بسم الله الر حمان الر حيم
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman (artinya),
“Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai sesembahannya. Maka, apakah kamu
dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau
apakah kamu mengira kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak
itu)” (Al-Furqan; 43-44).
Tidaklah Allah Subhanahu wa Tala’ala menyebutkan kata “Nafsu” di dalam Kitab-Nya, melainkan dalam bentuk celaan.
Nafsu adalah kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa
cocok. Kecenderungan ini merupakan suatu
bentuk ciptaan (Allah) yang ada di dalam diri manusia sebagai urgensi kelangsungan
hidupnya.
Kendati mustahil untuk menghilangkan nafsu itu sama sekali,
akan tetapi "pertempuran" yang senantiasa terjadi di dalam diri manusia antara
nafsu dan akalnya, menjadikannya sebagai suatu topik yang selalu menarik untuk dibicarakan dan dikaji.
Berikut ini beberapa kiat untuk mengendalikan nafsu, yang
telah kami ringkas dan sadur secara bebas dari kitab “Taman
Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”, Al-Imam, Al-‘Allamah Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah.
50 (limapuluh) kiat tersebut adalah;
50 (limapuluh) kiat tersebut adalah;
1.
1. Harus memiliki hasrat, sehingga timbul rasa cemburu antara diri sendiri dengan nafsunya.
1. Harus memiliki hasrat, sehingga timbul rasa cemburu antara diri sendiri dengan nafsunya.
2. 2. Harus
memiliki seteguk kesabaran dalam menghadapi kepahitan yang dirasakan (dialami) pada
saat itu.
3. 3. Memiliki
kekuatan jiwa yang bisa mendorongnya untuk meminum seteguk kesabaran itu,
sebab semua bentuk keberanian merupakan kesabaran sekalipun hanya sesaat.
4. 4. Mempertimbangkan kelanjutan yang baik dan
kesembuhan yang terjadi di kemudian hari.
5. 5. Mempertimbangkan
penderitaan yang akan semakin menjadi-jadi, sebagai akibat dari
memperturutkan kenikmatan hawa nafsu.
6. 6. Lebih
mementingkan kedudukannya disisi Allah dan di hati para hambanya yang
beriman daripada menurutkan keinginan
hawa nafsunya.
7. 7. Lebih mementingkan kehormatan diri dan
kelezatannya daripada kenikmatan sesaat (mengikuti hawa nafsu).
8. 8. Memikirkan kebanggaan yang akan diperoleh bila
berhasil menaklukkan musuhnya. Allah
suka dan membanggakan hamba-Nya, serta melimpahkan rezeki kepada mereka jika berani
menghadapi musuhnya, sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Dan mereka tidak menginjak suatu tempat yang
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana
kepada musuh, melainkan dituliskan bagi mereka dengan yang demikian itu suatu
amal shalih.” (At-Taubah; 120), dan
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah,
niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki
yang banyak.” (An-Nisa’; 100)
Karena di antara tanda cinta yang tulus dari
seorang hamba terhadap Kekasihnya adalah, melibas musuh kekasih-Nya dan
mengalahkannya.
9. 9. Harus menyadari bahwa dia diciptakan bukan
untuk mementingkan hawa nafsunya, tetapi untuk suatu urusan yang besar, agung, dan mulia,
yang tak akan bisa diraih kecuali dengan menentang hawa nafsu.
10. 10. Manusia diberikan akal sebagai alat yang dapat
membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang akan membahayakan dirinya. Sangat berbeda dengan hewan yang tidak
diberikan perangkat alat tersebut dalam menikmati makan, minum dan hubungan
seksual sehingga mereka tidak mengetahui akibat kesudahannya (hanya sekedar
mengikuti naluri dan tabiatnya).
11. 11. Melibatkan
hati dalam mempertimbangkan akibat nafsu, sehingga dia bisa mengetahui seberapa
banyak kadar nafsu itu dapat melalaikan keta’atan, dan berapa banyak kehinaan yang akan didatangkannya. Betapa sering syahwat yang sedikit dalam sekejap menghancurkan kehormatan seseorang yang telah dibangun dan dijaga selama berpuluh-puluh tahun,
menundukkan kepala, serta mengabadikan kenangan yang buruk.
12. 12. Orang yang berakal harus mampu menggambarkan
tujuan mewujudkan hawa nafsu itu, dan menggambarkan (membayangkan) keadaan dirinya setelah memenuhi tuntutan tersebut dan apa yang hilang /
“tercabut” dari dirinya.
13. 13. Harus
mampu mengambil pelajaran dari orang lain yang pernah melakukan perbuatan yang
sama.
14. 14. Harus memikirkan apa yang dituntut jiwanya, lalu
bertanya kepada akal dan agamanya, yang nantinya akan memberitahukan, bahwa apa yang dituntut (nafsu) itu sebenarnya tidak
mempunyai arti (hakikat) apa-apa.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu pernah berkata, “Jika salah seorang diantara
kalian tertarik kepada seorang wanita (dalam perkara yang haram), maka hendaklah dia mengingat-ingat
kebusukannya.”
15. 15. Tidaklah seseorang memperturutkan hawa
nafsunya, melainkan pasti akan mendapatkan kehinaan pada dirinya. Jangan
tertipu / "silau" dengan kehebatan dan kesombongan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya,
padahal dilihat dari sisi bathinnya mereka adalah orang-orang yang paling hina-dina.
16. 16. Pertimbangkanlah keselamatan Agama, kehormatan,
harta dan kedudukanmu di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, dibandingkan kenikmatan sesaat yang didapatkan. Antara keduanya tidak ada perimbangan sama
sekali.
17. 17. Menggambarkan
kehinaan dirinya andaikata dia berada dibawah kekuasaan musuhnya (hawa nafsu). Jika dia
memiliki kekuatan, semangat dan kemuliaan jiwa, maka syaithan tidak akan
tertarik kepadanya, dan tidak akan mampu mengganggunya kecuali dengan cara
mencuri-curi.
18. 18. Harus
mengetahui, bahwa tidaklah nafsu itu mencampuri suatu urusan kecuali ia akan
merusaknya. Jika nafsu mencampuri ilmu, maka ia akan mengeluarkannya kepada bid’ah dan kesesatan, pelakunya
mengikuti orang-orang yang mengikuti nafsu.
Jika nafsu mencampuri zuhud, maka akan mengeluarkan pelakunya kepada riya
dan menyelisihi Sunnah. Jika nafsu mencampuri
hukum, maka ia akan membawa pelakunya pada kezhaliman dan penentang
kebenaran.
{Baca juga artikel, TUDINGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA TERHADAP AHLUL BID'AH, dan TUDINGAN 'ULAMA AHLUSSUNNAH TERHADAP AHLUL BID'AH (1) - (5)}.
{Baca juga artikel, TUDINGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA TERHADAP AHLUL BID'AH, dan TUDINGAN 'ULAMA AHLUSSUNNAH TERHADAP AHLUL BID'AH (1) - (5)}.
19. 19. Harus
mengetahui, bahwa syaithan tidak
memiliki jalan masuk ke dalam diri anak Adam, melainkan melalui pintu hawa nafsu.
20. 20. Allah menjadikan nafsu sebagai penentang apa
yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan menjadikan para pengikut nafsu sebagai
musuh para pengikut Rasul. Karena manusia itu dapat dibagi menjadi dua golongan; Pengikut Wahyu dan Pengikut Hawa Nafsu.
Hal ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an,
“Maka jika mereka tidak menjawab
(tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa
nafsu mereka.” (Al-Qashash; 50), dan ancaman Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya,
“Dan, jika kamu mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung
dan penolongmu.” (Al-Baqarah; 120)
21. 21. Allah menyerupakan orang-orang yang mengikuti
hawa nafsu dengan hewan yang paling buruk, baik rupa maupun perangainya. Terkadang Allah menyerupakan mereka dengan
anjing, seperti firman-Nya (artinya),
“Tetapi dia cenderung kepada dunia dan
memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing,
jika kamu menghalaunya dia mengulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya
dia mengulurkan lidahnya (juga).”
(Al-A’raf; 176) dan,
“Seakan-akan mereka itu keledai liar yang
lari terkejut, lari daripada singa.” (Al-Muddatstsir; 50-51)
Terkadang rupa mereka dirubah oleh Allah menjadi
kera, dan terkadang menjadi babi.
22. 22. Pengikut nafsu tidak layak untuk dita’ati, tidak
patut menjadi pemimpin dan diikuti.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menghindarkannya dari kepemimpinan dan melarang
keta’atan kepadanya, seperti firman-Nya (artinya),
“...Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang
zhalim.” (Al-Baqarah; 124). Setiap orang yang mengikuti hawa nafsunya,
maka dia adalah orang yang zhalim.
“Tetapi orang-orang yang zhalim, mengikuti
hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan.”
(Ar-Rum; 29)
Larangan keta’atan kepadanya seperti firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
“Dan
janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingat Kami, serta memperturutkan hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melampaui batas.” (Al-Kahfi; 28)
23. 23. Allah menempatkan orang-orang yang mengikuti
hawa nafsunya sama dengan kedudukan penyembah berhala (thaghut),
“Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya.” (Al-Furqan;
43)
(Baca artikel tentang, SYIRIK)
(Baca artikel tentang, SYIRIK)
24. 24. Nafsu
adalah dinding pagar yang melingkari Neraka Jahannam. Barangsiapa terseret ke dalam nafsu, berarti
dia terseret ke dalam Neraka.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (artinya),
“Surga
itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai, dan Neraka itu dikelilingi
dengan berbagai macam syahwat.”
25. 25. Orang yang mengikuti hawa nafsunya dikhawatirkan
akan terlepas dari iman, sementara dia tidak menyadarinya, sebagaimana
disebutkan di dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (artinya),
“Seseorang
di antara kalian (dianggap) tidak beriman sehingga keinginannya mengikuti apa yang aku
bawa (Al-Qur'an dan As-Sunnah).”, juga makna sabda Beliau,
“Ketakutan yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah godaan dalam perut dan kemaluan kalian, serta hawa nafsu.”
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
26. 26. Mengikuti hawa nafsu termasuk tindakan yang
merusak,
“Ada tiga perkara yang merusak dan tiga
perkara yang menyelamatkan. Tiga perkara yang merusak adalah; kekikiran
yang diikuti, hawa nafsu yang diperturutkan dan keta'ajuban seseorang terhadap
diri sendiri. Tiga perkara yang
menyelamatkan adalah; takwa kepada Allah disaat terang-terangan dan sembunyi-sembunyi,
bersikap adil dikala marah dan ridha, kesederhanaan disaat miskin dan kaya.” (Al-Hadits)
27. 27. Menentang hawa nafsu akan menghasilkan kekuatan
tubuh, hati, dan lidah manusia.
Selagi
seseorang membiasakan diri untuk menentang hawa nafsunya, berarti dia
menambah kekuatan di atas kekuatan yang telah ada.
“Orang yang kuat itu bukanlah karena (kemampuan) bergulat, tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang mampu menguasai dirinya
tatkala sedang marah.” (HR. Al-Bukhari-Muslim dan Ahmad)
28. 28. Orang yang paling kesatria adalah orang yang
paling keras menentang hawa nafsunya.
29. 29. Tidak ada
satu hari pun yang berlalu, melainkan terjadi pergulatan antara nafsu dan akal seseorang. Mana yang dapat mengalahkan
rivalnya, maka dia akan mengusirnya dan menguasai badan, hati, pikiran, serta jiwanya.
30. 30. Sesungguhnya Allah menjadikan kesalahan dan
mengikuti hawa nafsu sebagai dua hal yang berpasangan, dan menjadikan
kebenaran dan menentang nafsu sebagai dua hal yang berpasangan pula.
31. 31. Nafsu itu merupakan penyakit dan obat penawarnya
adalah menentangnya dan meninggalkannya.
32. 32. Memerangi nafsu lebih hebat, dan lebih sulit daripada memerangi orang-orang kafir. Seseorang
bertanya kepada Al-Hasan Al-Basri, “Wahai Abu Said, apakah jihad yang paling
utama?” Beliau menjawab, “Jihadmu memerangi
hawa nafsumu.”
Jihad
memerangi nafsu adalah dasar jihad dalam
memerangi orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
33. 33. Nafsu itu merupakan kegoncangan dan kebingungan,
sedangkan memerangi nafsu merupakan ketahanan diri.
34. 34. Mengikuti nafsu bisa menutup pintu taufik dan
membukakan pintu penyesalan. Padahal dia
menyukai jika Allah memberinya taufik, seandainya dia berbuat begini dan
begitu. Sementara Allah telah menutup
pintu taufik karena dia memperturutkan hawa nafsunya. (Baca artikel, EMPAT TAHAPAN / TINGKATAN HIDAYAH dan RAHASIA HIDAYAH)
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa mengikuti nafsu dan
memperturutkan syahwatnya, maka terputuslah tali hidayah taufik dari dirinya.”
35. 35. Barangsiapa yang memanjakan nafsunya, maka dia
akan merusak akal - pikirannya. Sebab
dia telah mengkhianati Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam menggunakan akal, sehingga Allah merusak
akalnya.
Al-Mu’thasim berkata, “Jika nafsu dimanja, maka pikiran menjadi sirna.”
36. 36. Barangsiapa melapangkan dirinya untuk
mengikuti hawa nafsu, maka dia akan disempitkan di dalam kuburnya dan saat
kembalinya. Barangsiapa menyempitkan
dirinya dengan cara menentang nafsu, maka akan dilapangkan kuburnya dan tempat
kembalinya.
37. 37. Mengikuti nafsu membuat hamba tidak bisa bangkit
untuk mencapai Surga bersama orang-orang yang berhasil meraihnya.
38. 38. Mengikuti nafsu bisa mengendorkan semangat, dan
menentang nafsu bisa menguatkan semangat.
Semangat merupakan tunggangan
hamba, yang membawanya kepada Allah dan Hari Akhirat. Jika tunggangannya lemah dan tak berdaya,
saat itu pula perjalanan menjadi terhenti.
Yahya bin Mu’az pernah ditanya, “Siapakah
yang paling benar semangatnya?” Dia
menjawab, “Orang yang menundukkan nafsunya.”
39. 39. Seorang yang Arif Bijaksana berkata, “Tunggangan
yang paling cepat ke Surga adalah zuhud di dunia, dan tunggangan yang paling cepat
ke Neraka ialah mencintai syahwat.”
40. 40. Tauhid
dan mengikuti hawa nafsu merupakan dua hal yang saling bertentangan. Nafsu itu ibarat berhala. Setiap hamba mempunyai berhala di dalam
hatinya menurut kadar hawa nafsunya. Allah
mengutus Rasul-Rasul-Nya untuk menghancurkan berhala dan memerintahkan untuk
menyembah-Nya semata, tanpa ada sekutu bagi-Nya.
Hasan bin Al-Muththawwiy berkata, “Berhala setiap manusia adalah hawa nafsunya. Barangsiapa menghancurkan berhala itu dengan
cara menentangnya, maka dia layak disebut pemberani.”
Hal ini sesuai dengan berhala-berhala yang
diinginkan hati, dan yang disembah secara tekun selain Allah. Firman-Nya (artinya),
“Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan
mereka itu mendengar atau memahami.
Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu).” (Al-Furqan; 43-44)
41. 41. Menentang nafsu bisa melenyapkan penyakit hati dan badan, sedangkan mengikuti nafsu bisa mendatangkan penyakit bagi hati
dan badan.
42. 42. Dasar permusuhan, kejahatan dan kedengkian yang
muncul di kalangan manusia ialah karena mengikuti nafsu. Siapa yang menentang nafsunya, berarti dia
membuat hati dan badannya menjadi tenteram dan sehat.
43. 43. Allah menciptakan nafsu dan akal di dalam diri
manusia. Mana yang menang di antara
keduanya, maka yang lain akan menyingkir.
Ali bin Sahl berkata, “Akal dan nafsu saling bermusuhan.
Taufik merupakan kesudahan akal, dan penyesalan merupakan kesudahan
nafsu. Jiwa berada di antara
keduanya. Mana yang tampil sebagai
pemenang - maka jiwa akan mengikutinya.”
44. 44. Allah menjadikan hati sebagai raja bagi anggota tubuh, tambang ilmu pengetahuan, cinta dan ibadahnya, lalu Dia (Allah) mengujinya dengan dua
kekuasaan, dua pasukan, dan dua pendukung:
Kebenaran, Zuhud dan Petunjuk
merupakan satu kekuasaan, pendukungnya Para Malaikat, pasukan Kejujuran,
Ikhlas dan Menjauhi Nafsu. Sedangkan Kebathilan merupakan kekuasaan satunya lagi,
para pendukungnya adalah Syaithan dan Iblis, pasukannya adalah mengikuti hawa nafsu. Sementara jiwa berada di antara dua pasukan
ini. Pasukan kebathilan tidak berani
maju mendekati hati kecuali melalui jiwa.
45. 45. Musuh terbesar bagi seorang hamba adalah Syaithan dan hawa nafsunya. Sedangkan
rekan yang paling dipercaya adalah akalnya dan kekuasaan yang memberikan
nasihat kepadanya.
46. 46. Setiap manusia memiliki permulaan dan
kesudahan. Barangsiapa yang permulaannya
ditandai dengan mengikuti hawa nafsu, maka kesudahannya adalah kehinaan,
kemerosotan dan bencana, tergantung seberapa jauh dia mengikuti hawa nafsunya.
Sedangkan
di akhirat Allah menjadikan Surga sebagai kesudahan bagi orang-orang yang
menentang hawa nafsunya, dan Neraka sebagai kesudahan orang-orang yang
mengikuti hawa nafsunya.
47. 47. Nafsu akan memperbudak hati, belenggu di leher
dan tali di kaki. Orang yang mengikuti
nafsu menjadi tawanan dari penguasa yang buruk, dan siapa yang menentang nafsu
bisa bebas dari perbudakan dan menjadi orang yang merdeka.
Dikatakan dalam sebuah sya’ir,
Orang
yang mengikuti syahwat adalah hamba sahaya
Namun
jika syahwat ditaklukkan dia kan menjadi raja
48. 48. Menentang nafsu bisa menempatkan hamba pada
suatu kedudukan, yang jika ia memohon kepada Allah pasti akan dikabulkan,
sehingga Dia memenuhi segala kebutuhannya sekian kali lipat dari nafsu yang
ditinggalkannya. Dia itu bisa diibaratkan dengan orang yang tidak menyukai kotoran hewan, lalu
diganti dengan Mutiara.
49. 49. Menentang nafsu pasti akan mendatangkan
kemuliaan di dunia dan kemuliaan di Akhirat, keperkasaan lahir dan bathin. Sedangkan mengikuti nafsu akan menghinakan
manusia di dunia dan di Akhirat, lahir dan bathin.
50. 50. Tujuh Golongan orang-orang yang mendapat
perlindungan ‘Arsy Allah Subhanahu wa Ta’ala
pada hari yang tiada perlindungan selain
perlindungan-Nya (Hari Kiamat), maka engkau akan mendapati bahwa mereka (semua) mendapatkan
perlindungan itu karena menentang hawa nafsunya.
Renungan
"Hati itu ibarat cermin, dan Hawa Nafsu itu ibarat kotoran yang menutupinya, sehingga menghalangi kejelasan Hakikat sesuatu."
('Ulama)
"Hati itu ibarat cermin, dan Hawa Nafsu itu ibarat kotoran yang menutupinya, sehingga menghalangi kejelasan Hakikat sesuatu."
('Ulama)
"Tidak ada di dunia ini sesuatu yang lebih berat (untuk diingkari) daripada mengingkari syahwat (nafsu)."
(Fudhail bin Iyadh rahimahullah)
oOo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar