Oleh: Al
Ustadz Muhammad Umar Assewed Hafizhahullah
بسم الله الر مان الر حيم
Di antara syubhat (kebathilan yang berkedok kebenaran, ed.) yang
dilontarkan oleh para mudzabdzabin1) adalah
ucapan mereka: “Kita tidak boleh melupakan jasa-jasa dan kebaikan ahlul
bid’ah”, “Ketika kita mengkritik ahlul bid’ah, kita harus pula
menyebutkan kebaikan mereka”, atau “Bagaimana pun mereka juga mempunyai
kebaikan” dan kalimat-kalimat lain yang semakna. Sebaliknya para ulama yang
tidak menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah dituduh zhalim dan tidak
adil.
Mereka berupaya untuk
meruntuhkan kaidah jarh (kritikan
dan celaan) para
ulama terhadap ahlul bid’ah, dengan menganggap bahwa
perselisihan yang terjadi di kalangan kelompok-kelompok sempalan ahlul
bid’ah adalah permasalahan keaneka-ragaman yang saling melengkapi, bukan
pertentangan. Kemudian mereka memberikan syarat bagi siapa saja yang hendak
mengkritik ahlul bid’ah dan menerangkan kesesatan yang ada padanya untuk
menyebutkan pula kebaikan-kebaikannya. Barangsiapa yang tidak melakukannya
berarti dia tergolong sebagai orang yang zhalim dan berlebihan alias
keterlaluan -menurut anggapan batil mereka.
Mereka mencari-cari dalil
untuk mendukung kebid’ahan mereka dengan ucapan yang samar, berbias
atau mutasyabihat agar
dapat dijadikan sebagai fitnah dan dicari-cari ta’wilnya. Hal ini sebagaimana
yang dilakukan oleh Ahmad
bin Abdurrahman As-Shuwayyan, Hisyam bin Ismail As-Shini, Salman Al-Audah, Zaid Az-Zaid, Aqil bin Muhammad Al-Muqthiri, Abdurrahman Abdul Khaliq dan
yang lainnya. Demikian pula yang dilakukan oleh para muqallid ("Pembeo" / "Pembebek", ed.) mereka
yang ada di Indonesia yang didukung oleh yayasan-yayasan tertentu seperti Ash-Shafwa,
Ihyaut Turats, Al-Haramain dan lain-lain.
Upaya mereka itu bertujuan
untuk menghilangkan sekat pemisah antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah,
untuk kemudian menggabungkan mereka dalam satu partai atau kelompok besar (hizbiyyah) yang hanya
mementingkan kuantitas (banyaknya pengikut, ed.) dan tidak mementingkan kualitas.
Sungguh suatu upaya yang
mustahil menggabungkan dua kelompok yang berlawanan. Yang satu mengatakan “Ikutilah
sunnah jauhilah bid’ah”, sedangkan yang lain mengatakan: “Kerjakanlah
kebid’ahan dan tinggalkanlah sunnah”.
Jangan dianggap kecil
ucapan-ucapan mereka! Dengan syubhat mereka ini akan gugur Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah seperti: amar ma’ruf nahi mungkar, kaidah jarh wa ta’dil dalam
ilmu hadits dan akan menjatuhkan para ulama Ahlul Hadits dengan tuduhan zhalim.
Yang pada akhirnya akan menumbuh-suburkan kebid’ahan dan mematikan
sunnah.
Mereka menganggap bahwa
menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah ketika mengkritiknya adalah “keadilan”
(in’shaf).
Guna mendukung kebid’ahan mereka ini, mereka bawakan ayat dan hadits
tentang kewajiban berbuat adil. Di antara ayat yang sering mereka dengungkan
adalah firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ
قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
المائدة: 8
“Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian
kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat pada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Maidah:
8)
Dengan ayat ini mereka
berpendapat bahwa kita harus berbuat adil sekalipun terhadap musuh-musuh kita
yaitu dengan menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, jangan hanya menyebutkan
kejelekannya saja.
Sungguh, ini adalah pemahaman
yang sangat batil akan makna keadilan. Karena sesungguhnya makna keadilan
menurut para ulama Salaf sejak (zaman) Shahabat sampai hari ini adalah
menghukumi seseorang dengan hak dan kebenaran atau menempatkan sesuatu pada
tempatnya.
Maka jika seorang ulama
mengkritik atau men-jarh seseorang
yang sesat (ahlul bid’ah) yang memang sepantasnya untuk di jarh dengan
bukti-bukti yang benar dan dalil yang jelas. Kemudian memperingatkan manusia
dari bahaya kesesatannya maka itu adalah keadilan dan bukan kezhaliman.
Kecuali, jika ia menuduh dengan
bukti-bukti yang dusta dan saksi-saksi palsu atau men-jarh orang yang
tidak layak untuk di-jarh dari
kalangan ulama ahlus sunnah yang jujur dan terpercaya (tsiqah), maka itulah
yang dinamakan kezhaliman. Sama sekali tidak berkaitan dengan masalah penyebutan
kebaikannya atau pun tidak.
Di samping itu, menyebutkan
kebaikan ketika kita memperingatkan manusia dari penyimpangan seseorang sungguh
sangat bertentangan dengan hikmah dan tujuan peringatan itu sendiri.
Apakah pantas kita katakan: “Hati-hati dari orang khawarij ini, tetapi
dia memiliki kebaikan-kebaikan”?, “Hati-hatilah dari kesesatan orang syi’ah
ini, namun dia adalah orang yang baik, ahli ibadah, dermawan dan lain-lain”?!.
Mereka juga memakai
dalil-dalil yang dipaksakan, di antaranya ucapan Rasulullah kepada Abu Hurairah
ketika beliau menerangkan siapa orang (syaithan) yang mencuri harta Baitul Maal
dan mengajar-kan ayat kursi:
أَمَا إِنَّهُ صَدَقَكَ وَهُوَ
كَذُوْبٌ
(رواه البخاري)
“Ketahuilah sesungguhnya dia
telah berkata benar kepadamu padahal dia pendusta.” (HR.
Bukhari)
Ucapan ini dianggap oleh
para mudzabdzabin tadi
sebagai dalil harusnya menyebutkan kebaikan walaupun itu adalah syaithan sang
pendusta.
Untuk menjawab syubhat tentang
hadits Abu Hurairah tersebut, maka kita bantah dari beberapa sisi:
Pertama: Di
dalam hadits dijelaskan bahwa tatkala Abu Hurairah mengkabarkan kepada
Rasulullah tentang kisah di atas, maka Rasulullah memberitakan kepadanya dengan
mengatakan:
أَمَا إِنَّهُ كَذَبَكَ
وَسَيَعُوْدُ
“Ketahuilah bahwa
sesungguhnya dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali (mengulangi
perbuatannya)”.
Maka syaithan pun kembali
melakukan pencurian, dan Abu Hurairah kembali menangkapnya. Kemudian Beliau
mengkabarkannya kepada Rasulullah tentang hal itu, maka Rasulullah pun bersabda
untuk kedua kalinya: “Ketahuilah bahwa dia telah berdusta kepadamu dan dia akan
kembali (mengulangi perbuatannya)”. (HR. Bukhari)
Dari kejadian ini dapat kita
lihat bahwa Rasulullah tidak melakukan apa yang diistilahkan oleh mereka -para ahlul
bid’ah- dengan muwazanah (keseimbangan)
antara penyebutan kejelekan setan dan kebaikan-kebaikannya pada dua peringatan
pertama Beliau. Dan Beliau juga tidak memerintahkan kepada Abu Hurairah atau
yang lainnya dari kalangan Sahabat untuk melakukan hal itu walaupun sedikit,
demi memberikan pendidikan muwazanah (balance).
Kedua: Ucapan
Beliau pada kejadian ketiga: “Ketahuilah, sesungguhnya dia telah berkata benar
namun dia adalah seorang pendusta”, tidak menunjukkan adanya sedikitpun
sikap muwazanah antara
kebaikan dan kejelekan amalan setan. Sesungguhnya yang ada hanyalah
menerima kebenaran dan kejujuran dari siapa saja. Menyatakan yang hak adalah
hak dan yang batil adalah batil, dari siapa pun sumbernya. Apakah dia
seorang Yahudi, Nashrani, penyembah berhala, sosialis, atau setan yang pendusta
lagi terkutuk sekalipun.
Di sini menunjukkan pemuliaan
terhadap kebenaran dan kejujuran serta penerimaannya, walaupun datang dari
jalan sumber yang jelek. Terlebih lagi apabila kita tidak mendapatkan jalan
menuju kebenaran tersebut, kecuali dari jalannya.
Ini jauh berbeda dengan apa
yang dilakukan oleh orang-orang kafir, ahlul bid’ah, penentang
kebenaran, kaum hizbiyyin harakiyyin (dan
para mudzab-dzabin sendiri,
pent), dimana mereka adalah orang-orang yang
menolak kebenaran dan kejujuran, walaupun datangnya dari orang-orang yang jujur
lagi adil. Bahkan walaupun datangnya dari para nabi dan rasul, sekalipun
sebagaimana yang terjadi pada orang-orang kafir. (Lihat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi
Naqdir Rijal, DR. Rabi’ bin Hadi al Madkhali hal. 70-71)
Alasan lainnya adalah, apa
yang mereka nukilkan dari para ulama Ahlus Sunnah ketika menuliskan Biografi
para tokoh-tokoh ahlul bid’ah. Mereka menuliskannya secara lengkap:
ilmunya, jasa-jasanya, dan sekaligus penyimpangan dan kesesatannya.
Mereka anggap sikap para
ulama ini adalah mendukung prinsip muwazanah (keseimbangan)
mereka. Di antara yang paling banyak mereka nukil adalah ucapan Imam
adz-Dzahabi dalam as-Siyar.
Kita bantah alasan mereka ini
dengan beberapa kalimat:
Pertama, kita
katakan sungguh sangat berbeda antara seorang ulama yang menulis Biografi
seseorang dan seorang ulama yang sedang memperingatkan umat dari bahaya
penyimpangan seseorang. Entah apakah (karena) mereka tidak mengerti atau
berpura-pura tidak mengerti.
Sebagai contoh lihat apa yang
dilakukan oleh Imam Ad-Dzahabi sendiri sebagaimana yang ternukil
dalam kitab beliau “as-Siyar”
yang berisi biografi dan kitab beliau “al-Kaasyif”
yang merupakan kritikan. Kita dapati di dalam as-Siyar, Beliau menyebutkan kebaikan
dan kejelekan orang yang diterangkan biografinya secara lengkap, karena memang
sedang membahasan Biografi. Lain hal-nya yang terdapat dalam kitab
beliau Al-Kaasyif, beliau
tidak menyebutkan seorang perawi melainkan kritikan (jarh).
Oleh karena itulah berkata
Rafi’ bin Asyras rahimahullah:
“Adalah dikatakan termasuk dari hukuman bagi pendusta ialah untuk tidak
diterima kejujurannya. Dan aku katakan: “Termasuk dari balasan bagi orang yang
fasik dan ahlul bid’ah ialah untuk tidak disebutkan
kebaikan-kebaikannya”. (Lihat Syarah
‘Ilal at Tirmidzi, Ibnu Rajab 1/353 dan Irsyadul Bariyyah, Hasan
bin Qasim hal.198-201)
Kedua, betapa
banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih yang menceritakan
tentang kejelekan Yahudi, Nashrani, kaum musyrikin, munafiqin dan orang-orang sesat
dengan tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Apakah mereka menganggap
semua itu sebagai kedzaliman?!
Ketiga, para
ulama tidak ada yang mewajibkan untuk menyebutkan kebaikan ketika mengkritik
seseorang.
Berkata Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baaz ketika ditanya apakah perlu menyebutkan kebaikan ahlul
bid’ah: “Tidak! tidak mesti menyebutkan kebaikan mereka. Jika engkau
membaca buku-buku Ahlus Sunnah, engkau akan dapati yang demikian, karena
tujuan mereka adalah memperingatkan…” (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh
Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 7)
Syaikh Abdul
Muhsin al-Abbad ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, beliau menjawab: “Tidak
perlu engkau mengumpulkan kebaikan dan menyebutkannya”. (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh
Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 19)
Demikian pula Syaikh Al-Albani
ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, Beliau berkata: “Itu
merupakan prinsip bid’ah, apakah ketika seorang ulama hadits berbicara
tentang orang yang shalih atau alim dan faqih bahwa dia lemah hafalannya,
apakah mesti dia mengatakan setelah itu: dia adalah orang shalih, faqih,
menjadi rujukan dalam mengambil hukum-hukum fiqih … dan seterusnya?! Allahu
Akbar”. (Lihat al-Mahajatul
Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 19)
Wallahu a’lam.
[1] kaum lembek, yang tidak
punya pendirian, yang berusaha berdiri di tengah-tengah antara Ahlul Bid’ah
dan Ahlus Sunnah.
Sumber: Haruskah Menyebutkan
Kebaikan Ahlul Bid’ah ? (Bantahan Syubhat ke- 5)
(Disalin dari situs "Untuk Pencari Al-Haq")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar