Kamis, 06 Februari 2020

KESUCIAN BUKAN SYARAT PEMIMPIN NEGERI


بسم الله الرحمان الرحيم

Seringkali terjadi  pembicaran di kalangan "akar rumput", bahwa kezhaliman Pemimpin - seperti korupsi, tindakan asusila, dan lainnya yang melanggar norma-norma kehidupan masyarakat dianggap sebagai perkara yang membolehkan rakyat untuk melakukan demonstrasi, pemberontakan, dan melepaskan diri dari keta'atan terhadap Pemerintah.
Semua itu adalah prasangka bathil, yang menjadi bagian dari intrik-intrik Iblis dan Syaithan serta bala tentaranya untuk mengacaukan keadaan suatu Negeri.


Kemaksuman bukanlah syarat syahnya seseorang sebagai Waliyul Amr (Kepala Pemerintahan), sebagaimana kemaksuman bukan pula syarat untuk berlakunya hak untuk dita'ati dalam perkara-perkara yang ma'ruf (kebaikan).
Mereka yang membolehkan pemberontakan terhadap Pemimpin kaum muslimin - dengan alasan semata-mata karena kezhaliman yang mereka perbuat menyelisihi nash-nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Mereka yang tidak mengakui kepemimpinan Penguasa karena sebab-sebab tersebut telah terjatuh ke dalam kesalahan yang besar (dosa besar) - selagi Penguasa tersebut masih menjalankan shalat (masih muslim).
Ada banyak dalil yang menegaskan (menetapkan) hal ini, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah.  Di  antaranya hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'Anha (artinya),
"Sungguh akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal (kebaikan mereka, pent.), dan kalian ingkari (kemaksiatan mereka, pent.).  Barangsiapa yang mengingkari kemaksiatannya - dia terlepas dari tanggung jawab, dan barangsiapa membencinya - dia selamat, tetapi (yang berdosa adalah) mereka yang ridha dan ikut."  Sahabat bertanya, "Bolehkah kami memerangi mereka?"
Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidak boleh!, selama mereka mengerjakan shalat lima waktu bersama kalian.Sanad hadits ini shahih, semua perawinya termasuk perawi Al-Bukhari dan Muslim, kecuali Dhabbah bin Mihshan dari perawi Muslim.
Dan hadits dari Sahabat Auf bin Malik Radhiyallahu 'Anhu berikut (artinya),
"Sebaik-baik Penguasa (Pemerintah) kalian, adalah Pemerintah yang kalian sayangi mereka, dan mereka (pun) menyayangi kalian.  Kalian senantiasa mendoakan kebaikan bagi mereka, mereka pun mendoakan kebaikan bagi kalian.  (Adapun) sejahat-jahat Pemerintah, adalah yang kalian membencinya dan mereka (pun) membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.
Para Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang?"
Beliau berkata, "Tidak boleh!  Selama mereka menunaikan shalat.  Apabila kalian melihat perkara yang kalian benci dari Penguasa kalian, bencilah perbuatan mungkar mereka, dan jangan kalian mencabut keta'atan terhadap mereka."

Makna Hadits:
Lebih dari 14 (empat belas) abad yang silam, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah mengabarkan ("mewanti-wanti") berita ghaib yang akan menimpa kaum muslimin di kemudian hari.  Hal itu, kemudian menjadi kenyataan (terbukti).  Muncul Umara (Penguasa / Pemimpin) kaum muslimin yang melakukan kemungkaran dan kezhaliman.  Di samping itu, ada pula kebaikan-kebaikan mereka.
Menaati Penguasa kaum muslimin dalam perkara yang ma'ruf merupakan salah satu prinsip Ahlussunah wal Jama'ah, yang mereka pegang teguh dan genggam dengan erat.
Idealnya, kita tentu menginginkan, yang menjadi Pemimpin dan Penguasa kaum muslimin adalah orang yang adil dan istiqamah di atas Islam, sebagaimana ummat ini dahulu pernah merasakannya, seperti Al-Khulafa Ar-Rasyidin (Abu Bakr Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan، dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhuma ajma'in).  Demikian pula Mu'awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu 'Anhu, Umar bin Abdul Azis rahimahullah, sebagaimana ummat ini akan kembali dipimpin oleh seorang yang adil di akhir zaman, yakni Imam Mahdi.
Akan tetapi, seandainya yang menjadi Penguasa kaum muslimin adalah pelaku berbagai kemungkaran, masihkah mereka dianggap sebagai Penguasa yang syah?  Apakah tetap wajib bagi kita mena'ati mereka dalam perkara-perkara yang baik?
Hadits dari Ummu Salamah Radhiyallahu'Anha dan Auf bin Malik Radhiyallahu 'Anhu  di atas merupakan jawaban langsung dari kedua pertanyaan ini.  Mereka masih syah sebagai Pemimpin kaum muslimin.  Dan, mereka masih memiliki hak untuk dita'ati dalam perkara yang ma'ruf.
Dari kedua hadits di atas kita dapat memperhatikan, bagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membimbing ummat ini agar tetap ta'at dan tidak memerangi Pemimpin، selama mereka masih menegakkan shalat - bagaimana pun keadaannya.  Meskipun melakukan berbagai kemungkaran yang kita ingkari.
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya, dari Sahabat Huzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
"Akan muncul sepeninggalku para Pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dengan petunjukku, dan tidak mengambil Sunnah dengan Sunnahku.  Akan ada pula di tengah-tengah mereka orang-orang yang berhati syaithan, namun berbadan manusia."
Hudzaifah Radhiyallahu Anhu bertanya, "Apa yang harus aku lakukan, wahai Rasulullah - jika aku menjumpai hal itu?"
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab, "Engkau tetap mendengar dan ta'at kepada Pemimpin - meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan ta'at."
Hadits ini menunjukkan kepada kita, bahwa ketika Penguasa muslim melakukan berbagai kemungkaran berupa penyelisihan syari'at, semisal mereka melakukan tindakan aniaya, namun Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tetap memerintahkan kepada kita untuk mendengar dan ta'at dalam hal yang ma'ruf.
Dan dalam makna hadits lainnya,
"Barangsiapa melihat sesuatu yang dibenci (tidak disukai) dari Pemimpinnya, hendaklah ia bersabar atasnya.  Sebab, barangsiapa memisahkan diri dari jama'ah satu jengkal, lantas (ia) mati - itu adalah kematian jahiliah."  (Muttafaqun 'Alaihi, dan ini adalah lafazh dari Imam Muslim)

Bermudah-mudahan Memberi Vonis Kafir:
Di antara tindakan yang sangat berbahaya dalam masalah menentukan sikap terhadap Penguasa adalah Tasarru' (bermudah-mudahan / tergesa-gesa) memberikan vonis kufur.
Memutuskan hukum kafir atas seseorang, terlebih lagi sebagai seorang Pemimpin, membutuhkan banyak pertimbangan dan kajian yang mendalam, yang hanya dapat dilakukan oleh 'ulama-'ulama tertentu saja, khususnya 'ulama yang ahli (memiliki kapasitas) terutama dalam bidang ilmu Jarh wa Ta'dil (Kritikan dan Pujian) yang telah mendapat rekomendasi (diakui / didukung) keilmuannya oleh para 'ulama / Imam lainnya dalam skala Internasional.
Vonis kafir tersebut tidak boleh ditujukan kepada siapa pun، kecuali setelah semua penilaian sempurna (Syuruth At-Takfir / Terpenuhinya Syarat-syarat Pengkafiran), dan telah hilang semua Mawani' Takfir (Faktor yang menghalangi pengkafiran).
Boleh jadi secara lahiriyah seseorang melakukan perbuatan kufur, namun  belum boleh (tidak bisa langsung / serta-merta mencap kafir) karena adanya mawani' (penghalang-penghalang) vonis kafir, atau tidak terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran (belum tegak hujjah pada yang bersangkutan), karena masih ada syubhat (Kebathilan yang berkedok Kebenaran) yang belum dipahaminya, atau belum ada orang yang memberikan nasihat (peringatan) kepadanya, dan berbagai alasan lain.

Konsekwensi Mengkafirkan Seseorang
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (artinya),
"Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya (sesama muslim), 'Hai kafir,' maka (cap itu) akan kembali kepada salah seorang (di antara keduanya).". (HR.  Al-Bukhari - Muslim)
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani menjelaskan, bahwa hadits di atas merupakan peringatan bagi seorang muslim, agar tidak serampangan (asal-asalan) mengatakan terhadap saudara nya, "Hai kafir."
Demikian pula Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan tentang hadits ini, bahwa terlarang (keras) bagi seseorang secara asal-asalan mengkafirkan saudaranya.  Beliau berkata,
"Yaitu, apabila saudaranya yang dipanggil (dituduh) tersebut tidak layak (dipanggil kafir), maka tuduhan tersebut akan kembali kepada dirinya sendiri.  Tidak boleh seseorang muslim mengkafirkan saudaranya (tanpa kaidah yang benar).  Tidak boleh pula ia berkata, "Wahai musuh Allah", "Wahai Fajir', kecuali ada dalil padanya."  (Fatwa Syaikh bin Baz, no. 17189)

'Wallahu a'lam bishshawab"

oOo

(Disadur bebas dari tulisan, "Sosok yang Suci Bukan Syarat Penguasa Negeri", Al-Ustdaz Abu Ismail Muhammad Rijal LC., Majalah Asy-Syariah, no. 95/VIII/1434 H/2013 M)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar