بسم الله الر حمان الر حيم
Metode dakwah Ahlussunnah wal Jamaah bersifat Tauqifiyah
(baku), artinya harus dilaksanakan sesuai ketentuan (batasan-batasan) Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang mengacu kepada metode dakwah Rasul-Nya - tidak keluar (menyimpang) dari aturan (batasan) yang digariskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Baik konten (materi dakwah), maupun sarana (cara) yang
ditempuh.
GAMBARAN UMUM
Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an (artinya),
“Aku tidak meminta upah kepadamu dalam
menyampaikan (Al-Qur’an). Al-Qur’an ini
tidak lain hanyalah peringatan untuk semua ummat.”
(QS. Al-An’am (6);
90), dan
“Katakanlah, ‘Aku tidak meminta upah sedikit
pun pada kalian dalam menyampaikan Risalah itu, melainkan (mengharapkan
kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan-nya.”
(QS. Al-Furqan (25); 57), dan
“...Hai kaumku, aku tidak meminta upah
kepadamu bagi seruanklu ini, upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang
telah menciptakanku. Maka tidakkah
kalian memikirkannya?”
(QS. Hud (11 );
51), dan
“Katakanlah hai Muhammad, ‘Aku tidak meminta
upah kepada kalian atas apa yang aku lakukan, kecuali kasih-sayang dalam kekeluargaan.”
(QS. Asy-Syuura (42); 23)
Hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Sesungguhnya ‘ulama adalah pewaris para
Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak
mewariskan dinar dan dirham.
Sungguh, mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambil
warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak.”
(HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dll.)
HONOR / UANG JASA?
Bedasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits di atas dapat
disimpulkan, bahwa hukum asal dakwah tauqifiyah tidak berkaitan dengan honor / tarif yang mesti dipenuhi oleh jama’ah yang mengharapkan pencerahan dari seorang
juru dakwah.
Mematok tarif / honor melebihi kewajaran, atau menjadikan syarat utama merupakan pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Seperti keengganan beberapa “pendakwah”
untuk memenuhi undangan jama’ah yang membayar di bawah tarif yang ditentukan.
Bagaimana
akan datang keikhlasan dari seorang da’i (juru dakwah) yang lebih mementingkan pamrih duniawi daripada balasan
ukhrawinya?
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Meskipun
para ‘ulama Ahlussunnah wal Jamaah tidak mengharamkan juru dakwah
menerima uang sekedar transport, akomodasi, dan kebutuhan pokoknya. Tetapi, mematok tarif (honor) tertentu jelas terlarang dan tabu untuk dilakukan.
Bahkan, di antara
para da’i ada yang menjadikan kegiatan dakwah sebagai ajang untuk memperkaya
diri (bermewah-mewahan) dan menjadikannya “income utama”.
Para ‘Ulama Rabbani, justru menyarankan agar juru dakwah / da’i memiliki pekerjaan (profesi) tersendiri guna memenuhi kebutuhan sekundernya, jangan mengandalkan hasil dakwah.
Seakan-akan
ada legitimasi, bahwa seorang juru dakwah / da’i kondang itu identik dengan
fasilitas yang mewah dan tarif yang tinggi. Jadi, semakin kondang seorang juru dakwah – semakin
mahal bayarannya, karena makin banyak umat yang menghadiri tausiyahnya. Kayak artis saja!?. “Na’uudzubillahi mindzaalika.”
Padahal,
kondang atau tidaknya seorang da’i tidak ada kaitannya dengan kebenaran (shahih) - tidaknya materi yang
disampaikan.
Seorang
‘ulama besar dari generasi terbaik Islam, Al-Imam Ibnu Al-Mubarak rahimahullah pernah berkata, “Orang-orang yang bodoh itu, adalah orang yang makan dengan Agamanya.”
CARA
PENYAMPAIAN DAKWAH
Penulis
mengutip perkataan Al-‘Allaamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah di dalam
kitab Buah Ilmu (dari Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah);
“’Dialah orang beriman yang merespon dakwah Allah, mengajak manusia
kepada dakwah Allah yang ia respon, dan mengerjakan amal shalih dengan merespon
dakwah-Nya. Dialah kekasih Allah dan wali-Nya.’
Tingkatan
dakwah kepada Allah adalah tingkatan tertinggi seorang hamba.
Allah Ta’ala telah berfirman (artinya),
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl; 125).
Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat tingkatan-tingkatan
dakwah sesuai dengan tingkatan-tingkatan makhluk;
·
Orang yang merespon, menerima, dan orang
cerdas yang tidak menentang dakwah, dan tidak cuek padanya didakwahi
dengan cara yang hikmah.
·
Orang yang menerima dakwah, namun
mempunyai sedikit sifat lupa diri dan lamban, didakwahi dengan pelajaran
yang baik.
·
Orang yang menentang dakwah, dan
menolaknya didebat dengan cara yang paling baik.
Itulah penafsiran yang benar tentang ayat di atas (An-Nahl; 125).
Seseorang tidak menjadi pengikut sejati Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam hingga ia berdakwah kepada apa yang Beliau dakwahkan.
Jika dakwah kepada Allah Ta’ala adalah tingkatan hamba
yang paling mulia, dan agung, maka tingkatan tersebut tidak bisa diperoleh kecuali
dengan Ilmu (yang shahih), dimana ia berdakwah dengannya dan kepadanya. Bahkan merupakan
kesempurnaan dakwah jika pelakunya telah berada di puncak Ilmu.”
Selesai kutipan.
Jadi, tidak ada “kamusnya”
seorang da’i (pendakwah) itu mengeluarkan kata-kata kotor / mencaci-maki manusia ketika berdakwah sampai kapan pun!
SUMBER
HUKUM
Seluruh kaum
Muslimin sepakat menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum utama
dalam Islam. Yang membedakan adalah Manhaj (Metode beragama), sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda terhadap keduanya sehingga memecah umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pemahaman yang benar harus mengacu pada 3 (tiga) generasi terbaik Islam sepanjang masa (Para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in).
Berkata Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah,
“Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan manusia berupa ushuluddin (pokok-pokok Agama) dan furu’ (cabang-cabang)nya – kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Karena sesungguhnya, di dalam keduanya terkandung jalan keluar bagi seluruh perkara yang diperselisihkan. Bisa jadi secara jelas (terperinci) di dalam keduanya, atau dengan keumumannya, atau isyarat, atau peringatan, atau pemahaman, atau keumuman makna yang serupa dengannya, dapat dikiaskan padanya. Karena sesungguhnya kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya adalah fondasi bangunan agama. Keimanan tidak akan lurus, kecuali dengan keduanya. Maka, mengembalikan (perkara yang diperselisihkan) kepada keduanya merupakan syarat keimanan.”
YAYASAN
Penggunaan
yayasan sebagai sarana (wasilah) dakwah masih menjadi pro-kontra di
antara para ‘ulama ahlussunnah wal jama’ah.
Tujuan utama dari pembentukan yayasan ini adalah untuk memudahkan kegiatan dakwah, penyediaan dan penggunaan sarana-prasarana. Disamping memperluas jangkauan, dan
pengelolaan keuangan yang transparan, serta akuntabilitas, selama tidak memiliki AD / ART yang bertentangan dengan aturan syaria’t.
Namun, tidak jarang kita saksikan yayasan yang seharusnya sebagai wasilah (sarana) dakwah tersebut justru dimanfaatkan / “disetir” oleh kelompok (hizbiyyah) tertentu selaku penyandang dana guna membela kepentingan kelompoknya,
sehingga mempengaruhi kemurnian dakwah (kebenaran) yang disampaikan, kelurusan Manhaj, serta keikhlasan para da’i dalam mengamalkannya.
MATERI
(KONTEN) DAKWAH
Ini
merupakan topik pembahasan yang sangat luas dan pelik.
Untuk
memudahkan pembahasan, kita bahas pokok-pokoknya saja.
Intinya,
para ‘ulama Ahlussunnah lebih
mementingkan (mendahulukan) persoalan Tauhid, Aqidah, dan Manhaj, dengan prioritas masalah Tashfiyah
(pemurnian, pembersihan dari segala bentuk penyimpangan / kesesatan), baru
kemudian Tarbiyyah (pendidikan, yang mengacu pada Ittiba’ur Rasul /
mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Salah
seorang Mujaddid Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah,
mengarang sebuah kitab, “Tauhid Awwalan, ya Du’at Al-Islam”,
yang membahas tentang pentingnya mendahulukan perkara Tauhid dalam berdakwah.
Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama Ahlussunnah tentang pokok-pokok (‘Ushul) Agama ini,
baik dari sisi Aqidah / Iman / Tauhid,
mereka hanya berbeda pada masalah fiqqiyyah, furu’
(cabang), itupun pada hal-hal yang
sangat rumit (isyarat dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy-Syaikh
‘Ubaid bin Abdullah bin Sulaiman Al-Jabiry, Asy-Syaikh Hammad Al-Anshary,
dan banyak ‘ulama lain).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
“Demikian pula masalah fiqih, terjadinya khilaf hanyalah ketika tersamarkan bagi mereka
penjelasan Pemilik Syariat, tetapi terjadinya perbedaan ini dalam perkara yang
sangat rumit. Adapun dalam perkara yang jelas maka tidak terjadi khilaf
padanya. Para Sahabat mereka berbeda pendapat pada sebagian hal itu (fikih
–ed), hanya saja mereka tidak berbeda
pendapat dalam masalah aqidah dan
pada masalah jalan menuju Allah yang dengannya seseorang bisa menjadi salah
satu wali Allah yang baik dan didekatkan.” (Majmu’ Fatawa: 19/274)
Berkata Ibnu Qayyim rahimahullah,
“Ahlul iman terkadang berbeda pendapat pada sebagian hukum yang tidak sampai
mengeluarkan mereka dari iman. Para Shahabat telah berbeda pendapat dalam
banyak masalah-masalah hukum, padahal mereka adalah pimpinan mukminin dan umat
yang paling sempurna keimanannya. Hanya saja alhamdulillah mereka
tidak sampai pecah dalam satu masalah yaitu dalam masalah Nama-nama, Sifat-sifat dan Perbuatan-perbuatan Allah. Bahkan semuanya menetapkan
apa yang tercantum di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah satu kata dari awal hingga akhir, mereka tidak bersikap buruk kepadanya dengan melakukan takwil,
mereka tidak memalingkan dari makna yang semestinya dengan menggantinya, mereka
tidak menampakkan sesuatu darinya dalam rangka membatalkan maknanya, mereka
tidak membuat-buat permisalan-permisalan bagi makna-maknanya, mereka tidak
menolak keberadaannya dan kemukjizatannya serta tidak seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa harus memalingkan dari hakikatnya dan membawa
kepada majas (kiasan), bahkan mereka menyikapinya dengan menerima
dan tunduk, mereka menerimanya dengan iman dan pengagungan dan mereka
menjadikannya sebagai suatu perkara yang satu dan membiarkannya di atas satu
sunnah. Mereka tidak berbuat seperti yang diperbuat ahlul
ahwa’ dan ahlul bida’ ketika mereka menjadikannya
saling bertentangan, mereka menetapkan sebagian dan menolak sebagiannya tanpa
didasari dalil yang jelas, padahal yang wajib bagi Allah atas mereka pada Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya yang mereka ingkari, sama wajibnya pada apa yang
mereka tetapkan dan kuatkan.” (I’lamul Muwaqi’in: 1/49)
Berkata Asy-Syaikh Hammad Al-Anshary rahimahullah,
“Para Sahabat tidak berselisih dalam
masalah aqidah selamanya, perselisihan
hanya terjadi setelah mereka.”
(Kumpulan biografi Al-Allamah, Al-muhaddits Hammad Al-Anshary: 2/493 no.124)
Lajnah Daimah pernah ditanya:
“Apakah boleh mengatakan bahwa para Sahabat radhiyallahu
anhum telah berselisih dalam masalah aqidah, seperti tentang apakah Nabi shallallahu alaihi was sallam melihat Rabb-nya
pada malam Mi’raj, dan tentang apakah orang-orang mati itu bisa
mendengar atau tidak, dan dia mengatakan ini adalah aqidah?
Jawab: “Aqidah
Islamiyah alhamdulillah tidak ada padanya khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan
Sahabat dan selain mereka dari orang-orang yang datang setelahnya dari Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, karena mereka
meyakini terhadap makna yang ditunjukkan di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah,
mereka tidak berbuat bid’ah yang datang dari diri-diri mereka
sendiri atau dari akal-akal mereka, inilah yang menjadi sebab bersatunya dan
sepakatnya mereka dalam satu aqidah dan satu manhaj sebagai pengamalan terhadap ayat:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقوا
“Berpegang teguhlah dengan tali Allah semuanya jangan bercerai berai.”
Demikian Lajnah Daimah.
Dari 72
kelompok (firqah) menyimpang yang pernah disinyalir Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Pada masa Ibnu Al-Mubarak rahimahullah (sekira 12 abad yang lalu) saja sudah sedemikian
banyak (72 kelompok sempalan), apalagi di masa sekarang?!
Bisa
dibayangkan akibatnya bila para da’i (juru dakwah) tidak memahami gambaran ke-72 kelompok sempalan tersebut. Mustahil mereka dapat menyelamatkan diri dan jamahnya kelak dari pertanyaan Allah ‘Azza wa
Jalla!
Oleh
karena itu, sudah semestinya setiap juru dakwah (da’i) mempelajari dan mengetahui ke-72 kelompok sempalan itu, terutama dari sisi Aqidah, Iman, Tauhid, dan tata-cara
ibadah mereka. Sebab, tanpa ilmu pengetahuan yang memadai tentang kelompok-kelompok
sempalan tersebut, sulit bagi mereka
menjaga kemurnian Syari’at Islam yang senantiasa didakwahkan.
Dari
sinilah terlihat pentingnya peran ‘ulama yang ahli dan mumpuni di bidang Ilmu Jarh wa
Ta’dil (Kritikan dan Pujian)
sebagai rujukan segala permasalahan, dan meluruskan kembali setiap
penyimpangan yang terjadi. Sehingga kemurnian Syari’at Islam dapat dijaga
dengan baik, seperti yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada para Sahabat.
Jadi, bila setiap da’i, juru dakwah berkenan
menyelamatkan diri mereka dari Neraka Allah ‘Azza wa Jalla, hendaklah selalu
mengacu pada pemahaman 3 (tiga) generasi terbaik Islam (Generasi Sahabat, Tabi’in, dan
Tabi’ut-tabi’in), serta para ‘ulama Rabbani
yang mengikuti jejak mereka dengan baik.
PERAN MUJADDID
Setiap 100 (seratus) tahun sekali, Allah Subhanahu wa Ta’ala memunculkan seorang (beberapa) Mujaddid (Pembaru) dalam Agama-Nya, yang mengembalikan
(meluruskan) setiap penyimpangan dan kesesatan yang terjadi (Makna al-hadits yang dikeluarkan Abu Daud).
Jadi, Pembaru yang dimaksud adalah orang yang mengembalikan (meluruskan kembali) Syari’at
Islam kepada keadaan semula, bukan orang yang berkreasi dan merekayasa Syari’at Islam sesuai kepentingannya!
Salah
seorang Mujaddid yang ditetapkan oleh para ‘ulama Ahli Hadits di abad
ke-21 ini, adalah Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly hafizhahullah.
(Baca
artikel, Biografi Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali)
KESIMPULAN
1. Hukum asal Dakwah Tauqifiyah tidaklah berkaitan dengan dana (uang).
Para 'ulama memberikan keringanan dengan membolehkan para juru dakwah (da'i) menerima uang sekedar transpor, akomodasi, dan kebutuhan pokok mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka dianjurkan memiliki pekerjaan (profesi) tersendiri sebagai sumber income.
2. Hendaklah memprioritaskan Tashfiyah (Pemurnian / meluruskan) syariat Islam dengan cara-cara yang hikmah, tidak menghasut (memprovokasi) jama'ah, tidak mengeluarkan kata-kata kotor, kasar, dan mencaci-maki manusia dalam Tarbiyah nya.
3. Sumber hukum utama dalam dakwah tauqifiyah adalah Al-Qur'an dan Sunnah, berdasarkan pemahaman Salafushshalih, dan Ijma' (kesepakatan) para Sabahat radhiyallahu 'anhuma.
Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah aqidah.
4. Pendirian yayasan diperbolehkan oleh sebagian 'ulama Ahlussunnah, selama AD / ART-nya tidak menyalahi aturan Syari'at.
5. Materi (konten) Dakwah Tauqifiyah lebih mengutamakan (mendahulukan) permasalahan Tauhid, Aqidah dan Manhaj.
6. Karena Agama Islam diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla pertama kali di Negeri Arab kepada Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mungkin (dibenarkan) menisbatkan Islam pada Nusantara (Islam Nusantara).
(Baca artikel, MASALAH IMAN BUKAN MASALAH SELERA)
(
7. Karena Agama
Islam telah sempurna, sejak diturunkannya surat Al-Maidah, ayat ke 3, maka tidaklah
bijak mengkotak-kotakkan Islam dengan Islam Kuno (Islam Ortodok), Islam Radikal, Islam
Moderen, Islam Nusantara, Islam garis keras – garis lunak, dan
sebutan-sebutan lain yang membingungkan umat. Dan, yang pasti akan merugikan Islam itu sendiri. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya tidak pernah menamakan Islam dengan sebutan-sebutan di atas. Yang ada hanya Islam yang benar (lurus) berdasarkan pemahaman Salafush
Shalih, dan Islam yang sesat (menyimpang) dari ajaran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam!
8. Untuk
menjaga kemurnian pemahaman dan pengamalan Syari’at Islam, hendaklah setiap
juru dakwah / da’i memperbaiki Manhaj (metode)nya dalam memahami Islam, dan
senantiasa merujuk pada pemahaman 3 (tiga) generasi terbaik sepanjang sejarah (Generasi
Sahabat, Generasi Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in). Serta mengenal dengan baik 72 (tujuh puluh dua) kelompok sempalan Islam yang diancam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Neraka. Karena, menyelamatkan diri sendiri lebih utama daripada menyelamatkan orang lain (kelompok) dari Neraka Allah 'Azza wa Jalla.
9. Sunatulah yang pasti berlaku, bahwa setiap 100 (Seratus) tahun sekali, Allah Subhanahu wa Ta’ala memunculkan Mujaddid
(Pembaru) yang akan mengkoreksi setiap penyimpangan, baik yang tampak dengan jelas maupun yang terselubung, guna mengembalikan Syari’at Islam pada
kemurniannya.
10. Salah seorang Mujaddid
yang direkomendasikan para ‘ulama Ahli Hadits masa kini (Abad ke-21, Milenium ke-3)
adalah Asy-Syaikh Prof, DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah.
oOo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar