بسم
الله الر حمان الر حيم
Orang bijak berkata, “Kebenaran (al-haq) itu tak akan pernah sirna
atau usang”.
Meskipun perkara ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu, namun tetap
baik dan sangat layak untuk diambil pelajaran dan hikmah darinya.
Berkata Abdullah Taslim:
“…Pada waktu itu malam hari,
Ustadz Muhammad Nur Ihsan yang dari Riau beliau yang pertama kali dihubungi
oleh syaikh Abdullah al Bukhari yang beliau adalah salah seorang Masyaikh
Ahlussunnah di Madinah yang mengajar di Jami’ah Islamiyah, seorang doktor yang
ana beritahukan kepada antum, bahwa rata-rata masyaikh yang datang kesini yang
dibawa ikhwan-ikhwan kita yang mendatangkan di sini, rata-rata kalau di
Madinah mereka termasuk syaikh yang biasa-biasa.
Artinya kalau di Indonesia memang mereka paling pinter, kalau di Indonesia,
kalau di sana yang seperti itu Masyaikh Ahlussunnah yang lainnya
banyak, yang jelas mereka tidak seterkenal dan tidak se.. lebih diakui
dibandingkan Syaikh Ibrahim Ruhaili, Syaikh Abdurrozaq dan para masyaikh
lainnya yang mereka itu ngajar di Masjid Nabawi. Sedangkan masyaikh-masyaikh
tersebut bukan termasuk yang ngajar di masjid nabawi…”
Kalau memang tolok ukur kebenaran adalah keterkenalan,
lebih diakui dan ngajar di Masjid Nabawi, ada manfaatnya
jika pada kesempatan ini kita membaca
faidah ilmiyah dari Asy Syaikh Ubaid hafizhahullah
yang menyoroti fikrah salah satu Masyaikh yang namanya disebutkan
oleh Abdullah Taslim di atas….
(Asy- Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah bin
Sulaiman Al-Jabiry)
الحمد
لله العلي الغفار, وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له الواحد القهار, وأشهد
أن محمدا عبده ورسوله وخاتم المصطفين الأخيار, صلى الله وسلم عليه وعلى آله
وأصحابه البررة الخيار. أما بعد
Saya telah mempelajari berbagai
ungkapan dan ucapan saudara kami Doktor Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaily,
seorang profesor bagian aqidah di Universitas Islam di Al-Madinah
Al-Munawwarah. Maka saya melihat berbagai keanehan pada makalah-makalahnya
dan ucapan-ucapannya dan saya mengingkarinya karena menyimpang dari apa yang
telah ditempuh para ulama Salafush Shalih, bertentangan dengan
apa yang kita jumpai dan yang biasa kita dapatkan dari apa yang telah
ditetapkan oleh para imam para ulama pemimpin ilmu dan agama yang telah berlalu
di atas jalan kaum mukminin.
Setelah saya menelitinya dan
membacanya berulang-ulang, saya menganggap sangat perlu untuk membantahnya
dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta yang kita dapatkan jejaknya dari
para ulama pemimpin ilmu dan iman.
Sebab-sebab membantah:
Yang mendorong saya untuk
membantah ucapan-ucapan ini adalah:
1.
Saya tidak mengetahui ada orang yang membantah dan mengungkap
penyimpangan dan keganjilan-keganjilannya, baik oleh ulama atau penuntut ilmu
hingga saat ini.
2.
Sesungguhnya ucapan-ucapan ini telah diterima sebagai sebuah kebenaran oleh
ratusan -kalau tidak dikatakan mencapai ribuan- dari orang-orang yang belajar
kepada orang semacam Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily -semoga Allah
mema’afkan kami- lalu mereka pun menyebarkannya ke penjuru ufuk Timur dan Barat,
hal itu ketika keganjilan-keganjilan itu masuk di dalam pikiran-pikiran mereka
dan hati-hati mereka (para penuntut ilmu) sehingga mereka meyakini bahwa itu
termasuk bagian agama Allah yang harus dipelajari.
3.
Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan, yaitu wajibnya menyampaikan nasehat
baik secara umum atau khusus, Allah berfirman:
وإِذْ
أَخَذَ اللهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ
وَلا تَكْتُمُونَهُ
“Dan ingatlah ketika Allah
mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah
kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan kalian jangan
menyembunyikannya’.”
Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam sebagian masail-nya dalam bab
“Barangsiapa yang tabarruk dengan batu atau pohon atau selainnya” di
dalam kitab Tauhid, “Bahwa yang dicela dari Yahudi dan Nashara di dalam
al-Qur’an bahwa hal itu juga tercela untuk kita.”
Dan termasuk dari As-Sunnah
yang mutawatir dalam bab ini yaitu hadits yang dikeluarkan oleh
Muslim dari Tamim Ad-Dary bahwa Nabi bersabda:
الدين
النصيحة قالوا: لمن قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Sesungguhnya agama adalah
nasehat.”
Para shahabat bertanya, “Untuk
siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasulnya, para pemimpin kaum
muslimin dan untuk mereka semua.”
Berikut akan saya sampaikan
pada pembaca ucapan-ucapan itu yang masing-masing diikuti dengan:
1.
Penjelasan sisi penyelisihan dan kemungkarannya.
2.
Dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta atsar dari para imam.
Saya katakan -hanya dengan
taufiq dari Allah dan Dia-lah yang mencukupi kita serta sebaik-baik penolong:
Perkataan pertama:
Asy-Syaikh Ibrahim
Ar-Ruhaily berkata, “Tetapi di sana ada masalah lain yang telah tetap di
kalangan ulama bahwa sesungguhnya di kalangan Ahlus Sunnah terkadang terjadi
khilaf, dan masalah ini tidak diingkari oleh orang yang memiliki bagian
ilmu bahwa telah
terjadi khilaf dan ikhtilaf, sama saja dalam masalah-masalah ushuluddin atau
masalah-masalah amaliyah.”
Saya katakan:
Ucapan ini persis sama dengan
perkataan Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Amin –semoga Allah merahmati
Al-Amin (Asy-Syinqithy –ed) sisi kemiripan dua ucapan ini akan ditangkap oleh
orang yang memiliki kecerdasan terhadap makna yang ditunjukkan dalam
lafazh-lafazh itu.
Inilah bantahaan kami terhadap
ungkapan tersebut setelah mengutipnya:
Asy-Syaikh
Abdullah (bin Muhammad al-Amin Asy-Syinqithy –ed) berkata, “Dasar-dasar akidah di dalamnya
terjadi khilaf, para Shahabat berselisih di dalam masalah ru’yatulloh,
Ibnu Abbas dan ‘Aisyah berselisih, namun
demikian yang pertama tidak mengatakan kepada yang kedua: ‘engkau sesat!”
Saya katakan:
Pertama: Semoga Allah
mema’afkan kami dan engkau, pada ucapanmu ini mengandung kesamaran
dan kerancuan yang engkau lontarkan terhadap anak-anakmu para penuntut
ilmu dalam perkara yang termasuk prinsip-prinsip agama yang mendasar, bahkan
perkara tersebut adalah Inti Risalah-Risalah yang dibawa oleh para Rasul:
1.
Jelas-jelas menyelisihi para tokoh orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan
para ulama pemimpin agama.
Berikut ini saya akan sampaikan
sebagian perkataan mereka yang membantah ungkapan ini dan
menunjukkan kebatilannya.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, “Demikian juga masalah fiqih,
terjadinya khilaf hanyalah ketika tersamarkan pada mereka penjelasan pemilik
syariat, tetapi terjadinya perbedaan ini dalam perkara yang sangat rumit.
Adapun dalam perkara yang jelas maka tidak terjadi khilaf padanya. Para
Shahabat mereka berbeda pendapat pada sebagian hal itu (fikih –ed), hanya
saja mereka tidak
berbeda pendapat dalam masalah aqidah dan pada masalah
jalan menuju Allah yang dengannya seseorang bisa menjadi salah satu wali Allah
yang baik dan didekatkan.” (Majmu’ Fatawa: 19/274)
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Ahlul iman terkadang berbeda pendapat pada sebagian hukum yang
tidak sampai mengeluarkan mereka dari iman. Para Shahabat telah berbeda
pendapat dalam banyak masalah-masalah hukum, padahal mereka adalah pimpinan
mukminin dan umat yang paling sempurna keimanannya. Hanya saja alhamdulillah
mereka tidak sampai pecah dalam satu masalah yaitu dalam masalah nama-nama,
sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah. Bahkan semuanya menetapkan apa
yang tercantum di dalam al-Kitab dan As-Sunnah satu kata dari awal sampai
akhir, mereka tidak bersikap buruk kepadanya dengan melakukan takwil,
mereka tidak memalingkan dari makna yang semestinya dengan menggantinya, mereka
tidak menampakkan sesuatu darinya dalam rangka membatalkan maknanya, mereka
tidak membuat-buat permisalan-permisalan bagi makna-maknanya, mereka tidak
menolak keberadaannya dan kemukjizatannya serta tidak seorang pun diantara
mereka yang mengatakan bahwa harus memalingkan dari hakikatnya dan membawa
kepada majasnya, bahkan mereka menyikapinya dengan menerima dan tunduk,
mereka menerimanya dengan iman dan pengagungan dan mereka menjadikannya sebagai
suatu perkara yang satu dan membiarkannya di atas satu sunnah. Mereka tidak
berbuat seperti yang diperbuat ahlul ahwa’ dan ahlul bida’ ketika
mereka menjadikannya saling bertentangan, mereka menetapkan sebagian dan
menolak sebagiannya tanpa didasari dalil yang jelas, padahal yang wajib bagi
Allah atas mereka pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mereka ingkari, sama
wajibnya pada apa yang mereka tetapkan dan kuatkan.” (I’lamul Muwaqi’in:
1/49)
Berkata guru kami Asy-Syaikh
Hammad Al-Anshary rahimahullah, “Para Shahabat tidak berselisih dalam masalah aqidah selamanya,
perselisihan hanya terjadi setelah mereka.”
(Kumpulan biografi Al-Allamah,
al-muhaddits Hammad al-Anshary: 2/493 no.124)
Bukankah semua perkataan ini
menunjukkan kesepakatan bahwa para Shahabat radhiyallahu’anhum sepakat dalam
masalah aqidah, dan saya tidak meyakini bahwa orang yang mempunyai ilmu dan
pengikut sunnah kecuali dia mengetahui masalah itu.
2.
Doktor Ar-Ruhaily berkata -semoga Allah memperbaiki keadaan kita dan dia: “Para Shahabat berselisih dalam
masalah melihat Allah dst…”
Saya katakan wahai para pembaca
yang mulia:
“Ini adalah contoh dari Ibnul Amin
yang telah menetapkan perkara perselisihan Shahabat dalam masalah aqidah,
dan saya ingin bertanya kepada Doktor, melihat yang mana yang engkau maksudkan?
Apakah melihatnya kaum mukminin terhadap Rabb mereka pada hari kiamat,
karena engkau telah mengglobalkan dan tidak memperjelas, dan ini merupakan talbis
(menimbulkan kerancuan) yang tidak ada yang lebih parah darinya? Atau melihat-Nya
Nabi shallallahu alaihi was sallam?
Kalau yang pertama yang engkau
maksudkan (yaitu melihatnya orang-orang mukminin terhadap Allah pada hari
kiamat -pent) maka sudah berlalu penukilan dari para imam lengkap dengan dalil
dari al-Kitab dan As-Sunnah tentang tetapnya perkara tersebut yang masalah ini
tidak samar di kalangan Ahlus Sunnah yang ilmunya pas-pasan.
Diantaranya adalah apa telah
dikeluarkan oleh Ahmad dan Muslim dan lafazhnya dari Ahmad, yaitu hadits dari
Shuhaib bin Sinan radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda:
إذا
دخل أهل الجنة الجنة نودوا يا أهل الجنة إن لكم عند الله موعدا لم تروه. فقالوا:
وما هو, ألم تبيض وجوهنا وتزحزحنا عن النار وتدخلنا الجنة؟ قال: فيكشف الحجاب فينظرون
إليه فوالله ما أعطاهم الله شيئا أحب إليهم منه» ثم تلا رسول الله: للذين أحسنوا
الحسنى وزيادة.
“Apabila ahli surga telah masuk
surga mereka diseru, ‘Wahai ahli surga, sesungguhnya di sisi Allah ada janji
atas kalian yang belum kalian lihat.’ Mereka mengatakan: ‘Apakah itu, bukankah
Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami, dan Engkau telah menyelamatkan kami
dari neraka serta Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga? Beliau bersabda,
“Maka dibukalah hijab sehingga manusia melihat wajah Allah, demi Allah, Allah
tidak memberi karunia kepada mereka yang lebih mereka cintai selain itu.” Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam membaca ayat:
لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ … (٢٦)
“Orang-orang yang berbuat
kebaikan akan mendapatkan balasan kebaikan dan ada tambahan.” (QS.
Yunus 26)
Apabila yang engkau maksudkan
adalah yang kedua yaitu melihatnya Nabi terhadap Allah pada malam Isra’, maka
apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Aisyah radhiyallahu anhum?
Aisyah radhiyallahu anhuma
berkata, “Sungguh telah mengering rambutku karena apa yang engkau katakan, di
mana ingatanmu dari tiga hal yang barangsiapa telah mengatakan tiga hal itu
kepadamu maka dia telah berdusta, (yang pertama): barangsiapa yang telah
mengatakan kepadamu bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam telah
melihat Rabb-nya, maka dia telah berdusta.” Kemudian A’isyah membaca:
لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ
يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (١٠٣
“Dia itu tidak dijangkau oleh
pandangan hamba-hamba-Nya sementara Dia bisa menjangkau pandangan-pandangan
mereka dan Dia-lah yang Maha lembut dan Maha Mengetahui.” (QS.
Al-An’am: 103)
(HR. Al-Bukhary)
Al-Hafizh Ibnu
Hajar berkata di dalam Fathul Bari:
“Telah datang dari Ibnu Abbas
berita-berita yang sifatnya umum dan lainnya bersarat, maka wajib membawa yang
umum kepada yang bersarat. Diantaranya adalah yang dikeluarkan oleh An-Nasai
dengan sanad shahih dan dinilai shahih oleh Al-Hakim juga dari
jalan Ikrimah dari Ibnu Abbas dia berkata:
أتعجبون
أن تكون الخلة لإبراهيم والكلام لموسى والرؤية لمحمد
“Apakah kalian heran jika khullah
(kecintaan Allah yang paling tinggi) diberikan kepada Ibrahim, kalam (berbicaranya
Allah) diberikan kepada Musa dan ru’yah (melihat Allah) diberikan kepada
Muhammad?”
Juga dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah
dengan lafazh:
إن
الله اصطفى إبراهيم بالخلة
“Sesungguhnya Allah memilih
Ibrahim untuk mendapatkan khullah.”
Abu Ishaq juga mengeluarkan
dari jalan Abdullah bin Abi Salamah bahwasanya Ibnu Umar telah mengutus ke Ibnu
Abbas untuk bertanya: Apakah Muhammad melihat Rabb-nya? Maka Ibnu Abbas mengutus
seseorang kepadanya dengan menjawab ya.
Juga apa yang telah dikeluarkan
Muslim dari jalan Abul Aliyah dari Ibnu Abbas ketika menerangkan tafsir ayat:
ما كذب
الفؤاد ما رأى
“Hatinya tidak mendustakan apa
yang dia lihat.” (QS. An-Najm: 11)
Dan ayat:
ولقد
رآه نزلة أخرى
“Dan sungguh dia (Muhammad)
telah melihatnya dua kali.” (QS. An-Najm: 13)
Ibnu Abbas menafsirkan: “Beliau
telah melihat Rabb-nya dua kali”`
Juga dikeluarkan oleh Muslim
dari jalan ‘Atho’ dari Ibnu ‘Abbas dia berkata: “Beliau melihat-Nya
dengan hatinya.”
Yang lebih jelas dari itu
adalah apa yang dikeluarkan oleh Ibnu Marduyah dari jalan ‘Atho’ juga dari Ibnu
‘Abbas dia berkata: “Beliau tidak melihat dengan kedua matanya, hanya
saja melihat dengan hatinya.”
Dari ini maka bisa digabung
antara penetapan dari Ibnu ‘Abbas dan peniadaan dari ‘Aisyah yaitu dengan cara:
peniadaan dari Aisyah diartikan dengan pandangan mata kepala, sedangkan
penetapan dari Ibnu Abbas adalah dengan pandangan mata hati. (Fathul
Bari: 8/608)
Dengan pemaparan ini menjadi
jelas bagi pembaca yang cerdas bahwa Doktor tidak benar ucapannya dan tidak
mencocoki kebenaran dalam masalah ini, yaitu; ketika dengan sengaja dia
mengglobalkan ucapannya dan tidak memberikan penjelasan. Padahal hal seperti
ini tidak dikenal kecuali pada ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu), mereka
melakukan hal itu untuk membuat kerancuan antara al-haq dan al-batil,
antara petunjuk dan kesesatan dan antara sunnah dengan bid’ah.
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata dalam Nuniyah-nya:
فعلَيْكَ
بالتَّفصِيلِ والتَّمييزِ فالـ إطْلاَقُ والإجمَالُ دُونَ بَيَانِ
قَدْ أفْسَدَا هَذَا الوُجُودَ
وخَبَّطَا الـ أذْهَانَ والآراءَ كُلَّ زَمَانِ
“Maka wajib atas engkau merinci dan memperjelas, karena yang
mutlak dan yang global yang tanpa penjelasan telah merusak alam ini dan telah
mengacaukan pemahaman dan pikiran di setiap zaman.”
Wahai pembaca, setelah anda
mendalami dan mencermati, maka saya tidak menyangka kecuali anda pasti
mendapati sisi keserupaan antara dua ucapan tersebut, dan anda akan mengatakan,
“Betapa serupanya malam ini dengan tadi malam.” Dan saya ingin menambahkan di
sini dalam membantah dengan dua perkataan yang benar:
1.
Fatwa Lajnah Daimah.
2.
Perkataan asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan -semoga Allah memberikan taufiq
kepada semuanya-.
Lajnah Daimah
ditanya: “Apakah boleh
mengatakan bahwa para Shahabat radhiyallahu anhum telah
berselisih dalam masalah aqidah, seperti tentang apakah Nabi shallallahu
alaihi was sallam melihat Rabb-nya pada malam Mi’raj, dan
tentang apakah orang-orang mati itu bisa mendengar atau tidak, dan dia
mengatakan ini adalah aqidah?
Jawab: “Aqidah Islamiyah alhamdulillah tidak
ada padanya khilaf di kalangan Shahabat dan selain mereka dari orang-orang yang
datang setelahnya dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka meyakini terhadap
makna yang ditunjukkan di dalam al-Kitab dan As-Sunnah, mereka tidak berbuat bid’ah
yang datang dari diri-diri mereka sendiri atau dari akal-akal mereka, inilah
yang menjadi sebab bersatunya dan sepakatnya mereka dalam satu aqidah
dan satu manhaj sebagai pengamalan terhadap ayat:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقوا
“Berpegang teguhlah dengan tali
Allah semuanya jangan bercerai berai.”
Diantara perkara itu adalah
tentang melihatnya orang-orang terhadap Rabb-nya pada hari kiamat,
mereka semua sepakat berdasarkan dalil yang mutawatir dari al-Kitab dan
As-Sunnah dan mereka tidak berselisih dalam masalah ini.
Adapun perselisihan masalah
melihatnya Nabi shallallahu alaihi was sallam terhadap Rabb-nya
pada malam Mi’raj dengan pandangan mata, maka itu adalah khilaf tentang
terjadinya di dunia, bukan khilaf melihatnya pada hari kiamat. Dan menurut
jumhur -dan ini adalah yang benar- adalah Beliau shallallahu alaihi was
sallam melihat Allah dengan hatinya bukan dengan pandangan matanya,
karena ketika Beliau ditanya tentang itu Beliau menjawab: “Cahaya, bagaimana
mungkin saya bisa melihat-Nya.”
Jadi pada kesempatan ini Beliau
membantah kalau telah melihat Rabb-nya dengan pandangan matanya karena
adanya penghalang, yaitu cahaya. Juga karena para Shahabat sepakat bahwa
tidak ada seorang pun yang bisa melihat Rabb-nya di dunia ini sebagaimana
diterangkan dalam hadits:
واعلموا
أن أحدا منكم لا يرى ربه حتى يموت
“Ketahuilah sesungguhnya salah
seorang diantara kalian tidak akan bisa melihat Rabb-nya sampai dia
mati.”
(HR. Muslim)
Kecuali pada nabi kita, dan
yang benar bahwa Beliau tidak melihatnya ditinjau dari sisi ini (melihat dengan
pandangan mata –ed).
وبالله
التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Asy-Syaikh Shalih
bin Muhammad al-Luhaidan hafizhahullah salah seorang anggota Hai’ah
Kibar Ulama ditanya: “Semoga
Allah berbuat baik kepada Anda wahai syaikh yang mulia, di sana ada
orang mengatakan bahwa para shahabat berselisih dalam masalah-masalah aqidah,
apa hukum yang demikian, berilah fatwa kepada kami semoga Anda mendapat
pahala?”
Asy-Syaikh: “Astaghfirullah! Tidak ada yang
mengucapkannya selain mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, dia mengatakan bahwa
para shahabat berselisih!!?? Para Shahabat adalah ahli aqidah, kalau pun
terjadi khilaf di kalangan mereka maka itu hanya dalam masalah ijtihad dalam
amal. Adapun dalam masalah aqidah bahwa Allah itu satu, Esa, bahwa Allah
itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, bahwa Allah itu berbuat apa yang Dia
kehendaki, bahwa Allah itu Pencipta, bahwa Allah itu Pencipta segala sesuatu,
mengetahui segala sesuatu, maka dalam perkara-perkara ini mereka sama sekali
tidak berselisih. Dan tidak menyebarkan pernyataan ini kecuali seorang penyeru
fitnah. Bisa jadi dia berkedok dengan pengakuannya bahwa dia termasuk orang
baik yang bisa jadi dia mengetahui kebaikan dan berbicara kebaikan yang
diketahuinya untuk menggiring manusia kepada kebatilan yang dia yakini dan dia
bersungguh-sungguh untuk menyebarkannya. Jika dia termasuk orang yang tertipu
maka hendaknya dia banyak istighfar kepada Allah dan bertaubat serta kembali
kepada ulama dan bertanya kepada mereka. Namun jika dia termasuk orang yang
menyembunyikan maksud-maksud dan menutupi tujuan-tujuan jahat, maka hendaklah
kedoknya dibongkar agar manusia menjaga diri dari kejahatannya.”
(Dari ceramah dengan judul Shifat
Al-Firqatin Najiyah wath Thaifah Al-Manshurah)
Perkataan kedua:
Perkataan Doktor (Ibrahim
Ar-Ruhaily) dalam risalahnya yang berjudul Nasehat yang Wajib untuk Dijaga ketika Terjadi
Perselisihan dan Cara Memboikot Orang yang Menyelisihi dan Cara Membantahnya:
“Hendaknya diketahui bahwa Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah mereka yang benar-benar
melaksanakan Agama Islam secara sempurna baik dalam keyakinan atau budi
pekerti, dan diantara tanda pendeknya pemahaman seseorang adalah orang yang
menyangka bahwa sunny atau salafy adalah orang yang telah merealisasikan
keyakinan Ahlus Sunnah tanpa memperhatikan sisi budi pekerti dan adab-adab
Islami serta menunaikan hak-hak muslimin diantara mereka.”
Saya katakan: “Apa yang kalian
fahami wahai para pembaca dari ungkapan ini, bukankah ucapannya dengan jelas
menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki perhatian pada budi pekerti dan
adab-adab Islami dan tidak menunaikan hak-hak muslimin di kalangan mereka maka
berarti dia bukan seorang salafy, atau orang yang tidak komitmen dengan
perkara-perkara ini berarti dia bukan termasuk orang yang merealisasikan
tauhid?
Jawaban terhadap masalah ini
mengandung dua sisi yaitu:
1.
Bantahan dengan nash yaitu hadits yang dikeluarkan At-Tirmidzi dan
lafazhnya dari beliau, juga dari Ibnu Majah hadits dari Abdullah bin Amr dia
berkata bahwa Rasulullah telah bersabda:
إن
الله سيخلص رجلا من أمتي على رءوس الخلائق يوم القيامة فينشر عليه تسعة وتسعين
سجلا كل سجل مثل مد البصر، ثم يقول: أتنكر من هذا شيئا؟ أظلمك كتبتي الحافظون؟
فيقول: لا يا رب، فيقول: أفلك عذر؟ فيقول: لا يا رب، فيقول: بلى إن لك عندنا حسنة،
فإنه لا ظلم عليك اليوم، فتخرج بطاقة فيها: أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن
محمدا عبده ورسوله، فيقول: احضر وزنك، فيقول: يا رب ما هذه البطاقة مع هذه
السجلات، فقال: إنك لا تظلم”، قال: «فتوضع السجلات في كفة والبطاقة في كفة، فطاشت
السجلات وثقلت البطاقة، فلا يثقل مع اسم الله شيء»
“Sesungguhnya Allah akan
membersihkan seseorang dari umatku di hadapan makhluk pada hari kiamat, maka
dihamparkan di hadapannya catatan kesalahannya sebanyak 99 lembar,
masing-masing lembar sejauh pandangan mata, kemudian Allah berfirman, “Apakah
ada yang engkau ingkari sedikit saja dari ini? Apakah para malaikatku yang
mencatat amal telah menzholimi engkau?” Dia menjawab, “Tidak wahai Rabb-ku.”
Lalu Allah bertanya, “Apakah engkau mempunyai udzur? Dia menjawab, “Tidak wahai
Rabb-ku.” Maka Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau di sisi kami masih
memiliki kebaikan, karena sesungguhnya engkau tidak akan dizhalimi pada hari
ini.” Lalu dikeluarkanlah selembar kartu yang di dalamnya tertulis:
أشهد
أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
Allah berfirman, “Hadirkan
timbangan amalmu!” Dia berkata: “Wahai Rabbku, apalah nilai kartu ini dibanding
dengan lembaran-lembaran tersebut?!” Allah menjawab: “Sesungguhnya engkau hari
ini tidak akan dizhalimi.” Rasulullah bersabda: “Kemudian diletakkan
lembaran-lembaran itu di piringan timbangan yang satu dan kartu di piringan
timbangan lain, maka ringanlah lembaran-lembaran dan beratlah kartu tersebut,
jadi tidak akan ada sesuatu yang berat bersama nama Allah.”
At-Tirmidzi berkata: “Hasan
ghorib.” Al-Albany menilainya shahih dalam Ash-Shahihah no.135.
Penjelasan faedah hadits ini:
1.
Bahwa orang ini menghadap Allah dalam keadaan fasik, tidak membawa kebaikan
selain tauhid, yang memperjelas adalah karena Allah berfirman,
“Sesungguhnya engkau di sisi kami mempunyai satu kebaikan.” Dan Allah tidak
mengatakan, “kebaikan-kebaikan.”
2.
Bahwa sekiranya dia mempunyai kebaikan yang banyak tentu akan disebutkan, maka
jelaslah dengan ini bahwa orang tersebut tidak masuk ke dalam surga selain
karena merealisasikan tauhid, karena lembaran-lembaran itu semuanya berisi
catatan keburukan.
2.
Apa yang telah ditetapkan oleh para Imam Ahlus Sunnah bahwa barangsiapa yang
menghadap Allah dengan membawa semua perbuatan dosa selain dosa syirik dan
kekafiran, maka dia berada dalam kehendak Allah, apabila Allah menghendaki Dia
akan mengampuninya dan jika Allah menghendaki Dia akan mengadzabnya, dan
kalaupun Dia mengadzabnya maka Dia tidak akan mengekalkannya di neraka. Para
ulama tersebut berdalil dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Dalil dari al-Kitab
diantaranya:
إن
الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر مادون ذلك لمن يشاء
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni jika Dia disekutukan, dan Dia mengampuni dosa yang di bawahnya bagi
siapa yang Dia kehendaki.”
Dalil dari As-Sunnah yang
mutawatir dalam bab ini adalah apa yang telah dikeluarkan oleh Al-Bukhary dari
Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah mengatakan sebuah kalimat dan saya katakan dengan
kalimat yang lain:
من مات
وهو يدعو من دون الله ندا دخل النار
“Barangsiapa yang mati dalam
keadaan menyeru tandingan selain Allah maka dia masuk Neraka.”
Dan saya mengatakan:
من مات
وهو لا يدعو لله ندا دخل الجنة
“Barangsiapa yang mati dalam
keadaan dia tidak menyeru kepada selain Allah maka dia masuk surga.”
Dan hadits yang dikeluarkan
al-Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, dia berkata
bahwa Rasulullah bersabda:
من لقي
الله لا يشرك به شيئا دخل الجنة، ومن لقيه يشرك به دخل النار
“Barangsiapa yang menghadap
Allah dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu maka dia masuk Surga,
dan barangsiapa yang menghadap Allah dalam keadaan menyekutukan Allah maka dia
masuk Neraka.”
Apakah boleh setelah nash-nash
ini dengan makna-maknanya difahami oleh orang berakal bahwa orang yang
mengesampingkan adab-adab dan perilaku dst -seperti yang diungkapkan Asy-Syaikh
Ibrahim- berarti dia bukan seorang salafy?
Kesimpulannya:
Berdasarkan dalil nash-nash dan atsar-atsar para Imam Ahlus
Sunnah menunjukkan bahwa Ahlus Sunnah itu ada dua:
1.
Ada yang menghadap Allah di atas tauhid yang murni dan selamat dari berbagai
maksiat, maka inilah mukmin yang sempurna keimanannya.
2.
Orang yang menghadap Allah di atas tauhid hanya saja dia terjatuh pada
perbuatan dosa besar, maka ini adalah mukmin yang fasik yang berada dalam
kehendak Allah.
Maka jelaslah bagi para pembaca
yang mulia bahwa perkataan Doktor Ibrahim –semoga Allah mema’afkan kami
dan dia– adalah kerancuan yang membingungkan. Duhai kiranya dia
mencukupkan dalam masalah ini dengan apa yang telah ditempuh oleh para Imam di
dalam menjelaskan pendalilan nash-nash dengan tanpa memberatkan diri dan
tanpa memaksakan diri.
وصلى
الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
oOo
Sumber:
(Disalin dari situs “Untuk Pencari
Al-Haq”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar