بسم الله الر حمان الر حيم
Merujuk pada keterangan para ‘ulama ahli tarikh (sejarah) Islam, bahwa Allah ‘Azza
wa Jalla menurunkan 100 (seratus), dan empat Kitab Suci dari atas langit
ketujuh. Inti dari semua kitab suci
tersebut tercakup dalam kitab Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Inti sari dari kitab-kitab Zabur, Taurat, dan
Injil terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an.
Inti dari seluruh ayat-ayat Al-Qur’an terdapat pada surat-surat pendek (juz 30), dan inti dari surat-surat pendek berinduk pada Surat Al-Fatihah. Dan inti dari surat Al-Fatihah ada pada kalimat
،، اياك نعبد و اياك نستعين“
"Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’in”
(Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya
kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan).
Di
dahulukannya “Iyyaaka na’budu” (Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah) daripada
“wa Iyyaaka nasta’in” (dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon
pertolongan) mengandung hikmah, bahwa wajib mendahulukan tujuan
daripada sarana, karena tujuan itu jauh lebih mulia dan lebih agung daripada sarana. Sarana betapapun mulianya, bila dibandingkan
dengan tujuan tidak ada apa-apanya.
Sedangkan tujuan penciptaan makhluk, adalah beribadah kepada
Al-Khaliq (Yang Maha Menciptakan, Memiliki, Memerintah, dan Mengatur segala sesuatu di langit maupun di bumi), seperti firman-Nya;
وماخلقت الجن والانس الاليعبدون
"Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku" (Adz-Dzariyat; 56)
وماخلقت الجن والانس الاليعبدون
"Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku" (Adz-Dzariyat; 56)
Al-Fudhail
bin Iyadh rahimahullah, dari generasi terbaik Islam pernah berkata ketika menerangkan makna ayat berikut,
Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa diantara kalian
yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk; 2),
Yang lebih baik amalnya, adalah yang paling ikhlas dan paling benar, lalu orang-orang bertanya,
‘Wahai Abu Ali, apa yang paling
ikhlas dan paling benar itu?’ Beliau
menjawab, “Sesungguhnya jika amal itu ikhlas, namun tidak benar,
maka ia tidak akan diterima, hingga ia ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah amal yang tujuannya
semata-mata hanya untuk Allah, dan yang benar adalah yang berlandaskan
As-Sunnah.”
(Baca pula artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Agar tidak keliru memahami, jangan sampai ada anggapan bahwa amal yang tidak diterima itu
tidak akan berdampak negatif terhadap pelakunya (“Nothing to lose” /
tidak ada ruginya), tetapi akibatnya adalah, bahwa pelakunya akan dihukum
(diadzab), karena melakukan amalan yang bathil, tidak dicintai, dan tidak pula
di ridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Serta, akan mempersulit pelakunya menemukan jalan yang lurus (benar).
Sebagai
contoh, satu ucapan syirik yang tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, telah dapat menyungkurkan pelakunya ke Neraka Jahannam, yang dalamnya sejauh
jarak antara Timur dan Barat (Makna Al-Hadits)
Maka,
inilah yang terkandung di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Barangsiapa
yang mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang shalih, dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah
kepada Rabb-nya.” (Al-Kahfi; 110), dan
“Dan
siapakah yang lebih baik Agama-nya daripada orang-orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia pun mengerjakan kebaikan.” (An-Nisa’;
125)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak akan menerima amal-perbuatan seseorang, kecuali yang
dikerjakan dengan ikhlas, karena mengharap Wajah-Nya dan mengikuti (ittiba') Rasul-Nya. Selain dari itu tertolak, akibatnya akan kembali kepada pelakunya sebagai sesuatu yang sia-sia,
layaknya debu yang diterbangkan angin. Di
dalam Ash-Shahih disebutkan makna hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap amal yang tidak bedasarkan perintah kami,
maka ia tertolak.”
Setiap
amal yang tidak mengikuti perintah, justru akan semakin menjauhkan pelakunya
dari Allah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala disembah
hanya berdasarkan perintah-Nya, bukan berdasarkan pendapat, dan hawa nafsu (keinginan) manusia.
Dua
Dasar Untuk Mewujudkan Iyyaaka na’budu;
Seorang
hamba belum dianggap melaksanakan Iyyaaka na’budu (hanya kepada Engkau-lah kami menyembah / beribadah), kecuali bila memenuhi
dua dasar pokok berikut;
1. 1. Ikhlas
kepada Dzat Yang disembah.
2. 2. Mengikuti
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan
dua syarat ini pula manusia dibedakan menjadi 4 (empat) kelompok;
Pertama; Orang yang ikhlas kepada Dzat yang disembah,
dan juga mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka inilah yang melaksanakan Iyyaaka
na’budu dengan sebenar-benarnya.
Inilah manusia terbaik. Semua perkataan
dan perbuatan mereka, baik yang dzahir maupun yang bathin karena Allah. Mereka tidak menghendakinya karena manusia,
tidak untuk mendapatkan imbalan atau pujian, tidak untuk mencari kedudukan di
tengah-tengah mereka, tidak untuk mendapatkan simpati di hati mereka, atau
takut dengan celaan mereka. Bahkan,
adakalanya mereka menganggap manusia seperti para penghuni kubur yang tidak
kuasa memberi manfaat dan mudharat.
Amal
yang dimaksudkan untuk manusia, untuk mencari kedudukan di tengah-tengah
mereka, karena pertimbangan manfaat dan mudharat dari mereka, tidak akan
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ma’rifat, tetapi hal itu akan
dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengetahui (mengenal) diri sendiri dan Rabb-nya.
Jika dia
mengetahui (mengenal) Allah, dan juga mengetahui (mengenal) dirinya, tentulah
ia akan mementingkan mu’amalah dengan Allah daripada mu’amalah dengan
manusia. Disamping itu, semua amal dan
ibadahnya sesuai dengan perintah Allah, sejalan dengan apa yang dicintai dan
diridhai-Nya. Inilah amal yang
diterima Allah dari pelakunya, dan untuk ini pula Allah menguji hamba-hamba-Nya
dengan kematian dan kehidupan,
“Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian
yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk; 1)
Kedua; Orang yang tidak ikhlas karena Allah, dan tidak
pula mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Amalnya tidak sesuai dengan syari’at, dan tidak
pula mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah tingkatan manusia yang paling buruk dan
paling dibenci di sisi-Nya. Seperti
amalan orang-orang yang mencari muka di hadapan manusia, untuk pamer,
dengan cara yang tidak disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya. Mereka inilah yang dimaksudkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam makna firman-Nya,
“Janganlah sekali-kali kamu mengira, bahwa
orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan mereka
suka dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka, bahwa mereka akan
terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Ali-Imran;
188)
Mereka
gembira dengan bid’ah, kesesatan, dan syirik yang mereka lakukan, dan suka dipuji karena mereka “dianggap” (oleh orang-orang awam)
sebagai orang-orang shalih (mengikuti Al-Qur’an dan Ikhlas).
Golongan
ini banyak dilakukan orang-orang yang menyebut dirinya berilmu, suka dipuji
atas sesuatu yang tidak pernah mereka kerjakan (amal Shalih), yaitu
mengikuti syari’at dengan benar, ikhlas, dan Ilmu. Mereka adalah orang-orang yang
dimurkai sekaligus sesat.
Ciri-ciri
/ sifat orang-orang Yahudi (dimurkai) dan Nasrani (sesat) keduanya melekat pada
diri mereka, sementara mereka mengaku beragama Islam!
Ketiga; Orang yang ikhlas amalnya, namun tidak
mengikuti perintah. Seperti para ahli
ibadah yang bodoh. Siapa pun yang
menyembah Allah tidak menurut perintah-Nya, sementara dia meyakini kedekatannya dengan
Allah, juga termasuk golongan ini, sama seperti orang yang mendengar “siulan”
dan “tepukan-tangan” yang mengecoh.
Keempat; Orang-orang yang amalannya mengikuti perintah
Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun dimaksudkan untuk selain Allah. Seperti keta’atan orang-orang yang suka pamer, seperti orang yang berjihad karena riya’, agar namanya
disebut-sebut manusia sebagai pemberani, dan lain-lain.
Hikmah
Setelah memahami definisi ikhlas dan syarat-syaratnya seperti yang diterangkan di atas, dapat kita ambil hikmah, bahwa amal-perbuatan manusia yang ikhlas itu tidaklah semudah yang kita pikirkan, karena ia (ikhlas) merupakan puncak tertinggi dari tataran Agama Islam.
Hikmah
Setelah memahami definisi ikhlas dan syarat-syaratnya seperti yang diterangkan di atas, dapat kita ambil hikmah, bahwa amal-perbuatan manusia yang ikhlas itu tidaklah semudah yang kita pikirkan, karena ia (ikhlas) merupakan puncak tertinggi dari tataran Agama Islam.
Pernah ada seorang "Da'i Sejuta Ummat" yang telah meninggal dunia menerangkan, bahwa "Amal perbuatan yang Ikhlas itu seperti orang yang membuang hajat di pagi hari (tidak merasa kehilangan / keberatan)", Na'uudzubillahi mindzaalik.
Hal ini sengaja penulis ungkap, agar pemahaman yang salah itu tidak menyebar, karena kaset-kaset dakwahnya masih beredar luas di Indonesia. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mengampuni beliau dan kita semua.
oOo
(Disadur
bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh
Muhammad Uwais An-Nadwy)
Setuju pk
BalasHapusAlhamdulillah...
Hapus