بسم الله
الر حمان الر حيم
Al-Imam Asy-Syafi’i pernah ditanya, “Manakah
yang lebih baik bagi seseorang, apakah dia mendapat kemenangan ataukah
diuji?” Maka, beliau menjawab,
“Seseorang tidak akan mendapatkan kemenangan kecuali setelah diuji. Allah menguji (Rasul-Rasul) Ulul Azmi,
dan ketika mereka sabar, maka kemenangan pun datang dengan sendirinya. Maka, tidak selayaknya seseorang ingin aman
dari penderitaan (ujian di dunia) sama sekali. Hanya saja, ada perbedaan di kalangan manusia
dalam memahami, antara siksaan dengan penderitaan (ujian di dunia).
Yang
paling pintar di antara mereka, adalah orang yang menjual (“menukar") siksaan yang kekal dan besar (di Akhirat) dengan penderitaan yang ringan
dan sementara (di Dunia). Sedangkan yang
paling menderita (bodoh) di antara mereka, adalah orang yang menjual ("menukar")
penderitaan yang ringan dan sementara (di Dunia ini) dengan siksaan yang
lebih besar dan kekal (di Akhirat).”
Jihad merupakan puncak tataran Islam, dimana para pelakunya
akan menempati tingkatan yang paling tinggi di Surga, sebagaimana mereka juga
mendapatkan derajat yang mulia di dunia.
Rasulullah shallallahu ‘aliahi wa sallam adalah
manusia yang paling tinggi derajatnya dalam masalah jihad ini, sekaligus
menguasai seluk-beluknya. Beliau
berjihad karena Allah dengan sepenuh hati, jiwa dan raga, dengan pedang dan
tombak, dengan dakwah dan keterangan (Ilmu).
Seluruh waktu Beliau tercurah untuk jihad. Karena itu Beliau mendapatkan kedudukan yang
paling tinggi di sisi Allah di antara ribuan Nabi dan Rasul yang pernah diutus,
dan paling banyak diingat manusia dalam masalah ini. Allah memerintahkan berjihad kepada Beliau
semenjak diutus menjadi Rasul,
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan
berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur`an dengan jihad yang benar.”
(QS. Al-Furqan; 53)
Jihad melawan hawa nafsu yang ada pada diri sendiri
adalah hal pertama yang harus dilakukan orang yang berjihad, baru kemudian
musuh yang ada di luar dirinya.
Inilah dua jenis musuh yang harus dilawan hamba, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Mujahid, ialah orang yang berjihad melawan nafsunya
karena Dzat Allah.” (Diriwayatkan
Ahmad)
Di antara kedua musuh itu, ada musuh yang ketiga
(Syaithan). Jihad melawan hawa nafsu
tidak mungkin bisa dilakukan kecuali dengan memerangi musuh yang ketiga ini
terlebih dahulu, yang akan menghambatnya untuk memerangi kedua musuh
sebelumnya. Seperti makna firman-Nya,
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kalian,
maka anggaplah ia musuh (kalian).”
(QS. Fathir; 6)
Perintah untuk menjadikan syaithan sebagai musuh
merupakan peringatan tentang keleluasaan permusuhannya, yang seakan tak pernah
berhenti selagi nafas masih di kandung badan.
Jadi, inilah tiga musuh yang harus dimusuhi hamba, dan musuh itu pun
diberi kekuasaan, sekaligus sebagai ujian dari Allah. Di balik itu, Allah juga memberikan kekuatan
dan bekal persiapan, senjata, dan bala bantuan, serta pertolongan dalam jihad
ini kepada hamba, sebagaimana yang diberikan kepada musuh, yang satu menyerang
dan menguji pihak yang lain, sebagaimana makna firman-Nya,
“Demikianlah jika Allah menghendaki, niscaya Allah
akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kalian dengan
sebagian yang lain.” (Muhammad; 4), dan
“Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian
yang lain. Maukah kalian bersabar?”
(QS. Al-Furqan; 20)
Allah
mengabarkan, bahwa jika mereka mengikuti perintah-perintah-Nya, maka mereka
akan mendapatkan pertolongan dalam memerangi musuh. Allah juga mengabarkan, bahwa kalaupun musuh
itu menguasai mereka, maka hal itu disebabkan karena mereka meninggalkan
sebagian yang diperintahkan, dan kedurhakaan terhadap-Nya (melanggar yang
dilarang). Tetapi Allah tidak
membuat mereka berputus asa, dan memerintahkan agar mereka tetap tegar dalam
menghadapinya, mengobati luka-luka mereka
– untuk kemudian bangkit lagi. Allah
juga mengabarkan, bahwa Dia beserta orang-orang yang bertakwa, berbuat
kebajikan, bersabar, dan orang-orang yang beriman. Allah membela orang-orang mukmin dengan cara
yang mereka pun tak mampu melakukannya, sehingga dengan pembelaan itu mereka
dapat mengalahkan musuh. Sekiranya tidak
ada pembelaan itu, tentulah mereka akan dilibas oleh musuh-musuhnya. Pembelaan itu tergantung dari kadar keimanan yang ada di dalam dada
mereka. Jika imannya kuat, maka akan
kuat pula pembelaan Allah. Maka, barangsiapa
yang mendapatkan kebaikan setelah itu, hendaklah ia memuji Allah Subhanahu
wa Ta’ala, dan siapa yang mendapatkan kebalikannya hendaklah dia tidak
mencela kecuali diri sendiri.
Allah memerintahkan agar mereka berjihad dengan
sebenar-benar jihad, sebagaimana Dia memerintahkan agar mereka bertakwa
kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Gambaran
takwa yang sebenar-benarnya ini, ialah taat kepada Allah dan tidak
mendurhakai-Nya, mengingat Allah dan tidak melalaikan-Nya, bersyukur kepada
Allah dan tidak mengkufuri-Nya. Sedangkan gambaran jihad yang
sebenar-benarnya - ialah berjihad melawan hawa nafsunya, agar hati, lidah dan
anggota tubuhnya bisa selamat, hingga semuanya menjadi milik Allah, dan berasal
dari Allah, bukan dari dirinya dan untuk dirinya. Di samping itu, dia juga harus memerangi
syaithan , dengan cara mendustakan janji syaithan, menyalahi perintah
syaithan, dan melaksanakan larangan syaithan.
Sebab syaithan itu hanya menjanjikan angan-angan, melancarkan tipu-daya,
menakut-nakuti hamba dengan kemiskinan, menyuruh pada kekejian, melarang dari
taqwa dan petunjuk, sabar, dan iman.
Dengan dua jihad ini (memerangi hawa nafsu dan syaithan), akan muncul
suatu kekuatan dan kekuasaan serta bekal untuk melawan musuh dengan kekuatan
hati, lisan, dan anggota tubuhnya, agar kalimat Allah-lah yang paling tinggi.
Para Salaf berbeda pendapat dalam mengungkapkan
hakikat jihad ini. Ibnu Abbas
berkata, “Artinya memusatkan kekuatan karena Allah, dan tidak takut terhadap
celaan orang yang suka mencela, demi urusan Allah.”
Muqatil berkata, “Artinya, beramallah kalian karena Allah
dengan sebenar-benarnya amal, dan beribadahlah kepada-Nya dengan
sebenar-benarnya ibadah.”
Ibnul-Mubarak berkata, “Artinya berjihad melawan hawa
nafsu.”
Tidaklah benar pendapat orang yang mengatakan, bahwa kedua
hal ini (berjihad dan bertakwa dengan sebenar-benarnya) akan terhapus ("gugur"), hanya
karena dia beranggapan bahwa di dalamnya terkandung perintah yang tidak mungkin
dilaksanakan semua orang. Karena
kemampuan setiap manusia berbeda-beda, tergantung dari kondisi dan kapasitas
masing-masing baik dari sisi ilmu, kelemahan, dan kebodohannya. Perhatikanlah bagaimana kelanjutan makna ayat
ini,
“Dia (Allah) telah memilih kalian, dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.”
(QS. Al-Hajj; 78)
Akan tetapi sebaliknya, Allah menjadikan agama ini luas dan
lapang bagi setiap orang, sebagaimana rezki-Nya yang meliputi setiap makhluk di
permukaan bumi. Allah membebankan kepada
hamba menurut kesanggupannya, menganugerahkan rezki menurut kesanggupannya,
sama sekali tidak menjadikan kesempitan dalam agama.
Allah telah melapangkan terhadap hamba dalam agama-Nya,
rezki, ampunan, taubat, dan maghfirah-Nya.
Selagi ruh masih dikandung badan, Dia tetap membuka pintu taubat dan
tidak menutupnya hingga matahari terbit dari ufuk Barat. Allah menjadikan setiap keburukan memilki tebusannya, seperti taubat,
shadaqah, kebaikan yang memang bisa menghapus keburukan tersebut, termasuk juga
musibah yang menimpa hamba. Bahkan,
Allah mengganti setiap hal yang diharamkan dengan sesuatu yang jauh lebih
bermanfaat, lebih bagus, dan lebih nikmat.
Mengganti setiap kesulitan yang jadi cobaan dengan adanya kemudahan
setelah itu. Maka, bagaimana mungkin
Allah akan membebani mereka dengan sesuatu di luar kemampuan dan
kesanggupannya?
Jika semua ini telah dipahami, maka dapat disimpulkan,
bahwa jihad itu memiliki 4 (empat) tingkatan;
1. 1. Jihad melawan Hawa Nafsu, yang terdiri dari empat
tingkat pula;
a.
Mememerangi hawa nafsu
dengan cara mempelajari petunjuk dan
agama yang benar (lurus), yang tidak ada keberuntungan dan kebahagiaan di dunia maupun
di Akhirat kecuali dengan ilmu ini. Karena umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah terpecah menjadi 73 golongan. Hanya satu golongan yang selamat, yang mengikuti Manhaj (metode beragama) para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta dua generasi terbaik setelahnya (Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in), sedangkan sisanya (72 golongan) diancam dengan Neraka.
b.
Berjihad melawan hawa
nafsu dengan beramal setelah memiliki ilmu. Sebab, jika jihad ini hanya dengan ilmu tanpa
amal, bisa membahayakan diri sendiri, sekurang-kurangnya tidak memberi manfaat. Demikian pula sebaliknya, jika beramal (berjihad) tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan akan jauh lebih banyak (besar) daripada perbaikan yang dicita-citakan semula. Perhatikanlah berbagai kerusakan yang terjadi di beberapa negara, bahkan dunia secara keseluruhan.
c.
Berjihad melawan hawa nafsu
dengan mengajak kepada pendalaman ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain
yang belum mengetahui. Jika tidak,
maka dia termasuk ke dalam orang-orang yang menyembunyikan ilmu yang diturunkan
Allah, sehingga ilmu itu tidak memberi manfaat baginya, dan tidak mampu
menyelamatkannya dari siksa Allah, karena ilmu itu akan menjadi hujjah yang menjatuhkan dirinya kelak di Yaumal Qiyamah.
d.
Berjihad dengan
memerangi hawa nafsu dengan cara bersabar menghadapi kesulitan dakwah kepada
Allah dari gangguan manusia.
Jika empat tingkatan ini
menjadi sempurna pada diri seseorang, maka dia termasuk golongan Rabbaniyyin. Para Salaf telah sepakat, bahwa orang yang berilmu
tidak berhak disebut Rabbaniy, hingga ia mengetahui kebenaran dan
mengamalkannya.
2.
2. Jihad melawan
Syaithan, yang terdiri dari dua tingkatan;
a.
Berjihad melawan
syaithan dengan cara menolak apa-apa yang disusupkannya ke dalam diri (hati) hamba,
seperti, syirik, khurafat (tahayul), bid'ah (penyimpangan dalam Aqidah dan, atau Amal), syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran), keragu-raguan yang akan menodai iman, seperti mencampur adukkan antara kebenaran dengan kebathilan sehingga mengaburkan nilai-nilai kebenaran tersebut.
b.
Berjihad melawan syaithan
dengan menolak keinginan-keinginan yang rusak, dan syahwat.
Jihad yang pertama (Jihad melawan Hawa Nafsu), dengan segala rinciannya akan menghasilkan keyakinan,
sedangkan jihad yang kedua (Jihad melawan Syaithan) menghasilkan kesabaran. Allah berfirman (artinya),
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan, mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah; 24)
Allah mengabarkan, bahwa kepemimpinan dalam agama hanya
bisa diraih dengan kesabaran dan keyakinan.
Sabar menolak
syahwat dan kehendak yang rusak, sedangkan keyakinan akan menolak keragu-raguan dan syubhat (kebathilan yang berkedok kebenaran).
3.
3. Jihad melawan
orang-orang kafir.
4. 4.
Jihad melawan
orang-orang munafik.
Kedua jihad terakhir ini
(melawan orang-orang kafir dan munafik) memiliki empat tingkatan pula;
·
* Memerangi dengan hati.
·
* Memerangi dengan lisan.
·
* Memerangi dengan harta, dan
·
* Memerangi dengan jiwa.
Jihad memerangi orang-orang
kafir lebih khusus menggunakan tangan, sedangkan meghadapi orang-orang munafik
lebih khusus menggunakan lisan.
Sedangkan jihad melawan
orang-orang yang zhalim, ahli bid’ah, dan para pelaku kemungkaran
terdiri dari tiga tingkatan;
·
a. Menggunakan tangan
jika memungkinkan dan mampu (memiliki kekuasaan).
·
b. Jika tidak, menggunakan lisan.
·
c. Jika tidak mampu lagi,
menggunakan hati.
Jadi, inilah 13 (tigabelas) tingkatan jihad. Barangsiapa yang mati, sementara dia tidak pernah berperang
serta tidak membisiki hatinya (berniat) untuk berperang, maka dia mati pada
sebagian cabang kemunafikan (Makna Al-Hadits).
Jihad belum dianggap sempurna - kecuali dengan
hijrah. Sementara, tidak ada jihad dan
hijrah – kecuali dengan iman. Orang-orang
yang mengharapkan rahmat Allah adalah orang-orang yang melaksanakan ketiga
perkara ini (Iman, Jihad, dan Hijrah).
Seperti makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah,
mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Baqarah; 218)
Hamba yang paling sempurna di sisi Allah, adalah yang
menyempurnakan semua tingkatan jihad ini.
Tentu saja manusia berbeda-beda kedudukannya di sisi Allah, tergantung
pada perbedaan tingkatan jihadnya.
Karena itu, orang yang paling sempurna dan paling mulia di sisi Allah
adalah para Nabi dan Rasul, dan puncaknya ditempati oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau sanggup menyempurnakan
semua tingkatan jihad ini, dan Beliau diperintahkan untuk berjihad sejak diutus
sebagai Rasul – hingga sampai Beliau meninggal dunia.
Awal perintah jihad ini setelah turun ayat kepada Beliau
(artinya),
“Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah
peringatan, dan Rabb-mu Agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah.”
(QS. Al-Muddatsir; 1-4)
Beliau menyingsingkan lengan baju untuk berdakwah,
melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, menyeru kepada Allah siang dan malam,
baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, ketika turun ayat
(artinya),
“Maka, sampaikan olehmu secara terang-terangan segala
apa yang diperintahkan (kepadamu).”
(QS. Al-Hijr; 94)
Semenjak itu, Beliau menyampaikan secara terang-terangan apa
yang diperintahkan Allah, dan tidak peduli terhadap celaan orang-orang yang
suka mencela dalam urusan itu. Beliau
menyampaikan seruan kepada siapa pun, yang muda, yang tua, besar, kecil, orang
yang merdeka, budak, laki-laki, wanita, bahkan jin. Pada saat itulah, ketika Beliau menyampaikan
dakwah secara terang-terangan – mencela sesembahan dan agama kaumnya, maka
mereka mulai melancarkan siksaan yang bertubi-tubi terhadap Beliau dan rekan-rekan
Beliau yang telah masuk Islam. Yang
demikian ini merupakan sunnatullah yang pasti berlaku (terjadi) juga bagi hamba-hamba-Nya
yang menempuh jalan yang sama. Seperti
dikatakan dalam makna firman-Nya,
“Dan
demikianlah, Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu
syaithan-syaithan (dari kalangan) manusia dan jin.”
(QS. Al-An’am; 112), dan
“Demikianlah,
tidak seorang Rasul pun yang datang kepada orang-orang sebelum mereka,
melainkan mereka mengatakan, ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila’. Apakah mereka saling berpesan tentang apa
yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka
adalah kaum yang melampaui batas.”
(QS. Adz-Dzariyat; 52-53)
Allah menenteramkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan firman-Nya ini, bahwa para Rasul dan Nabi sebelumnya pun
mengalami hal yang sama. Allah juga
menghibur para pengikut Beliau dengan firman-Nya,
“Apakah kalian mengira, bahwa kalian akan masuk Surga,
padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang
terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka, dan
kesengsaraan, serta diguncang (dengan berbagai macam cobaan), sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Kapankah datangnya
pertolongan Allah?’ Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu amatlah dekat.”
(QS. Al-Baqarah; 214)
Ayat yang serupa disebutkan juga dalam surat
Al-Ankabut; 1-11. Maka hendaklah seorang hamba memperhatikan
kandungan ayat ini, yang di dalamnya terdapat pelajaran dan hikmah yang
mendalam dan tinggi. Ketika ada
seorang Rasul yang diutus kepada manusia, maka selalu akan muncul dua
kelompok manusia. Yang satu mengatakan, “Kami
beriman”, dan yang lain tidak mau mengatakannya, dan terus berada (berkutat) dalam
keburukan dan kekufurannya. Siapa
yang mengatakan, “Kami beriman”, maka Allah pasti akan menguji dan mencobanya,
agar terlihat mana yang jujur (benar), dan mana yang dusta (palsu). Dan siapa yang tidak mau mengatakan, “Kami
beriman”, maka mereka tidak pernah mengira bahwa Allah akan melemahkan dan
mengalahkan mereka. Dia terus menempuh
perjalanannya.
Siapa
yang beriman kepada Rasul serta mentaatinya, maka musuh akan mengganggu dan
menyakiti mereka. Akan tetapi siapa yang
tidak beriman kepada Beliau, maka dia akan disiksa di dunia (dengan kesesatan) dan
di Akhirat (dengan adzab yang lebih keras), sehingga tetap saja dia akan
mengalami siksaan, dan siksaan ini kekal selama-lamanya serta lebih pedih
daripada siksaan yang diterima para pengikut Rasul. Jadi, siapa pun orangnya akan mendapat
siksaan, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Akan tetapi orang-orang mukmin hanya mendapat
siksaan pada permulaannya saja, setelah itu mereka mendapatkan kesudahan yang lebih
baik di dunia dan di Akhirat. Sedangkan
orang-orang yang berpaling dari iman akan mendapatkan kesenangan pada
permulaannya, setelah itu mereka mendapatkan penderitaan yang kekal
(selama-lamanya).
Al-Imam Asy-Syafi’i pernah ditanya (seperti
pembukaan tulisan ini)… dan seterusnya.
Jika ada yang bertanya, “bagaimana mungkin orang yang
berakal dapat menentukan pilihannya?”
Dapat dijawab; “Yang menimbulkan
pertanyaan (protes) semacam ini, disebabkan jiwa manusia yang cenderung pada
keduniaan. Maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman (artinya),
“Sekali-kali
janganlah demikian. Sebenarnya kalian
(hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (lalai terhadap) kehidupan Akhirat.”
(QS. Al-Qiyamah; 20-21)
Yang demikian ini berlaku bagi semua manusia, apalagi
mereka ditakdirkan untuk hidup bermasyarakat.
Manusia mempunyai banyak keinginan, dan persepsi yang harus
terpenuhi. Jika tidak, maka mereka akan
merasa tersiksa. Padahal, seandainya
keinginan itu terpenuhi semuanya, mereka tetap mengalami siksaan dan
penderitaan (Sunnatullah yang pasti berlaku), baik yang bersumber dari
dirinya sendiri maupun dari orang
lain (dari luar). Yang demikian ini tidak berbeda
jauh dengan orang yang berpegang teguh dengan agamanya serta bertakwa,
sementara di sekitarnya banyak terdapat orang-orang yang zhalim dan jahat yang
mampu dia hadapi. Jika dia mengakui
keberadaan mereka, dan tidak mengharu-biru (larut) di dalamnya, maka dia akan
selamat dari ganguan mereka pada permulaannya.
Namun, lama-kelamaan mereka akan menguasai dirinya, bahkan mulai
mengganggu dan melecehkannya, jauh lebih kejam dari apa yang dia bayangkan
sebelumnya. Sekiranya dia menentang dan
mengingkari keberadaan mereka, taruhlah (untuk sementara) dia bisa selamat dari
gangguan itu, toh belum tentu dia bisa selamat dari gangguan yang lainnya. Maka yang paling prinsip dalam hal ini
adalah, seperti yang dikatakan ummul mukminin (Ibunda orang-orang
yang beriman) A’isyah kepada Mu’awiyah, “Siapa yang membuat Allah ridha dengan kemarahan manusia,
maka Allah mencukupkan dirinya dari pertolongan manusia. Namun, siapa yang membuat manusia ridha
dengan kemurkaan Allah, maka sedikit pun Allah tidak peduli padanya.”
Siapa yang mencermati berbagai peristiwa yang terjadi di
alam ini, tentu akan mengetahui, bahwa yang demikian ini sering terjadi pada
orang-orang yang biasa membantu Pemimpin untuk mencapai tujuan-tujuannya yang
rusak (bertentangan dengan aturan-aturan syariat), atau pada diri orang-orang yang membantu para ahli bid’ah, karena ingin selamat dari siksaan mereka.
Namun, siapa yang diberi petunjuk oleh Allah dan dilindungi dari
keburukan dirinya, tentu akan menolak untuk menyetujui perbuatan yang
diharamkan, dan lebih suka memilih sabar dalam menghadapi pemimpin itu, yang
kemudian dia akan mendapatkan kesudahan yang lebih baik di dunia maupun Akhirat, seperti yang terjadi pada diri orang-orang Muhajirin dan Anshar, para
ahli ibadah, ulama, dan orang-orang shalih.
Karena penderitaan itu tidak bisa dihindari sama sekali,
maka Allah menghibur orang-orang yang mengalami penderitaan yang lebih ringan
dan pasti akan berakhir, daripada penderitaan yang besar dan berkelanjutan,
dalam makna firman-Nya,
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka
sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
(QS. Al-Ankabut; 5)
Allah telah menetapkan jangka waktu tertentu dari
penderitaan itu. Yang pasti akan datang, yaitu saat berjumpa dengan-Nya. Pada saat itulah manusia akan mendapatkan
kenikmatan yang digambarkan, karena dia bersabar selama ditimpa penderitaan
itu, selagi dia ridha kepada-Nya. Kesenangan
ini tergantung dari seberapa besar kadar kesabarannya, yang semua itu karena
Allah, dan dia dapat menghibur diri dengan mengharap perjumpaan dengan-Nya,
bahkan setiap kali melihat dan merasakan penderitaan, maka kerinduan untuk
bertemu dengan-Nya (Allah) semakin menggebu-gebu . Oleh sebab itulah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa memohonkan doa kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya. Dan kerinduan Beliau ini merupakan
kenikmatan yang paling besar di dunia.
Tetapi, kenikmatan ini memiliki konsekwensi bagi perkataan dan
perbuatan (resiko). Karena Allah mengetahui
setiap perbuatan dan mendengar setiap perkataan manusia, maka Dia-lah yang
lebih berhak untuk menempatkan kenikmatan itu pada diri orang yang memang layak
untuk menerimanya. Firman Allah Ta’ala
(artinya),
“Dan demikianlah, telah Kami uji sebagian mereka
(orang-orang kaya) dengan sebagian yang lain (orang-orang miskin), supaya
(orang-orang kaya) itu berkata, ‘Orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah
oleh Allah kepada mereka?’ (Allah
berfirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur
kepada-Nya?’ “
(QS. Al-An’am; 53)
Apabila seseorang tidak mendapatkan suatu kenikmatan (jenis ini), maka
hendaklah dia membaca firman Allah, “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang
bersyukur (kepada-Nya)?”
(Baca artikel tentang, NIKMAT)
(Baca artikel tentang, NIKMAT)
Kemudian Allah menghibur mereka dengan hal lain, bahwa
jihad di jalan Allah itu pada hakikatnya adalah untuk kepentingan diri mereka
sendiri, dan hasilnya akan kembali kepada mereka. Allah sama sekali tidak membutuhkan apa yang
terkandung di dalamnya. Kemaslahatan
jihad ini kembali kepada mereka, dan bukan kepada Allah. Karena itu Allah mengabarkan, bahwa dengan
jihad dan iman itu Dia (Allah) akan memasukkan mereka ke dalam golongan
orang-orang yang shalih. Kemudian
Allah mengabarkan keadaan orang-orang yang memiliki iman tanpa bashirah. Sehingga, ketika dia mendapat cobaan dari
manusia karena membela agama Allah, dia menganggapnya sebagai siksaan (adzab) Allah
terhadap diri orang tersebut. Padahal itu
hanya sekedar siksaan dari manusia, yang sudah biasa (lazim) diterima para
Rasul serta para pengikutnya dari orang-orang yang berseberangan dengan
mereka. Dia menghindar dari siksaan itu,
karena menganggapnya seperti siksaan Allah yang harus dihindari oleh
orang-orang beriman (kelak di akhirat).
Padahal, bila dia memiliki kesempurnaan bashirah, orang-orang
mukmin itu lari dari siksaan Allah (di Akhirat) kepada iman, dan mereka tetap
bersabar dalam menghadapi siksaan Allah yang bersifat sementara, dan pasti akan
segera berlalu. Hal ini terjadi karena
kelemahan bashirahnya, sehingga dia lari dari siksaan para musuh Rasul,
lalu ia berjalan seiring dengan mereka (musuh-musuh Rasul). Dia lari dari siksaan mereka menuju siksaan
Allah. Sungguh, suatu tindakan yang
amat bodoh karena dia lari dari siksaan yang bersifat sementara menuju siksaan
yang bersifat kekal. Padahal, jika
Allah telah menolong pasukan dan para wali-Nya, maka Dia berfirman, “Sesungguhnya
Aku beserta kalian.” Allah
mengetahui sifat kemunafikan yang telah menyusup ke dalam hati (jiwa) mereka.
Dengan kata lain, telah pasti ditentukan ketetapan hikmah
Allah untuk menguji jiwa manusia, dengan demikian dapat diketahui mana yang
baik dan mana yang buruk, siapa yang layak menerima kemuliaan dan siapa yang
layak menerima kehinaan, agar Allah menyaring jiwa-jiwa manusia dan
membersihkannya di “tungku ujian”, seperti halnya emas yang tidak akan tampak
keasliannya selagi masih bercampur dengan tanah atau kotoran kecuali setelah
diuji dan dicoba (dibakar / ditempa). Sebab, pada
dasarnya jiwa manusia itu bodoh dan zhalim.
Kotorannya yang berupa kebodohan dan kezhaliman itu harus disingkirkan
dengan cara membersihkannya. Namun, jika
ia belum bersih ketika keluar dari dunia (meninggal), maka ia akan menuju kerak
Neraka. Jika sudah bersih, maka barulah ia
layak masuk ke dalam Surga.
(Baca artikel, KAITAN ANTARA SURGA DENGAN IMAN)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyeru kepada Allah, maka hamba-hamba Allah dari berbagai kabilah menyambut
seruan itu. Urutan pertama yang
menyambutnya dan bersedia masuk ke dalam Islam adalah Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Dia siap melindungi Beliau
dalam menegakkan agama Allah, menyeru kepada Allah bersama Beliau, sehingga ada
beberapa orang yang masuk ke dalam Islam lewat dirinya, seperti Utsman bin
Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Sa’d bin Abi Waqqash. Sementara dari kalangan wanitanya adalah,
Khadijah binti Khuwailid yang menyokong aktivitas Nabi dengan segala sesuatu
yang dimilikinya. Suatu kali Beliau
bersabda kepada Khadijah isteri Beliau, “Aku khawatir terhadap keselamatan
diriku.” Maka Khadijah berkata dengan
tenang, “Demi Allah, terimalah khabar-khabar, sekali-kali Dia tidak akan
menelantarkan Engkau.” Khadijah
menguatkan perkataannya, bahwa siapa saja yang memiliki sifat dan akhlak
seperti yang Beliau miliki, tidak akan ditelantarkan oleh Allah
selama-lamanya. Dengan kesempurnaan
fitrah dan akalnya dia menyatakan, bahwa amal yang shalih, akhlak yang utama,
dan sifat yang mulia berasal dari karamah Allah, anugerah, dan pertolongan-Nya
, sehingga orang-orang yang memilikinya tidak layak untuk
ditelantarkan. Maka dengan ketajaman
pikiran dan kelurusan fitrah ini Khadijah layak mendapatkan salam dari
Allah, sebagaimana yang disampaikan utusan-Nya, Jibril kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
---
Manusia masuk ke dalam Islam seorang demi seorang, sementara
orang-orang Quraisy belum memberikan reaksi apa-apa. Ketika Beliau mulai mencela agama mereka dan
melecehkan sesembahan mereka, bahwa sesembahan mereka itu tidak bisa memberikan
manfaat dan mudharat, maka mereka mulai melancarkan permusuhan terhadap Beliau
dan para Sahabatnya. Namun, Allah
melindungi Rasul-Nya dengan keberadaan paman Beliau, Abu Thalib, karena dia
adalah orang yang sangat terpandang, disegani, dan dimuliakan di kalangan kaum
Quraisy, ditaati di lingkungan keluarga, tak seorang pun dari penduduk Makkah
yang berani lancang terhadapnya. Adapun
di antara hikmah Allah, Abu Thalib tetap berada dalam agama kaumnya, yang
tentunya keadaan ini mendatangkan kemashlahatan tersendiri.
Sementara di antara para Sahabat, ada yang memiliki kerabat yang
mampu melindungi diri dan selamat dari siksaan mereka. Tetapi mayoritas dari mereka mendapat siksaan
dari orang-orang Quraisy, seperti Ammar bin Yasir dan ibunya, Sumayyah serta
seluruh keluarganya. Mereka sekeluarga
disiksa karena mempertahankan agama Allah.
Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mereka yang
sedang disiksa, Beliau hanya bisa bersabda, “Sabarlah, wahai keluarga Yasir,
karena tempat yang dijanjikan terhadap kalian adalah Surga.” Beliau tidak mampu berbuat apa-apa untuk
melindungi mereka dari siksaan kaum Quraisy tersebut.
Suatu kali musuh Allah Abu Jahl mendekati Sumayyah, ibunda
Yasir yang disiksa beserta suami dan anak-anaknya, lalu dia (Abu Jahl)
menancapkan tombak di kemaluannya yang mengakibatkan beliau meninggal dunia,
sehingga beliau menjadi syahid yang pertama dalam Islam. Begitu pula siksaan yang dialami Bilal bin
Rabbah, yang hanya mampu berkata, “Ahad, Ahad,” karena pedihnya siksaan yang
dialami.
Jika Abu Bakar melewati seorang budak yang sedang disiksa
karena masuk Islam, maka beliau langsung membeli budak itu dan
memerdekakannya. Di antara mereka itu
adalah Bilal, Amir bin Fuhairah, Ummu Ubais, Zinnirah, Nahdiyah dan puterinya,
seorang wanita milik Bani Ady yang disiksa Ummar bin Khaththab sebelum masuk
Islam. Sampai-sampai ayah Abu Bakar
berkata kepadanya, “Wahai anakku, kulihat engkau membebaskan beberapa orang
budak perempuan yang lemah, dengan membebaskan sekian banyak orang, tentu akan
menghalangi langkahmu.”
Abu Bakar menjawab, “Aku akan mengerjakan apapun yang
kuinginkan.”
Tatkala siksaan yang ditimpakan kepada orang-orang Islam
semakin bertambah keras, Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa salllam
mengizinkan mereka hijrah ke Habasyah.
Yang lebih dahulu hijrah adalah Utsman bin Affan beserta isterinya,
Ruqayyah binti Rasulullah. Jumlah
rombongan yang hijrah pertama kali ini sebanyak 12 orang laki-laki dan empat
orang wanita. Mereka meninggalkan Makkah
secara sembunyi-sembunyi. Berkat taufik
Allah, mereka tiba di pantai bertepatan dengan keberangkatan perahu
pedagang. Mereka pun ikut naik ke perahu
itu, dan berlayar menuju Negeri Habasyah, tepatnya pada bulan Rajab, tahun
kedua setelah Nubuwah. Ketika
orang-orang Quraisy mendengar kepergian rombongan ini, mereka menyusul hingga
ke tepi pantai, tetapi tak seorang pun yang mereka dapatkan. Tak seberapa lama tinggal di Habasyah,
orang-orang yang berhijrah mendengar khabar, bahwa orang-orang Quraisy tidak
lagi mengganggu dan menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka mereka pun kembali ke Makkah. Tetapi sebelum memasuki negeri Makkah, mereka
mendengar khabar bahwa orang-orang Quraisy justru lebih keras dalam memusuhi
Beliau dan orang-orang Islam. Maka,
siapa yang ingin masuk ke Makkah harus meminta jaminan perlindungan dari seseorang,
dan jaminan itu ada yang berlaku hingga mereka hijrah ke Madinah.
Permusuhan dan siksaan orang-orang Quraisy semakin keras,
maka Nabi mengizinkan mereka berhijrah lagi ke Habasyah untuk kedua
kalinya. Hijrah yang kedua ini justru
lebih sulit daripada hijrah yang pertama, karena orang-orang Quraisy
menghalangi mereka. Jumlah orang-orang
muslim yang berhijrah kali ini sebanyak 83 orang laki-laki, termasuk Ammar bin
Yasir, dan 19 orang wanita.
Pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketujuh setelah hijrah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada Najasyi,
berisi ajakan untuk masuk Islam. Yang
menjadi kurirnya adalah Amr bin Umayyah Adh-dhamry. Setelah membacanya, Najasyi langsung
menyatakan masuk Islam. Dia berkata, “Jika
aku bisa menemui Beliau, tentu aku akan menemuinya.”
Dalam surat itu pula Nabi meminta Najasyi untuk mengawinkan
Beliau dengan Ummu Habibah bin Abu Sufyan, yang juga ikut hijrah ke negerinya
bersama suaminya Ubaidillah bin Jahsy, yang kemudian berpindah ke agama
Nasrani, dan mati di sana. Maka Najasyi
menikahkan Ummu Habibah dengan Beliau, dan dia pula yang membayarkan mas
kawinnya sebanyak 400 dinar. Sedangkan
yang menjadi walinya adalah Khalid bin Sa’id bin Al-Ash. Kemudian Beliau juga mengirim surat agar
Najasyi memulangkan para Sahabat yang masih ada di sana. Maka Najasyi melaksanakan perintah Beliau
itu, dengan menaikkan mereka ke atas dua buah kapal, hingga mereka bertemu
dengan Beliau di Khaibar. Ketika mereka
tiba di sana, Beliau telah mampu menaklukkan Khaibar.
Ketika orang-orang muslim menetap di negeri Najasyi, mereka
hidup aman. Tetapi kemudian pihak
Quraisy mengutus Abdullah bin Abu Rabi’ah dan Amr bin Al-Ash untuk menyusul ke
Habasyah, sambil membawa berbagai macam hadiah untuk Najasyi, dengan harapan
dia mau mengembalikan mereka ke pihak Quraisy.
Dua orang utusan Quraisy ini juga meminta dukungan para pemuka agama di
sana. Tapi Najasyi menolak permintaan
itu. Utusan Quraisy itu mencari jalan
lain untuk mempengaruhi Najasyi, dengan mengatakan bahwa orang-orang muslim itu
telah mengeluarkan pernyataan yang tidak bisa dianggap remeh tentang diri Isa,
bahwa Isa adalah hamba Allah. Maka
Najasyi memanggil orang-orang Muhajirin itu ke Majelisnya, yang menjadi juru
bicara mereka adalah Ja’far bin Abu Thalib.
Tatkala telah berkumpul semua, Najasyi bertanya, “Apa yang kalian
katakan tentang diri Isa?”
Maka Ja’far membaca surat Kaf ha’ ya ‘ain shad . Kemudian Najasyi memungut sebuah tongkat dari
tanah seraya berkata, “Isa tidak lebih dari orang ini dan tongkat ini.”
Seketika itu pula para pemimpin agamanya mengeluarkan suara
dengusan. Maka Najasyi berkata,
“Sekalipun kalian mendengus.” Lalu dia
berkata kepada orang-orang Muhajirin, “Bangkitlah kalian, karena kalian aman di
negeriku. Siapa yang mencela kalian akan
didenda.
Lalu Najasyi berkata kepada kedua utusan Quraisy itu, “Sekalipun
kalian memberikan hadiah segunung emas, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada
kalian.” Hadiah yang dibawa dikembalikan
kepada mereka berdua, lalu mereka pulang dengan tangan hampa.
Kemudian Hamzah masuk Islam dengan beberapa orang. Ketika orang-orang Quraisy melihat urusan (dakwah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin berkembang dan berada
di "atas angin", maka mereka membuat perjanjian secara sepihak untuk tidak
melakukan jual beli dengan Bani Hasyim dan Bani Al-Muththallib, tidak menikah,
tidak berbicara, dan tidak berkumpul dengan mereka, hingga mereka menyerahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Perjanjian itu mereka tulis dalam selembar
papan, lalu menggantungkannya di atap Ka’bah.
Yang menulisnya adalah Baghidh bin Amir bin Hasyim. Karena itulah Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam mendoakan kecelakaan bagi Baghidh, dimana akhirnya tangannya menjadi
lumpuh. Semua Bani Hasyim dan Bani Abdul
Muththallib berhimpun menjadi satu, baik yang kafir maupun yang mukmin, kecuali
Abu Lahab, yang bergabung dengan Quraisy.
Hal ini terjadi pada tahun ketujuh setelah Nubuwah. Mereka dikucilkan dan diboikot selama tiga
tahun, tidak bisa menjalin hubungan dengan pihak luar dan tidak bisa bergaul
dengan siapa pun, hingga mereka benar-benar mengalami kesulitan yang amat
berat. Tangis anak-anak terdengar dari
seberang perkampungan, yang mengundang rasa iba bagi siapa pun yang
mendengarnya, sehingga mendorong Abu Thalib untuk melantunkan syairnya yang
berisi kecaman.
Sementara, di pihak Quraisy suara terpecah menjadi dua
kelompok, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju terhadap aksi pemboikotan
secara sepihak tersebut. Beberapa orang
yang tidak setuju dengan pemboikotan itu berusaha untuk menghentikannya,
seperti yang dilakukan Hisyam bin Amr bin Al-Harits. Dia berusaha melobi Al-Muth’im bin Ady dan
beberapa pemuka Quraisy lainnya, yang ternyata mereka pun sependapat. Selanjutnya Allah membisikkan kepada Nabi-Nya
tentang nasib selembar papan boikot yang
telah dimakan rayap hingga rusak. Maka
Beliau mengabarkan kepada pamannya, lalu pamannya menemui orang-orang Quraisy,
bahwa keponakannya (Muhammad) berkata begini dan begitu. Jika dia berbohong, maka kami serahkan dia
kepada kalian. Jika dia benar, maka kalian
harus menghentikan semua pemboikotan dan
kezhaliman ini.
Selang beberapa lama kemudian Abu Thalib (paman Rasul)
meninggal dunia, disusul dengan kematian Khadijah. Maka cobaan yang ditimpakan orang-orang bodoh
dari kaumnya semakin menjadi-jadi.
Mereka semakin brutal dan berani menyiksa Beliau. Maka, Beliau pergi ke Thaif, dengan harapan
bisa mendapatkan perlindungan dari pemuka negeri dan penduduknya. Maka Beliau menyeru mereka kepada Allah,
tetapi Beliau tidak mendapatkan seorang pun yang mau melindungi dan mengulurkan
tangan, bahkan mereka menyiksa dan menyakiti Beliau jauh lebih sadis, yang
tidak pernah Beliau alami di kaumnya sendiri.
Padahal Beliau berada di sana hanya 10 hari, dan setiap pemuka kaum
pasti Beliau temui dan diajak berbicara.
Tetapi mereka berkata, “Enyahlah dari negeri kami.” Bahkan mereka memperalat orang-orang yang
bodoh dari penduduk Tha’if. Mereka
membentuk dua barisan di jalan yang Beliau lalui, lalu melempari Beliau dengan
batu, hingga kedua kaki Beliau berdarah.
Zaid bin Haritsah yang menyertai Beliau berusaha untuk melindungi,
hingga kepalanya pun mendapat luka yang menganga. Maka Beliau meninggalkan Tha’if, kembali ke
Makkah dengan perasaan yang amat sedih.
Di dalam perjalanan pulangnya itu Beliau memanjatkan doa yang sangat
terkenal,
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan kekuatanku,
sedikit alasanku, dan ketidak mampuanku menghadapi manusia, wahai Yang paling Pengasih
di antara orang-orang yang pengasih Engkau Rabb orang-orang yang lemah,
dan Engkau adalah Rabb-ku. Kepada
siapa Engkau menyerahkan diriku? Kepada
orang jauh yang menemuiku dengan muka masam ataukah kepada musuh yang Engkau
jadikan menguasai urusanku? Selagi tidak
ada murka-Mu kepada-ku, maka aku tidak peduli.
Hanya saja afiat-Mu adalah jauh lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan Cahaya Wajah-Mu, yang
karenanya kegelapan-kegelapan menjadi terang, dan urusan dunia serta akhirat
menjadi baik. Aku berlindung kepada-Mu
agar murka-Mu tidak menimpaku dan amarah-Mu tidak turun kepadaku. Bagi-Mu segala kerelaan hingga Engkau ridha,
tiada daya dan kekuatan melainkan yang datang dari-Mu.”
Maka, Allah mengutus Malaikat penjaga gunung, yang
menawarkan bantuan kepada Beliau untuk menimpakan dua bukit Ahsyabain kepada penduduk
Tha’if. Tetapi Beliau bersabda, “Tidak,
tetapi aku berharap agar Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang
yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.”
Ketika singgah di sebuah kebun korma, Beliau mendirikan
shalat dari sebagian waktu malam. Saat itu
ada beberapa jin yang mendekati Beliau dan mendengarkan bacaan Beliau. Sementara Beliau tidak menyadari kehadiran
mereka, hingga turun ayat (artinya),
“Dan (ingatlah), ketika Kami hadapkan serombongan jin
kepadamu yang mendengarkan Al-Qur`an, maka tatkala mereka menghadiri
pembacaan(nya), mereka berkata, ‘Diamlah kalian (untuk mendengarkannya)’. Ketika pembicaraan telah selesai, mereka
kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.”
(QS. Al-Ahqaf;
29)
Beliau berada di kebun korma itu hingga beberapa hari
lamanya. Lalu zaid bertanya, “Bagaimana
cara engkau menemui mereka lagi, padahal mereka telah mengusirmu?”
Beliau menjawab, “Hai zaid, sesungguhnya Allah akan
menjadikan jalan keluar dari apa yang engkau lihat, dan sesungguhnya Allah akan
menolong Agama-Nya serta memenangkan Nabi-Nya.”
Ketika hendak memasuki Makkah, Beliau mengutus seseorang dari
Bani Khuza’ah untuk Muth’im bin Ady, dengan pesan, “Bagaimana jika aku masuk
dalam jaminanmu?”
“Boleh,” jawabnya.
Lalu Muth’im mengumpulkan kaumnya seraya berkata, “Ambil senjata kalian,
bersiap-siaplah di setiap sendi rumah kalian, karena aku telah melindungi
Muhammad.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk
Makkah disertai Zaid bin Haritsah, hingga tiba di Masjidil Haram. Lalu, Muth’im bin Ady berdiri di atas
punggung hewan tunggangannya, dan berseru dengan suara lantang, “Hai semua
orang Quraisy, sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad, maka tak seorang pun
boleh menyerangnya.”
Lalu Beliau menghampiri Hajar Aswad dan memeluknya. Setelah shalat dua rakaat Beliau pulang ke
rumah. Sementara Muth’im bin Ady beserta
anak-anaknya siap dengan senjatanya mengawasi Beliau, hingga Beliau memasuki
rumah.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan Isra’ dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis, dengan menunggang Buraq,
yang disertai Jibril. Beliau shalat di
sana dan menjadi imam bagi para Nabi.
Buraq ditambatkan pada pintu Masjid.
Ada yang berpendapat, Beliau turun di Baitul Lahm (Bethlehem) dan shalat
di sana. Tetapi pendapat ini tidak
benar. Pada malam itu pula Beliau dibawa
naik dari Baitul Maqdis ke langit dunia.
Ketika Jibril meminta agar pintu langit dibuka, maka pintu itu pun dibukakan
bagi Jibril dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Di sini Beliau bertemu Adam, bapak
manusia. Beliau mengucapkan salam, dan
Adam membalasnya serta menyambut kedatangan Beliau serta menetapkan Nubuwah
Beliau. Allah memperlihatkan roh
orang-orang yang berbahagia ada di sisi kanan Beliau, dan roh orang-orang yang
menderita ada di sisi kiri Beliau.
Selanjutnya Beliau dibawa naik ke langit kedua. Di sana Beliau bertemu Yahya bin Zakarya
dan Isa bin Maryam. Beliau
mengucapkan salam kepada dua Nabi Allah ini, lalu keduanya membalas salam
Beliau dan menyambut kedatangan Beliau serta menetapkan Nubuwah
Beliau. Kemudian naik lagi ke langit
ketiga, dan di sana Beliau bertemu Yusuf. Beliau mengucapkan salam yang kemudian Nabi Yusuf membalasnya dan menyambut
kedatangan Beliau serta menetapkan Nubuwah Beliau. Kemudian Beliau naik lagi ke langit keempat
dan bertemu dengan Nabi Idris, yang kemudian melakukan hal yang sama
dengan Nabi-Nabi yang Beliau temui sebelumnya.
Di langit kelima Beliau bertemu Nabi Harun dan Imran. Di langit keenam Beliau bertemu Nabi Musa
bin Imran. Pada saat itu Musa
menangis. Ketika ditanya, “Mengapa
engkau menangis?” Maka Beliau menjawab,
“Aku menangis karena ada seorang pemuda yang diutus menjadi Rasul setelahku. Umatnya yang masuk Surga lebih banyak dari
umatku.”
Di langit ketujuh Beliau bertemu Ibrahim, dan Beliau
mengucapkan salam, yang dibalas Ibrahim dan disambutnya. Kemudian Beliau naik ke langit Sidratul
Muntaha, Al-Baitul Ma’mur dinaikkan pula bagi Beliau, kemudian naik lagi
menghadap kepada Allah. Beliau mendekat
kepada Allah hingga jaraknya kira-kira antara dua ujung busur atau bahkan lebih
dekat lagi. Lalu, Allah mewahyukan
kepada hamba-Nya apa yang memang Dia
wahyukan, dan mewajibkan shalat 50 waktu dalam sehari semalam.
Beliau kembali hingga bertemu Musa, yang bertanya kepada
Beliau, “Apa yang diperintahkan kepadamu?”
Beliau menjawab, “Shalat 50 kali”
“Sesungguhnya ummatmu tidak akan sanggup melakukannya. Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah
keringanan bagi ummatmu,” kata Musa.
Beliau menengok ke arah Jibril dengan maksud untuk meminta sarannya tentang hal ini. Maka Jibril memberi isyarat iya, selagi
Beliau menghendakinya. Maka Jibril
membawa Beliau naik lagi ke atas hingga menghadap kepada Allah yang tetap
berada di Tempat-Nya. Maka Allah memberi
keringanan 10 shalat. Selanjutnya Beliau
mondar-mandir antara Allah dan Musa, hingga akhirnya shalat itu tinggal 5
(lima) kali. Musa menyarankan untuk
kembali lagi kepada Allah dan memohon keringanan lagi. Namun Beliau menjawab, “Aku sudah malu terhadap
Rabb-ku. Aku sudah ridha dan menerimanya.”
Ketika Beliau menjauh, tiba-tiba terdengar seruan, “Aku
telah menetapkan kewajiban-Ku, dan Aku telah memberi keringanan bagi hamba-Ku.”
Para Sahabat saling berbeda pendapat, apakah malam itu Beliau
melihat Rabb ataukah tidak.
Diriwayatkan secara shahih dari Ibnu Abbas, bahwa Beliau
melihat-Nya. Namun ada pula riwayat shahih
darinya, bahwa Beliau melihat dengan
hatinya. Ada pula riwayat shahih
dari A’isyah dan Ibnu Mas’ud yang mengingkari pendapat ini. Tentang firman Allah, “Dan,
sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain di Sidratul
Muntaha.”
(QS. An-Najm; 13), bahwa yang dilihat di sini adalah
Jibril.
Ada pula riwayat shahih dari Abu Dzarr, dia pernah
bertanya kepada Beliau, “Apakah engkau pernah melihat Rabb engkau?”
Beliau menjawab, “Dia adalah cahaya. Maka, mana mungkin aku bisa
melihat-Nya.” Dalam lafazh lain
disebutkan, “Aku melihat sebuah cahaya.”
Sementara Utsman bin Sa’id Ad-Darimy mengisahkan kesepakatan
para Sahabat, bahwa Beliau tidak melihat-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataan Ibnu Abbas,
‘Sesungguhnya Beliau melihat-Nya’, tidak bertentangan dengan pendapat yang
terakhir ini, maupun perkataan, “Beliau melihat dengan hatinya.” Ada riwayat shahih dari Beliau, bahwa
Beliau bersabda, ‘Aku pernah melihat Rabb-ku Tabaaraka wa Ta’ala.’ Tetapi hal ini terjadi bukan pada saat Isra’,
melainkan ketika di Madinah, tepatnya saat Beliau terlambat datang ke shalat
subuh. Kemudian Beliau mengabarkan,
bahwa semalam Beliau melihat Rabb dalam mimpinya. Atas dasar inilah Al-Imam Ahmad melandaskan
pendapatnya, dan dia berkata, “Beliau benar-benar melihat-Nya, karena mimpi
para Nabi itu adalah benar.” Tetapi, Imam
Ahmad tidak mengatakan bahwa Beliau melihatnya dengan mata kepala saat
terjaga. Siapa yang mengisahkan hal ini
dari Beliau, maka hal itu hanya sekedar dugaan.
Tentang “Mendekat” yang disebutkan dalam surat
An-Najm, “Kemudian mendekat, dan bertambah dekat lagi”, bukan
mendekat yang berkaitan dengan peristiwa Isra’, dan yang mendekat di sini
adalah Jibril, sebagaimana yang dikatakan A’isyah dan Ibnu Mas’ud.
Pada keesokan harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah kaumnya, dan memberitahukan apa yang telah Beliau
alami, dan tanda-tanda kekuasaan yang diperlihatkan Allah. Tetapi mereka justru semakin mendustakan
Beliau, dan cemoohan mereka semakin menjadi-jadi. Ketika mereka meminta Beliau agar
menggambarkan keadaan Baitul Maqdis, maka Allah menampakkan Baitul Maqdis itu
di depan mata Beliau, sehingga dengan lancar Beliau dapat menggambarkannya
kepada mereka. Dengan demikian mereka
tidak memiliki cara lagi untuk menolak penjelasan Beliau. Beliau juga memberitahu rombongan kafilah
mereka yang sedang dalam perjalanan pulang, bahkan Beliau mengabarkan hari
kedatangan (sampainya) mereka, serta menyebutkan jumlah onta yang mereka bawa. Ketika rombongan tersebut telah tiba di
Makkah, apa yang Beliau sampaikan itu sama persis dengan keadaannya. Tetapi semua ini justru membuat mereka
semakin bertambah kufur, dan orang-orang yang zhalim itu memang tidak
menghendaki selain dari kekufuran!
Ibnu Ishaq menukil dari A’isyah dan Mu’awiyah, keduanya
berkata, “Beliau melakukan Isra’ dengan ruhnya, dan jasadnya tetap ada.” Begitu pula yang dinukil dari Al-Hasan
Al-Bashry. Tetapi, harus diketahui
adanya perbedaan antara isra’ itu seperti mimpi dalam tidur, dengan isra’
dengan ruh tanpa jasad. Sebab, ada
perbedaan yang jauh antara keduanya. A’isyah
dan Mu’awiyah tidak mengatakan, bahwa isra’ dengan ruh itu merupakan mimpi,
tetapi keduanya mengatakan, “Beliau melakukan isra’ dengan ruhnya, dan jasadnya
tetap ada.” Sebab mimpi itu boleh jadi
merupakan imbas dari sesuatu yang ditangkap indera, sehingga Beliau merasa
seakan-akan dibawa naik ke langit, sementara ruhnya tidak beranjak dari jasad
dan tidak ke mana-mana. Ada dua golongan
berkaitan dengan mi’raj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
Pertama; Beliau
naik ke langit dengan ruh dan jasadnya.
Kedua; Beliau
naik ke langit dengan ruhnya saja.
Golongan ini berpendapat seperti yang dikatakan A’isyah dan Mu’awiyah, tetapi
tidak seperti mimpi dalam tidur. Isra’
dan Mi’raj ini suatu perkara yang jauh di luar mimpi yang dialami
sewaktu tidur, ia termasuk kejadian-kejadian diluar kebiasaan yang berlaku,
seperti perut Beliau yang dibedah tanpa ada rasa sakit, padahal Beliau dalam
keadaan sadar dan hidup. Jadi, Beliau
dibawa naik kelangit dengan ruhnya yang suci, tanpa mewafatkannya. Sementara ruh selain Beliau tidak ada yang
naik ke langit kecuali setelah mati.
Sedangkan ruh para Nabi berada di langit setelah meninggal dunia (kecuali Nabi Isa 'alaihissalam, pen.). Ruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke langit selagi Beliau masih hidup, lalu kembali lagi ke
jasadnya, dan setelah wafat ruh Beliau ada di sisi Allah Yang Maha Tinggi
bersama ruh para Nabi. Ruh Beliau ini
masih terkait dengan badan yang bergantung kepadanya, sehingga Beliau masih
bisa menjawab salam yang disampaikan kepada Beliau. Dengan begitu Beliau bisa melihat Musa yang
shalat di kuburnya, sehingga mengenalnya ketika bertemu di langit yang
keenam. Sebagaimana yang diketahui,
bahwa Beliau tidak dimi’rajkan dengan Musa dari kuburannya, kemudian
dikembalikan lagi ke sana. Langit yang
keenam itu tempat tinggal ruh Musa, dan kuburannya merupakan tempat tinggal
jasadnya hingga Hari Kiamat kelak, dimana pada saat itu semua ruh kembali ke
jasadnya masing-masing. Jadi, Beliau
bisa melihat Musa yang shalat di atas kuburnya, dan bisa pula melihatnya di
langit yang keenam. Begitu pula ruh Beliau
yang berada di sisi Allah Yang Mahatinggi, sementara jasad Beliau berada di
kuburnya, membalas salam siapa pun yang menyampaikan salam kepada Beliau,
tetapi juga tidak beranjak dari sisi Allah.
Siapa yang ingin memahami lebih dalam tentang hal ini,
silahkan lihat matahari, jauh di atas sana di tempatnya, yang berpengaruh
terhadap kehidupan di bumi, bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Api tetap berada di tempatnya, tetapi
panasnya berpengaruh terhadap badan yang jauh darinya. Begitulah kira-kira gambaran antara roh
dengan jasad. Sementara hubungan dan
kaitan roh dengan badan jauh lebih kuat dan lebih sempurna daripada gambaran
api matahari dengan panasnya .
Musa bin Uqbah meriwayatkan dari Az-Zuhry, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dimi’rajkan dari Baitul Maqdis ke langit sebelum
hijrah ke Madinah, kira-kira setahun sebelumnya. Menurut Ibnu Abdil Barr dan yang lainnya,
jangka waktu antara keduanya setahun dua bulan.
Isra’ dan Mi’raj ini hanya terjadi
sekali. Tapi ada yang mengatakan dua
kali, sekali dalam keadaan terjaga dan sekali dalam keadaan tidur. Seakan-akan mereka yang berpendapat seperti
ini hendak mengkompromikan antara hadits Syarik dan sabda Beliau, “Ketika aku
terjaga….” Ada pula yang mengatakan tiga
kali. Yang benar, Isra’ dan Mi’raj
ini hanya terjadi satu kali saja, yaitu setelah Beliau diutus menjadi Rasul
saat di Makkah. Merupakan puncak kenikmatan pada tataran Islam, yang berhasil diraih Penghulu para Mujahidin fii Sabilillah.
oOo
(Dikutip dan disadur dari kitab, “Zaadul Ma’ad”, Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar