Jumat, 21 Desember 2018

BELAJAR DARI TRAGEDI SURIAH (Negeri Syam)


بسم الله الر حمان الر حيم


Bermula dari apa yang disebut Musim Semi Arab di tahun 2011, serangkaian aksi unjuk rasa (“Demo Damai”) – anti pemerintah terjadi di beberapa Negara - kawasan Timur Tengah, termasuk di Suriah. 
Issue yang diangkat adalah “Slogan Perubahan”, Demokrasi, pembebasan pemerintah dari thaghut, penerapan hukum-hukum syari’at (Khilafah Islamiyah), hingga menuntut pengunduran diri Kepala Pemerintahan Suriah.
Sebuah konflik biasanya memang terlahir dari berbagai faktor (komplek) yang saling kait-mengkait.  Padahal, awalnya Negara Suriah berada dalam harmonis kehidupan antar ummat beragama, dan berbagai sekte.
 Terlepas dari beberapa kelemahan pemerintahan Basyar Al-Assad, Issue Agama Islam dari dulu memang merupakan topik yang empuk – dan renyah bila “digoreng”, apalagi bila diberi bumbu-bumbu politik.  Mereka mempolitisir masjid-masjid sebagai basis perkumpulan dan pergerakan, yang lama kelamaan berkembang dan menyulut terjadinya konflik besar / perang sipil.  
Hingga memancing peran sejumlah Negara Adidaya, seperti Amerika Serikat, Rusia, Arab Saudi, Iran, Irak, Lebanon, hingga Al-Qaeda.  Bagaikan sejumlah burung bangkai yang mengerumuni mangsanya.
Belum lagi ratusan gerombolan bersenjata yang menyerang Angkatan Bersenjata Pemerintah, hingga dukungan militer, finansial, dan politik mengalir ke Suriah, bak minyak tanah yang disemburkan ke dalam kobaran api. Memicu terjadinya  perang besar, yang menimbulkan korban nyawa manusia lebih dari 470.000-an orang, dan lebih dari satu juta korban luka-luka, dan 56.000-an orang hilang.  Serta 11 juta-an pengungsi Suriah bertebaran ke seluruh penjuru, akibat konflik kemanusiaan terbesar di abad ke 21 itu.  Jumlah terbesar setelah Perang Dunia ke-II (data UNHCR). 
Sehingga, kata “Neraka” yang digambarkan oleh Sekjen PBB, Antonio Guterres tentu bukan sekedar ungkapan tanpa bukti.  Hujan Rudal dan Mortir yang terjadi di Ghouta Timur, menewaskan sedikitnya 200 orang setiap minggu.
Di beberapa tempat rezim Basyar Al-Assad memerangi kelompok ISIS, disamping pemberontak dan kelompok-kelompok bersenjata KURDI  yang juga sibuk memerangi ISIS.
Singkat kata, peribahasa Indonesia mengatakan “Yang menang jadi Arang, dan yang kalah jadi Abu”, artinya kedua belah pihak yang terlibat konflik pasti mengalami kerugian yang tak jauh berbeda ("11-12"), baik korban nyawa manusia, luka-luka, kerugian harta benda, dan masa depan generasinya.

Bagi Rakyat dan Bangsa Indonesia, cukuplah pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, di Sumatera Barat tahun 1958, oleh Partai Sosialis Indonesia), PERMESTA (Perdjuangan Rakyat Semesta, yang digerakkan oleh pemimpin Sipil dan Militer, tahun 1957), DI-TII (Darul Islam – Tentara Islam Indonesia di Aceh, pada tahun 1953), dan  gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia, tahun 1965) dan lain sebagainya, sebagai bagian sejarah kelam bangsa Indonesia. Jangan ditambah lagi dengan “Tragedi Suriah ke-2”, meskipun awalnya bermula dengan “DEMO - DAMAI”, akan tetapi berkesudahan dengan “ABU dan ARANG”!
(Baca juga artikel, TA'ATLAH KEPADA PEMIMPIN, JANGAN DEMO!)

Renungan
"...Dan siapa saja yang bermaksiat kepada seorang Pemimpin, maka ia telah bermaksiat kepadaku."  (HR.  Al-Bukhari no.7137; Muslim no.1835)
"...Dan siapa saja yang mati dalam keadaan tidak berbai'at (kepada Penguasanya), maka ia mati seperti mati jahiliyyah."  (HR.  Muslim no. 1851)
"...Seorang yang memisahkan diri dari kesatuan Kaum Muslimin, dan menentang Penguasanya - ia mati dalam keadaan bermaksiat."  (HR.  Ibnu Abi 'Ashim, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani) 

oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar