بسم الله الر حمان الر حيم
Menghadap Allah dengan hati yang bersih adalah cita-cita setiap orang yang beriman, baik di dunia (dalam pelaksanaan ibadah) - apalagi di Akhirat kelak, ketika perjumpaan dengan Allah 'Azza wa Jalla.
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يوم لا ينفع مال و لابنو ن الا من اتى الله
بقلب سليم
“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tiada berguna, kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
(QS. Asy-Syu’ara’; 88-89)
Kata as-saliim,
berarti hati yang keselamatan menjadi sifatnya yang tetap.
Banyak
ungkapan yang berbeda-beda tentang makna al-qalbus-saliim, yakni hati
yang bersih, hati yang sehat. Ungkapan
yang menyeluruh tentang maknanya adalah;
- . Hati yang selamat dari segala syahwat (menyalahi perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya).
- · Selamat dari segala syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran) yang bertentangan dengan pengabaran-Nya.
- · Berarti ia juga selamat dari penyembahan kepada selain-Nya, selamat dari pengangkatan hakim selain Rasul-Nya.
- · Pasrah dalam kecintaan kepada-Nya, dengan menyerahkan keputusan kepada Rasul-Nya, disertai rasa takut, harap, cinta dan tawakal, menyandarkan diri, dan tunduk-patuh pada-Nya.
- · Mendahulukan keridhaan-Nya dalam segala keadaan.
- · Menjauhkan diri dari kemurkaan-Nya dengan segala cara.
Yang
demikian ini merupakan hakikat ‘ubudiyah, yang tidak layak diberikan
kecuali pada Allah ‘Azza wa Jalla semata.
Hati
yang bersih, adalah hati yang selamat dari hal-hal selain Allah yang dijadikan
sekutu bagi-Nya dengan cara apa pun, bahkan ‘ubudiyahnya semata-mata tertuju
kepada Allah, baik berupa kehendak, cinta, tawakal, penyandaran
diri, ketundukan, ketakutan dan harapan.
Semua
amal dan urusannya semata-mata karena Allah.
Jika ia mencintai, maka ia mencintai karena Allah. Jika ia membenci, maka ia membenci karena
Allah. Jika ia memberi, maka ia memberi
karena Allah. Jika ia menahan (tidak memberi), maka ia
menahan karena Allah. Hal ini tidak akan
terpenuhi, kecuali jika ia membebaskan diri dari penyerahan hukum pada selain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hatinya bersanding di
sisi Beliau karena mengikuti dalam perkataan dan perbuatan Beliau, baik berupa
perkataan hati, atau keyakinan, perkataan lisan, atau pengabaran di luar hati,
amalan hati, kehendak, cinta dan cabang-cabangnya, serta amalan seluruh anggota
tubuh. Sehingga semua hukum dipasrahkan
kepada Beliau. Termasuk pula hal-hal
yang rinci dan detail, semua diselaraskan dengan apa-apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itu ia tidak berani mendahului Beliau
dalam Aqidah, Perkataan, dan Perbuatan, sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Hujurat;
1)
Maksudnya,
janganlah kalian berkata sebelum Beliau berkata, janganlah kalian berbuat
sebelum Beliau memerintahkan. Di antara
orang Salaf berkata, “Tidak ada suatu perbuatan pun, sekecil apapun,
melainkan ada pertanyaan yang menyertainya;
Mengapa? dan Bagaimana? Dengan
perkataan lain, mengapa kamu lakukan, dan bagaimana kamu melakukannya?”
Yang
pertama merupakan alasan perbuatan, pendorong, dan pemicunya;
apakah itu merupakan bagian dari dunia yang diinginkan pelakunya, dan merupakan
tujuan nafsu karena ingin dipuji manusia, atau karena takut terhadap celaan
mereka? Ataukah faktor pendorongnya
untuk memenuhi ‘ubudiyah karena Allah, dan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya?
Inti
dari pertanyaan ini adalah, apakah engkau melakukan perbuatan itu karena Rabb-mu,
ataukah engkau melakukannya karena dirimu sendiri, dan nafsumu?
Yang
kedua merupakan pertanyaan tentang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam ibadah itu. Dengan
perkataan lain, apakah amalan itu sesuai dengan Syari’at yang Kusampaikan
kepada Rasul-Ku, ataukah itu merupakan amalan yang tidak Kusyari’atkan dan
tidak Kuridhai?
Yang
pertama pertanyaan tentang ikhlas, yang kedua pertanyaan tentang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah
tidak akan menerima amal-perbuatan manusia, kecuali bila terpenuhi kedua
unsur (syarat) ini.
Cara
pembebasan diri dari pertanyaan yang pertama, adalah dengan memurnikan
keikhlasan, dan cara membebaskan diri dari pertanyaan kedua, adalah dengan
mengikuti Beliau secara nyata. Keselamatan
hati dari suatu kehendak yang bertentangan dengan keikhlasan, dari hawa nafsu
yang bertentangan dengan ittiba’ (mengikuti Rasul), merupakan hakikat
keselamatan hati. Siapa yang hatinya
selamat, dia mendapat jaminan keselamatan dan kebahagiaan.[1]
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Pengakuan
Orang-Orang Musyrik
Firman
Allah Ta’ala (artinya),
“Demi
Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan
kalian dengan Rabb semesta alam.” (Asy-Syu’ara’; 97-98)
Persamaan
ini adalah, dalam hal kecintaan, mengikuti apa yang mereka
tetapkan, dan penyembahan, bukan dalam masalah Penciptaan, Kekuasaan, dan Rububiyah (Persekutuan yang diberitakan Allah
tentang perbuatan orang-orang kafir dan munafik), sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Segala
puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap
dan terang, namun orang-orang kafir mempersekutukan sesuatu dengan Rabb
mereka.” (QS. Al-An’am;
1)
Pendapat
yang paling benar tentang ayat ini, bahwa orang-orang kafir mempersekutukan Rabb
mereka, menjadikan sekutu bagi-Nya, yang dicintai, disucikan dan
disembah. Mereka menyembahnya
sebagaimana mereka menyembah Allah, dan mereka juga mengagungkan urusannya.[2]
Ibnu Qayyim
berkata di dalam kitab Thariiq Al-Hijratain, persamaan-persamaan ini
bukan dalam Perbuatan dan Sifat, sehingga mereka yakin bahwa sesembahan
mereka itu tidak sama dengan Allah dalam hal Perbuatan dan Sifat-Sifat-Nya. Tetapi persamaan antara sesembahan mereka
itu dengan Allah hanya dalam hal kecintaan, pengagungan, dan penyembahan.
Jadi,
mereka tetap menetapkan adanya perbedaan antara sesembahan itu dengan
Allah. Inti persoalan dalam masalah ini
adalah, pembenahan dalam masalah kesaksian Laa Ilaaha Illallah.
Maka
selayaknya bagi orang-orang yang ingin menasihati diri sendiri, dan mencintai
kebahagiaan dan keselamatannya, agar memperhatikan masalah ini, dari sisi Ilmu
dan Amal, dan hendaklah ia menjadikan masalah ini menjadi pusat perhatiannya. Puncak Ilmu dan Amalannya. Sebab
titik-tolak segala urusan ada di sini, dan pertanyaan pada Hari Kiamat berkisar
pada masalah ini.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala bersumpah dengan Diri-Nya Sendiri (artinya),
“Maka
demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang mereka
kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr; 92-93)
Banyak
orang Salaf yang berkata, bahwa ini sehubungan dengan ikrar Laa Ilaaha
Illallah. Inilah keadaan yang
sebenarnya. Sebab semua pertanyaan
berangkat dari ikrar ini, berangkat dari Hukum dan Hak-Hak-Nya. Menurut Abul Aliyah, dua kalimat yang menjadi
dasar pertanyaan, yang diajukan kepada orang-orang terdahulu dan yang akhir, “Apa
yang kalian sembah? Dan bagaimana kalian
memenuhi (ajakan / seruan) para Rasul?”
Pertanyaan
tentang apa yang mereka sembah, adalah pertanyaan tentang kesaksian itu. Sedangkan pertanyaan tentang apa yang mereka
penuhi dari ajakan para Rasul, merupakan pertanyaan tentang cara yang mereka tempuh, apakah mereka melalui cara itu - dan memenuhi seruan para Rasul? Jadi, semua urusan kembali pada kesaksian, dan realisasi dari kalimat Laa
Ilaaha Illallah (لا اله الا الله)
Jika
seperti ini permasalahannya, maka kesaksian ini layak dijadikan pegangan, dan
digigit dengan gigi geraham, tidak boleh diabaikan dan dijadikan sebagai tambahan (pelengkap) semata.[3]
Renungan
"Tidaklah detik-detik berlalu, melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa saja yang terlintas di hati setiap makhluk, dan semua itu kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya." ('Ulama)
Renungan
"Tidaklah detik-detik berlalu, melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa saja yang terlintas di hati setiap makhluk, dan semua itu kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya." ('Ulama)
oOo
(Disadur bebas
dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1] Ighaatsah
Al-Lahfaan, 1/7-8.
[2] Miftaah
Daar As-Sa’aadah, 2/ 132.
[3] Thariiq
Al-Hijratain, hal. 383-384.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar