Selasa, 11 Desember 2018

GAMBARAN UMUM DAKWAH TAUQIFIYAH


بسم الله الر حمان الر حيم


Metode dakwah Ahlussunnah wal Jamaah bersifat Tauqifiyah (baku), artinya harus dilaksanakan sesuai ketentuan (batasan-batasan) Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengacu kepada metode dakwah Rasul-Nya - tidak keluar (menyimpang) dari aturan (batasan) yang digariskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.  Baik konten (materi dakwah), maupun sarana (cara) yang ditempuh.

GAMBARAN UMUM
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an (artinya),
Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an).  Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan untuk semua ummat.”  
(QS. Al-An’am (6);  90), dan
“Katakanlah, ‘Aku tidak meminta upah sedikit pun pada kalian dalam menyampaikan Risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan-nya.”  
(QS. Al-Furqan (25);  57), dan
“...Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanklu ini, upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku.  Maka tidakkah kalian memikirkannya?”  
(QS. Hud (11 );  51), dan
“Katakanlah hai Muhammad, ‘Aku tidak meminta upah kepada kalian atas apa yang aku lakukan, kecuali kasih-sayang dalam kekeluargaan.”  
(QS. Asy-Syuura (42);  23)

Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Sesungguhnya ‘ulama adalah pewaris para Nabi.  Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham.  Sungguh, mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak.”  
(HR.  At-Tirmidzi, Ahmad, dll.)

HONOR / UANG JASA?
Bedasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits di atas dapat disimpulkan, bahwa hukum asal dakwah tauqifiyah tidak berkaitan dengan honor / tarif yang mesti dipenuhi oleh jama’ah yang mengharapkan pencerahan dari seorang juru dakwah.
Mematok tarif / honor melebihi kewajaran, atau menjadikan syarat utama merupakan pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seperti keengganan beberapa “pendakwah” untuk memenuhi undangan jama’ah yang membayar di bawah tarif yang ditentukan. 
Bagaimana akan datang keikhlasan dari seorang da’i (juru dakwah) yang lebih mementingkan pamrih duniawi daripada balasan ukhrawinya?
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Meskipun para ‘ulama Ahlussunnah wal Jamaah tidak mengharamkan juru dakwah menerima uang sekedar transport, akomodasi, dan kebutuhan pokoknya.  Tetapi, mematok tarif (honor) tertentu jelas terlarang dan tabu untuk dilakukan. 
Bahkan, di antara para da’i ada yang menjadikan kegiatan dakwah sebagai ajang untuk memperkaya diri (bermewah-mewahan) dan menjadikannya “income utama”.
Para ‘Ulama Rabbani, justru menyarankan agar juru dakwah / da’i memiliki pekerjaan (profesi) tersendiri guna memenuhi kebutuhan sekundernya, jangan mengandalkan hasil dakwah.
Seakan-akan ada legitimasi, bahwa seorang juru dakwah / da’i kondang itu identik dengan fasilitas yang mewah dan tarif yang tinggi.  Jadi, semakin kondang seorang juru dakwah – semakin mahal bayarannya, karena makin banyak umat yang menghadiri tausiyahnya.  Kayak artis saja!?.  “Na’uudzubillahi mindzaalika.”
Padahal, kondang atau tidaknya seorang da’i tidak ada kaitannya dengan kebenaran (shahih) - tidaknya materi yang disampaikan.
Seorang ‘ulama besar dari generasi terbaik Islam, Al-Imam Ibnu Al-Mubarak rahimahullah pernah berkata, “Orang-orang yang bodoh itu, adalah orang yang makan dengan Agamanya.”    

CARA PENYAMPAIAN DAKWAH
Penulis mengutip perkataan Al-‘Allaamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah di dalam kitab Buah Ilmu (dari Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah);
 Dialah orang beriman yang merespon dakwah Allah, mengajak manusia kepada dakwah Allah yang ia respon, dan mengerjakan amal shalih dengan merespon dakwah-Nya.  Dialah kekasih Allah dan wali-Nya.
Tingkatan dakwah kepada Allah adalah tingkatan tertinggi seorang hamba.
Allah Ta’ala telah berfirman (artinya),
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”  (An-Nahl; 125).

Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat tingkatan-tingkatan dakwah sesuai dengan tingkatan-tingkatan makhluk;
·        Orang yang merespon, menerima, dan orang cerdas yang tidak menentang dakwah, dan tidak cuek padanya didakwahi dengan cara yang hikmah.
·        Orang yang menerima dakwah, namun mempunyai sedikit sifat lupa diri dan lamban, didakwahi dengan pelajaran yang baik.
·        Orang yang menentang dakwah, dan menolaknya didebat dengan cara yang paling baik.
Itulah penafsiran yang benar tentang ayat di atas (An-Nahl;  125).
Seseorang tidak menjadi pengikut sejati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hingga ia berdakwah kepada apa yang Beliau dakwahkan.
Jika dakwah kepada Allah Ta’ala adalah tingkatan hamba yang paling mulia, dan agung, maka tingkatan tersebut tidak bisa diperoleh kecuali dengan Ilmu (yang shahih), dimana ia berdakwah dengannya dan kepadanya.  Bahkan merupakan kesempurnaan dakwah jika pelakunya telah berada di puncak Ilmu.”  
Selesai kutipan.

Jadi, tidak ada “kamusnya” seorang da’i (pendakwah) itu mengeluarkan kata-kata kotor / mencaci-maki manusia ketika berdakwah sampai kapan pun!

SUMBER HUKUM
Seluruh kaum Muslimin sepakat menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum utama dalam Islam.  Yang membedakan adalah Manhaj (Metode beragama), sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda terhadap keduanya sehingga memecah umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. 
Pemahaman yang benar harus mengacu pada 3 (tiga) generasi terbaik Islam sepanjang masa (Para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in).

Berkata Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah,

“Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan manusia berupa ushuluddin (pokok-pokok Agama) dan furu’ (cabang-cabang)nya –  kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.  Karena sesungguhnya, di dalam keduanya terkandung jalan keluar bagi seluruh perkara yang diperselisihkan.  Bisa jadi secara jelas (terperinci) di dalam keduanyaatau dengan keumumannyaatau isyaratatau peringatanatau pemahamanatau keumuman makna yang serupa dengannyadapat dikiaskan padanya.  Karena sesungguhnya kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya adalah fondasi bangunan agama.  Keimanan tidak akan lurus, kecuali dengan keduanya.  Maka, mengembalikan (perkara yang diperselisihkan) kepada keduanya merupakan syarat keimanan.” 


YAYASAN
Penggunaan yayasan sebagai sarana (wasilah) dakwah masih menjadi pro-kontra di antara para ‘ulama ahlussunnah wal jama’ah.
Tujuan utama dari pembentukan yayasan ini adalah untuk memudahkan kegiatan dakwah, penyediaan dan penggunaan sarana-prasarana.  Disamping memperluas jangkauan, dan pengelolaan keuangan yang transparan, serta akuntabilitas, selama tidak memiliki AD / ART yang bertentangan dengan aturan syaria’t.  
Namun, tidak jarang kita saksikan yayasan yang seharusnya sebagai wasilah (sarana) dakwah tersebut justru dimanfaatkan / “disetir” oleh kelompok (hizbiyyah) tertentu selaku penyandang dana guna membela kepentingan kelompoknya,  sehingga mempengaruhi kemurnian dakwah (kebenaran) yang disampaikan, kelurusan Manhaj, serta keikhlasan para da’i dalam mengamalkannya.

MATERI (KONTEN) DAKWAH   
Ini merupakan topik pembahasan yang sangat luas dan pelik. 
Untuk memudahkan pembahasan, kita bahas pokok-pokoknya saja.
Intinya, para ‘ulama Ahlussunnah  lebih mementingkan (mendahulukan) persoalan Tauhid, Aqidah, dan Manhaj, dengan prioritas masalah Tashfiyah (pemurnian, pembersihan dari segala bentuk penyimpangan / kesesatan), baru kemudian Tarbiyyah (pendidikan, yang mengacu pada Ittiba’ur Rasul / mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Salah seorang Mujaddid Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, mengarang sebuah kitab, “Tauhid Awwalan, ya Du’at Al-Islam”, yang membahas tentang pentingnya mendahulukan perkara Tauhid dalam berdakwah.
Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama Ahlussunnah tentang pokok-pokok (‘Ushul) Agama ini, baik  dari sisi Aqidah / Iman / Tauhid, mereka hanya berbeda pada masalah fiqqiyyah, furu’ (cabang),  itupun pada hal-hal yang sangat rumit (isyarat dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy-Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah bin Sulaiman Al-Jabiry, Asy-Syaikh Hammad Al-Anshary, dan banyak ‘ulama lain).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Demikian pula masalah fiqih, terjadinya khilaf hanyalah ketika tersamarkan bagi mereka penjelasan Pemilik Syariat, tetapi terjadinya perbedaan ini dalam perkara yang sangat rumit.  Adapun dalam perkara yang jelas maka tidak terjadi khilaf padanyaPara Sahabat mereka berbeda pendapat pada sebagian hal itu (fikih –ed), hanya saja mereka tidak berbeda pendapat dalam masalah aqidah dan pada masalah jalan menuju Allah yang dengannya seseorang bisa menjadi salah satu wali Allah yang baik dan didekatkan.” (Majmu’ Fatawa: 19/274)

Berkata Ibnu Qayyim rahimahullah
“Ahlul iman terkadang berbeda pendapat pada sebagian hukum yang tidak sampai mengeluarkan mereka dari iman.  Para Shahabat telah berbeda pendapat dalam banyak masalah-masalah hukum, padahal mereka adalah pimpinan mukminin dan umat yang paling sempurna keimanannya.  Hanya saja alhamdulillah mereka tidak sampai pecah dalam satu masalah yaitu dalam masalah Nama-nama, Sifat-sifat dan Perbuatan-perbuatan Allah.  Bahkan semuanya menetapkan apa yang tercantum di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah satu kata dari awal hingga akhir, mereka tidak bersikap buruk kepadanya dengan melakukan takwil, mereka tidak memalingkan dari makna yang semestinya dengan menggantinya, mereka tidak menampakkan sesuatu darinya dalam rangka membatalkan maknanya, mereka tidak membuat-buat permisalan-permisalan bagi makna-maknanya, mereka tidak menolak keberadaannya dan kemukjizatannya serta tidak seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa harus memalingkan dari hakikatnya dan membawa kepada majas (kiasan), bahkan mereka menyikapinya dengan menerima dan tunduk, mereka menerimanya dengan iman dan pengagungan dan mereka menjadikannya sebagai suatu perkara yang satu dan membiarkannya di atas satu sunnah.  Mereka tidak berbuat seperti yang diperbuat ahlul ahwa’ dan ahlul bida’ ketika mereka menjadikannya saling bertentangan, mereka menetapkan sebagian dan menolak sebagiannya tanpa didasari dalil yang jelas, padahal yang wajib bagi Allah atas mereka pada Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya yang mereka ingkari, sama wajibnya pada apa yang mereka tetapkan dan kuatkan.” (I’lamul Muwaqi’in: 1/49)

Berkata Asy-Syaikh Hammad Al-Anshary rahimahullah, 
Para Sahabat tidak berselisih dalam masalah aqidah selamanya, perselisihan hanya terjadi setelah mereka.”
(Kumpulan biografi Al-Allamah, Al-muhaddits Hammad Al-Anshary: 2/493 no.124)
 
Lajnah Daimah pernah ditanya: 
Apakah boleh mengatakan bahwa para Sahabat radhiyallahu anhum telah berselisih dalam masalah aqidah, seperti tentang apakah Nabi shallallahu alaihi was sallam melihat Rabb-nya pada malam Mi’raj, dan tentang apakah orang-orang mati itu bisa mendengar atau tidak, dan dia mengatakan ini adalah aqidah?
Jawab: “Aqidah Islamiyah alhamdulillah tidak ada padanya khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan Sahabat dan selain mereka dari orang-orang yang datang setelahnya dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka meyakini terhadap makna yang ditunjukkan di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, mereka tidak berbuat bid’ah yang datang dari diri-diri mereka sendiri atau dari akal-akal mereka, inilah yang menjadi sebab bersatunya dan sepakatnya mereka dalam satu aqidah dan satu manhaj sebagai pengamalan terhadap ayat:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقوا
“Berpegang teguhlah dengan tali Allah semuanya jangan bercerai berai.”  
Demikian Lajnah Daimah.

Dari 72 kelompok (firqah) menyimpang yang pernah disinyalir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Pada masa Ibnu Al-Mubarak rahimahullah (sekira 12 abad yang lalu) saja sudah sedemikian banyak (72 kelompok sempalan), apalagi di masa sekarang?! 
Bisa dibayangkan akibatnya bila para da’i (juru dakwah) tidak memahami gambaran ke-72 kelompok sempalan tersebut.  Mustahil mereka dapat menyelamatkan diri dan jamahnya kelak dari pertanyaan Allah ‘Azza wa Jalla!
Oleh karena itu, sudah semestinya setiap juru dakwah (da’i) mempelajari dan mengetahui ke-72 kelompok sempalan itu, terutama dari sisi Aqidah, Iman, Tauhid, dan tata-cara ibadah mereka.  Sebab, tanpa ilmu pengetahuan yang memadai tentang kelompok-kelompok sempalan tersebut, sulit bagi mereka  menjaga kemurnian Syari’at Islam yang senantiasa didakwahkan.
Dari sinilah terlihat pentingnya peran ‘ulama yang ahli dan mumpuni di bidang Ilmu Jarh wa Ta’dil (Kritikan dan Pujian) sebagai rujukan segala permasalahan, dan meluruskan kembali setiap penyimpangan yang terjadi.  Sehingga kemurnian Syari’at Islam dapat dijaga dengan baik, seperti yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabat.   
Jadi,  bila setiap da’i, juru dakwah berkenan menyelamatkan diri mereka dari Neraka Allah ‘Azza wa Jalla, hendaklah selalu mengacu pada pemahaman 3 (tiga) generasi terbaik Islam (Generasi Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut-tabi’in), serta  para ‘ulama Rabbani yang mengikuti jejak mereka dengan baik.

PERAN MUJADDID  
Setiap 100 (seratus) tahun sekali, Allah Subhanahu wa Ta’ala memunculkan seorang (beberapa) Mujaddid (Pembaru) dalam Agama-Nya, yang mengembalikan (meluruskan) setiap penyimpangan dan kesesatan yang terjadi (Makna al-hadits yang dikeluarkan Abu Daud).
Jadi, Pembaru yang dimaksud adalah orang yang mengembalikan (meluruskan kembali) Syari’at Islam kepada keadaan semula, bukan orang yang berkreasi dan merekayasa Syari’at Islam sesuai kepentingannya!
Salah seorang Mujaddid yang ditetapkan oleh para ‘ulama Ahli Hadits di abad ke-21 ini, adalah Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly hafizhahullah.
(Baca artikel, Biografi Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali)

KESIMPULAN
1. Hukum asal Dakwah Tauqifiyah tidaklah berkaitan dengan dana (uang).
Para 'ulama memberikan keringanan dengan membolehkan para juru dakwah (da'i) menerima uang sekedar transpor, akomodasi, dan kebutuhan pokok mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka dianjurkan memiliki pekerjaan (profesi) tersendiri sebagai sumber income.
2. Hendaklah memprioritaskan Tashfiyah (Pemurnian / meluruskan) syariat Islam dengan cara-cara yang hikmah, tidak menghasut (memprovokasi) jama'ah, tidak mengeluarkan kata-kata kotor, kasar, dan mencaci-maki manusia dalam Tarbiyah nya.
3. Sumber hukum utama dalam dakwah tauqifiyah adalah Al-Qur'an dan Sunnah, berdasarkan pemahaman Salafushshalih, dan Ijma' (kesepakatan) para Sabahat radhiyallahu 'anhuma.
Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah aqidah.
4. Pendirian yayasan diperbolehkan oleh sebagian 'ulama Ahlussunnah, selama AD / ART-nya tidak menyalahi aturan Syari'at.
5. Materi (konten) Dakwah Tauqifiyah lebih mengutamakan (mendahulukan) permasalahan Tauhid, Aqidah dan Manhaj. 
6. Karena Agama Islam diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla pertama kali di Negeri Arab kepada Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mungkin (dibenarkan) menisbatkan Islam pada Nusantara (Islam Nusantara).
(Baca artikel, MASALAH IMAN BUKAN MASALAH SELERA)
(
7. Karena Agama Islam telah sempurna, sejak diturunkannya surat Al-Maidah, ayat ke 3, maka tidaklah bijak mengkotak-kotakkan Islam dengan Islam Kuno (Islam Ortodok), Islam Radikal, Islam Moderen, Islam Nusantara, Islam garis keras – garis lunak, dan sebutan-sebutan lain yang membingungkan umat.  Dan, yang pasti akan merugikan Islam itu sendiri.  Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya tidak pernah menamakan Islam dengan sebutan-sebutan di atas.  Yang ada hanya Islam yang benar (lurus) berdasarkan pemahaman Salafush Shalih, dan Islam yang sesat (menyimpang) dari ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!
8. Untuk menjaga kemurnian pemahaman dan pengamalan Syari’at Islam, hendaklah setiap juru dakwah / da’i memperbaiki Manhaj (metode)nya dalam memahami Islam, dan senantiasa merujuk pada pemahaman 3 (tiga) generasi terbaik sepanjang sejarah (Generasi Sahabat, Generasi Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in).  Serta mengenal dengan baik 72 (tujuh puluh dua) kelompok sempalan Islam yang diancam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Neraka. Karena, menyelamatkan diri sendiri lebih utama daripada menyelamatkan orang lain (kelompok) dari Neraka Allah 'Azza wa Jalla.
9. Sunatulah yang pasti berlaku, bahwa setiap 100 (Seratus) tahun sekali, Allah Subhanahu wa Ta’ala memunculkan Mujaddid (Pembaru) yang akan mengkoreksi setiap penyimpangan, baik yang tampak dengan jelas maupun yang terselubung, guna mengembalikan Syari’at Islam pada kemurniannya.
10. Salah seorang Mujaddid yang direkomendasikan para ‘ulama Ahli Hadits masa kini (Abad ke-21, Milenium ke-3) adalah Asy-Syaikh Prof, DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah.

oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar