Di dalam bahasa Arab, kata “Syaithan” berasal dari
kata “Syathana”, yang berarti jauh.
Jadi, tabiat syaithan itu sangat jauh dari tabiat manusia, dan karena
kefasikannya dia sangat jauh dari segala macam bentuk kebaikan (Petunjuk / Rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Ada yang mengatakan, bahwa kata “syaithan” itu
berasal dari kata “syatha” (terbakar), karena dia diciptakan dari
api. Dan ada juga yang mengatakan, bahwa
kedua makna tersebut benar, tetapi makna yang pertama yang lebih benar.
Pengertian Isti’adzah;
Al-Isti’adzah, berarti permohonan perlindungan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari semua kejahatan setiap yang
jahat. Jadi, memohon pertolongan dalam
usaha menolak setiap kejahatan dan memohon pertolongan dalam upaya meraih setiap
kebaikan.
اعو ذبا الله من اشيطان الر جيم
(“A’uudzubillaahi minasysyaithaanirrajiim”) berarti,
aku memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk, agar dia
tidak membahayakan diriku dalam urusan Agama dan Duniaku, atau
menghalangiku mengerjakan apa yang telah Dia (Allah) perintahkan. Atau, agar dia tidak menyuruhku mengerjakan
apa yang Dia (Allah) larang, karena tidak ada yang mampu mencegah godaan
syaithan itu kecuali Allah.
Tafsir Isti’adzah dan Hukum-hukumnya;
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Jika kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu memohon
perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Sesungguhnya syaithan itu tidak memiliki
kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Rabb-nya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaithan) itu
hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan atas orang-orang yang
mempersekutukannya dengan Allah.” (An-Nahl; 98-100)
Yang masyhur menurut Jumhurul (mayoritas) ulama,
bahwa Isti’adzah dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an guna mengusir
godaan syaithan.
Menurut jumhur ulama, membaca isti’adzah itu hukumnya
sunnah, bukan sesuatu yang wajib, sehingga tidak berdosa orang yang
meninggalkannya. Diriwayatkan dari Imam
Malik, bahwasanya Beliau tidak membaca ta’awwudz dalam mengerjakan
shalat wajib.
Di dalam kitab Al-Imla’, Imam Asy-Syafi’i
mengatakan, dianjurkan membaca ta’awwudz dengan jarh (terdengar,
ed.), tetapi jika dibaca dengan sirr (tidak terdengar, ed.) juga tidak
apa-apa. Sedangkan dalam kitab Al-Umm,
Beliau mengatakan, diberikan pilihan, boleh membaca ta’awwudz -boleh
juga tidak.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, ta’awwudz itu
dibaca dalam shalat untuk membaca Al-qur’an.
Sedangkan Abu Yusuf berpendapat, bahwa ta’awwudz itu dibaca
justru dalam shalat.
Diantara manfaat lain dari ta’awwudz adalah untuk
mensucikan dan mengharumkan mulut dari kata-kata yang tidak mengandung faidah /
kata-kata yang buruk. Disamping memohon
pertolongan kepada Alllah, sekaligus memberikan pengakuan atas Kekuasaan-Nya,
kelemahan diri sebagai hamba, dan ketidak-berdayaannya dalam melawan musuh yang
sebenarnya (syaithan), yang bersifat bathiniyah, yang tak seorang pun mampu
menolak dan mengusirnya, kecuali Allah Yang telah menciptakannya.
oOo
(Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Katsir”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar