Minggu, 08 September 2019

SEJARAH ILMU SANAD



بسم الله الر حمان الر حيم

Islam adalah agama yang dibangun di atas landasan ilmu, sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalamnya, dipecahkan dan diselesaikan secara ilmiah.  Termasuk keilmiahan Islam, adalah penukilannya yang otentik dari sumber syariat yang murni, yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Kedua wahyu yang agung ini menjadi pedoman setiap insan yang mengharapkan jalan keselamatan hidup di dunia, apalagi di akhirat kelak.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, yang kalian tidak akan sesat selama-lamanya setelah keduanya;  Kitabullah dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di atas telaga (hari kiamat).”  (HR.  Al-Hakim, dalam Al-Mustadrak, 1/172)
Kedua pedoman inilah yang senantiasa dijaga oleh kaum muslimin, dari berbagai upaya perubahan dan penyusupan, sebagai pengejauantahan pembenaran dari firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,
  انا نحن نرلنا الذكر و انا له لحفظون
“Innaa nahnu nazzalnaa adzdzikra wa innaa lahu lahaafizdhuuna”
Sesungguhnya Kami-lah Yang menurunkan Al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”  (Al-Hijr;  9)
As-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini,
“Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya,”  maksudnya adalah menjaganya ketika diturunkan maupun setelahnya.  Ketika diturunkan Allah Subahanhu wa Ta’ala menjaganya dari Syaithan yang terkutuk yang hendak mencurinya.  Setelah diturunkan, Allah Subahanahu wa Ta’ala meletakkannya di dalam hati Rasul-Nya, lalu meletakkannya di hati ummat Beliau.  Allah Subahanhu wa Ta’ala menjaganya dari berbagai perubahan, penambahan, dan pengurangan, serta memelihara maknanya dari perubahan-perubahan.  Tidaklah seseorang melakukan perubahan pada salah satu maknanya, melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan jaminan akan adanya orang yang menjelaskan kebenarannya dengan gamblang.  Ini merupakan tanda kebesaran-Nya yang paling agung, dan kenikmatan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.”  (Tafsir As-Sa’di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Oleh karena itu, Al-Qur'an Al-Karim dinukilkan kepada ummat ini dengan cara yang sangat otentik, sejak generasi Sahabat yang meriwayatkan Al-Qur'an dengan berbagai jenis Qira’ahnya (metode bacaan, pen.) secara mutawatir (populer, pen.) kepada generasi setelahnya, hingga pada masa kita saat ini.
Demikian pula halnya dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , yang merupakan penjelas wahyu Al-Qur'an, yang telah Allah Subahanahu wa Ta’ala turunkan, senantiasa terjaga dan terpelihara dari berbagai perubahan.  Abu Bakar rahimahullah (wafat 350 H) mengatakan, “(Telah) sampai berita kepadaku, bahwa Allah Subahanhu wa Ta’ala memberikan kekhususan kepada ummat ini dengan 3 (tiga) hal yang tidak diberikan kepada ummat-ummat sebelumnya;  Ilmu Sanad, Nashab, dan ‘Irab.”  (Diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Syaraf Ashabil Hadits, hal.40, juga dinukilkan dari ucapan Abu Ali Al-Jayyani Al-Ghassani.  Lihat Tadrib Ar-Rawi, As-Suyuthi, 2/160)
Ibnu Hazm rahimahullah menerangkan, “Penukilan seorang  tsiqah (terpercaya) dari orang yang tsiqah pula, sampai kepada (sumbernya) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, disertai sanad yang bersambung, merupakan keistimewaan penukilan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum muslimin, yang tidak dimiliki oleh agama-agama yang lain…  (Al-Fishal, Ibnu Hazm, 2/219-223)
Syaiklhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Ilmu sanad dan riwayat merupakan keistimewaan yang Allah Subahanahu wa Ta’ala berikan kepada ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Allah Subahanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai tangga untuk mengetahui sesuatu.  (Para) Ahli Kitab tidak memiliki sanad dalam menukilkan riwayat-riwayat mereka.  Demikian pula ahli bid’ah dan kelompok-kelompok yang sesat dari ummat ini.  Sanad ini hanya dimiliki oleh kaum yang telah menerima anugerah yang besar dari Allah, yang berpegang (teguh) kepada Islam dan Sunnah.  Dengan sanad, mereka bisa membedakan antara yang shahih dan yang berpenyakit, yang bengkok dan yang lurus.” (Majmu’ Fatawa, 1/9)

Pengertian Sanad;
Sanad – atau terkadang disebut juga Isnad – secara bahasa berarti sesuatu yang dijadikan sandaran.  Kata isnad berasal dari kata asnada  /  اسند , yang bermakna menyandarkan.  Adapun secara Etimologi (istilah), sanad dan isnad merupakan dua istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan satu makna, yaitu;  سلسلة الرجال الموصلة الى المتن  / “Silsilatu ar-rijaali al-muusilatu ilaa al-matni”  / “Rantai perawi (periwayat) yang bersusun yang membawa kepada matan (isi)”
Sebagian ulama membedakan antara sanad dengan isnad.  Mereka mengatakan, “Sanad adalah para perawi (periwayat) hadits, sedangkan isnad adalah perbuatan para perawi tersebut.”
Matan adalah sebuah ucapan yang merupakan ujung dari sanad tersebut (lihat definisi tersebut dalam kitab, Nuzhatun Nazhar, Al-Hafizh Ibnu Hajar, hal. 53, Qawa’id At-Tahdits, Jamaluddin Al-Qashimi, hal. 202, Qawa’id fii ‘Ulumil Hadits, At-Tahawuni, hal. 26, dll)

Sejarah Ilmu Sanad;
Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, belum menjadi hal yang sangat penting dalam masalah penukilan, karena para Sahabat yang meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang-orang yang adil dan terpercaya.  Mereka adalah pribadi-pribadi yang senantiasa jujur dalam penukilan, dan tidak pernah berdusta.  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
الا  ليبلغ الشاهد منكم الغاءب  /  “Alaa, liyuballighi asy-syaahidu minkum al-ghaaiba”  /  “Hendaknya yang hadir di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.”  (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu Hibban Al-Busti rahimahullah mengatakan dalam muqaddimah shahih-nya;
“Pada masa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Hendaknya yang hadir di antara kalian menyampaikannya kepada yang tidak hadir,’  terdapat dalil yang sangat jelas tentang sikap ‘adl (jujur) para Sahabat.  Tidak seorang pun di antara mereka yang tercela dan lemah.   Kalau di antara mereka ada yang tercela, lemah, atau tidak jujur, tentu Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengecualikannya dengan bersabda, ‘Hendaknya si Fulan dan si Fulan di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.’  Tatkala Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkannya secara global dalam perintah menyampaikan agama, ini menunjukkan mereka semuanya adil.  Cukuplah sebagai kemuliaan bagi mereka yang mendapatkan rekomendasi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”  (Shahih Ibnu Hibban, bernama  Al-Ihsan, 1/162)
Diriwayatkan pula oleh Al-Khatib rahimahullah, dengan sanadnya dari Al-Bara bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Tidak semua dari kami mendengar hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena kami mencari nafkah dan memiliki kesibukan, dan orang-orang pada waktu itu tidak pernah berdusta, sehingga yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”  (Al-Kifayah fii ‘Ilmi Ar-Riwayah, Al-Khatib Al-Baghdadi, 2/no.1210)
Demikian pula yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Ia berkata, “Tidak semua yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kami dengar langsung dari Beliau.  Akan tetapi, para Sahabat kami memberitakan kepada kami, dan kami adalah kaum yang tidak berdusta terhadap orang lain.  (Al-Kifayah, 2/1211)
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, hawa nafsu pun semakin merebak di tengah-tengah kaum muslimin.  Semakin banyak pula bermunculan penyimpangan berupa bid’ah, hilangnya amanah, dan menghalalkan dusta dengan tujuan-tujuan tertentu, baik dalam urusan dunia maupun dalam masalah keyakinan ('aqidah).  Hal inilah yang menyebabkan para ‘Ulama Salaf bertekad melakukan penelitian pada setiap berita yang disandarkan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Thawus rahimahullah berkata;
“Orang ini, Busyair bin Ka’ab, datang kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, lalu menyampaikan hadits.  Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Ulangi hadits ini dan itu.”  Busyair pun mengulangi kembali.  Ibnu Abbas kembali berkata, “Ulangi hadits ini dan itu.”  Dia pun kembali mengulangi.  Lalu Busyair berkata, “Aku tidak tahu apakah engkau mengetahui semua haditsku, dan engkau mengingkari yang ini, atau egkau mengingkari semua haditsku, dan engkau mengetahui (tidak mengingkari) yang ini.”  Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu lalu berkata,  “Sesungguhnya kami dahulu memberitakan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebab belum ada kedustaan terhadap Beliau.  Akan tetapi tatkala orang-orang mulai menunggangi unta yang sulit, dan yang mudah (yakni menempuh segala jalan, yang terpuji maupun yang tercela), kami pun tidak mengambil haditsnya (tanpa penelitian).”  (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/19)
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya dahulu jika kami mendengar seseorang berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda…’, pandangan kami segera tertuju padanya, dan pendengaran kami menyimaknya.  Namun, ketika orang-orang mulai menunggangi unta yang sulit dan yang mudah (yakni menempuh segala jalan, yang terpuji maupun yang tercela), kami pun tidak mengambil riwayat manusia kecuali yang kami kenal.”  (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/21)
Demikian pula yang dikatakan Ibnu Sirin rahimahullah;
“Dahulu mereka tidak pernah bertanya tentang sanad.  Namun tatkala telah terjadi fitnah mereka berkata, ‘Sebutkan nama  perawi-perawi kalian!’  Kemudian dilihat kepada Ahlus Sunnah – maka diambil haditsnya, dan dilihat kepada ahli bid’ah – maka tidak diambil haditsnya.”  (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/27)
Ibnu Lahi’ah rahimahullah berkata, “Aku mendengar seorang syaikh dari kalangan Khawarij (salah satu manhaj menyimpang, pen.) berkata, ‘Sesungguhnya hadits-hadits ini adalah agama, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama kalian.  Sesungguhnya dahulu, jika kami menghendaki suatu hal, kami membuatnya menjadi hadits.”  (Al-Kifayah, 1/327)
Oleh karena itu, para ‘ulama salafus salih berusaha keras untuk senantiasa melakukan pengecekan terhadap setiap sanad, demi menjaga syariat yang mulia ini agar senantiasa dalam keadaan jernih dan murni.
Wallahu a’lam.
oOo

(Disalin dengan editan dari tulisan Ust. Abu Karimah Askari bin Jamal, Majalah Asy-Syariah, vol. VI/No. 61/1431 H/2010 M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar