بسم الله الرحمان الرحيم
Derasnya pengaruh budaya barat dan pola kehidupan "modern" yang mengalir ke Indonesia, telah memberikan dampak negatif pada perilaku sebagian kaum muslimin, terutama perilaku terhadap Penguasanya (Pemerintah), sehingga mereka tidak lagi mengenal etika (adab), dan cara bersikap terhadap Pemerintah dan Pemimpin kaum Muslimin - seperti yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Padahal, disadari atau tidak - hal itu mencerminkan sejauh mana kualitas kehidupan beragama kaum muslimin, terutama dalam mengilmui, memahami, dan mengamalkan syariat Islam dengan benar dan lurus.*
Berkata Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah,
"Para Imam dari setiap Madzhab telah bersepakat, bahwa orang yang menguasai suatu negeri (Negara), maka ia memiliki kewenangan sebagai seorang Imam (Pemimpin) pada semua urusan. Kalau tidak demikian - tidaklah mungkin (Pemerintahan) di dunia ini akan terwujud."
ADAB RAKYAT TERHADAP PENGUASA
Islam mengajarkan kepada para pemeluknya, bagaimana cara bersikap (beretika) terhadap Penguasa, karena Penguasa adalah pemikul tanggung jawab yang besar dan berat terhadap rakyatnya, yang mengurusi urusan kaum muslimin secara khusus, dan pemeluk agama lainnya secara umum. Maka, sudah semestinya rakyat secara keseluruhan memberikan dukungan penuh kepada Penguasa, dalam mewujudkan program-program pembangunan yang baik.
Dukungan penuh dari rakyat ini sangatlah besar artinya bagi Pemerintah, sehingga Pemerintah dapat bekerja secara maksimal, aman, dan tulus dalam menggerakkan roda pembangunan.
Di antara bentuk dukungan yang harus diberikan oleh rakyat kepada Penguasa adalah, ta'at dan mendengarkan perintah-perintah Penguasa. Sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an (artinya),
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah, ta'atilah Rasul-(Nya), dan Ulil Amri di antara kalian." (An-Nisa; 59)
Keta'atan terhadap Penguasa ini harus selalu diberikan oleh rakyatnya, baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Secara sukarela maupun terpaksa. Bahkan, meski Penguasa tersebut seorang muslim yang fasik (pelaku dosa-dosa besar) - selama perintahnya tidak menyelisihi (bertentangan) dengan aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, maka wajib untuk ditaati.
Shamit radhiyallahu 'Anhu berkata (artinya),
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyeru kami, lalu kami pun membai'at Beliau untuk senantiasa mendengar dan ta'at terhadap Pemimpin, baik pada saat senang maupun susah, sempit maupun lapang, dan dalam keadaan hak-hak kami tidak dipenuhi, serta agar kami tidak berusaha merebut kekuasaan dari Pemiliknya. Beliau bersabda, 'Kecuali bila kalian telah melihat kekafiran yang nyata, sedang kalian memiliki dalil dari Allah tentang kekafirannya.'" (HR. Al-Bukhari - Muslim)
Demikianlah agama Islam mengatur dan mengajarkan. Sehingga, menjadi sesuatu yang memprihatinkan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa bila menyaksikan, dan mendengar mereka yang "bertitel" ustadz mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan prinsip di atas. Malah, memprovokasi jamaahnya untuk memusuhi dan memberontak terhadap Pemerintah (Penguasa).
Adab (etika) lain yang diajarkan Islam adalah, Rakyat tidak boleh menggunjing Penguasanya.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah (semoga Allah menjaga beliau) menjelaskan kaidah ini,
"Membicarakan (keburukan) Penguasa termasuk bentuk menggunjing dan mengadu-domba. Keduanya adalah perbuatan yang sangat diharamkan setelah (perbuatan) syirik, terlebih-lebih bila yang digunjingkan adalah para 'Ulama dan Penguasa - tentu lebih diharamkan lagi, karena akan timbul darinya sejumlah kerusakan, yaitu; Terpecah-belahnya persatuan, dan munculnya sikap berburuk sangka, dan pesimis dari jiwa-jiwa manusia." (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 66-67)
Sudah semestinya, setiap individu muslim mengetahui dan memahami hal ini, serta mendudukkannya pada posisi yang tepat, dalam menghormati (memuliakan) Penguasanya.
Orang yang menghormati dan memuliakan Penguasanya akan dihormati dan dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebaliknya, orang yang menghinakan Penguasanya akan dihinakan pula oleh Allah 'Azza wa Jalla - selaku Dzat yang telah mentakdirkan seseorang jadi Penguasa kaum muslimin di suatu negeri.
MENDEKATI PINTU-PINTU PENGUASA
Kekuasaan adalah lahan yang sangat menggoda seseorang dalam memenuhi hasrat dan nafsunya, sehingga tidak sedikit Penguasa yang lemah imannya menjadikan kekuasaan sebagai jembatan untuk berbuat zhalim terhadap manusia, demi memenuhi hasrat dan ambisinya.
Oleh karena itu, tidak pantas bagi seorang muslim / mukmin mendekati pintu-pintu Penguasa, kecuali dalam keadaan terpaksa dan keperluan yang mendesak.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu Penguasa, dia akan terfitnah (tergoda agamanya)." (HR. AThabarani, dalam Al-Kabir, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu, dan Shahih Al-Jami' no. 6124)
Ibnu Muflih Al-Hambali rahimahullah menerangkan,
"Hadits ini dibawa (penafsirannya) kepada orang-orang yang mendatangi Penguasa untuk mendapatkan dunia, terlebih-lebih bila Penguasa itu zhalim. Dimaknakan pula untuk orang yang biasa mendatangi pintu Penguasa, karena dikhawatirkan akan tergoda (agamanya), dan terjangkiti sikap berbangga diri.". (Al-Adap Asy-Syar'iyah, 3/458)
Al- Munawi rahimahullah berkata (artinya),
"Bahwa, orang yang masuk pada Penguasa boleh jadi akan menyaksikan bergelimangnya Penguasa dengan berbagai nikmat, yang akan menyebabkan dirinya meremehkan nikmat yang (telah) Allah berikan padanya. Boleh jadi pula, ia akan melihat berbagai kemungkaran pada Penguasa - lalu ia tidak mengingkarinya, padahal itu wajib dia lakukan. Adakalanya, orang yang masuk pada mereka karena menginginkan harta benda Penguasa tersebut, sehingga ia mengambil sesuatu yang haram." (Faidhul Qadir, 6/122)
Karena kehati-hatian para 'ulama-lah yang menyebabkan kebanyakan dari mereka tidak mau masuk kepada Penguasa, karena agama dan ilmu adalah segala-galanya bagi mereka.
Di antara mereka adalah, Al-Imam Ahmad, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Al-Fudhail dan yang lainnya rahimahumullahu ajma'in.
Bahkan, Said bin Mussayyib berkata,
"Bila kalian melihat seorang yang 'Alim masuk kepada Penguasa - waspadailah dia, karena dia adalah pencuri."
Akan tetapi, sebagian 'ulama memandang bolehnya masuk kepada Penguasa, dalam rangka memberi nasihat dan mengingatkan mereka. Lebih-lebih jika Penguasa itu orang yang adil dan baik, sehingga mendukung kebaikan Penguasa. Di antara yang berpendapat seperti ini ialah, Urwah bin Az-Zubair, dan Ibnu Syihab - ketika menyertai Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah (Al-Adab Asy-Syar'iyah, Ibnu Muflih Al-Hambali, 3/457-467)
CARA MENASIHATI PENGUASA
Mengajak pada kebaikan, dan mencegah dari kemungkaran, serta mengingatkan orang yang lalai adalah tugas yang mulia - karena termasuk bagian dari dakwah.
Adapun hukum dalam berdakwah adalah mendahulukan sikap Hikmah, kemudian Mau'izhah Hasanah.
Sikap yang bijak dalam menasihati manusia berlaku terhadap siapa pun, terlebih lagi dalam menasihati Penguasa.
Berikut ini, beberapa etika (adab) dalam menasihati Penguasa;
1. Sembunyi-sembunyi, dan Tidak Terang-terangan
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Barangsiapa ingin menasihati Penguasa, hendaklah tidak menampakkannya (secara) terang-terangan, tetapi ia memegang tangannya - lalu menyepi dengannya. Bila Penguasa itu menerima, itulah (yang diharapkan). Bila tidak, dia telah menjalankan apa yang menjadi kewajibannya." (HR. Ibnu Abi 'Ashim, dari Sahabat 'Iyadh bin Ghunmin radhiyallahu 'anhu, dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Cara seperti ini, disamping merupakan petunjuk agama, juga akan menyebabkan nasihat lebih mudah diterima, karena Penguasa tidak merasa "digurui" dan dicemarkan nama baiknya.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan sebagian orang yang menasihati Penguasa secara terang-terangan, dan membeberkan kesalahan mereka di mimbar-mimbar, melalui surat terbuka - yang bisa dibaca oleh semua orang, atau disiarkan melalui media massa tentu sangat bertentangan dengan bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Berkata Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah,
"Bukan merupakan cara SALAF (generasi awal Islam yang terbaik) menyebarkan kekurangan-kekurangan Penguasa dan membeberkannya di mimbar-mimbar. Sebab hal itu bisa menyulut kudeta, tidak didengar dan tidak dita'atinya Pemerintah dalam hal yang baik, serta mengarah kepada pemberontakan yang membawa mudharat, bahkan tidak ada manfaatnya. Akan tetapi, cara yang tepat menurut Salaf adalah memberikan nasihat (secara tertutup) antara mereka dan Penguasa, mengirim surat padanya, atau menghubungi 'ulama yang bisa menyampaikan kepada Penguasa, sehingga Penguasa tersebut akan terbimbing kepada kebaikan." (Mu'malatul Hukkam, Abdus Salam Barjad, hal. 43)
2. Bersikap Santun
Ketika mengingatkan Penguasa dan menyampaikan aspirasi hendaklah bersikap santun. Jika ada yang mengatakan, bahwa menyampaikan aspirasi kepada Penguasa bisa dilakukan dengan cara berorasi di depan publik, dan berdemonstrasi adalah sah-sah saja selama tidak mengganggu ketertiban umum.
Jawabannya adalah;
Bahwa, aksi demonstrasi, baik yang katanya "Aksi Damai" maupun yang Anarkhis dari dahulu telah meninggalkan sekian banyak kemudharatan dan berbagai masalah. Misalnya, banyaknya layanan publik yang terganggu, para pengguna jalan terjebak kemacetan akibat aksi demo, sehingga mereka terpaksa mengalihkan rute perjalanan, mengorbankan waktu serta biaya yang tidak sedikit (tinggal dikalikan saja berapa jumlah anggota masyarakat yang terkena dampaknya). Belum lagi bila aksi itu berujung anarkhis, menimbulkan berbagai kerusakan fasilitas umum. Ini hanya segelintir dari dampak negatif aksi demonstrasi. Apalagi bila ditinjau dari kacamata Islam, sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adab sopan-santun.
3. Tidak Menggunakan Kata-kata Kasar (Sumpah Serapah)
Cukup, bagi orang yang benar-benar ingin beramar ma'ruf - nahi Munkar secara ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk mengingatkan dan menasihati Penguasa dengan kata-kata yang lemah-lembut.
Adapun kata-kata kasar seperti, "Wahai orang yang zhalim," dan sebagainya hanya akan menimbulkan sakit hati dan kekacauan, serta kemungkaran yang lebih besar lagi. Cara yang seperti ini tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan mudharat yang lebih besar.
Perhatikanlah bagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada Nabi Musa dan Harun 'alaihimusalam, agar menasihati Fir'aun (Raja yang Terkenal kejam dan lalim) dengan perkataan yang lemah-lembut
"Maka, berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut." (Thaha; 44)
4. Tulus dalam Memberikan Nasihat, dan Menjaga Keikhlasan Tanpa Kepentingan Duniawi
Ketulusan hati dalam memberikan nasihat akan membuahkan hasil yang baik dengan idzin Allah Subhanahu wa Ta'ala cepat atau lambat.
Dahulu Atha' bin Abi Rabah menasihati Amirul Mukminin (Khalifah) Hisyam bin Abdul Malik. Ia mengingatkan Khalifah tentang orang-orang yang berhak disantuni dari kaum muslimin. Ia juga mengingatkan Khalifah agar tidak membebani orang-orang Kafir Dzimmi (orang kafir yang tinggal di negeri Muslim) lebih dari kemampuannya.
Sang Khalifah pun mengikuti nasihatnya. Lalu, Khalifah mengatakan, "Adakah keperluan yang lain?"
Atha' menjawab, "Ya (ada), wahai Amirul Mukminin, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena engkau diciptakan sendirian, meninggal sendirian, dibangkitkan sendirian, dan dihisab sendirian. Sungguh! Demi Allah, tidak akan ada seorangpun yang engkau lihat saat ini menyertaimu nanti!"
Hisyam bin Abdul Malik pun menangis, lalu Atha' berdiri (untuk pergi). Ketika Atha' telah berada di pintu keluar, tiba-tiba ada seseorang yang mengikutinya dengan membawa kantong. Tidak diketahui apa isinya perak atau emas.
Orang itu berkata, "Sesungguhnya Amirul Mukminin memberimu ini."
Atha' lantas membaca ayat (artinya),
"Dan sekali-kali aku tidak meminta upah kepadamu atas ajakan itu. Upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam." (Asy-Syu'ara; 127)
Kemudian Atha' keluar. Sungguh, Demi Allah Atha' tidak meminum seteguk air pun yang ada di sisi mereka (majelis Khalifah), bahkan tidak pula yang lebih sedikit dari itu. (Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin, hal. 174-175).
* Seharusnya kaum muslimin malu dengan para pemeluk agama lain (di luar Islam). Kenapa justru mereka yang lebih santun dan ta'at, tidak banyak cincong terhadap Pemerintah (Penguasa), sementara kaum muslimin yang telah dibekali panduan yang lengkap dan sempurna dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, malah bersikap sebaliknya (kurang beradab) terhadap Pemerintah. Sedikit-sedikit demo, seakan-akan mereka orang yang tidak memiliki iman dan kesabaran sedikit pun, (pen blog).
oOo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar