بسم الله الر حمان الر حيم
Bermula dari
apa yang disebut Musim Semi Arab di tahun 2011, serangkaian aksi unjuk
rasa (“Demo Damai”) – anti pemerintah terjadi di beberapa Negara - kawasan
Timur Tengah, termasuk di Suriah.
Issue yang
diangkat adalah “Slogan Perubahan”, Demokrasi, pembebasan pemerintah dari thaghut,
penerapan hukum-hukum syari’at (Khilafah Islamiyah), hingga menuntut
pengunduran diri Kepala Pemerintahan Suriah.
Sebuah
konflik biasanya memang terlahir dari berbagai faktor (komplek) yang saling
kait-mengkait. Padahal, awalnya Negara
Suriah berada dalam harmonis kehidupan antar ummat beragama, dan berbagai
sekte.
Terlepas dari beberapa kelemahan pemerintahan Basyar
Al-Assad, Issue Agama Islam dari dulu memang merupakan topik yang empuk –
dan renyah bila “digoreng”, apalagi bila diberi bumbu-bumbu politik. Mereka
mempolitisir masjid-masjid sebagai basis perkumpulan dan pergerakan, yang lama
kelamaan berkembang dan menyulut terjadinya konflik besar / perang sipil.
Hingga memancing peran sejumlah Negara Adidaya, seperti Amerika Serikat, Rusia, Arab Saudi, Iran, Irak, Lebanon, hingga Al-Qaeda. Bagaikan
sejumlah burung bangkai yang mengerumuni mangsanya.
Belum lagi ratusan
gerombolan bersenjata yang menyerang Angkatan Bersenjata Pemerintah, hingga
dukungan militer, finansial, dan politik mengalir ke Suriah, bak minyak tanah
yang disemburkan ke dalam kobaran api. Memicu terjadinya perang besar, yang menimbulkan korban nyawa manusia lebih dari 470.000-an
orang, dan lebih dari satu juta korban luka-luka, dan 56.000-an orang hilang. Serta 11 juta-an pengungsi Suriah bertebaran
ke seluruh penjuru, akibat konflik kemanusiaan terbesar di abad ke 21 itu. Jumlah terbesar setelah Perang Dunia ke-II
(data UNHCR).
Sehingga,
kata “Neraka” yang digambarkan oleh Sekjen PBB, Antonio Guterres
tentu bukan sekedar ungkapan tanpa bukti.
Hujan Rudal dan Mortir yang terjadi di Ghouta Timur, menewaskan
sedikitnya 200 orang setiap minggu.
Di beberapa
tempat rezim Basyar Al-Assad memerangi kelompok ISIS, disamping pemberontak dan
kelompok-kelompok bersenjata KURDI yang
juga sibuk memerangi ISIS.
Singkat
kata, peribahasa Indonesia mengatakan “Yang menang jadi Arang, dan yang
kalah jadi Abu”, artinya kedua belah pihak yang terlibat konflik pasti
mengalami kerugian yang tak jauh berbeda ("11-12"), baik korban nyawa manusia,
luka-luka, kerugian harta benda, dan masa depan generasinya.
Bagi Rakyat dan Bangsa Indonesia, cukuplah pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, di Sumatera Barat tahun 1958, oleh Partai Sosialis Indonesia), PERMESTA (Perdjuangan Rakyat Semesta, yang digerakkan oleh pemimpin Sipil dan Militer, tahun 1957), DI-TII (Darul Islam – Tentara Islam Indonesia di Aceh, pada tahun 1953), dan gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia, tahun 1965) dan lain sebagainya, sebagai bagian sejarah kelam bangsa Indonesia. Jangan ditambah lagi dengan “Tragedi Suriah ke-2”, meskipun awalnya bermula dengan “DEMO - DAMAI”, akan tetapi berkesudahan dengan “ABU dan ARANG”!
(Baca juga artikel, TA'ATLAH KEPADA PEMIMPIN, JANGAN DEMO!)
Renungan
"...Dan siapa saja yang bermaksiat kepada seorang Pemimpin, maka ia telah bermaksiat kepadaku." (HR. Al-Bukhari no.7137; Muslim no.1835)
"...Dan siapa saja yang mati dalam keadaan tidak berbai'at (kepada Penguasanya), maka ia mati seperti mati jahiliyyah." (HR. Muslim no. 1851)
"...Seorang yang memisahkan diri dari kesatuan Kaum Muslimin, dan menentang Penguasanya - ia mati dalam keadaan bermaksiat." (HR. Ibnu Abi 'Ashim, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
oOo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar