Jumat, 22 Juni 2018

ISTI'ADZAH


 بسم الله الر حمان الر حيم

Di dalam bahasa Arab, kata “Syaithan” berasal dari kata “Syathana”, yang berarti jauh.  Jadi, tabiat syaithan itu sangat jauh dari tabiat manusia, dan karena kefasikannya dia sangat jauh dari segala macam bentuk kebaikan (Petunjuk / Rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Ada yang mengatakan, bahwa kata “syaithan” itu berasal dari kata “syatha” (terbakar), karena dia diciptakan dari api.  Dan ada juga yang mengatakan, bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna yang pertama yang lebih benar.

Pengertian Isti’adzah;
Al-Isti’adzah, berarti permohonan perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari semua kejahatan setiap yang jahat.  Jadi, memohon pertolongan dalam usaha menolak setiap kejahatan dan memohon pertolongan dalam upaya meraih setiap kebaikan.
اعو ذبا الله من اشيطان الر جيم  
(“A’uudzubillaahi minasysyaithaanirrajiim”) berarti, aku memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk, agar dia tidak membahayakan diriku dalam urusan Agama dan Duniaku, atau menghalangiku mengerjakan apa yang telah Dia (Allah) perintahkan.  Atau, agar dia tidak menyuruhku mengerjakan apa yang Dia (Allah) larang, karena tidak ada yang mampu mencegah godaan syaithan itu kecuali Allah.

Tafsir Isti’adzah dan Hukum-hukumnya;
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Jika kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.  Sesungguhnya syaithan itu tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Rabb-nya.  Sesungguhnya kekuasaannya (syaithan) itu hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.”  (An-Nahl;  98-100)
Yang masyhur menurut Jumhurul (mayoritas) ulama, bahwa Isti’adzah dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an guna mengusir godaan syaithan.
Menurut jumhur ulama, membaca isti’adzah itu hukumnya sunnah, bukan sesuatu yang wajib, sehingga tidak berdosa orang yang meninggalkannya.  Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwasanya Beliau tidak membaca ta’awwudz dalam mengerjakan shalat wajib.
Di dalam kitab Al-Imla’, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, dianjurkan membaca ta’awwudz dengan jarh (terdengar, ed.), tetapi jika dibaca dengan sirr (tidak terdengar, ed.) juga tidak apa-apa.  Sedangkan dalam kitab Al-Umm, Beliau mengatakan, diberikan pilihan, boleh membaca ta’awwudz -boleh juga tidak.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, ta’awwudz itu dibaca dalam shalat untuk membaca Al-qur’an.  Sedangkan Abu Yusuf berpendapat, bahwa ta’awwudz itu dibaca justru dalam shalat.
Diantara manfaat lain dari ta’awwudz adalah untuk mensucikan dan mengharumkan mulut dari kata-kata yang tidak mengandung faidah / kata-kata yang buruk.  Disamping memohon pertolongan kepada Alllah, sekaligus memberikan pengakuan atas Kekuasaan-Nya, kelemahan diri sebagai hamba, dan ketidak-berdayaannya dalam melawan musuh yang sebenarnya (syaithan), yang bersifat bathiniyah, yang tak seorang pun mampu menolak dan mengusirnya, kecuali Allah Yang telah menciptakannya.

oOo
(Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Katsir”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar