Jumat, 21 Desember 2018

BELAJAR DARI TRAGEDI SURIAH (Negeri Syam)


بسم الله الر حمان الر حيم


Bermula dari apa yang disebut Musim Semi Arab di tahun 2011, serangkaian aksi unjuk rasa (“Demo Damai”) – anti pemerintah terjadi di beberapa Negara - kawasan Timur Tengah, termasuk di Suriah. 
Issue yang diangkat adalah “Slogan Perubahan”, Demokrasi, pembebasan pemerintah dari thaghut, penerapan hukum-hukum syari’at (Khilafah Islamiyah), hingga menuntut pengunduran diri Kepala Pemerintahan Suriah.
Sebuah konflik biasanya memang terlahir dari berbagai faktor (komplek) yang saling kait-mengkait.  Padahal, awalnya Negara Suriah berada dalam harmonis kehidupan antar ummat beragama, dan berbagai sekte.
 Terlepas dari beberapa kelemahan pemerintahan Basyar Al-Assad, Issue Agama Islam dari dulu memang merupakan topik yang empuk – dan renyah bila “digoreng”, apalagi bila diberi bumbu-bumbu politik.  Mereka mempolitisir masjid-masjid sebagai basis perkumpulan dan pergerakan, yang lama kelamaan berkembang dan menyulut terjadinya konflik besar / perang sipil.  
Hingga memancing peran sejumlah Negara Adidaya, seperti Amerika Serikat, Rusia, Arab Saudi, Iran, Irak, Lebanon, hingga Al-Qaeda.  Bagaikan sejumlah burung bangkai yang mengerumuni mangsanya.
Belum lagi ratusan gerombolan bersenjata yang menyerang Angkatan Bersenjata Pemerintah, hingga dukungan militer, finansial, dan politik mengalir ke Suriah, bak minyak tanah yang disemburkan ke dalam kobaran api. Memicu terjadinya  perang besar, yang menimbulkan korban nyawa manusia lebih dari 470.000-an orang, dan lebih dari satu juta korban luka-luka, dan 56.000-an orang hilang.  Serta 11 juta-an pengungsi Suriah bertebaran ke seluruh penjuru, akibat konflik kemanusiaan terbesar di abad ke 21 itu.  Jumlah terbesar setelah Perang Dunia ke-II (data UNHCR). 
Sehingga, kata “Neraka” yang digambarkan oleh Sekjen PBB, Antonio Guterres tentu bukan sekedar ungkapan tanpa bukti.  Hujan Rudal dan Mortir yang terjadi di Ghouta Timur, menewaskan sedikitnya 200 orang setiap minggu.
Di beberapa tempat rezim Basyar Al-Assad memerangi kelompok ISIS, disamping pemberontak dan kelompok-kelompok bersenjata KURDI  yang juga sibuk memerangi ISIS.
Singkat kata, peribahasa Indonesia mengatakan “Yang menang jadi Arang, dan yang kalah jadi Abu”, artinya kedua belah pihak yang terlibat konflik pasti mengalami kerugian yang tak jauh berbeda ("11-12"), baik korban nyawa manusia, luka-luka, kerugian harta benda, dan masa depan generasinya.

Bagi Rakyat dan Bangsa Indonesia, cukuplah pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, di Sumatera Barat tahun 1958, oleh Partai Sosialis Indonesia), PERMESTA (Perdjuangan Rakyat Semesta, yang digerakkan oleh pemimpin Sipil dan Militer, tahun 1957), DI-TII (Darul Islam – Tentara Islam Indonesia di Aceh, pada tahun 1953), dan  gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia, tahun 1965) dan lain sebagainya, sebagai bagian sejarah kelam bangsa Indonesia. Jangan ditambah lagi dengan “Tragedi Suriah ke-2”, meskipun awalnya bermula dengan “DEMO - DAMAI”, akan tetapi berkesudahan dengan “ABU dan ARANG”!
(Baca juga artikel, TA'ATLAH KEPADA PEMIMPIN, JANGAN DEMO!)

Renungan
"...Dan siapa saja yang bermaksiat kepada seorang Pemimpin, maka ia telah bermaksiat kepadaku."  (HR.  Al-Bukhari no.7137; Muslim no.1835)
"...Dan siapa saja yang mati dalam keadaan tidak berbai'at (kepada Penguasanya), maka ia mati seperti mati jahiliyyah."  (HR.  Muslim no. 1851)
"...Seorang yang memisahkan diri dari kesatuan Kaum Muslimin, dan menentang Penguasanya - ia mati dalam keadaan bermaksiat."  (HR.  Ibnu Abi 'Ashim, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani) 

oOo

Rabu, 12 Desember 2018

NEO KHAWARIJ



بسم الله الر حمان الر حيم

Cikal-bakal Paham Khawarij berawal dari protes (demo) seseorang yang bernama Dzul Huwaishirah At-Tamimi, dari Bani Tamim terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang dianggapnya tidak adil dalam membagi harta rampasan perang (ghanimah).
Kegiatan, dan kebiasaan demo-mendemo, protes-memprotes (ketidak puasan) ini kemudian berlanjut pada masa khalifah Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu.   Ada yang mengatakan, bahwa jumlah mereka pada waktu itu telah berkembang mencapai 16.000 orang, ada juga yang mengatakan 24.000 orang.
Kelompok sempalan ini kemudian memisahkan diri (membelot)* dari kepemerintahan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu setelah berakhirnya perang Shiffin.

Kemudian Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu mengirim  Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu sebagai utusan untuk menasihati mereka.  Hasilnya, sebagian besar dari mereka (sekira 20.000 orang) kembali (rujuk) kepada pemerintahan Ali, sedangkan sisanya  (4.000 orang) tetap membangkang (berpaling dari kebenaran).

Di masa sekarang, Paham Khawarij ini mengalami “metamorfosa” menjadi NEO KHAWARIJ (Khawarij Gaya Baru), meskipun hakikatnya sama dengan “Khawarij Tempo Doeloe”, tetapi diwujudkan dengan penampilan dan "kemasan" yang berbeda, seperti aksi-aksi demo, pengerahan (memprovokasi) massa, menghasut rakyat, dan menekan pemerintah (“tanpa mengangkat senjata”).
Niat mereka sebenarnya "baik", yakni ingin memberantas maksiat, menegakkan keadilan, dan menegakkan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam kepemerintahan, namun dilaksanakan dengan cara-cara yang dipaksakan / anarkhis / “main hakim sendiri” (menyalahi tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah), sehingga seringkali kita melihat aksi-aksi mereka yang brutal, dan melangkahi wewenang Penguasa (pemerintah) yang sah.
Mereka tidak sadar, bahwa tindakan mereka yang Salah Kaprah tersebut justru menimbulkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

CIRI-CIRI PAHAM NEO KHAWARIJ
·         * Mudah mengkafirkan kaum muslimin (oknum Pemerintah) yang melakukan dosa-dosa besar.
·         * Menganggap remeh fatwa ‘Ulama Rabbani berasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dalam menanggapi setiap permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
·         * Cenderung tidak memuliakan / menghargai wewenang Pemerintah yang sah, sehingga sering mengerahkan massa, dan melakukan aksi demo untuk menekan Pemerintah.
·         * Sering menjelek-jelekkan / mengumbar aib pemerintah yang sah di depan khalayak ramai.
·         * Mereka beralasan mengkritik  / menasihati Pemerintah, tetapi tidak dengan cara yang santun (”empat mata”), yang mereka inginkan sebenarnya adalah menjatuhkan wibawa / citra pemerintah di hadapan rakyatnya.  Berbeda dengan para 'ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, mereka selalu memuliakan dan menghormati setiap Pemimpin kaum muslimin, karena itu merupakan perintah dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Segala kritik, saran, dan nasihat mereka sampaikan secara baik-baik, santun ("empat mata" / sembunyi-sembunyi) tidak diumbar dihadapan khalayak.  Jika nasihat mereka diterima, maka itulah yang dikehendaki, tetapi jika tidak, mereka bersabar, yang penting mereka telah menyampaikan nasihat (kebenaran) kepada Penguasa.  Dan tetap mendo'akan kebaikan bagi Pemimpin kaum muslimin beserta rakyatnya.  Demikianlah akhlak manusia-manusia yang berilmu, beriman, dan beradab di dalam Islam.
·         * Bertindak anarkhis (menekan pemerintah) dalam menyelesaikan setiap perkara.  Bahkan, mereka menganggap halal menumpahkan darah kaum muslimin.
·         * Cenderung tidak menghargai (melecehkan) hak-hak pemeluk agama lainnya (non Muslim).
·         * Semangat yang menggebu-gebu untuk mendirikan khilafah Islamiyah tanpa dasar Ilmu.
·         * Menghembus-hembuskan “mosi tidak percaya” terhadap Pemerintah yang sah.
·         * Tidak sabar dalam memperbaiki kondisi ummat Islam, ingin mewujudkan segala cita-cita mereka dengan cepat (instan).
·         * Mengatas-namakan setiap acara / pergerakan mereka kepada Islam, tetapi entah Islam yang mana (bagaimana) yang mereka wakili.  (Baca artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA)
·         * Menggalang shalat berjamaah, tetapi ada niat (agenda) politik terselip di dada dan kantong mereka untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Jadi, shalat jama'ah yang mereka galang itu bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, ada keinginan lain (pamrih duniawi) dibalik itu.
·        Dan lain-lain sebagainya. 
Baca juga artikel, HARAMNYA DEMO, MEMPROVOKASI MASA DAN MEMEBERONTAK TERHADAP PEMERINTAH MUSLIM, dan PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-3)

BEBERAPA HADITS RASULULLAH YANG MENCELA PAHAM KHAWARIJ / NEO KHAWARIJ
 “Akan keluar satu kaum di akhir zaman, (mereka) adalah orang-orang yang masih muda, akal mereka bodoh, mereka berkata dengan sebaik-baik perkataan manusia, keimanan mereka tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari Agama, bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya.  Dimana saja kalian menjumpai mereka, maka (perangilah) bunuhlah, karena sesungguhnya dalam memerangi mereka ada pahala di Hari Kiamat bagi siapa yang membunuh mereka.”  (HSR. Al-Bukhari)
“Orang-orang Khawarij tersebut adalah anjing-anjing Neraka.”  (HR. At-Tirmidzi)
“Sekelompok kaum yang membaca Al-Qur’an dengan lisan mereka, namun tidak melewati kerongkongannya.  Mereka keluar dari Agama Islam sebagaimana anak panah melesat (menembus) sasarannya.”  (HR. Muslim, no 1776)

Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki akal (beriman).  Dan berhati-hatilah terhadap propaganda mereka yang manis tapi menipu (menjerumuskan) orang-orang yang awam terhadap agama Islam.

oOo


*  Dimasa sekarang dengan bangganya mereka menamakan diri sebagai OPOSISI, menentang apapun yang dilakukan Pemerintah untuk kemakmuran rakyatnya, serangan yang membabi buta, (pen blog).



Selasa, 11 Desember 2018

GAMBARAN UMUM DAKWAH TAUQIFIYAH


بسم الله الر حمان الر حيم


Metode dakwah Ahlussunnah wal Jamaah bersifat Tauqifiyah (baku), artinya harus dilaksanakan sesuai ketentuan (batasan-batasan) Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengacu kepada metode dakwah Rasul-Nya - tidak keluar (menyimpang) dari aturan (batasan) yang digariskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.  Baik konten (materi dakwah), maupun sarana (cara) yang ditempuh.

GAMBARAN UMUM
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an (artinya),
Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an).  Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan untuk semua ummat.”  (Al-An’am (6);  90), dan
“Katakanlah, ‘Aku tidak meminta upah sedikit pun pada kalian dalam menyampaikan Risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan-nya.”  (Al-Furqan (25);  57), dan
“...Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanklu ini, upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku.  Maka tidakkah kalian memikirkannya?”  (Hud (11 );  51), dan
“Katakanlah hai Muhammad, ‘Aku tidak meminta upah kepada kalian atas apa yang aku lakukan, kecuali kasih-sayang dalam kekeluargaan.”  (Asy-Syuura (42);  23)
Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Sesungguhnya ‘ulama adalah pewaris para Nabi.  Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham.  Sungguh, mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak.”  (HR Tirmidzi, Ahmad, dll.)

HONOR / UANG JASA?
Bedasarkan ayat-ayat dan hadits di atas dapat diambil kaidah, bahwa hukum asal dari dakwah tauqifiyah tidaklah berkaitan dengan “honor” / “tarif” yang harus dipenuhi oleh jama’ah,  yang mengharapkan hidayah / pencerahan dari seorang juru dakwah.
Mematok tarif / honor melebihi kewajaran, atau menjadi timbangan utama merupakan sebuah pelanggaran terhadap batasan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seperti keengganan di antara para “pendakwah” untuk memenuhi undangan jama’ah yang membayar di bawah standar yang ditentukan. 
Bagaimana akan datang keikhlasan dari seorang da’i (juru dakwah) yang lebih mendahulukan pamrih duniawi daripada balasan ukhrawinya?
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Meskipun para ‘ulama Ahlussunnah wal Jamaah tidak mengharamkan, seorang juru dakwah menerima uang sekedar transport, akomodasi, dan kebutuhan pokoknya.  Tetapi, mematok tarif (honor) tertentu  jelas terlarang dan tabu untuk dilakukan. 
Bahkan, di antara para da’i ada yang menjadikan kegiatan dakwah sebagai ajang untuk memperkaya diri / bermewah-mewahan, dan menjadikannya sebagai “income utama”. 
Padahal para ‘Ulama Rabbani, justru menyarankan agar para juru dakwah / da’i memiliki pekerjaan (profesi) tersendiri guna memenuhi kebutuhan sekunder mereka, jangan mengandalkan hasil dakwah.  Apalagi menjadikan “kegiatan dakwah” sebagai "lahan income!"
Seakan-akan ada legitimasi, bahwa seorang juru dakwah / da’i kondang itu identik dengan fasilitas yang mewah dan tarif yang tinggi.  Jadi, semakin kondang seorang juru dakwah – semakin mahal bayarannya, karena makin banyak umat yang menghadiri tausiyahnya.  Kayak artis saja!?.  “Na’uudzubillahi mindzaalika.”
Padahal, kondang atau tidaknya seorang da’i tidak ada kaitan sama sekali dengan kebenaran / shahih-tidaknya materi  yang disampaikan.
Seorang ‘ulama besar dari generasi terbaik Islam, Al-Imam Ibnu Al-Mubarak rahimahullah pernah mengatakan, “Orang-orang yang bodoh itu, adalah orang yang makan dengan Agamanya.”    

CARA PENYAMPAIAN DAKWAH
Penulis mengutip perkataan Al-‘Allaamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah di dalam kitab Buah Ilmu (dari Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah);
 Dialah orang beriman yang merespon dakwah Allah, mengajak manusia kepada dakwah Allah yang ia respon, dan mengerjakan amal shalih dengan merespon dakwah-Nya.  Dialah kekasih Allah dan wali-Nya.
Tingkatan dakwah kepada Allah adalah tingkatan tertinggi seorang hamba.
Allah Ta’ala telah berfirman (artinya),
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”  (An-Nahl; 125).

Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat tingkatan-tingkatan dakwah sesuai dengan tingkatan-tingkatan makhluk;
·        Orang yang merespon, menerima, dan orang cerdas yang tidak menentang dakwah, dan tidak cuek kepadanya, didakwahi dengan cara yang hikmah.
·        Orang yang menerima dakwah, namun mempunyai sedikit sifat lupa diri dan lamban, didakwahi dengan pelajaran yang baik.
·        Orang yang menentang dakwah, dan menolaknya didebat dengan cara yang paling baik.
Itulah penafsiran yang benar tentang ayat di atas (An-Nahl;  125).
Seseorang tidak menjadi pengikut sejati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hingga ia berdakwah kepada apa yang Beliau dakwahkan.
Jika dakwah kepada Allah Ta’ala adalah tingkatan hamba yang paling mulia, dan agung, maka tingkatan tersebut tidak bisa diperoleh kecuali dengan Ilmu (yang shahih), dimana ia berdakwah dengannya dan kepadanya.  Bahkan merupakan kesempurnaan dakwah jika pelakunya telah berada di puncak Ilmu.”  
Selesai kutipan.
Jadi, tidak ada “kamusnya” seorang da’i (pendakwah) itu mengeluarkan kata-kata kotor / mencaci-maki manusia dalam pelaksanaan dakwahnya sampai kapan pun!

SUMBER HUKUM
Seluruh kaum Muslimin sepakat untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum utama dalam Syari’at Islam.  Yang membedakan mereka adalah pemahaman terhadap keduanya, sehingga umat Islam terpecah-belah. 
Yang benar, harus mengacu kepada pemahaman (manhaj) tiga generasi terbaik Islam sepanjang masa (Para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in). 

YAYASAN
Penggunaan yayasan sebagai sarana (wasilah) dakwah masih menjadi pro-kontra di antara para ‘ulama ahlussunnah wal jama’ah.
Tujuan awal dari pembentukan yayasan ini sebenarnya untuk memudahkan pelaksanaan dakwah, dalam penyediaan, penggunaan sarana-prasarananya.  Disamping memperluas jangkauan, dan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabilitas, selama memiliki AD / ART yang tidak bertentangan / menyimpang dari aturan syaria’t.  
Namun,  tidak jarang pula kita temui yayasan yang seharusnya untuk wasilah (sarana) dakwah tersebut justru dimanfaatkan / “disetir” oleh kelompok (hizbiyyah) tertentu, selaku penyandang dana untuk membela kepentingan kelompoknya,  sehingga mempengaruhi kemurnian dakwah yang disampaikan, kelurusan Manhaj, serta keikhlasan para da’i dalam menegakkan kebenaran (al-haq).

MATERI (KONTEN) DAKWAH   
Ini merupakan topik pembahasan yang sangat luas dan pelik. 
Namun, untuk memudahkan pembahasan, akan kita bahas pokok-pokoknya saja.
Intinya, para ‘ulama Ahlussunnah  lebih mementingkan (mendahulukan) persoalan Tauhid, Aqidah, dan Manhaj, dengan prioritas masalah Tashfiyah (pemurnian, pembersihan dari segala bentuk penyimpangan / kesesatan), baru kemudian Tarbiyyah (pendidikan, yang mengacu kepada Ittiba’ur Rasul / mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Salah seorang Mujaddid Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, mengarang sebuah kitab, “Tauhid Awwalan, ya Du’at Al-Islam”, yang membahas tentang pentingnya mendahulukan perkara Tauhid dalam berdakwah.
Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama Ahlussunnah tentang pokok-pokok (‘Ushul) Agama ini, baik  dari sisi Aqidah / Iman / Tauhid, mereka hanya berbeda pada masalah fiqqiyyah, furu’ (cabang),  itupun pada hal-hal yang sangat rumit (isyarat dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy-Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah bin Sulaiman Al-Jabiry, Asy-Syaikh Hammad Al-Anshary, dan banyak ‘ulama lain).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Demikian pula masalah fiqih, terjadinya khilaf hanyalah ketika tersamarkan bagi mereka penjelasan Pemilik Syariat, tetapi terjadinya perbedaan ini dalam perkara yang sangat rumit.  Adapun dalam perkara yang jelas maka tidak terjadi khilaf padanyaPara Sahabat mereka berbeda pendapat pada sebagian hal itu (fikih –ed), hanya saja mereka tidak berbeda pendapat dalam masalah aqidah dan pada masalah jalan menuju Allah yang dengannya seseorang bisa menjadi salah satu wali Allah yang baik dan didekatkan.” (Majmu’ Fatawa: 19/274)
Berkata Ibnu Qayyim rahimahullah, “Ahlul iman terkadang berbeda pendapat pada sebagian hukum yang tidak sampai mengeluarkan mereka dari iman.  Para Shahabat telah berbeda pendapat dalam banyak masalah-masalah hukum, padahal mereka adalah pimpinan mukminin dan umat yang paling sempurna keimanannya. Hanya saja alhamdulillah mereka tidak sampai pecah dalam satu masalah yaitu dalam masalah nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah. Bahkan semuanya menetapkan apa yang tercantum di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah satu kata dari awal hingga akhir, mereka tidak bersikap buruk kepadanya dengan melakukan takwil, mereka tidak memalingkan dari makna yang semestinya dengan menggantinya, mereka tidak menampakkan sesuatu darinya dalam rangka membatalkan maknanya, mereka tidak membuat-buat permisalan-permisalan bagi makna-maknanya, mereka tidak menolak keberadaannya dan kemukjizatannya serta tidak seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa harus memalingkan dari hakikatnya dan membawa kepada majas (kiasan), bahkan mereka menyikapinya dengan menerima dan tunduk, mereka menerimanya dengan iman dan pengagungan dan mereka menjadikannya sebagai suatu perkara yang satu dan membiarkannya di atas satu sunnah.  Mereka tidak berbuat seperti yang diperbuat ahlul ahwa’ dan ahlul bida’ ketika mereka menjadikannya saling bertentangan, mereka menetapkan sebagian dan menolak sebagiannya tanpa didasari dalil yang jelas, padahal yang wajib bagi Allah atas mereka pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mereka ingkari, sama wajibnya pada apa yang mereka tetapkan dan kuatkan.” (I’lamul Muwaqi’in: 1/49)
Berkata Asy-Syaikh Hammad Al-Anshary rahimahullah, Para Sahabat tidak berselisih dalam masalah aqidah selamanya, perselisihan hanya terjadi setelah mereka.”
(Kumpulan biografi Al-Allamah, Al-muhaddits Hammad Al-Anshary: 2/493 no.124)
 Lajnah Daimah pernah ditanya: “Apakah boleh mengatakan bahwa para Sahabat radhiyallahu anhum telah berselisih dalam masalah aqidah, seperti tentang apakah Nabi shallallahu alaihi was sallam melihat Rabb-nya pada malam Mi’raj, dan tentang apakah orang-orang mati itu bisa mendengar atau tidak, dan dia mengatakan ini adalah aqidah?
Jawab: “Aqidah Islamiyah alhamdulillah tidak ada padanya khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan Sahabat dan selain mereka dari orang-orang yang datang setelahnya dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka meyakini terhadap makna yang ditunjukkan di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, mereka tidak berbuat bid’ah yang datang dari diri-diri mereka sendiri atau dari akal-akal mereka, inilah yang menjadi sebab bersatunya dan sepakatnya mereka dalam satu aqidah dan satu manhaj sebagai pengamalan terhadap ayat:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقوا
“Berpegang teguhlah dengan tali Allah semuanya jangan bercerai berai.”  
Demikian Lajnah Daimah.

Dari 72 kelompok (firqah) menyimpang yang pernah disinyalir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Pada masa Ibnu Al-Mubarak rahimahullah (sekira 12 abad yang lalu) saja sudah sedemikian banyaknya (72 kelompok sempalan), apalagi di masa sekarang?! 
Bisa dibayangkan akibatnya bila para da’i / juru dakwah yang sehari-harinya berkecimpung di bidang dakwah Islam tidak memahami gambaran ke-72 kelompok sempalan tersebut.  Mustahil mereka dapat menyelamatkan diri dan jamahnya dari pertanyaan Allah ‘Azza wa Jalla!
Oleh karena itu, sudah semestinya setiap juru dakwah / da’i mengetahui, memahami, dan mencari informasi tentang ke-72 kelompok sempalan tersebut, terutama  dari sisi Akidah, Iman, Tauhid, dan tata-cara ibadah mereka.  Sebab, tanpa ilmu - pengetahuan yang memadai tentang kelompok-kelompok sempalan tersebut, sulit bagi mereka  menjaga kemurnian Syari’at Islam yang senantiasa mereka promosikan.
Di sinilah terlihat pentingnya peran ‘ulama yang ahli dan mumpuni di bidang Ilmu “Jarh wa Ta’dil” (Kritikan dan Pujian) sebagai rujukan setiap permasalahan, untuk meluruskan kembali setiap penyimpangan yang terjadi.  Sehingga, kemurnian Syari’at Islam dapat terjaga dengan baik, seperti yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabat Beliau.   
Jadi,  bila setiap da’i, juru dakwah berkenan menyelamatkan diri mereka dari Neraka Allah ‘Azza wa Jalla, hendaklah selalu mengacu kepada pemahaman 3 (tiga) generasi terbaik Islam (Generasi Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut-tabi’in), serta  para ‘ulama Rabbani yang mengikuti jejak mereka dengan baik.

PERAN MUJADDID  
Setiap 100 (seratus) tahun sekali, Allah Subhanahu wa Ta’ala memunculkan seorang / beberapa orang Mujaddid (Pembaru) dalam Agama-Nya, yang akan menjaga dan mengembalikan (meluruskan) setiap penyimpangan, dan kesesatan yang terjadi (Makna dari al-hadits yang dikeluarkan Abu Daud).
Jadi, Pembaru yang dimaksud adalah orang yang mengembalikan (meluruskan kembali) Syari’at Islam kepada keadaan semula, bukan orang yang "berkreasi" / mengembangkan kreasinya dalam Syari’at Islam!
Salah seorang Mujaddid yang ditetapkan oleh para ‘ulama Ahli Hadits di abad ke-21 ini, adalah Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly hafizhahullah.
(Baca artikel, Biografi Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali)

KESIMPULAN
1. Hukum asal Dakwah Tauqifiyah tidaklah berkaitan dengan dana / uang.
Para 'ulama memberikan keringanan dengan membolehkan para juru dakwah / da'i menerima uang sekedar transpor, akomodasi, dan kebutuhan pokok mereka.  Dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder mereka, dianjurkan untuk memiliki pekerjaan (profesi) tersendiri sebagai "sumber income".
2. Hendaklah memprioritaskan Tashfiyah (Pemurnian / pelurusan) dengan cara-cara yang hikmah, tidak menghasut / memprovokasi jama'ah, tidak mengeluarkan kata-kata kotor, kasar, dan mencaci-maki manusia.
3. Sumber hukum utama dalam dakwah tauqifiyah adalah Al-Qur'an dan Sunnah, berdasarkan pemahaman Salafushshalih, dan Ijma' (kesepakatan) para Sabahat radhiyallahu 'anhuma.
4. Pendirian yayasan diperbolehkan oleh sebagian 'ulama Ahlussunnah, selama AD / ART-nya tidak menyalahi aturan Syari'at.
5. Materi (konten) Dakwah Tauqifiyah lebih mengutamakan (mendahulukan) permasalahan Tauhid, Aqidah, Manhaj. 
6. Karena Agama Islam ditakdirkan Allah ‘Azza wa Jalla pertama kali turun di Negeri Arab, kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidaklah mungkin (dibenarkan) menisbatkan Islam pada Nusantara (Islam Nusantara).
7. Karena Agama Islam telah sempurna, sejak diturunkannya surat Al-Maidah; 3, maka tidaklah bijak mengkotak-kotakkan Islam menjadi Islam Kuno (Islam Ortodok), Islam Radikal, Islam Moderen, Islam Nusantara, atau Islam garis keras – garis lunak, dan sebutan-sebutan lain yang membingungkan umat, yang pasti akan merugikan Islam itu sendiri.  Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya pun tidak pernah menamakan Islam dengan sebutan-sebutan itu.  Yang ada, hanyalah Islam yang benar (lurus) berdasarkan pemahaman Salafush Shalih, dan Islam yang sesat (menyimpang) dari ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!
8. Untuk menjaga kemurnian pemahaman dan pengamalan Syari’at Islam, hendaklah setiap juru dakwah / da’i memperbaiki (meluruskan) Manhaj (metode)nya terlebih dahulu, dan senantiasa mengacu pada pemahaman 3 (tiga) generasi terbaik sepanjang sejarah (Generasi Sahabat, Generasi Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in).  Serta mengenal dengan baik 72 (tujuh puluh dua) kelompok sempalan Islam yang disinyalir Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta ciri-ciri mereka. Karena, menyelamatkan diri sendiri lebih diutamakan daripada menyelamatkan orang lain (kelompok) dari Neraka Allah 'Azza wa Jalla.
9. Sunatulah yang pasti terjadi, bahwa setiap 100 (Seratus) tahun sekali, Allah Subhanahu wa Ta’ala memunculkan Mujaddid (Pembaru) yang akan mengkoreksi (mengungkap) setiap penyimpangan, yang terselubung maupun yang tampak dengan jelas, guna mengembalikan Syari’at Islam pada kemurniannya.
10. Salah seorang Mujaddid yang direkomendasikan banyak ‘ulama Ahli Hadits masa kini (Abad ke-21, Milenium ke-3) adalah Asy-Syaikh Prof, DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah.

oOo

Jumat, 07 Desember 2018

MANUSIA & HIDAYAH



بسم الله الر حمان الر حيم

Kebutuhan Manusia yang sangat besar terhadap hidayah baik secara lahir maupun bathin, di dunia maupun akhirat menuntutnya untuk memahami dasar-dasar perkara yang berkaitan dengan hidayah.
Pada ayat ke-7 dalam surat Al-Fatihah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggolongkan manusia di dunia ini menjadi 3 (tiga) golongan besar;
1.   1. Orang-orang yang mendapat kenikmatan, yaitu mereka yang beroleh kenikmatan petunjuk (hidayah) Islam, Iman, dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2.    2. Orang-orang yang yang tersesat, yaitu mereka yang tidak mengetahui petunjuk (hidayah), dan tidak pula diberikan Taufiq untuk mengamalkannya.  Mereka ini digambarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala layaknya orang-orang Nasrani.  Yaitu, orang-orang yang beramal tanpa Ilmu.  Tidak mengetahui kebenaran meskipun rajin beribadah.
3.    3. Orang-orang yang dimurkai, yaitu mereka yang mengetahui petunjuk (hidayah), namun tidak diberi Taufiq untuk mengamalkannya.  Mereka ini digambarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala layaknya orang-orang Yahudi.  Yaitu, orang-orang yang berilmu tetapi tidak mau beramal dengannya.  Mengetahui kebenaran, tetapi berpaling darinya. {Baca artikel, PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-9)}
  
Berikut beberapa dasar perkara yang berkaitan dengan hidayah;
a.       a. Bertaubat dari perkara-perkara yang dia ketahui selama ini tanpa dasar Ilmu dan Hidayah (petunjuk).  Dengan perkataan lain, setiap aktivitas yang tidak sesuai dengan kecintaan dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga ia harus bertaubat darinya.
b.      b. Ada perkara-perkara yang telah dia ketahui dasar-dasar hidayahnya, namun ia belum mengetahui rincian-rinciannya.  Sehingga ia membutuhkan hidayah untuk mengetahui rincian-rincian tersebut.
c.       c. Ada perkara-perkara yang dia ketahui petunjuknya dari satu sisi saja, tidak dari sisi yang lain.  Sehingga ia memerlukan hidayah untuk mengetahui sisi yang lain, guna melengkapi hidayah sebelumnya.
d.     d. Perkara-perkara yang perlu untuk dia ketahui di masa depannya, sebagaimana yang pernah ia alami dimasa lalu (sebelum ia mendapatkan hidayah).
e.      e. Ada perkara-perkara yang dia yakini (sejauh ini), ternyata bertentangan dengan kebenaran.  Oleh karena itu, ia memerlukan hidayah untuk menghapus keyakinan sesat yang selama ini diyakininya.  Dan memohon keteguhan terhadap keyakinan yang baru (benar).
f.       f. Ada perkara-perkara yang termasuk hidayah, yang sebenarnya dia mampu untuk melakukannya, tetapi Allah Ta’ala tidak menciptakan kehendak (keinginan) di dalam hatinya untuk mengamalkan.  Oleh karena itu, ia membutuhkan hidayah agar Allah Ta’ala menimbulkan keinginan (kehendak), dan mampu mengamalkannya.
g.      g. Ada perkara-perkara yang dia sadari, bahwa ia tidak mampu mengamalkannya, tetapi ia memiliki keinginan untuk mengamalkan,  sehingga ia membutuhkan hidayah (Taufiq) agar diberi kemampuan dan keinginan untuk mengamalkan.
h.     h. Sebagian perkara kebaikan tidak mampu dia lakukan, dan tidak pula punya keinginan untuk mengamalkannya.   Maka, ia membutuhkan hidayah (Taufiq) agar berkeinginan, sekaligus kemampuan untuk mengamalkan.
i.       i. Perkara-perkara yang telah dia kerjakan berdasarkan hidayah (petunjuk), baik dalam keyakinan, kehendak, maupun kemampuan beramal.  Maka, ia memerlukan keteguhan (istiqamah) lahir dan bathin untuk mengerjakan secara berkesinambungan hingga akhir hayat.

Setelah mengetahui seluk-beluk hidayah di atas, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat kita pastikan, bahwa kebutuhan manusia terhadap hidayah itu tak pernah berakhir, hingga orang yang beriman itu tiba di Pintu Surga Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Wallahul Musta’an” (Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan).
(Baca juga artikel tentang RAHASIA HIDAYAH, dan EMPAT TAHAPAN (TINGKATAN) HIDAYAH)

oOo

(Disadur dari kitab “Lezatnya Shalat”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)

Sabtu, 01 Desember 2018

RAJA ISTIGFAR




بسم الله الر حمان الر حيم

اللهم انت ربي لااله الا انت خلقتني وانا عبدك وانا على عهدك ووعدك مااستطعت اعوذبك من شرما صنعت ابوءلك بنعمتك علي 
وابوءبذنبي فغفرلي فانه لايغفرالذ نوب الاانت

“Allahumma Anta Rabbi Laa Ilaha illa Anta khalaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wawa’dika mastatha’tu a’uudzubika minsyarrima shana’tu abuu’laka bini’matika ‘alaiya wa abuu’ bidzamby fagfirliy fainnahu laa yagfirudzdzunuba illa Anta.”

Artinya;
"Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan haq selain Engkau,  Engkau-lah yang menciptakanku.  Aku adalah hamba-Mu.  Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku.  Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan amal-perbuatanku.  Aku mengakui nikmat-nikmat yang Engkau berikan kepadaku, dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku.  Sesungguhnya tiada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau." 

Do’a di atas dibaca dua kali sehari (setiap pagi dan sore hari).
Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Barangsiapa membacanya dengan yakin di waktu pagi, lalu ia meninggal dunia sebelum masuk waktu sore - maka ia termasuk Ahli Surga.  Dan barangsiapa membacanya dengan yakin pada waktu sore, lalu ia meninggal sebelum masuk waktu pagi - maka ia termasuk Ahli Surga.”  
(HR. Al-Bukhari no. 6306, 6323)

Semoga kita diberi Hidayah Taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengamalkannya tiap hari, setiap pagi dan petang sebelum ajal menjemput, In-syaa-Allah - Amiin.

oOo