Sabtu, 03 Agustus 2019

TINGKATAN-TINGKATAN JIHAD



بسم الله الر حمان الر حيم

Al-Imam Asy-Syafi’i pernah ditanya, “Manakah yang lebih baik bagi seseorang, apakah dia mendapat kemenangan ataukah diuji?”  Maka, beliau menjawab, “Seseorang tidak akan mendapatkan kemenangan kecuali setelah diuji.  Allah menguji (Rasul-Rasul) Ulul Azmi, dan ketika mereka sabar, maka kemenangan pun datang dengan sendirinya.  Maka, tidak selayaknya seseorang ingin aman dari penderitaan (ujian di dunia) sama sekali.  Hanya saja, ada perbedaan di kalangan manusia dalam memahami, antara siksaan dengan penderitaan (ujian di dunia). 
Yang paling pintar di antara mereka, adalah orang yang menjual (“menukar") siksaan yang kekal dan besar (di Akhirat) dengan penderitaan yang ringan dan sementara (di Dunia).  Sedangkan yang paling menderita (bodoh) di antara mereka, adalah orang yang menjual ("menukar") penderitaan yang ringan dan sementara (di Dunia ini) dengan siksaan yang lebih besar dan kekal (di Akhirat).”

Jihad merupakan puncak tataran Islam, dimana para pelakunya akan menempati tingkatan yang paling tinggi di Surga, sebagaimana mereka juga mendapatkan derajat yang mulia di dunia.
Rasulullah shallallahu ‘aliahi wa sallam adalah manusia yang paling tinggi derajatnya dalam masalah jihad ini, sekaligus menguasai seluk-beluknya.  Beliau berjihad karena Allah dengan sepenuh hati, jiwa dan raga, dengan pedang dan tombak, dengan dakwah dan keterangan (Ilmu).  Seluruh waktu Beliau tercurah untuk jihad.  Karena itu Beliau mendapatkan kedudukan yang paling tinggi di sisi Allah di antara ribuan Nabi dan Rasul yang pernah diutus, dan paling banyak diingat manusia dalam masalah ini.  Allah memerintahkan berjihad kepada Beliau semenjak diutus menjadi Rasul,
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur`an dengan jihad yang benar.  
(QS. Al-Furqan;  53)
Jihad melawan hawa nafsu yang ada pada diri sendiri adalah hal pertama yang harus dilakukan orang yang berjihad, baru kemudian musuh yang ada di luar dirinya.  Inilah dua jenis musuh yang harus dilawan hamba, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Mujahid, ialah orang yang berjihad melawan nafsunya karena Dzat Allah.”  (Diriwayatkan Ahmad)
Di antara kedua musuh itu, ada musuh yang ketiga (Syaithan).  Jihad melawan hawa nafsu tidak mungkin bisa dilakukan kecuali dengan memerangi musuh yang ketiga ini terlebih dahulu, yang akan menghambatnya untuk memerangi kedua musuh sebelumnya.  Seperti makna firman-Nya,
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian).”  
(QS. Fathir;  6)
Perintah untuk menjadikan syaithan sebagai musuh merupakan peringatan tentang keleluasaan permusuhannya, yang seakan tak pernah berhenti selagi nafas masih di kandung badan.  Jadi, inilah tiga musuh yang harus dimusuhi hamba, dan musuh itu pun diberi kekuasaan, sekaligus sebagai ujian dari Allah.  Di balik itu, Allah juga memberikan kekuatan dan bekal persiapan, senjata, dan bala bantuan, serta pertolongan dalam jihad ini kepada hamba, sebagaimana yang diberikan kepada musuh, yang satu menyerang dan menguji pihak yang lain, sebagaimana makna firman-Nya,
“Demikianlah jika Allah menghendaki, niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain.  (Muhammad;  4), dan
“Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain.  Maukah kalian bersabar?  
(QS. Al-Furqan;  20)
Allah mengabarkan, bahwa jika mereka mengikuti perintah-perintah-Nya, maka mereka akan mendapatkan pertolongan dalam memerangi musuh.  Allah juga mengabarkan, bahwa kalaupun musuh itu menguasai mereka, maka hal itu disebabkan karena mereka meninggalkan sebagian yang diperintahkan, dan kedurhakaan terhadap-Nya (melanggar yang dilarang).  Tetapi Allah tidak membuat mereka berputus asa, dan memerintahkan agar mereka tetap tegar dalam menghadapinya, mengobati luka-luka mereka  – untuk kemudian bangkit lagi.  Allah juga mengabarkan, bahwa Dia beserta orang-orang yang bertakwa, berbuat kebajikan, bersabar, dan orang-orang yang beriman.  Allah membela orang-orang mukmin dengan cara yang mereka pun tak mampu melakukannya, sehingga dengan pembelaan itu mereka dapat mengalahkan musuh.  Sekiranya tidak ada pembelaan itu, tentulah mereka akan dilibas oleh musuh-musuhnya.  Pembelaan itu tergantung dari kadar keimanan yang ada di dalam dada mereka.  Jika imannya kuat, maka akan kuat pula pembelaan Allah.  Maka, barangsiapa yang mendapatkan kebaikan setelah itu, hendaklah ia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan siapa yang mendapatkan kebalikannya hendaklah dia tidak mencela kecuali diri sendiri.
Allah memerintahkan agar mereka berjihad dengan sebenar-benar jihad, sebagaimana Dia memerintahkan agar mereka bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa.  Gambaran takwa yang sebenar-benarnya ini, ialah taat kepada Allah dan tidak mendurhakai-Nya, mengingat Allah dan tidak melalaikan-Nya, bersyukur kepada Allah dan tidak mengkufuri-Nya.  Sedangkan gambaran jihad yang sebenar-benarnya - ialah berjihad melawan hawa nafsunya, agar hati, lidah dan anggota tubuhnya bisa selamat, hingga semuanya menjadi milik Allah, dan berasal dari Allah, bukan dari dirinya dan untuk dirinya.  Di samping itu, dia juga harus memerangi syaithan , dengan cara mendustakan janji syaithan, menyalahi perintah syaithan, dan melaksanakan larangan syaithan.  Sebab syaithan itu hanya menjanjikan angan-angan, melancarkan tipu-daya, menakut-nakuti hamba dengan kemiskinan, menyuruh pada kekejian, melarang dari taqwa dan petunjuk, sabar, dan iman.  Dengan dua jihad ini (memerangi hawa nafsu dan syaithan), akan muncul suatu kekuatan dan kekuasaan serta bekal untuk melawan musuh dengan kekuatan hati, lisan, dan anggota tubuhnya, agar kalimat Allah-lah yang paling tinggi.
Para Salaf berbeda pendapat dalam mengungkapkan hakikat jihad ini.  Ibnu Abbas berkata, “Artinya memusatkan kekuatan karena Allah, dan tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela, demi urusan Allah.”
Muqatil berkata, “Artinya, beramallah kalian karena Allah dengan sebenar-benarnya amal, dan beribadahlah kepada-Nya dengan sebenar-benarnya ibadah.”
Ibnul-Mubarak berkata, “Artinya berjihad melawan hawa nafsu.”
Tidaklah benar pendapat orang yang mengatakan, bahwa kedua hal ini (berjihad dan bertakwa dengan sebenar-benarnya) akan terhapus ("gugur"), hanya karena dia beranggapan bahwa di dalamnya terkandung perintah yang tidak mungkin dilaksanakan semua orang.  Karena kemampuan setiap manusia berbeda-beda, tergantung dari kondisi dan kapasitas masing-masing baik dari sisi ilmu, kelemahan, dan kebodohannya.  Perhatikanlah bagaimana kelanjutan makna ayat ini,
“Dia (Allah) telah memilih kalian, dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.”  
(QS. Al-Hajj;  78)
Akan tetapi sebaliknya, Allah menjadikan agama ini luas dan lapang bagi setiap orang, sebagaimana rezki-Nya yang meliputi setiap makhluk di permukaan bumi.  Allah membebankan kepada hamba menurut kesanggupannya, menganugerahkan rezki menurut kesanggupannya, sama sekali tidak menjadikan kesempitan dalam agama.
Allah telah melapangkan terhadap hamba dalam agama-Nya, rezki, ampunan, taubat, dan maghfirah-Nya.  Selagi ruh masih dikandung badan, Dia tetap membuka pintu taubat dan tidak menutupnya hingga matahari terbit dari ufuk Barat.  Allah menjadikan setiap keburukan memilki tebusannya, seperti taubat, shadaqah, kebaikan yang memang bisa menghapus keburukan tersebut, termasuk juga musibah yang menimpa hamba.  Bahkan, Allah mengganti setiap hal yang diharamkan dengan sesuatu yang jauh lebih bermanfaat, lebih bagus, dan lebih nikmat.  Mengganti setiap kesulitan yang jadi cobaan dengan adanya kemudahan setelah itu.  Maka, bagaimana mungkin Allah akan membebani mereka dengan sesuatu di luar kemampuan dan kesanggupannya?
Jika semua ini telah dipahami, maka dapat disimpulkan, bahwa jihad itu memiliki 4 (empat) tingkatan;
1.      1.  Jihad melawan Hawa Nafsu, yang terdiri dari empat tingkat pula;
a.       Mememerangi hawa nafsu dengan cara mempelajari petunjuk  dan agama yang benar (lurus), yang tidak ada keberuntungan dan kebahagiaan di dunia maupun di Akhirat kecuali dengan ilmu ini.  Karena umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah terpecah menjadi 73 golongan.  Hanya satu golongan yang selamat, yang mengikuti Manhaj (metode beragama) para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta dua generasi terbaik setelahnya (Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in), sedangkan sisanya (72 golongan) diancam dengan Neraka.
b.      Berjihad melawan hawa nafsu dengan beramal setelah memiliki ilmu.  Sebab, jika jihad ini hanya dengan ilmu tanpa amal, bisa membahayakan diri sendiri, sekurang-kurangnya tidak memberi manfaat.  Demikian pula sebaliknya, jika beramal (berjihad) tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan akan jauh lebih banyak (besar) daripada perbaikan yang dicita-citakan semula.  Perhatikanlah berbagai kerusakan yang terjadi di beberapa negara, bahkan dunia secara keseluruhan.
c.       Berjihad melawan hawa nafsu dengan mengajak kepada pendalaman ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain yang belum mengetahui.   Jika tidak, maka dia termasuk ke dalam orang-orang yang menyembunyikan ilmu yang diturunkan Allah, sehingga ilmu itu tidak memberi manfaat baginya, dan tidak mampu menyelamatkannya dari siksa Allah, karena ilmu itu akan menjadi hujjah yang menjatuhkan dirinya kelak di Yaumal Qiyamah.
d.      Berjihad dengan memerangi hawa nafsu dengan cara bersabar menghadapi kesulitan dakwah kepada Allah dari gangguan manusia.
Jika empat tingkatan ini menjadi sempurna pada diri seseorang, maka dia termasuk golongan Rabbaniyyin.  Para Salaf telah sepakat, bahwa orang yang berilmu tidak berhak disebut Rabbaniy, hingga ia mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.
2.       2. Jihad melawan Syaithan, yang terdiri dari dua tingkatan;
a.       Berjihad melawan syaithan dengan cara menolak apa-apa yang disusupkannya ke dalam diri (hati) hamba, seperti, syirik, khurafat (tahayul), bid'ah (penyimpangan dalam Aqidah dan, atau Amal), syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran), keragu-raguan yang akan menodai iman, seperti mencampur adukkan antara kebenaran dengan kebathilan sehingga mengaburkan nilai-nilai kebenaran tersebut.
b.      Berjihad melawan syaithan dengan menolak keinginan-keinginan yang rusak, dan syahwat.
Jihad yang pertama (Jihad melawan Hawa Nafsu), dengan segala rinciannya akan  menghasilkan keyakinan, sedangkan jihad yang kedua (Jihad melawan Syaithan) menghasilkan kesabaran.  Allah berfirman (artinya),
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.  Dan, mereka meyakini ayat-ayat Kami.”  (QS. As-Sajdah;  24)
Allah mengabarkan, bahwa kepemimpinan dalam agama hanya bisa diraih dengan kesabaran dan keyakinan.  Sabar menolak syahwat dan kehendak yang rusak, sedangkan keyakinan akan menolak keragu-raguan dan syubhat (kebathilan yang berkedok kebenaran).
3.     3. Jihad melawan orang-orang kafir.
4.     4.  Jihad melawan orang-orang munafik.
Kedua jihad terakhir ini (melawan orang-orang kafir dan munafik) memiliki empat tingkatan pula;
·         * Memerangi dengan hati.
·         * Memerangi dengan lisan.
·         * Memerangi dengan harta, dan
·         * Memerangi dengan jiwa.
Jihad memerangi orang-orang kafir lebih khusus menggunakan tangan, sedangkan meghadapi orang-orang munafik lebih khusus menggunakan lisan.
Sedangkan jihad melawan orang-orang yang zhalim, ahli bid’ah, dan para pelaku kemungkaran terdiri dari tiga tingkatan;
·         a. Menggunakan tangan jika memungkinkan dan mampu (memiliki kekuasaan).
·         b. Jika tidak, menggunakan lisan.
·         c. Jika tidak mampu lagi, menggunakan hati.
Jadi, inilah 13 (tigabelas) tingkatan jihad.  Barangsiapa yang mati, sementara dia tidak pernah berperang serta tidak membisiki hatinya (berniat) untuk berperang, maka dia mati pada sebagian cabang kemunafikan (Makna Al-Hadits).
Jihad belum dianggap sempurna - kecuali dengan hijrah.  Sementara, tidak ada jihad dan hijrah – kecuali dengan iman.  Orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah adalah orang-orang yang melaksanakan ketiga perkara ini (Iman, Jihad, dan Hijrah).  Seperti makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS. Al-Baqarah;  218)
Hamba yang paling sempurna di sisi Allah, adalah yang menyempurnakan semua tingkatan jihad ini.  Tentu saja manusia berbeda-beda kedudukannya di sisi Allah, tergantung pada perbedaan tingkatan jihadnya.  Karena itu, orang yang paling sempurna dan paling mulia di sisi Allah adalah para Nabi dan Rasul, dan puncaknya ditempati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Beliau sanggup menyempurnakan semua tingkatan jihad ini, dan Beliau diperintahkan untuk berjihad sejak diutus sebagai Rasul – hingga sampai Beliau meninggal dunia.
Awal perintah jihad ini setelah turun ayat kepada Beliau (artinya),
“Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan, dan Rabb-mu Agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah.”  
(QS. Al-Muddatsir;  1-4)
Beliau menyingsingkan lengan baju untuk berdakwah, melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, menyeru kepada Allah siang dan malam, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, ketika turun ayat (artinya),
“Maka, sampaikan olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu).”  
(QS. Al-Hijr;  94)
Semenjak itu, Beliau menyampaikan secara terang-terangan apa yang diperintahkan Allah, dan tidak peduli terhadap celaan orang-orang yang suka mencela dalam urusan itu.  Beliau menyampaikan seruan kepada siapa pun, yang muda, yang tua, besar, kecil, orang yang merdeka, budak, laki-laki, wanita, bahkan jin.  Pada saat itulah, ketika Beliau menyampaikan dakwah secara terang-terangan – mencela sesembahan dan agama kaumnya, maka mereka mulai melancarkan siksaan yang bertubi-tubi terhadap Beliau dan rekan-rekan Beliau yang telah masuk Islam.  Yang demikian ini merupakan sunnatullah yang pasti berlaku (terjadi) juga bagi hamba-hamba-Nya yang menempuh jalan yang sama.  Seperti dikatakan dalam makna firman-Nya,
“Dan demikianlah, Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari kalangan) manusia dan jin.”  
(QS. Al-An’am;  112), dan
“Demikianlah, tidak seorang Rasul pun yang datang kepada orang-orang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila’.  Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu?  Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.”  
(QS. Adz-Dzariyat;  52-53)
Allah menenteramkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan firman-Nya ini, bahwa para Rasul dan Nabi sebelumnya pun mengalami hal yang sama.  Allah juga menghibur para pengikut Beliau dengan firman-Nya,
“Apakah kalian mengira, bahwa kalian akan masuk Surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian?  Mereka ditimpa malapetaka, dan kesengsaraan, serta diguncang (dengan berbagai macam cobaan), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Kapankah datangnya pertolongan Allah?’  Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amatlah dekat.”  
(QS. Al-Baqarah;  214)
Ayat yang serupa disebutkan juga dalam surat Al-Ankabut;  1-11.  Maka hendaklah seorang hamba memperhatikan kandungan ayat ini, yang di dalamnya terdapat pelajaran dan hikmah yang mendalam dan tinggi.  Ketika ada seorang Rasul yang diutus kepada manusia, maka selalu akan muncul dua kelompok manusia.  Yang satu mengatakan, “Kami beriman”, dan yang lain tidak mau mengatakannya, dan terus berada (berkutat) dalam keburukan dan kekufurannya.  Siapa yang mengatakan, “Kami beriman”, maka Allah pasti akan menguji dan mencobanya, agar terlihat mana yang jujur (benar), dan mana yang dusta (palsu).  Dan siapa yang tidak mau mengatakan, “Kami beriman”, maka mereka tidak pernah mengira bahwa Allah akan melemahkan dan mengalahkan mereka.  Dia terus menempuh perjalanannya.
Siapa yang beriman kepada Rasul serta mentaatinya, maka musuh akan mengganggu dan menyakiti mereka.  Akan tetapi siapa yang tidak beriman kepada Beliau, maka dia akan disiksa di dunia (dengan kesesatan) dan di Akhirat (dengan adzab yang lebih keras), sehingga tetap saja dia akan mengalami siksaan, dan siksaan ini kekal selama-lamanya serta lebih pedih daripada siksaan yang diterima para pengikut Rasul.  Jadi, siapa pun orangnya akan mendapat siksaan, baik yang beriman maupun yang tidak beriman.  Akan tetapi orang-orang mukmin hanya mendapat siksaan pada permulaannya saja, setelah itu mereka mendapatkan kesudahan yang lebih baik di dunia dan di Akhirat.  Sedangkan orang-orang yang berpaling dari iman akan mendapatkan kesenangan pada permulaannya, setelah itu mereka mendapatkan penderitaan yang kekal (selama-lamanya).
Al-Imam Asy-Syafi’i pernah ditanya (seperti pembukaan tulisan ini)… dan seterusnya.
Jika ada yang bertanya, “bagaimana mungkin orang yang berakal dapat menentukan pilihannya?”  Dapat dijawab;  “Yang menimbulkan pertanyaan (protes) semacam ini, disebabkan jiwa manusia yang cenderung pada keduniaan.  Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Sekali-kali janganlah demikian.  Sebenarnya kalian (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (lalai terhadap) kehidupan Akhirat.”  
(QS. Al-Qiyamah;  20-21)
Yang demikian ini berlaku bagi semua manusia, apalagi mereka ditakdirkan untuk hidup bermasyarakat.  Manusia mempunyai banyak keinginan, dan persepsi yang harus terpenuhi.  Jika tidak, maka mereka akan merasa tersiksa.  Padahal, seandainya keinginan itu terpenuhi semuanya, mereka tetap mengalami siksaan dan penderitaan (Sunnatullah yang pasti berlaku), baik yang bersumber dari dirinya sendiri maupun dari orang lain (dari luar).  Yang demikian ini tidak berbeda jauh dengan orang yang berpegang teguh dengan agamanya serta bertakwa, sementara di sekitarnya banyak terdapat orang-orang yang zhalim dan jahat yang mampu dia hadapi.  Jika dia mengakui keberadaan mereka, dan tidak mengharu-biru (larut) di dalamnya, maka dia akan selamat dari ganguan mereka pada permulaannya.  Namun, lama-kelamaan mereka akan menguasai dirinya, bahkan mulai mengganggu dan melecehkannya, jauh lebih kejam dari apa yang dia bayangkan sebelumnya.  Sekiranya dia menentang dan mengingkari keberadaan mereka, taruhlah (untuk sementara) dia bisa selamat dari gangguan itu, toh belum tentu dia bisa selamat dari gangguan yang lainnya.  Maka yang paling prinsip dalam hal ini adalah, seperti yang dikatakan ummul mukminin (Ibunda orang-orang yang beriman) A’isyah kepada Mu’awiyah, “Siapa yang membuat Allah ridha dengan kemarahan manusia, maka Allah mencukupkan dirinya dari pertolongan manusia.  Namun, siapa yang membuat manusia ridha dengan kemurkaan Allah, maka sedikit pun Allah tidak peduli padanya.”
Siapa yang mencermati berbagai peristiwa yang terjadi di alam ini, tentu akan mengetahui, bahwa yang demikian ini sering terjadi pada orang-orang yang biasa membantu Pemimpin untuk mencapai tujuan-tujuannya yang rusak (bertentangan dengan aturan-aturan syariat), atau pada diri orang-orang yang membantu para ahli bid’ah, karena ingin selamat dari siksaan mereka.  Namun, siapa yang diberi petunjuk oleh Allah dan dilindungi dari keburukan dirinya, tentu akan menolak untuk menyetujui perbuatan yang diharamkan, dan lebih suka memilih sabar dalam menghadapi pemimpin itu, yang kemudian dia akan mendapatkan kesudahan yang lebih baik di dunia maupun Akhirat, seperti yang terjadi pada diri orang-orang Muhajirin dan Anshar, para ahli ibadah, ulama, dan orang-orang shalih.
Karena penderitaan itu tidak bisa dihindari sama sekali, maka Allah menghibur orang-orang yang mengalami penderitaan yang lebih ringan dan pasti akan berakhir, daripada penderitaan yang besar dan berkelanjutan, dalam makna firman-Nya,
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.  Dan, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  
(QS. Al-Ankabut;  5)
Allah telah menetapkan jangka waktu tertentu dari penderitaan itu. Yang pasti akan datang, yaitu saat berjumpa dengan-Nya.  Pada saat itulah manusia akan mendapatkan kenikmatan yang digambarkan, karena dia bersabar selama ditimpa penderitaan itu, selagi dia ridha kepada-Nya.  Kesenangan ini tergantung dari seberapa besar kadar kesabarannya, yang semua itu karena Allah, dan dia dapat menghibur diri dengan mengharap perjumpaan dengan-Nya, bahkan setiap kali melihat dan merasakan penderitaan, maka kerinduan untuk bertemu dengan-Nya (Allah) semakin menggebu-gebu .  Oleh sebab itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memohonkan doa kerinduan untuk  berjumpa dengan-Nya.  Dan kerinduan Beliau ini merupakan kenikmatan yang paling besar di dunia.  Tetapi, kenikmatan ini memiliki konsekwensi bagi perkataan dan perbuatan (resiko).  Karena Allah mengetahui setiap perbuatan dan mendengar setiap perkataan manusia, maka Dia-lah yang lebih berhak untuk menempatkan kenikmatan itu pada diri orang yang memang layak untuk menerimanya.  Firman Allah Ta’ala (artinya),
“Dan demikianlah, telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebagian yang lain (orang-orang miskin), supaya (orang-orang kaya) itu berkata, ‘Orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?’  (Allah berfirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur kepada-Nya?’ “  
(QS. Al-An’am;  53)
Apabila seseorang tidak mendapatkan suatu kenikmatan (jenis ini), maka hendaklah dia membaca firman Allah, “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?”
(Baca artikel tentang, NIKMAT)
Kemudian Allah menghibur mereka dengan hal lain, bahwa jihad di jalan Allah itu pada hakikatnya adalah untuk kepentingan diri mereka sendiri, dan hasilnya akan kembali kepada mereka.  Allah sama sekali tidak membutuhkan apa yang terkandung di dalamnya.  Kemaslahatan jihad ini kembali kepada mereka, dan bukan kepada Allah.  Karena itu Allah mengabarkan, bahwa dengan jihad dan iman itu Dia (Allah) akan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang shalih.  Kemudian Allah mengabarkan keadaan orang-orang yang memiliki iman tanpa bashirah.  Sehingga, ketika dia mendapat cobaan dari manusia karena membela agama Allah, dia menganggapnya sebagai siksaan (adzab) Allah terhadap diri orang tersebut.  Padahal itu hanya sekedar siksaan dari manusia, yang sudah biasa (lazim) diterima para Rasul serta para pengikutnya dari orang-orang yang berseberangan dengan mereka.  Dia menghindar dari siksaan itu, karena menganggapnya seperti siksaan Allah yang harus dihindari oleh orang-orang beriman (kelak di akhirat).  Padahal, bila dia memiliki kesempurnaan bashirah, orang-orang mukmin itu lari dari siksaan Allah (di Akhirat) kepada iman, dan mereka tetap bersabar dalam menghadapi siksaan Allah yang bersifat sementara, dan pasti akan segera berlalu.  Hal ini terjadi karena kelemahan bashirahnya, sehingga dia lari dari siksaan para musuh Rasul, lalu ia berjalan seiring dengan mereka (musuh-musuh Rasul).  Dia lari dari siksaan mereka menuju siksaan Allah.  Sungguh, suatu tindakan yang amat bodoh karena dia lari dari siksaan yang bersifat sementara menuju siksaan yang bersifat kekal.  Padahal, jika Allah telah menolong pasukan dan para wali-Nya, maka Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku beserta kalian.”  Allah mengetahui sifat kemunafikan yang telah menyusup ke dalam hati (jiwa) mereka.
Dengan kata lain, telah pasti ditentukan ketetapan hikmah Allah untuk menguji jiwa manusia, dengan demikian dapat diketahui mana yang baik dan mana yang buruk, siapa yang layak menerima kemuliaan dan siapa yang layak menerima kehinaan, agar Allah menyaring jiwa-jiwa manusia dan membersihkannya di “tungku ujian”, seperti halnya emas yang tidak akan tampak keasliannya selagi masih bercampur dengan tanah atau kotoran kecuali setelah diuji dan dicoba (dibakar / ditempa).  Sebab, pada dasarnya jiwa manusia itu bodoh dan zhalim.  Kotorannya yang berupa kebodohan dan kezhaliman itu harus disingkirkan dengan cara membersihkannya.  Namun, jika ia belum bersih ketika keluar dari dunia (meninggal), maka ia akan menuju kerak Neraka.  Jika sudah bersih, maka barulah ia layak masuk ke dalam Surga.
(Baca artikel, KAITAN ANTARA SURGA DENGAN IMAN)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepada Allah, maka hamba-hamba Allah dari berbagai kabilah menyambut seruan itu.  Urutan pertama yang menyambutnya dan bersedia masuk ke dalam Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.  Dia siap melindungi Beliau dalam menegakkan agama Allah, menyeru kepada Allah bersama Beliau, sehingga ada beberapa orang yang masuk ke dalam Islam lewat dirinya, seperti Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Sa’d bin Abi Waqqash.  Sementara dari kalangan wanitanya adalah, Khadijah binti Khuwailid yang menyokong aktivitas Nabi dengan segala sesuatu yang dimilikinya.  Suatu kali Beliau bersabda kepada Khadijah isteri Beliau, “Aku khawatir terhadap keselamatan diriku.”  Maka Khadijah berkata dengan tenang, “Demi Allah, terimalah khabar-khabar, sekali-kali Dia tidak akan menelantarkan Engkau.”  Khadijah menguatkan perkataannya, bahwa siapa saja yang memiliki sifat dan akhlak seperti yang Beliau miliki, tidak akan ditelantarkan oleh Allah selama-lamanya.  Dengan kesempurnaan fitrah dan akalnya dia menyatakan, bahwa amal yang shalih, akhlak yang utama, dan sifat yang mulia berasal dari karamah Allah, anugerah, dan pertolongan-Nya , sehingga orang-orang yang memilikinya tidak layak untuk ditelantarkan.  Maka dengan ketajaman pikiran dan kelurusan fitrah ini Khadijah layak mendapatkan salam dari Allah, sebagaimana yang disampaikan utusan-Nya, Jibril kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
---
Manusia masuk ke dalam Islam seorang demi seorang, sementara orang-orang Quraisy belum memberikan reaksi apa-apa.  Ketika Beliau mulai mencela agama mereka dan melecehkan sesembahan mereka, bahwa sesembahan mereka itu tidak bisa memberikan manfaat dan mudharat, maka mereka mulai melancarkan permusuhan terhadap Beliau dan para Sahabatnya.  Namun, Allah melindungi Rasul-Nya dengan keberadaan paman Beliau, Abu Thalib, karena dia adalah orang yang sangat terpandang, disegani, dan dimuliakan di kalangan kaum Quraisy, ditaati di lingkungan keluarga, tak seorang pun dari penduduk Makkah yang berani lancang terhadapnya.  Adapun di antara hikmah Allah, Abu Thalib tetap berada dalam agama kaumnya, yang tentunya keadaan ini mendatangkan kemashlahatan tersendiri.
Sementara di antara para Sahabat, ada yang memiliki kerabat yang mampu melindungi diri dan selamat dari siksaan mereka.  Tetapi mayoritas dari mereka mendapat siksaan dari orang-orang Quraisy, seperti Ammar bin Yasir dan ibunya, Sumayyah serta seluruh keluarganya.  Mereka sekeluarga disiksa karena mempertahankan agama Allah.  Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mereka yang sedang disiksa, Beliau hanya bisa bersabda, “Sabarlah, wahai keluarga Yasir, karena tempat yang dijanjikan terhadap kalian adalah Surga.”  Beliau tidak mampu berbuat apa-apa untuk melindungi mereka dari siksaan kaum Quraisy tersebut.
Suatu kali musuh Allah Abu Jahl mendekati Sumayyah, ibunda Yasir yang disiksa beserta suami dan anak-anaknya, lalu dia (Abu Jahl) menancapkan tombak di kemaluannya yang mengakibatkan beliau meninggal dunia, sehingga beliau menjadi syahid yang pertama dalam Islam.  Begitu pula siksaan yang dialami Bilal bin Rabbah, yang hanya mampu berkata, “Ahad, Ahad,” karena pedihnya siksaan yang dialami.
Jika Abu Bakar melewati seorang budak yang sedang disiksa karena masuk Islam, maka beliau langsung membeli budak itu dan memerdekakannya.  Di antara mereka itu adalah Bilal, Amir bin Fuhairah, Ummu Ubais, Zinnirah, Nahdiyah dan puterinya, seorang wanita milik Bani Ady yang disiksa Ummar bin Khaththab sebelum masuk Islam.  Sampai-sampai ayah Abu Bakar berkata kepadanya, “Wahai anakku, kulihat engkau membebaskan beberapa orang budak perempuan yang lemah, dengan membebaskan sekian banyak orang, tentu akan menghalangi langkahmu.”
Abu Bakar menjawab, “Aku akan mengerjakan apapun yang kuinginkan.”
Tatkala siksaan yang ditimpakan kepada orang-orang Islam semakin bertambah keras, Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa salllam mengizinkan mereka hijrah ke Habasyah.  Yang lebih dahulu hijrah adalah Utsman bin Affan beserta isterinya, Ruqayyah binti Rasulullah.  Jumlah rombongan yang hijrah pertama kali ini sebanyak 12 orang laki-laki dan empat orang wanita.  Mereka meninggalkan Makkah secara sembunyi-sembunyi.  Berkat taufik Allah, mereka tiba di pantai bertepatan dengan keberangkatan perahu pedagang.  Mereka pun ikut naik ke perahu itu, dan berlayar menuju Negeri Habasyah, tepatnya pada bulan Rajab, tahun kedua setelah Nubuwah.  Ketika orang-orang Quraisy mendengar kepergian rombongan ini, mereka menyusul hingga ke tepi pantai, tetapi tak seorang pun yang mereka dapatkan.  Tak seberapa lama tinggal di Habasyah, orang-orang yang berhijrah mendengar khabar, bahwa orang-orang Quraisy tidak lagi mengganggu dan menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Maka mereka pun kembali ke Makkah.  Tetapi sebelum memasuki negeri Makkah, mereka mendengar khabar bahwa orang-orang Quraisy justru lebih keras dalam memusuhi Beliau dan orang-orang Islam.  Maka, siapa yang ingin masuk ke Makkah harus meminta jaminan perlindungan dari seseorang, dan jaminan itu ada yang berlaku hingga mereka hijrah ke Madinah.
Permusuhan dan siksaan orang-orang Quraisy semakin keras, maka Nabi mengizinkan mereka berhijrah lagi ke Habasyah untuk kedua kalinya.  Hijrah yang kedua ini justru lebih sulit daripada hijrah yang pertama, karena orang-orang Quraisy menghalangi mereka.  Jumlah orang-orang muslim yang berhijrah kali ini sebanyak 83 orang laki-laki, termasuk Ammar bin Yasir, dan 19 orang wanita.
Pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketujuh setelah hijrah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada Najasyi, berisi ajakan untuk masuk Islam.  Yang menjadi kurirnya adalah Amr bin Umayyah Adh-dhamry.  Setelah membacanya, Najasyi langsung menyatakan masuk Islam.  Dia berkata, “Jika aku bisa menemui Beliau, tentu aku akan menemuinya.”
Dalam surat itu pula Nabi meminta Najasyi untuk mengawinkan Beliau dengan Ummu Habibah bin Abu Sufyan, yang juga ikut hijrah ke negerinya bersama suaminya Ubaidillah bin Jahsy, yang kemudian berpindah ke agama Nasrani, dan mati di sana.  Maka Najasyi menikahkan Ummu Habibah dengan Beliau, dan dia pula yang membayarkan mas kawinnya sebanyak 400 dinar.  Sedangkan yang menjadi walinya adalah Khalid bin Sa’id bin Al-Ash.  Kemudian Beliau juga mengirim surat agar Najasyi memulangkan para Sahabat yang masih ada di sana.  Maka Najasyi melaksanakan perintah Beliau itu, dengan menaikkan mereka ke atas dua buah kapal, hingga mereka bertemu dengan Beliau di Khaibar.  Ketika mereka tiba di sana, Beliau telah mampu menaklukkan Khaibar.
Ketika orang-orang muslim menetap di negeri Najasyi, mereka hidup aman.  Tetapi kemudian pihak Quraisy mengutus Abdullah bin Abu Rabi’ah dan Amr bin Al-Ash untuk menyusul ke Habasyah, sambil membawa berbagai macam hadiah untuk Najasyi, dengan harapan dia mau mengembalikan mereka ke pihak Quraisy.  Dua orang utusan Quraisy ini juga meminta dukungan para pemuka agama di sana.  Tapi Najasyi menolak permintaan itu.  Utusan Quraisy itu mencari jalan lain untuk mempengaruhi Najasyi, dengan mengatakan bahwa orang-orang muslim itu telah mengeluarkan pernyataan yang tidak bisa dianggap remeh tentang diri Isa, bahwa Isa adalah hamba Allah.  Maka Najasyi memanggil orang-orang Muhajirin itu ke Majelisnya, yang menjadi juru bicara mereka adalah Ja’far bin Abu Thalib.  Tatkala telah berkumpul semua, Najasyi bertanya, “Apa yang kalian katakan tentang diri Isa?”
Maka Ja’far membaca surat Kaf  ha’ ya ‘ain shad .  Kemudian Najasyi memungut sebuah tongkat dari tanah seraya berkata, “Isa tidak lebih dari orang ini dan tongkat ini.”
Seketika itu pula para pemimpin agamanya mengeluarkan suara dengusan.  Maka Najasyi berkata, “Sekalipun kalian mendengus.”  Lalu dia berkata kepada orang-orang Muhajirin, “Bangkitlah kalian, karena kalian aman di negeriku.  Siapa yang mencela kalian akan didenda.
Lalu Najasyi berkata kepada kedua utusan Quraisy itu, “Sekalipun kalian memberikan hadiah segunung emas, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian.”  Hadiah yang dibawa dikembalikan kepada mereka berdua, lalu mereka pulang dengan tangan hampa.
Kemudian Hamzah masuk Islam dengan beberapa orang.  Ketika orang-orang Quraisy melihat urusan (dakwah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin berkembang dan berada di "atas angin", maka mereka membuat perjanjian secara sepihak untuk tidak melakukan jual beli dengan Bani Hasyim dan Bani Al-Muththallib, tidak menikah, tidak berbicara, dan tidak berkumpul dengan mereka, hingga mereka menyerahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka.  Perjanjian itu mereka tulis dalam selembar papan, lalu menggantungkannya di atap Ka’bah.  Yang menulisnya adalah Baghidh bin Amir bin Hasyim.  Karena itulah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kecelakaan bagi Baghidh, dimana akhirnya tangannya menjadi lumpuh.  Semua Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththallib berhimpun menjadi satu, baik yang kafir maupun yang mukmin, kecuali Abu Lahab, yang bergabung dengan Quraisy.  Hal ini terjadi pada tahun ketujuh setelah Nubuwah.  Mereka dikucilkan dan diboikot selama tiga tahun, tidak bisa menjalin hubungan dengan pihak luar dan tidak bisa bergaul dengan siapa pun, hingga mereka benar-benar mengalami kesulitan yang amat berat.  Tangis anak-anak terdengar dari seberang perkampungan, yang mengundang rasa iba bagi siapa pun yang mendengarnya, sehingga mendorong Abu Thalib untuk melantunkan syairnya yang berisi kecaman.
Sementara, di pihak Quraisy suara terpecah menjadi dua kelompok, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju terhadap aksi pemboikotan secara sepihak tersebut.   Beberapa orang yang tidak setuju dengan pemboikotan itu berusaha untuk menghentikannya, seperti yang dilakukan Hisyam bin Amr bin Al-Harits.  Dia berusaha melobi Al-Muth’im bin Ady dan beberapa pemuka Quraisy lainnya, yang ternyata mereka pun sependapat.  Selanjutnya Allah membisikkan kepada Nabi-Nya tentang nasib selembar papan boikot  yang telah dimakan rayap hingga rusak.  Maka Beliau mengabarkan kepada pamannya, lalu pamannya menemui orang-orang Quraisy, bahwa keponakannya (Muhammad) berkata begini dan begitu.  Jika dia berbohong, maka kami serahkan dia kepada kalian.  Jika dia benar, maka kalian harus menghentikan semua pemboikotan  dan kezhaliman ini.
Selang beberapa lama kemudian Abu Thalib (paman Rasul) meninggal dunia, disusul dengan kematian Khadijah.  Maka cobaan yang ditimpakan orang-orang bodoh dari kaumnya semakin menjadi-jadi.  Mereka semakin brutal dan berani menyiksa Beliau.  Maka, Beliau pergi ke Thaif, dengan harapan bisa mendapatkan perlindungan dari pemuka negeri dan penduduknya.  Maka Beliau menyeru mereka kepada Allah, tetapi Beliau tidak mendapatkan seorang pun yang mau melindungi dan mengulurkan tangan, bahkan mereka menyiksa dan menyakiti Beliau jauh lebih sadis, yang tidak pernah Beliau alami di kaumnya sendiri.  Padahal Beliau berada di sana hanya 10 hari, dan setiap pemuka kaum pasti Beliau temui dan diajak berbicara.  Tetapi mereka berkata, “Enyahlah dari negeri kami.”  Bahkan mereka memperalat orang-orang yang bodoh dari penduduk Tha’if.  Mereka membentuk dua barisan di jalan yang Beliau lalui, lalu melempari Beliau dengan batu, hingga kedua kaki Beliau berdarah.  Zaid bin Haritsah yang menyertai Beliau berusaha untuk melindungi, hingga kepalanya pun mendapat luka yang menganga.  Maka Beliau meninggalkan Tha’if, kembali ke Makkah dengan perasaan yang amat sedih.  Di dalam perjalanan pulangnya itu Beliau memanjatkan doa yang sangat terkenal,
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan kekuatanku, sedikit alasanku, dan ketidak mampuanku menghadapi manusia, wahai Yang paling Pengasih di antara orang-orang yang pengasih Engkau Rabb orang-orang yang lemah, dan Engkau adalah Rabb-ku.  Kepada siapa Engkau menyerahkan diriku?  Kepada orang jauh yang menemuiku dengan muka masam ataukah kepada musuh yang Engkau jadikan menguasai urusanku?  Selagi tidak ada murka-Mu kepada-ku, maka aku tidak peduli.  Hanya saja afiat-Mu adalah jauh lebih luas bagiku.  Aku berlindung dengan Cahaya Wajah-Mu, yang karenanya kegelapan-kegelapan menjadi terang, dan urusan dunia serta akhirat menjadi baik.  Aku berlindung kepada-Mu agar murka-Mu tidak menimpaku dan amarah-Mu tidak turun kepadaku.  Bagi-Mu segala kerelaan hingga Engkau ridha, tiada daya dan kekuatan melainkan yang datang dari-Mu.”
Maka, Allah mengutus Malaikat penjaga gunung, yang menawarkan bantuan kepada Beliau untuk menimpakan dua bukit Ahsyabain kepada penduduk Tha’if.  Tetapi Beliau bersabda, “Tidak, tetapi aku berharap agar Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.”
Ketika singgah di sebuah kebun korma, Beliau mendirikan shalat dari sebagian waktu malam.  Saat itu ada beberapa jin yang mendekati Beliau dan mendengarkan bacaan Beliau.  Sementara Beliau tidak menyadari kehadiran mereka, hingga turun ayat (artinya),
“Dan (ingatlah), ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur`an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya), mereka berkata, ‘Diamlah kalian (untuk mendengarkannya)’.  Ketika pembicaraan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.”   
(QS. Al-Ahqaf;  29)
Beliau berada di kebun korma itu hingga beberapa hari lamanya.  Lalu zaid bertanya, “Bagaimana cara engkau menemui mereka lagi, padahal mereka telah mengusirmu?”
Beliau menjawab, “Hai zaid, sesungguhnya Allah akan menjadikan jalan keluar dari apa yang engkau lihat, dan sesungguhnya Allah akan menolong Agama-Nya serta memenangkan Nabi-Nya.”
Ketika hendak memasuki Makkah, Beliau mengutus seseorang dari Bani Khuza’ah untuk Muth’im bin Ady, dengan pesan, “Bagaimana jika aku masuk dalam jaminanmu?”
“Boleh,” jawabnya.  Lalu Muth’im mengumpulkan kaumnya seraya berkata, “Ambil senjata kalian, bersiap-siaplah di setiap sendi rumah kalian, karena aku telah melindungi Muhammad.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Makkah disertai Zaid bin Haritsah, hingga tiba di Masjidil Haram.  Lalu, Muth’im bin Ady berdiri di atas punggung hewan tunggangannya, dan berseru dengan suara lantang, “Hai semua orang Quraisy, sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad, maka tak seorang pun boleh menyerangnya.”
Lalu Beliau menghampiri Hajar Aswad dan memeluknya.  Setelah shalat dua rakaat Beliau pulang ke rumah.  Sementara Muth’im bin Ady beserta anak-anaknya siap dengan senjatanya mengawasi Beliau, hingga Beliau memasuki rumah.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Isra’ dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis, dengan menunggang Buraq, yang disertai Jibril.  Beliau shalat di sana dan menjadi imam bagi para Nabi.  Buraq ditambatkan pada pintu Masjid.  Ada yang berpendapat, Beliau turun di Baitul Lahm (Bethlehem) dan shalat di sana.  Tetapi pendapat ini tidak benar.  Pada malam itu pula Beliau dibawa naik dari Baitul Maqdis ke langit dunia.  Ketika Jibril meminta agar pintu langit dibuka, maka pintu itu pun dibukakan bagi Jibril dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.  Di sini Beliau bertemu Adam, bapak manusia.  Beliau mengucapkan salam, dan Adam membalasnya serta menyambut kedatangan Beliau serta menetapkan Nubuwah Beliau.  Allah memperlihatkan roh orang-orang yang berbahagia ada di sisi kanan Beliau, dan roh orang-orang yang menderita ada di sisi kiri Beliau.  Selanjutnya Beliau dibawa naik ke langit kedua.  Di sana Beliau bertemu Yahya bin Zakarya dan Isa bin Maryam.  Beliau mengucapkan salam kepada dua Nabi Allah ini, lalu keduanya membalas salam Beliau dan menyambut kedatangan Beliau serta menetapkan Nubuwah Beliau.  Kemudian naik lagi ke langit ketiga, dan di sana Beliau bertemu Yusuf.  Beliau mengucapkan salam yang kemudian  Nabi Yusuf membalasnya dan menyambut kedatangan Beliau serta menetapkan Nubuwah Beliau.  Kemudian Beliau naik lagi ke langit keempat dan bertemu dengan Nabi Idris, yang kemudian melakukan hal yang sama dengan Nabi-Nabi yang Beliau temui sebelumnya.  Di langit kelima Beliau bertemu Nabi Harun dan Imran.  Di langit keenam Beliau bertemu Nabi Musa bin Imran.  Pada saat itu Musa menangis.  Ketika ditanya, “Mengapa engkau menangis?”  Maka Beliau menjawab, “Aku menangis karena ada seorang pemuda yang diutus menjadi Rasul setelahku.  Umatnya yang masuk Surga lebih banyak dari umatku.”
Di langit ketujuh Beliau bertemu Ibrahim, dan Beliau mengucapkan salam, yang dibalas Ibrahim dan disambutnya.  Kemudian Beliau naik ke langit Sidratul Muntaha, Al-Baitul Ma’mur dinaikkan pula bagi Beliau, kemudian naik lagi menghadap kepada Allah.  Beliau mendekat kepada Allah hingga jaraknya kira-kira antara dua ujung busur atau bahkan lebih dekat lagi.  Lalu, Allah mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang memang Dia wahyukan, dan mewajibkan shalat 50 waktu dalam sehari semalam.
Beliau kembali hingga bertemu Musa, yang bertanya kepada Beliau, “Apa yang diperintahkan kepadamu?”
Beliau menjawab, “Shalat 50 kali”
“Sesungguhnya ummatmu tidak akan sanggup melakukannya.  Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan bagi ummatmu,” kata Musa.
Beliau menengok ke arah Jibril dengan maksud untuk meminta sarannya  tentang hal ini.  Maka Jibril memberi isyarat iya, selagi Beliau menghendakinya.  Maka Jibril membawa Beliau naik lagi ke atas hingga menghadap kepada Allah yang tetap berada di Tempat-Nya.  Maka Allah memberi keringanan 10 shalat.  Selanjutnya Beliau mondar-mandir antara Allah dan Musa, hingga akhirnya shalat itu tinggal 5 (lima) kali.  Musa menyarankan untuk kembali lagi kepada Allah dan memohon keringanan lagi.  Namun Beliau menjawab, “Aku sudah malu terhadap Rabb-ku.  Aku sudah ridha dan menerimanya.”
Ketika Beliau menjauh, tiba-tiba terdengar seruan, “Aku telah menetapkan kewajiban-Ku, dan Aku telah memberi keringanan bagi hamba-Ku.”
Para Sahabat saling berbeda pendapat, apakah malam itu Beliau melihat Rabb ataukah tidak.  Diriwayatkan secara shahih dari Ibnu Abbas, bahwa Beliau melihat-Nya.  Namun ada pula riwayat shahih darinya, bahwa  Beliau melihat dengan hatinya.  Ada pula riwayat shahih dari A’isyah dan Ibnu Mas’ud yang mengingkari pendapat ini.  Tentang firman Allah, “Dan, sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain di Sidratul Muntaha.”  
(QS. An-Najm;  13), bahwa yang dilihat di sini adalah Jibril.
Ada pula riwayat shahih dari Abu Dzarr, dia pernah bertanya kepada Beliau, “Apakah engkau pernah melihat Rabb engkau?”
Beliau menjawab, “Dia adalah cahaya.  Maka, mana mungkin aku bisa melihat-Nya.”  Dalam lafazh lain disebutkan, “Aku melihat sebuah cahaya.”
Sementara Utsman bin Sa’id Ad-Darimy mengisahkan kesepakatan para Sahabat, bahwa Beliau tidak melihat-Nya.  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataan Ibnu Abbas, ‘Sesungguhnya Beliau melihat-Nya’, tidak bertentangan dengan pendapat yang terakhir ini, maupun perkataan, “Beliau melihat dengan hatinya.”  Ada riwayat shahih dari Beliau, bahwa Beliau bersabda, ‘Aku pernah melihat Rabb-ku Tabaaraka wa Ta’ala.’  Tetapi hal ini terjadi bukan pada saat Isra’, melainkan ketika di Madinah, tepatnya saat Beliau terlambat datang ke shalat subuh.  Kemudian Beliau mengabarkan, bahwa semalam Beliau melihat Rabb dalam mimpinya.  Atas dasar inilah Al-Imam Ahmad melandaskan pendapatnya, dan dia berkata, “Beliau benar-benar melihat-Nya, karena mimpi para Nabi itu adalah benar.”  Tetapi, Imam Ahmad tidak mengatakan bahwa Beliau melihatnya dengan mata kepala saat terjaga.  Siapa yang mengisahkan hal ini dari Beliau, maka hal itu hanya sekedar dugaan.
Tentang “Mendekat” yang disebutkan dalam surat An-Najm, “Kemudian mendekat, dan bertambah dekat lagi”, bukan mendekat yang berkaitan dengan peristiwa Isra’, dan yang mendekat di sini adalah Jibril, sebagaimana yang dikatakan A’isyah dan Ibnu Mas’ud.
Pada keesokan harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah kaumnya, dan memberitahukan apa yang telah Beliau alami, dan tanda-tanda kekuasaan yang diperlihatkan Allah.  Tetapi mereka justru semakin mendustakan Beliau, dan cemoohan mereka semakin menjadi-jadi.  Ketika mereka meminta Beliau agar menggambarkan keadaan Baitul Maqdis, maka Allah menampakkan Baitul Maqdis itu di depan mata Beliau, sehingga dengan lancar Beliau dapat menggambarkannya kepada mereka.  Dengan demikian mereka tidak memiliki cara lagi untuk menolak penjelasan Beliau.  Beliau juga memberitahu rombongan kafilah mereka yang sedang dalam perjalanan pulang, bahkan Beliau mengabarkan hari kedatangan (sampainya) mereka, serta menyebutkan jumlah onta yang mereka bawa.  Ketika rombongan tersebut telah tiba di Makkah, apa yang Beliau sampaikan itu sama persis dengan keadaannya.  Tetapi semua ini justru membuat mereka semakin bertambah kufur, dan orang-orang yang zhalim itu memang tidak menghendaki selain dari kekufuran!
Ibnu Ishaq menukil dari A’isyah dan Mu’awiyah, keduanya berkata, “Beliau melakukan Isra’ dengan ruhnya, dan jasadnya tetap ada.”  Begitu pula yang dinukil dari Al-Hasan Al-Bashry.  Tetapi, harus diketahui adanya perbedaan antara isra’ itu seperti mimpi dalam tidur, dengan isra’ dengan ruh tanpa jasad.  Sebab, ada perbedaan yang jauh antara keduanya.  A’isyah dan Mu’awiyah tidak mengatakan, bahwa isra’ dengan ruh itu merupakan mimpi, tetapi keduanya mengatakan, “Beliau melakukan isra’ dengan ruhnya, dan jasadnya tetap ada.”  Sebab mimpi itu boleh jadi merupakan imbas dari sesuatu yang ditangkap indera, sehingga Beliau merasa seakan-akan dibawa naik ke langit, sementara ruhnya tidak beranjak dari jasad dan tidak ke mana-mana.  Ada dua golongan berkaitan dengan mi’raj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
Pertama;  Beliau naik ke langit dengan ruh dan jasadnya.
Kedua;  Beliau naik ke langit dengan ruhnya saja.  Golongan ini berpendapat seperti yang dikatakan A’isyah dan Mu’awiyah, tetapi tidak seperti mimpi dalam tidur.  Isra’ dan Mi’raj ini suatu perkara yang jauh di luar mimpi yang dialami sewaktu tidur, ia termasuk kejadian-kejadian diluar kebiasaan yang berlaku, seperti perut Beliau yang dibedah tanpa ada rasa sakit, padahal Beliau dalam keadaan sadar dan hidup.  Jadi, Beliau dibawa naik kelangit dengan ruhnya yang suci, tanpa mewafatkannya.  Sementara ruh selain Beliau tidak ada yang naik ke langit kecuali setelah mati.  Sedangkan ruh para Nabi berada di langit setelah meninggal dunia (kecuali Nabi Isa 'alaihissalam, pen.).  Ruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke  langit selagi Beliau masih hidup, lalu kembali lagi ke jasadnya, dan setelah wafat ruh Beliau ada di sisi Allah Yang Maha Tinggi bersama ruh para Nabi.  Ruh Beliau ini masih terkait dengan badan yang bergantung kepadanya, sehingga Beliau masih bisa menjawab salam yang disampaikan kepada Beliau.  Dengan begitu Beliau bisa melihat Musa yang shalat di kuburnya, sehingga mengenalnya ketika bertemu di langit yang keenam.  Sebagaimana yang diketahui, bahwa Beliau tidak dimi’rajkan dengan Musa dari kuburannya, kemudian dikembalikan lagi ke sana.  Langit yang keenam itu tempat tinggal ruh Musa, dan kuburannya merupakan tempat tinggal jasadnya hingga Hari Kiamat kelak, dimana pada saat itu semua ruh kembali ke jasadnya masing-masing.  Jadi, Beliau bisa melihat Musa yang shalat di atas kuburnya, dan bisa pula melihatnya di langit yang keenam.  Begitu pula ruh Beliau yang berada di sisi Allah Yang Mahatinggi, sementara jasad Beliau berada di kuburnya, membalas salam siapa pun yang menyampaikan salam kepada Beliau, tetapi juga tidak beranjak dari sisi Allah.
Siapa yang ingin memahami lebih dalam tentang hal ini, silahkan lihat matahari, jauh di atas sana di tempatnya, yang berpengaruh terhadap kehidupan di bumi, bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan.  Api tetap berada di tempatnya, tetapi panasnya berpengaruh terhadap badan yang jauh darinya.  Begitulah kira-kira gambaran antara roh dengan jasad.  Sementara hubungan dan kaitan roh dengan badan jauh lebih kuat dan lebih sempurna daripada gambaran api matahari dengan panasnya .
Musa bin Uqbah meriwayatkan dari Az-Zuhry, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimi’rajkan dari Baitul Maqdis ke langit sebelum hijrah ke Madinah, kira-kira setahun sebelumnya.  Menurut Ibnu Abdil Barr dan yang lainnya, jangka waktu antara keduanya setahun dua bulan.
Isra’ dan Mi’raj ini hanya terjadi sekali.  Tapi ada yang mengatakan dua kali, sekali dalam keadaan terjaga dan sekali dalam keadaan tidur.  Seakan-akan mereka yang berpendapat seperti ini hendak mengkompromikan antara hadits Syarik dan sabda Beliau, “Ketika aku terjaga….”  Ada pula yang mengatakan tiga kali.  Yang benar, Isra’ dan Mi’raj ini hanya terjadi satu kali saja, yaitu setelah Beliau diutus menjadi Rasul saat di Makkah.  Merupakan puncak kenikmatan pada tataran Islam, yang berhasil diraih Penghulu para Mujahidin fii Sabilillah.

oOo

(Dikutip dan disadur dari kitab, “Zaadul Ma’ad”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah”)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar