بسم الله الر حمان الر حيم
Begitu banyak peringatan (ayat-ayat) yang diturunkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an pada orang-orang yang
beriman, agar berhati-hati dan tidak
meniru sifat-sifat Nifak (Munafik).
Bahkan, Allah menurunkan sebuah surat khusus (Al-Munafiqun) di dalam
Al-Qur’an, yang menerangkan tentang keadaan mereka yang penuh dengan kepalsuan dan kedustaan.
(Baca juga artikel; M U N A F I K)
(Baca juga artikel; M U N A F I K)
Di antara firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang mereka (artinya),
"Perumpamaan
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan
mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.
Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke
jalan yang benar).”
(QS. Al-Baqarah; 17-18)
Allah
mengumpamakan musuh-musuh-Nya, yaitu orang-orang munafik seperti sekumpulan
orang yang menyalakan api sebagai penerang, mereka berharap agar bisa
memanfaatkannya. Ketika api itu menyala
di sekeliling mereka - mereka dapat melihat dengan sinarnya apa-apa yang
bermanfaat dan bermudharat baginya.
Mereka pun dapat melihat jalan (yang sebelumnya dalam keadaan bingung
dan linglung). Bagaikan sekumpulan
musafir yang tersesat jalan, lalu mereka menyalakan api yang dapat menerangi
jalan yang seharusnya mereka tempuh.
Ketika cahaya itu telah menyinari sekeliling mereka, dan mereka dapat melihat
dan memandang – sekonyong-konyong cahaya itu padam, sehingga mereka berada
dalam keadaan gelap gulita, dan tidak melihat apa-apa. Tiga pintu
petunjuk telah ditutup bagi mereka. Sesungguhnya petunjuk itu masuk ke dalam diri
hamba melalui 3 (tiga) pintu, yaitu dari apa yang didengar dengan telinga,
apa yang dilihat dengan mata, dan apa yang dipikirkan dengan hati.[1] Pintu-pintu petunjuk tersebut telah ditutup
bagi mereka, sehingga hati mereka tidak bisa mendengar apa pun, tidak mampu
melihat, dan juga tidak mampu memikirkan apa yang bermanfaat baginya.
Ada yang
berpendapat, karena mereka tidak bisa mengambil manfaat dari pendengaran,
penglihatan, dan hati mereka, maka mereka diperosotkan (disejajarkan) dengan
kedudukan orang-orang yang tidak memiliki pendengaran, penglihatan, dan akal. Dua pendapat ini saling mengkait.
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mensifati mereka, “Maka
tidaklah mereka akan kembali” . Sebab
tadinya mereka sudah dapat melihat dengan cahaya api, dan mereka sudah melihat
petunjuk. Ketika cahaya itu padam, maka
mereka tidak bisa kembali seperti keadaan semula, dimana mereka dapat melihat
dan memandang.
Firman-Nyaذهب الله بنورهم / Dzahaba
Allahu binuurihim / "Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka", dan tidak dikatakan,ذهب نورهم / Dzahaba nuuruhum / "(Allah) hilangkan api mereka" , disini
terkandung rahasia yang mengagumkan, yaitu terputusnya kebersamaan yang
khusus, kebersamaan orang-orang mukmin bersama Allah yang tidak lagi mereka
dapatkan.
Karena
firman Allah (yang artinya),
“Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah; 153), dan
“Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa, dan orang-orang yang berbuat
kebaikan.”
(QS. An-Nahl; 128)
Perbuatan Allah yang menghilangkan cahaya itu
berarti pemutusan kebersamaan yang dikhususkan-Nya bagi para wali-Nya. Allah memutuskan kebersamaan antara Diri-Nya
dengan orang-orang munafik, sehingga tidak ada yang menyisa bagi mereka setelah
dihilangkannya cahaya itu dan kebersamaan.
Maka, mereka tidak lagi mendapatkan bagian dari makna firman-Nya,
“Janganlah
kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.”
(QS. At-Taubah;
40), dan tidak pula makna firman-Nya,
“Sekali-sekali
tidak akan tersusul, sesungguhnya Rabb-ku besertaku, kelak Dia akan memberi
petunjuk kepadaku.”
(QS. Asy-Syu’ara; 62)
Perhatikan
makna firman Allah, “Api itu menerangi sekelilingnya”, bagaimana
Allah menjadikan cahaya api itu keluar secara berpencar? Sekiranya cahaya api hanya mengenai dirinya
dan samar-samar, tentu dia tidak akan bisa beranjak. Tetapi yang terjadi (sebelumnya), cahaya itu
berpencar mengelilingi, tidak samar-samar dan tidak pula kabur. Lalu cahaya itu kembali ke asalnya dan
kegelapan juga kembali ke asalnya.
Masing-masing kembali ke asalnya yang sesuai dengannya. Hujjah dari Allah telah berlaku
(tegak). Ini merupakan hikmah yang
agung, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berpikir dari
hamba-hamba-Nya.
Perhatikan
pula makna firman-Nya,
“Allah
hilangkan cahaya mereka”, dan tidak dikatakan, “Api mereka”, untuk menyesuaikan
dengan permulaan ayat. Sebab api
mengandung sifat menerangi dan juga sifat yang bisa membakar. Allah menghilangkan sifat menerangi yang
terkandung di dalamnya, yaitu cahaya, dan membiarkan sifat api yang bisa
membakar (membinasakan).
Perhatikan
pula kata, “Cahaya”, dan tidak dikatakan, “Sinar”, yang
menyertai firman-Nya, “Menerangi (menyinari) sekelilingnya”. Sebab sinar merupakan tambahan (pantulan)
dari cahaya, seperti sinar bulan yang merupakan pantulan dari cahaya matahari. Sekiranya Allah berfirman, “Allah
hilangkan sinar mereka” , tentu akan menimbulkan persepsi (pengertian) bahwa yang dihilangkan-Nya hanya tambahannya saja, tanpa sifat
asalnya. Karena cahaya merupakan asal
dari sinar, maka penghilangan cahaya berarti penghilangan sesuatu beserta tambahannya.
Hal ini juga
lebih mantap dalam penafian cahaya itu dari mereka, dan bahwa mereka adalah
orang-orang yang berada dalam kegelapan yang tidak memiliki cahaya.
Allah
menamakan kitab-Nya dengan An-Nur (Cahaya), demikian pula dengan
Rasul-Nya, Asma-Nya, dan Shalat, semua dinamakan cahaya (petunjuk / kehidupan
yang hakiki). Maka, perbuatan Allah
yang menghilangkan cahaya berarti penghilangan semua itu dari mereka!
Perhatikan
kesesuaian perumpamaan ini dengan makna ayat sebelumnya,
“Mereka
itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan
mereka, dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”
(QS. Al-Baqarah; 16)
Lihatlah
kesesuaian perniagaan yang merugi ini, yang mendatangkan kesesatan serta
keridhaan mereka terhadapnya, dengan disingkirkannya petunjuk untuk
menghadirkan kebalikannya (kesesatan), dan kedatangan kegelapan sebagai wujud
dari kesesatan dan keridhaan padanya, menggantikan cahaya yang merupakan
petunjuk. Dengan perkataan lain, mereka
mengeluarkan petunjuk dan cahaya itu dan menggantinya dengan kesesatan dan
kegelapan. Sungguh, itu merupakan
perniagaan yang amat merugi, dan “tepukan tangan” yang mengecoh.
Perhatikan
firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”,
dimana cahaya di sini merupakan kata tunggal (singular noun), lalu
firman, “Dan membiarkan mereka dalam kegelapan”, dimana kegelapan
di sini merupakan kata jama’ (plural nouns). Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu,
yaitu Ash-Shiraat Al-Mustaqiim, yang tidak ada jalan lain yang dapat mengantarkan
kepada-Nya. Jalan ini ialah menyembah
Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya, menurut cara yang disyariatkan lewat lisan
Rasul-Nya, bukan menurut hawa nafsu, bid’ah, dan bukan pula melewati
jalan orang-orang yang keluar dari apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya,
berupa petunjuk dan Agama (Syari’at yang haq), yang berbeda dengan jalan-jalan
kebathilan yang banyak dan bercabang-cabang.
Karena itulah Allah menunggalkan kebenaran dan menjama'kan kebathilan. Seperti yang difirmankan-Nya (artinya),
“Allah
pelindung orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (keimanan). Dan orang-orang yang kafir
pelindung-pelindung mereka ialah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya
(keimanan) kepada kegelapan (kekafiran).”
(QS. Al-Baqarah; 257), dan
“Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.”
(QS. Al-An’am; 153)
Allah menjama’kan jalan kebathilan, dan
menunggalkan jalan kebenaran. Hal itu sejalan (tidak
bertentangan) dengan firman-Nya (artinya),
“Dengan
kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan
keselamatan.”
(QS. Al-Maidah; 16)
Jalan
pada ayat di atas (Al-Maidah; 16)
dijama’kan (plural nouns). Itu
adalah jalan-jalan keridhaan-Nya yang kemudian dihimpun ke jalan yang satu,
yaitu jalan-Nya yang lurus. Sebab,
semua jalan keridhaan-Nya kembali ke satu jalan, yaitu jalan-Nya, dimana
tiada satu jalan pun yang sampai kepada-Nya, kecuali melalui jalan ini.
Disebutkan
dalam riwayat shahih Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahwa Beliau pernah menorehkan sebuah garis lurus, seraya bersabda, “Ini
adalah jalan Allah”. Kemudian Beliau
membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya, seraya bersabda, “Ini
adalah jalan-jalan. Di atas setiap jalan
itu ada syaithan yang menyeru kepadanya.”
Kemudian Beliau membaca ayat (artinya), “Dan (yang Kami
perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah
kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian
bertakwa.”
(QS. Al-An’am; 153)
Ada yang
berpendapat, yang demikian itu merupakan perumpamaan bagi orang-orang munafik,
yang menyalakan api cobaan di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini mirip dengan makna firman Allah Ta’ala,
“Setiap
mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya.”
(QS. Al-Maidah;
64)
Sehingga
firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, senada
dengan firman-Nya, “Allah memadamkannya”.
Kekecewaan dan kegagalan keinginan mereka adalah, bahwa
mereka dibiarkan dalam kegelapan dan kebingungan, mereka tidak mendapatkan petunjuk untuk melepaskan diri dari keadaan
tersebut, mereka tidak lagi dapat melihat jalan, membedakan al-haq dan al-bathil,
bahkan mereka tuli, bisu, dan buta!
Pandangan ini (kalau itu memang benar) – sebagai
maksud dari ayat ini perlu dipertimbangkan. Sebab ditilik dari kontekstual kalimat,
maksudnya lain, yang tidak sejalan dengan firman Allah, “Maka
setelah api itu mengelilingi sekelilingnya”.
Nyala api peperangan sama sekali tidak bisa menerangi
sekelilingnya. Juga tidak pas (klop)
dengan firman-Nya, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”. Nyala api peperangan tidak ada
cahayanya. Juga tidak pas (klop) dengan
firman-Nya, “Dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
melihat.” Hal ini dapat menimbulkan
pemahaman, bahwa mereka beralih dari cahaya ma’rifat dan bashirah
kepada kegelapan, keragu-raguan, dan kufur.
Menurut Al-Hasan, yang dimaksud adalah orang-orang munafik,
yang melihat kemudian buta (secara tiba-tiba), yang mengetahui kemudian
mengingkari. Karena itulah dikatakan, “Maka
tidaklah mereka akan kembali”, artinya mereka tidak kembali kepada
cahaya yang sebelumnya mereka tinggalkan.
Allah berfirman tentang orang-orang kafir, “Mereka tuli, bisu, dan
buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti”
(QS. Al-Baqarah; 171).
Dicabutnya
akal dari orang-orang kafir, karena mereka adalah orang-orang yang tidak
memiliki bashirah dan iman.
Sementara pencabutan dari orang-orang munafik, ialah tidak bisa kembali,
karena mereka (sebelumnya beriman) kemudian kufur, sehingga mereka tidak bisa
kembali ke iman lagi. Dua hal yang jelas
perbedaannya.
Kemudian Allah membuat perumpamaan lain yang
berunsur air (hujan) bagi orang-orang munafik;
“Atau seperti orang-orang yang ditimpa hujan
yang lebat dari langit, disertai gelap-gulita, guruh, dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak
jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi (mengepung) orang-orang
kafir.”
(QS. Al-Baqarah;
19)
Allah menyerupakan keadaan orang-orang munafik
dalam menyikapi cahaya dan kehidupan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya,
layaknya orang yang menyalakan api, kemudian api itu padam, padahal dia justru
lebih membutuhkan api itu dari keadaan sebelumnya. Cahayanya padam dan dia berada
dalam kegelapan, kebingungan, dan linglung, tidak bisa melihat jalan, dan tidak
mengetahui rute perjalanan. Allah juga menyerupakan mereka
dengan keadaan orang yang ditimpa hujan, yang turun secara deras. Allah mengumpamakan petunjuk yang diturunkan
kepada hamba-hamba-Nya dengan hujan.
Sebab hati bisa hidup dengan petunjuk itu seperti halnya tanah yang bisa
hidup dengan air. Allah
mengumpamakan sikap orang-orang munafik terhadap petunjuk dengan keadaan orang
yang tidak mendapatkan dari hujan itu selain dari kegelapan, guruh yang
memekakkan telinga, dan kilat, sehingga tidak ada hasil apa pun yang diperoleh dari semua itu dari
(sunnatullah) hujan, seperti kehidupan bagi tanah, manusia, pepohonan, dan berbagai jenis binatang. Kegelapan
yang menyertai hujan, guruh, dan kilat dimaksudkan untuk sesuatu yang lain,
yaitu sebagai sarana untuk penyempurnaan manfaat hujan itu.
Orang bodoh tentu tidak bisa menangkap apa yang
terkandung dalam kegelapan, guruh, dan kilat, serta keadaan yang menyertainya,
seperti hawa dingin, penundaan perjalanan bagi para musafir, dan penghentian
pekerjaan bagi pekerja. Dia tidak akan
memiliki pengetahuan yang memungkinkannya menangkap makna dari masalah (sunnatullah)
tentang hujan itu, berupa kehidupan dan manfaat secara umum. Memang
begitulah keadaan orang yang terbatas pandangannya, dan lemah akalnya. Pandangannya hanya tertuju pada masalah
yang tidak disenangi saja, dan yang kasat mata, sehingga tidak melihat apa yang
disenangi dibalik semua itu. Inilah
keadaan mayoritas manusia, kecuali orang-orang yang memiliki bashirah. Jika orang yang lemah bashirahnya
melihat keletihan, kepayahan, kesulitan, kematian, dan luka dalam jihad,
melihat celaan orang yang suka mencela, dan penentangan orang yang takut, tentu
dia tak mau bergabung dalam jihad, karena dia tidak mampu melihat akibat yang
terpuji di balik jihad, dan tujuan-tujuan yang diinginkan orang-orang yang suka
berkompetisi. Mereka saling berlomba dan
berkompetisi untuk mendapatkan tujuan-tujuan itu. Begitu pula tujuan orang-orang yang hendak
pergi menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram, yang tidak melihat
dari perjalanannya itu selain dari kesulitan dalam perjalanan, harus berpisah
dengan keluarga dan meninggalkan tempat kelahiran, harus menghadapi berbagai
kesusahan, meninggalkan hal-hal yang disukai.
Pandangannya tidak menangkap kesudahan dari perjalanan itu, dan
akibatnya yang baik. Akhirnya dia batal
pergi dan tidak lagi berhasrat menunaikan haji.
Inilah keadaan orang-orang yang lemah bashirah
dan imannya, yang hanya melihat ancaman dan peringatan yang ada di dalam
Al-Qur’an, larangan, dan hardikan, perintah-perintah yang berat bagi jiwa, yang
mencegahnya dari hal-hal yang disukai, yang menyapihnya dari air susu dan
syahwat, seperti anak kecil yang berat untuk disapih.
Sementara semua akal manusia seperti anak kecil,
kecuali orang-orang yang sudah beranjak dewasa akalnya dan berpikir, yang
mengetahui kebenaran dari ilmu, amal, dan ma’rifat, yang mampu melihat apa yang
ada di balik hujan, berupa guruh, dan kilat, serta petir, yang mengetahui bahwa
semua itu merupakan bagian dari kehidupan alam (sunnatullah).
Ada seseorang yang berkata di hadapan Az-Zamakhsyari [seorang cendikiawan Muslim Iran, berpaham (manhaj menyimpang, Mu'tazilah / Rasionalis). Hidup sekitar Thn. 1073 - 1143 M], bahwa dia menyerupakan Islam dengan hujan. Sebab hati manusia dapat hidup dengannya seperti tanah yang bisa hidup dengan air hujan. Dia juga menyerupakan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti penyerupaan kufur dengan kegelapan. Peringatan dan ancaman dengan guruh, dan kilat, serta keadaan yang menimpa orang-orang kafir, menyerupakan ketakutan akan ditimpa bencana dan cobaan dari kaum muslimin dengan suara petir. Artinya seperti orang yang ditimpa hujan lebat. Dengan kata lain, seperti orang yang ditimpa “langit” berdasarkan sifat ini, sehingga mereka menerima akibat sebagaimana layaknya.
Maka Az-Zamakhsyari berkata menanggapi
perkataan orang itu, “Yang benar menurut para pakar Ilmu Bayan, dan
tidak lebih dari makna ini, bahwa dua perumpamaan ini ditilik dari
tamsil-tamsil yang saling terangkum tanpa pemisahan, antara yang satu dengan
yang lainnya tidak saling menanggung menurut kadar keserupaan di dalam tamsil
itu.
Penjelasan dari pendapat yang cukup berani ini
ialah, bahwa bangsa Arab biasa memahami berbagai hal secara sendiri-sendiri,
sebagian terpisah dari sebagian yang lain, tidak memahami yang ini menurut
ikatan yang itu. Maka penyerupaannya
dengan hal lain yang sebanding seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an, berupa
penyerupaan keadaan dari himpunan beberapa hal, bisa menciptakan kohesi
(keterpaduan) dan kombinasi, sehingga antara satu hal dengan lainnya yang
semisal menjadi seperti satu, seperti makna firman Allah,
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal.” (Al-Jumu’ah; 5)
Maksudnya ialah, menyerupakan keadaan
orang-orang Yahudi yang tidak mengetahui kandungan Taurat di tangan mereka, dan
ayat-ayatnya yang nyata, dengan keadaan keledai yang bodoh tentang beban yang
dipikul (dibawa)nya, berupa kitab-kitab yang tebal penuh (sarat) hikmah. Dua keadaan ini sama saja bagi keledai,
apakah dia memikul kitab-kitab hikmah, ataukah memikul beban selain kitab-kitab
hikmah. Sementara dia tidak merasakan
dari hal itu selain dari payah dan letih yang bertambah-tambah. Begitu pula makna firman-Nya,
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka
(manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari
langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian
tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin.”
(QS. Al-Kahfi;
45)
Dengan
perkataan lain, minimnya kekekalan gemerlap dunia, seperti minimnya kekekalan
tumbuh-tumbuhan itu. Jika yang dimaksudkan adalah penyerupaan
individu dengan individu, tanpa memaksudkannya sebagai suatu bagian dari bagian
yang lain, dan menjadikannya sesuatu yang satu, maka hal ini tidak bisa
diterima, karena di sini ada penggambaran keadaan orang-orang munafik dalam
kesesatannya, keadaan mereka yang bingung dan kaget, lalu kebingungan dan
kekalutan mereka diserupakan dengan orang yang menyalakan api di tengah
kegelapan malam, kemudian cahayanya padam.
Begitu pula keadaan orang yang berada di bawah langit pada malam yang
gelap gulita, yang disertai guruh dan kilat, yang ketakutan karena petir yang
menyambar-nyambar.
Az-Zamakhsyari berkata, “Jika kau tanyakan mana
yang lebih mantab dari dua perumpamaan ini?
Saya jawab, yang kedua. Karena
keadaan ini lebih pas untuk menggambarkan kebingungan dan kekalutan. Begitu pula orang-orang yang terlibat di
dalamnya juga mengalami peningkatan dari keadaan yang mudah kepada keadaan yang
lebih sulit.”
Dua perumpamaan ini mengandung banyak hikmah yang agung, diantaranya;
Pertama;
Orang
yang mencari penerangan dengan api berarti mencari penerangan dengan cahaya
yang datang dari arah selain dirinya, bukan dari dirinya sendiri. Jika api itu lenyap, maka dia berada dalam
kegelapan. Ketika orang munafik
membuat pernyataan dengan lisannya tanpa disertai keyakinan dan cinta dengan
hatinya, serta pembenaran yang kuat, maka cahaya yang dimilikinya seperti
barang pinjaman (tidak menetap di dalam hati).
Kedua; Sinar api memerlukan materi lain
untuk menunjang kelangsungannya (mis. Oksigen / bahan bakar).
Materi sinar itu tak ubahnya makanan bagi hewan. Begitu pula cahaya iman yang memerlukan
materi lain seperti ilmu yang bermanfaat, dan amal shalih, yang harus
senantiasa dilaksanakan, dan dijaga kelangsungannya agar iman bisa tumbuh dan
berkembang. Jika materi iman tidak ada,
maka iman itu akan padam sebagaimana api yang bisa padam karena kehilangan
materi (bahan bakarnya).
Ketiga; Kegelapan itu ada 2 (dua)
macam: * Kegelapan yang berkelanjutan,
yang sama sekali tidak ada cahayanya, dan
* Kegelapan yang terjadi setelah adanya cahaya. Yang kedua ini terasa lebih gelap dan lebih
menyiksa. Kegelapan orang-orang munafik
adalah kegelapan setelah adanya cahaya. Keadaannya diserupakan dengan
keadaan orang yang menyalakan api, lalu dia berada dalam suatu kegelapan setelah
ada sinar. Sedangkan orang-orang kafir
berada dalam berbagai kegelapan, dan mereka sama sekali tidak bisa keluar
darinya.
Keempat;
Di dalam
perumpamaan ini terkandung pemberitahuan dan peringatan tentang keadaan mereka
(nanti) di akhirat, bahwa mereka diberi cahaya yang nyata, seperti cahaya yang
diberikan kepada mereka di dunia.
Kemudian cahaya itu dipadamkan, padahal mereka sangat memerlukannya,
karena tidak ada materi yang membuat cahaya itu tetap bertahan (menyala). Mereka berada dalam kegelapan di atas
jembatan (“Ash-Shirat”), dan tidak bisa menyeberang. Sebab tidak mungkin seseorang dapat
menyeberanginya kecuali dengan cahaya yang kuat yang menyertainya, hingga dia
bisa melewati jembatan itu. Cahaya
itu memerlukan materi berupa ilmu yang bermanfaat, dan amal shalih. Jika tidak, Allah akan menghilangkan cahaya
yang justru lebih ia butuhkan dari keadaan sebelumnya (di dunia). Perumpamaan keadaan mereka di dunia mirip
dengan keadaan mereka di Akhirat, ketika cahaya itu dibagi-bagikan oleh Allah ‘Azza
wa Jalla.
Dari sini dapat diketahui rahasia dari firman
Allah yang terkandung dalam ayat, ذهب الله بنورهم / Dzahaba Allahu binuurihim, dan tidak
dikatakan, اذهب الله نورهم / Adzhaba
Allahu nuurahum.
Jika engkau ingin mendapatkan tambahan
penjelasan dan keterangan, perhatikan riwayat Muslim dalam Shahih-nya,
dari hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, ketika dia ditanya
tentang saat kembali. Maka dia menjawab,
“Kita datang pada Hari Kiamat di atas permukaan tanah yang lebih tinggi dari
manusia.” Dia berkata, “Berbagai umat
dipanggil dengan berhala-berhalanya, dan apa yang mereka jadikan sesembahan. Yang awal, kemudian disusul yang
berikutnya. Kemudian Rabb kita
mendatangi kita setelah itu, seraya bertanya, “Siapakah yang kalian
tunggu?”
Mereka menjawab, “Kami menunggu Rabb kami.”
Dia berfirman, “Aku adalah Rabb kalian.”
Mereka berkata, “Kami tetap menunggu Engkau.”
Maka Allah menampakkan Diri di hadapan mereka
sambil tersenyum. Maka Allah bertolak
bersama mereka dan mereka pun mengikuti-Nya.
Setiap orang di antara mereka, yang munafik maupun yang mukmin diberi
cahaya lalu mereka mengikutinya. Di atas
Jahannam ada Kalalib (besi yang bengkok ujungnya), dan duri yang
mengenai siapa pun yang dikehendaki Allah.
Kemudian cahaya orang-orang munafik padam, sedangkan orang-orang mukmin
selamat (tetap). Kelompok yang pertama selamat
wajah mereka seperti rembulan saat malam purnama. Mereka berjumlah 70.000 orang tanpa
hisab. Kemudian menyusul yang berikutnya
seperti sinar bintang di langit.
Kemudian menyusul yang semisal dengan itu. Kemudian diperkenankan syafa'at dan mereka pun
diberi syafa'at, hingga siapa pun yang mengucapkan laa ilaaha illallah keluar dari
Neraka, meskipun di dalam hatinya hanya ada kebaikan seberat biji gandum. Mereka diletakkan di Serambi Surga. Para penghuni Surga memercikkan air pada
mereka.” Lalu dia menyebutkan kelanjutan
hadits ini.
Perhatikan perkataan, “Maka Allah bertolak
bersama mereka dan merekapun mengikuti-Nya.
Setiap orang di antara mereka, yang munafik maupun yang mukmin diberi
cahaya”. Setelah itu perhatikan
firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan
membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”. Perhatikan keadaan mereka ketika
cahaya itu dipadamkan, lalu mereka berada dalam kegelapan. Sementara orang-orang mukmin pergi dengan cahaya iman mereka, dan mereka mengikuti Allah ‘Azza wa Jalla.
Perhatikan pula sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Agar setiap umat mengikuti apa yang mereka sembah. Maka setiap orang musyrik mengikuti
sesembahan yang disembahnya.” Orang-orang
yang mengesakan Allah berhak mengikuti Allah Yang Mahabenar, yang menganggap
semua sesembahan selain-Nya adalah bathil.
Perhatikan makna firman Allah berikut,
“Pada hari Betis disingkapkan, dan mereka
dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa (mampu).”
(QS. Al-Qalam;
42)
Ayat ini disebutkan dalam hadits tentang
syafa'at, yang juga berkaitan dengan masalah ini. Apa yang disebutkan di dalam hadits, “Lalu
Betis-Nya disingkap”, menjelaskan maksud Betis pada ayat di atas.
Kemudian perhatikan kepergian Allah beserta
orang-orang mukmin yang mengikuti-Nya setelah itu. Hal ini akan membukakan pintu rahasia-rahasia
Tauhid bagimu, pemahaman Al-Qur’an dan perlakuan Allah terhadap Ahli Tauhid
yang menyembah-Nya semata, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Perlakuan yang berbeda diberikan kepada
orang-orang musyrik dan munafik, dimana setiap ummat pergi bersama sesembahannya
masing-masing, yang pergi ke Neraka dan mereka mengikutinya. Sesembahan Yang Mahabesar pergi dan diikuti
para wali-Nya dan orang-orang yang menyembah-Nya. Mahasuci Allah Rabb semesta Alam. Hati Ahli Tauhid merasa senang (tenang) di dunia dan
di akhirat, dan mereka berbeda dengan manusia lain dalam masalah Tauhid ini,
padahal mereka (orang lain tersebut) sangat membutuhkannya.
(Baca juga artikel; HAKIKAT TAUHID, dan TAUHIDULLAH)
(Baca juga artikel; HAKIKAT TAUHID, dan TAUHIDULLAH)
Kelima; Perumpamaan yang pertama mengandung
akibat kegelapan, yaitu berupa kesesatan dan kebingungan, kebalikan dari
petunjuk. Sedangkan perumpamaan yang
kedua mengandung akibat rasa takut, kebalikan dari rasa aman, tanpa rasa aman
dan petunjuk. Firman Allah (artinya),
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
(QS. Al-An’am; 82)
Ibnu Abbas dan yang lainnya dari kalangan Salaf
berkata, “Perumpamaan diri mereka dalam kemunafikannya seperti orang yang
menyalakan api pada malam yang gelap-gulita di tengah padang yang luas, lalu
ada sinar dan dia pun dapat melihat sekelilingnya, sehingga dia dapat
menghindari apa yang ditakutkannya.
Selagi dia dalam keadaan seperti itu - tiba-tiba api itu padam, sehingga
dia berada di dalam kegelapan, dalam keadaan takut dan bingung. Begitu pula keadaan orang-orang munafik
yang menampakkan kata-kata iman, sehingga harta dan anak-anak mereka aman,
mereka dapat saling menikah dengan orang-orang mukmin dan saling mewarisi dan
saling membagi harta rampasan perang. Itulah
cahaya mereka. Jika mereka meninggal
dunia, mereka kembali kepada kegelapan dan ketakutan.”
Menurut Mujahid, sinar yang menimpa
mereka adalah kembalinya mereka kepada orang-orang mukmin dan petunjuk,
sedangkan hilangnya cahaya mereka, ialah kembalinya mereka kepada orang-orang
musyrik dan kesesatan. Sinar dan
hilangnya cahaya itu ditafsiri sebagai sinar dan cahaya di dunia. Ada pula yang menafsirinya di alam Barzakh
dan ada yang menafsirinya pada hari Kiamat.
Yang benar, hal itu terjadi di 3 (tiga) Alam. Karena mereka mengalaminya di dunia, maka
keadaan ini berlanjut di Barzakh, dan di Akhirat. Ini merupakan balasan yang pas buat
mereka, dan Allah tidak berbuat zhalim terhadap hamba-Nya. Yang disebut معاد / ma’ad,
ialah kembalinya apa yang dilakukan hamba di dunia kepada dirinya sendiri di akhirat,
yang juga disebut yaumul jaza’ (hari pembalasan). Seperti makna firman-Nya,
“Dan barangsiapa yang buta (mata hatinya) di
dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (lagi), dan tersesat
dari jalan (yang benar).”
(QS. Al-Isra’; 72), dan
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka
yang telah mendapat petunjuk.”
(QS. Maryam; 76)
Siapa yang takut untuk mendurhakai Allah di
dunia ini, maka ketakutannya kepada Allah di Barzakh dan pada hari Kiamat lebih
besar lagi. Siapa yang hatinya senang
(tenang) di dunia, maka hatinya pun senang (tenang) pada saat meninggal, pada
hari Kebangkitan, dan pada hari Kiamat.
Hamba meninggal menurut keadaan hidupnya, dan dia dibangkitkan menurut
keadaan saat meninggal.
Amalnya akan kembali kepadanya, sehingga ia
akan mendapatkan kenikmatan lahir dan bathin, yang menghasilkan ketenangan,
kegembiraan, kenikmatan, kesenangan hati, dan kelapangan hidup, yang merupakan
kenikmatan yang paling nyata dan paling baik.
Adakah kenikmatan yang mengalahkan ketenangan jiwa?, kesenangan hati,
dan kegembiraannya?
Di samping itu semua, dari amal-amalnya itu
muncul apa yang diinginkan jiwanya, dan dia mendapatkan apa pun yang disenangi
jiwa dan digemari hati. Jenis
kesenangan, kesempurnaan, dan apa yang didapatkannya - tergantung pada
kesempurnaan amal dan keikhlasannya, dimana pencapaiannya ke tingkat kebaikan
tergantung juga dari keragaman amal.
Siapa yang memiliki keragaman amal yang dicintai dan diridhai Allah di
dunia ini, maka bagian-bagian yang dinikmatinya di Akhirat juga lebih beragam,
yang banyaknya tergantung pada banyaknya amal di dunia. Kenikmatannya tergantung pada tambahan
amal, dan yang diikuti (jadi panutan) di dunia.
Allah telah menjadikan pengaruh dan balasan
bagi setiap amal yang dicintai-Nya dan yang dibenci-Nya. Pengaruh dan balasannya di Akhirat tidak bisa
diserupakan. Karena itulah kesenangan para
penghuni Surga beraneka ragam, dan penderitaan para penghuni Neraka juga
beraneka macam. Kebaikan dan siksaan di
akhirat bermacam-macam dan beragam-ragam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengisyaratkan, bahwa kesempurnaan kenikmatan yang dirasakan hamba di akhirat
bergantung pada kesempurnaan amal yang serupa yang dilakukan di dunia. Suatu kali Beliau pernah melihat satu tandan
yang digantung di masjid sebagai shadaqah.
Maka Beliau bersabda, “Orang yang memiliki tandan ini makan korma yang
paling jelek di hari Kiamat.” Beliau
mengabarkan bahwa balasannya adalah dari jenis amalnya, Shadaqah itu akan dibalasi dengan balasan
yang sejenis, yaitu korma yang jelek.
Pintu ini membuka beberapa pintu yang lebih besar
untuk memahami hari pembalasan, dimana keadaan manusia pada waktu itu
berbeda-beda, begitu pula apa yang terjadi di sana.
Allah berfirman ذهب الله بنورهم / Dzahaba Allahu binuurihim (Allah
menghilangkan cahaya mereka), dan tidak dikatakan, بنارهم/ Binaarihim
(api mereka), sebab api memiliki sifat membakar dan menerangi. Allah menghilangkan sifat api yang mengandung
cahaya dan menyinari, dan membiarkan sifat api yang membakar dan menyiksa. Begitu pula keradaan orang-orang munafik. Cahaya iman mereka lenyap
karena kemunafikan yang ada di hati mereka, yang tersisa adalah panasnya
kekufuran, keragu-raguan dan kebimbangan yang menggelegak di dalam hati mereka,
sebagaimana lautan hati mereka yang dipenuhi racun dan gelombang yang bergelora
di dunia. Maka Allah mengobarkan pula
api yang menjilat-jilat di akhirat yang membakar hati mereka.
Inilah perumpamaan orang-orang yang tidak
mendapatkan cahaya iman di dunia. Bahkan
cahaya iman itu keluar dan meninggalkannya, setelah cahaya itu
menyinarinya. Yang demikian itu
merupakan keadaan orang-orang munafik, yang mengetahui lalu mengingkari, yang
mengakui kemudian membangkang, sehingga dia berada dalam berbagai kegelapan, dalam
keadaan bisu, tuli, dan buta, sebagaimana firman Allah tentang “saudara” mereka
dari kalangan orang-orang kafir,
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami adalah tuli, bisu, dan berada dalam gelap-gulita.”
(QS. Al-An’am;
39)
“Dan perumpamaan (orang yang menyeru)
orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak
mendengar selain panggilan dan seruan saja.
Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti.”
(QS. Al-Baqarah; 171)
Allah menyerupakan keadaan orang-orang munafik
tentang keluarnya mereka dari cahaya, setelah mereka disinari cahaya itu,
seperti keadaan orang yang menyalakan api.
Hilangnya cahaya itu setelah menyinari sekelilingnya. Sebab orang-orang munafik itu hidup di
tengah-tengah kaum muslimin, Shalat bersama mereka, Puasa, Mendengarkan
Al-Qur’an, Terlibat dalam pengibaran panji-panji Islam bersama mereka. Mereka menyaksikan cahaya itu dengan
mata-kepala sendiri, karena itu Allah berfirman tentang mereka, “Maka
tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” Sebab mereka meninggalkan Islam setelah
bercampur dengannya, dan mencari cahaya darinya. Mereka tidak akan kembali ke Islam (yang
benar / lurus). Sementara tentang orang-orang
kafir Allah berfirman, “Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” Sebab, mereka memang tidak memikirkan
Islam, tidak pernah masuk ke dalam Islam, dan tidak mencari cahaya darinya, sehingga
mereka selalu berada dalam kegelapan-kegelapan kufur, dalam keadaan bisu, tuli,
dan buta.
Mahasuci Allah yang telah menjadikan kalam-Nya
sebagai obat penawar bagi dada, yang menyeru kepada hakikat-hakikat iman, yang
mengajak kepada kehidupan abadi, dan kenikmatan yang kekal, serta ke arah
petunjuk. Penyeru iman bisa
memperdengarkan pada telinga yang sadar.
Nasihat-nasihat Al-Qur’an bisa menyembuhkan hati yang kosong (sakit). Tetapi di sana ada angin syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran) dan
syahwat yang bertiup ke dalam hati, sehingga pelitanya menjadi padam. Di sana ada tangan-tangan kelalaian dan
kebodohan yang terjulur sehingga menutup pintu petunjuk dan melenyapkan
kuncinya. Karena itu
tidak berguna perkataan (nasihat) di dalamnya, karena hati itu mabuk oleh syahwat
kesesatan, dan syubhat kebathilan. Ia
telah mati di lautan kebodohan dan kelalaian, tertawan oleh hawa nafsu dan
syahwat. Lalu, apalah artinya luka bagi jasad yang telah mati?[2]
Adapun tuli dan bisu dalam firman Allah, “Tuli,
bisu, dan buta.” , dan firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami
jadikan untuk isi Neraka Jahannam kebanyakan dari Jin dan manusia, mereka
mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi (dari
binatang ternak itu), Mereka itulah
orang-orang yang lalai.”
(QS. Al-A’raf; 179).
Begitu pula makna firman-Nya,
“Dan orang-orang yang tidak beriman, pada
telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi
mereka. Mereka itu adalah (seperti)
orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”
(QS. Fushilat;
44) Ibnu Abbas berkata, “Artinya
di telinga mereka ada sumbatan sehingga mereka tidak bisa mendengar Al-Qur’an. Al-Qur’an ini membuat mereka buta. Allah membutakan hati mereka sehingga mereka
tidak bisa memahami. Mereka dipanggil
dari tempat yang jauh, seperti binatang ternak yang tidak bisa memahami kecuali
seruan (suara) dan panggilan yang tidak memiliki makna.”
Menurut Mujahid, Al-Qur’an itu jauh dari hati
mereka. Menurut Al-Farra’, engkau bisa
mengatakan kepada orang yang tidak paham, “Engkau dipanggil dari tempat yang jauh.” Masih menurut dia, disebutkan dalam tafsir,
seakan-akan mereka dipanggil dari langit, sehingga mereka tidak mendengarnya.
Maknanya mereka tidak mendengar dan tidak
paham, seperti orang yang dipanggil dari tempat yang jauh, yang tidak mendengar
dan tidak paham (kecuali hanya mendengar bunyi-bunyian yang tidak bermakna).
Firman Allah
صم بكم عمي / Shummun bukmun ‘umyun, bahwa البكم / Albukm
adalah jama’ dari ابكم / Abkam, yaitu orang yang tidak bisa
berbicara alias bisu.
البكم / Al-Bakam
(kebisuan) ada dua macam; * Kebisuan
hati, dan * Kebisuan lisan, sebagaimana pembicaraan juga ada dua macam; *Pembicaraan hati, dan *Pembicaraan lisan. Yang lebih parah di antara keduanya adalah kebisuan
hati, sebagaimana halnya ketulian dan kebutaan hati juga lebih parah daripada
ketulian telinga dan kebutaan mata.
Allah
mensifati mereka, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memahami kebenaran,
dan lisan mereka tidak bisa mengucapkan kebenaran. Ilmu dapat masuk dari tiga pintu; Pendengaran, Penglihatan, dan Hati. Ketiga pintu ini tertutup atas diri mereka.
Pendengaran
tertutup oleh ketulian, penglihatan tertutup oleh kebutaan, dan hati tertutup
oleh kebisuan.
Allah telah menghimpun 3 (tiga) pintu ini dalam makna firman-Nya,
“Dan Kami telah memberikan kepada mereka
pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun juga
bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah.”
(QS. Al-Ahqaf;
26)
Jika Allah
hendak memberikan petunjuk pada seorang hamba, maka Dia akan membukakan hati,
pendengaran, dan penglihatannya. Jika
Allah menghendaki untuk menyesatkannya, maka Dia akan membuatnya bisu, tuli,
dan buta. Hanya dari Allah-lah datangnya
Taufiq!
Tentang makna firman Allah,
“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan
lebat dari langit disertai gelap-gulita, guruh, dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak
jarinya, karena (mendengar) suara petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi (mengepung) orang-orang
kafir.”
(QS. Al-Baqarah;
19)
Makna الصيب / Ash-Shayyib
adalah hujan yang turun dengan deras, dan cepat dari langit. Ini merupakan perumpamaan Al-Qur’an, yang
dengan hujan itu hati menjadi hidup, seperti air hujan yang menghidupkan tanah,
tanaman, dan binatang. Orang-orang
mukmin mengetahui hal itu dari Al-Qur’an, dan mereka mengetahui kehidupan yang
berasal dari hujan dan tidak mendatangkan bahaya. Tidak ada yang menghalangi mereka untuk
mengetahuinya, meskipun di dalamnya ada guruh, dan kilat, yaitu peringatan dan
siksaan yang disampaikan Allah kepada orang-orang yang menyalahi
perintah-Nya. Allah juga mengabarkan, bahwa
siksaan itu bagi orang-orang yang mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam perintah Allah juga
terdapat hal-hal yang berat, seperti berperang melawan musuh, dan sabar dalam
urusan itu, atau ada pula perintah yang berat bagi jiwa, karena harus menentang
keinginan jiwanya. Hal ini mirip dengan kegelapan, guruh, dan kilat. Tetapi siapa yang mengetahui tempat
yang terkena hujan, dan hasilnya dikemudian hari yaitu berupa kehidupan, maka
ia tidak akan takut meskipun berada dalam kegelapan yang disertai guruh dan
kilat. Bahkan dia merasa senang dan
tenang dengan keadaan itu, karena dia mengharapkan kehidupan dan kesuburan di
belakangnya.
Adapun orang-orang munafik, hati mereka buta
dan pandangannya tak mampu menembus kegelapan, tidak dapat melihat kecuali
kilat yang seakan-akan menyambar pandangannya, dan guruh serta kegelapan. Karena itu ia merasa takut dengan keadaan
yang seperti itu, sambil menutupkan anak jari tangannya ke telinganya, agar dia
tidak mendengar suara guruh. Dia gemetar
ketika melihat kilat dan kilauannya. Dia
takut kalau-kalau kilat itu menyambar pandangannya, sebab pandangannya terlalu
lemah untuk bertahan terhadap kilauan kilat itu. Ketika mendengar suara guruh yang bergemuruh
sedang dia berada dalam kegelapan, lalu melihat kilat yang menyambar. Jika ada kilat yang menerangi sekitarnya,
maka dia berjalan (beringsut) di bawah cahayanya. Jika cahayanya hilang dia berhenti (berdiri)
dalam keadaan bingung, tidak tahu ke arah mana dia harus beranjak. Karena kebodohannya, dia tidak tahu bahwa hal
tersebut merupakan kelaziman dari hujan, yang sebenarnya (hujan itu) merupakan
kehidupan bagi bumi dan tanaman, bahkan bagi kehidupan dirinya sendiri. Dia tidak mengenal selain dari guruh,
kegelapan, dan kilat (tidak lebih dari itu).
Dia tidak mempunyai perasaan apa pun di balik semua itu. Maka tidak heran jika ketakutan
menghantuinya, gemetar, dan kalut. Tapi
bagi orang yang sudah terbiasa dengan hujan dan mengetahui kebaikan, kehidupan,
dan manfaat lain dari hujan itu, memahami bahwa hujan itu tentu (lazimnya)
disertai guruh, kilat, dan kegelapan karena awan (mendung), tentu dia akan biasa-biasa
saja dan tidak takut, serta tidak ada yang menghalanginya untuk mengambil
bagian (manfaat) dari hujan itu.
Ini merupakan perumpamaan yang tepat bagi “hujan”
yang di turunkan Jibril 'alaihissalam dari sisi Allah ke dalam hati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, guna menghidupkan semua hati dan alam. Telah ditetapkan hikmah Allah untuk menyertai
awan, guruh, dan kilat dengan hujan yang menurunkan air. Merupakan hikmah yang sangat tinggi, dan
sebab-sebab yang besar, yang telah diatur sedemikian rupa oleh Yang Mahamengetahui
dan Mahabijaksana.
Sementara bagian orang-orang munafik dari hujan
itu hanya guruh, dan kilatnya saja.
Mereka tidak mengetahui ada apa di balik hujan itu, sehingga mereka
takut terhadap sesuatu yang justru didambakan oleh orang-orang mukmin, dia
gemetar oleh sesuatu yang justru membuat orang-orang berilmu merasa tenang, dia
menjadi ragu-ragu terhadap sesuatu yang membuat orang-orang yang memiliki ma’rifat
menjadi yakin.
Pandangan orang-orang munafik dalam perumpamaan
yang berunsur api seperti pandangan kelelawar di siang hari bolong. Sementara pendengarannya dalam perumpamaan
yang berunsur api seperti orang yang mati karena mendengar suara guruh. Dikisahkan ada sebagian binatang yang mati
karena mendengarkan suara guruh (mis. ayam, burung dan lain-lain). Jika
akal, pendengaran, dan penglihatan ini bertemu dengan syubhat syaithan, hayalan
yang rusak, dan dugaan-dugaan dusta, maka syubhat dan hayalan-hayalan itu akan
berputar-putar di dalam dirinya, berdiri, dan duduk, menguasai seluruh sisinya,
banyak bisikan-bisikan yang menghantui pendengarannya. Ternyata banyak juga orang-orang yang memenuhi seruannya,
melaksanakan panggilannya, berperang di
bawah benderanya, dan memperbanyak kelompoknya. Karena cobaan dan bencana yang ditimbulkan
orang-orang munafik sudah menyebar, dan banyak hati yang telah dirasuki
bisikannya. Maka Allah menyibak tabir
mereka di dalam Al-Qur’an secara nyata, menjelaskan tanda-tandanya, perbuatan,
dan perkataan mereka. Allah Subhanahu
wa Ta’ala sering kali menyatakan, “Di antara mereka, di antara mereka, di
antara mereka”[3], hingga urusan mereka benar-benar tersingkap,
rahasia mereka terkuak, dan hakikat mereka tersebar (diketahui oleh orang-orang
beriman secara luas).
Renungan
* "Betapa banyak orang yang membaca Al-Qur'an, tetapi Al-Qur'an malah melaknatnya."
(Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)
* Barangsiapa yang ingin mengetahui seberapa besar perhatian Allah terhadap dirinya, hendaklah dia memperhatikan seberapa besar perhatiannya dalam memahami Agama Allah."
* Barangsiapa yang ingin mengetahui seberapa besar perhatian Allah terhadap dirinya, hendaklah dia memperhatikan seberapa besar perhatiannya dalam memahami Agama Allah."
('Ulama)
oOo
(Diringkas dan disadur bebas dari kitab “Tafsir
Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais
An-Nadwy)
[1] Pendengaran dan penglihatan serta indera lainnya merupakan saluran dan jalan ilmu yang mengantarkan kepada akal. Akal akan mengambil apa pun yang diantarkan para pemandu itu, lalu memikirkan dan mengolahnya. Dari sini ia dapat mengambil petunjuk bila memang akal itu sehat dan kuat, kemudian mengguyurkannya ke dalam hati, yang merupakan inti dari rasa kemanusiaan yang mulia. Badan yang bersifat hewani dengan segala inderanya tak ubahnya jembatan yang menghubungkan ke dalam hati. Inilah makna firman Allah, “Dan Aku telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku.” (Al-Hijr; 29)
[2] Madarij,
1/194-201; Al-Wabil Ash-Shayyib, 736
[3] Di
dalam surat At-Taubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar