Senin, 25 Juni 2018

BILA TIBA SAATNYA...


بسم الله الر حمان الر حيم


Bila saatnya tiba
waktu seakan tak bergerak lagi
Semua darah terhimpun di satu tempat
Semua denyut perlahan hilang

Kebenaran tampak tanpa hijab, boleh jadi cahaya atau kegelapan

Kesadaran sontak menyelimuti diri
Pandangan begitu tajam
Inilah waktu yang dijanjikan dan banyak diingkari 

Dimana bekal selama ini? 
Dimana semuanya?
Kemana akan pergi?

Berkemas untuk perjalanan tanpa batas
Akankah sampai di langit yang ke tujuh, atau ditolak di perbatasan bumi

Bila saatnya tiba
Terbayang tanah merah dan nisan yang menandai
Seakan diri tak berarti

oOo

Jumat, 22 Juni 2018

ISTI'ADZAH


 بسم الله الر حمان الر حيم

Di dalam bahasa Arab, kata “Syaithan” berasal dari kata “Syathana”, yang berarti jauh.  Jadi, tabiat syaithan itu sangat jauh dari tabiat manusia, dan karena kefasikannya dia sangat jauh dari segala macam bentuk kebaikan (Petunjuk / Rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Ada yang mengatakan, bahwa kata “syaithan” itu berasal dari kata “syatha” (terbakar), karena dia diciptakan dari api.  Dan ada juga yang mengatakan, bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna yang pertama yang lebih benar.

Pengertian Isti’adzah;
Al-Isti’adzah, berarti permohonan perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari semua kejahatan setiap yang jahat.  Jadi, memohon pertolongan dalam usaha menolak setiap kejahatan dan memohon pertolongan dalam upaya meraih setiap kebaikan.
اعو ذبا الله من اشيطان الر جيم  
(“A’uudzubillaahi minasysyaithaanirrajiim”) berarti, aku memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk, agar dia tidak membahayakan diriku dalam urusan Agama dan Duniaku, atau menghalangiku mengerjakan apa yang telah Dia (Allah) perintahkan.  Atau, agar dia tidak menyuruhku mengerjakan apa yang Dia (Allah) larang, karena tidak ada yang mampu mencegah godaan syaithan itu kecuali Allah.

Tafsir Isti’adzah dan Hukum-hukumnya;
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Jika kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.  Sesungguhnya syaithan itu tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Rabb-nya.  Sesungguhnya kekuasaannya (syaithan) itu hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.”  (An-Nahl;  98-100)
Yang masyhur menurut Jumhurul (mayoritas) ulama, bahwa Isti’adzah dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an guna mengusir godaan syaithan.
Menurut jumhur ulama, membaca isti’adzah itu hukumnya sunnah, bukan sesuatu yang wajib, sehingga tidak berdosa orang yang meninggalkannya.  Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwasanya Beliau tidak membaca ta’awwudz dalam mengerjakan shalat wajib.
Di dalam kitab Al-Imla’, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, dianjurkan membaca ta’awwudz dengan jarh (terdengar, ed.), tetapi jika dibaca dengan sirr (tidak terdengar, ed.) juga tidak apa-apa.  Sedangkan dalam kitab Al-Umm, Beliau mengatakan, diberikan pilihan, boleh membaca ta’awwudz -boleh juga tidak.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, ta’awwudz itu dibaca dalam shalat untuk membaca Al-qur’an.  Sedangkan Abu Yusuf berpendapat, bahwa ta’awwudz itu dibaca justru dalam shalat.
Diantara manfaat lain dari ta’awwudz adalah untuk mensucikan dan mengharumkan mulut dari kata-kata yang tidak mengandung faidah / kata-kata yang buruk.  Disamping memohon pertolongan kepada Alllah, sekaligus memberikan pengakuan atas Kekuasaan-Nya, kelemahan diri sebagai hamba, dan ketidak-berdayaannya dalam melawan musuh yang sebenarnya (syaithan), yang bersifat bathiniyah, yang tak seorang pun mampu menolak dan mengusirnya, kecuali Allah Yang telah menciptakannya.

oOo
(Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Katsir”)

Senin, 11 Juni 2018

"...YANG TERCECER"




بسم الله الر حمان الر حيم

Kalaulah, Nabi dan Rasul (Ulul Azmi) Musa ‘Alaihissalam saja dicegah Allah Subhanahu wa Ta’ala duduk bersama Ahlul Bid’ah, siapa kita?  Hingga merasa lebih mampu dari Beliau?

Seluruh Rasul pasti mengatakan, “Bila kalian menyelisihi kami, tempat kalian adalah Neraka!”

Kita senantiasa berkata, ingin masuk ke dalam Surga, sementara jalan yang kita ambil adalah ke Neraka, siapa yang keledai?

Kita ingin bergabung dengan para Malaikat, padahal teman-bergaul kita adalah Syaithan, dimana akal?

Orang-orang yang dahaga selalu mencari air, tetapi mereka mengejar-ngejar fatamorgana, dimana hati dan mata?
Itulah yang tercecer...

oOo

(Penghujung Ramadhan, 1439 H)

Sabtu, 09 Juni 2018

HARUSKAH MENYEBUTKAN KEBAIKAN Ahlul Bid'ah?


Oleh: Al Ustadz Muhammad Umar Assewed Hafizhahullah
بسم الله الر مان الر حيم
Di antara syubhat (kebathilan yang berkedok kebenaran, ed.) yang dilontarkan oleh para mudzabdzabin1) adalah ucapan mereka: “Kita tidak boleh melupakan jasa-jasa dan kebaikan ahlul bid’ah”, “Ketika kita mengkritik ahlul bid’ah, kita harus pula menyebutkan kebaikan mereka”, atau “Bagaimana pun mereka juga mempunyai kebaikan” dan kalimat-kalimat lain yang semakna. Sebaliknya para ulama yang tidak menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah dituduh zhalim dan tidak adil.
Mereka berupaya untuk meruntuhkan kaidah jarh (kritikan dan celaanpara ulama terhadap ahlul bid’ah, dengan menganggap bahwa perselisihan yang terjadi di kalangan kelompok-kelompok sempalan ahlul bid’ah adalah permasalahan keaneka-ragaman yang saling melengkapi, bukan pertentangan. Kemudian mereka memberikan syarat bagi siapa saja yang hendak mengkritik ahlul bid’ah dan menerangkan kesesatan yang ada padanya untuk menyebutkan pula kebaikan-kebaikannya. Barangsiapa yang tidak melakukannya berarti dia tergolong sebagai orang yang zhalim dan berlebihan alias keterlaluan -menurut anggapan batil mereka.
Mereka mencari-cari dalil untuk mendukung kebid’ahan mereka dengan ucapan yang samar, berbias atau mutasyabihat agar dapat dijadikan sebagai fitnah dan dicari-cari ta’wilnya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ahmad bin Abdurrahman As-ShuwayyanHisyam bin Ismail As-ShiniSalman Al-AudahZaid Az-ZaidAqil bin Muhammad Al-MuqthiriAbdurrahman Abdul Khaliq dan yang lainnya. Demikian pula yang dilakukan oleh para muqallid ("Pembeo" / "Pembebek", ed.) mereka yang ada di Indonesia yang didukung oleh yayasan-yayasan tertentu seperti Ash-Shafwa, Ihyaut Turats, Al-Haramain dan lain-lain.
Upaya mereka itu bertujuan untuk menghilangkan sekat pemisah antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah, untuk kemudian menggabungkan mereka dalam satu partai atau kelompok besar (hizbiyyah) yang hanya mementingkan kuantitas (banyaknya pengikut, ed.) dan tidak mementingkan kualitas.
Sungguh suatu upaya yang mustahil menggabungkan dua kelompok yang berlawanan. Yang satu mengatakan “Ikutilah sunnah jauhilah bid’ah”, sedangkan yang lain mengatakan: “Kerjakanlah kebid’ahan dan tinggalkanlah sunnah”.
Jangan dianggap kecil ucapan-ucapan mereka! Dengan syubhat mereka ini akan gugur Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah seperti: amar ma’ruf nahi mungkar, kaidah jarh wa ta’dil dalam ilmu hadits dan akan menjatuhkan para ulama Ahlul Hadits dengan tuduhan zhalim. Yang pada akhirnya akan menumbuh-suburkan kebid’ahan dan mematikan sunnah.
Mereka menganggap bahwa menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah ketika mengkritiknya adalah “keadilan” (in’shaf). Guna mendukung kebid’ahan mereka ini, mereka bawakan ayat dan hadits tentang kewajiban berbuat adil. Di antara ayat yang sering mereka dengungkan adalah firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
المائدة: 8
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Maidah: 8)
Dengan ayat ini mereka berpendapat bahwa kita harus berbuat adil sekalipun terhadap musuh-musuh kita yaitu dengan menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, jangan hanya menyebutkan kejelekannya saja.
Sungguh, ini adalah pemahaman yang sangat batil akan makna keadilan. Karena sesungguhnya makna keadilan menurut para ulama Salaf sejak (zaman) Shahabat sampai hari ini adalah menghukumi seseorang dengan hak dan kebenaran atau menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Maka jika seorang ulama mengkritik atau men-jarh seseorang yang sesat (ahlul bid’ah) yang memang sepantasnya untuk di jarh dengan bukti-bukti yang benar dan dalil yang jelas. Kemudian memperingatkan manusia dari bahaya kesesatannya maka itu adalah keadilan dan bukan kezhaliman.
Kecuali, jika ia menuduh dengan bukti-bukti yang dusta dan saksi-saksi palsu atau men-jarh orang yang tidak layak untuk di-jarh dari kalangan ulama ahlus sunnah yang jujur dan terpercaya (tsiqah), maka itulah yang dinamakan kezhaliman. Sama sekali tidak berkaitan dengan masalah penyebutan kebaikannya atau pun tidak.
Di samping itu, menyebutkan kebaikan ketika kita memperingatkan manusia dari penyimpangan seseorang sungguh sangat bertentangan dengan hikmah dan tujuan peringatan itu sendiri. Apakah pantas kita katakan: “Hati-hati dari orang khawarij ini, tetapi dia memiliki kebaikan-kebaikan”?,  “Hati-hatilah dari kesesatan orang syi’ah ini, namun dia adalah orang yang baik, ahli ibadah, dermawan dan lain-lain”?!.
Mereka juga memakai dalil-dalil yang dipaksakan, di antaranya ucapan Rasulullah kepada Abu Hurairah ketika beliau menerangkan siapa orang (syaithan) yang mencuri harta Baitul Maal dan mengajar-kan ayat kursi:
أَمَا إِنَّهُ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوْبٌ
(رواه البخاري)
“Ketahuilah sesungguhnya dia telah berkata benar kepadamu padahal dia pendusta.” (HR. Bukhari)
Ucapan ini dianggap oleh para mudzabdzabin tadi sebagai dalil harusnya menyebutkan kebaikan walaupun itu adalah syaithan sang pendusta.
Untuk menjawab syubhat tentang hadits Abu Hurairah tersebut, maka kita bantah dari beberapa sisi:
Pertama: Di dalam hadits dijelaskan bahwa tatkala Abu Hurairah mengkabarkan kepada Rasulullah tentang kisah di atas, maka Rasulullah memberitakan kepadanya dengan mengatakan:
أَمَا إِنَّهُ كَذَبَكَ وَسَيَعُوْدُ
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali (mengulangi perbuatannya)”.
Maka syaithan pun kembali melakukan pencurian, dan Abu Hurairah kembali menangkapnya. Kemudian Beliau mengkabarkannya kepada Rasulullah tentang hal itu, maka Rasulullah pun bersabda untuk kedua kalinya: “Ketahuilah bahwa dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali (mengulangi perbuatannya)”. (HR. Bukhari)
Dari kejadian ini dapat kita lihat bahwa Rasulullah tidak melakukan apa yang diistilahkan oleh mereka -para ahlul bid’ah- dengan muwazanah (keseimbangan)  antara penyebutan kejelekan setan dan kebaikan-kebaikannya pada dua peringatan pertama Beliau. Dan Beliau juga tidak memerintahkan kepada Abu Hurairah atau yang lainnya dari kalangan Sahabat untuk melakukan hal itu walaupun sedikit, demi memberikan pendidikan muwazanah (balance).
Kedua: Ucapan Beliau pada kejadian ketiga: “Ketahuilah, sesungguhnya dia telah berkata benar namun dia adalah seorang pendusta”, tidak menunjukkan adanya sedikitpun sikap muwazanah antara kebaikan dan kejelekan amalan setan. Sesungguhnya yang ada hanyalah menerima kebenaran dan kejujuran dari siapa saja. Menyatakan yang hak adalah hak dan yang batil adalah batil, dari siapa pun sumbernya. Apakah dia seorang Yahudi, Nashrani, penyembah berhala, sosialis, atau setan yang pendusta lagi terkutuk sekalipun.
Di sini menunjukkan pemuliaan terhadap kebenaran dan kejujuran serta penerimaannya, walaupun datang dari jalan sumber yang jelek. Terlebih lagi apabila kita tidak mendapatkan jalan menuju kebenaran tersebut, kecuali dari jalannya.
Ini jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir, ahlul bid’ah, penentang kebenaran, kaum hizbiyyin harakiyyin (dan para mudzab-dzabin sendiri, pent)dimana mereka adalah orang-orang yang menolak kebenaran dan kejujuran, walaupun datangnya dari orang-orang yang jujur lagi adil. Bahkan walaupun datangnya dari para nabi dan rasul, sekalipun sebagaimana yang terjadi pada orang-orang kafir. (Lihat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, DR. Rabi’ bin Hadi al Madkhali hal. 70-71)
Alasan lainnya adalah, apa yang mereka nukilkan dari para ulama Ahlus Sunnah ketika menuliskan Biografi para tokoh-tokoh ahlul bid’ah. Mereka menuliskannya secara lengkap: ilmunya, jasa-jasanya, dan sekaligus  penyimpangan dan kesesatannya.
Mereka anggap sikap para ulama ini adalah mendukung prinsip muwazanah (keseimbangan) mereka. Di antara yang paling banyak mereka nukil adalah ucapan Imam adz-Dzahabi dalam as-Siyar.
Kita bantah alasan mereka ini dengan beberapa kalimat:
Pertama, kita katakan sungguh sangat berbeda antara seorang ulama yang menulis Biografi seseorang dan seorang ulama yang sedang memperingatkan umat dari bahaya penyimpangan seseorang. Entah apakah (karena) mereka tidak mengerti atau berpura-pura tidak mengerti.
Sebagai contoh lihat apa yang dilakukan oleh Imam Ad-Dzahabi sendiri sebagaimana yang ternukil dalam kitab beliau “as-Siyar” yang berisi biografi dan kitab beliau “al-Kaasyif” yang merupakan kritikan. Kita dapati di dalam as-Siyar, Beliau menyebutkan kebaikan dan kejelekan orang yang diterangkan biografinya secara lengkap, karena memang sedang membahasan Biografi. Lain hal-nya yang terdapat dalam kitab beliau Al-Kaasyif, beliau tidak menyebutkan seorang perawi melainkan kritikan (jarh).
Oleh karena itulah berkata Rafi’ bin Asyras rahimahullah: “Adalah dikatakan termasuk dari hukuman bagi pendusta ialah untuk tidak diterima kejujurannya. Dan aku katakan: “Termasuk dari balasan bagi orang yang fasik dan ahlul bid’ah ialah untuk tidak disebutkan kebaikan-kebaikannya”. (Lihat Syarah ‘Ilal at Tirmidzi, Ibnu Rajab 1/353 dan Irsyadul Bariyyah, Hasan bin Qasim hal.198-201)
Kedua, betapa banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih yang menceritakan tentang kejelekan Yahudi, Nashrani, kaum musyrikin, munafiqin dan orang-orang sesat dengan tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Apakah mereka menganggap semua itu sebagai kedzaliman?!
Ketiga, para ulama tidak ada yang mewajibkan untuk menyebutkan kebaikan ketika mengkritik seseorang.
Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ketika ditanya apakah perlu menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah: “Tidak! tidak mesti menyebutkan kebaikan mereka. Jika engkau membaca buku-buku Ahlus Sunnah, engkau akan dapati yang demikian, karena tujuan mereka adalah memperingatkan…” (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 7)
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, beliau menjawab: “Tidak perlu engkau mengumpulkan kebaikan  dan menyebutkannya”. (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 19)
Demikian pula Syaikh Al-Albani ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, Beliau berkata:  “Itu merupakan prinsip bid’ah, apakah ketika seorang ulama hadits berbicara tentang orang yang shalih atau alim dan faqih bahwa dia lemah hafalannya, apakah mesti dia mengatakan setelah itu: dia adalah orang shalih, faqih, menjadi rujukan dalam mengambil hukum-hukum fiqih … dan seterusnya?! Allahu Akbar”.  (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 19)
Wallahu a’lam.
[1] kaum lembek, yang tidak punya pendirian, yang berusaha berdiri di tengah-tengah antara Ahlul Bid’ah dan Ahlus Sunnah.
Sumber: Haruskah Menyebutkan Kebaikan Ahlul Bid’ah ?  (Bantahan Syubhat ke- 5)
(Disalin dari situs "Untuk Pencari Al-Haq")

Kamis, 07 Juni 2018

TANGGAPAN Asy-Syaikh 'Ubaid Al-Jabiri dan Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan TERHADAP PERKATAAN Dr. Ibrahim Ruhaily



بسم الله الر حمان الر حيم


Orang bijak berkata, “Kebenaran (al-haq) itu tak akan pernah sirna atau  usang”. 

Meskipun perkara ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu, namun tetap baik dan sangat layak untuk diambil pelajaran dan hikmah darinya.  


Berkata Abdullah Taslim:
“…Pada waktu itu malam hari, Ustadz Muhammad Nur Ihsan yang dari Riau beliau yang pertama kali dihubungi oleh syaikh Abdullah al Bukhari yang beliau adalah salah seorang Masyaikh Ahlussunnah di Madinah yang mengajar di Jami’ah Islamiyah, seorang doktor yang ana beritahukan kepada antum, bahwa rata-rata masyaikh yang datang kesini yang dibawa ikhwan-ikhwan kita yang mendatangkan di sini, rata-rata kalau di Madinah  mereka termasuk syaikh yang biasa-biasa. Artinya kalau di Indonesia memang mereka paling pinter, kalau di Indonesia, kalau di sana yang seperti itu Masyaikh Ahlussunnah yang lainnya banyak, yang jelas mereka tidak seterkenal dan tidak se.. lebih diakui dibandingkan Syaikh Ibrahim Ruhaili, Syaikh Abdurrozaq dan para masyaikh lainnya yang mereka itu ngajar di Masjid Nabawi. Sedangkan masyaikh-masyaikh tersebut bukan termasuk yang ngajar di masjid nabawi…”
Kalau memang tolok ukur kebenaran adalah keterkenalan, lebih diakui dan ngajar di Masjid Nabawi, ada manfaatnya jika pada kesempatan ini kita membaca faidah ilmiyah dari Asy Syaikh Ubaid hafizhahullah yang menyoroti fikrah salah satu Masyaikh yang namanya disebutkan oleh Abdullah Taslim di atas….
(Asy- Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah bin Sulaiman Al-Jabiry)

الحمد لله العلي الغفار, وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له الواحد القهار, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وخاتم المصطفين الأخيار, صلى الله وسلم عليه وعلى آله وأصحابه البررة الخيار. أما بعد
Saya telah mempelajari berbagai ungkapan dan ucapan saudara kami Doktor Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaily, seorang profesor bagian aqidah di Universitas Islam di Al-Madinah Al-Munawwarah. Maka saya melihat berbagai keanehan pada makalah-makalahnya dan ucapan-ucapannya dan saya mengingkarinya karena menyimpang dari apa yang telah ditempuh para ulama Salafush Shalih, bertentangan dengan apa yang kita jumpai dan yang biasa kita dapatkan dari apa yang telah ditetapkan oleh para imam para ulama pemimpin ilmu dan agama yang telah berlalu di atas jalan kaum mukminin.
Setelah saya menelitinya dan membacanya berulang-ulang, saya menganggap sangat perlu untuk membantahnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta yang kita dapatkan jejaknya dari para ulama pemimpin ilmu dan iman.
Sebab-sebab membantah:
Yang mendorong saya untuk membantah ucapan-ucapan ini adalah:
1.      Saya tidak mengetahui ada orang yang membantah dan mengungkap penyimpangan dan keganjilan-keganjilannya, baik oleh ulama atau penuntut ilmu hingga saat ini.
2.      Sesungguhnya ucapan-ucapan ini telah diterima sebagai sebuah kebenaran oleh ratusan -kalau tidak dikatakan mencapai ribuan- dari orang-orang yang belajar kepada orang semacam Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily -semoga Allah mema’afkan kami- lalu mereka pun menyebarkannya ke penjuru ufuk Timur dan Barat, hal itu ketika keganjilan-keganjilan itu masuk di dalam pikiran-pikiran mereka dan hati-hati mereka (para penuntut ilmu) sehingga mereka meyakini bahwa itu termasuk bagian agama Allah yang harus dipelajari.
3.      Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan, yaitu wajibnya menyampaikan nasehat baik secara umum atau khusus, Allah berfirman:
وإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ
“Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan kalian jangan menyembunyikannya’.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam sebagian masail-nya dalam bab “Barangsiapa yang tabarruk dengan batu atau pohon atau selainnya” di dalam kitab Tauhid, “Bahwa yang dicela dari Yahudi dan Nashara di dalam al-Qur’an bahwa hal itu juga tercela untuk kita.”
Dan termasuk dari As-Sunnah yang mutawatir dalam bab ini yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dari Tamim Ad-Dary bahwa Nabi bersabda:
الدين النصيحة قالوا: لمن قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Sesungguhnya agama adalah nasehat.”
Para shahabat bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasulnya, para pemimpin kaum muslimin dan untuk mereka semua.”
Berikut akan saya sampaikan pada pembaca ucapan-ucapan itu yang masing-masing diikuti dengan:
1.      Penjelasan sisi penyelisihan dan kemungkarannya.
2.      Dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta atsar dari para imam.
Saya katakan -hanya dengan taufiq dari Allah dan Dia-lah yang mencukupi kita serta sebaik-baik penolong:
Perkataan pertama:
Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily berkata, “Tetapi di sana ada masalah lain yang telah tetap di kalangan ulama bahwa sesungguhnya di kalangan Ahlus Sunnah terkadang terjadi khilaf, dan masalah ini tidak diingkari oleh orang yang memiliki bagian ilmu bahwa telah terjadi khilaf dan ikhtilaf, sama saja dalam masalah-masalah ushuluddin atau masalah-masalah amaliyah.”
Saya katakan:
Ucapan ini persis sama dengan perkataan Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Amin –semoga Allah merahmati Al-Amin (Asy-Syinqithy –ed) sisi kemiripan dua ucapan ini akan ditangkap oleh orang yang memiliki kecerdasan terhadap makna yang ditunjukkan dalam lafazh-lafazh itu.
Inilah bantahaan kami terhadap ungkapan tersebut setelah mengutipnya:
Asy-Syaikh Abdullah (bin Muhammad al-Amin Asy-Syinqithy –ed) berkata, “Dasar-dasar akidah di dalamnya terjadi khilaf, para Shahabat berselisih di dalam masalah ru’yatulloh, Ibnu Abbas dan ‘Aisyah berselisih, namun demikian yang pertama tidak mengatakan kepada yang kedua: ‘engkau sesat!
Saya katakan:
Pertama: Semoga Allah mema’afkan kami dan engkau, pada ucapanmu ini mengandung kesamaran dan kerancuan yang engkau lontarkan terhadap anak-anakmu para penuntut ilmu dalam perkara yang termasuk prinsip-prinsip agama yang mendasar, bahkan perkara tersebut adalah Inti Risalah-Risalah yang dibawa oleh para Rasul:
1.      Jelas-jelas menyelisihi para tokoh orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan para ulama pemimpin agama.
Berikut ini saya akan sampaikan sebagian perkataan mereka yang  membantah ungkapan ini dan menunjukkan kebatilannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Demikian juga masalah fiqih, terjadinya khilaf hanyalah ketika tersamarkan pada mereka penjelasan pemilik syariat, tetapi terjadinya perbedaan ini dalam perkara yang sangat rumit. Adapun dalam perkara yang jelas maka tidak terjadi khilaf padanya. Para Shahabat mereka berbeda pendapat pada sebagian hal itu (fikih –ed), hanya saja mereka tidak berbeda pendapat dalam masalah aqidah dan pada masalah jalan menuju Allah yang dengannya seseorang bisa menjadi salah satu wali Allah yang baik dan didekatkan.” (Majmu’ Fatawa: 19/274)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ahlul iman terkadang berbeda pendapat pada sebagian hukum yang tidak sampai mengeluarkan mereka dari iman. Para Shahabat telah berbeda pendapat dalam banyak masalah-masalah hukum, padahal mereka adalah pimpinan mukminin dan umat yang paling sempurna keimanannya. Hanya saja alhamdulillah mereka tidak sampai pecah dalam satu masalah yaitu dalam masalah nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah. Bahkan semuanya menetapkan apa yang tercantum di dalam al-Kitab dan As-Sunnah satu kata dari awal sampai akhir, mereka tidak bersikap buruk kepadanya dengan melakukan takwil, mereka tidak memalingkan dari makna yang semestinya dengan menggantinya, mereka tidak menampakkan sesuatu darinya dalam rangka membatalkan maknanya, mereka tidak membuat-buat permisalan-permisalan bagi makna-maknanya, mereka tidak menolak keberadaannya dan kemukjizatannya serta tidak seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa harus memalingkan dari hakikatnya dan membawa kepada majasnya, bahkan mereka menyikapinya dengan menerima dan tunduk, mereka menerimanya dengan iman dan pengagungan dan mereka menjadikannya sebagai suatu perkara yang satu dan membiarkannya di atas satu sunnah. Mereka tidak berbuat seperti yang diperbuat ahlul ahwa’ dan ahlul bida’ ketika mereka menjadikannya saling bertentangan, mereka menetapkan sebagian dan menolak sebagiannya tanpa didasari dalil yang jelas, padahal yang wajib bagi Allah atas mereka pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mereka ingkari, sama wajibnya pada apa yang mereka tetapkan dan kuatkan.” (I’lamul Muwaqi’in: 1/49)
Berkata guru kami Asy-Syaikh Hammad Al-Anshary rahimahullah,Para Shahabat tidak berselisih dalam masalah aqidah selamanya, perselisihan hanya terjadi setelah mereka.”
(Kumpulan biografi Al-Allamah, al-muhaddits Hammad al-Anshary: 2/493 no.124)
Bukankah semua perkataan ini menunjukkan kesepakatan bahwa para Shahabat radhiyallahu’anhum sepakat dalam masalah aqidah, dan saya tidak meyakini bahwa orang yang mempunyai ilmu dan pengikut sunnah kecuali dia mengetahui masalah itu.
2.      Doktor Ar-Ruhaily berkata -semoga Allah memperbaiki keadaan kita dan dia: “Para Shahabat berselisih dalam masalah melihat Allah dst…”
Saya katakan wahai para pembaca yang mulia:
Ini adalah contoh dari Ibnul Amin yang telah menetapkan perkara perselisihan Shahabat dalam masalah aqidah, dan saya ingin bertanya kepada Doktor, melihat yang mana yang engkau maksudkan? Apakah melihatnya kaum mukminin terhadap Rabb mereka pada hari kiamat, karena engkau telah mengglobalkan dan tidak memperjelas, dan ini merupakan talbis (menimbulkan kerancuan) yang tidak ada yang lebih parah darinya? Atau melihat-Nya Nabi shallallahu alaihi was sallam?
Kalau yang pertama yang engkau maksudkan (yaitu melihatnya orang-orang mukminin terhadap Allah pada hari kiamat -pent) maka sudah berlalu penukilan dari para imam lengkap dengan dalil dari al-Kitab dan As-Sunnah tentang tetapnya perkara tersebut yang masalah ini tidak samar di kalangan Ahlus Sunnah yang ilmunya pas-pasan.
Diantaranya adalah apa telah dikeluarkan oleh Ahmad dan Muslim dan lafazhnya dari Ahmad, yaitu hadits dari Shuhaib bin Sinan radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda:
إذا دخل أهل الجنة الجنة نودوا يا أهل الجنة إن لكم عند الله موعدا لم تروه. فقالوا: وما هو, ألم تبيض وجوهنا وتزحزحنا عن النار وتدخلنا الجنة؟ قال: فيكشف الحجاب فينظرون إليه فوالله ما أعطاهم الله شيئا أحب إليهم منه» ثم تلا رسول الله: للذين أحسنوا الحسنى وزيادة.
“Apabila ahli surga telah masuk surga mereka diseru, ‘Wahai ahli surga, sesungguhnya di sisi Allah ada janji atas kalian yang belum kalian lihat.’ Mereka mengatakan: ‘Apakah itu, bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami, dan Engkau telah menyelamatkan kami dari neraka serta Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga? Beliau bersabda, “Maka dibukalah hijab sehingga manusia melihat wajah Allah, demi Allah, Allah tidak memberi karunia kepada mereka yang lebih mereka cintai selain itu.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam membaca ayat:
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ … (٢٦)
“Orang-orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan balasan kebaikan dan ada tambahan.” (QS. Yunus 26)
Apabila yang engkau maksudkan adalah yang kedua yaitu melihatnya Nabi terhadap Allah pada malam Isra’, maka apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Aisyah radhiyallahu anhum?
Aisyah radhiyallahu anhuma berkata, “Sungguh telah mengering rambutku karena apa yang engkau katakan, di mana ingatanmu dari tiga hal yang barangsiapa telah mengatakan tiga hal itu kepadamu maka dia telah berdusta, (yang pertama): barangsiapa yang telah mengatakan kepadamu bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam telah melihat Rabb-nya, maka dia telah berdusta.” Kemudian A’isyah membaca:
لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (١٠٣
“Dia itu tidak dijangkau oleh pandangan hamba-hamba-Nya sementara Dia bisa menjangkau pandangan-pandangan mereka dan Dia-lah yang Maha lembut dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 103)
(HR. Al-Bukhary)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari:
“Telah datang dari Ibnu Abbas berita-berita yang sifatnya umum dan lainnya bersarat, maka wajib membawa yang umum kepada yang bersarat. Diantaranya adalah yang dikeluarkan oleh An-Nasai dengan sanad shahih dan dinilai shahih oleh Al-Hakim juga dari jalan Ikrimah dari Ibnu Abbas dia berkata:
أتعجبون أن تكون الخلة لإبراهيم والكلام لموسى والرؤية لمحمد
“Apakah kalian heran jika khullah (kecintaan Allah yang paling tinggi) diberikan kepada Ibrahim, kalam (berbicaranya Allah) diberikan kepada Musa dan ru’yah (melihat Allah) diberikan kepada Muhammad?”
Juga dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan lafazh:
إن الله اصطفى إبراهيم بالخلة
“Sesungguhnya Allah memilih Ibrahim untuk mendapatkan khullah.”
Abu Ishaq juga mengeluarkan dari jalan Abdullah bin Abi Salamah bahwasanya Ibnu Umar telah mengutus ke Ibnu Abbas untuk bertanya: Apakah Muhammad melihat Rabb-nya? Maka Ibnu Abbas mengutus seseorang kepadanya dengan menjawab ya.
Juga apa yang telah dikeluarkan Muslim dari jalan Abul Aliyah dari Ibnu Abbas ketika menerangkan tafsir ayat:
ما كذب الفؤاد ما رأى
“Hatinya tidak mendustakan apa yang dia lihat.” (QS. An-Najm: 11)
Dan ayat:
ولقد رآه نزلة أخرى
“Dan sungguh dia (Muhammad) telah melihatnya dua kali.” (QS. An-Najm: 13)
Ibnu Abbas menafsirkan: “Beliau telah melihat Rabb-nya dua kali”`
Juga dikeluarkan oleh Muslim dari jalan ‘Atho’ dari Ibnu ‘Abbas dia berkata: Beliau melihat-Nya dengan hatinya.”
Yang lebih jelas dari itu adalah apa yang dikeluarkan oleh Ibnu Marduyah dari jalan ‘Atho’ juga dari Ibnu ‘Abbas dia berkata: Beliau tidak melihat dengan kedua matanya, hanya saja melihat dengan hatinya.”
Dari ini maka bisa digabung antara penetapan dari Ibnu ‘Abbas dan peniadaan dari ‘Aisyah yaitu dengan cara: peniadaan dari Aisyah diartikan dengan pandangan mata kepala, sedangkan penetapan dari Ibnu Abbas adalah dengan pandangan mata hati. (Fathul Bari: 8/608)
Dengan pemaparan ini menjadi jelas bagi pembaca yang cerdas bahwa Doktor tidak benar ucapannya dan tidak mencocoki kebenaran dalam masalah ini, yaitu; ketika dengan sengaja dia mengglobalkan ucapannya dan tidak memberikan penjelasan. Padahal hal seperti ini tidak dikenal kecuali pada ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu), mereka melakukan hal itu untuk membuat kerancuan antara al-haq dan al-batil, antara petunjuk dan kesesatan dan antara sunnah dengan bid’ah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Nuniyah-nya:
فعلَيْكَ بالتَّفصِيلِ والتَّمييزِ فالـ إطْلاَقُ والإجمَالُ دُونَ بَيَانِ
قَدْ أفْسَدَا هَذَا الوُجُودَ وخَبَّطَا الـ أذْهَانَ والآراءَ كُلَّ زَمَانِ
“Maka wajib atas engkau merinci dan memperjelas, karena yang mutlak dan yang global yang tanpa penjelasan telah merusak alam ini dan telah mengacaukan pemahaman dan pikiran di setiap zaman.”
Wahai pembaca, setelah anda mendalami dan mencermati, maka saya tidak menyangka kecuali anda pasti mendapati sisi keserupaan antara dua ucapan tersebut, dan anda akan mengatakan, “Betapa serupanya malam ini dengan tadi malam.” Dan saya ingin menambahkan di sini dalam membantah dengan dua perkataan yang benar:
1.      Fatwa Lajnah Daimah.
2.      Perkataan asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan -semoga Allah memberikan taufiq kepada semuanya-.
Lajnah Daimah ditanya: “Apakah boleh mengatakan bahwa para Shahabat radhiyallahu anhum telah berselisih dalam masalah aqidah, seperti tentang apakah Nabi shallallahu alaihi was sallam melihat Rabb-nya pada malam Mi’raj, dan tentang apakah orang-orang mati itu bisa mendengar atau tidak, dan dia mengatakan ini adalah aqidah?
Jawab: “Aqidah Islamiyah alhamdulillah tidak ada padanya khilaf di kalangan Shahabat dan selain mereka dari orang-orang yang datang setelahnya dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka meyakini terhadap makna yang ditunjukkan di dalam al-Kitab dan As-Sunnah, mereka tidak berbuat bid’ah yang datang dari diri-diri mereka sendiri atau dari akal-akal mereka, inilah yang menjadi sebab bersatunya dan sepakatnya mereka dalam satu aqidah dan satu manhaj sebagai pengamalan terhadap ayat:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقوا
“Berpegang teguhlah dengan tali Allah semuanya jangan bercerai berai.”
Diantara perkara itu adalah tentang melihatnya orang-orang terhadap Rabb-nya pada hari kiamat, mereka semua sepakat berdasarkan dalil yang mutawatir dari al-Kitab dan As-Sunnah dan mereka tidak berselisih dalam masalah ini.
Adapun perselisihan masalah melihatnya Nabi shallallahu alaihi was sallam terhadap Rabb-nya pada malam Mi’raj dengan pandangan mata, maka itu adalah khilaf tentang terjadinya di dunia, bukan khilaf melihatnya pada hari kiamat. Dan menurut jumhur -dan ini adalah yang benar- adalah Beliau shallallahu alaihi was sallam melihat Allah dengan hatinya bukan dengan pandangan matanya, karena ketika Beliau ditanya tentang itu Beliau menjawab: “Cahaya, bagaimana mungkin saya bisa melihat-Nya.”
Jadi pada kesempatan ini Beliau membantah kalau telah melihat Rabb-nya dengan pandangan matanya karena adanya penghalang, yaitu cahaya. Juga karena para Shahabat sepakat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa melihat Rabb-nya di dunia ini sebagaimana diterangkan dalam hadits:
واعلموا أن أحدا منكم لا يرى ربه حتى يموت
“Ketahuilah sesungguhnya salah seorang diantara kalian tidak akan bisa melihat Rabb-nya sampai dia mati.”
(HR. Muslim)
Kecuali pada nabi kita, dan yang benar bahwa Beliau tidak melihatnya ditinjau dari sisi ini (melihat dengan pandangan mata –ed).
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad al-Luhaidan hafizhahullah salah seorang anggota Hai’ah Kibar Ulama ditanya: “Semoga Allah berbuat baik kepada Anda wahai syaikh yang mulia, di sana ada orang mengatakan bahwa para shahabat berselisih dalam masalah-masalah aqidah, apa hukum yang demikian, berilah fatwa kepada kami semoga Anda mendapat pahala?”
Asy-Syaikh: “Astaghfirullah! Tidak ada yang mengucapkannya selain mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, dia mengatakan bahwa para shahabat berselisih!!?? Para Shahabat adalah ahli aqidah, kalau pun terjadi khilaf di kalangan mereka maka itu hanya dalam masalah ijtihad dalam amal. Adapun dalam masalah aqidah bahwa Allah itu satu, Esa, bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, bahwa Allah itu berbuat apa yang Dia kehendaki, bahwa Allah itu Pencipta, bahwa Allah itu Pencipta segala sesuatu, mengetahui segala sesuatu, maka dalam perkara-perkara ini mereka sama sekali tidak berselisih. Dan tidak menyebarkan pernyataan ini kecuali seorang penyeru fitnah. Bisa jadi dia berkedok dengan pengakuannya bahwa dia termasuk orang baik yang bisa jadi dia mengetahui kebaikan dan berbicara kebaikan yang diketahuinya untuk menggiring manusia kepada kebatilan yang dia yakini dan dia bersungguh-sungguh untuk menyebarkannya. Jika dia termasuk orang yang tertipu maka hendaknya dia banyak istighfar kepada Allah dan bertaubat serta kembali kepada ulama dan bertanya kepada mereka. Namun jika dia termasuk orang yang menyembunyikan maksud-maksud dan menutupi tujuan-tujuan jahat, maka hendaklah kedoknya dibongkar agar manusia menjaga diri dari kejahatannya.”
(Dari ceramah dengan judul Shifat Al-Firqatin Najiyah wath Thaifah Al-Manshurah)
Perkataan kedua:
Perkataan Doktor (Ibrahim Ar-Ruhaily) dalam risalahnya yang berjudul Nasehat yang Wajib untuk Dijaga ketika Terjadi Perselisihan dan Cara Memboikot Orang yang Menyelisihi dan Cara Membantahnya: “Hendaknya diketahui bahwa Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah mereka yang benar-benar melaksanakan Agama Islam secara sempurna baik dalam keyakinan atau budi pekerti, dan diantara tanda pendeknya pemahaman seseorang adalah orang yang menyangka bahwa sunny atau salafy adalah orang yang telah merealisasikan keyakinan Ahlus Sunnah tanpa memperhatikan sisi budi pekerti dan adab-adab Islami serta menunaikan hak-hak muslimin diantara mereka.”
Saya katakan: “Apa yang kalian fahami wahai para pembaca dari ungkapan ini, bukankah ucapannya dengan jelas menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki perhatian pada budi pekerti dan adab-adab Islami dan tidak menunaikan hak-hak muslimin di kalangan mereka maka berarti dia bukan seorang salafy, atau orang yang tidak komitmen dengan perkara-perkara ini berarti dia bukan termasuk orang yang merealisasikan tauhid?
Jawaban terhadap masalah ini mengandung dua sisi yaitu:
1.      Bantahan dengan nash yaitu hadits yang dikeluarkan At-Tirmidzi dan lafazhnya dari beliau, juga dari Ibnu Majah hadits dari Abdullah bin Amr dia berkata bahwa Rasulullah telah bersabda:
إن الله سيخلص رجلا من أمتي على رءوس الخلائق يوم القيامة فينشر عليه تسعة وتسعين سجلا كل سجل مثل مد البصر، ثم يقول: أتنكر من هذا شيئا؟ أظلمك كتبتي الحافظون؟ فيقول: لا يا رب، فيقول: أفلك عذر؟ فيقول: لا يا رب، فيقول: بلى إن لك عندنا حسنة، فإنه لا ظلم عليك اليوم، فتخرج بطاقة فيها: أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، فيقول: احضر وزنك، فيقول: يا رب ما هذه البطاقة مع هذه السجلات، فقال: إنك لا تظلم”، قال: «فتوضع السجلات في كفة والبطاقة في كفة، فطاشت السجلات وثقلت البطاقة، فلا يثقل مع اسم الله شيء»
“Sesungguhnya Allah akan membersihkan seseorang dari umatku di hadapan makhluk pada hari kiamat, maka dihamparkan di hadapannya catatan kesalahannya sebanyak 99 lembar, masing-masing lembar sejauh pandangan mata, kemudian Allah berfirman, “Apakah ada yang engkau ingkari sedikit saja dari ini? Apakah para malaikatku yang mencatat amal telah menzholimi engkau?” Dia menjawab, “Tidak wahai Rabb-ku.” Lalu Allah bertanya, “Apakah engkau mempunyai udzur? Dia menjawab, “Tidak wahai Rabb-ku.” Maka Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau di sisi kami masih memiliki kebaikan, karena sesungguhnya engkau tidak akan dizhalimi pada hari ini.” Lalu dikeluarkanlah selembar kartu yang di dalamnya tertulis:
أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
Allah berfirman, “Hadirkan timbangan amalmu!” Dia berkata: “Wahai Rabbku, apalah nilai kartu ini dibanding dengan lembaran-lembaran tersebut?!” Allah menjawab: “Sesungguhnya engkau hari ini tidak akan dizhalimi.” Rasulullah bersabda: “Kemudian diletakkan lembaran-lembaran itu di piringan timbangan yang satu dan kartu di piringan timbangan lain, maka ringanlah lembaran-lembaran dan beratlah kartu tersebut, jadi tidak akan ada sesuatu yang berat bersama nama Allah.”
At-Tirmidzi berkata: “Hasan ghorib.” Al-Albany menilainya shahih dalam Ash-Shahihah no.135.
Penjelasan faedah hadits ini:
1.      Bahwa orang ini menghadap Allah dalam keadaan fasik, tidak membawa kebaikan selain tauhid, yang memperjelas adalah karena Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau di sisi kami mempunyai satu kebaikan.” Dan Allah tidak mengatakan, “kebaikan-kebaikan.”
2.      Bahwa sekiranya dia mempunyai kebaikan yang banyak tentu akan disebutkan, maka jelaslah dengan ini bahwa orang tersebut tidak masuk ke dalam surga selain karena merealisasikan tauhid, karena lembaran-lembaran itu semuanya berisi catatan keburukan.
2.      Apa yang telah ditetapkan oleh para Imam Ahlus Sunnah bahwa barangsiapa yang menghadap Allah dengan membawa semua perbuatan dosa selain dosa syirik dan kekafiran, maka dia berada dalam kehendak Allah, apabila Allah menghendaki Dia akan mengampuninya dan jika Allah menghendaki Dia akan mengadzabnya, dan kalaupun Dia mengadzabnya maka Dia tidak akan mengekalkannya di neraka. Para ulama tersebut berdalil dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Dalil dari al-Kitab diantaranya:
إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر مادون ذلك لمن يشاء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni jika Dia disekutukan, dan Dia mengampuni dosa yang di bawahnya bagi siapa yang Dia kehendaki.”
Dalil dari As-Sunnah yang mutawatir dalam bab ini adalah apa yang telah dikeluarkan oleh Al-Bukhary dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah mengatakan sebuah kalimat dan saya katakan dengan kalimat yang lain:
من مات وهو يدعو من دون الله ندا دخل النار
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan menyeru tandingan selain Allah maka dia masuk Neraka.”
Dan saya mengatakan:
من مات وهو لا يدعو لله ندا دخل الجنة
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan dia tidak menyeru kepada selain Allah maka dia masuk surga.”
Dan hadits yang dikeluarkan al-Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda:
من لقي الله لا يشرك به شيئا دخل الجنة، ومن لقيه يشرك به دخل النار
“Barangsiapa yang menghadap Allah dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu maka dia masuk Surga, dan barangsiapa yang menghadap Allah dalam keadaan menyekutukan Allah maka dia masuk Neraka.”
Apakah boleh setelah nash-nash ini dengan makna-maknanya difahami oleh orang berakal bahwa orang yang mengesampingkan adab-adab dan perilaku dst -seperti yang diungkapkan Asy-Syaikh Ibrahim- berarti dia bukan seorang salafy?
Kesimpulannya: Berdasarkan dalil nash-nash dan atsar-atsar para Imam Ahlus Sunnah menunjukkan bahwa Ahlus Sunnah itu ada dua:
1.      Ada yang menghadap Allah di atas tauhid yang murni dan selamat dari berbagai maksiat, maka inilah mukmin yang sempurna keimanannya.
2.      Orang yang menghadap Allah di atas tauhid hanya saja dia terjatuh pada perbuatan dosa besar, maka ini adalah mukmin yang fasik yang berada dalam kehendak Allah.
Maka jelaslah bagi para pembaca yang mulia bahwa perkataan Doktor Ibrahim –semoga Allah mema’afkan kami dan dia– adalah kerancuan yang membingungkan. Duhai kiranya dia mencukupkan dalam masalah ini dengan apa yang telah ditempuh oleh para Imam di dalam menjelaskan pendalilan nash-nash dengan tanpa memberatkan diri dan tanpa memaksakan diri.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

oOo
Sumber:
(Disalin dari situs “Untuk Pencari Al-Haq”)