Sabtu, 26 Januari 2019

LINGKARAN 'UBUDIYAH BERPUTAR PADA 15 KAIDAH



بسم الله الر حمان الر حيم

Hakikat ‘ubudiyah (ibadah) akan terwujud bila terjadi sinergi antara 3 (tiga) serangkai;  ‘Ubudiyah HATI, LISAN, dan JAWARIH (Anggota Tubuh), yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan hukum-hukum ibadah menurut Ilmu Fiqih terbagi atas 5 (lima) keadaan;  WAJIB, SUNAT, HARAM, MAKRUH, dan MUBAH, sehingga jika  dikalikan (3 x 5) berjumlah 15 kaidah;

1.       I. HATI
Yang wajib bagi hati ialah
Ikhlas, Cinta, Takut, Harap, Tawakal, Sabar, Inabah (kembali kepada Allah dalam segala keadaan), Pembenaran yang pasti, dan Niat untuk beribadah.

Yang Sunat bagi Hati ialah;  Melakukan dzikir-dzikir tambahan.

Yang Haram bagi Hati ada dua keadaan;
a.     Kufur;
 Seperti Keragu-raguan, Nifak (Munafik), Syirik dengan segala cabang-cabangnya (Syirik Besar, Syirik Kecil, dan Syirik Khafiy).
b.     Kedurhakaan, juga ada dua macam;
·        Kedurhakaan yang Besar;
Riya’ (beribadah karena ingin dipuji orang), Ujub (berbangga dengan amalan yang telah dilakukan), Takabbur, Membanggakan diri, Sombong, Putus asa dari rahmat Allah, Merasa aman dari tipu daya Allah, Senang / gembira bila kaum muslimin mendapatkan gangguan (musibah), Suka bila kekejian menyebar ditengah-tengah mereka, Dengki terhadap karunia Allah yang diberikan pada mereka (mengharapkan lenyapnya karunia tersebut dari mereka).  Yang demikian ini lebih diharamkan daripada zina, minum khamr dan lain-lain dari dosa-dosa yang nyata!
Tidak ada kebaikan bagi hati dan badan, kecuali dengan menjauhi semua itu, dan bertaubat darinya.  Jika tidak, maka ia adalah hati yang rusak, sehingga badan (perbuatan) pun ikut rusak pula.
Bencana ini terjadi karena kebodohan tentang 'ubudiyah (ibadah) hati dan pelaksanaannya.
Ini merupakan tugas Iyyaaka na’budu (“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”) terhadap hati sebelum melaksanakan Ibadah Jawarih (anggota badan).  Jika hal ini tidak diketahui, dan tidak dilaksanakan, maka hati akan dipenuhi dengan kebalikannya (penyakit).  Hal ini tidak boleh tidak, sebab seberapa jauh pelaksanaannya, maka sejauh itu pula hati akan terbebas dari kebalikannya.  Masalah-masalah ini dan yang semacamnya bisa menjadi dosa besar atau dosa kecil, tergantung dari kekuatan dan ukurannya.  Yang termasuk dosa kecil, ialah bernafsu terhadap hal-hal yang haram, dan mengangan-angankannya, keragaman derajat-derajat syahwat, besar dan kecilnya tergantung pada keragaman derajat orang yang bernafsu terhadapnya.
Bernafsu terhadap kufur dan syirik adalah Kufur.  Bernafsu terhadap Bid’ah adalah Kefasikan (pelaku dosa-dosa besar).
Bernafsu terhadap dosa-dosa besar adalah kedurhakaan.
Jika ia meninggalkan kedurhakaan karena Allah, padahal ia memiliki kemampuan / peluang untuk mengerjakannya, maka ia akan mendapatkan pahala.  Jika ia  meninggalkan kedurhakaan karena tidak memiliki kemampuan mengerjakannya (bila memiliki kemampuan dan peluang tentu akan mengerjakannya), maka dia akan disiksa seperti orang yang melakukannya.  Hal ini terjadi, karena masing-masing (berniat dan berkehendak) / memposisikan dirinya dalam hukum pahala dan siksa, meskipun tidak mampu melakukan perbuatan tersebut.  Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“’Jika dua orang muslim saling berhadapan menghunus pedangnya, maka yang membunuh dan yang dibunuh berada di Neraka.’  Mereka bertanya, ‘Ini bisa berlaku bagi pembunuh wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan orang yang dibunuh?’  Beliau menjawab, ‘Karena yang dibunuh itu pun berambisi untuk membunuh rekannya.’”
Beliau menempatkan korban pada posisi pembunuh, karena dia pun berambisi melakukan dosa tanpa keputusan hukum (Qadhar yang terjadi).
Yang serupa dengan hal ini dalam masalah pahala / dosa, dan hati cukup banyak kita jumpai di dunia.  Dengan begitu dapat diketahui apa yang sunat dan apa yang mubah bagi hati.

·        Kedurhakaan yang kecil;  Umumnya kedurhakaan yang tidak diancam dengan api Neraka, dan lebih kecil dari hal-hal yang telah disebutkan di atas.  Atau, dapat pula diketahui dengan mengenal ciri-ciri dosa besar, di antaranya;
* Perbuatan zina, homoseks, lesbian, meminum minuman keras, membunuh, dan obat-obat terlarang, riba (bunga uang), dan lain-lain.
*Perbuatan yang diancam dengan Api Neraka.
* Disebutkan laknat Allah padanya.
* Disebutkan kata-kata, "Laa yukminu ahadukum" (Tidak beriman seseorang di antara kalian).
* Disebutkan kata-kata, "Tidak termasuk pengikutku (Rasulullah)".
* Dan lain-lain.

2.       II. LISAN
‘Ubudiyah lisan ada 5 (lima) macam;
Yang wajib bagi lisan adalah;  Mengucapkan Syahadatain (Dua kalimat syahadat), dan membaca apa yang harus dibaca dari Al-Qur’an, yaitu yang menjadi ukuran sahnya shalat[1], mengucapkan dzikir yang wajib dalam shalat seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, seperti perintah membaca tasbih ketika ruku’ dan sujud, perintah membaca Rabbana wa lakal-hamdu setelah ‘itidal (berdiri dari ruku'), perintah tasyahud dan takbir.
Yang juga wajib bagi lisan, adalah menjawab salam.  Adapun tentang mengawalinya ada dua pendapat.  Yang wajib lainnya bagi lisan adalah menyuruh / mengajak kepada yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah dari yang mungkar (kebathilan), mengajari orang-orang bodoh, menunjuki orang yang tersesat, menyampaikan kesaksian yang diperlukan secara jujur.

Yang Sunat bagi lisan;  
Adalah membaca Al-Qur’an, Senantiasa berdzikir, Membicarakan ilmu yang bermanfaat dan segala implikasinya.

Yang haram bagi lisan ialah;  
Segala ucapan yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, seperti ucapan bid’ah yang bertentangan dengan apa yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya, mengajak kepada bid’ah, dan menganggapnya sesuatu yang baik.  Begitu pula menuduh, Mencela seorang Muslim, Menyakitinya dengan perkataan, Perkataan dusta (Hoaks), Kesaksian palsu, Mengatakan terhadap Allah sesuatu tanpa didasari ilmu (pengetahuan), yang terakhir ini merupakan perkataan yang paling diharamkan!

Yang makruh bagi lisan;  
Ialah mengatakan sesuatu padahal meninggalkannya lebih baik daripada mengatakannya, meskipun tanpa akibat siksa yang ditanggung.
Para Salaf berpendapat, apakah ada perkataan yang mubah (memiliki dua sisi yang sama, dan berimbang)?  Ada dua pendapat tentang masalah ini, seperti yang disebutkan Ibnul Mundzir dan yang lainnya.  Salah satu diantaranya, bahwa apa pun yang dikatakan seseorang tidak lepas dari dua kemungkinan, entah merupakan pahala, atau merupakan dosa (siksa) atas dirinya.  Tidak ada satu pun perkataan yang tidak mendatangkan pahala atau siksa.  Mereka berhujjah dengan hadits yang masyhur,
Setiap perkataan anak Adam merupakan dosa atas dirinya, dan bukan merupakan pahala, kecuali jika perkataan itu merupakan dzikir kepada Allah dan yang hal-hal yang membantunya.”
Mereka juga berhujjah, bahwa semua perkataan akan ditulis, sementara tidak ada yang ditulis melainkan kebaikan (pahala), atau keburukan (dosa).
Ada satu golongan yang berpendapat, perkataan itu ada yang mubah (boleh), bukan merupakan pahala baginya dan bukan pula merupakan siksa, seperti yang berlaku pada gerakan anggota tubuh.  Menurut mereka, karena banyak perkataan yang tidak berkaitan dengan perintah dan larangan, dan inilah keadaan sesuatu yang hukumnya mubah (boleh).
Yang pasti, gerak lisan dengan perkataan tidak bisa menjadi seimbang kedua sisinya, melainkan ada yang lebih berat (cenderung), dan yang lebih ringan.  Sebab lisan memiliki keadaan yang berbeda dengan anggota-anggota tubuh lainnya.  Jika anak Adam memasuki waktu pagi, maka seluruh anggota tubuh mengerubuti lisan seraya berkata, “Bertakwalah kepada Allah, karena kami hanya bersamamu.  Jika engkau lurus, maka kami pun akan lurus, dan jika engkau bengkok, maka kami pun akan bengkok.”
Mayoritas penyebab yang mengakibatkan wajah manusia tersungkur di Neraka (pada hari Kiamat), adalah akibat lisannya.  Jika yang pertama kali dilontarkan lisan adalah saesuatu yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka itu adalah timbangan yang berat (menguntungkan).  Jika tidak, maka itu adalah timbangan yang memberatkan (merugikan).  Hal ini berbeda dengan gerakan anggota tubuh lainnya, dimana pelakunya dapat mengambil manfaat dari gerakan yang mubah (boleh), yang sama pada kedua sisinya, karena dia mendapatkan dari timbangan yang berat dan bermanfaat, sehingga penggunaannya diperbolehkan, sementara tidak ada mudharat baginya di akhirat kelak.  Adapun gerakan lisan berupa perkataan yang tidak bermanfaat baginya bisa mendatangkan mudharat.  Perhatikanlah hal ini baik-baik.
Jika ada yang bertanya, ‘Adakalanya lisan bergerak dengan suatu perkataan yang bermanfaat di dunia, mubah dan seimbang kedua sisinya, sehingga hukum gerakannya sama dengan hukum gerakan (tubuh), bagaimana hal ini?”
Dapat dijawab sebagai berikut;  Gerakan lisan dengan perkataan menjadi berat timbangannya (menguntungkan) jika dibutuhkan.  Jika tidak dibutuhkan, maka timbangannya jadi memberatkan (merugikan), dan tidak bermanfaat, sehingga perkataan itu menjadi dosa baginya, bukan merupakan pahala.
Pun jika ada yang bertanya, “Jika perbuatan bisa menjadi seimbang dua sisinya, maka lisan bisa menjadi sarana untuk itu.  Sebab hukum sarana mengikuti maksud (tujuan).  Bagaimana hal ini?”
Dapat dijawab sebagai berikut;  Tidak mesti begitu.  Bisa jadi sesuatu itu hukumnya mubah – bahkan wajib.  Sementara sarananya adalah sesuatu yang makruh (tidak disukai Allah), seperti hukum memenuhi ketaatan yang telah dinadzarkan adalah wajib.  Padahal sarananya, yaitu nadzar adalah makruh dan dilarang.  Begitu pula sumpah yang makruh, adalah sesuatu yang memberatkan (merugikan), sementara memenuhinya adalah wajib atau dengan kafarat (denda).  Begitu pula meminta kepada makhluk pada saat membutuhkan adalah sesuatu yang makruh, namun mubah memanfaatkan apa yang diberikan ketika meminta.  Contoh-contoh semacam ini banyak sekali.  Sarana bisa mengandung kerusakan yang dimakruhkan, atau bahkan diharamkan, sementara yang menjadi tujuan dari sarana tersebut bukan termasuk sesuatu yang makruh atau diharamkan.

3.       III. JAWARIH (Anggota Tubuh)
Lima macam hukum ‘ubudiyah di atas juga berlaku untuk Jawarih (anggota tubuh).  Berarti ada 25 (duapuluh lima) tingkatan, sebab indera manusia ada lima (panca indera).  Sedangkan pada setiap indera berlaku pula 5 (lima) macam ‘ubudiyah tersebut, jadi 5 x 5 = 25.

Yang wajib atas Pendengaran adalah;  
Mendengarkan, dan menyimak apa-apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, yaitu mendengarkan Islam, Iman, dan Sunnah, serta kewajiban-kewajibannya.  Begitu pula mendengarkan Al-Qur’an dalam shalat, ketika imam menyaringkan bacaannya (Jahar), mendengarkan Khutbah Jum’at menurut pendapat yang paling kuat dari para ‘ulama.

Diharamkan mendengarkan suara kufur dan bid’ah, kecuali jika di sana terkandung kemashlahatan yang kuat, seperti dimaksudkan untuk membantahnya, atau memberikan kesaksian yang memberatkan atas orang yang mengucapkannya, atau untuk menambah kekuatan Iman dan As-Sunnah, dengan mengetahui kebalikannya yang berupa kufur, bid’ah, dan lain-lain.  Diharamkan pula “menguping” pembicaraan (rahasia) orang yang hendak menghindar darimu secara diam-diam, dan mereka tidak suka jika engkau mengetahuinya, selagi tidak mengurangi hak Allah yang harus dilaksanakan, atau menyakiti seorang muslim yang semestinya diingatkan.
Begitu pula mendengarkan suara wanita lain (bukan mahram), yang dikhawatirkan akan mendatangkan cobaan lewat suaranya, selagi tidak ada keperluan padanya, seperti untuk kesaksian, dalam mu’amalah, permintaan fatwa ‘ulama, proses pengadilan, pengobatan dan lain sebagainya.
Begitu pula mendengarkan alat musik, tabuh-tabuhan, dan hal-hal yang tidak berguna, seperti seruling, gitar, terompet, tambur, dan yang sejenisnya.  Tetapi dia tidak perlu pula menutup telinganya jika terdengar suara-suara itu, sementara dia tidak bermaksud mendengarkannya.  Terkecuali jika dia khawatir dengan keberadaannya di tempat itu, dan akan menyimaknya, maka dia harus meninggalkan tempat tersebut, dan harus menghindar dari perkara yang akan menyeretnya kepada hal-hal yang telah diperingatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Serupa dengan pengharaman ini, adalah sengaja mencium wewangian seorang wanita (bukan mahram).  Sedangkan bila angin membawa aromanya sehingga ia membauinya, maka dia tidak perlu menutup hidungnya.
Begitu pula pandangan mata secara tiba-tiba, yang hukumnya tidak haram bagi yang memandang.  Tetapi pandangan yang kedua menjadi haram baginya bila disengaja.
Adapun pendengaran yang dianjurkan seperti mendengarkan ilmu yang memang dianjurkan (bukan yang menyimpang / bid’ah), bacaan Al-Qur’an, dzikir kepada Allah, dan mendengarkan apa pun yang disukai Allah, tetapi hukumnya bukan fardhu (wajib).

Pendengaran yang hukumnya makruh
Adalah kebalikannya, yaitu mendengarkan apa pun yang dibenci Allah, namun tidak ada siksa bagi pelakunya.  Sedangkan yang mubah sudah diterangkan di atas.

Pandangan yang wajib;  
Ialah memandang (membaca) Mushaf (kitab suci Al-Qur'an), dan kitab-kitab Ilmu yang akan membantunya dalam mempelajari yang wajib, pandangan yang membantu pemilahan antara yang halal dan haram yang berkaitan dengan yang harus dimakan, dinafkahkan, dan disimak, dalam memenuhi amanat-amanat yang harus disampaikan kepada yang berhak, sehingga bisa dilakukan pemilahan, dan lain sebagainya.

Pandangan yang haram; 
Ialah memandang wanita lain (bukan mahram) yang disertai syahwat, dan juga tanpa syahwat kecuali bila diperlukan, seperti pandangan seorang laki-laki pelamar yang hendak melamar wanita yang dipandangnya, orang yang menawar barang dagangan, orang yang bermu’amalah, pemberi kesaksian, hakim, dokter, dan mahram.

Pandangan yang dianjurkan
Ialah memandang (membaca) kitab-kitab Ilmu dan Agama, yang akan menambah Ilmu dan Imannya, memandang mushaf (kitab Al-Qur’an), memandang wajah para ‘ulama yang shalih dan kedua orang tua. Memandang ayat-ayat Allah yang dapat disaksikan di alam semesta, untuk mendapatkan bukti Tuhidullah (ke-Esaan Allah), dan hikmah-hikmah-Nya.[2]

Pandangan yang makruh (tidak disukai Allah)
Ialah pandangan yang berlebih-lebihan tanpa ada kemashlahatannya.  Pandangan dapat mempunyai takaran yang berlebih seperti halnya lisan.  Berapa banyak pandangan yang berlebih-lebihan, kemudian sulit melepaskan diri darinya, dan sulit dicarikan penyembuhnya.  Sebagian orang Salaf berkata, “Banyak orang yang tidak menyukai pandangan yang berlebih-lebihan, sebagaimana mereka tidak menyukai perkataan yang berlebih-lebihan.”

Pandangan yang mubah
Ialah memandang sesuatu yang tidak ada mudharatnya, dan tidak ada pula manfaatnya di dunia maupun di akhirat.

Yang termasuk pandangan yang haram
Ialah memandang aurat.
Aurat ini ada dua macam;  Aurat di balik pakaian, dan aurat di balik pintu.  Sekiranya seseorang memandang aurat yang ada di balik pintu, lalu orang yang dipandang melemparnya - hingga mencongkel matanya, maka yang melempar / mencongkel tersebut tidak berdosa, dan mata orang yang memandang terlepas secara sia-sia.  Hal ini didasarkan pada nash Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang keshahihannya telah disepakati oleh para ahli hadits, meskipun sebagian fuqaha (ahli fiqih) mendha’ifkannya, karena mereka tidak meneliti nash ini, atau mereka mentakwilnya.  Hal ini berlaku jika yang memandang tidak memiliki sebab yang membolehkannya memandang aurat orang lain yang berada di balik pintu tersebut, sebagaimana layaknya aurat yang boleh dipandangnya, atau karena ada keraguan, apakah hal itu diidzinkan (bagian-bagian yang diperbolehkan) untuk dilihat.

Rasa yang wajib;  
Ialah mencicipi makanan atau minuman ketika terpaksa harus memakan atau meminumnya, dan dikhawatirkan akan menyebabkan kematian.  Jika ia tidak memakannya hingga menyebabkan kematian, maka ia mati dalam keadaan durhaka, dan sama seperti orang yang bunuh diri.  Al-Imam Ahmad dan Thawus berkata, “Siapa yang terpaksa memakan bangkai, namun ia tidak memakannya hingga meninggal, maka dia masuk Neraka.”
Yang termasuk hukum ini adalah, menelan obat yang diyakini dapat menyelamatkannya dari kebinasaan.  Ini menurut pendapat yang lebih rajih (kuat).  Jika disangkakan (tidak pasti / ragu-ragu) akan mendatangkan kesembuhan dengan obat tersebut, apakah hal ini dianjurkan dan mubah, ataukah yang afdhal meninggalkannya?  Ada perbedaan pendapat dalam hal ini antara orang-orang Salaf (dahulu) dan Khalaf (belakangan).

Merasakan yang diharamkan;  Ialah mencicipi khamr (minuman keras), dan racun yang bisa mematikan, Merokok, Merasakan makanan yang dilarang (berlaku untuk puasa wajib).

Merasakan yang makruh;  
Ialah merasakan hal-hal yang syubhat (kebathilan yang dibungkus / dipoles dengan kebenaran), Makan melebihi kebutuhan.  Merasakan makanan secara langsung tanpa idzin (undangan) dari pemilik makanan.  Atau, seperti memakan makanan diperjamuan / walimah yang dimaksudkan untuk pamer.  Di dalam As-Sunan disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memakan makanan orang-orang yang berlomba-lomba.  Yang termasuk makruh adalah memakan makanan orang yang merasa malu untuk tidak menjamumu, bukan karena ketulusan hatinya.

Merasakan yang dianjurkan (Sunnah)
Ialah merasakan makanan yang dapat membantu ketaatanmu kepada Allah menurut kadar yang diperkenan Allah, makan bersama tamu agar ia senang, Memakan makanan orang yang mengundangmu.  Sebagian fuqaha ada yang mewajibkan memakan makanan walimah yang memang harus dipenuhi undangannya, seperti yang diperintahkan Pembawa syari’at.

Merasakan yang mubah
Adalah merasakan sesuatu yang di dalamnya tidak ada dosa, dan tidak pula mendatangkan pahala.

Penciuman yang wajib;  
Ialah yang membantu untuk membedakan yang halal dan haram, seperti mencium sesuatu – apakah sesuatu itu baik atau buruk, apakah mengandung racun yang mematikan, atau tidak membahayakan, atau untuk membedakan antara yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.  Yang juga termasuk hukum ini, ialah penciuman orang yang ahli ketika dibutuhkan untuk menetapkan suatu hukum.

Penciuman yang diharamkan;  Ialah sengaja mencium wewangian ketika ihram, mencium wewangian dari hasil mencuri / merampas, Sengaja mencium wewangian dari wanita lain (bukan mahram) yang bisa menimbulkan cobaan dibalik perbuatan itu.

Penciuman yang dianjurkan (Sunnah);  
Ialah mencium sesuatu yang dapat membantu ketaatan kepada Allah, dan menguatkan indera, serta menguatkan jiwa untuk Ilmu dan Amal.  Begitu pula menghadiahkan parfum / wewangian.  Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Siapa yang ditawari Rayhan (wewangian), maka janganlah dia menolaknya, karena baunya harum dan ringan bawaannya.”

Penciuman yang makruh
Ialah mencium wewangian orang-orang yang zhalim, para pelaku syubhat, bid’ah, dan lain sebagainya.

Penciuman yang mubah;  
Ialah mencium sesuatu yang tidak dilarang Allah dan tidak ada akibatnya, juga yang tidak ada kemashlahatan agamanya, dan yang tidak ada kaitannya dengan syariat.

Rabaan yang wajib;  
Ialah rabaan suami terhadap isteri ketika hendak berjima’ dengannya, dan budak wanita yang boleh dijima’.

Rabaan yang haram;  
Ialah meraba wanita lain yang bukan mahram, yang tidak halal untuk diraba dan, atau disentuh (mis. bersalaman).

Rabaan yang dianjurkan (Sunnah);  Ialah rabaan yang dapat menahan pandangan mata, dan mencegah diri dari hal-hal yang diharamkan, serta menjaga kehormatan isteri.

Rabaan yang makruh;  
Ialah meraba isteri ketika ihram untuk mendatangkan kenikmatan.  Begitu pula ketika I’tikaf dan ketika berpuasa, jika dia tidak dapat menjamin keamanan diri (amal)nya.
Termasuk rabaan yang makruh, ialah meraba badan mayit oleh orang yang tidak seharusnya memandikannya, karena badannya sama dengan aurat orang yang masih hidup yang harus dihormati.  Oleh karena itu dianjurkan membentangkan tabir, agar tidak terlihat, dan memandikannya dengan kain / sarung tangan (tidak menyentuh langsung).  Meraba paha juga termasuk makruh, apabila kami katakan bahwa paha itu termasuk aurat.

Rabaan yang mubah;  
Ialah rabaan yang tidak mengandung kerusakan, dan kemashlahatan dalam agama.

Tingkatan-tingkatan ini juga berlaku untuk gerakan tangan dan langkah kaki.  Contoh-contoh yang lain cukup banyak.
Melangkahkan kaki dalam rangka mencari penghidupan  menurut kesanggupan, untuk menafkahi diri sendiri dan keluarga adalah wajib.  Tentang kewajiban mencari penghidupan untuk melunasi hutang diperselisihkan.  Yang benar, mencari penghidupan adalah wajib, sehingga memungkinkannya melunasi hutang, dan dia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat untuk itu.  Tentang kewajibannya mencari harta untuk menunaikan haji perlu dipertimbangkan.  Pendapat yang kuat berdasarkan dalil adalah wajib, kalau memang itu termasuk dalam kesanggupannya, agar memungkinkannya melaksanakan ibadah.  Namun pendapat yang masyhur, hal itu tidaklah wajib.

Gerakan tangan yang wajib;  
Ialah menolong orang dalam keadaan darurat, Melempar jumrah, Mengusap pada saat berwudhu, dan Tayammum.

Gerakan tangan yang haram;  
Ialah membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk dibunuh, Merampas harta orang lain, Memukul orang yang tidak boleh dipukul, dan lain sebagainya dari berbagai jenis mainan yang diharamkan berdasarkan nash, main dadu atau yang lebih diharamkan lagi menurut pendapat penduduk Madinah, seperti main catur, memainkan berbagai alat musik, membuat lukisan-lukisan / patung-patung makhluk hidup.  Begitulah menurut pendapat para pakar hadits, seperti Imam Ahmad dan yang lainnya.
Begitu pula menulis tulisan bid’ah, yang bertentangan dengan As-Sunnah, menyusunnya hingga berjilid-jilid dan membuat naskah, kecuali disertai bantahan dan penentangannya.  Begitu pula menulis sesuatu yang palsu, dan kezhaliman (Hoaks), Tuduhan dan dakwaan terhadap wanita baik-baik, Menulis sesuatu yang mengandung mudharat bagi kaum muslimin, baik yang terkait masalah Agama maupun dunianya, apalagi bila tulisan itu terpicu untuk mendapatkan uang.  Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat oleh apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.”  
(QS. Al-Baqarah;  79)
Begitu juga tulisan Mufti tentang suatu fatwa yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, kecuali jika permasalahan tersebut berdasarkan Ijtihajnya dan ternyata salah.  Dalam hal ini dia terbebas dari dosa.

Gerakan tangan yang makruh;  Seperti main-main dan candaan yang tidak diharamkan (terlarang), menulis sesuatu yang tidak ada faidah / manfaatnya di dunia maupun akhirat.

Gerakan tangan yang dianjurkan (Sunnah);  
Ialah menulis apa pun yang bermanfaat bagi Agama, atau mendatangkan kemashlahatan kaum muslimin,  Berbuat baik dengan tangannya yang dapat membantu keterampilannya, Membuat kreasi, Membantu orang yang menimba air, Mengangkatkan barang orang lain ke atas kendaraannya, atau menahan kendaraannya agar orang tersebut dapat menaikkan barangnya, Memberikan pertolongan dengan tangannya untuk siapa pun yang memerlukan dan lain sebagainya.  Termasuk dalam anjuran ini adalah mengusap Hajar Aswad dengan tangannya ketika Thawaf.  Ada dua pendapat tentang memeluknya setelah mengusap.

Gerakan tangan yang mubah;  
Ialah gerakan yang tidak ada mudharatnya dan tidak pula pahala.

Jalan kaki yang wajib;  
Ialah berjalan ke shalat Jum’at, dan shalat jama’ah menurut pendapat yang paling kuat, yang didasarkan pada lebih dari 20 dalil, dan yang tidak disebutkan di tempat ini saja.
Begitu pula berjalan mengelilingi Ka’bah saat Thawaf, berjalan sendiri antara Shafa dan Marwah, atau dengan ditandu, Berjalan kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya jika ada seruan kepadanya,  Berjalan untuk Silaturrahim, Berbakti kepada kedua orang tua, Berjalan ke majelis-majelis Ilmu untuk mencari dan mempelajarinya, Berjalan untuk menunaikan haji jika jaraknya sudah dekat, tanpa ada mudharat yang menimpanya.

Jalan kaki yang haram;  
Ialah berjalan untuk mendurhakai Allah, yang hanya dilakukan manusia-manusia dari golongan syaithan.  Firman Allah (artinya),
“Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukan yang berjalan kaki.”  
(QS. Al-Isra’;  64)
Menurut Muqatil, artinya mintalah bantuan kepada mereka dengan mengerahkan pasukan berkuda dan pasukan pejalan kaki.  Setiap orang yang berjalan untuk mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka ia termasuk pasukan Iblis.

Begitu pula kaitan lima hukum ini dengan berkendaraan.  
Yang wajib dalam berkendara;  Ialah dalam peperangan, jihad, dan haji yang wajib dilakukan.

Yang dianjurkan (Sunnah) dalam berkendara;  
Ialah seperti mencari Ilmu, Menyambung silaturrahim, Berbakti kepada kedua orang tua.
Tentang wuquf di Arafah ada perbedaan pendapat, apakah berkendara di sana lebih afdhal, ataukah berjalan kaki?  Yang pasti, berkendara di sana lebih baik jika terkandung kemashlahatan, seperti karena mengajarkan manasik dan mengikutinya.  Hal ini lebih dapat membantu untuk berdo’a, selagi tidak mendatangkan mudharat bagi hewan yang ditunggangi.

Berkendara yang haram;  
Ialah berkendara untuk mendurhakai Allah.

Berkendara yang makruh;  
Ialah berkendara untuk main-main, dan tidak ada manfaat serta kebaikannya.

Berkendara yang mubah;  
Ialah berkendara yang tidak mendatangkan manfaat dan dosa.

Inilah 50 (limapuluh) tingkatan pada sepuluh bahagian;  Hati, Lisan, Pendengaran, Penglihatan, Hidung, Mulut (perasa), Tangan, Kaki, Kemaluan, dan Berkendara (10 x 5).[3]

Renungan
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya.  Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula."  
(QS. Az-Zalzalah;  7-8)

oOo
(Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

[1]  Begitu pula hal wajib yang paling wajib, ialah yang menjadi ukuran sahnya iman, berupa iman kepada Asma Allah dan Sifat-Sifat-Nya, Syari’at serta ibadah kepada-Nya, dan lain-lain.  Jika bagian-bagian dari Al-Qur’an ini tidak diketahui, bisa menjadikan imannya Taklid (membeo saja), hanya serkedar rupa (penampilan) dan dusta, tidak mendatangkan manfaat dan tidak pula mampu membela dirinya dari serangan musuh berupa Khurafat (Tahayul), Bid’ah (penyimpangan dalam amal dan aqidah), Paganisme (Syirik), dan lain sebagainya.
[2]  Memandang dan mengamati ayat-ayat Allah di alam semesta jauh lebih wajib.  Penekanan perintah dalam hal ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an, dan peringatan yang keras bagi orang-orang yang “buta” terhadap ayat-ayat Allah di alam ini, lalu mendustakan serta kufur kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya.  Iman kepada Allah, Kitab-Kitab, dan Rasul-Rasul-Nya hanya akan muncul (tumbuh) karena ilmu (pen.), memikirkan ayat-ayat Allah di dalam diri, dan segenap ufuk (penjuru).  Sedangkan tentang memandang Mushaf, dan wajah para ‘ulama, kami tidak mengetahui darimana sumber pengambilannya, bahwa hal itu termasuk yang dianjurkan?  Ya Allah, kecuali jika hal itu termasuk Sunnatullah dan ayat-ayat-Nya, sehingga dapat menjadi I’tibar (pelajaran).
[3]  Madarijus-Salikin, I/4-66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar