بسم الله
الر حمان الر حيم
Tidak
sedikit kalangan umat Islam yang keliru memahami makna Sunnah, bahwa
sunnah itu hanya pelengkap (tambahan) saja dalam Islam, yang boleh
dikerjakan (berpahala), dan boleh pula ditingggalkan (tidak berdosa). Pemahaman seperti itu jelas-jelas keliru /
fatal, karena makna Sunnah yang sebenarnya bisa juga bersifat
wajib (berdosa bila ditinggalkan / diselisihi), tidak sekedar anjuran (mustahab) semata.
“Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam”, adalah perkataan ulama Salaf, Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah,
“Ketahuilah,
bahwa Islam adalah As-Sunnah dan As-Sunnah adalah Islam, salah satunya tidak
bisa berdiri tegak tanpa yang lainnya.
Termasuk As-Sunnah adalah konsekwen (berpegang teguh, pen blog.) dengan Al-Jama’ah (orang yang berada di atas kebenaran, meskipun sendirian, pen blog.). Barangsiapa mencari selain Al-Jama’ah
serta memisahkan diri darinya, sungguh dia telah mencabut kalung keIslaman dari
lehernya, serta sesat dan menyesatkan.”
As-Sunnah yang dimaksud di sini, adalah setiap tuntunan, panduan,
bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam syariat Islam,
baik yang terkait Aqidah (keyakinan), Ibadah, Mu’amalah, serta
Akhlak. Seperti ucapan ulama Salaf berikut,
“Yang dimaksud dengan As-Sunnah, adalah beramal dengan
Al-Qur`an dan As-Sunnah, serta mengikuti jalan Salafush Shalih dan
mengikuti Atsar.” (Al-Hujjah
fii Bayanil Mahajjah 2/248)
Mengagungkan
As-Sunnah Berarti Mengagungkan Islam;
Al-Qur'an dan As-Sunnah keduanya adalah wahyu dari Allah Subahanahu
wa Ta’ala, keduanya diturunkan dari langit ke muka bumi ini sebagai bimbingan bagi
seluruh umat manusia, yang seharusnya menjadi landasan yang kuat dan kokoh
dalam menjalankan syariat Islam.
Seseorang yang bersih aqidahnya akan menjunjung tinggi keduanya, serta menempatkannya pada tempat yang mulia dan
agung di hatinya, karena dia menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji
akan mengangkat derajat orang-orang yang berpegang teguh pada keduanya.
Mereka mengetahui, bahwa mengangungkan wahyu Allah Subahanahu
wa Ta’ala (baik dari Al-Qur`an maupun As-Sunnah tersebut) merupakan
kewajiban bagi setiap individu muslim.
Seperti yang dijelaskan-Nya di banyak tempat dalam Al-Qur`an, di
antaranya,
“Dan
apa (saja) yang datang dari Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa (saja) yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr; 7), dan
“Barangsiapa (yang) mentaati Rasul, sesungguhnya dia telah
mentaati Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan tersebut),
maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa; 80), dan
“Maka, Demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah
beriman, hingga mereka menjadikan kamu (sebagai) hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan. Kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima sepenuhnya.” (QS. An-Nisa; 65)
Bentuk-bentuk pengagungan terhadap sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam itu banyak sekali.
Di antaranya adalah dengan mempelajarinya, mengamalkan segala yang
diperintahkan dan menjauhi segala yang Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam larang,
membela Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari berbagai celaan dan
hinaan, juga menampakkan syi’ar Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
serta menyebar-luaskannya.” (Masa’il
Furu’ fii Masa’il ‘Aqidah, 1/36)
Pengagungan Sunnah yang dilakukan para Salaf ummat
ini telah mereka terapkan sedemikian rupa, sehingga Allah Subhanahu wa
Ta’ala menempatkan mereka sebagai generasi terbaik Islam. Mereka mengingkari dengan keras segala bentuk
penyimpangan dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti yang diisyaratkan dalam perkataan Sufyan
Ats-Tsauri rahimahullah,
“Jika kamu berada di Syam, sebut-sebutlah manaqib
(keutamaan) Ali . Jika kamu berada di
Kufah, sebut-sebutlah manaqib Abu Bakar dan Umar.”
Keteladanan
Ahli Tauhid dalam Mengagungkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
Mereka adalah para Mujahid (pejuang) agama Islam yang
telah berpulang ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas
keistiqamahan. Mereka adalah para ulama,
generasi terbaik umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka menjadikan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penunjuk arah dalam peri kehidupan, bahkan pada setiap gerak-gerik
hati, dan langkah yang mereka ayunkan.
Segala ucapan, perbuatan, dan gerak-gerik Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dijadikan tauladan, dikedepankan, melebihi kepentingan
mereka terhadap orang tua, anak, isteri, bahkan manusia secara
keseluruhan. Sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Tidak
dikatakan sempurna iman seseorang, hingga aku lebih dicintainya daripada
ayahnya, anaknya, dan semua manusia.”
(HR. Al-Bukhari no.14, Muslim no. 62 dari Sahabat Anas bin Malik)
(Baca juga artikel, "Ce-i... Ci + eN, Te-a... Ta, Cinta")
(Baca juga artikel, "Ce-i... Ci + eN, Te-a... Ta, Cinta")
Bila seseorang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam akan mereka cela, dan memperingatkan manusia lain dari keburukannya. Mereka meninggalkannya, tidak berbicara
dengannya, bahkan mereka tidak mau seatap dengannya . Mereka menjaga sunnah-sunnah Rasulullah dari
tipu daya orang-orang yang jahat (musuh-musuh sunnah).
Beberapa Perkataan Generasi Terbaik Islam yang Mendukung Dalil-dalil di Atas;
* Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu,
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu pun yang telah
dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan aku
mengerjakannya pula. Jika aku tidak
melakukannya, aku khawatir akan menyimpang.” (Al-Ibanah, Ibnu Baththah 1/246)
* Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu,
“Aku khawatir turun hujan batu dari langit terhadap
kalian. Aku mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda demikian,’ dan kalian menyangkalnya dengan
mengatakan, ‘Abu Bakar berkata demikian, dan Umar berkata demikian?’ “ (Majmu’ fatawa 26/50)
* Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu,
Diriwayatkan oleh puteranya, Salim, bahwa Ibnu Umar berkata,
“Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan
kalian larang isteri-isteri kalian ke masjid bila mereka meminta idzin.’
Salim berkata, “Tiba-tiba Bilal bin Abdullah berkata, ‘Saya demi
Allah akan melarang mereka.”
Salim melanjutkan, “Ibnu Umar lalu menghadap kepada Bilal
dan mencelanya dengan celaan yang sangat keras.
Belum pernah saya mendengar beliau mencela dengan celaan seperti itu
sama sekali. Beliau berkata, “Aku
memberitahu kamu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
kamu mengatakan saya akan melarang mereka?’…”
(HR. Muslim no. 135)
* Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu,
Diceritakan oleh Abu Makhariq, ‘Ubadah menyebutkan sebuah
riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang menukar dua dirham dengan satu dirham. Lalu seseorang mengatakan, ‘Saya berpendapat
tidak mengapa selama yadan bi yadin (kontan).’ Ubadah spontan berkata, “Aku mengatakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian, dan engkau
mengatakan, ‘Saya berpendapat tidak mengapa?’
Demi Allah, jangan sekali-kali kamu bersamaku dalam satu atap.” (HR.
Ibnu Majah, dan Ad-Darimi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
* Abu Darda radhiyallahu ‘anhu
Diceritakan oleh Atha’ bin Yasar, seseorang menjual satu
pecahan emas atau perak dengan sesuatu yang sejenis tapi tidak sama
timbangannya. Abu Darda lalu berkata
kepadanya, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang cara seperti ini, kecuali bila timbangannya sama.” Orang tersebut menjawab, “Saya berpendapat
hal ini tidak mengapa.” Abu Darda
kemudian berkata lagi, “Siapa yang akan mencarikan alasan untukku bagi si
Fulan? Aku menyampaikan kepadanya sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia memberitahuku tentang
pendapatnya. Aku tidak akan menginjak
daerah yang kamu berada padanya.” (Al-Ibanah,
Ibnu Baththah, hal. 94)
* Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,
Al-‘Araj menceritakan, bahwa dia mendengar Abu Sa’id
Al-Khudri berkata kepada seseorang, “Apakah engkau mendengarku bila aku
sampaikan (hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian menukar dinar
dengan dinar, dan dirham dengan dirham, kecuali harus sama, serta jangan kalian
menjualnya dengan cara tidak kontan,’ lalu
engkau berfatwa seperti ini?! Demi Allah,
jangan sampai ada yang menaungiku bersamamu kecuali di masjid.” (Al-Ibanah, Ibnu Baththah hal. 95)
* Muhammad bin Sirin rahimahullah,
Qatadah rahimahullah menceritakan, bahwa Ibnu Sirin
rahimahullah menyampaikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada seseorang. Orang itu kemudian
berkata, “Fulan berkata demikian dan demikian.”
Ibnu Sirin lalu berkata, “Aku meyampaikan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu engkau mengatakan, ‘Fulan berkata demikian dan
demikian’?! Aku tidak akan mengajakmu
berbicara selama-lamanya.” (Sunan
Ad-Darimi, no. 441)
* Umar bin Abdul Aziz rahimahullah,
Beliau rahimahullah berkata, “Tidak berlaku hukum akal
bagi seseorang di hadapan Sunnah yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” (Al-Ibanah, 1/246)
* Abu Qilabah rahimahullah,
“Apabila kamu menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada seseorang, lalu dia mengatakan, ‘Tinggalkan kami dari yang
seperti ini. Datangkan kepadaku kitab
Allah Subhanahu wa Ta’ala,’
ketahuilah, bahwa dia adalah orang yang sesat.” (I’lamul Muwaqi’in, 2/282)
* Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
“Kaum muslimin telah bersepakat, bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
halal baginya untuk meninggalkannya disebabkan ucapan seseorang.” (I’lamul Muwaqqi’in, 2/282)
* Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah,
“Barangsiapa menentang satu hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dia berada di tepi (jurang) kehancuran.” (Thabaqat Hanabillah 2/15, Al-Ibanah
1/260)
* Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah,
“Bila engkau mendengar seseorang mencela hadits, atau
menginginkan yang selain hadits, curigailah keIslamannya. Janganlah engkau ragu, bahwa dia adalah
pengikut hawa nafsu dan mubtadi’ (ahli bid’ah).” (Syarhus Sunnah, hal. 51)
* Abul Qashim Al-Ash-Bahani rahimahullah,
Ahlussunnah dari kalangan Salaf mengatakan, “Apabila
seseorang mencela Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
pantas untuk dicurigai keIslamannya.”
(Al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah, 2/428)
Ucapan-ucapan
yang teguh di atas adalah hasil (buah) dari pohon Tauhid yang kokoh, dan tinggi
menjulang ke atas langit.
Orang
yang mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
adalah orang-orang yang memiliki Aqidah yang lurus, benar, dan teguh, karena
konsekwensi dari keyakinan yang benar itu, adalah menjunjung tinggi syiar-syiar
Allah Subhanahu wa Ta’ala serta Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir maupun bathin.
Wallahul Muwaffiq (hanya Allah-lah Pemberi Taufiq).
oOo
(Disadur bebas dari tulisan Ust. Usamah Abdurrahman, “Mengagungkan
Sunnah Buah Nyata Akidah yang Benar”, majalah Asy-Syariah, Vol. VI/No.61/1431 H/2010
M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar