “Dia bersendiri dalam meriwayatkan dari orang-orang yang terkenal dengan sesuatu yang diingkari oleh para ulama.  Tidak mengagumkan saya untuk berhujjah dengan haditsnya, kecuali apabila sesuai dengan hadits orang-orang yang tsiqah.  Riwayatnya tidak boleh dianggap, kecuali yang tidak menyelisihi para perawi yang tsiqah.”  (Al-Majruhin 2/120)
Dengan demikian, kita tidak boleh menyatakan haditsnya shahih, kecuali bila sesuai dengan riwayat para perawi lain yang tsiqah, atau didukung oleh para perawi lain yang tsiqah.  Dalam kasus ini, keduanya tidak ditemukan.
Dukungan dari perawi lain, yang diistilahkan dengan mutaba’ah dan syawahid, tidak terwujud sebagaimana telah dikaji oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya, At-Talkhisul  Habir, dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah.  Demikian pula kesesuaiannya dengan hadits tsiqah yang lain juga tidak terwujud, justru yang terjadi adalah bertentangan dengan hadits-hadits lain yang shahih. Diantaranya;
Pertama;  Hadits dari Sahabat Anas Radhiyallahu ‘Anhu sendiri (artinya),
“Selama satu bulan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut setelah ruku’, mendoakan kecelakaan bagi beberapa kabilah.”  (Muttafaqun ‘alaihi).
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “Lalu, Beliau tidak melakukannya lagi.”, dan     “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut, kecuali ketika mendoakan kebaikan atau keburukan atas suatu kaum.”  (HR.  Al-Khatib Al-Baghdadi)
Kedua:   Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (artinya),
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut pada shalat subuh, kecuali ketika mendoakan kebaikan atau kejelekan atas suatu kaum.”  (HR.  Ibnu Hibban)
Sanad kedua hadits tersebut dinyatakan shahih oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, dan penulis kitab At-Tanqih, Ibnu Abdil Hadi rahimahullah.
Dengan demikian hadits yang kita bahas di atas memiliki sisi kelemahan, dan bertentangan dengan kandungan hadits yang shahih.  Dalam ilmu Musthalah Hadits, hadits yang semacam ini disebut Hadits Munkar.
Di antara ulama yang menghukumi lemahnya hadits ini, adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah.  Beliau adalah salah seorang ahli hadits dari madzhab Syafi'i.  Beliau’mengatakan dalam kitabnya, At-Talkishul Habir (hadits no. 370), “Riwayat-riwayat hadits berbeda-beda dalam periwayatannya, dari Sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu  dan setelahnya goncang.  Maka dari itu, hujjah tidak tegak dengan hadits yang semacam ini.”
Sebelumnya, Ibnul Jauzy rahimahullah  juga melemahkannya dalam kitab, At-Tahqiq, dan Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah.
Demikian pula Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini munkar dalam kitab, Silsilah Al-Hadits Adh-Dha’ifah (no. 1238).
Setelah kita mengetahui kedudukan hadits di atas, kita bahkan mendapati adanya pengingkaran dari sebagian Sahabat terhadap qunut subuh.  Dalam kitab, Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani menyampaikan hadits berikut (artinya),
“Dari Sa’d bin Thariq Al-Asyja’i, ia mengatakan, ‘Aku bertanya kepada ayahku, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhuma.  Apakah mereka melakukan qunut pada shalat subuh?’  Dia menjawab, ‘Wahai anakku, itu sesuatu yang baru.’  (HR.  Al-Khamsah selain Abu Daud, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Dalam kitab, Ithaful Kiram (hal. 90), sebuah syarah ringkas terhadap Bulughul Maram, disebutkan, “Maksudnya adalah bid’ah, sesuatu yang diada-adakan, dan tidak ada di zaman mereka (para Sahabat, pen.).  Yang ada adalah Qunut Nazilah yang terkadang dilakukan, dan tidak pula terus menerus.”

Tinjauan Makna Qunut
Apabila ditinjau dari sisi makna, hadits Anas radhiyallahu ‘anhu tentang qunut subuh di atas juga tidak secara tegas menunjukkan disyariatkannya pelaksanaan qunut subuh dengan doa seperti yang lazim dilakukan saat ini oleh orang-orang.  Sebab, dalam riwayat tersebut tidak disebutkan demikian.
Dari manakah diperoleh keterangan, bahwa maksud dari qunut tersebut adalah doa seperti yang dilakukan oleh orang-orang?  Doa yang biasa dibaca tersebut justru merupakan doa qunut witir yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada cucu Beliau, Al-Hasan radhiyallahu ‘Anhu, bukanlah doa qunut subuh.  Riwayat berikut ini menjelaskannya;
“Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang aku baca dalam shalat witir, - Ibnu Jawwas megatakan, ‘Dalam qunut witir.’, ‘Allahummah-dina fiiman hadait …’ dst.”  (Shahih, HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nassa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimi, dan Ibnu Hibban, diriwayatkan shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Demikian pula kata qunut dalam ungkapan ayat ataupun hadits, terkadang memiliki makna lain selain dari makna doa, yaitu; Taat, berdiri, khusyuk, diam, selalu dalam ibadah, dan tasbih.
Makna-makna tersebut bisa dikaji dalam ayat-ayat berikut ini, Ar-Rum;  26, Az-Zumar;  9,  At-Tahrim;  12, Al-Baqarah;  328, An-Nahl;  16, Al-Ahzab;  31, dan Ali Imran;  43.  Selain itu, makna tersebut juga terdapat dalam hadits,
افضل الصلاة طول القنوت   /  “Afdhalu ash-shalaati thuulu al-qunuuti”
“Sebaik-baik shalat adalah qunut yang panjang.”  (Shahih, HR. Muslim)
Maksudnya yang lama berdirinya. Inilah makna berdasarkan kesepakatan ulama, sebagaimana kata An-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim, (lihat Nashbur Rayah, 2/132, dan Zadul Ma’ad, 1/267-268)
Dengan demikian, boleh jadi makna hadits di atas - apabila dikatakan shahih – ialah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melakukan qunut, yakni berdiri lama dalam shalat subuh hingga Beliau meninggal dunia.  Sebab, memang shalat subuh yang Beliau lakukan selalu panjang / lama.  Ayat yang Beliau baca sekitar 60 – 100 ayat.
Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan (Zaadul Ma’ad, 1/262), “Di antara hal yang sangat diketahui, seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut setiap subuh dan berdoa dengan doa ini (Allahummah diina fiiman hadait…)  serta para Sahabat mengaminkannya, tentunya penukilan ummat pada perbuatan tersebut semuanya akan sama dengan penukilan mereka dalam hal mengeraskan bacaan dalam shalat.”
Beliau (Ibnu Qayyim) juga mengatakan, “Selalu melakukan qunut pada setiap shalat subuh bukan merupakan petunjuk Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Termasuk hal yang mustahil, apabila setiap subuh setelah i’tidal dari ruku’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca, ‘Allahummah diina fiiman hadait… dst.’  Dan mengeraskan suaranya, lantas para Sahabat selalu mengaminkannya sampai Beliau meninggal, kemudian hal tersebut kurang diketahui oleh ummat, lalu mayoritas ummatnya tidak melakukannya, demikian pula mayoritas para Sahabat, bahkan semuanya.  Justru sebagian Sahabat menyebutnya sebagai bid’ah, seperti yang dikatakan oleh Sa’ad bin Thariq Al-Asyja’i (dari ayahnya).”  (Zaadul Ma’ad, 1/262-263, bisa dilihat pembahasannya secara luas pada kitab tersebut).
Telah difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah kepada kita semua dan kaum muslimin, agar semakin menyesuaikan cara beribadah kita dengan cara beribadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allahu’alam.

oOo
(Dikutip dari, Jawaban Al-Ustadz Qomar Suaidi, pada kolom Problem Anda, Majalah Asy-Syariah, vol. VIII/No. 88/1433 H/2012)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar