بسم الله الر حمان الر حيم
Hakikat ‘ubudiyah (ibadah) akan terwujud bila terjadi
sinergi antara 3 (tiga) serangkai; ‘Ubudiyah HATI, LISAN, dan JAWARIH (Anggota Tubuh), yang saling terkait
antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan hukum-hukum ibadah menurut Ilmu Fiqih
terbagi atas 5 (lima) keadaan; WAJIB,
SUNAT, HARAM, MAKRUH, dan MUBAH, sehingga jika dikalikan (3 x 5) berjumlah 15 kaidah;
1. I. HATI
Yang wajib bagi
hati ialah;
Ikhlas, Cinta, Takut, Harap, Tawakal, Sabar, Inabah
(kembali kepada Allah dalam segala keadaan), Pembenaran yang pasti, dan Niat
untuk beribadah.
Yang Sunat
bagi Hati ialah; Melakukan dzikir-dzikir
tambahan.
Yang Haram bagi Hati
ada dua keadaan;
a.
Kufur;
Seperti Keragu-raguan, Nifak
(Munafik), Syirik dengan segala cabang-cabangnya (Syirik Besar, Syirik Kecil,
dan Syirik Khafiy).
b.
Kedurhakaan, juga
ada dua macam;
·
Kedurhakaan
yang Besar;
Riya’ (beribadah karena ingin dipuji orang), Ujub (berbangga dengan amalan yang telah dilakukan), Takabbur, Membanggakan diri, Sombong, Putus asa dari rahmat Allah, Merasa aman
dari tipu daya Allah, Senang / gembira bila kaum muslimin mendapatkan gangguan (musibah), Suka bila kekejian menyebar ditengah-tengah mereka, Dengki terhadap
karunia Allah yang diberikan pada mereka (mengharapkan lenyapnya karunia
tersebut dari mereka). Yang demikian
ini lebih diharamkan daripada zina, minum khamr dan lain-lain dari
dosa-dosa yang nyata!
Tidak ada kebaikan bagi hati dan badan, kecuali dengan menjauhi semua
itu, dan bertaubat darinya. Jika tidak,
maka ia adalah hati yang rusak, sehingga badan (perbuatan) pun ikut rusak pula.
Bencana ini terjadi karena kebodohan tentang 'ubudiyah
(ibadah) hati dan pelaksanaannya.
Ini merupakan tugas Iyyaaka na’budu (“Hanya kepada Engkaulah kami
menyembah”) terhadap hati sebelum melaksanakan Ibadah Jawarih (anggota
badan). Jika hal ini tidak diketahui,
dan tidak dilaksanakan, maka hati akan dipenuhi dengan kebalikannya
(penyakit). Hal ini tidak boleh tidak,
sebab seberapa jauh pelaksanaannya, maka sejauh itu pula hati akan terbebas
dari kebalikannya. Masalah-masalah ini
dan yang semacamnya bisa menjadi dosa besar atau dosa kecil, tergantung dari
kekuatan dan ukurannya. Yang termasuk
dosa kecil, ialah bernafsu terhadap hal-hal yang haram, dan
mengangan-angankannya, keragaman derajat-derajat syahwat, besar dan kecilnya
tergantung pada keragaman derajat orang yang bernafsu terhadapnya.
Bernafsu terhadap kufur dan syirik adalah Kufur. Bernafsu terhadap Bid’ah adalah
Kefasikan (pelaku dosa-dosa besar).
Bernafsu terhadap dosa-dosa besar adalah kedurhakaan.
Jika ia meninggalkan kedurhakaan karena Allah, padahal ia memiliki
kemampuan / peluang untuk mengerjakannya, maka ia akan mendapatkan pahala. Jika ia
meninggalkan kedurhakaan karena tidak memiliki kemampuan mengerjakannya
(bila memiliki kemampuan dan peluang tentu akan mengerjakannya), maka dia akan disiksa
seperti orang yang melakukannya. Hal ini
terjadi, karena masing-masing (berniat dan berkehendak) / memposisikan dirinya
dalam hukum pahala dan siksa, meskipun tidak mampu melakukan perbuatan
tersebut. Karena itulah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“’Jika dua orang muslim saling berhadapan menghunus pedangnya, maka yang
membunuh dan yang dibunuh berada di Neraka.’ Mereka bertanya, ‘Ini bisa berlaku bagi
pembunuh wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan orang yang dibunuh?’ Beliau menjawab, ‘Karena yang dibunuh itu pun
berambisi untuk membunuh rekannya.’”
Beliau menempatkan korban pada posisi pembunuh, karena dia pun berambisi
melakukan dosa tanpa keputusan hukum (Qadhar yang terjadi).
Yang serupa dengan hal ini dalam masalah pahala / dosa, dan hati cukup banyak
kita jumpai di dunia. Dengan begitu
dapat diketahui apa yang sunat dan apa yang mubah bagi hati.
·
Kedurhakaan
yang kecil;
Umumnya kedurhakaan yang tidak diancam dengan api Neraka, dan lebih
kecil dari hal-hal yang telah disebutkan di atas. Atau, dapat pula diketahui dengan mengenal ciri-ciri dosa besar, di antaranya;
* Perbuatan zina, homoseks, lesbian, meminum minuman keras, membunuh, dan obat-obat terlarang, riba (bunga uang), dan lain-lain.
*Perbuatan yang diancam dengan Api Neraka.
* Disebutkan laknat Allah padanya.
* Disebutkan kata-kata, "Laa yukminu ahadukum" (Tidak beriman seseorang di antara kalian).
* Disebutkan kata-kata, "Tidak termasuk pengikutku (Rasulullah)".
* Dan lain-lain.
* Perbuatan zina, homoseks, lesbian, meminum minuman keras, membunuh, dan obat-obat terlarang, riba (bunga uang), dan lain-lain.
*Perbuatan yang diancam dengan Api Neraka.
* Disebutkan laknat Allah padanya.
* Disebutkan kata-kata, "Laa yukminu ahadukum" (Tidak beriman seseorang di antara kalian).
* Disebutkan kata-kata, "Tidak termasuk pengikutku (Rasulullah)".
* Dan lain-lain.
2. II. LISAN
‘Ubudiyah lisan ada 5 (lima) macam;
Yang wajib bagi lisan adalah; Mengucapkan Syahadatain (Dua kalimat
syahadat), dan membaca apa yang harus dibaca dari Al-Qur’an, yaitu yang menjadi
ukuran sahnya shalat[1], mengucapkan dzikir yang wajib dalam shalat
seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, seperti perintah membaca tasbih
ketika ruku’ dan sujud, perintah membaca Rabbana wa lakal-hamdu setelah ‘itidal (berdiri dari ruku'),
perintah tasyahud dan takbir.
Yang juga wajib bagi lisan,
adalah menjawab salam. Adapun tentang
mengawalinya ada dua pendapat. Yang wajib
lainnya bagi lisan adalah menyuruh / mengajak kepada yang ma’ruf
(kebaikan) dan mencegah dari yang mungkar (kebathilan), mengajari orang-orang
bodoh, menunjuki orang yang tersesat, menyampaikan kesaksian yang diperlukan
secara jujur.
Yang Sunat bagi lisan;
Adalah membaca Al-Qur’an, Senantiasa
berdzikir, Membicarakan ilmu yang bermanfaat dan segala implikasinya.
Yang haram bagi lisan ialah;
Segala ucapan yang dibenci Allah dan
Rasul-Nya, seperti ucapan bid’ah yang bertentangan dengan apa yang
disampaikan Allah kepada Rasul-Nya, mengajak kepada bid’ah, dan
menganggapnya sesuatu yang baik. Begitu
pula menuduh, Mencela seorang Muslim, Menyakitinya dengan perkataan, Perkataan
dusta (Hoaks), Kesaksian palsu, Mengatakan terhadap Allah sesuatu tanpa didasari
ilmu (pengetahuan), yang terakhir ini merupakan perkataan yang paling
diharamkan!
Yang makruh bagi lisan;
Ialah mengatakan sesuatu padahal
meninggalkannya lebih baik daripada mengatakannya, meskipun tanpa akibat siksa
yang ditanggung.
Para Salaf berpendapat,
apakah ada perkataan yang mubah (memiliki dua sisi yang sama, dan berimbang)? Ada dua pendapat tentang masalah ini, seperti
yang disebutkan Ibnul Mundzir dan yang lainnya.
Salah satu diantaranya, bahwa apa pun yang dikatakan seseorang tidak
lepas dari dua kemungkinan, entah merupakan pahala, atau merupakan dosa (siksa)
atas dirinya. Tidak ada satu pun
perkataan yang tidak mendatangkan pahala atau siksa. Mereka berhujjah dengan hadits yang
masyhur,
“Setiap perkataan anak Adam
merupakan dosa atas dirinya, dan bukan merupakan pahala, kecuali jika
perkataan itu merupakan dzikir kepada Allah dan yang hal-hal yang membantunya.”
Mereka juga berhujjah, bahwa
semua perkataan akan ditulis, sementara tidak ada yang ditulis melainkan
kebaikan (pahala), atau keburukan (dosa).
Ada satu golongan yang berpendapat,
perkataan itu ada yang mubah (boleh), bukan merupakan pahala baginya dan
bukan pula merupakan siksa, seperti yang berlaku pada gerakan anggota
tubuh. Menurut mereka, karena banyak
perkataan yang tidak berkaitan dengan perintah dan larangan, dan inilah keadaan
sesuatu yang hukumnya mubah (boleh).
Yang pasti, gerak lisan dengan
perkataan tidak bisa menjadi seimbang kedua sisinya, melainkan ada yang lebih
berat (cenderung), dan yang lebih ringan.
Sebab lisan memiliki keadaan yang berbeda dengan anggota-anggota tubuh
lainnya. Jika anak Adam memasuki waktu
pagi, maka seluruh anggota tubuh mengerubuti lisan seraya berkata, “Bertakwalah
kepada Allah, karena kami hanya bersamamu.
Jika engkau lurus, maka kami pun akan lurus, dan jika engkau bengkok,
maka kami pun akan bengkok.”
Mayoritas penyebab yang mengakibatkan
wajah manusia tersungkur di Neraka (pada hari Kiamat), adalah akibat lisannya. Jika yang pertama kali dilontarkan lisan
adalah saesuatu yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka itu adalah timbangan
yang berat (menguntungkan). Jika tidak,
maka itu adalah timbangan yang memberatkan (merugikan). Hal ini berbeda dengan gerakan anggota tubuh
lainnya, dimana pelakunya dapat mengambil manfaat dari gerakan yang mubah
(boleh), yang sama pada kedua sisinya, karena dia mendapatkan dari timbangan
yang berat dan bermanfaat, sehingga penggunaannya diperbolehkan, sementara
tidak ada mudharat baginya di akhirat kelak.
Adapun gerakan lisan berupa perkataan yang tidak bermanfaat baginya bisa
mendatangkan mudharat. Perhatikanlah hal
ini baik-baik.
Jika ada yang bertanya, ‘Adakalanya lisan bergerak dengan suatu
perkataan yang bermanfaat di dunia, mubah dan seimbang kedua sisinya, sehingga hukum
gerakannya sama dengan hukum gerakan (tubuh), bagaimana hal ini?”
Dapat dijawab sebagai berikut; Gerakan
lisan dengan perkataan menjadi berat timbangannya (menguntungkan) jika
dibutuhkan. Jika tidak dibutuhkan, maka
timbangannya jadi memberatkan (merugikan), dan tidak bermanfaat, sehingga
perkataan itu menjadi dosa baginya, bukan merupakan pahala.
Pun jika ada yang bertanya, “Jika perbuatan bisa menjadi seimbang dua
sisinya, maka lisan bisa menjadi sarana untuk itu. Sebab hukum sarana mengikuti maksud
(tujuan). Bagaimana hal ini?”
Dapat dijawab sebagai berikut;
Tidak mesti begitu. Bisa jadi
sesuatu itu hukumnya mubah – bahkan wajib.
Sementara sarananya adalah sesuatu yang makruh (tidak disukai Allah),
seperti hukum memenuhi ketaatan yang telah dinadzarkan adalah
wajib. Padahal sarananya, yaitu nadzar
adalah makruh dan dilarang. Begitu pula
sumpah yang makruh, adalah sesuatu yang memberatkan (merugikan), sementara
memenuhinya adalah wajib atau dengan kafarat (denda). Begitu pula meminta kepada makhluk pada saat
membutuhkan adalah sesuatu yang makruh, namun mubah memanfaatkan apa yang
diberikan ketika meminta. Contoh-contoh
semacam ini banyak sekali. Sarana bisa
mengandung kerusakan yang dimakruhkan, atau bahkan diharamkan, sementara yang
menjadi tujuan dari sarana tersebut bukan termasuk sesuatu yang makruh atau
diharamkan.
3. III. JAWARIH
(Anggota Tubuh)
Lima macam hukum ‘ubudiyah di atas
juga berlaku untuk Jawarih (anggota tubuh). Berarti ada 25 (duapuluh lima) tingkatan,
sebab indera manusia ada lima (panca indera).
Sedangkan pada setiap indera berlaku pula 5 (lima) macam ‘ubudiyah
tersebut, jadi 5 x 5 = 25.
Yang wajib atas Pendengaran
adalah;
Mendengarkan, dan menyimak
apa-apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, yaitu mendengarkan Islam, Iman,
dan Sunnah, serta kewajiban-kewajibannya.
Begitu pula mendengarkan Al-Qur’an dalam shalat, ketika imam menyaringkan
bacaannya (Jahar), mendengarkan Khutbah Jum’at menurut pendapat yang
paling kuat dari para ‘ulama.
Diharamkan mendengarkan suara
kufur dan bid’ah, kecuali jika di sana terkandung kemashlahatan yang
kuat, seperti dimaksudkan untuk membantahnya, atau memberikan kesaksian yang
memberatkan atas orang yang mengucapkannya, atau untuk menambah kekuatan Iman
dan As-Sunnah, dengan mengetahui kebalikannya yang berupa kufur, bid’ah,
dan lain-lain. Diharamkan pula “menguping” pembicaraan
(rahasia) orang yang hendak menghindar darimu secara diam-diam, dan mereka
tidak suka jika engkau mengetahuinya, selagi tidak mengurangi hak Allah yang
harus dilaksanakan, atau menyakiti seorang muslim yang semestinya diingatkan.
Begitu pula mendengarkan suara
wanita lain (bukan mahram), yang dikhawatirkan akan mendatangkan cobaan lewat
suaranya, selagi tidak ada keperluan padanya, seperti
untuk kesaksian, dalam mu’amalah, permintaan fatwa ‘ulama, proses pengadilan,
pengobatan dan lain sebagainya.
Begitu pula mendengarkan alat
musik, tabuh-tabuhan, dan hal-hal yang tidak berguna, seperti seruling, gitar, terompet,
tambur, dan yang sejenisnya. Tetapi dia
tidak perlu pula menutup telinganya jika terdengar suara-suara itu, sementara
dia tidak bermaksud mendengarkannya.
Terkecuali jika dia khawatir dengan keberadaannya di tempat itu, dan
akan menyimaknya, maka dia harus meninggalkan tempat tersebut, dan harus
menghindar dari perkara yang akan menyeretnya kepada hal-hal yang telah
diperingatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Serupa dengan pengharaman ini,
adalah sengaja mencium wewangian seorang wanita (bukan mahram). Sedangkan bila angin membawa aromanya
sehingga ia membauinya, maka dia tidak perlu menutup hidungnya.
Begitu pula pandangan mata
secara tiba-tiba, yang hukumnya tidak haram bagi yang memandang. Tetapi pandangan yang kedua menjadi haram
baginya bila disengaja.
Adapun pendengaran yang dianjurkan
seperti mendengarkan ilmu yang memang dianjurkan (bukan yang menyimpang / bid’ah),
bacaan Al-Qur’an, dzikir kepada Allah, dan mendengarkan apa pun yang disukai
Allah, tetapi hukumnya bukan fardhu (wajib).
Pendengaran yang hukumnya
makruh;
Adalah kebalikannya, yaitu mendengarkan apa pun
yang dibenci Allah, namun tidak ada siksa bagi pelakunya. Sedangkan yang mubah sudah diterangkan di
atas.
Pandangan yang wajib;
Ialah memandang (membaca) Mushaf (kitab suci Al-Qur'an), dan
kitab-kitab Ilmu yang akan membantunya dalam mempelajari yang wajib, pandangan
yang membantu pemilahan antara yang halal dan haram yang berkaitan dengan yang
harus dimakan, dinafkahkan, dan disimak, dalam memenuhi amanat-amanat yang
harus disampaikan kepada yang berhak, sehingga bisa dilakukan pemilahan, dan
lain sebagainya.
Pandangan yang haram;
Ialah memandang wanita lain (bukan mahram) yang disertai syahwat, dan juga
tanpa syahwat kecuali bila diperlukan, seperti pandangan seorang laki-laki
pelamar yang hendak melamar wanita yang dipandangnya, orang yang menawar barang
dagangan, orang yang bermu’amalah, pemberi kesaksian, hakim, dokter, dan
mahram.
Pandangan yang dianjurkan;
Ialah memandang (membaca) kitab-kitab Ilmu dan Agama, yang akan menambah Ilmu
dan Imannya, memandang mushaf (kitab Al-Qur’an), memandang wajah para
‘ulama yang shalih dan kedua orang tua. Memandang ayat-ayat Allah yang dapat
disaksikan di alam semesta, untuk mendapatkan bukti Tuhidullah (ke-Esaan Allah),
dan hikmah-hikmah-Nya.[2]
Pandangan yang makruh (tidak disukai Allah);
Ialah pandangan yang berlebih-lebihan tanpa ada kemashlahatannya. Pandangan dapat mempunyai takaran yang
berlebih seperti halnya lisan. Berapa
banyak pandangan yang berlebih-lebihan, kemudian sulit melepaskan diri darinya,
dan sulit dicarikan penyembuhnya. Sebagian
orang Salaf berkata, “Banyak orang yang tidak menyukai pandangan yang
berlebih-lebihan, sebagaimana mereka tidak menyukai perkataan yang berlebih-lebihan.”
Pandangan yang mubah;
Ialah memandang sesuatu yang tidak ada mudharatnya, dan tidak ada pula
manfaatnya di dunia maupun di akhirat.
Yang termasuk pandangan yang
haram;
Ialah memandang aurat.
Aurat ini ada dua macam; Aurat di balik pakaian, dan aurat di balik
pintu. Sekiranya seseorang memandang
aurat yang ada di balik pintu, lalu orang yang dipandang melemparnya - hingga
mencongkel matanya, maka yang melempar / mencongkel tersebut tidak berdosa, dan
mata orang yang memandang terlepas secara sia-sia. Hal ini didasarkan pada nash
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang keshahihannya
telah disepakati oleh para ahli hadits, meskipun sebagian fuqaha (ahli fiqih) mendha’ifkannya,
karena mereka tidak meneliti nash ini, atau mereka mentakwilnya. Hal ini berlaku jika yang memandang tidak
memiliki sebab yang membolehkannya memandang aurat orang lain yang berada di
balik pintu tersebut, sebagaimana layaknya aurat yang boleh dipandangnya, atau
karena ada keraguan, apakah hal itu diidzinkan (bagian-bagian yang diperbolehkan)
untuk dilihat.
Rasa yang wajib;
Ialah mencicipi makanan atau minuman ketika
terpaksa harus memakan atau meminumnya, dan dikhawatirkan akan menyebabkan
kematian. Jika ia tidak memakannya
hingga menyebabkan kematian, maka ia mati dalam keadaan durhaka, dan sama
seperti orang yang bunuh diri. Al-Imam
Ahmad dan Thawus berkata, “Siapa yang terpaksa memakan bangkai, namun ia tidak
memakannya hingga meninggal, maka dia masuk Neraka.”
Yang termasuk hukum ini adalah,
menelan obat yang diyakini dapat menyelamatkannya dari kebinasaan. Ini menurut pendapat yang lebih rajih
(kuat). Jika disangkakan (tidak
pasti / ragu-ragu) akan mendatangkan kesembuhan dengan obat tersebut, apakah
hal ini dianjurkan dan mubah, ataukah yang afdhal meninggalkannya? Ada perbedaan pendapat dalam hal ini antara
orang-orang Salaf (dahulu) dan Khalaf (belakangan).
Merasakan yang diharamkan; Ialah mencicipi khamr (minuman keras),
dan racun yang bisa mematikan, Merokok, Merasakan
makanan yang dilarang (berlaku untuk puasa wajib).
Merasakan yang makruh;
Ialah merasakan hal-hal yang syubhat
(kebathilan yang dibungkus / dipoles dengan kebenaran), Makan melebihi
kebutuhan. Merasakan makanan secara
langsung tanpa idzin (undangan) dari pemilik makanan. Atau, seperti memakan makanan diperjamuan / walimah
yang dimaksudkan untuk pamer. Di dalam As-Sunan
disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang
memakan makanan orang-orang yang berlomba-lomba. Yang termasuk makruh adalah memakan makanan
orang yang merasa malu untuk tidak menjamumu, bukan karena ketulusan hatinya.
Merasakan yang dianjurkan (Sunnah);
Ialah merasakan makanan yang dapat membantu ketaatanmu kepada Allah menurut kadar
yang diperkenan Allah, makan bersama tamu agar ia senang, Memakan makanan orang
yang mengundangmu. Sebagian fuqaha
ada yang mewajibkan memakan makanan walimah yang memang harus dipenuhi
undangannya, seperti yang diperintahkan Pembawa syari’at.
Merasakan yang mubah;
Adalah merasakan sesuatu yang di dalamnya tidak ada dosa, dan tidak pula
mendatangkan pahala.
Penciuman yang wajib;
Ialah yang membantu untuk membedakan yang
halal dan haram, seperti mencium sesuatu – apakah sesuatu itu baik atau buruk,
apakah mengandung racun yang mematikan, atau tidak membahayakan, atau untuk
membedakan antara yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Yang juga termasuk hukum ini, ialah penciuman
orang yang ahli ketika dibutuhkan untuk menetapkan suatu hukum.
Penciuman yang diharamkan; Ialah sengaja mencium wewangian ketika ihram,
mencium wewangian dari hasil mencuri / merampas, Sengaja mencium wewangian dari
wanita lain (bukan mahram) yang bisa menimbulkan cobaan dibalik perbuatan itu.
Penciuman yang dianjurkan
(Sunnah);
Ialah
mencium sesuatu yang dapat membantu ketaatan kepada Allah, dan menguatkan
indera, serta menguatkan jiwa untuk Ilmu dan Amal. Begitu pula menghadiahkan parfum /
wewangian. Di dalam Shahih Muslim disebutkan
dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Siapa yang ditawari Rayhan
(wewangian), maka janganlah dia menolaknya, karena baunya harum dan ringan
bawaannya.”
Penciuman yang makruh;
Ialah mencium wewangian orang-orang yang zhalim, para pelaku syubhat, bid’ah,
dan lain sebagainya.
Penciuman yang mubah;
Ialah mencium sesuatu yang tidak dilarang
Allah dan tidak ada akibatnya, juga yang tidak ada kemashlahatan agamanya, dan
yang tidak ada kaitannya dengan syariat.
Rabaan yang wajib;
Ialah rabaan suami terhadap isteri ketika
hendak berjima’ dengannya, dan budak wanita yang boleh dijima’.
Rabaan yang haram;
Ialah meraba wanita lain yang bukan mahram,
yang tidak halal untuk diraba dan, atau disentuh (mis. bersalaman).
Rabaan yang dianjurkan
(Sunnah); Ialah
rabaan yang dapat menahan pandangan mata, dan mencegah diri dari hal-hal yang
diharamkan, serta menjaga kehormatan isteri.
Rabaan yang makruh;
Ialah meraba isteri ketika
ihram untuk mendatangkan kenikmatan.
Begitu pula ketika I’tikaf dan ketika berpuasa, jika dia tidak
dapat menjamin keamanan diri (amal)nya.
Termasuk rabaan yang makruh, ialah meraba badan mayit oleh orang yang
tidak seharusnya memandikannya, karena badannya sama dengan aurat orang yang
masih hidup yang harus dihormati. Oleh
karena itu dianjurkan membentangkan tabir, agar tidak terlihat, dan
memandikannya dengan kain / sarung tangan (tidak menyentuh langsung). Meraba paha juga termasuk makruh, apabila
kami katakan bahwa paha itu termasuk aurat.
Rabaan yang mubah;
Ialah rabaan yang tidak
mengandung kerusakan, dan kemashlahatan dalam agama.
Tingkatan-tingkatan ini juga berlaku untuk gerakan tangan dan langkah kaki. Contoh-contoh yang lain cukup banyak.
Melangkahkan kaki dalam rangka mencari penghidupan menurut kesanggupan, untuk menafkahi diri
sendiri dan keluarga adalah wajib.
Tentang kewajiban mencari penghidupan untuk melunasi hutang
diperselisihkan. Yang benar, mencari
penghidupan adalah wajib, sehingga memungkinkannya melunasi hutang, dan dia
tidak diwajibkan mengeluarkan zakat untuk itu.
Tentang kewajibannya mencari harta untuk menunaikan haji perlu
dipertimbangkan. Pendapat yang kuat
berdasarkan dalil adalah wajib, kalau memang itu termasuk dalam kesanggupannya,
agar memungkinkannya melaksanakan ibadah.
Namun pendapat yang masyhur, hal itu tidaklah wajib.
Gerakan tangan yang wajib;
Ialah menolong orang dalam keadaan darurat,
Melempar jumrah, Mengusap pada saat berwudhu, dan Tayammum.
Gerakan tangan yang haram;
Ialah membunuh jiwa yang diharamkan Allah
untuk dibunuh, Merampas harta orang lain, Memukul orang yang tidak boleh
dipukul, dan lain sebagainya dari berbagai jenis mainan yang diharamkan
berdasarkan nash, main dadu atau yang lebih diharamkan lagi menurut
pendapat penduduk Madinah, seperti main catur, memainkan berbagai alat musik, membuat lukisan-lukisan / patung-patung makhluk hidup. Begitulah menurut pendapat para pakar hadits, seperti Imam Ahmad
dan yang lainnya.
Begitu pula menulis tulisan bid’ah,
yang bertentangan dengan As-Sunnah, menyusunnya hingga berjilid-jilid dan
membuat naskah, kecuali disertai bantahan dan penentangannya. Begitu pula menulis sesuatu yang palsu, dan
kezhaliman (Hoaks),
Tuduhan dan dakwaan terhadap wanita baik-baik, Menulis sesuatu yang mengandung
mudharat bagi kaum muslimin, baik yang terkait masalah Agama maupun dunianya,
apalagi bila tulisan itu terpicu untuk mendapatkan uang. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
(artinya),
“Maka kecelakaan besarlah bagi
mereka, akibat oleh apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan
besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.”
(QS. Al-Baqarah; 79)
Begitu juga tulisan Mufti
tentang suatu fatwa yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya,
kecuali jika permasalahan tersebut berdasarkan Ijtihajnya dan ternyata
salah. Dalam hal ini dia terbebas dari
dosa.
Gerakan tangan yang makruh; Seperti main-main dan candaan yang tidak
diharamkan (terlarang), menulis sesuatu yang tidak ada faidah / manfaatnya di
dunia maupun akhirat.
Gerakan tangan yang dianjurkan
(Sunnah);
Ialah
menulis apa pun yang bermanfaat bagi Agama, atau mendatangkan kemashlahatan
kaum muslimin, Berbuat baik dengan
tangannya yang dapat membantu keterampilannya, Membuat kreasi, Membantu orang
yang menimba air, Mengangkatkan barang orang lain ke atas kendaraannya, atau
menahan kendaraannya agar orang tersebut dapat menaikkan barangnya, Memberikan
pertolongan dengan tangannya untuk siapa pun yang memerlukan dan lain
sebagainya. Termasuk dalam anjuran ini
adalah mengusap Hajar Aswad dengan tangannya ketika Thawaf. Ada dua pendapat tentang memeluknya setelah
mengusap.
Gerakan tangan yang mubah;
Ialah
gerakan yang tidak ada mudharatnya dan tidak pula pahala.
Jalan kaki yang wajib;
Ialah berjalan ke shalat Jum’at, dan shalat
jama’ah menurut pendapat yang paling kuat, yang didasarkan pada lebih dari 20
dalil, dan yang tidak disebutkan di tempat ini saja.
Begitu pula berjalan mengelilingi
Ka’bah saat Thawaf, berjalan sendiri antara Shafa dan Marwah, atau
dengan ditandu, Berjalan kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya jika ada
seruan kepadanya, Berjalan untuk
Silaturrahim, Berbakti kepada kedua orang tua, Berjalan ke majelis-majelis Ilmu
untuk mencari dan mempelajarinya, Berjalan untuk menunaikan haji jika jaraknya
sudah dekat, tanpa ada mudharat yang menimpanya.
Jalan kaki yang haram;
Ialah berjalan untuk mendurhakai Allah, yang
hanya dilakukan manusia-manusia dari golongan syaithan. Firman Allah (artinya),
“Dan kerahkanlah terhadap
mereka pasukan berkuda dan pasukan yang berjalan kaki.”
(QS. Al-Isra’; 64)
Menurut Muqatil, artinya mintalah bantuan
kepada mereka dengan mengerahkan pasukan berkuda dan pasukan pejalan kaki. Setiap orang yang berjalan untuk
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka ia termasuk pasukan Iblis.
Begitu pula kaitan lima hukum ini
dengan berkendaraan.
Yang wajib dalam
berkendara; Ialah dalam peperangan,
jihad, dan haji yang wajib dilakukan.
Yang dianjurkan (Sunnah) dalam
berkendara;
Ialah seperti mencari Ilmu, Menyambung silaturrahim, Berbakti kepada
kedua orang tua.
Tentang wuquf di Arafah ada
perbedaan pendapat, apakah berkendara di sana lebih afdhal, ataukah
berjalan kaki? Yang pasti, berkendara di
sana lebih baik jika terkandung kemashlahatan, seperti karena mengajarkan
manasik dan mengikutinya. Hal ini lebih
dapat membantu untuk berdo’a, selagi tidak mendatangkan mudharat bagi hewan
yang ditunggangi.
Berkendara yang haram;
Ialah berkendara untuk mendurhakai Allah.
Berkendara yang makruh;
Ialah berkendara untuk main-main, dan tidak
ada manfaat serta kebaikannya.
Berkendara yang mubah;
Ialah berkendara yang tidak mendatangkan
manfaat dan dosa.
Inilah 50 (limapuluh) tingkatan pada sepuluh
bahagian; Hati, Lisan, Pendengaran,
Penglihatan, Hidung, Mulut (perasa), Tangan, Kaki, Kemaluan, dan Berkendara (10
x 5).[3]
Renungan
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula."
Renungan
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula."
(QS. Az-Zalzalah; 7-8)
oOo
(Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat
Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1] Begitu pula hal wajib yang
paling wajib, ialah yang menjadi ukuran sahnya iman, berupa iman kepada Asma
Allah dan Sifat-Sifat-Nya, Syari’at serta ibadah kepada-Nya, dan
lain-lain. Jika bagian-bagian dari
Al-Qur’an ini tidak diketahui, bisa menjadikan imannya Taklid (membeo
saja), hanya serkedar rupa (penampilan) dan dusta, tidak mendatangkan manfaat
dan tidak pula mampu membela dirinya dari serangan musuh berupa Khurafat
(Tahayul), Bid’ah (penyimpangan dalam amal dan aqidah), Paganisme
(Syirik), dan lain sebagainya.
[2] Memandang dan mengamati
ayat-ayat Allah di alam semesta jauh lebih wajib. Penekanan perintah dalam hal ini banyak
disebutkan di dalam Al-Qur’an, dan peringatan yang keras bagi orang-orang yang
“buta” terhadap ayat-ayat Allah di alam ini, lalu mendustakan serta kufur
kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya. Iman
kepada Allah, Kitab-Kitab, dan Rasul-Rasul-Nya hanya akan muncul (tumbuh) karena ilmu (pen.), memikirkan
ayat-ayat Allah di dalam diri, dan segenap ufuk (penjuru). Sedangkan tentang memandang Mushaf,
dan wajah para ‘ulama, kami tidak mengetahui darimana sumber pengambilannya,
bahwa hal itu termasuk yang dianjurkan? Ya
Allah, kecuali jika hal itu termasuk Sunnatullah dan ayat-ayat-Nya,
sehingga dapat menjadi I’tibar (pelajaran).
[3] Madarijus-Salikin, I/4-66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar