Rabu, 04 September 2019

ISLAM ADALAH SUNNAH DAN SUNNAH ADALAH ISLAM



بسم الله الر حمان الر حيم

Tidak sedikit kalangan umat Islam yang keliru memahami makna Sunnah, bahwa sunnah itu hanya pelengkap (tambahan) saja dalam Islam, yang boleh dikerjakan (berpahala), dan boleh pula ditingggalkan (tidak berdosa).  Pemahaman seperti itu jelas-jelas keliru / fatal, karena makna Sunnah yang sebenarnya bisa juga bersifat wajib (berdosa bila ditinggalkan / diselisihi), tidak sekedar anjuran (mustahab) semata.

“Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam”, adalah perkataan ulama Salaf, Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah,
“Ketahuilah, bahwa Islam adalah As-Sunnah dan As-Sunnah adalah Islam, salah satunya tidak bisa berdiri tegak tanpa yang lainnya.  Termasuk As-Sunnah adalah konsekwen (berpegang teguh, pen blog.) dengan Al-Jama’ah (orang yang berada di atas kebenaran, meskipun sendirian, pen blog.).  Barangsiapa mencari selain Al-Jama’ah serta memisahkan diri darinya, sungguh dia telah mencabut kalung keIslaman dari lehernya, serta sesat dan menyesatkan.”
As-Sunnah yang dimaksud di sini, adalah setiap tuntunan, panduan, bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam syariat Islam, baik yang terkait Aqidah (keyakinan), Ibadah, Mu’amalah, serta Akhlak.  Seperti ucapan ulama Salaf berikut,
“Yang dimaksud dengan As-Sunnah, adalah beramal dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, serta mengikuti jalan Salafush Shalih dan mengikuti Atsar.”  (Al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah 2/248)

Mengagungkan As-Sunnah Berarti Mengagungkan Islam;
Al-Qur'an dan As-Sunnah keduanya adalah wahyu dari Allah Subahanahu wa Ta’ala, keduanya diturunkan dari langit ke muka bumi ini sebagai bimbingan bagi seluruh umat manusia, yang seharusnya menjadi landasan yang kuat dan kokoh dalam menjalankan syariat Islam.  Seseorang yang bersih aqidahnya akan menjunjung tinggi keduanya,  serta menempatkannya pada tempat yang mulia dan agung di hatinya, karena dia menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang berpegang teguh pada keduanya.
Mereka mengetahui, bahwa mengangungkan wahyu Allah Subahanahu wa Ta’ala (baik dari Al-Qur`an maupun As-Sunnah tersebut) merupakan kewajiban bagi setiap individu muslim.  Seperti yang dijelaskan-Nya di banyak tempat dalam Al-Qur`an, di antaranya,
“Dan apa (saja) yang datang dari Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa (saja) yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.  Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.”  (QS. Al-Hasyr;  7), dan
Barangsiapa (yang) mentaati Rasul, sesungguhnya dia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan tersebut), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”  (QS. An-Nisa;  80), dan
Maka, Demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah beriman, hingga mereka menjadikan kamu (sebagai) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.  Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.”  (QS. An-Nisa;  65)
Bentuk-bentuk pengagungan terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu banyak sekali.  Di antaranya adalah dengan mempelajarinya, mengamalkan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam larang, membela Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari berbagai celaan dan hinaan, juga menampakkan syi’ar Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menyebar-luaskannya.”  (Masa’il Furu’ fii Masa’il ‘Aqidah, 1/36)
Pengagungan Sunnah yang dilakukan para Salaf ummat ini telah mereka terapkan sedemikian rupa, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkan mereka sebagai generasi terbaik Islam.  Mereka mengingkari dengan keras segala bentuk penyimpangan dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Seperti yang diisyaratkan dalam perkataan Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah,
“Jika kamu berada di Syam, sebut-sebutlah manaqib (keutamaan) Ali .  Jika kamu berada di Kufah, sebut-sebutlah manaqib Abu Bakar dan Umar.”

Keteladanan Ahli Tauhid dalam Mengagungkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
Mereka adalah para Mujahid (pejuang) agama Islam yang telah berpulang ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas keistiqamahan.  Mereka adalah para ulama, generasi terbaik umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Mereka menjadikan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penunjuk arah dalam peri kehidupan, bahkan pada setiap gerak-gerik hati, dan langkah yang mereka ayunkan.
Segala ucapan, perbuatan, dan gerak-gerik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan tauladan, dikedepankan, melebihi kepentingan mereka terhadap orang tua, anak, isteri, bahkan manusia secara keseluruhan.  Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Tidak dikatakan sempurna iman seseorang, hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan semua manusia.”  (HR. Al-Bukhari no.14, Muslim no. 62 dari Sahabat Anas bin Malik)
(Baca juga artikel, "Ce-i... Ci + eN, Te-a... Ta, Cinta")
Bila seseorang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mereka cela, dan memperingatkan manusia lain dari keburukannya.  Mereka meninggalkannya, tidak berbicara dengannya, bahkan mereka tidak mau seatap dengannya .  Mereka menjaga sunnah-sunnah Rasulullah dari tipu daya orang-orang yang jahat (musuh-musuh sunnah).

Beberapa Perkataan Generasi Terbaik Islam yang Mendukung Dalil-dalil di Atas;
* Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu,
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu pun yang telah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan aku mengerjakannya pula.  Jika aku tidak melakukannya, aku khawatir akan menyimpang.  (Al-Ibanah, Ibnu Baththah 1/246)

* Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu,
“Aku khawatir turun hujan batu dari langit terhadap kalian.  Aku mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian,’ dan kalian menyangkalnya dengan mengatakan, ‘Abu Bakar berkata demikian, dan Umar berkata demikian?’ “  (Majmu’ fatawa 26/50)

* Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu,
Diriwayatkan oleh puteranya, Salim, bahwa Ibnu Umar berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian larang isteri-isteri kalian ke masjid bila mereka meminta idzin.’
Salim berkata, “Tiba-tiba Bilal bin Abdullah berkata, ‘Saya demi Allah akan melarang mereka.”
Salim melanjutkan, “Ibnu Umar lalu menghadap kepada Bilal dan mencelanya dengan celaan yang sangat keras.  Belum pernah saya mendengar beliau mencela dengan celaan seperti itu sama sekali.  Beliau berkata, “Aku memberitahu kamu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kamu mengatakan saya akan melarang mereka?’…”  (HR.  Muslim no. 135)

* Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu,
Diceritakan oleh Abu Makhariq, ‘Ubadah menyebutkan sebuah riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menukar dua dirham dengan satu dirham.  Lalu seseorang mengatakan, ‘Saya berpendapat tidak mengapa selama yadan bi yadin (kontan).’  Ubadah spontan berkata, “Aku mengatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian, dan engkau mengatakan, ‘Saya berpendapat tidak mengapa?’  Demi Allah, jangan sekali-kali kamu bersamaku dalam satu atap.”  (HR.  Ibnu Majah, dan Ad-Darimi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

* Abu Darda radhiyallahu ‘anhu
Diceritakan oleh Atha’ bin Yasar, seseorang menjual satu pecahan emas atau perak dengan sesuatu yang sejenis tapi tidak sama timbangannya.  Abu Darda lalu berkata kepadanya, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang cara seperti ini, kecuali bila timbangannya sama.”  Orang tersebut menjawab, “Saya berpendapat hal ini tidak mengapa.”  Abu Darda kemudian berkata lagi, “Siapa yang akan mencarikan alasan untukku bagi si Fulan?  Aku menyampaikan kepadanya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia memberitahuku tentang pendapatnya.  Aku tidak akan menginjak daerah yang kamu berada padanya.”  (Al-Ibanah, Ibnu Baththah, hal. 94)

* Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,
Al-‘Araj menceritakan, bahwa dia mendengar Abu Sa’id Al-Khudri berkata kepada seseorang, “Apakah engkau mendengarku bila aku sampaikan (hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian menukar dinar dengan dinar, dan dirham dengan dirham, kecuali harus sama, serta jangan kalian menjualnya dengan cara tidak kontan,’  lalu engkau berfatwa seperti ini?!  Demi Allah, jangan sampai ada yang menaungiku bersamamu kecuali di masjid.”  (Al-Ibanah, Ibnu Baththah hal. 95)

* Muhammad bin Sirin rahimahullah,
Qatadah rahimahullah menceritakan, bahwa Ibnu Sirin rahimahullah menyampaikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seseorang.  Orang itu kemudian berkata, “Fulan berkata demikian dan demikian.”  Ibnu Sirin lalu berkata, “Aku meyampaikan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu engkau mengatakan, ‘Fulan berkata demikian dan demikian’?!  Aku tidak akan mengajakmu berbicara selama-lamanya.”  (Sunan Ad-Darimi, no. 441)

* Umar bin Abdul Aziz rahimahullah,
Beliau rahimahullah berkata, “Tidak berlaku hukum akal bagi seseorang di hadapan Sunnah yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”  (Al-Ibanah, 1/246)

* Abu Qilabah rahimahullah,
“Apabila kamu menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seseorang, lalu dia mengatakan, ‘Tinggalkan kami dari yang seperti ini.  Datangkan kepadaku kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala,’  ketahuilah, bahwa dia adalah orang yang sesat.”  (I’lamul Muwaqi’in, 2/282)

* Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
“Kaum muslimin telah bersepakat, bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkannya disebabkan ucapan seseorang.”   (I’lamul Muwaqqi’in, 2/282)

* Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah,
“Barangsiapa menentang satu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berada di tepi (jurang) kehancuran.”  (Thabaqat Hanabillah 2/15, Al-Ibanah 1/260)

* Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah,
“Bila engkau mendengar seseorang mencela hadits, atau menginginkan yang selain hadits, curigailah keIslamannya.  Janganlah engkau ragu, bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu dan mubtadi’ (ahli bid’ah).  (Syarhus Sunnah, hal. 51)

* Abul Qashim Al-Ash-Bahani rahimahullah,
Ahlussunnah dari kalangan Salaf mengatakan, “Apabila seseorang mencela Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pantas untuk dicurigai keIslamannya.”  (Al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah, 2/428)
Ucapan-ucapan yang teguh di atas adalah hasil (buah) dari pohon Tauhid yang kokoh, dan tinggi menjulang ke atas langit.
Orang yang mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang memiliki Aqidah yang lurus, benar, dan teguh, karena konsekwensi dari keyakinan yang benar itu, adalah menjunjung tinggi syiar-syiar Allah Subhanahu wa Ta’ala serta Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir maupun bathin.
Wallahul Muwaffiq (hanya Allah-lah Pemberi Taufiq).

oOo

(Disadur bebas dari tulisan Ust. Usamah Abdurrahman, “Mengagungkan Sunnah Buah Nyata Akidah yang Benar”,  majalah Asy-Syariah, Vol. VI/No.61/1431 H/2010 M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar