Selasa, 29 Januari 2019

PERUMPAMAAN ORANG MUNAFIK SEPERTI ORANG YANG MENYALAKAN API DAN DITIMPA HUJAN



بسم الله الر حمان الر حيم

Begitu banyak peringatan (ayat-ayat) yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an pada orang-orang yang beriman, agar berhati-hati  dan tidak meniru sifat-sifat Nifak (Munafik).  Bahkan, Allah menurunkan sebuah surat khusus (Al-Munafiqun) di dalam Al-Qur’an, yang menerangkan tentang keadaan mereka yang penuh dengan kepalsuan dan kedustaan.
(Baca juga artikel; M U N A F I K)

Di antara firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang mereka (artinya),
"Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.  Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).  
(QS. Al-Baqarah;  17-18)
Allah mengumpamakan musuh-musuh-Nya, yaitu orang-orang munafik seperti sekumpulan orang yang menyalakan api sebagai penerang, mereka berharap agar bisa memanfaatkannya.  Ketika api itu menyala di sekeliling mereka - mereka dapat melihat dengan sinarnya apa-apa yang bermanfaat dan bermudharat baginya.  Mereka pun dapat melihat jalan (yang sebelumnya dalam keadaan bingung dan linglung).  Bagaikan sekumpulan musafir yang tersesat jalan, lalu mereka menyalakan api yang dapat menerangi jalan yang seharusnya mereka tempuh.  Ketika cahaya itu telah menyinari sekeliling mereka, dan mereka dapat melihat dan memandang – sekonyong-konyong cahaya itu padam, sehingga mereka berada dalam keadaan gelap gulita, dan tidak melihat apa-apa.  Tiga pintu petunjuk telah ditutup bagi mereka.  Sesungguhnya petunjuk itu masuk ke dalam diri hamba melalui 3 (tiga) pintu, yaitu dari apa yang didengar dengan telinga, apa yang dilihat dengan mata, dan apa yang dipikirkan dengan hati.[1]  Pintu-pintu petunjuk tersebut telah ditutup bagi mereka, sehingga hati mereka tidak bisa mendengar apa pun, tidak mampu melihat, dan juga tidak mampu memikirkan apa yang bermanfaat baginya.
Ada yang berpendapat, karena mereka tidak bisa mengambil manfaat dari pendengaran, penglihatan, dan hati mereka, maka mereka diperosotkan (disejajarkan) dengan kedudukan orang-orang yang tidak memiliki pendengaran, penglihatan, dan akal.  Dua pendapat ini saling mengkait.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mensifati mereka, “Maka tidaklah mereka akan kembali” .  Sebab tadinya mereka sudah dapat melihat dengan cahaya api, dan mereka sudah melihat petunjuk.  Ketika cahaya itu padam, maka mereka tidak bisa kembali seperti keadaan semula, dimana mereka dapat melihat dan memandang.
Firman-Nyaذهب الله بنورهم  / Dzahaba Allahu binuurihim  /  "Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka", dan tidak dikatakan,ذهب نورهم   Dzahaba  nuuruhum  /  "(Allah) hilangkan api mereka" , disini terkandung rahasia yang mengagumkan, yaitu terputusnya kebersamaan yang khusus, kebersamaan orang-orang mukmin bersama Allah yang tidak lagi mereka dapatkan.
Karena firman Allah (yang artinya),
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”  
(QS. Al-Baqarah;  153), dan
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa, dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”  
(QS. An-Nahl;  128)
Perbuatan Allah yang menghilangkan cahaya itu berarti pemutusan kebersamaan yang dikhususkan-Nya bagi para wali-Nya.  Allah memutuskan kebersamaan antara Diri-Nya dengan orang-orang munafik, sehingga tidak ada yang menyisa bagi mereka setelah dihilangkannya cahaya itu dan kebersamaan.  Maka, mereka tidak lagi mendapatkan bagian dari makna firman-Nya,
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.”  
(QS. At-Taubah;  40), dan tidak pula makna firman-Nya,
“Sekali-sekali tidak akan tersusul, sesungguhnya Rabb-ku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”  
(QS. Asy-Syu’ara;  62)
Perhatikan makna firman Allah, “Api itu menerangi sekelilingnya”, bagaimana Allah menjadikan cahaya api itu keluar secara berpencar?  Sekiranya cahaya api hanya mengenai dirinya dan samar-samar, tentu dia tidak akan bisa beranjak.  Tetapi yang terjadi (sebelumnya), cahaya itu berpencar mengelilingi, tidak samar-samar dan tidak pula kabur.  Lalu cahaya itu kembali ke asalnya dan kegelapan juga kembali ke asalnya.  Masing-masing kembali ke asalnya yang sesuai dengannya.  Hujjah dari Allah telah berlaku (tegak).  Ini merupakan hikmah yang agung, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berpikir dari hamba-hamba-Nya.
Perhatikan pula makna firman-Nya,
“Allah hilangkan cahaya mereka”, dan tidak dikatakan, “Api mereka”, untuk menyesuaikan dengan permulaan ayat.  Sebab api mengandung sifat menerangi dan juga sifat yang bisa membakar.  Allah menghilangkan sifat menerangi yang terkandung di dalamnya, yaitu cahaya, dan membiarkan sifat api yang bisa membakar (membinasakan).
Perhatikan pula kata, “Cahaya”, dan tidak dikatakan, “Sinar”, yang menyertai firman-Nya, “Menerangi (menyinari) sekelilingnya”.  Sebab sinar merupakan tambahan (pantulan) dari cahaya, seperti sinar bulan yang merupakan pantulan dari cahaya matahari.  Sekiranya Allah berfirman, “Allah hilangkan sinar mereka” , tentu akan menimbulkan persepsi (pengertian) bahwa yang dihilangkan-Nya hanya tambahannya saja, tanpa sifat asalnya.  Karena cahaya merupakan asal dari sinar, maka penghilangan cahaya berarti penghilangan sesuatu beserta tambahannya.
Hal ini juga lebih mantap dalam penafian cahaya itu dari mereka, dan bahwa mereka adalah orang-orang yang berada dalam kegelapan yang tidak memiliki cahaya.
Allah menamakan kitab-Nya dengan An-Nur (Cahaya), demikian pula dengan Rasul-Nya, Asma-Nya, dan Shalat, semua dinamakan cahaya (petunjuk / kehidupan yang hakiki).  Maka, perbuatan Allah yang menghilangkan cahaya berarti penghilangan semua itu dari mereka!
Perhatikan kesesuaian perumpamaan ini dengan makna ayat sebelumnya,
“Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka, dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”  
(QS. Al-Baqarah;  16)
Lihatlah kesesuaian perniagaan yang merugi ini, yang mendatangkan kesesatan serta keridhaan mereka terhadapnya, dengan disingkirkannya petunjuk untuk menghadirkan kebalikannya (kesesatan), dan kedatangan kegelapan sebagai wujud dari kesesatan dan keridhaan padanya, menggantikan cahaya yang merupakan petunjuk.  Dengan perkataan lain, mereka mengeluarkan petunjuk dan cahaya itu dan menggantinya dengan kesesatan dan kegelapan.  Sungguh, itu merupakan perniagaan yang amat merugi, dan “tepukan tangan” yang mengecoh.
Perhatikan firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dimana cahaya di sini merupakan kata tunggal (singular noun), lalu firman, “Dan membiarkan mereka dalam kegelapan”, dimana kegelapan di sini merupakan kata jama’ (plural nouns).  Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu Ash-Shiraat Al-Mustaqiim, yang tidak ada jalan lain yang dapat mengantarkan kepada-Nya.  Jalan ini ialah menyembah Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya, menurut cara yang disyariatkan lewat lisan Rasul-Nya, bukan menurut hawa nafsu, bid’ah, dan bukan pula melewati jalan orang-orang yang keluar dari apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, berupa petunjuk dan Agama (Syari’at yang haq), yang berbeda dengan jalan-jalan kebathilan yang banyak dan bercabang-cabang.  Karena itulah Allah menunggalkan kebenaran dan menjama'kan kebathilan.  Seperti yang difirmankan-Nya (artinya),
“Allah pelindung orang-orang yang beriman;  Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (keimanan).  Dan orang-orang yang kafir pelindung-pelindung mereka ialah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya (keimanan) kepada kegelapan (kekafiran).”  
(QS. Al-Baqarah;  257), dan
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.”  
(QS. Al-An’am;  153)
Allah menjama’kan jalan kebathilan, dan menunggalkan jalan kebenaran.  Hal itu sejalan (tidak bertentangan) dengan firman-Nya (artinya),
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan.”  
(QS. Al-Maidah;  16)
Jalan pada ayat di atas (Al-Maidah;  16) dijama’kan (plural nouns).  Itu adalah jalan-jalan keridhaan-Nya yang kemudian dihimpun ke jalan yang satu, yaitu jalan-Nya yang lurus.  Sebab, semua jalan keridhaan-Nya kembali ke satu jalan, yaitu jalan-Nya, dimana tiada satu jalan pun yang sampai kepada-Nya, kecuali melalui jalan ini.
Disebutkan dalam riwayat shahih Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau pernah menorehkan sebuah garis lurus, seraya bersabda, “Ini adalah jalan Allah”.  Kemudian Beliau membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya, seraya bersabda, “Ini adalah jalan-jalan.  Di atas setiap jalan itu ada syaithan yang menyeru kepadanya.”  Kemudian Beliau membaca ayat (artinya), “Dan (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.  Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.”  
(QS. Al-An’am;  153)
Ada yang berpendapat, yang demikian itu merupakan perumpamaan bagi orang-orang munafik, yang menyalakan api cobaan di tengah-tengah kaum muslimin.  Hal ini mirip dengan makna firman Allah Ta’ala,
“Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya.”  
(QS. Al-Maidah;  64)
Sehingga firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, senada dengan firman-Nya, “Allah memadamkannya”.  Kekecewaan dan kegagalan keinginan mereka adalah, bahwa mereka dibiarkan dalam kegelapan dan kebingungan, mereka tidak mendapatkan  petunjuk untuk melepaskan diri dari keadaan tersebut, mereka tidak lagi dapat melihat jalan, membedakan al-haq dan al-bathil, bahkan mereka tuli, bisu, dan buta!        
Pandangan ini (kalau itu memang benar) – sebagai maksud dari ayat ini perlu dipertimbangkan.  Sebab ditilik dari kontekstual kalimat, maksudnya lain, yang tidak sejalan dengan firman Allah, “Maka setelah api itu mengelilingi sekelilingnya”.  Nyala api peperangan sama sekali tidak bisa menerangi sekelilingnya.  Juga tidak pas (klop) dengan firman-Nya, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”.  Nyala api peperangan tidak ada cahayanya.  Juga tidak pas (klop) dengan firman-Nya, “Dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.”  Hal ini dapat menimbulkan pemahaman, bahwa mereka beralih dari cahaya ma’rifat dan bashirah kepada kegelapan, keragu-raguan, dan kufur.  Menurut Al-Hasan, yang dimaksud adalah orang-orang munafik, yang melihat kemudian buta (secara tiba-tiba), yang mengetahui kemudian mengingkari.  Karena itulah dikatakan, “Maka tidaklah mereka akan kembali”, artinya mereka tidak kembali kepada cahaya yang sebelumnya mereka tinggalkan.  Allah berfirman tentang orang-orang kafir, “Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti  
(QS. Al-Baqarah;  171).  
Dicabutnya akal dari orang-orang kafir, karena mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki bashirah dan iman.  Sementara pencabutan dari orang-orang munafik, ialah tidak bisa kembali, karena mereka (sebelumnya beriman) kemudian kufur, sehingga mereka tidak bisa kembali ke iman lagi.  Dua hal yang jelas perbedaannya.
Kemudian Allah membuat perumpamaan lain yang berunsur air (hujan) bagi orang-orang munafik;
“Atau seperti orang-orang yang ditimpa hujan yang lebat dari langit, disertai gelap-gulita, guruh, dan kilat;  mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati.  Dan Allah meliputi (mengepung) orang-orang kafir.”  
(QS. Al-Baqarah;  19)
Allah menyerupakan keadaan orang-orang munafik dalam menyikapi cahaya dan kehidupan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, layaknya orang yang menyalakan api, kemudian api itu padam, padahal dia justru lebih membutuhkan api itu dari keadaan sebelumnya.  Cahayanya padam dan dia berada dalam kegelapan, kebingungan, dan linglung, tidak bisa melihat jalan, dan tidak mengetahui rute perjalanan.  Allah juga menyerupakan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan, yang turun secara deras.  Allah mengumpamakan petunjuk yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya dengan hujan.  Sebab hati bisa hidup dengan petunjuk itu seperti halnya tanah yang bisa hidup dengan air.  Allah mengumpamakan sikap orang-orang munafik terhadap petunjuk dengan keadaan orang yang tidak mendapatkan dari hujan itu selain dari kegelapan, guruh yang memekakkan telinga, dan kilat, sehingga tidak ada hasil apa pun yang diperoleh dari semua itu dari (sunnatullah) hujan, seperti kehidupan bagi tanah, manusia, pepohonan, dan berbagai jenis binatang.  Kegelapan yang menyertai hujan, guruh, dan kilat dimaksudkan untuk sesuatu yang lain, yaitu sebagai sarana untuk penyempurnaan manfaat hujan itu.
Orang bodoh tentu tidak bisa menangkap apa yang terkandung dalam kegelapan, guruh, dan kilat, serta keadaan yang menyertainya, seperti hawa dingin, penundaan perjalanan bagi para musafir, dan penghentian pekerjaan bagi pekerja.  Dia tidak akan memiliki pengetahuan yang memungkinkannya menangkap makna dari masalah (sunnatullah) tentang hujan itu, berupa kehidupan dan manfaat secara umum.  Memang begitulah keadaan orang yang terbatas pandangannya, dan lemah akalnya.  Pandangannya hanya tertuju pada masalah yang tidak disenangi saja, dan yang kasat mata, sehingga tidak melihat apa yang disenangi dibalik semua itu.  Inilah keadaan mayoritas manusia, kecuali orang-orang yang memiliki bashirah.  Jika orang yang lemah bashirahnya melihat keletihan, kepayahan, kesulitan, kematian, dan luka dalam jihad, melihat celaan orang yang suka mencela, dan penentangan orang yang takut, tentu dia tak mau bergabung dalam jihad, karena dia tidak mampu melihat akibat yang terpuji di balik jihad, dan tujuan-tujuan yang diinginkan orang-orang yang suka berkompetisi.  Mereka saling berlomba dan berkompetisi untuk mendapatkan tujuan-tujuan itu.  Begitu pula tujuan orang-orang yang hendak pergi menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram, yang tidak melihat dari perjalanannya itu selain dari kesulitan dalam perjalanan, harus berpisah dengan keluarga dan meninggalkan tempat kelahiran, harus menghadapi berbagai kesusahan, meninggalkan hal-hal yang disukai.  Pandangannya tidak menangkap kesudahan dari perjalanan itu, dan akibatnya yang baik.  Akhirnya dia batal pergi dan tidak lagi berhasrat menunaikan haji.
Inilah keadaan orang-orang yang lemah bashirah dan imannya, yang hanya melihat ancaman dan peringatan yang ada di dalam Al-Qur’an, larangan, dan hardikan, perintah-perintah yang berat bagi jiwa, yang mencegahnya dari hal-hal yang disukai, yang menyapihnya dari air susu dan syahwat, seperti anak kecil yang berat untuk disapih.  Sementara semua akal manusia seperti anak kecil, kecuali orang-orang yang sudah beranjak dewasa akalnya dan berpikir, yang mengetahui kebenaran dari ilmu, amal, dan ma’rifat, yang mampu melihat apa yang ada di balik hujan, berupa guruh, dan kilat, serta petir, yang mengetahui bahwa semua itu merupakan bagian dari kehidupan alam (sunnatullah).

Ada seseorang yang berkata di hadapan Az-Zamakhsyari [seorang cendikiawan Muslim Iran, berpaham (manhaj menyimpang, Mu'tazilah / Rasionalis).  Hidup sekitar Thn. 1073 - 1143 M], bahwa dia menyerupakan Islam dengan hujan.  Sebab hati manusia dapat hidup dengannya seperti tanah yang bisa hidup dengan air hujan.  Dia juga menyerupakan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti penyerupaan kufur dengan kegelapan.  Peringatan dan ancaman dengan guruh, dan kilat, serta keadaan yang menimpa orang-orang kafir, menyerupakan ketakutan akan ditimpa bencana dan cobaan dari kaum muslimin dengan suara petir.  Artinya seperti orang yang ditimpa hujan lebat.  Dengan kata lain, seperti orang yang ditimpa “langit” berdasarkan sifat ini, sehingga mereka menerima akibat sebagaimana layaknya.
Maka Az-Zamakhsyari berkata menanggapi perkataan orang itu, “Yang benar menurut para pakar Ilmu Bayan, dan tidak lebih dari makna ini, bahwa dua perumpamaan ini ditilik dari tamsil-tamsil yang saling terangkum tanpa pemisahan, antara yang satu dengan yang lainnya tidak saling menanggung menurut kadar keserupaan di dalam tamsil itu.
Penjelasan dari pendapat yang cukup berani ini ialah, bahwa bangsa Arab biasa memahami berbagai hal secara sendiri-sendiri, sebagian terpisah dari sebagian yang lain, tidak memahami yang ini menurut ikatan yang itu.  Maka penyerupaannya dengan hal lain yang sebanding seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an, berupa penyerupaan keadaan dari himpunan beberapa hal, bisa menciptakan kohesi (keterpaduan) dan kombinasi, sehingga antara satu hal dengan lainnya yang semisal menjadi seperti satu, seperti makna firman Allah,
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.”  (Al-Jumu’ah;  5)
Maksudnya ialah, menyerupakan keadaan orang-orang Yahudi yang tidak mengetahui kandungan Taurat di tangan mereka, dan ayat-ayatnya yang nyata, dengan keadaan keledai yang bodoh tentang beban yang dipikul (dibawa)nya, berupa kitab-kitab yang tebal penuh (sarat) hikmah.  Dua keadaan ini sama saja bagi keledai, apakah dia memikul kitab-kitab hikmah, ataukah memikul beban selain kitab-kitab hikmah.  Sementara dia tidak merasakan dari hal itu selain dari payah dan letih yang bertambah-tambah.  Begitu pula makna firman-Nya,
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin.”  
(QS. Al-Kahfi;  45)
Dengan perkataan lain, minimnya kekekalan gemerlap dunia, seperti minimnya kekekalan tumbuh-tumbuhan itu.  Jika yang dimaksudkan adalah penyerupaan individu dengan individu, tanpa memaksudkannya sebagai suatu bagian dari bagian yang lain, dan menjadikannya sesuatu yang satu, maka hal ini tidak bisa diterima, karena di sini ada penggambaran keadaan orang-orang munafik dalam kesesatannya, keadaan mereka yang bingung dan kaget, lalu kebingungan dan kekalutan mereka diserupakan dengan orang yang menyalakan api di tengah kegelapan malam, kemudian cahayanya padam.  Begitu pula keadaan orang yang berada di bawah langit pada malam yang gelap gulita, yang disertai guruh dan kilat, yang ketakutan karena petir yang menyambar-nyambar.
Az-Zamakhsyari berkata, “Jika kau tanyakan mana yang lebih mantab dari dua perumpamaan ini?  Saya jawab, yang kedua.  Karena keadaan ini lebih pas untuk menggambarkan kebingungan dan kekalutan.  Begitu pula orang-orang yang terlibat di dalamnya juga mengalami peningkatan dari keadaan yang mudah kepada keadaan yang lebih sulit.”

Dua perumpamaan ini mengandung banyak hikmah yang agung, diantaranya;
Pertama;  Orang yang mencari penerangan dengan api berarti mencari penerangan dengan cahaya yang datang dari arah selain dirinya, bukan dari dirinya sendiri.  Jika api itu lenyap, maka dia berada dalam kegelapan.  Ketika orang munafik membuat pernyataan dengan lisannya tanpa disertai keyakinan dan cinta dengan hatinya, serta pembenaran yang kuat, maka cahaya yang dimilikinya seperti barang pinjaman (tidak menetap di dalam hati).
Kedua;  Sinar api memerlukan materi lain untuk menunjang kelangsungannya (mis. Oksigen / bahan bakar).  Materi sinar itu tak ubahnya makanan bagi hewan.  Begitu pula cahaya iman yang memerlukan materi lain seperti ilmu yang bermanfaat, dan amal shalih, yang harus senantiasa dilaksanakan, dan dijaga kelangsungannya agar iman bisa tumbuh dan berkembang.  Jika materi iman tidak ada, maka iman itu akan padam sebagaimana api yang bisa padam karena kehilangan materi (bahan bakarnya).
Ketiga;  Kegelapan itu ada 2 (dua) macam:  * Kegelapan yang berkelanjutan, yang sama sekali tidak ada cahayanya, dan  * Kegelapan yang terjadi setelah adanya cahaya.  Yang kedua ini terasa lebih gelap dan lebih menyiksa.  Kegelapan orang-orang munafik adalah kegelapan setelah adanya cahaya.  Keadaannya diserupakan dengan keadaan orang yang menyalakan api, lalu dia berada dalam suatu kegelapan setelah ada sinar.  Sedangkan orang-orang kafir berada dalam berbagai kegelapan, dan mereka sama sekali tidak bisa keluar darinya.
Keempat;  Di dalam perumpamaan ini terkandung pemberitahuan dan peringatan tentang keadaan mereka (nanti) di akhirat, bahwa mereka diberi cahaya yang nyata, seperti cahaya yang diberikan kepada mereka di dunia.  Kemudian cahaya itu dipadamkan, padahal mereka sangat memerlukannya, karena tidak ada materi yang membuat cahaya itu tetap bertahan (menyala).  Mereka berada dalam kegelapan di atas jembatan (“Ash-Shirat”), dan tidak bisa menyeberang.  Sebab tidak mungkin seseorang dapat menyeberanginya kecuali dengan cahaya yang kuat yang menyertainya, hingga dia bisa melewati jembatan itu.  Cahaya itu memerlukan materi berupa ilmu yang bermanfaat, dan amal shalih.  Jika tidak, Allah akan menghilangkan cahaya yang justru lebih ia butuhkan dari keadaan sebelumnya (di dunia).  Perumpamaan keadaan mereka di dunia mirip dengan keadaan mereka di Akhirat, ketika cahaya itu dibagi-bagikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Dari sini dapat diketahui rahasia dari firman Allah yang terkandung dalam ayat, ذهب الله بنورهم  / Dzahaba Allahu binuurihim, dan tidak dikatakan, اذهب الله نورهم / Adzhaba Allahu nuurahum.
Jika engkau ingin mendapatkan tambahan penjelasan dan keterangan, perhatikan riwayat Muslim dalam Shahih-nya, dari hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, ketika dia ditanya tentang saat kembali.  Maka dia menjawab, “Kita datang pada Hari Kiamat di atas permukaan tanah yang lebih tinggi dari manusia.”  Dia berkata, “Berbagai umat dipanggil dengan berhala-berhalanya, dan apa yang mereka jadikan sesembahan.  Yang awal, kemudian disusul yang berikutnya.  Kemudian Rabb kita mendatangi kita setelah itu, seraya bertanya, “Siapakah yang kalian tunggu?”
Mereka menjawab, “Kami menunggu Rabb kami.”
Dia berfirman, “Aku adalah Rabb kalian.”
Mereka berkata, “Kami tetap menunggu Engkau.”
Maka Allah menampakkan Diri di hadapan mereka sambil tersenyum.  Maka Allah bertolak bersama mereka dan mereka pun mengikuti-Nya.  Setiap orang di antara mereka, yang munafik maupun yang mukmin diberi cahaya lalu mereka mengikutinya.  Di atas Jahannam ada Kalalib (besi yang bengkok ujungnya), dan duri yang mengenai siapa pun yang dikehendaki Allah.  Kemudian cahaya orang-orang munafik padam, sedangkan orang-orang mukmin selamat (tetap).  Kelompok yang pertama selamat wajah mereka seperti rembulan saat malam purnama.  Mereka berjumlah 70.000 orang tanpa hisab.  Kemudian menyusul yang berikutnya seperti sinar bintang di langit.  Kemudian menyusul yang semisal dengan itu.  Kemudian diperkenankan syafa'at dan mereka pun diberi syafa'at, hingga siapa pun yang mengucapkan laa ilaaha illallah keluar dari Neraka, meskipun di dalam hatinya hanya ada kebaikan seberat biji gandum.  Mereka diletakkan di Serambi Surga.  Para penghuni Surga memercikkan air pada mereka.”  Lalu dia menyebutkan kelanjutan hadits ini.
Perhatikan perkataan, “Maka Allah bertolak bersama mereka dan merekapun mengikuti-Nya.  Setiap orang di antara mereka, yang munafik maupun yang mukmin diberi cahaya”.  Setelah itu perhatikan firman Allah, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”.  Perhatikan keadaan mereka ketika cahaya itu dipadamkan, lalu mereka berada dalam kegelapan.  Sementara orang-orang mukmin pergi dengan cahaya iman mereka, dan mereka mengikuti Allah ‘Azza wa Jalla.
Perhatikan pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Agar setiap umat mengikuti apa yang mereka sembah.  Maka setiap orang musyrik mengikuti sesembahan yang disembahnya.”  Orang-orang yang mengesakan Allah berhak mengikuti Allah Yang Mahabenar, yang menganggap semua sesembahan selain-Nya adalah bathil.
Perhatikan makna firman Allah berikut,
“Pada hari Betis disingkapkan, dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa (mampu).”  
(QS. Al-Qalam;  42)
Ayat ini disebutkan dalam hadits tentang syafa'at, yang juga berkaitan dengan masalah ini.  Apa yang disebutkan di dalam hadits, “Lalu Betis-Nya disingkap”, menjelaskan maksud Betis pada ayat di atas.
Kemudian perhatikan kepergian Allah beserta orang-orang mukmin yang mengikuti-Nya setelah itu.  Hal ini akan membukakan pintu rahasia-rahasia Tauhid bagimu, pemahaman Al-Qur’an dan perlakuan Allah terhadap Ahli Tauhid yang menyembah-Nya semata, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.  Perlakuan yang berbeda diberikan kepada orang-orang musyrik dan munafik, dimana setiap ummat pergi bersama sesembahannya masing-masing, yang pergi ke Neraka dan mereka mengikutinya.  Sesembahan Yang Mahabesar pergi dan diikuti para wali-Nya dan orang-orang yang menyembah-Nya.  Mahasuci Allah Rabb semesta Alam.  Hati Ahli Tauhid merasa senang (tenang) di dunia dan di akhirat, dan mereka berbeda dengan manusia lain dalam masalah Tauhid ini, padahal mereka (orang lain tersebut) sangat membutuhkannya.
(Baca juga artikel; HAKIKAT TAUHID, dan TAUHIDULLAH)
Kelima;  Perumpamaan yang pertama mengandung akibat kegelapan, yaitu berupa kesesatan dan kebingungan, kebalikan dari petunjuk.  Sedangkan perumpamaan yang kedua mengandung akibat rasa takut, kebalikan dari rasa aman, tanpa rasa aman dan petunjuk.  Firman Allah (artinya),
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”  
(QS. Al-An’am;  82)
Ibnu Abbas dan yang lainnya dari kalangan Salaf berkata, “Perumpamaan diri mereka dalam kemunafikannya seperti orang yang menyalakan api pada malam yang gelap-gulita di tengah padang yang luas, lalu ada sinar dan dia pun dapat melihat sekelilingnya, sehingga dia dapat menghindari apa yang ditakutkannya.  Selagi dia dalam keadaan seperti itu - tiba-tiba api itu padam, sehingga dia berada di dalam kegelapan, dalam keadaan takut dan bingung.  Begitu pula keadaan orang-orang munafik yang menampakkan kata-kata iman, sehingga harta dan anak-anak mereka aman, mereka dapat saling menikah dengan orang-orang mukmin dan saling mewarisi dan saling membagi harta rampasan perang.  Itulah cahaya mereka.  Jika mereka meninggal dunia, mereka kembali kepada kegelapan dan ketakutan.”
Menurut Mujahid, sinar yang menimpa mereka adalah kembalinya mereka kepada orang-orang mukmin dan petunjuk, sedangkan hilangnya cahaya mereka, ialah kembalinya mereka kepada orang-orang musyrik dan kesesatan.  Sinar dan hilangnya cahaya itu ditafsiri sebagai sinar dan cahaya di dunia.  Ada pula yang menafsirinya di alam Barzakh dan ada yang menafsirinya pada hari Kiamat.  Yang benar, hal itu terjadi di 3 (tiga) Alam.  Karena mereka mengalaminya di dunia, maka keadaan ini berlanjut di Barzakh, dan di Akhirat.  Ini merupakan balasan yang pas buat mereka, dan Allah tidak berbuat zhalim terhadap hamba-Nya.  Yang disebut معاد / ma’ad, ialah kembalinya apa yang dilakukan hamba di dunia kepada dirinya sendiri di akhirat, yang juga disebut yaumul jaza’ (hari pembalasan).  Seperti makna firman-Nya,
“Dan barangsiapa yang buta (mata hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (lagi), dan tersesat dari jalan (yang benar).”  
(QS. Al-Isra’;  72), dan
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.”  
(QS. Maryam;  76)
Siapa yang takut untuk mendurhakai Allah di dunia ini, maka ketakutannya kepada Allah di Barzakh dan pada hari Kiamat lebih besar lagi.  Siapa yang hatinya senang (tenang) di dunia, maka hatinya pun senang (tenang) pada saat meninggal, pada hari Kebangkitan, dan pada hari Kiamat.  Hamba meninggal menurut keadaan hidupnya, dan dia dibangkitkan menurut keadaan saat meninggal.
Amalnya akan kembali kepadanya, sehingga ia akan mendapatkan kenikmatan lahir dan bathin, yang menghasilkan ketenangan, kegembiraan, kenikmatan, kesenangan hati, dan kelapangan hidup, yang merupakan kenikmatan yang paling nyata dan paling baik.  Adakah kenikmatan yang mengalahkan ketenangan jiwa?, kesenangan hati, dan kegembiraannya?
Di samping itu semua, dari amal-amalnya itu muncul apa yang diinginkan jiwanya, dan dia mendapatkan apa pun yang disenangi jiwa dan digemari hati.  Jenis kesenangan, kesempurnaan, dan apa yang didapatkannya - tergantung pada kesempurnaan amal dan keikhlasannya, dimana pencapaiannya ke tingkat kebaikan tergantung juga dari keragaman amal.  Siapa yang memiliki keragaman amal yang dicintai dan diridhai Allah di dunia ini, maka bagian-bagian yang dinikmatinya di Akhirat juga lebih beragam, yang banyaknya tergantung pada banyaknya amal di dunia.  Kenikmatannya tergantung pada tambahan amal, dan yang diikuti (jadi panutan) di dunia.
Allah telah menjadikan pengaruh dan balasan bagi setiap amal yang dicintai-Nya dan yang dibenci-Nya.  Pengaruh dan balasannya di Akhirat tidak bisa diserupakan.  Karena itulah kesenangan para penghuni Surga beraneka ragam, dan penderitaan para penghuni Neraka juga beraneka macam.  Kebaikan dan siksaan di akhirat bermacam-macam dan beragam-ragam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengisyaratkan, bahwa kesempurnaan kenikmatan yang dirasakan hamba di akhirat bergantung pada kesempurnaan amal yang serupa yang dilakukan di dunia.  Suatu kali Beliau pernah melihat satu tandan yang digantung di masjid sebagai shadaqah.  Maka Beliau bersabda, “Orang yang memiliki tandan ini makan korma yang paling jelek di hari Kiamat.”  Beliau mengabarkan bahwa balasannya adalah dari jenis amalnya,  Shadaqah itu akan dibalasi dengan balasan yang sejenis, yaitu korma yang jelek.
Pintu ini membuka beberapa pintu yang  lebih besar untuk memahami hari pembalasan, dimana keadaan manusia pada waktu itu berbeda-beda, begitu pula apa yang terjadi di sana.
Allah berfirman ذهب الله بنورهم   / Dzahaba Allahu binuurihim (Allah menghilangkan cahaya mereka), dan tidak dikatakan,  بنارهم/ Binaarihim (api mereka), sebab api memiliki sifat membakar dan menerangi.  Allah menghilangkan sifat api yang mengandung cahaya dan menyinari, dan membiarkan sifat api yang membakar dan menyiksa.  Begitu pula keradaan orang-orang munafik.  Cahaya iman mereka lenyap karena kemunafikan yang ada di hati mereka, yang tersisa adalah panasnya kekufuran, keragu-raguan dan kebimbangan yang menggelegak di dalam hati mereka, sebagaimana lautan hati mereka yang dipenuhi racun dan gelombang yang bergelora di dunia.  Maka Allah mengobarkan pula api yang menjilat-jilat di akhirat yang membakar hati mereka.
Inilah perumpamaan orang-orang yang tidak mendapatkan cahaya iman di dunia.  Bahkan cahaya iman itu keluar dan meninggalkannya, setelah cahaya itu menyinarinya.  Yang demikian itu merupakan keadaan orang-orang munafik, yang mengetahui lalu mengingkari, yang mengakui kemudian membangkang, sehingga dia berada dalam berbagai kegelapan, dalam keadaan bisu, tuli, dan buta, sebagaimana firman Allah tentang “saudara” mereka dari kalangan orang-orang kafir,
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, bisu, dan berada dalam gelap-gulita.”  
(QS. Al-An’am;  39)
“Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja.  Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak  mengerti.”  
(QS. Al-Baqarah;  171)
Allah menyerupakan keadaan orang-orang munafik tentang keluarnya mereka dari cahaya, setelah mereka disinari cahaya itu, seperti keadaan orang yang menyalakan api.  Hilangnya cahaya itu setelah menyinari sekelilingnya.  Sebab orang-orang munafik itu hidup di tengah-tengah kaum muslimin, Shalat bersama mereka, Puasa, Mendengarkan Al-Qur’an, Terlibat dalam pengibaran panji-panji Islam bersama mereka.  Mereka menyaksikan cahaya itu dengan mata-kepala sendiri, karena itu Allah berfirman tentang mereka, “Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).”  Sebab mereka meninggalkan Islam setelah bercampur dengannya, dan mencari cahaya darinya.  Mereka tidak akan kembali ke Islam (yang benar / lurus).  Sementara tentang orang-orang kafir Allah berfirman, “Maka (oleh sebab itu)  mereka tidak mengerti.”  Sebab, mereka memang tidak memikirkan Islam, tidak pernah masuk ke dalam Islam, dan tidak mencari cahaya darinya, sehingga mereka selalu berada dalam kegelapan-kegelapan kufur, dalam keadaan bisu, tuli, dan buta.
Mahasuci Allah yang telah menjadikan kalam-Nya sebagai obat penawar bagi dada, yang menyeru kepada hakikat-hakikat iman, yang mengajak kepada kehidupan abadi, dan kenikmatan yang kekal, serta ke arah petunjuk.  Penyeru iman bisa memperdengarkan pada telinga yang sadar.  Nasihat-nasihat Al-Qur’an bisa menyembuhkan hati yang kosong (sakit).  Tetapi di sana ada angin syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran) dan syahwat yang bertiup ke dalam hati, sehingga pelitanya menjadi padam.  Di sana ada tangan-tangan kelalaian dan kebodohan yang terjulur sehingga menutup pintu petunjuk dan melenyapkan kuncinya.  Karena itu tidak berguna perkataan (nasihat) di dalamnya, karena hati itu mabuk oleh syahwat kesesatan, dan syubhat kebathilan.  Ia telah mati di lautan kebodohan dan kelalaian, tertawan oleh hawa nafsu dan syahwat.  Lalu, apalah artinya luka bagi jasad yang telah mati?[2]
Adapun tuli dan bisu dalam firman Allah, “Tuli, bisu, dan buta.” , dan firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Neraka Jahannam kebanyakan dari Jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).  Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi (dari binatang ternak itu),  Mereka itulah orang-orang yang lalai.”  
(QS. Al-A’raf;  179).  Begitu pula makna firman-Nya,
“Dan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka.  Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”  
(QS. Fushilat;  44)    Ibnu Abbas berkata, “Artinya di telinga mereka ada sumbatan sehingga mereka tidak bisa mendengar Al-Qur’an.  Al-Qur’an ini membuat mereka buta.  Allah membutakan hati mereka sehingga mereka tidak bisa memahami.  Mereka dipanggil dari tempat yang jauh, seperti binatang ternak yang tidak bisa memahami kecuali seruan (suara) dan panggilan yang tidak memiliki makna.
Menurut Mujahid, Al-Qur’an itu jauh dari hati mereka.  Menurut Al-Farra’, engkau bisa mengatakan kepada orang yang tidak paham, “Engkau dipanggil dari tempat yang jauh.”  Masih menurut dia, disebutkan dalam tafsir, seakan-akan mereka dipanggil dari langit, sehingga mereka tidak mendengarnya.
Maknanya mereka tidak mendengar dan tidak paham, seperti orang yang dipanggil dari tempat yang jauh, yang tidak mendengar dan tidak paham (kecuali hanya mendengar bunyi-bunyian yang tidak bermakna).
Firman Allah  صم بكم عمي  / Shummun bukmun ‘umyun, bahwa  البكم / Albukm adalah jama’ dari  ابكم / Abkam, yaitu orang yang tidak bisa berbicara alias bisu.
البكم   /  Al-Bakam (kebisuan) ada dua macam;  * Kebisuan hati, dan * Kebisuan lisan, sebagaimana pembicaraan juga ada dua macam;  *Pembicaraan hati, dan  *Pembicaraan lisan.  Yang lebih parah di antara keduanya adalah kebisuan hati, sebagaimana halnya ketulian dan kebutaan hati juga lebih parah daripada ketulian telinga dan kebutaan mata.
Allah mensifati mereka, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memahami kebenaran, dan lisan mereka tidak bisa mengucapkan kebenaran.  Ilmu dapat masuk dari tiga pintu;  Pendengaran, Penglihatan, dan Hati.  Ketiga pintu ini tertutup atas diri mereka.  Pendengaran tertutup oleh ketulian, penglihatan tertutup oleh kebutaan, dan hati tertutup oleh kebisuan. 
Allah telah menghimpun 3 (tiga) pintu ini dalam makna firman-Nya,
“Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun juga bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah.”  
(QS. Al-Ahqaf;  26)
Jika Allah hendak memberikan petunjuk pada seorang hamba, maka Dia akan membukakan hati, pendengaran, dan penglihatannya.  Jika Allah menghendaki untuk menyesatkannya, maka Dia akan membuatnya bisu, tuli, dan buta.  Hanya dari Allah-lah datangnya Taufiq!
Tentang makna firman Allah,
“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap-gulita, guruh, dan kilat;  mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar) suara petir, sebab takut akan mati.  Dan Allah meliputi (mengepung) orang-orang kafir.”  
(QS. Al-Baqarah;  19)
Makna  الصيب  /  Ash-Shayyib adalah hujan yang turun dengan deras, dan cepat dari langit.  Ini merupakan perumpamaan Al-Qur’an, yang dengan hujan itu hati menjadi hidup, seperti air hujan yang menghidupkan tanah, tanaman, dan binatang.  Orang-orang mukmin mengetahui hal itu dari Al-Qur’an, dan mereka mengetahui kehidupan yang berasal dari hujan dan tidak mendatangkan bahaya.  Tidak ada yang menghalangi mereka untuk mengetahuinya, meskipun di dalamnya ada guruh, dan kilat, yaitu peringatan dan siksaan yang disampaikan Allah kepada orang-orang yang menyalahi perintah-Nya.  Allah juga mengabarkan, bahwa siksaan itu bagi orang-orang yang mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Di dalam perintah Allah juga terdapat hal-hal yang berat, seperti berperang melawan musuh, dan sabar dalam urusan itu, atau ada pula perintah yang berat bagi jiwa, karena harus menentang keinginan jiwanya.  Hal ini mirip dengan kegelapan, guruh, dan kilat.  Tetapi siapa yang mengetahui tempat yang terkena hujan, dan hasilnya dikemudian hari yaitu berupa kehidupan, maka ia tidak akan takut meskipun berada dalam kegelapan yang disertai guruh dan kilat.  Bahkan dia merasa senang dan tenang dengan keadaan itu, karena dia mengharapkan kehidupan dan kesuburan di belakangnya.
Adapun orang-orang munafik, hati mereka buta dan pandangannya tak mampu menembus kegelapan, tidak dapat melihat kecuali kilat yang seakan-akan menyambar pandangannya, dan guruh serta kegelapan.  Karena itu ia merasa takut dengan keadaan yang seperti itu, sambil menutupkan anak jari tangannya ke telinganya, agar dia tidak mendengar suara guruh.  Dia gemetar ketika melihat kilat dan kilauannya.  Dia takut kalau-kalau kilat itu menyambar pandangannya, sebab pandangannya terlalu lemah untuk bertahan terhadap kilauan kilat itu.  Ketika mendengar suara guruh yang bergemuruh sedang dia berada dalam kegelapan, lalu melihat kilat yang menyambar.  Jika ada kilat yang menerangi sekitarnya, maka dia berjalan (beringsut) di bawah cahayanya.  Jika cahayanya hilang dia berhenti (berdiri) dalam keadaan bingung, tidak tahu ke arah mana dia harus beranjak.  Karena kebodohannya, dia tidak tahu bahwa hal tersebut merupakan kelaziman dari hujan, yang sebenarnya (hujan itu) merupakan kehidupan bagi bumi dan tanaman, bahkan bagi kehidupan dirinya sendiri.  Dia tidak mengenal selain dari guruh, kegelapan, dan kilat (tidak lebih dari itu).  Dia tidak mempunyai perasaan apa pun di balik semua itu.  Maka tidak heran jika ketakutan menghantuinya, gemetar, dan kalut.  Tapi bagi orang yang sudah terbiasa dengan hujan dan mengetahui kebaikan, kehidupan, dan manfaat lain dari hujan itu, memahami bahwa hujan itu tentu (lazimnya) disertai guruh, kilat, dan kegelapan karena awan (mendung), tentu dia akan biasa-biasa saja dan tidak takut, serta tidak ada yang menghalanginya untuk mengambil bagian (manfaat) dari hujan itu.
Ini merupakan perumpamaan yang tepat bagi “hujan” yang di turunkan Jibril 'alaihissalam dari sisi Allah ke dalam hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, guna menghidupkan semua hati dan alam.  Telah ditetapkan hikmah Allah untuk menyertai awan, guruh, dan kilat dengan hujan yang menurunkan air.  Merupakan hikmah yang sangat tinggi, dan sebab-sebab yang besar, yang telah diatur sedemikian rupa oleh Yang Mahamengetahui dan Mahabijaksana.
Sementara bagian orang-orang munafik dari hujan itu hanya guruh, dan kilatnya saja.  Mereka tidak mengetahui ada apa di balik hujan itu, sehingga mereka takut terhadap sesuatu yang justru didambakan oleh orang-orang mukmin, dia gemetar oleh sesuatu yang justru membuat orang-orang berilmu merasa tenang, dia menjadi ragu-ragu terhadap sesuatu yang membuat orang-orang yang memiliki ma’rifat menjadi yakin.
Pandangan orang-orang munafik dalam perumpamaan yang berunsur api seperti pandangan kelelawar (“kampret”)  di siang hari bolong.  Sementara pendengarannya dalam perumpamaan yang berunsur api seperti orang yang mati karena mendengar suara guruh.  Dikisahkan ada sebagian binatang yang mati karena mendengarkan suara guruh (mis. ayam, burung dan lain-lain).  Jika akal, pendengaran, dan penglihatan ini bertemu dengan syubhat syaithan, hayalan yang rusak, dan dugaan-dugaan dusta, maka syubhat dan hayalan-hayalan itu akan berputar-putar di dalam dirinya, berdiri, dan duduk, menguasai seluruh sisinya, banyak bisikan-bisikan yang menghantui pendengarannya.  Ternyata banyak juga orang-orang yang memenuhi seruannya,  melaksanakan panggilannya, berperang di bawah benderanya, dan memperbanyak kelompoknya.  Karena cobaan dan bencana yang ditimbulkan orang-orang munafik sudah menyebar, dan banyak hati yang telah dirasuki bisikannya.  Maka Allah menyibak tabir mereka di dalam Al-Qur’an secara nyata, menjelaskan tanda-tandanya, perbuatan, dan perkataan mereka.  Allah Subhanahu wa Ta’ala sering kali menyatakan, “Di antara mereka, di antara mereka, di antara mereka”[3], hingga urusan mereka benar-benar tersingkap, rahasia mereka terkuak, dan hakikat mereka tersebar (diketahui oleh orang-orang beriman secara luas).

Renungan
* "Betapa banyak orang yang membaca Al-Qur'an, tetapi Al-Qur'an malah melaknatnya."  
(Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)
* Barangsiapa yang ingin mengetahui seberapa besar perhatian Allah terhadap dirinya, hendaklah dia memperhatikan seberapa besar perhatiannya dalam memahami Agama Allah."  
('Ulama)
* "Orang-orang yang Arif telah berusaha keras untuk mengetahui Sifat-Sifat Dzat Yang Mahatinggi lagi Mahabesar, namun ternyata mereka belum meminum setetes air pun dari Samudera Ma'rifat-Nya."  
('Ulama) 

oOo
(Diringkas dan disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

[1]  Pendengaran dan penglihatan serta indera lainnya merupakan saluran dan jalan ilmu yang menghantarkan kepada akal.  Akal akan mengambil apa pun yang dihantarkan para pemandu itu, lalu ia memikirkan dan mengolahnya.  Dari sini ia dapat mengambil petunjuk bila memang akal itu sehat dan kuat, kemudian mengguyurkannya ke dalam hati, yang merupakan inti dari rasa kemanusiaan yang mulia.  Badan yang bersifat hewani dengan segala inderanya tak ubahnya jembatan yang menghubungkan ke dalam hati.  Inilah makna firman Allah, “Dan Aku telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku.  (Al-Hijr;  29)   
[2]  Madarij, 1/194-201; Al-Wabil Ash-Shayyib, 736 
[3]  Di dalam surat At-Taubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar