بسم الله الرحمان الرحيم
Dengan lisan, seorang hamba dapat terangkat derajatnya dan memperoleh berbagai kebaikan dan keutamaan di sisi Allah 'Azza wa Jalla. Sebaliknya, gara-gara sepotong lisan pula seseorang dapat tersungkur ke jurang Neraka Jahannam yang dalamnya 70 (tujuh puluh) tahun bila dijatuhkan batu dari atas sampai ke dasarnya.
Rasul yang mulia shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya);
"Sesungguh! Seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah ridhai - yang tidak terlintas di benaknya, tidak terbayangkan akibatnya, dan tidak menyangka perkataan tersebut (akan) mengakibatkan sesuatu. Ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkat derajatnya.
Dan, sungguh seorang hamba mengucapkan suatu perkataan yang dimurkai Allah - dalam keadaan tidak terpikirkan dalam benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka perkataan tersebut berakibat sesuatu yang ternyata karenanya Allah melemparkannya ke dalam Neraka Jahannam."
(HR. Al-Bukhari no. 6478), dan pada makna hadits yang lain,
"Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang ia tidak memperhatikannya, tidak memikirkan keburukannya, dan tidak khawatir akan akibat (dampaknya), ternyata karenanya ia dilemparkan ke dalam Neraka yang lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara Masyriq (Timur)."
(HR. Al-Bukhari no. 6477, dan Muslim no. 7406, 7407)
Dalam riwayat Imam Muslim rahimahullah disebutkan dengan lafazh,
"...lebih jauh daripada (jarak) antara Timur dan Barat."
Yang disesalkan dari keberadaan kita, sebagai anak-cucu Adam 'alaihissalam adalah, sering menyalah gunakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala ini. Lisan yang dilepaskan ("diumbar") begitu saja tanpa kontrol (kendali), penjagaan - sehingga keluar darinya kalimat-kalimat yang dapat membinasakan penuturnya, seperti Ghibah (menggunjing), Namimah (mengadu domba), dusta, mengumpat, mencela, dan perkataan-perkataan buruk lainnya, yang kadang terbiasa diucapkan tanpa beban (rasa takut) - seakan tidak ada balasan yang akan diperoleh cepat atau lambat. Ibarat kata pepatah, "Habis bisa karena biasa" (Terbiasa melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya berbahaya).
Membicarakan cacat (cela / aib) orang lain, menjatuhkan kehormatan seorang muslim - menjadikannya sebagai hal yang biasa. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabda Beliau,
المسلم من سلم المسلمون من لسانه و يده / "Al-Muslimu man salima Al-Muslimuwna min lisaanihi wa yadihi"
"Seorang muslim itu adalah, orang yang kaum muslimin (lain) selamat dari gangguan lisan dan tangannya." (HR. Al-Bukhari no. 6484, dan Muslim no. 161)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menerangkan,
"Kaum muslimin (lain) selamat dari lisannya - dimana ia tidak mencela mereka, tidak melaknat mereka, tidak mengghibah (menggunjing), dan menyebarkan Namimah (adu domba) diantara mereka, tidak menyebarkan satu (saja) keburukan dan kerusakan di antara mereka. Ia benar-benar (bersungguh-sungguh) menahan lisannya. Menahan lisan ini termasuk perkara yang paling berat dan paling sulit dilakukan seseorang. Sebaliknya, begitu mudah seseorang mengumbar lisannya."
Beliau rahimahullah juga mengatakan,
"Lisan termasuk anggota tubuh yang paling besar bahayanya pada seseorang. Karena itulah, bila seseorang berada di pagi hari, maka anggota tubuh yang lain, dua tangan, dua kaki, dua mata, dan anggota tubuh lainnya mengingkari (memperingatkan) lisan.
Demikian pula kemaluan, karena pada kemaluan ada syahwat nikah, sedangkan pada lisan ada syahwat Kalam (berbicara).
Hanya sedikit manusia yang bisa selamat dari kedua syahwat ini. Seorang muslim, adalah orang yang kaum muslimin (lain) selamat dari (gangguan) lisannya, yakni ia menahan lisannya dari mereka. Tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Ia tidak mencaci, tidak mengghibah, tidak berbuat namimah, dan tidak menyebarkan permusuhan di antara manusia. Dia adalah orang yang memberikan rasa aman bagi orang lain. Bila ia mendengar keburukan - ia menjaga lisannya. Tidak seperti yang dilakukan kebanyakan manusia... - wal 'iyadzubillah (kita berlindung kepada Allah) - Bila mendengar keburukan saudaranya sesama muslim ia melonjak kegirangan, kemudian menyebarkan keburukan itu di negerinya. Orang semacam ini bukanlah seorang muslim (yang sempurna imannya)." (Syarah Riyadhish Shalihin, 1/764)
Lisan yang berpenyakit seperti ini banyak diderita oleh kaum hawa (perempuan) - (sebagaimana kaum lelaki juga tak luput darinya). Terutama di kancah perpolitikan dalam negeri sering kita mendengar, demi meraih simpati masyarakat, dan keuntungan pribadinya. Sehingga, orang-orang seperti ini harus banyak diberi peringatan - agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam perkara lisan mereka. Ketahuilah, betapa bahayanya lisan bila tidak dijaga oleh pemiliknya.
Yang Mulia Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjamin Surga bagi orang-orang yang mampu menjaga lisan dan kemaluannya.
Sahabat Sahl bin Sa'd radhiyallahu 'anhu menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
من يضمن لي ما بين لحيبه و ما بين رجليه اضمن له الجنه / "Man yadh'man liy maa baina lahyab'hi wa maa baina rij'laihi adh'man lahu Al-Jannata"
"Barangsiapa yang (bisa) menjamin untuk ku - apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (yaitu lisan)(1), dan apa yang berada di antara dua kakinya (yaitu kemaluan)(2) - maka aku akan menjamin Surga baginya." (HR. Al-Bukhari no. 6474)
Bila engkau tidak dapat berkata yang baik, maka lebih baik diam - karena itu lebih selamat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
من كان يؤمن بالله و اليوم الآخر فليقل خيرا او ليصمت / "Man kaana yu'minu billahi wa al-yaumil a-khiri fal yaqul khairan aw liyashmut'"
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik, atau diam" (HR. Al-Bukhari no. 6475, dan Muslim)
Al-Imam Al-Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam Musdrak-nya dari 'Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu، bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi isyarat ke bibir Beliau, dan berkata (artinya),
"Diamlah, kecuali dari perkataan yang baik." Mu'adz bertanya kepada Rasulullah, "Apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang diucapkan oleh lisan-lisan kita?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menepuk paha Mu'adz, kemudian bersabda, "Wahai Mu'adz, ibumu kehilangan dirimu"(3), atau Beliau mengucapkan kepada Mu'adz apa yang Allah kehendaki dari ucapan, "Bukankah manusia ditelungkupkan di atas hidung mereka di dalam Jahannam - tidak lain disebabkan apa yang diucapkan lisan-lisan mereka?" Karenanya, siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir - hendaklah ia berkata baik, atau ia diam dari perkara yang buruk. Ucapkanlah kebaikan - niscaya kalian akan menuai kebaikan, dan diamlah dari perkataan yang buruk - niscaya kalian akan selamat." (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam, Ash-Shahihul Musnad, 1/460)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menasihatkan,
"Sepantasnya bagi orang yang ingin mengucapkan satu kata atau satu kalimat, merenungkan dan memikirkan kata atau kalimat tersebut di dalam jiwanya sebelum diucapkan. Bila memang tampak kemaslahatan dan kebaikannya, maka ia berbicara. Bila tidak, maka sebaiknya ia menahan lisannya." (Al-Minhaj, 18/318)
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam kitabnya, Jami'ul 'Ulum wal Hikam (1/339-340), menukilkan ucapan tiga orang Sahabat berikut ini;
Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata,
"Siapa yang banyak berbicara - akan banyak jatuhnya (dalam kesalahan). Siapa yang banyak jatuhnya - akan banyak dosanya. Dan, siapa yang banyak dosanya - niscaya Neraka lebih pantas baginya."
Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu memegang lisannya dan berkata, "Ini yang akan mengantarkan aku ke Neraka."
Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata, "Demi Allah, Yang tidak ada Sesembahan Yang patut diibadahi selain Dia! Tidak ada di muka bumi ini yang lebih pantas untuk dipenjara dalam waktu yang panjang selain dari lisan."
Ingatlah saudara-saudariku - firman Allah 'Azza wa Jalla
ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد / "maa yalfidzu min qawlin illaa ladayhi raqiybun 'atiydun"
"Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan di dekatnya ada Malaikat pengawas yang selalu hadir." (Qaf; 18)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu tentang ayat di atas،
"Malaikat itu mencatat setiap apa yang diucapkannya berupa kebaikan maupun keburukan." (Tafsir Al-Qur'an 'Azhim, 7/308)
Ingatlah, bahwa semuanya tercatat dan tersimpan dalam catatan amalmu dengan rapi dan teliti. Maka, berbahagialah engkau bila catatan amalmu dipenuhi dengan kebaikan, ucapan yang baik, serta amal shalih. Tentunya janji Allah Subhanahu wa Ta'ala berupa Surga dengan berbagai kenikmatan dan keistimewaannya telah menunggumu...
Bila demikian keadaannya, kemana engkau hendak menuju, ke Surga atau ke Neraka? Tentu tanpa keraguan engkau menjawab, "Ingin menjadi penghuni Surga."
Maka, janganlah biarkan Lisanmu menggelincirkanmu - hingga engkau terjerembab ke jurang kebinasaan yang tiada bertepi (Neraka).
"Wallahu Ta'ala a'lam bish-shawab"
oOo
(Disadur dari tulisan, "Jagalah lisanmu", Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyah, Majalah Asy-Syariah, vol. V/no.57/1431 H/2010 M)
(1) Maksudnya, ia menunaikan kewajiban lisannya berupa apa yang wajib diucapkannya, atau diam dalam perkara yang tidak bermanfaat.
(2) Ia menunaikan kewajiban kemaluannya dengan meletakkan pada tempat yang halal, dan menahannya dari yang haram. Demikian diterangkan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (11/374-375)
(3) Ucapan seperti ini biasa diucapkan oleh orang Arab, namun mereka tidak memaksudkan maknanya demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar