Rabu, 02 Januari 2019

MENGHADAP ALLAH DENGAN HATI YANG BERSIH



بسم الله الر حمان الر حيم

Menghadap Allah dengan hati yang bersih adalah cita-cita setiap orang yang beriman,  baik di dunia (dalam pelaksanaan ibadah) - apalagi di Akhirat kelak, ketika perjumpaan dengan Allah 'Azza wa Jalla.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يوم لا ينفع مال و لابنو ن الا من اتى الله بقلب سليم
“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tiada berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”  (QS. Asy-Syu’ara’;  88-89)
Kata as-saliim, berarti hati yang keselamatan menjadi sifatnya yang tetap.
Banyak ungkapan yang berbeda-beda tentang makna al-qalbus-saliim, yakni hati yang bersih, hati yang sehat.  Ungkapan yang menyeluruh tentang maknanya adalah;
  • .         Hati yang selamat dari segala syahwat (menyalahi perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya).
  • ·         Selamat dari segala syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran) yang bertentangan dengan pengabaran-Nya. 
  • ·         Berarti ia juga selamat dari penyembahan kepada selain-Nya, selamat dari pengangkatan hakim selain Rasul-Nya.
  • ·         Pasrah dalam kecintaan kepada-Nya, dengan menyerahkan keputusan kepada Rasul-Nya, disertai rasa takut, harap, cinta dan tawakal, menyandarkan diri, dan tunduk-patuh pada-Nya.
  • ·         Mendahulukan keridhaan-Nya dalam segala keadaan.
  • ·         Menjauhkan diri dari kemurkaan-Nya dengan segala cara.
Yang demikian ini merupakan hakikat ‘ubudiyah, yang tidak layak diberikan kecuali pada Allah ‘Azza wa Jalla semata.
Hati yang bersih, adalah hati yang selamat dari hal-hal selain Allah yang dijadikan sekutu bagi-Nya dengan cara apa pun, bahkan ‘ubudiyahnya semata-mata tertuju kepada Allah, baik berupa kehendak, cinta, tawakal, penyandaran diri, ketundukan, ketakutan dan harapan.
Semua amal dan urusannya semata-mata karena Allah.  Jika ia mencintai, maka ia mencintai karena Allah.  Jika ia membenci, maka ia membenci karena Allah.  Jika ia memberi, maka ia memberi karena Allah.  Jika ia menahan (tidak memberi), maka ia menahan karena Allah.  Hal ini tidak akan terpenuhi, kecuali jika ia membebaskan diri dari penyerahan hukum pada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hatinya bersanding di sisi Beliau karena mengikuti dalam perkataan dan perbuatan Beliau, baik berupa perkataan hati, atau keyakinan, perkataan lisan, atau pengabaran di luar hati, amalan hati, kehendak, cinta dan cabang-cabangnya, serta amalan seluruh anggota tubuh.  Sehingga semua hukum dipasrahkan kepada Beliau.  Termasuk pula hal-hal yang rinci dan detail, semua diselaraskan dengan apa-apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Karena itu ia tidak berani mendahului Beliau dalam Aqidah, Perkataan, dan Perbuatan, sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya.”  (QS. Al-Hujurat;  1)
Maksudnya, janganlah kalian berkata sebelum Beliau berkata, janganlah kalian berbuat sebelum Beliau memerintahkan.  Di antara orang Salaf berkata, “Tidak ada suatu perbuatan pun, sekecil apapun, melainkan ada pertanyaan yang menyertainya;  Mengapa? dan Bagaimana?  Dengan perkataan lain, mengapa kamu lakukan, dan bagaimana kamu melakukannya?”
Yang pertama merupakan alasan perbuatan, pendorong, dan pemicunya; apakah itu merupakan bagian dari dunia yang diinginkan pelakunya, dan merupakan tujuan nafsu karena ingin dipuji manusia, atau karena takut terhadap celaan mereka?  Ataukah faktor pendorongnya untuk memenuhi ‘ubudiyah karena Allah, dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya?
Inti dari pertanyaan ini adalah, apakah engkau melakukan perbuatan itu karena Rabb-mu, ataukah engkau melakukannya karena dirimu sendiri, dan nafsumu?
Yang kedua merupakan pertanyaan tentang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ibadah itu.  Dengan perkataan lain, apakah amalan itu sesuai dengan Syari’at yang Kusampaikan kepada Rasul-Ku, ataukah itu merupakan amalan yang tidak Kusyari’atkan dan tidak Kuridhai?
Yang pertama pertanyaan tentang ikhlas, yang kedua pertanyaan tentang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Allah tidak akan menerima amal-perbuatan manusia, kecuali bila terpenuhi kedua unsur (syarat) ini.
Cara pembebasan diri dari pertanyaan yang pertama, adalah dengan memurnikan keikhlasan, dan cara membebaskan diri dari pertanyaan kedua, adalah dengan mengikuti Beliau secara nyata.  Keselamatan hati dari suatu kehendak yang bertentangan dengan keikhlasan, dari hawa nafsu yang bertentangan dengan ittiba’ (mengikuti Rasul), merupakan hakikat keselamatan hati.  Siapa yang hatinya selamat, dia mendapat jaminan keselamatan dan kebahagiaan.[1]
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)

Pengakuan Orang-Orang Musyrik
Firman Allah Ta’ala (artinya),
“Demi Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kalian dengan Rabb semesta alam.”  (Asy-Syu’ara’;  97-98)
Persamaan ini adalah, dalam hal kecintaan, mengikuti apa yang mereka tetapkan, dan penyembahan, bukan dalam masalah Penciptaan, Kekuasaan, dan Rububiyah (Persekutuan yang diberitakan Allah tentang perbuatan orang-orang kafir dan munafik), sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang kafir mempersekutukan sesuatu dengan Rabb mereka.”  (QS. Al-An’am;  1)
Pendapat yang paling benar tentang ayat ini, bahwa orang-orang kafir mempersekutukan Rabb mereka, menjadikan sekutu bagi-Nya, yang dicintai, disucikan dan disembah.  Mereka menyembahnya sebagaimana mereka menyembah Allah, dan mereka juga mengagungkan urusannya.[2]
Ibnu Qayyim berkata di dalam kitab Thariiq Al-Hijratain, persamaan-persamaan ini bukan dalam Perbuatan dan Sifat, sehingga mereka yakin bahwa sesembahan mereka itu tidak sama dengan Allah dalam hal Perbuatan dan Sifat-Sifat-Nya.  Tetapi persamaan antara sesembahan mereka itu dengan Allah hanya dalam hal kecintaan, pengagungan, dan penyembahan.
Jadi, mereka tetap menetapkan adanya perbedaan antara sesembahan itu dengan Allah.  Inti persoalan dalam masalah ini adalah, pembenahan dalam masalah kesaksian Laa Ilaaha Illallah.
Maka selayaknya bagi orang-orang yang ingin menasihati diri sendiri, dan mencintai kebahagiaan dan keselamatannya, agar memperhatikan masalah ini, dari sisi Ilmu dan Amal, dan hendaklah ia menjadikan masalah ini menjadi pusat perhatiannya.  Puncak Ilmu dan Amalannya.  Sebab titik-tolak segala urusan ada di sini, dan pertanyaan pada Hari Kiamat berkisar pada masalah ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan Diri-Nya Sendiri (artinya),
“Maka demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang mereka kerjakan dahulu.”  (QS. Al-Hijr;  92-93)
Banyak orang Salaf yang berkata, bahwa ini sehubungan dengan ikrar Laa Ilaaha Illallah.  Inilah keadaan yang sebenarnya.  Sebab semua pertanyaan berangkat dari ikrar ini, berangkat dari Hukum dan Hak-Hak-Nya.  Menurut Abul Aliyah, dua kalimat yang menjadi dasar pertanyaan, yang diajukan kepada orang-orang terdahulu dan yang akhir, Apa yang kalian sembah?  Dan bagaimana kalian memenuhi (ajakan / seruan) para Rasul?”
Pertanyaan tentang apa yang mereka sembah, adalah pertanyaan tentang kesaksian itu.  Sedangkan pertanyaan tentang apa yang mereka penuhi dari ajakan para Rasul, merupakan pertanyaan tentang cara yang mereka tempuh, apakah mereka melalui cara itu - dan memenuhi seruan para Rasul?  Jadi, semua urusan kembali pada kesaksian, dan realisasi dari kalimat Laa Ilaaha Illallah (لا اله الا الله)
Jika seperti ini permasalahannya, maka kesaksian ini layak dijadikan pegangan, dan digigit dengan gigi geraham, tidak boleh diabaikan dan dijadikan sebagai tambahan (pelengkap) semata.[3]

Renungan
"Tidaklah detik-detik berlalu, melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa saja yang terlintas di hati setiap makhluk, dan semua itu kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya."  ('Ulama) 

oOo

(Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1] Ighaatsah Al-Lahfaan, 1/7-8.
[2] Miftaah Daar As-Sa’aadah, 2/ 132.
[3] Thariiq Al-Hijratain, hal. 383-384.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar