Selasa, 20 Februari 2018

CELAAN TERHADAP NAFSU



بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya.  Maka, apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?  Atau apakah kamu mengira kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami.  Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu)  (Al-Furqan;  43-44).

Tidaklah Allah Subhanahu wa Tala’ala menyebutkan kata “Nafsu” di dalam Kitab-Nya, melainkan dalam bentuk celaan.
Nafsu adalah kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa cocok.  Kecenderungan ini merupakan suatu bentuk ciptaan (Allah) yang ada di dalam diri manusia sebagai urgensi kelangsungan hidupnya.
Kendati mustahil untuk menghilangkan nafsu itu sama sekali, akan tetapi "pertempuran" yang senantiasa terjadi di dalam diri manusia antara nafsu dan akalnya, menjadikannya sebagai  suatu topik yang selalu menarik untuk dibicarakan dan dikaji.
Berikut ini beberapa kiat untuk mengendalikan nafsu, yang telah kami ringkas dan sadur secara bebas dari kitab  “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu”, Al-Imam, Al-‘Allamah  Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah.
50 (limapuluh) kiat tersebut adalah;
1.      
 1. Harus memiliki hasrat, sehingga timbul rasa cemburu antara diri sendiri dengan nafsunya.
2.       2. Harus memiliki seteguk kesabaran dalam menghadapi kepahitan yang dirasakan (dialami) pada saat itu.
3.       3. Memiliki kekuatan jiwa yang bisa mendorongnya untuk meminum seteguk kesabaran itu, sebab semua bentuk keberanian merupakan kesabaran sekalipun hanya sesaat.
4.       4. Mempertimbangkan kelanjutan yang baik dan kesembuhan yang terjadi di kemudian hari.
5.       5. Mempertimbangkan penderitaan yang akan semakin menjadi-jadi, sebagai akibat dari memperturutkan kenikmatan hawa nafsu.
6.       6. Lebih mementingkan kedudukannya disisi Allah dan di hati para hambanya yang beriman daripada  menurutkan keinginan hawa nafsunya.
7.       7. Lebih mementingkan kehormatan diri dan kelezatannya daripada kenikmatan sesaat (mengikuti hawa nafsu).
8.       8. Memikirkan kebanggaan yang akan diperoleh bila berhasil menaklukkan musuhnya.  Allah suka dan membanggakan hamba-Nya, serta melimpahkan rezeki kepada mereka jika berani menghadapi musuhnya, sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Dan mereka tidak menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskan bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih.”  (At-Taubah;  120), dan
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.”  (An-Nisa’;  100)
Karena di antara tanda cinta yang tulus dari seorang hamba terhadap Kekasihnya adalah, melibas musuh kekasih-Nya dan mengalahkannya.
9.      9.  Harus menyadari bahwa dia diciptakan bukan untuk mementingkan hawa nafsunya, tetapi untuk suatu urusan yang besar, agung, dan mulia, yang tak akan bisa diraih kecuali dengan menentang hawa nafsu.
10.  10.  Manusia diberikan akal sebagai alat yang dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang akan membahayakan dirinya.  Sangat berbeda dengan hewan yang tidak diberikan perangkat alat tersebut dalam menikmati makan, minum dan hubungan seksual sehingga mereka tidak mengetahui akibat kesudahannya (hanya sekedar mengikuti naluri dan tabiatnya).
11.   11. Melibatkan hati dalam mempertimbangkan akibat nafsu, sehingga dia bisa mengetahui seberapa banyak kadar nafsu itu dapat melalaikan keta’atan, dan berapa banyak kehinaan yang akan didatangkannya.  Betapa sering syahwat yang sedikit dalam sekejap menghancurkan kehormatan seseorang yang telah dibangun dan dijaga selama berpuluh-puluh tahun, menundukkan kepala, serta mengabadikan kenangan yang buruk.
12.   12. Orang yang berakal harus mampu menggambarkan tujuan mewujudkan hawa nafsu itu, dan menggambarkan (membayangkan) keadaan dirinya setelah memenuhi tuntutan tersebut dan apa yang hilang / “tercabut” dari dirinya.
13.   13. Harus mampu mengambil pelajaran dari orang lain yang pernah melakukan perbuatan yang sama.
14.   14. Harus memikirkan apa yang dituntut jiwanya, lalu bertanya kepada akal dan agamanya, yang nantinya akan memberitahukan, bahwa apa yang dituntut (nafsu) itu sebenarnya tidak mempunyai arti (hakikat) apa-apa.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu pernah berkata, “Jika salah seorang diantara kalian tertarik kepada seorang wanita (dalam perkara yang haram), maka hendaklah dia mengingat-ingat kebusukannya.”
15.  15. Tidaklah seseorang memperturutkan hawa nafsunya, melainkan pasti akan mendapatkan kehinaan pada dirinya.  Jangan tertipu / "silau" dengan kehebatan dan kesombongan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, padahal dilihat dari sisi bathinnya mereka adalah orang-orang yang paling hina-dina.
16.   16. Pertimbangkanlah keselamatan Agama, kehormatan, harta dan kedudukanmu di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, dibandingkan kenikmatan sesaat yang didapatkan.  Antara keduanya tidak ada perimbangan sama sekali.
17.   17. Menggambarkan kehinaan dirinya andaikata dia berada dibawah kekuasaan musuhnya (hawa nafsu).  Jika dia memiliki kekuatan, semangat dan kemuliaan jiwa, maka syaithan tidak akan tertarik kepadanya, dan tidak akan mampu mengganggunya kecuali dengan cara mencuri-curi.
18.   18. Harus mengetahui, bahwa tidaklah nafsu itu mencampuri suatu urusan kecuali ia akan merusaknya.  Jika nafsu mencampuri ilmu, maka ia akan mengeluarkannya kepada bid’ah dan kesesatan, pelakunya mengikuti orang-orang yang mengikuti nafsu.  Jika nafsu mencampuri zuhud, maka akan mengeluarkan pelakunya kepada riya dan menyelisihi Sunnah.  Jika nafsu mencampuri hukum, maka ia akan membawa pelakunya pada kezhaliman dan penentang kebenaran.  
{Baca juga artikel, TUDINGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA TERHADAP AHLUL BID'AH, dan TUDINGAN 'ULAMA AHLUSSUNNAH TERHADAP AHLUL BID'AH (1) - (5)}.
19.   19. Harus mengetahui, bahwa syaithan tidak memiliki jalan masuk ke dalam diri anak Adam, melainkan melalui pintu hawa nafsu.
20.   20. Allah menjadikan nafsu sebagai penentang apa yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan menjadikan para pengikut nafsu sebagai musuh para pengikut Rasul.  Karena manusia itu dapat dibagi menjadi dua golongan; Pengikut Wahyu dan Pengikut Hawa Nafsu.  Hal ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an,
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka.  (Al-Qashash;  50), dan ancaman Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya,
“Dan, jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolongmu.  (Al-Baqarah;  120)
21.   21. Allah menyerupakan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dengan hewan yang paling buruk, baik rupa maupun perangainya.  Terkadang Allah menyerupakan mereka dengan anjing, seperti firman-Nya (artinya),
“Tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dia mengulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).”  (Al-A’raf; 176) dan,
“Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari daripada singa.”  (Al-Muddatstsir;  50-51)
Terkadang rupa mereka dirubah oleh Allah menjadi kera, dan terkadang menjadi babi.
22.   22. Pengikut nafsu tidak layak untuk dita’ati, tidak patut menjadi pemimpin dan diikuti.  Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menghindarkannya dari kepemimpinan dan melarang keta’atan kepadanya, seperti firman-Nya (artinya),
“...Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang zhalim.”  (Al-Baqarah; 124).  Setiap orang yang mengikuti hawa nafsunya, maka dia adalah orang yang zhalim.
“Tetapi orang-orang yang zhalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan.”  (Ar-Rum;  29)
Larangan keta’atan kepadanya seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
“Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta memperturutkan hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas.”  (Al-Kahfi; 28)
23.   23. Allah menempatkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya sama dengan kedudukan penyembah berhala (thaghut),
“Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya.”  (Al-Furqan;  43)
(Baca artikel tentang, SYIRIK)
24.   24. Nafsu adalah dinding pagar yang melingkari Neraka Jahannam.  Barangsiapa terseret ke dalam nafsu, berarti dia terseret ke dalam Neraka.  Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai, dan Neraka itu dikelilingi dengan berbagai macam syahwat.”
25.   25. Orang yang mengikuti hawa nafsunya dikhawatirkan akan terlepas dari iman, sementara dia tidak menyadarinya, sebagaimana disebutkan di dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Seseorang di antara kalian (dianggap) tidak beriman sehingga keinginannya mengikuti apa yang aku bawa (Al-Qur'an dan As-Sunnah).”, juga makna sabda Beliau,
“Ketakutan yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah godaan dalam perut dan kemaluan kalian, serta hawa nafsu.
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
26.   26. Mengikuti hawa nafsu termasuk tindakan yang merusak,
“Ada tiga perkara yang merusak dan tiga perkara yang menyelamatkan.  Tiga perkara yang merusak adalah; kekikiran yang diikuti, hawa nafsu yang diperturutkan dan keta'ajuban seseorang terhadap diri sendiri.  Tiga perkara yang menyelamatkan adalah; takwa kepada Allah disaat terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, bersikap adil dikala marah dan ridha, kesederhanaan disaat miskin dan kaya.”  (Al-Hadits)
27.   27. Menentang hawa nafsu akan menghasilkan kekuatan tubuh, hati, dan lidah manusia.
Selagi seseorang membiasakan diri untuk menentang hawa nafsunya, berarti dia menambah kekuatan di atas kekuatan yang telah ada.
“Orang yang kuat itu bukanlah karena (kemampuan) bergulat, tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala sedang marah.”  (HR.  Al-Bukhari-Muslim dan Ahmad)
28.   28. Orang yang paling kesatria adalah orang yang paling keras menentang hawa nafsunya.
29.   29. Tidak ada satu hari pun yang berlalu, melainkan terjadi pergulatan antara nafsu dan akal seseorang.  Mana yang dapat mengalahkan rivalnya, maka dia akan mengusirnya dan menguasai badan, hati, pikiran, serta jiwanya.
30.   30. Sesungguhnya Allah menjadikan kesalahan dan mengikuti hawa nafsu sebagai dua hal yang berpasangan, dan menjadikan kebenaran dan menentang nafsu sebagai dua hal yang berpasangan pula.
31.   31. Nafsu itu merupakan penyakit dan obat penawarnya adalah menentangnya dan meninggalkannya.
32.   32. Memerangi nafsu lebih hebat, dan lebih sulit daripada memerangi orang-orang kafir.  Seseorang bertanya kepada Al-Hasan Al-Basri, “Wahai Abu Said, apakah jihad yang paling utama?”  Beliau menjawab, “Jihadmu memerangi hawa nafsumu.”
Jihad memerangi nafsu adalah dasar jihad dalam memerangi orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
33.   33. Nafsu itu merupakan kegoncangan dan kebingungan, sedangkan memerangi nafsu merupakan ketahanan diri.
34.   34. Mengikuti nafsu bisa menutup pintu taufik dan membukakan pintu penyesalan.  Padahal dia menyukai jika Allah memberinya taufik, seandainya dia berbuat begini dan begitu.  Sementara Allah telah menutup pintu taufik karena dia memperturutkan hawa nafsunya.  (Baca artikel, EMPAT TAHAPAN / TINGKATAN HIDAYAH dan RAHASIA HIDAYAH)
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa mengikuti nafsu dan memperturutkan syahwatnya, maka terputuslah tali hidayah taufik dari dirinya.”
35.   35. Barangsiapa yang memanjakan nafsunya, maka dia akan merusak akal - pikirannya.  Sebab dia telah mengkhianati Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam menggunakan akal, sehingga Allah merusak akalnya.
Al-Mu’thasim berkata, “Jika nafsu dimanja, maka pikiran menjadi sirna.”
36.   36. Barangsiapa melapangkan dirinya untuk mengikuti hawa nafsu, maka dia akan disempitkan di dalam kuburnya dan saat kembalinya.  Barangsiapa menyempitkan dirinya dengan cara menentang nafsu, maka akan dilapangkan kuburnya dan tempat kembalinya.
37.   37. Mengikuti nafsu membuat hamba tidak bisa bangkit untuk mencapai Surga bersama orang-orang yang berhasil meraihnya.
38.   38. Mengikuti nafsu bisa mengendorkan semangat, dan menentang nafsu bisa menguatkan semangat.  Semangat merupakan tunggangan hamba, yang membawanya kepada Allah dan Hari Akhirat.  Jika tunggangannya lemah dan tak berdaya, saat itu pula perjalanan menjadi terhenti.
Yahya bin Mu’az pernah ditanya, “Siapakah yang paling benar semangatnya?”  Dia menjawab, “Orang yang menundukkan nafsunya.”
39.   39. Seorang yang Arif Bijaksana berkata, “Tunggangan yang paling cepat ke Surga adalah zuhud di dunia, dan tunggangan yang paling cepat ke Neraka ialah mencintai syahwat.”
40.   40. Tauhid dan mengikuti hawa nafsu merupakan dua hal yang saling bertentangan.  Nafsu itu ibarat berhala.  Setiap hamba mempunyai berhala di dalam hatinya menurut kadar hawa nafsunya.  Allah mengutus Rasul-Rasul-Nya untuk menghancurkan berhala dan memerintahkan untuk menyembah-Nya semata, tanpa ada sekutu bagi-Nya.
Hasan bin Al-Muththawwiy berkata, “Berhala setiap manusia adalah hawa nafsunya.  Barangsiapa menghancurkan berhala itu dengan cara menentangnya, maka dia layak disebut pemberani.”
Hal ini sesuai dengan berhala-berhala yang diinginkan hati, dan yang disembah secara tekun selain Allah.  Firman-Nya (artinya),
“Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya.  Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?  Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami.  Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu).”  (Al-Furqan;  43-44)
41.   41. Menentang nafsu bisa melenyapkan penyakit hati dan badan, sedangkan mengikuti nafsu bisa mendatangkan penyakit bagi hati dan badan.
42.   42. Dasar permusuhan, kejahatan dan kedengkian yang muncul di kalangan manusia ialah karena mengikuti nafsu.  Siapa yang menentang nafsunya, berarti dia membuat hati dan badannya menjadi tenteram dan sehat.
43.   43. Allah menciptakan nafsu dan akal di dalam diri manusia.  Mana yang menang di antara keduanya, maka yang lain akan menyingkir.
Ali bin Sahl berkata, “Akal dan nafsu saling bermusuhan.  Taufik merupakan kesudahan akal, dan penyesalan merupakan kesudahan nafsu.  Jiwa berada di antara keduanya.  Mana yang tampil sebagai pemenang - maka jiwa akan mengikutinya.”
44.   44. Allah menjadikan hati sebagai raja bagi anggota tubuh, tambang ilmu pengetahuan, cinta dan ibadahnya, lalu Dia (Allah) mengujinya dengan dua kekuasaan, dua pasukan, dan dua pendukung:  Kebenaran, Zuhud dan Petunjuk merupakan satu kekuasaan, pendukungnya Para Malaikat, pasukan Kejujuran, Ikhlas dan Menjauhi Nafsu.  Sedangkan Kebathilan merupakan kekuasaan satunya lagi, para pendukungnya adalah Syaithan dan Iblis, pasukannya adalah mengikuti hawa nafsu.  Sementara jiwa berada di antara dua pasukan ini.  Pasukan kebathilan tidak berani maju mendekati hati kecuali melalui jiwa.
45.   45. Musuh terbesar bagi seorang hamba adalah Syaithan dan hawa nafsunya.  Sedangkan rekan yang paling dipercaya adalah akalnya dan kekuasaan yang memberikan nasihat kepadanya.
46.   46. Setiap manusia memiliki permulaan dan kesudahan.  Barangsiapa yang permulaannya ditandai dengan mengikuti hawa nafsu, maka kesudahannya adalah kehinaan, kemerosotan dan bencana, tergantung seberapa jauh dia mengikuti hawa nafsunya.
Sedangkan di akhirat Allah menjadikan Surga sebagai kesudahan bagi orang-orang yang menentang hawa nafsunya, dan Neraka sebagai kesudahan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya.
47.   47. Nafsu akan memperbudak hati, belenggu di leher dan tali di kaki.  Orang yang mengikuti nafsu menjadi tawanan dari penguasa yang buruk, dan siapa yang menentang nafsu bisa bebas dari perbudakan dan menjadi orang yang merdeka.
Dikatakan dalam sebuah sya’ir,
Orang yang mengikuti syahwat adalah hamba sahaya
Namun jika syahwat ditaklukkan dia kan menjadi raja
48.   48. Menentang nafsu bisa menempatkan hamba pada suatu kedudukan, yang jika ia memohon kepada Allah pasti akan dikabulkan, sehingga Dia memenuhi segala kebutuhannya sekian kali lipat dari nafsu yang ditinggalkannya.  Dia itu bisa diibaratkan dengan orang yang tidak menyukai kotoran hewan, lalu diganti dengan Mutiara.
49.   49. Menentang nafsu pasti akan mendatangkan kemuliaan di dunia dan kemuliaan di Akhirat, keperkasaan lahir dan bathin.  Sedangkan mengikuti nafsu akan menghinakan manusia di dunia dan di Akhirat, lahir dan bathin.
50.   50. Tujuh Golongan orang-orang yang mendapat perlindungan ‘Arsy Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari yang tiada perlindungan selain perlindungan-Nya (Hari Kiamat), maka engkau akan mendapati bahwa mereka (semua) mendapatkan perlindungan itu karena menentang hawa nafsunya.


Renungan
"Hati itu ibarat cermin, dan Hawa Nafsu itu ibarat kotoran yang menutupinya, sehingga menghalangi kejelasan Hakikat sesuatu." 
('Ulama)
 
"Tidak ada di dunia ini sesuatu yang lebih berat (untuk diingkari) daripada mengingkari syahwat (nafsu)."
(Fudhail bin Iyadh rahimahullah)
oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar