Selasa, 29 Januari 2019

PERUMPAMAAN ORANG MUNAFIK SEPERTI ORANG YANG MENYALAKAN API DAN DITIMPA HUJAN



بسم الله الر حمان الر حيم

Begitu banyak peringatan (ayat-ayat) yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an pada orang-orang yang beriman, agar berhati-hati  dan tidak meniru sifat-sifat Nifak (Munafik).  Bahkan, Allah menurunkan sebuah surat khusus (Al-Munafiqun) di dalam Al-Qur’an, yang menerangkan tentang keadaan mereka yang penuh dengan kepalsuan dan kedustaan.
(Baca juga artikel; M U N A F I K)

Di antara firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang mereka (artinya),
"Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.  Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).  
(QS. Al-Baqarah;  17-18)
Allah mengumpamakan musuh-musuh-Nya, yaitu orang-orang munafik seperti sekumpulan orang yang menyalakan api sebagai penerang, mereka berharap agar bisa memanfaatkannya.  Ketika api itu menyala di sekeliling mereka - mereka dapat melihat dengan sinarnya apa-apa yang bermanfaat dan bermudharat baginya.  Mereka pun dapat melihat jalan (yang sebelumnya dalam keadaan bingung dan linglung).  Bagaikan sekumpulan musafir yang tersesat jalan, lalu mereka menyalakan api yang dapat menerangi jalan yang seharusnya mereka tempuh.  Ketika cahaya itu telah menyinari sekeliling mereka, dan mereka dapat melihat dan memandang – sekonyong-konyong cahaya itu padam, sehingga mereka berada dalam keadaan gelap gulita, dan tidak melihat apa-apa.  Tiga pintu petunjuk telah ditutup bagi mereka.  Sesungguhnya petunjuk itu masuk ke dalam diri hamba melalui 3 (tiga) pintu, yaitu dari apa yang didengar dengan telinga, apa yang dilihat dengan mata, dan apa yang dipikirkan dengan hati.[1]  Pintu-pintu petunjuk tersebut telah ditutup bagi mereka, sehingga hati mereka tidak bisa mendengar apa pun, tidak mampu melihat, dan juga tidak mampu memikirkan apa yang bermanfaat baginya.
Ada yang berpendapat, karena mereka tidak bisa mengambil manfaat dari pendengaran, penglihatan, dan hati mereka, maka mereka diperosotkan (disejajarkan) dengan kedudukan orang-orang yang tidak memiliki pendengaran, penglihatan, dan akal.  Dua pendapat ini saling mengkait.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mensifati mereka, “Maka tidaklah mereka akan kembali” .  Sebab tadinya mereka sudah dapat melihat dengan cahaya api, dan mereka sudah melihat petunjuk.  Ketika cahaya itu padam, maka mereka tidak bisa kembali seperti keadaan semula, dimana mereka dapat melihat dan memandang.
Firman-Nyaذهب الله بنورهم  / Dzahaba Allahu binuurihim  /  "Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka", dan tidak dikatakan,ذهب نورهم   Dzahaba  nuuruhum  /  "(Allah) hilangkan api mereka" , disini terkandung rahasia yang mengagumkan, yaitu terputusnya kebersamaan yang khusus, kebersamaan orang-orang mukmin bersama Allah yang tidak lagi mereka dapatkan.
Karena firman Allah (yang artinya),
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”  
(QS. Al-Baqarah;  153), dan
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa, dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”  
(QS. An-Nahl;  128)
Perbuatan Allah yang menghilangkan cahaya itu berarti pemutusan kebersamaan yang dikhususkan-Nya bagi para wali-Nya.  Allah memutuskan kebersamaan antara Diri-Nya dengan orang-orang munafik, sehingga tidak ada yang menyisa bagi mereka setelah dihilangkannya cahaya itu dan kebersamaan.  Maka, mereka tidak lagi mendapatkan bagian dari makna firman-Nya,
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.”  
(QS. At-Taubah;  40), dan tidak pula makna firman-Nya,
“Sekali-sekali tidak akan tersusul, sesungguhnya Rabb-ku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”  
(QS. Asy-Syu’ara;  62)
Perhatikan makna firman Allah, “Api itu menerangi sekelilingnya”, bagaimana Allah menjadikan cahaya api itu keluar secara berpencar?  Sekiranya cahaya api hanya mengenai dirinya dan samar-samar, tentu dia tidak akan bisa beranjak.  Tetapi yang terjadi (sebelumnya), cahaya itu berpencar mengelilingi, tidak samar-samar dan tidak pula kabur.  Lalu cahaya itu kembali ke asalnya dan kegelapan juga kembali ke asalnya.  Masing-masing kembali ke asalnya yang sesuai dengannya.  Hujjah dari Allah telah berlaku (tegak).  Ini merupakan hikmah yang agung, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berpikir dari hamba-hamba-Nya.
Perhatikan pula makna firman-Nya,
“Allah hilangkan cahaya mereka”, dan tidak dikatakan, “Api mereka”, untuk menyesuaikan dengan permulaan ayat.  Sebab api mengandung sifat menerangi dan juga sifat yang bisa membakar.  Allah menghilangkan sifat menerangi yang terkandung di dalamnya, yaitu cahaya, dan membiarkan sifat api yang bisa membakar (membinasakan).
Perhatikan pula kata, “Cahaya”, dan tidak dikatakan, “Sinar”, yang menyertai firman-Nya, “Menerangi (menyinari) sekelilingnya”.  Sebab sinar merupakan tambahan (pantulan) dari cahaya, seperti sinar bulan yang merupakan pantulan dari cahaya matahari.  Sekiranya Allah berfirman, “Allah hilangkan sinar mereka” , tentu akan menimbulkan persepsi (pengertian) bahwa yang dihilangkan-Nya hanya tambahannya saja, tanpa sifat asalnya.  Karena cahaya merupakan asal dari sinar, maka penghilangan cahaya berarti penghilangan sesuatu beserta tambahannya.
Hal ini juga lebih mantap dalam penafian cahaya itu dari mereka, dan bahwa mereka adalah orang-orang yang berada dalam kegelapan yang tidak memiliki cahaya.
Allah menamakan kitab-Nya dengan An-Nur (Cahaya), demikian pula dengan Rasul-Nya, Asma-Nya, dan Shalat, semua dinamakan cahaya (petunjuk / kehidupan yang hakiki).  Maka, perbuatan Allah yang menghilangkan cahaya berarti penghilangan semua itu dari mereka!
Perhatikan kesesuaian perumpamaan ini dengan makna ayat sebelumnya,
“Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka, dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”  
(QS. Al-Baqarah;  16)
Lihatlah kesesuaian perniagaan yang merugi ini, yang mendatangkan kesesatan serta keridhaan mereka terhadapnya, dengan disingkirkannya petunjuk untuk menghadirkan kebalikannya (kesesatan), dan kedatangan kegelapan sebagai wujud dari kesesatan dan keridhaan padanya, menggantikan cahaya yang merupakan petunjuk.  Dengan perkataan lain, mereka mengeluarkan petunjuk dan cahaya itu dan menggantinya dengan kesesatan dan kegelapan.  Sungguh, itu merupakan perniagaan yang amat merugi, dan “tepukan tangan” yang mengecoh.
Perhatikan firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dimana cahaya di sini merupakan kata tunggal (singular noun), lalu firman, “Dan membiarkan mereka dalam kegelapan”, dimana kegelapan di sini merupakan kata jama’ (plural nouns).  Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu Ash-Shiraat Al-Mustaqiim, yang tidak ada jalan lain yang dapat mengantarkan kepada-Nya.  Jalan ini ialah menyembah Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya, menurut cara yang disyariatkan lewat lisan Rasul-Nya, bukan menurut hawa nafsu, bid’ah, dan bukan pula melewati jalan orang-orang yang keluar dari apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, berupa petunjuk dan Agama (Syari’at yang haq), yang berbeda dengan jalan-jalan kebathilan yang banyak dan bercabang-cabang.  Karena itulah Allah menunggalkan kebenaran dan menjama'kan kebathilan.  Seperti yang difirmankan-Nya (artinya),
“Allah pelindung orang-orang yang beriman;  Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (keimanan).  Dan orang-orang yang kafir pelindung-pelindung mereka ialah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya (keimanan) kepada kegelapan (kekafiran).”  
(QS. Al-Baqarah;  257), dan
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.”  
(QS. Al-An’am;  153)
Allah menjama’kan jalan kebathilan, dan menunggalkan jalan kebenaran.  Hal itu sejalan (tidak bertentangan) dengan firman-Nya (artinya),
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan.”  
(QS. Al-Maidah;  16)
Jalan pada ayat di atas (Al-Maidah;  16) dijama’kan (plural nouns).  Itu adalah jalan-jalan keridhaan-Nya yang kemudian dihimpun ke jalan yang satu, yaitu jalan-Nya yang lurus.  Sebab, semua jalan keridhaan-Nya kembali ke satu jalan, yaitu jalan-Nya, dimana tiada satu jalan pun yang sampai kepada-Nya, kecuali melalui jalan ini.
Disebutkan dalam riwayat shahih Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau pernah menorehkan sebuah garis lurus, seraya bersabda, “Ini adalah jalan Allah”.  Kemudian Beliau membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya, seraya bersabda, “Ini adalah jalan-jalan.  Di atas setiap jalan itu ada syaithan yang menyeru kepadanya.”  Kemudian Beliau membaca ayat (artinya), “Dan (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.  Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.”  
(QS. Al-An’am;  153)
Ada yang berpendapat, yang demikian itu merupakan perumpamaan bagi orang-orang munafik, yang menyalakan api cobaan di tengah-tengah kaum muslimin.  Hal ini mirip dengan makna firman Allah Ta’ala,
“Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya.”  
(QS. Al-Maidah;  64)
Sehingga firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, senada dengan firman-Nya, “Allah memadamkannya”.  Kekecewaan dan kegagalan keinginan mereka adalah, bahwa mereka dibiarkan dalam kegelapan dan kebingungan, mereka tidak mendapatkan  petunjuk untuk melepaskan diri dari keadaan tersebut, mereka tidak lagi dapat melihat jalan, membedakan al-haq dan al-bathil, bahkan mereka tuli, bisu, dan buta!        
Pandangan ini (kalau itu memang benar) – sebagai maksud dari ayat ini perlu dipertimbangkan.  Sebab ditilik dari kontekstual kalimat, maksudnya lain, yang tidak sejalan dengan firman Allah, “Maka setelah api itu mengelilingi sekelilingnya”.  Nyala api peperangan sama sekali tidak bisa menerangi sekelilingnya.  Juga tidak pas (klop) dengan firman-Nya, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”.  Nyala api peperangan tidak ada cahayanya.  Juga tidak pas (klop) dengan firman-Nya, “Dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.”  Hal ini dapat menimbulkan pemahaman, bahwa mereka beralih dari cahaya ma’rifat dan bashirah kepada kegelapan, keragu-raguan, dan kufur.  Menurut Al-Hasan, yang dimaksud adalah orang-orang munafik, yang melihat kemudian buta (secara tiba-tiba), yang mengetahui kemudian mengingkari.  Karena itulah dikatakan, “Maka tidaklah mereka akan kembali”, artinya mereka tidak kembali kepada cahaya yang sebelumnya mereka tinggalkan.  Allah berfirman tentang orang-orang kafir, “Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti  
(QS. Al-Baqarah;  171).  
Dicabutnya akal dari orang-orang kafir, karena mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki bashirah dan iman.  Sementara pencabutan dari orang-orang munafik, ialah tidak bisa kembali, karena mereka (sebelumnya beriman) kemudian kufur, sehingga mereka tidak bisa kembali ke iman lagi.  Dua hal yang jelas perbedaannya.
Kemudian Allah membuat perumpamaan lain yang berunsur air (hujan) bagi orang-orang munafik;
“Atau seperti orang-orang yang ditimpa hujan yang lebat dari langit, disertai gelap-gulita, guruh, dan kilat;  mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati.  Dan Allah meliputi (mengepung) orang-orang kafir.”  
(QS. Al-Baqarah;  19)
Allah menyerupakan keadaan orang-orang munafik dalam menyikapi cahaya dan kehidupan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, layaknya orang yang menyalakan api, kemudian api itu padam, padahal dia justru lebih membutuhkan api itu dari keadaan sebelumnya.  Cahayanya padam dan dia berada dalam kegelapan, kebingungan, dan linglung, tidak bisa melihat jalan, dan tidak mengetahui rute perjalanan.  Allah juga menyerupakan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan, yang turun secara deras.  Allah mengumpamakan petunjuk yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya dengan hujan.  Sebab hati bisa hidup dengan petunjuk itu seperti halnya tanah yang bisa hidup dengan air.  Allah mengumpamakan sikap orang-orang munafik terhadap petunjuk dengan keadaan orang yang tidak mendapatkan dari hujan itu selain dari kegelapan, guruh yang memekakkan telinga, dan kilat, sehingga tidak ada hasil apa pun yang diperoleh dari semua itu dari (sunnatullah) hujan, seperti kehidupan bagi tanah, manusia, pepohonan, dan berbagai jenis binatang.  Kegelapan yang menyertai hujan, guruh, dan kilat dimaksudkan untuk sesuatu yang lain, yaitu sebagai sarana untuk penyempurnaan manfaat hujan itu.
Orang bodoh tentu tidak bisa menangkap apa yang terkandung dalam kegelapan, guruh, dan kilat, serta keadaan yang menyertainya, seperti hawa dingin, penundaan perjalanan bagi para musafir, dan penghentian pekerjaan bagi pekerja.  Dia tidak akan memiliki pengetahuan yang memungkinkannya menangkap makna dari masalah (sunnatullah) tentang hujan itu, berupa kehidupan dan manfaat secara umum.  Memang begitulah keadaan orang yang terbatas pandangannya, dan lemah akalnya.  Pandangannya hanya tertuju pada masalah yang tidak disenangi saja, dan yang kasat mata, sehingga tidak melihat apa yang disenangi dibalik semua itu.  Inilah keadaan mayoritas manusia, kecuali orang-orang yang memiliki bashirah.  Jika orang yang lemah bashirahnya melihat keletihan, kepayahan, kesulitan, kematian, dan luka dalam jihad, melihat celaan orang yang suka mencela, dan penentangan orang yang takut, tentu dia tak mau bergabung dalam jihad, karena dia tidak mampu melihat akibat yang terpuji di balik jihad, dan tujuan-tujuan yang diinginkan orang-orang yang suka berkompetisi.  Mereka saling berlomba dan berkompetisi untuk mendapatkan tujuan-tujuan itu.  Begitu pula tujuan orang-orang yang hendak pergi menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram, yang tidak melihat dari perjalanannya itu selain dari kesulitan dalam perjalanan, harus berpisah dengan keluarga dan meninggalkan tempat kelahiran, harus menghadapi berbagai kesusahan, meninggalkan hal-hal yang disukai.  Pandangannya tidak menangkap kesudahan dari perjalanan itu, dan akibatnya yang baik.  Akhirnya dia batal pergi dan tidak lagi berhasrat menunaikan haji.
Inilah keadaan orang-orang yang lemah bashirah dan imannya, yang hanya melihat ancaman dan peringatan yang ada di dalam Al-Qur’an, larangan, dan hardikan, perintah-perintah yang berat bagi jiwa, yang mencegahnya dari hal-hal yang disukai, yang menyapihnya dari air susu dan syahwat, seperti anak kecil yang berat untuk disapih.  Sementara semua akal manusia seperti anak kecil, kecuali orang-orang yang sudah beranjak dewasa akalnya dan berpikir, yang mengetahui kebenaran dari ilmu, amal, dan ma’rifat, yang mampu melihat apa yang ada di balik hujan, berupa guruh, dan kilat, serta petir, yang mengetahui bahwa semua itu merupakan bagian dari kehidupan alam (sunnatullah).

Ada seseorang yang berkata di hadapan Az-Zamakhsyari [seorang cendikiawan Muslim Iran, berpaham (manhaj menyimpang, Mu'tazilah / Rasionalis).  Hidup sekitar Thn. 1073 - 1143 M], bahwa dia menyerupakan Islam dengan hujan.  Sebab hati manusia dapat hidup dengannya seperti tanah yang bisa hidup dengan air hujan.  Dia juga menyerupakan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti penyerupaan kufur dengan kegelapan.  Peringatan dan ancaman dengan guruh, dan kilat, serta keadaan yang menimpa orang-orang kafir, menyerupakan ketakutan akan ditimpa bencana dan cobaan dari kaum muslimin dengan suara petir.  Artinya seperti orang yang ditimpa hujan lebat.  Dengan kata lain, seperti orang yang ditimpa “langit” berdasarkan sifat ini, sehingga mereka menerima akibat sebagaimana layaknya.
Maka Az-Zamakhsyari berkata menanggapi perkataan orang itu, “Yang benar menurut para pakar Ilmu Bayan, dan tidak lebih dari makna ini, bahwa dua perumpamaan ini ditilik dari tamsil-tamsil yang saling terangkum tanpa pemisahan, antara yang satu dengan yang lainnya tidak saling menanggung menurut kadar keserupaan di dalam tamsil itu.
Penjelasan dari pendapat yang cukup berani ini ialah, bahwa bangsa Arab biasa memahami berbagai hal secara sendiri-sendiri, sebagian terpisah dari sebagian yang lain, tidak memahami yang ini menurut ikatan yang itu.  Maka penyerupaannya dengan hal lain yang sebanding seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an, berupa penyerupaan keadaan dari himpunan beberapa hal, bisa menciptakan kohesi (keterpaduan) dan kombinasi, sehingga antara satu hal dengan lainnya yang semisal menjadi seperti satu, seperti makna firman Allah,
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.”  (Al-Jumu’ah;  5)
Maksudnya ialah, menyerupakan keadaan orang-orang Yahudi yang tidak mengetahui kandungan Taurat di tangan mereka, dan ayat-ayatnya yang nyata, dengan keadaan keledai yang bodoh tentang beban yang dipikul (dibawa)nya, berupa kitab-kitab yang tebal penuh (sarat) hikmah.  Dua keadaan ini sama saja bagi keledai, apakah dia memikul kitab-kitab hikmah, ataukah memikul beban selain kitab-kitab hikmah.  Sementara dia tidak merasakan dari hal itu selain dari payah dan letih yang bertambah-tambah.  Begitu pula makna firman-Nya,
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin.”  
(QS. Al-Kahfi;  45)
Dengan perkataan lain, minimnya kekekalan gemerlap dunia, seperti minimnya kekekalan tumbuh-tumbuhan itu.  Jika yang dimaksudkan adalah penyerupaan individu dengan individu, tanpa memaksudkannya sebagai suatu bagian dari bagian yang lain, dan menjadikannya sesuatu yang satu, maka hal ini tidak bisa diterima, karena di sini ada penggambaran keadaan orang-orang munafik dalam kesesatannya, keadaan mereka yang bingung dan kaget, lalu kebingungan dan kekalutan mereka diserupakan dengan orang yang menyalakan api di tengah kegelapan malam, kemudian cahayanya padam.  Begitu pula keadaan orang yang berada di bawah langit pada malam yang gelap gulita, yang disertai guruh dan kilat, yang ketakutan karena petir yang menyambar-nyambar.
Az-Zamakhsyari berkata, “Jika kau tanyakan mana yang lebih mantab dari dua perumpamaan ini?  Saya jawab, yang kedua.  Karena keadaan ini lebih pas untuk menggambarkan kebingungan dan kekalutan.  Begitu pula orang-orang yang terlibat di dalamnya juga mengalami peningkatan dari keadaan yang mudah kepada keadaan yang lebih sulit.”

Dua perumpamaan ini mengandung banyak hikmah yang agung, diantaranya;
Pertama;  Orang yang mencari penerangan dengan api berarti mencari penerangan dengan cahaya yang datang dari arah selain dirinya, bukan dari dirinya sendiri.  Jika api itu lenyap, maka dia berada dalam kegelapan.  Ketika orang munafik membuat pernyataan dengan lisannya tanpa disertai keyakinan dan cinta dengan hatinya, serta pembenaran yang kuat, maka cahaya yang dimilikinya seperti barang pinjaman (tidak menetap di dalam hati).
Kedua;  Sinar api memerlukan materi lain untuk menunjang kelangsungannya (mis. Oksigen / bahan bakar).  Materi sinar itu tak ubahnya makanan bagi hewan.  Begitu pula cahaya iman yang memerlukan materi lain seperti ilmu yang bermanfaat, dan amal shalih, yang harus senantiasa dilaksanakan, dan dijaga kelangsungannya agar iman bisa tumbuh dan berkembang.  Jika materi iman tidak ada, maka iman itu akan padam sebagaimana api yang bisa padam karena kehilangan materi (bahan bakarnya).
Ketiga;  Kegelapan itu ada 2 (dua) macam:  * Kegelapan yang berkelanjutan, yang sama sekali tidak ada cahayanya, dan  * Kegelapan yang terjadi setelah adanya cahaya.  Yang kedua ini terasa lebih gelap dan lebih menyiksa.  Kegelapan orang-orang munafik adalah kegelapan setelah adanya cahaya.  Keadaannya diserupakan dengan keadaan orang yang menyalakan api, lalu dia berada dalam suatu kegelapan setelah ada sinar.  Sedangkan orang-orang kafir berada dalam berbagai kegelapan, dan mereka sama sekali tidak bisa keluar darinya.
Keempat;  Di dalam perumpamaan ini terkandung pemberitahuan dan peringatan tentang keadaan mereka (nanti) di akhirat, bahwa mereka diberi cahaya yang nyata, seperti cahaya yang diberikan kepada mereka di dunia.  Kemudian cahaya itu dipadamkan, padahal mereka sangat memerlukannya, karena tidak ada materi yang membuat cahaya itu tetap bertahan (menyala).  Mereka berada dalam kegelapan di atas jembatan (“Ash-Shirat”), dan tidak bisa menyeberang.  Sebab tidak mungkin seseorang dapat menyeberanginya kecuali dengan cahaya yang kuat yang menyertainya, hingga dia bisa melewati jembatan itu.  Cahaya itu memerlukan materi berupa ilmu yang bermanfaat, dan amal shalih.  Jika tidak, Allah akan menghilangkan cahaya yang justru lebih ia butuhkan dari keadaan sebelumnya (di dunia).  Perumpamaan keadaan mereka di dunia mirip dengan keadaan mereka di Akhirat, ketika cahaya itu dibagi-bagikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Dari sini dapat diketahui rahasia dari firman Allah yang terkandung dalam ayat, ذهب الله بنورهم  / Dzahaba Allahu binuurihim, dan tidak dikatakan, اذهب الله نورهم / Adzhaba Allahu nuurahum.
Jika engkau ingin mendapatkan tambahan penjelasan dan keterangan, perhatikan riwayat Muslim dalam Shahih-nya, dari hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, ketika dia ditanya tentang saat kembali.  Maka dia menjawab, “Kita datang pada Hari Kiamat di atas permukaan tanah yang lebih tinggi dari manusia.”  Dia berkata, “Berbagai umat dipanggil dengan berhala-berhalanya, dan apa yang mereka jadikan sesembahan.  Yang awal, kemudian disusul yang berikutnya.  Kemudian Rabb kita mendatangi kita setelah itu, seraya bertanya, “Siapakah yang kalian tunggu?”
Mereka menjawab, “Kami menunggu Rabb kami.”
Dia berfirman, “Aku adalah Rabb kalian.”
Mereka berkata, “Kami tetap menunggu Engkau.”
Maka Allah menampakkan Diri di hadapan mereka sambil tersenyum.  Maka Allah bertolak bersama mereka dan mereka pun mengikuti-Nya.  Setiap orang di antara mereka, yang munafik maupun yang mukmin diberi cahaya lalu mereka mengikutinya.  Di atas Jahannam ada Kalalib (besi yang bengkok ujungnya), dan duri yang mengenai siapa pun yang dikehendaki Allah.  Kemudian cahaya orang-orang munafik padam, sedangkan orang-orang mukmin selamat (tetap).  Kelompok yang pertama selamat wajah mereka seperti rembulan saat malam purnama.  Mereka berjumlah 70.000 orang tanpa hisab.  Kemudian menyusul yang berikutnya seperti sinar bintang di langit.  Kemudian menyusul yang semisal dengan itu.  Kemudian diperkenankan syafa'at dan mereka pun diberi syafa'at, hingga siapa pun yang mengucapkan laa ilaaha illallah keluar dari Neraka, meskipun di dalam hatinya hanya ada kebaikan seberat biji gandum.  Mereka diletakkan di Serambi Surga.  Para penghuni Surga memercikkan air pada mereka.”  Lalu dia menyebutkan kelanjutan hadits ini.
Perhatikan perkataan, “Maka Allah bertolak bersama mereka dan merekapun mengikuti-Nya.  Setiap orang di antara mereka, yang munafik maupun yang mukmin diberi cahaya”.  Setelah itu perhatikan firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”.  Perhatikan keadaan mereka ketika cahaya itu dipadamkan, lalu mereka berada dalam kegelapan.  Sementara orang-orang mukmin pergi dengan cahaya iman mereka, dan mereka mengikuti Allah ‘Azza wa Jalla.
Perhatikan pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Agar setiap umat mengikuti apa yang mereka sembah.  Maka setiap orang musyrik mengikuti sesembahan yang disembahnya.”  Orang-orang yang mengesakan Allah berhak mengikuti Allah Yang Mahabenar, yang menganggap semua sesembahan selain-Nya adalah bathil.
Perhatikan makna firman Allah berikut,
“Pada hari Betis disingkapkan, dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa (mampu).”  
(QS. Al-Qalam;  42)
Ayat ini disebutkan dalam hadits tentang syafa'at, yang juga berkaitan dengan masalah ini.  Apa yang disebutkan di dalam hadits, “Lalu Betis-Nya disingkap”, menjelaskan maksud Betis pada ayat di atas.
Kemudian perhatikan kepergian Allah beserta orang-orang mukmin yang mengikuti-Nya setelah itu.  Hal ini akan membukakan pintu rahasia-rahasia Tauhid bagimu, pemahaman Al-Qur’an dan perlakuan Allah terhadap Ahli Tauhid yang menyembah-Nya semata, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.  Perlakuan yang berbeda diberikan kepada orang-orang musyrik dan munafik, dimana setiap ummat pergi bersama sesembahannya masing-masing, yang pergi ke Neraka dan mereka mengikutinya.  Sesembahan Yang Mahabesar pergi dan diikuti para wali-Nya dan orang-orang yang menyembah-Nya.  Mahasuci Allah Rabb semesta Alam.  Hati Ahli Tauhid merasa senang (tenang) di dunia dan di akhirat, dan mereka berbeda dengan manusia lain dalam masalah Tauhid ini, padahal mereka (orang lain tersebut) sangat membutuhkannya.
(Baca juga artikel; HAKIKAT TAUHID, dan TAUHIDULLAH)
Kelima;  Perumpamaan yang pertama mengandung akibat kegelapan, yaitu berupa kesesatan dan kebingungan, kebalikan dari petunjuk.  Sedangkan perumpamaan yang kedua mengandung akibat rasa takut, kebalikan dari rasa aman, tanpa rasa aman dan petunjuk.  Firman Allah (artinya),
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”  
(QS. Al-An’am;  82)
Ibnu Abbas dan yang lainnya dari kalangan Salaf berkata, “Perumpamaan diri mereka dalam kemunafikannya seperti orang yang menyalakan api pada malam yang gelap-gulita di tengah padang yang luas, lalu ada sinar dan dia pun dapat melihat sekelilingnya, sehingga dia dapat menghindari apa yang ditakutkannya.  Selagi dia dalam keadaan seperti itu - tiba-tiba api itu padam, sehingga dia berada di dalam kegelapan, dalam keadaan takut dan bingung.  Begitu pula keadaan orang-orang munafik yang menampakkan kata-kata iman, sehingga harta dan anak-anak mereka aman, mereka dapat saling menikah dengan orang-orang mukmin dan saling mewarisi dan saling membagi harta rampasan perang.  Itulah cahaya mereka.  Jika mereka meninggal dunia, mereka kembali kepada kegelapan dan ketakutan.”
Menurut Mujahid, sinar yang menimpa mereka adalah kembalinya mereka kepada orang-orang mukmin dan petunjuk, sedangkan hilangnya cahaya mereka, ialah kembalinya mereka kepada orang-orang musyrik dan kesesatan.  Sinar dan hilangnya cahaya itu ditafsiri sebagai sinar dan cahaya di dunia.  Ada pula yang menafsirinya di alam Barzakh dan ada yang menafsirinya pada hari Kiamat.  Yang benar, hal itu terjadi di 3 (tiga) Alam.  Karena mereka mengalaminya di dunia, maka keadaan ini berlanjut di Barzakh, dan di Akhirat.  Ini merupakan balasan yang pas buat mereka, dan Allah tidak berbuat zhalim terhadap hamba-Nya.  Yang disebut معاد / ma’ad, ialah kembalinya apa yang dilakukan hamba di dunia kepada dirinya sendiri di akhirat, yang juga disebut yaumul jaza’ (hari pembalasan).  Seperti makna firman-Nya,
“Dan barangsiapa yang buta (mata hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (lagi), dan tersesat dari jalan (yang benar).”  
(QS. Al-Isra’;  72), dan
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.”  
(QS. Maryam;  76)
Siapa yang takut untuk mendurhakai Allah di dunia ini, maka ketakutannya kepada Allah di Barzakh dan pada hari Kiamat lebih besar lagi.  Siapa yang hatinya senang (tenang) di dunia, maka hatinya pun senang (tenang) pada saat meninggal, pada hari Kebangkitan, dan pada hari Kiamat.  Hamba meninggal menurut keadaan hidupnya, dan dia dibangkitkan menurut keadaan saat meninggal.
Amalnya akan kembali kepadanya, sehingga ia akan mendapatkan kenikmatan lahir dan bathin, yang menghasilkan ketenangan, kegembiraan, kenikmatan, kesenangan hati, dan kelapangan hidup, yang merupakan kenikmatan yang paling nyata dan paling baik.  Adakah kenikmatan yang mengalahkan ketenangan jiwa?, kesenangan hati, dan kegembiraannya?
Di samping itu semua, dari amal-amalnya itu muncul apa yang diinginkan jiwanya, dan dia mendapatkan apa pun yang disenangi jiwa dan digemari hati.  Jenis kesenangan, kesempurnaan, dan apa yang didapatkannya - tergantung pada kesempurnaan amal dan keikhlasannya, dimana pencapaiannya ke tingkat kebaikan tergantung juga dari keragaman amal.  Siapa yang memiliki keragaman amal yang dicintai dan diridhai Allah di dunia ini, maka bagian-bagian yang dinikmatinya di Akhirat juga lebih beragam, yang banyaknya tergantung pada banyaknya amal di dunia.  Kenikmatannya tergantung pada tambahan amal, dan yang diikuti (jadi panutan) di dunia.
Allah telah menjadikan pengaruh dan balasan bagi setiap amal yang dicintai-Nya dan yang dibenci-Nya.  Pengaruh dan balasannya di Akhirat tidak bisa diserupakan.  Karena itulah kesenangan para penghuni Surga beraneka ragam, dan penderitaan para penghuni Neraka juga beraneka macam.  Kebaikan dan siksaan di akhirat bermacam-macam dan beragam-ragam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengisyaratkan, bahwa kesempurnaan kenikmatan yang dirasakan hamba di akhirat bergantung pada kesempurnaan amal yang serupa yang dilakukan di dunia.  Suatu kali Beliau pernah melihat satu tandan yang digantung di masjid sebagai shadaqah.  Maka Beliau bersabda, “Orang yang memiliki tandan ini makan korma yang paling jelek di hari Kiamat.”  Beliau mengabarkan bahwa balasannya adalah dari jenis amalnya,  Shadaqah itu akan dibalasi dengan balasan yang sejenis, yaitu korma yang jelek.
Pintu ini membuka beberapa pintu yang  lebih besar untuk memahami hari pembalasan, dimana keadaan manusia pada waktu itu berbeda-beda, begitu pula apa yang terjadi di sana.
Allah berfirman ذهب الله بنورهم   / Dzahaba Allahu binuurihim (Allah menghilangkan cahaya mereka), dan tidak dikatakan,  بنارهم/ Binaarihim (api mereka), sebab api memiliki sifat membakar dan menerangi.  Allah menghilangkan sifat api yang mengandung cahaya dan menyinari, dan membiarkan sifat api yang membakar dan menyiksa.  Begitu pula keradaan orang-orang munafik.  Cahaya iman mereka lenyap karena kemunafikan yang ada di hati mereka, yang tersisa adalah panasnya kekufuran, keragu-raguan dan kebimbangan yang menggelegak di dalam hati mereka, sebagaimana lautan hati mereka yang dipenuhi racun dan gelombang yang bergelora di dunia.  Maka Allah mengobarkan pula api yang menjilat-jilat di akhirat yang membakar hati mereka.
Inilah perumpamaan orang-orang yang tidak mendapatkan cahaya iman di dunia.  Bahkan cahaya iman itu keluar dan meninggalkannya, setelah cahaya itu menyinarinya.  Yang demikian itu merupakan keadaan orang-orang munafik, yang mengetahui lalu mengingkari, yang mengakui kemudian membangkang, sehingga dia berada dalam berbagai kegelapan, dalam keadaan bisu, tuli, dan buta, sebagaimana firman Allah tentang “saudara” mereka dari kalangan orang-orang kafir,
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, bisu, dan berada dalam gelap-gulita.”  
(QS. Al-An’am;  39)
“Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja.  Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak  mengerti.”  
(QS. Al-Baqarah;  171)
Allah menyerupakan keadaan orang-orang munafik tentang keluarnya mereka dari cahaya, setelah mereka disinari cahaya itu, seperti keadaan orang yang menyalakan api.  Hilangnya cahaya itu setelah menyinari sekelilingnya.  Sebab orang-orang munafik itu hidup di tengah-tengah kaum muslimin, Shalat bersama mereka, Puasa, Mendengarkan Al-Qur’an, Terlibat dalam pengibaran panji-panji Islam bersama mereka.  Mereka menyaksikan cahaya itu dengan mata-kepala sendiri, karena itu Allah berfirman tentang mereka, “Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).”  Sebab mereka meninggalkan Islam setelah bercampur dengannya, dan mencari cahaya darinya.  Mereka tidak akan kembali ke Islam (yang benar / lurus).  Sementara tentang orang-orang kafir Allah berfirman, “Maka (oleh sebab itu)  mereka tidak mengerti.”  Sebab, mereka memang tidak memikirkan Islam, tidak pernah masuk ke dalam Islam, dan tidak mencari cahaya darinya, sehingga mereka selalu berada dalam kegelapan-kegelapan kufur, dalam keadaan bisu, tuli, dan buta.
Mahasuci Allah yang telah menjadikan kalam-Nya sebagai obat penawar bagi dada, yang menyeru kepada hakikat-hakikat iman, yang mengajak kepada kehidupan abadi, dan kenikmatan yang kekal, serta ke arah petunjuk.  Penyeru iman bisa memperdengarkan pada telinga yang sadar.  Nasihat-nasihat Al-Qur’an bisa menyembuhkan hati yang kosong (sakit).  Tetapi di sana ada angin syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran) dan syahwat yang bertiup ke dalam hati, sehingga pelitanya menjadi padam.  Di sana ada tangan-tangan kelalaian dan kebodohan yang terjulur sehingga menutup pintu petunjuk dan melenyapkan kuncinya.  Karena itu tidak berguna perkataan (nasihat) di dalamnya, karena hati itu mabuk oleh syahwat kesesatan, dan syubhat kebathilan.  Ia telah mati di lautan kebodohan dan kelalaian, tertawan oleh hawa nafsu dan syahwat.  Lalu, apalah artinya luka bagi jasad yang telah mati?[2]
Adapun tuli dan bisu dalam firman Allah, “Tuli, bisu, dan buta.” , dan firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Neraka Jahannam kebanyakan dari Jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).  Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi (dari binatang ternak itu),  Mereka itulah orang-orang yang lalai.”  
(QS. Al-A’raf;  179).  Begitu pula makna firman-Nya,
“Dan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka.  Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”  
(QS. Fushilat;  44)    Ibnu Abbas berkata, “Artinya di telinga mereka ada sumbatan sehingga mereka tidak bisa mendengar Al-Qur’an.  Al-Qur’an ini membuat mereka buta.  Allah membutakan hati mereka sehingga mereka tidak bisa memahami.  Mereka dipanggil dari tempat yang jauh, seperti binatang ternak yang tidak bisa memahami kecuali seruan (suara) dan panggilan yang tidak memiliki makna.
Menurut Mujahid, Al-Qur’an itu jauh dari hati mereka.  Menurut Al-Farra’, engkau bisa mengatakan kepada orang yang tidak paham, “Engkau dipanggil dari tempat yang jauh.”  Masih menurut dia, disebutkan dalam tafsir, seakan-akan mereka dipanggil dari langit, sehingga mereka tidak mendengarnya.
Maknanya mereka tidak mendengar dan tidak paham, seperti orang yang dipanggil dari tempat yang jauh, yang tidak mendengar dan tidak paham (kecuali hanya mendengar bunyi-bunyian yang tidak bermakna).
Firman Allah  صم بكم عمي  / Shummun bukmun ‘umyun, bahwa  البكم / Albukm adalah jama’ dari  ابكم / Abkam, yaitu orang yang tidak bisa berbicara alias bisu.
البكم   /  Al-Bakam (kebisuan) ada dua macam;  * Kebisuan hati, dan * Kebisuan lisan, sebagaimana pembicaraan juga ada dua macam;  *Pembicaraan hati, dan  *Pembicaraan lisan.  Yang lebih parah di antara keduanya adalah kebisuan hati, sebagaimana halnya ketulian dan kebutaan hati juga lebih parah daripada ketulian telinga dan kebutaan mata.
Allah mensifati mereka, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memahami kebenaran, dan lisan mereka tidak bisa mengucapkan kebenaran.  Ilmu dapat masuk dari tiga pintu;  Pendengaran, Penglihatan, dan Hati.  Ketiga pintu ini tertutup atas diri mereka.  Pendengaran tertutup oleh ketulian, penglihatan tertutup oleh kebutaan, dan hati tertutup oleh kebisuan. 
Allah telah menghimpun 3 (tiga) pintu ini dalam makna firman-Nya,
“Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun juga bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah.”  
(QS. Al-Ahqaf;  26)
Jika Allah hendak memberikan petunjuk pada seorang hamba, maka Dia akan membukakan hati, pendengaran, dan penglihatannya.  Jika Allah menghendaki untuk menyesatkannya, maka Dia akan membuatnya bisu, tuli, dan buta.  Hanya dari Allah-lah datangnya Taufiq!
Tentang makna firman Allah,
“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap-gulita, guruh, dan kilat;  mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar) suara petir, sebab takut akan mati.  Dan Allah meliputi (mengepung) orang-orang kafir.”  
(QS. Al-Baqarah;  19)
Makna  الصيب  /  Ash-Shayyib adalah hujan yang turun dengan deras, dan cepat dari langit.  Ini merupakan perumpamaan Al-Qur’an, yang dengan hujan itu hati menjadi hidup, seperti air hujan yang menghidupkan tanah, tanaman, dan binatang.  Orang-orang mukmin mengetahui hal itu dari Al-Qur’an, dan mereka mengetahui kehidupan yang berasal dari hujan dan tidak mendatangkan bahaya.  Tidak ada yang menghalangi mereka untuk mengetahuinya, meskipun di dalamnya ada guruh, dan kilat, yaitu peringatan dan siksaan yang disampaikan Allah kepada orang-orang yang menyalahi perintah-Nya.  Allah juga mengabarkan, bahwa siksaan itu bagi orang-orang yang mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Di dalam perintah Allah juga terdapat hal-hal yang berat, seperti berperang melawan musuh, dan sabar dalam urusan itu, atau ada pula perintah yang berat bagi jiwa, karena harus menentang keinginan jiwanya.  Hal ini mirip dengan kegelapan, guruh, dan kilat.  Tetapi siapa yang mengetahui tempat yang terkena hujan, dan hasilnya dikemudian hari yaitu berupa kehidupan, maka ia tidak akan takut meskipun berada dalam kegelapan yang disertai guruh dan kilat.  Bahkan dia merasa senang dan tenang dengan keadaan itu, karena dia mengharapkan kehidupan dan kesuburan di belakangnya.
Adapun orang-orang munafik, hati mereka buta dan pandangannya tak mampu menembus kegelapan, tidak dapat melihat kecuali kilat yang seakan-akan menyambar pandangannya, dan guruh serta kegelapan.  Karena itu ia merasa takut dengan keadaan yang seperti itu, sambil menutupkan anak jari tangannya ke telinganya, agar dia tidak mendengar suara guruh.  Dia gemetar ketika melihat kilat dan kilauannya.  Dia takut kalau-kalau kilat itu menyambar pandangannya, sebab pandangannya terlalu lemah untuk bertahan terhadap kilauan kilat itu.  Ketika mendengar suara guruh yang bergemuruh sedang dia berada dalam kegelapan, lalu melihat kilat yang menyambar.  Jika ada kilat yang menerangi sekitarnya, maka dia berjalan (beringsut) di bawah cahayanya.  Jika cahayanya hilang dia berhenti (berdiri) dalam keadaan bingung, tidak tahu ke arah mana dia harus beranjak.  Karena kebodohannya, dia tidak tahu bahwa hal tersebut merupakan kelaziman dari hujan, yang sebenarnya (hujan itu) merupakan kehidupan bagi bumi dan tanaman, bahkan bagi kehidupan dirinya sendiri.  Dia tidak mengenal selain dari guruh, kegelapan, dan kilat (tidak lebih dari itu).  Dia tidak mempunyai perasaan apa pun di balik semua itu.  Maka tidak heran jika ketakutan menghantuinya, gemetar, dan kalut.  Tapi bagi orang yang sudah terbiasa dengan hujan dan mengetahui kebaikan, kehidupan, dan manfaat lain dari hujan itu, memahami bahwa hujan itu tentu (lazimnya) disertai guruh, kilat, dan kegelapan karena awan (mendung), tentu dia akan biasa-biasa saja dan tidak takut, serta tidak ada yang menghalanginya untuk mengambil bagian (manfaat) dari hujan itu.
Ini merupakan perumpamaan yang tepat bagi “hujan” yang di turunkan Jibril 'alaihissalam dari sisi Allah ke dalam hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, guna menghidupkan semua hati dan alam.  Telah ditetapkan hikmah Allah untuk menyertai awan, guruh, dan kilat dengan hujan yang menurunkan air.  Merupakan hikmah yang sangat tinggi, dan sebab-sebab yang besar, yang telah diatur sedemikian rupa oleh Yang Mahamengetahui dan Mahabijaksana.
Sementara bagian orang-orang munafik dari hujan itu hanya guruh, dan kilatnya saja.  Mereka tidak mengetahui ada apa di balik hujan itu, sehingga mereka takut terhadap sesuatu yang justru didambakan oleh orang-orang mukmin, dia gemetar oleh sesuatu yang justru membuat orang-orang berilmu merasa tenang, dia menjadi ragu-ragu terhadap sesuatu yang membuat orang-orang yang memiliki ma’rifat menjadi yakin.
Pandangan orang-orang munafik dalam perumpamaan yang berunsur api seperti pandangan kelelawar di siang hari bolong.  Sementara pendengarannya dalam perumpamaan yang berunsur api seperti orang yang mati karena mendengar suara guruh.  Dikisahkan ada sebagian binatang yang mati karena mendengarkan suara guruh (mis. ayam, burung dan lain-lain).  Jika akal, pendengaran, dan penglihatan ini bertemu dengan syubhat syaithan, hayalan yang rusak, dan dugaan-dugaan dusta, maka syubhat dan hayalan-hayalan itu akan berputar-putar di dalam dirinya, berdiri, dan duduk, menguasai seluruh sisinya, banyak bisikan-bisikan yang menghantui pendengarannya.  Ternyata banyak juga orang-orang yang memenuhi seruannya,  melaksanakan panggilannya, berperang di bawah benderanya, dan memperbanyak kelompoknya.  Karena cobaan dan bencana yang ditimbulkan orang-orang munafik sudah menyebar, dan banyak hati yang telah dirasuki bisikannya.  Maka Allah menyibak tabir mereka di dalam Al-Qur’an secara nyata, menjelaskan tanda-tandanya, perbuatan, dan perkataan mereka.  Allah Subhanahu wa Ta’ala sering kali menyatakan, “Di antara mereka, di antara mereka, di antara mereka”[3], hingga urusan mereka benar-benar tersingkap, rahasia mereka terkuak, dan hakikat mereka tersebar (diketahui oleh orang-orang beriman secara luas).

Renungan
* "Betapa banyak orang yang membaca Al-Qur'an, tetapi Al-Qur'an malah melaknatnya."  
(Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)
* Barangsiapa yang ingin mengetahui seberapa besar perhatian Allah terhadap dirinya, hendaklah dia memperhatikan seberapa besar perhatiannya dalam memahami Agama Allah."  
('Ulama)


oOo
(Diringkas dan disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

[1]  Pendengaran dan penglihatan serta indera lainnya merupakan saluran dan jalan ilmu yang mengantarkan kepada akal.  Akal akan mengambil apa pun yang diantarkan para pemandu itu, lalu memikirkan dan mengolahnya.  Dari sini ia dapat mengambil petunjuk bila memang akal itu sehat dan kuat, kemudian mengguyurkannya ke dalam hati, yang merupakan inti dari rasa kemanusiaan yang mulia.  Badan yang bersifat hewani dengan segala inderanya tak ubahnya jembatan yang menghubungkan ke dalam hati.  Inilah makna firman Allah, “Dan Aku telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku.  (Al-Hijr;  29)   
[2]  Madarij, 1/194-201; Al-Wabil Ash-Shayyib, 736 
[3]  Di dalam surat At-Taubah.

Sabtu, 26 Januari 2019

LINGKARAN 'UBUDIYAH BERPUTAR PADA 15 KAIDAH



بسم الله الر حمان الر حيم

Hakikat ‘ubudiyah (ibadah) akan terwujud bila terjadi sinergi antara 3 (tiga) serangkai;  ‘Ubudiyah HATI, LISAN, dan JAWARIH (Anggota Tubuh), yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan hukum-hukum ibadah menurut Ilmu Fiqih terbagi atas 5 (lima) keadaan;  WAJIB, SUNAT, HARAM, MAKRUH, dan MUBAH, sehingga jika  dikalikan (3 x 5) berjumlah 15 kaidah;

1.       I. HATI
Yang wajib bagi hati ialah
Ikhlas, Cinta, Takut, Harap, Tawakal, Sabar, Inabah (kembali kepada Allah dalam segala keadaan), Pembenaran yang pasti, dan Niat untuk beribadah.

Yang Sunat bagi Hati ialah;  Melakukan dzikir-dzikir tambahan.

Yang Haram bagi Hati ada dua keadaan;
a.     Kufur;
 Seperti Keragu-raguan, Nifak (Munafik), Syirik dengan segala cabang-cabangnya (Syirik Besar, Syirik Kecil, dan Syirik Khafiy).
b.     Kedurhakaan, juga ada dua macam;
·        Kedurhakaan yang Besar;
Riya’ (beribadah karena ingin dipuji orang), Ujub (berbangga dengan amalan yang telah dilakukan), Takabbur, Membanggakan diri, Sombong, Putus asa dari rahmat Allah, Merasa aman dari tipu daya Allah, Senang / gembira bila kaum muslimin mendapatkan gangguan (musibah), Suka bila kekejian menyebar ditengah-tengah mereka, Dengki terhadap karunia Allah yang diberikan pada mereka (mengharapkan lenyapnya karunia tersebut dari mereka).  Yang demikian ini lebih diharamkan daripada zina, minum khamr dan lain-lain dari dosa-dosa yang nyata!
Tidak ada kebaikan bagi hati dan badan, kecuali dengan menjauhi semua itu, dan bertaubat darinya.  Jika tidak, maka ia adalah hati yang rusak, sehingga badan (perbuatan) pun ikut rusak pula.
Bencana ini terjadi karena kebodohan tentang 'ubudiyah (ibadah) hati dan pelaksanaannya.
Ini merupakan tugas Iyyaaka na’budu (“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”) terhadap hati sebelum melaksanakan Ibadah Jawarih (anggota badan).  Jika hal ini tidak diketahui, dan tidak dilaksanakan, maka hati akan dipenuhi dengan kebalikannya (penyakit).  Hal ini tidak boleh tidak, sebab seberapa jauh pelaksanaannya, maka sejauh itu pula hati akan terbebas dari kebalikannya.  Masalah-masalah ini dan yang semacamnya bisa menjadi dosa besar atau dosa kecil, tergantung dari kekuatan dan ukurannya.  Yang termasuk dosa kecil, ialah bernafsu terhadap hal-hal yang haram, dan mengangan-angankannya, keragaman derajat-derajat syahwat, besar dan kecilnya tergantung pada keragaman derajat orang yang bernafsu terhadapnya.
Bernafsu terhadap kufur dan syirik adalah Kufur.  Bernafsu terhadap Bid’ah adalah Kefasikan (pelaku dosa-dosa besar).
Bernafsu terhadap dosa-dosa besar adalah kedurhakaan.
Jika ia meninggalkan kedurhakaan karena Allah, padahal ia memiliki kemampuan / peluang untuk mengerjakannya, maka ia akan mendapatkan pahala.  Jika ia  meninggalkan kedurhakaan karena tidak memiliki kemampuan mengerjakannya (bila memiliki kemampuan dan peluang tentu akan mengerjakannya), maka dia akan disiksa seperti orang yang melakukannya.  Hal ini terjadi, karena masing-masing (berniat dan berkehendak) / memposisikan dirinya dalam hukum pahala dan siksa, meskipun tidak mampu melakukan perbuatan tersebut.  Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“’Jika dua orang muslim saling berhadapan menghunus pedangnya, maka yang membunuh dan yang dibunuh berada di Neraka.’  Mereka bertanya, ‘Ini bisa berlaku bagi pembunuh wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan orang yang dibunuh?’  Beliau menjawab, ‘Karena yang dibunuh itu pun berambisi untuk membunuh rekannya.’”
Beliau menempatkan korban pada posisi pembunuh, karena dia pun berambisi melakukan dosa tanpa keputusan hukum (Qadhar yang terjadi).
Yang serupa dengan hal ini dalam masalah pahala / dosa, dan hati cukup banyak kita jumpai di dunia.  Dengan begitu dapat diketahui apa yang sunat dan apa yang mubah bagi hati.

·        Kedurhakaan yang kecil;  Umumnya kedurhakaan yang tidak diancam dengan api Neraka, dan lebih kecil dari hal-hal yang telah disebutkan di atas.  Atau, dapat pula diketahui dengan mengenal ciri-ciri dosa besar, di antaranya;
* Perbuatan zina, homoseks, lesbian, meminum minuman keras, membunuh, dan obat-obat terlarang, riba (bunga uang), dan lain-lain.
*Perbuatan yang diancam dengan Api Neraka.
* Disebutkan laknat Allah padanya.
* Disebutkan kata-kata, "Laa yukminu ahadukum" (Tidak beriman seseorang di antara kalian).
* Disebutkan kata-kata, "Tidak termasuk pengikutku (Rasulullah)".
* Dan lain-lain.

2.       II. LISAN
‘Ubudiyah lisan ada 5 (lima) macam;
Yang wajib bagi lisan adalah;  Mengucapkan Syahadatain (Dua kalimat syahadat), dan membaca apa yang harus dibaca dari Al-Qur’an, yaitu yang menjadi ukuran sahnya shalat[1], mengucapkan dzikir yang wajib dalam shalat seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, seperti perintah membaca tasbih ketika ruku’ dan sujud, perintah membaca Rabbana wa lakal-hamdu setelah ‘itidal (berdiri dari ruku'), perintah tasyahud dan takbir.
Yang juga wajib bagi lisan, adalah menjawab salam.  Adapun tentang mengawalinya ada dua pendapat.  Yang wajib lainnya bagi lisan adalah menyuruh / mengajak kepada yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah dari yang mungkar (kebathilan), mengajari orang-orang bodoh, menunjuki orang yang tersesat, menyampaikan kesaksian yang diperlukan secara jujur.

Yang Sunat bagi lisan;  
Adalah membaca Al-Qur’an, Senantiasa berdzikir, Membicarakan ilmu yang bermanfaat dan segala implikasinya.

Yang haram bagi lisan ialah;  
Segala ucapan yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, seperti ucapan bid’ah yang bertentangan dengan apa yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya, mengajak kepada bid’ah, dan menganggapnya sesuatu yang baik.  Begitu pula menuduh, Mencela seorang Muslim, Menyakitinya dengan perkataan, Perkataan dusta (Hoaks), Kesaksian palsu, Mengatakan terhadap Allah sesuatu tanpa didasari ilmu (pengetahuan), yang terakhir ini merupakan perkataan yang paling diharamkan!

Yang makruh bagi lisan;  
Ialah mengatakan sesuatu padahal meninggalkannya lebih baik daripada mengatakannya, meskipun tanpa akibat siksa yang ditanggung.
Para Salaf berpendapat, apakah ada perkataan yang mubah (memiliki dua sisi yang sama, dan berimbang)?  Ada dua pendapat tentang masalah ini, seperti yang disebutkan Ibnul Mundzir dan yang lainnya.  Salah satu diantaranya, bahwa apa pun yang dikatakan seseorang tidak lepas dari dua kemungkinan, entah merupakan pahala, atau merupakan dosa (siksa) atas dirinya.  Tidak ada satu pun perkataan yang tidak mendatangkan pahala atau siksa.  Mereka berhujjah dengan hadits yang masyhur,
Setiap perkataan anak Adam merupakan dosa atas dirinya, dan bukan merupakan pahala, kecuali jika perkataan itu merupakan dzikir kepada Allah dan yang hal-hal yang membantunya.”
Mereka juga berhujjah, bahwa semua perkataan akan ditulis, sementara tidak ada yang ditulis melainkan kebaikan (pahala), atau keburukan (dosa).
Ada satu golongan yang berpendapat, perkataan itu ada yang mubah (boleh), bukan merupakan pahala baginya dan bukan pula merupakan siksa, seperti yang berlaku pada gerakan anggota tubuh.  Menurut mereka, karena banyak perkataan yang tidak berkaitan dengan perintah dan larangan, dan inilah keadaan sesuatu yang hukumnya mubah (boleh).
Yang pasti, gerak lisan dengan perkataan tidak bisa menjadi seimbang kedua sisinya, melainkan ada yang lebih berat (cenderung), dan yang lebih ringan.  Sebab lisan memiliki keadaan yang berbeda dengan anggota-anggota tubuh lainnya.  Jika anak Adam memasuki waktu pagi, maka seluruh anggota tubuh mengerubuti lisan seraya berkata, “Bertakwalah kepada Allah, karena kami hanya bersamamu.  Jika engkau lurus, maka kami pun akan lurus, dan jika engkau bengkok, maka kami pun akan bengkok.”
Mayoritas penyebab yang mengakibatkan wajah manusia tersungkur di Neraka (pada hari Kiamat), adalah akibat lisannya.  Jika yang pertama kali dilontarkan lisan adalah saesuatu yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka itu adalah timbangan yang berat (menguntungkan).  Jika tidak, maka itu adalah timbangan yang memberatkan (merugikan).  Hal ini berbeda dengan gerakan anggota tubuh lainnya, dimana pelakunya dapat mengambil manfaat dari gerakan yang mubah (boleh), yang sama pada kedua sisinya, karena dia mendapatkan dari timbangan yang berat dan bermanfaat, sehingga penggunaannya diperbolehkan, sementara tidak ada mudharat baginya di akhirat kelak.  Adapun gerakan lisan berupa perkataan yang tidak bermanfaat baginya bisa mendatangkan mudharat.  Perhatikanlah hal ini baik-baik.
Jika ada yang bertanya, ‘Adakalanya lisan bergerak dengan suatu perkataan yang bermanfaat di dunia, mubah dan seimbang kedua sisinya, sehingga hukum gerakannya sama dengan hukum gerakan (tubuh), bagaimana hal ini?”
Dapat dijawab sebagai berikut;  Gerakan lisan dengan perkataan menjadi berat timbangannya (menguntungkan) jika dibutuhkan.  Jika tidak dibutuhkan, maka timbangannya jadi memberatkan (merugikan), dan tidak bermanfaat, sehingga perkataan itu menjadi dosa baginya, bukan merupakan pahala.
Pun jika ada yang bertanya, “Jika perbuatan bisa menjadi seimbang dua sisinya, maka lisan bisa menjadi sarana untuk itu.  Sebab hukum sarana mengikuti maksud (tujuan).  Bagaimana hal ini?”
Dapat dijawab sebagai berikut;  Tidak mesti begitu.  Bisa jadi sesuatu itu hukumnya mubah – bahkan wajib.  Sementara sarananya adalah sesuatu yang makruh (tidak disukai Allah), seperti hukum memenuhi ketaatan yang telah dinadzarkan adalah wajib.  Padahal sarananya, yaitu nadzar adalah makruh dan dilarang.  Begitu pula sumpah yang makruh, adalah sesuatu yang memberatkan (merugikan), sementara memenuhinya adalah wajib atau dengan kafarat (denda).  Begitu pula meminta kepada makhluk pada saat membutuhkan adalah sesuatu yang makruh, namun mubah memanfaatkan apa yang diberikan ketika meminta.  Contoh-contoh semacam ini banyak sekali.  Sarana bisa mengandung kerusakan yang dimakruhkan, atau bahkan diharamkan, sementara yang menjadi tujuan dari sarana tersebut bukan termasuk sesuatu yang makruh atau diharamkan.

3.       III. JAWARIH (Anggota Tubuh)
Lima macam hukum ‘ubudiyah di atas juga berlaku untuk Jawarih (anggota tubuh).  Berarti ada 25 (duapuluh lima) tingkatan, sebab indera manusia ada lima (panca indera).  Sedangkan pada setiap indera berlaku pula 5 (lima) macam ‘ubudiyah tersebut, jadi 5 x 5 = 25.

Yang wajib atas Pendengaran adalah;  
Mendengarkan, dan menyimak apa-apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, yaitu mendengarkan Islam, Iman, dan Sunnah, serta kewajiban-kewajibannya.  Begitu pula mendengarkan Al-Qur’an dalam shalat, ketika imam menyaringkan bacaannya (Jahar), mendengarkan Khutbah Jum’at menurut pendapat yang paling kuat dari para ‘ulama.

Diharamkan mendengarkan suara kufur dan bid’ah, kecuali jika di sana terkandung kemashlahatan yang kuat, seperti dimaksudkan untuk membantahnya, atau memberikan kesaksian yang memberatkan atas orang yang mengucapkannya, atau untuk menambah kekuatan Iman dan As-Sunnah, dengan mengetahui kebalikannya yang berupa kufur, bid’ah, dan lain-lain.  Diharamkan pula “menguping” pembicaraan (rahasia) orang yang hendak menghindar darimu secara diam-diam, dan mereka tidak suka jika engkau mengetahuinya, selagi tidak mengurangi hak Allah yang harus dilaksanakan, atau menyakiti seorang muslim yang semestinya diingatkan.
Begitu pula mendengarkan suara wanita lain (bukan mahram), yang dikhawatirkan akan mendatangkan cobaan lewat suaranya, selagi tidak ada keperluan padanya, seperti untuk kesaksian, dalam mu’amalah, permintaan fatwa ‘ulama, proses pengadilan, pengobatan dan lain sebagainya.
Begitu pula mendengarkan alat musik, tabuh-tabuhan, dan hal-hal yang tidak berguna, seperti seruling, gitar, terompet, tambur, dan yang sejenisnya.  Tetapi dia tidak perlu pula menutup telinganya jika terdengar suara-suara itu, sementara dia tidak bermaksud mendengarkannya.  Terkecuali jika dia khawatir dengan keberadaannya di tempat itu, dan akan menyimaknya, maka dia harus meninggalkan tempat tersebut, dan harus menghindar dari perkara yang akan menyeretnya kepada hal-hal yang telah diperingatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Serupa dengan pengharaman ini, adalah sengaja mencium wewangian seorang wanita (bukan mahram).  Sedangkan bila angin membawa aromanya sehingga ia membauinya, maka dia tidak perlu menutup hidungnya.
Begitu pula pandangan mata secara tiba-tiba, yang hukumnya tidak haram bagi yang memandang.  Tetapi pandangan yang kedua menjadi haram baginya bila disengaja.
Adapun pendengaran yang dianjurkan seperti mendengarkan ilmu yang memang dianjurkan (bukan yang menyimpang / bid’ah), bacaan Al-Qur’an, dzikir kepada Allah, dan mendengarkan apa pun yang disukai Allah, tetapi hukumnya bukan fardhu (wajib).

Pendengaran yang hukumnya makruh
Adalah kebalikannya, yaitu mendengarkan apa pun yang dibenci Allah, namun tidak ada siksa bagi pelakunya.  Sedangkan yang mubah sudah diterangkan di atas.

Pandangan yang wajib;  
Ialah memandang (membaca) Mushaf (kitab suci Al-Qur'an), dan kitab-kitab Ilmu yang akan membantunya dalam mempelajari yang wajib, pandangan yang membantu pemilahan antara yang halal dan haram yang berkaitan dengan yang harus dimakan, dinafkahkan, dan disimak, dalam memenuhi amanat-amanat yang harus disampaikan kepada yang berhak, sehingga bisa dilakukan pemilahan, dan lain sebagainya.

Pandangan yang haram; 
Ialah memandang wanita lain (bukan mahram) yang disertai syahwat, dan juga tanpa syahwat kecuali bila diperlukan, seperti pandangan seorang laki-laki pelamar yang hendak melamar wanita yang dipandangnya, orang yang menawar barang dagangan, orang yang bermu’amalah, pemberi kesaksian, hakim, dokter, dan mahram.

Pandangan yang dianjurkan
Ialah memandang (membaca) kitab-kitab Ilmu dan Agama, yang akan menambah Ilmu dan Imannya, memandang mushaf (kitab Al-Qur’an), memandang wajah para ‘ulama yang shalih dan kedua orang tua. Memandang ayat-ayat Allah yang dapat disaksikan di alam semesta, untuk mendapatkan bukti Tuhidullah (ke-Esaan Allah), dan hikmah-hikmah-Nya.[2]

Pandangan yang makruh (tidak disukai Allah)
Ialah pandangan yang berlebih-lebihan tanpa ada kemashlahatannya.  Pandangan dapat mempunyai takaran yang berlebih seperti halnya lisan.  Berapa banyak pandangan yang berlebih-lebihan, kemudian sulit melepaskan diri darinya, dan sulit dicarikan penyembuhnya.  Sebagian orang Salaf berkata, “Banyak orang yang tidak menyukai pandangan yang berlebih-lebihan, sebagaimana mereka tidak menyukai perkataan yang berlebih-lebihan.”

Pandangan yang mubah
Ialah memandang sesuatu yang tidak ada mudharatnya, dan tidak ada pula manfaatnya di dunia maupun di akhirat.

Yang termasuk pandangan yang haram
Ialah memandang aurat.
Aurat ini ada dua macam;  Aurat di balik pakaian, dan aurat di balik pintu.  Sekiranya seseorang memandang aurat yang ada di balik pintu, lalu orang yang dipandang melemparnya - hingga mencongkel matanya, maka yang melempar / mencongkel tersebut tidak berdosa, dan mata orang yang memandang terlepas secara sia-sia.  Hal ini didasarkan pada nash Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang keshahihannya telah disepakati oleh para ahli hadits, meskipun sebagian fuqaha (ahli fiqih) mendha’ifkannya, karena mereka tidak meneliti nash ini, atau mereka mentakwilnya.  Hal ini berlaku jika yang memandang tidak memiliki sebab yang membolehkannya memandang aurat orang lain yang berada di balik pintu tersebut, sebagaimana layaknya aurat yang boleh dipandangnya, atau karena ada keraguan, apakah hal itu diidzinkan (bagian-bagian yang diperbolehkan) untuk dilihat.

Rasa yang wajib;  
Ialah mencicipi makanan atau minuman ketika terpaksa harus memakan atau meminumnya, dan dikhawatirkan akan menyebabkan kematian.  Jika ia tidak memakannya hingga menyebabkan kematian, maka ia mati dalam keadaan durhaka, dan sama seperti orang yang bunuh diri.  Al-Imam Ahmad dan Thawus berkata, “Siapa yang terpaksa memakan bangkai, namun ia tidak memakannya hingga meninggal, maka dia masuk Neraka.”
Yang termasuk hukum ini adalah, menelan obat yang diyakini dapat menyelamatkannya dari kebinasaan.  Ini menurut pendapat yang lebih rajih (kuat).  Jika disangkakan (tidak pasti / ragu-ragu) akan mendatangkan kesembuhan dengan obat tersebut, apakah hal ini dianjurkan dan mubah, ataukah yang afdhal meninggalkannya?  Ada perbedaan pendapat dalam hal ini antara orang-orang Salaf (dahulu) dan Khalaf (belakangan).

Merasakan yang diharamkan;  Ialah mencicipi khamr (minuman keras), dan racun yang bisa mematikan, Merokok, Merasakan makanan yang dilarang (berlaku untuk puasa wajib).

Merasakan yang makruh;  
Ialah merasakan hal-hal yang syubhat (kebathilan yang dibungkus / dipoles dengan kebenaran), Makan melebihi kebutuhan.  Merasakan makanan secara langsung tanpa idzin (undangan) dari pemilik makanan.  Atau, seperti memakan makanan diperjamuan / walimah yang dimaksudkan untuk pamer.  Di dalam As-Sunan disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memakan makanan orang-orang yang berlomba-lomba.  Yang termasuk makruh adalah memakan makanan orang yang merasa malu untuk tidak menjamumu, bukan karena ketulusan hatinya.

Merasakan yang dianjurkan (Sunnah)
Ialah merasakan makanan yang dapat membantu ketaatanmu kepada Allah menurut kadar yang diperkenan Allah, makan bersama tamu agar ia senang, Memakan makanan orang yang mengundangmu.  Sebagian fuqaha ada yang mewajibkan memakan makanan walimah yang memang harus dipenuhi undangannya, seperti yang diperintahkan Pembawa syari’at.

Merasakan yang mubah
Adalah merasakan sesuatu yang di dalamnya tidak ada dosa, dan tidak pula mendatangkan pahala.

Penciuman yang wajib;  
Ialah yang membantu untuk membedakan yang halal dan haram, seperti mencium sesuatu – apakah sesuatu itu baik atau buruk, apakah mengandung racun yang mematikan, atau tidak membahayakan, atau untuk membedakan antara yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.  Yang juga termasuk hukum ini, ialah penciuman orang yang ahli ketika dibutuhkan untuk menetapkan suatu hukum.

Penciuman yang diharamkan;  Ialah sengaja mencium wewangian ketika ihram, mencium wewangian dari hasil mencuri / merampas, Sengaja mencium wewangian dari wanita lain (bukan mahram) yang bisa menimbulkan cobaan dibalik perbuatan itu.

Penciuman yang dianjurkan (Sunnah);  
Ialah mencium sesuatu yang dapat membantu ketaatan kepada Allah, dan menguatkan indera, serta menguatkan jiwa untuk Ilmu dan Amal.  Begitu pula menghadiahkan parfum / wewangian.  Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Siapa yang ditawari Rayhan (wewangian), maka janganlah dia menolaknya, karena baunya harum dan ringan bawaannya.”

Penciuman yang makruh
Ialah mencium wewangian orang-orang yang zhalim, para pelaku syubhat, bid’ah, dan lain sebagainya.

Penciuman yang mubah;  
Ialah mencium sesuatu yang tidak dilarang Allah dan tidak ada akibatnya, juga yang tidak ada kemashlahatan agamanya, dan yang tidak ada kaitannya dengan syariat.

Rabaan yang wajib;  
Ialah rabaan suami terhadap isteri ketika hendak berjima’ dengannya, dan budak wanita yang boleh dijima’.

Rabaan yang haram;  
Ialah meraba wanita lain yang bukan mahram, yang tidak halal untuk diraba dan, atau disentuh (mis. bersalaman).

Rabaan yang dianjurkan (Sunnah);  Ialah rabaan yang dapat menahan pandangan mata, dan mencegah diri dari hal-hal yang diharamkan, serta menjaga kehormatan isteri.

Rabaan yang makruh;  
Ialah meraba isteri ketika ihram untuk mendatangkan kenikmatan.  Begitu pula ketika I’tikaf dan ketika berpuasa, jika dia tidak dapat menjamin keamanan diri (amal)nya.
Termasuk rabaan yang makruh, ialah meraba badan mayit oleh orang yang tidak seharusnya memandikannya, karena badannya sama dengan aurat orang yang masih hidup yang harus dihormati.  Oleh karena itu dianjurkan membentangkan tabir, agar tidak terlihat, dan memandikannya dengan kain / sarung tangan (tidak menyentuh langsung).  Meraba paha juga termasuk makruh, apabila kami katakan bahwa paha itu termasuk aurat.

Rabaan yang mubah;  
Ialah rabaan yang tidak mengandung kerusakan, dan kemashlahatan dalam agama.

Tingkatan-tingkatan ini juga berlaku untuk gerakan tangan dan langkah kaki.  Contoh-contoh yang lain cukup banyak.
Melangkahkan kaki dalam rangka mencari penghidupan  menurut kesanggupan, untuk menafkahi diri sendiri dan keluarga adalah wajib.  Tentang kewajiban mencari penghidupan untuk melunasi hutang diperselisihkan.  Yang benar, mencari penghidupan adalah wajib, sehingga memungkinkannya melunasi hutang, dan dia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat untuk itu.  Tentang kewajibannya mencari harta untuk menunaikan haji perlu dipertimbangkan.  Pendapat yang kuat berdasarkan dalil adalah wajib, kalau memang itu termasuk dalam kesanggupannya, agar memungkinkannya melaksanakan ibadah.  Namun pendapat yang masyhur, hal itu tidaklah wajib.

Gerakan tangan yang wajib;  
Ialah menolong orang dalam keadaan darurat, Melempar jumrah, Mengusap pada saat berwudhu, dan Tayammum.

Gerakan tangan yang haram;  
Ialah membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk dibunuh, Merampas harta orang lain, Memukul orang yang tidak boleh dipukul, dan lain sebagainya dari berbagai jenis mainan yang diharamkan berdasarkan nash, main dadu atau yang lebih diharamkan lagi menurut pendapat penduduk Madinah, seperti main catur, memainkan berbagai alat musik, membuat lukisan-lukisan / patung-patung makhluk hidup.  Begitulah menurut pendapat para pakar hadits, seperti Imam Ahmad dan yang lainnya.
Begitu pula menulis tulisan bid’ah, yang bertentangan dengan As-Sunnah, menyusunnya hingga berjilid-jilid dan membuat naskah, kecuali disertai bantahan dan penentangannya.  Begitu pula menulis sesuatu yang palsu, dan kezhaliman (Hoaks), Tuduhan dan dakwaan terhadap wanita baik-baik, Menulis sesuatu yang mengandung mudharat bagi kaum muslimin, baik yang terkait masalah Agama maupun dunianya, apalagi bila tulisan itu terpicu untuk mendapatkan uang.  Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat oleh apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.”  
(QS. Al-Baqarah;  79)
Begitu juga tulisan Mufti tentang suatu fatwa yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, kecuali jika permasalahan tersebut berdasarkan Ijtihajnya dan ternyata salah.  Dalam hal ini dia terbebas dari dosa.

Gerakan tangan yang makruh;  Seperti main-main dan candaan yang tidak diharamkan (terlarang), menulis sesuatu yang tidak ada faidah / manfaatnya di dunia maupun akhirat.

Gerakan tangan yang dianjurkan (Sunnah);  
Ialah menulis apa pun yang bermanfaat bagi Agama, atau mendatangkan kemashlahatan kaum muslimin,  Berbuat baik dengan tangannya yang dapat membantu keterampilannya, Membuat kreasi, Membantu orang yang menimba air, Mengangkatkan barang orang lain ke atas kendaraannya, atau menahan kendaraannya agar orang tersebut dapat menaikkan barangnya, Memberikan pertolongan dengan tangannya untuk siapa pun yang memerlukan dan lain sebagainya.  Termasuk dalam anjuran ini adalah mengusap Hajar Aswad dengan tangannya ketika Thawaf.  Ada dua pendapat tentang memeluknya setelah mengusap.

Gerakan tangan yang mubah;  
Ialah gerakan yang tidak ada mudharatnya dan tidak pula pahala.

Jalan kaki yang wajib;  
Ialah berjalan ke shalat Jum’at, dan shalat jama’ah menurut pendapat yang paling kuat, yang didasarkan pada lebih dari 20 dalil, dan yang tidak disebutkan di tempat ini saja.
Begitu pula berjalan mengelilingi Ka’bah saat Thawaf, berjalan sendiri antara Shafa dan Marwah, atau dengan ditandu, Berjalan kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya jika ada seruan kepadanya,  Berjalan untuk Silaturrahim, Berbakti kepada kedua orang tua, Berjalan ke majelis-majelis Ilmu untuk mencari dan mempelajarinya, Berjalan untuk menunaikan haji jika jaraknya sudah dekat, tanpa ada mudharat yang menimpanya.

Jalan kaki yang haram;  
Ialah berjalan untuk mendurhakai Allah, yang hanya dilakukan manusia-manusia dari golongan syaithan.  Firman Allah (artinya),
“Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukan yang berjalan kaki.”  
(QS. Al-Isra’;  64)
Menurut Muqatil, artinya mintalah bantuan kepada mereka dengan mengerahkan pasukan berkuda dan pasukan pejalan kaki.  Setiap orang yang berjalan untuk mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka ia termasuk pasukan Iblis.

Begitu pula kaitan lima hukum ini dengan berkendaraan.  
Yang wajib dalam berkendara;  Ialah dalam peperangan, jihad, dan haji yang wajib dilakukan.

Yang dianjurkan (Sunnah) dalam berkendara;  
Ialah seperti mencari Ilmu, Menyambung silaturrahim, Berbakti kepada kedua orang tua.
Tentang wuquf di Arafah ada perbedaan pendapat, apakah berkendara di sana lebih afdhal, ataukah berjalan kaki?  Yang pasti, berkendara di sana lebih baik jika terkandung kemashlahatan, seperti karena mengajarkan manasik dan mengikutinya.  Hal ini lebih dapat membantu untuk berdo’a, selagi tidak mendatangkan mudharat bagi hewan yang ditunggangi.

Berkendara yang haram;  
Ialah berkendara untuk mendurhakai Allah.

Berkendara yang makruh;  
Ialah berkendara untuk main-main, dan tidak ada manfaat serta kebaikannya.

Berkendara yang mubah;  
Ialah berkendara yang tidak mendatangkan manfaat dan dosa.

Inilah 50 (limapuluh) tingkatan pada sepuluh bahagian;  Hati, Lisan, Pendengaran, Penglihatan, Hidung, Mulut (perasa), Tangan, Kaki, Kemaluan, dan Berkendara (10 x 5).[3]

Renungan
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya.  Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula."  
(QS. Az-Zalzalah;  7-8)

oOo
(Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

[1]  Begitu pula hal wajib yang paling wajib, ialah yang menjadi ukuran sahnya iman, berupa iman kepada Asma Allah dan Sifat-Sifat-Nya, Syari’at serta ibadah kepada-Nya, dan lain-lain.  Jika bagian-bagian dari Al-Qur’an ini tidak diketahui, bisa menjadikan imannya Taklid (membeo saja), hanya serkedar rupa (penampilan) dan dusta, tidak mendatangkan manfaat dan tidak pula mampu membela dirinya dari serangan musuh berupa Khurafat (Tahayul), Bid’ah (penyimpangan dalam amal dan aqidah), Paganisme (Syirik), dan lain sebagainya.
[2]  Memandang dan mengamati ayat-ayat Allah di alam semesta jauh lebih wajib.  Penekanan perintah dalam hal ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an, dan peringatan yang keras bagi orang-orang yang “buta” terhadap ayat-ayat Allah di alam ini, lalu mendustakan serta kufur kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya.  Iman kepada Allah, Kitab-Kitab, dan Rasul-Rasul-Nya hanya akan muncul (tumbuh) karena ilmu (pen.), memikirkan ayat-ayat Allah di dalam diri, dan segenap ufuk (penjuru).  Sedangkan tentang memandang Mushaf, dan wajah para ‘ulama, kami tidak mengetahui darimana sumber pengambilannya, bahwa hal itu termasuk yang dianjurkan?  Ya Allah, kecuali jika hal itu termasuk Sunnatullah dan ayat-ayat-Nya, sehingga dapat menjadi I’tibar (pelajaran).
[3]  Madarijus-Salikin, I/4-66.