بسم الله
الر حمان الر حيم
Islam
adalah agama yang dibangun di atas landasan ilmu, sehingga segala sesuatu yang
terdapat di dalamnya, dipecahkan dan diselesaikan secara ilmiah. Termasuk keilmiahan Islam, adalah
penukilannya yang otentik dari sumber syariat yang murni, yang berasal
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Kedua wahyu yang agung ini menjadi
pedoman setiap insan yang mengharapkan jalan keselamatan hidup di dunia,
apalagi di akhirat kelak.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
(artinya),
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian dua
perkara, yang kalian tidak akan sesat selama-lamanya setelah keduanya; Kitabullah dan Sunnahku, dan keduanya tidak
akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di atas telaga (hari kiamat).” (HR.
Al-Hakim, dalam Al-Mustadrak, 1/172)
Kedua
pedoman inilah yang senantiasa dijaga oleh kaum muslimin, dari berbagai upaya
perubahan dan penyusupan, sebagai pengejauantahan pembenaran dari firman Allah Subahanahu
wa Ta’ala,
انا نحن نرلنا الذكر و انا له لحفظون
“Innaa nahnu nazzalnaa adzdzikra wa innaa lahu lahaafizdhuuna”
“Sesungguhnya Kami-lah Yang menurunkan Al-Qur`an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
(Al-Hijr; 9)
As-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini,
“Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya,” maksudnya adalah menjaganya ketika diturunkan
maupun setelahnya. Ketika diturunkan
Allah Subahanhu wa Ta’ala menjaganya dari Syaithan yang terkutuk yang
hendak mencurinya. Setelah diturunkan,
Allah Subahanahu wa Ta’ala meletakkannya di dalam hati Rasul-Nya, lalu
meletakkannya di hati ummat Beliau.
Allah Subahanhu wa Ta’ala menjaganya dari berbagai perubahan,
penambahan, dan pengurangan, serta memelihara maknanya dari perubahan-perubahan. Tidaklah seseorang melakukan perubahan
pada salah satu maknanya, melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
jaminan akan adanya orang yang menjelaskan kebenarannya dengan gamblang. Ini merupakan tanda kebesaran-Nya yang paling
agung, dan kenikmatan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.” (Tafsir As-Sa’di, Taisir Al-Karim
Ar-Rahman)
Oleh
karena itu, Al-Qur'an Al-Karim dinukilkan kepada ummat ini dengan cara yang
sangat otentik, sejak generasi Sahabat yang meriwayatkan Al-Qur'an dengan
berbagai jenis Qira’ahnya (metode bacaan, pen.) secara mutawatir
(populer, pen.) kepada generasi setelahnya, hingga pada masa kita saat ini.
Demikian pula halnya dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam , yang merupakan penjelas wahyu Al-Qur'an, yang telah
Allah Subahanahu wa Ta’ala turunkan, senantiasa terjaga dan terpelihara
dari berbagai perubahan. Abu Bakar rahimahullah
(wafat 350 H) mengatakan, “(Telah)
sampai berita kepadaku, bahwa Allah Subahanhu wa Ta’ala memberikan
kekhususan kepada ummat ini dengan 3 (tiga) hal yang tidak diberikan kepada
ummat-ummat sebelumnya; Ilmu Sanad,
Nashab, dan ‘Irab.” (Diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam
Syaraf Ashabil Hadits, hal.40, juga dinukilkan dari ucapan Abu Ali
Al-Jayyani Al-Ghassani. Lihat Tadrib
Ar-Rawi, As-Suyuthi, 2/160)
Ibnu Hazm rahimahullah menerangkan, “Penukilan seorang tsiqah (terpercaya) dari orang yang tsiqah
pula, sampai kepada (sumbernya) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
disertai sanad yang bersambung, merupakan keistimewaan penukilan yang
diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum muslimin, yang
tidak dimiliki oleh agama-agama yang lain…” (Al-Fishal, Ibnu Hazm, 2/219-223)
Syaiklhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Ilmu sanad
dan riwayat merupakan keistimewaan yang Allah Subahanahu wa Ta’ala
berikan kepada ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah Subahanahu wa Ta’ala
menjadikannya sebagai tangga untuk mengetahui sesuatu. (Para) Ahli Kitab tidak memiliki sanad
dalam menukilkan riwayat-riwayat
mereka. Demikian pula ahli bid’ah
dan kelompok-kelompok yang sesat dari ummat ini. Sanad ini hanya dimiliki oleh kaum yang telah
menerima anugerah yang besar dari Allah, yang berpegang (teguh) kepada Islam
dan Sunnah. Dengan sanad, mereka
bisa membedakan antara yang shahih dan yang berpenyakit, yang bengkok
dan yang lurus.” (Majmu’
Fatawa, 1/9)
Pengertian Sanad;
Sanad – atau terkadang disebut juga Isnad
– secara bahasa berarti sesuatu yang dijadikan sandaran. Kata isnad berasal dari kata asnada
/ اسند ,
yang bermakna menyandarkan.
Adapun secara Etimologi (istilah), sanad dan isnad merupakan dua istilah
yang sering digunakan untuk menunjukkan satu makna, yaitu; سلسلة الرجال الموصلة الى المتن / “Silsilatu ar-rijaali al-muusilatu ilaa
al-matni” / “Rantai perawi (periwayat)
yang bersusun yang membawa kepada matan (isi)”
Sebagian ulama membedakan antara sanad dengan isnad. Mereka mengatakan, “Sanad adalah para perawi
(periwayat) hadits, sedangkan isnad adalah perbuatan para perawi
tersebut.”
Matan adalah sebuah ucapan yang merupakan ujung dari sanad
tersebut (lihat definisi tersebut dalam kitab, Nuzhatun Nazhar,
Al-Hafizh Ibnu Hajar, hal. 53, Qawa’id At-Tahdits, Jamaluddin
Al-Qashimi, hal. 202, Qawa’id fii ‘Ulumil Hadits, At-Tahawuni, hal. 26,
dll)
Sejarah
Ilmu Sanad;
Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
belum menjadi hal yang sangat penting dalam masalah penukilan, karena para Sahabat yang
meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah
orang-orang yang adil dan terpercaya.
Mereka adalah pribadi-pribadi yang senantiasa jujur dalam penukilan, dan
tidak pernah berdusta. Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,
الا ليبلغ الشاهد منكم الغاءب /
“Alaa, liyuballighi asy-syaahidu minkum al-ghaaiba” /
“Hendaknya yang hadir di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak
hadir.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu Hibban Al-Busti rahimahullah mengatakan dalam
muqaddimah shahih-nya;
“Pada masa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
‘Hendaknya yang hadir di antara kalian menyampaikannya kepada yang tidak
hadir,’ terdapat dalil yang sangat jelas
tentang sikap ‘adl (jujur) para Sahabat.
Tidak seorang pun di antara mereka yang tercela dan lemah. Kalau di antara mereka ada yang tercela,
lemah, atau tidak jujur, tentu Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah mengecualikannya dengan bersabda, ‘Hendaknya si Fulan dan si Fulan di
antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.’ Tatkala Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menyebutkannya secara global dalam perintah menyampaikan agama, ini
menunjukkan mereka semuanya adil.
Cukuplah sebagai kemuliaan bagi mereka yang mendapatkan rekomendasi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Shahih Ibnu Hibban, bernama Al-Ihsan, 1/162)
Diriwayatkan pula oleh Al-Khatib rahimahullah, dengan
sanadnya dari Al-Bara bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Tidak semua dari kami mendengar hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, karena kami mencari nafkah dan memiliki kesibukan, dan
orang-orang pada waktu itu tidak pernah berdusta, sehingga yang hadir
menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
(Al-Kifayah fii ‘Ilmi Ar-Riwayah, Al-Khatib Al-Baghdadi,
2/no.1210)
Demikian pula yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, Ia berkata, “Tidak semua yang kami beritakan kepada kalian dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kami dengar langsung dari
Beliau. Akan tetapi, para Sahabat kami
memberitakan kepada kami, dan kami adalah kaum yang tidak berdusta terhadap
orang lain.” (Al-Kifayah,
2/1211)
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
wafat, hawa nafsu pun semakin merebak di tengah-tengah kaum muslimin. Semakin banyak pula bermunculan penyimpangan
berupa bid’ah, hilangnya amanah, dan menghalalkan dusta dengan
tujuan-tujuan tertentu, baik dalam urusan dunia maupun dalam masalah
keyakinan ('aqidah). Hal inilah yang menyebabkan
para ‘Ulama Salaf bertekad melakukan penelitian pada setiap berita yang
disandarkan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Thawus rahimahullah berkata;
“Orang ini, Busyair bin Ka’ab, datang kepada Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu, lalu menyampaikan hadits.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Ulangi hadits
ini dan itu.” Busyair pun mengulangi
kembali. Ibnu Abbas kembali berkata,
“Ulangi hadits ini dan itu.” Dia pun
kembali mengulangi. Lalu Busyair
berkata, “Aku tidak tahu apakah engkau mengetahui semua haditsku, dan engkau
mengingkari yang ini, atau egkau mengingkari semua haditsku, dan engkau
mengetahui (tidak mengingkari) yang ini.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu lalu berkata, “Sesungguhnya kami dahulu memberitakan hadits
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebab belum ada kedustaan
terhadap Beliau. Akan tetapi tatkala
orang-orang mulai menunggangi unta yang sulit, dan yang mudah (yakni menempuh
segala jalan, yang terpuji maupun yang tercela), kami pun tidak mengambil
haditsnya (tanpa penelitian).”
(Muqaddimah Shahih Muslim, 1/19)
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliau berkata,
“Sesungguhnya dahulu jika kami mendengar seseorang berkata, ‘Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda…’, pandangan kami segera tertuju padanya, dan
pendengaran kami menyimaknya. Namun,
ketika orang-orang mulai menunggangi unta yang sulit dan yang mudah (yakni
menempuh segala jalan, yang terpuji maupun yang tercela), kami pun tidak
mengambil riwayat manusia kecuali yang kami kenal.” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/21)
Demikian pula yang dikatakan Ibnu Sirin rahimahullah;
“Dahulu mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun tatkala telah terjadi fitnah mereka
berkata, ‘Sebutkan nama perawi-perawi
kalian!’ Kemudian dilihat kepada Ahlus
Sunnah – maka diambil haditsnya, dan dilihat kepada ahli bid’ah – maka tidak
diambil haditsnya.” (Muqaddimah Shahih
Muslim, 1/27)
Ibnu Lahi’ah rahimahullah berkata, “Aku mendengar
seorang syaikh dari kalangan Khawarij (salah satu manhaj
menyimpang, pen.) berkata, ‘Sesungguhnya hadits-hadits ini adalah agama, maka
perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama kalian. Sesungguhnya dahulu, jika kami menghendaki
suatu hal, kami membuatnya menjadi hadits.”
(Al-Kifayah, 1/327)
Oleh karena itu, para ‘ulama salafus salih
berusaha keras untuk senantiasa melakukan pengecekan terhadap setiap sanad,
demi menjaga syariat yang mulia ini agar senantiasa dalam keadaan jernih dan murni.
Wallahu a’lam.
oOo
(Disalin dengan editan dari tulisan Ust. Abu
Karimah Askari bin Jamal, Majalah Asy-Syariah, vol. VI/No. 61/1431
H/2010 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar