Kamis, 05 Januari 2023

BERMEGAH-MEGAHAN TELAH MELALAIKAN MANUSIA

 


بسم الله الرحمن الرحيم

Sesungguhnya manusia diciptakan untuk suatu hikmah yang sangat agung lagi mulia.  Allah paparkan hal ini dengan jelas dan gamblang, bahwa tujuan penciptaan manusia agar mereka beribadah kepada Allah سبحانه وتعالى.  

; (QS. Adz-Dzariyat; 56)

Oleh karenanya, setiap hamba harus memberikan perhatian lebih dan sungguh-sungguh terhadap hikmah yang mulia ini, dan berusaha untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.  Di samping harus selalu waspada terhadap godaan dunia yang melalaikan dari hikmah penciptaan dirinya di alam dunia. 

Allah سبحانه وتعالى mencela siapa saja yang tenggelam dalam kemegahan dunia yang fana dan hina.  Turunlah sebuah surat yang secara utuh mulai dari awal hingga akhir menjelaskan tentang ancaman bagi para hamba (baca; budak) dunia.  Allah سبحانه وتعالى pun berfirman:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (١) حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (٢)

“Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, hingga kalian masuk ke liang kubur." 

(QS. At-Takatsur: 1-2)


Pada ayat di atas tidak disebutkan obyek yang digunakan manusia sebagai sarana untuk bermegah-megahan.  Ayat ini mencakup segala sarana yang digunakan oleh manusia untuk bermegah-megahan dan berbangga-bangga di dunia.  Baik berupa harta benda, anak keturunan, pengikut (followers), bala tentara, pelayan, kedudukan (jabatan), dan lain sebagainya dari urusan duniawi. 

Semua masuk dalam cakupan ayat ini selama seseorang menjadikannya sebagai sarana untuk saling bermegah-megahan dan berbangga banggaan satu sama lain. Sehingga, secara tersirat ayat ini memerintahkan agar seorang hamba memanfaatkan berbagai kenikmatan dunia tersebut dalam hal yang baik. Menjadikannya sebagai sarana pendukung untuk beribadah dan beramal kebajikan.

Ayat ini menegaskan, bahwa bermegah-megahan (Hedonisme) dalam urusan dunia pasti akan melalaikan dari Allah سبحانه وتعالى dan kehidupan Akhirat.  Bahkan pelakunya tidak mampu untuk melepaskan diri darinya hingga ia masuk ke liang kubur.  Ibnu Abi Hatim رحمه الله mengisahkan, ayat tersebut turun pada dua kabilah dari kalangan orang Anshar.  Yaitu kabilah Bani Haritsah dan kabilah Bani Al-Harits. 

Mereka saling berbangga dan bermegahan dengan kelebihan yang mereka miliki.  Salah satu kabilah menyatakan kepada yang lain, “Apakah di antara kalian ada orang seperti Fulan bin Fulan❓"  Lantas hal ini menyebabkan kabilah yang lain menyatakan hal yang sama.  Mereka saling membanggakan keberadaan orang-orang yang masih hidup di antara mereka. 

Kemudian sebagian dari mereka mengatakan, "Mari kita pergi ke kuburan.” Setibanya di sana mereka berkata,” Apakah di antara kalian ada orang yang semisal dengan dia (seraya mengisyaratkan kepada sebuah kuburan).”  Kabilah yang lain juga melakukan hal yang sama. Akhirnya Allah menurunkan firman-Nya:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (١)

“Bermegah-megahan telah melalaikan kalian."

Pada ayat berikutnya, digunakan kata 'ziyarah' yang artinya berkunjung. Mereka adalah para pengunjung kuburan bukan orang-orang yang menetap (penghuni) di sana.  Sehingga, ayat ini menyiratkan bahwa alam barzakh (kubur) sekadar tempat persinggahan.  Mereka tidak akan selamanya berada di kuburan tersebut, namun sekadar mengunjungi dan melaluinya. 

Suatu saat, mereka akan dibangkitkan menuju ke sebuah negeri yang kekal dan abadi yaitu Surga atau Neraka. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Asy-Syikhkhir, ia berkisah, "Aku pernah datang menemui Nabi ﷺ. 

Rupanya saat itu Beliau sedang membaca firman Allah سبحانه وتعالى, “Alhakumut takatsur” lantas Beliau bersabda yang artinya, "Anak Adam berkata, 'Hartaku, hartaku. Wahai anak Adam bukankah hartamu adalah apa yang engkau makan lalu habis, pakaian yang engkau kenakan lantas usang, dan apa yang disedekahkan lantas berlalu?” 

Rasulullah ﷺ mengingatkan siapa  saja yang berbangga-bangga dan bermegah-megahan dengan hartanya. Bahwa, sejatinya harta yang dia miliki itu hanya sedikit.  Beliau memberikan contoh seperti makanan dan pakaian yang merupakan kebutuhan pokok manusia.  Sehingga, tidak ada yang bisa dibanggakan dari harta dunia yang secuil tersebut.  Bahkan dunia dan seisinya ini sangatlah rendah dan hina di Mata Allah سبحانه وتعالى.  Begitu banyak dalil dari Al-Qur'an dan hadits yang menjelaskan tentang rendahnya dunia karena menjauhkan manusia dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Selanjutnya Allah memberikan ancaman yang sangat keras dan serius terhadap orang-orang yang terlalaikan dengan kemegahan tersebut.  Dia tidak sadar bahwa kemegahan tersebut hanyalah kesenangan sementara yang menipu (semu) dan merugikan kehidupan Akhirat-nya.  la tidak mengetahui kebinasaan yang diakibatkan perbuatan tersebut.  Andaikan dia mengetahui, tentu ia tidak akan terlena dan berbangga-bangga dengan hartanya. 

Namun, ketiadaan pengetahuan dan kesadaran tersebut membuatnya tenggelam dalam kebinasaan - hingga ia masuk ke liang lahat.  Dan jika tabir telah terkuak, maka yang tersisa hanyalah penyesalan dari pelakunya. 

Dia sangat berharap seandainya Allah menghidupkannya kembali, niscaya dia akan banyak berbuat kebajikan. Hal ini sebagaimana Allah kisahkan dalam firman-Nya سبحانه وتعالى yang artinya, "Ya Rabbi, kembalikanlah aku ke dunia, agar aku berbuat amal shalih terhadap apa yang telah kutinggalkan." 

(QS. Al-Mu'minun: 100).

Namun Allah سبحانه وتعالى membantah pernyataan ini pada ayat berikutnya, dan Dia mengetahui bahwa apa yang dikatakan manusia tersebut tidaklah benar, “Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja." 

(QS. Al-Mu'minun: 101) 

Allah سبحانه وتعالى menegaskan, bahwa pernyataan tersebut hanya sekadar ucapan di bibir semata.   Sebab, kalaupun mereka dikembalikan ke dunia, mereka hanya akan mengulangi perbuatan yang sama.

Perhatikanlah wahai para pembaca yang budiman, meskipun dia bertawasul kepada Allah dengan menyatakan 'Wahai Rabbku' (yakni, bertawasul dengan menyebut sifat Rububiyah-Nya) dan menyebutkan alasannya yang baik, tetap saja permohonannya tidak dikabulkan Allah سبحانه وتعالى.

Allah Maha Mengetahui karakter dan tabiat hamba-hamba-Nya.  Sekiranya ia diberi kesempatan sekali lagi, maka ia juga tidak akan merealisasikan janjinya tersebut.  Allah سبحانه وتعالى menegaskan hal ini dalam ayat lain (yang artinya), 

“Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang melakukannya.” 

(QS. Al-An'am: 28).

كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (ه)

“Sekali-kali tidak!  Seandainya kalian mengetahui ilmu yaqin." 

(QS. At-Takatsur: 5)

Maka seandainya orang yang bermegah-megahan itu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Ilmul yaqin adalah sebuah ilmu yang bisa menghantarkan pemiliknya pada perkara penting yang tidak diragukan lagi kebenarannya.  Andaikan hakikat ilmu ini sampai ke dalam qalbu dan menyatu dengannya, niscaya manusia tidak terlalaikan dengan kemegahan dunia tersebut. 

Karena sekedar pengetahuan tentang keburukan sesuatu dan dampaknya, tidak cukup sebagai pendorong untuk meninggalkan sesuatu tersebut. Namun jika seorang hamba telah memiliki ilmul yaqin, maka dorongan yang ditimbulkan oleh ilmu ini untuk meninggalkannya akan lebih kuat.  Terlebih lagi jika telah mencapai derajat 'ainul yaqin, maka dorongan yang ditimbulkan akan semakin kuat.

Syaikh As-Sa'dy رحمه الله menjelaskan bahwa yakin mempunyai tiga tingkatan:

1. Ilmul yaqin, yaitu ilmu yang diperoleh melalui berita (informasi).

2. Ainul yaqin, yaitu ilmu yang diperoleh dengan pandangan mata (penglihatan).  Tingkatan ini lebih tinggi daripada tingkatan sebelumnya.

3. Haqqul yakin, yaitu ilmu yang diperoleh dengan merasakannya secara langsung.  Inilah tingkatan yakin yang paling tinggi dan kuat.

Syaikhul Islam رحمه الله menggambarkan ketiga tingkatan di atas dengan perumpamaan madu.  Jika perihal madu tersebut hanya diketahui melalui berita, maka ia disebut ilmul yaqin.  Jika mengetahuinya dengan melihatnya secara langsung maka disebut Ainul yaqin.  Namun apabila telah merasakan manisnya madu, maka disebut Haqqul yaqin

Di penghujung surat ini, Allah berfirman bahwa setiap hamba pasti akan ditanya tentang kenikmatan yang mereka miliki selagi di dunia.  Apakah dia mendapatkan kenikmatan tersebut dengan cara yang halal, atau justru sebaliknya dengan cara yang haram.  Jika dia lolos dari pertanyaan pertama, maka berpindah pada pertanyaan berikutnya, apakah dia bersyukur kepada Allah atau tidak. 

Apakah dia menggunakan kenikmatan tersebut untuk mendukung ketaatannya kepada Allah, atau justru untuk bermaksiat kepada Sang Pemberi nikmat, dan memperturutkan hawa nafsunya belaka.  Nabi ﷺ pernah bersabda dalam sebuah hadis dari sahabat Abu Barzah Al-Aslami 

لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَ فَعَلَ فِيْهِ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ؟ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ؟

"Pada hari kiamat kedua kaki setiap hamba tidak akan bergeser sebelum ditanya tentang umurnya, untuk apa ia habiskan.  Tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan.  Tentang hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan.  Dan tentang badannya untuk apa ia pergunakan hingga meninggalnya." 

(HR. At-Timirdzi dan hadis ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami').

Sungguh, sekecil apapun kenikmatan tersebut menurut pandangan manusia, maka pasti akan ditanyakan pada Hari Kiamat nanti Oleh karena itu, turunlah ayat ini, “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah- megahkan di dunia itu)." 

(QS. At-Takatsur: 8)

Para shahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah ﷺ, kenikmatan apa yang akan ditanyakan kepada kami? Bukankah ini hanya sekadar dua yang hitam (kurma dan minuman)?” mendengar hal itu Beliau ﷺ pun dengan tegas menyatakan yang artinya, “Sungguh hal itu akan ditanyakan kepada kalian." [HR. At-Tirmidzi,  dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi].

Subhanallah!  Para pembaca yang budiman, lalu bagaimana kiranya dengan kenikmatan lain yang jauh lebih besar dan lebih banyak dari itu?  Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Amiin.

الله أعلم.


oOo

Disalin dengan editan dari tulisan 

Al-Ustadz Abu Hafiy Abdullah hafizhahullah

Majalah Qudwah Edisi 13

t.me/majalah_qudwah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar