بسم الله الرحمن الرحيم
Dari 124.000 orang Nabi dan Rasul yang pernah diutus, 315 (tigaratus lima belas) orang di antaranya adalah Rasul (Al-Hadits). Misi dan tujuan mereka semuanya sama, yaitu menyeru manusia agar menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, menegakkan Tauhid, memurnikan keta'atan kepada Allah dan Rasul-Nya, memurnikan syari'at, menjauhi kesyirikan, khurafat (tahayul), bid'ah (penyimpangan dalam keyakinan dan amal ibadah), dan pemikiran-pemikiran sesat manusia, bukan untuk mendirikan Negara Islam (Khilafah).
Khilafah (Negara Islam) hanyalah hasil ikutan (bonus) setelah tegaknya aturan Islam (Tauhidullah) di dalam dada setiap individu manusia yang beriman dan bertaqwa.
Rasulullah, Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam dahulu ditawari singgasana, kekuasaan dan harta oleh kaum kafir Quraisy, apakah Beliau menerimanya? Tidak.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, Allah Subhanahu wa Ta'ala Sendiri pun pernah menawarkan kepada Beliau shallallahu'alaihi wa sallam, apakah akan dijadikan Nabi sekaligus Raja (Kepala Pemerintahan / Kepala Negara), atau sebagai seorang hamba yang menjadi Nabi, maka Beliau memilih yang kedua. Apakah tidak terpikirkan oleh Beliau pada waktu itu, bila menjadi Kepala Pemerintahan mungkin dakwah Beliau lebih mudah tersebar dan diterapkan kepada rakyat dan bangsa Arab serta seluruh dunia? Rasanya mustahil. Dan, kenapa Beliau lebih memilih "merangkak" dari bawah? padahal perjuangannya secara logika pasti akan lebih berat dan sulit!
Demikian pula yang terjadi pada diri Nabi Musa 'alaihissalam, setelah Fir'aun dan bala tentaranya ditenggelamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala di Laut Merah, apakah Nabi Musa 'alaihissalam mengambil alih tahta kekuasaan dan kerajaannya? Tidak, padahal kesempatan itu sangat terbuka lebar dan mudah untuk didapatkan. Kenapa? Karena bukan itu tujuan Nabi Musa 'alaihissalam diutus. Banyak lagi contoh-contoh lainnya.
Hanya segelintir Nabi dan Rasul yang dijadikan Raja oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, itupun sebagai ujian, bukan sebagai tujuan! Mereka malu dan takut pada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk "gagah-gagahan" menjadi seorang kepala negara di dunia ini yang lazimnya bergelimang dengan kesenangan dan kemewahan, sementara ada satu orang rakyatnya yang berlinang air mata, luput dari perhatian.
Khalifah yang mulia Umar bin Abdul Aziz rahimahullahu, begitu didaulat oleh rakyatnya untuk menjadi Pemimpin Negara, beliau langsung menyumbangkan seluruh harta kekayaannya kepada Baitul Mall, dan beliau beserta isteri yang juga berasal dari keluarga bangsawan kaya raya hidup dalam keadaan sederhana (miskin), karena rasa takut dan takwa yang begitu tinggi terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, terhadap pertanggung jawaban seorang pemimpin kelak di Yaumal Qiyamah di hadapan Allah 'Azza wa Jalla.
(Baca artikel, KENAPA MEREKA ZUHUD?)
Kamar tidur Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjadi saksi bisu, jangankan Singasana atau kasur empuk sebagai tempat duduk dan tempat membaringkan tubuh Beliau yang mulia. Hanya pelepah kurma dan daunnya yang dipakai sebagai alas tidur Khalilullah (kekasih Allah yang paling istimewa dan khusus) shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga tidak jarang meninggalkan bekas di pipi Beliau yang mulia. Yang menyebabkan Sahabat Umar bin Khattab menangis menyaksikan kesederhanaan hidup Khalilulah (Kekasih Allah yang teristimewa dan khusus) ini.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an menegaskan;
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ هَدَى اللّٰهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلٰلَةُ ۗ فَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ
"Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul bagi setiap umat (agar menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah thagut”, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di permukaan bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (Rasul-rasul itu)."
(QS. An-Nahl; 36)
Di masa sekarang, tidak sedikit kaum muslimin yang memiliki pandangan keliru, menyangka bahwa tujuan para Nabi dan Rasul diutus Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah untuk mendirikan Negara Islam (Khilafah). Dengan semangat yang menggebu-gebu, lupa dengan kondisi umat Islam sekarang yang telah terpecah belah. Padahal memurnikan aqidah dan amaliyah mereka mengikuti Manhajnya para Sahabat itu jauh lebih penting dan bermanfaat daripada mendirikan Khilafah menuruti angan-angan mereka.
Hal ini bukan berarti penulis anti pati terhadap Khilafah Islamiyah, bukan. Tetapi umat Islam Indonesia harus mengetahui dan memiliki skala prioritas yang harus mereka benahi dan capai sebelum mendirikan Khilafah. Ibarat membangun sebuah gedung, harus didirikan dulu pondasi yang bagus, kuat dan kokoh. Agar bangunan yang berdiri di atasnya tidak mudah ambruk. Semakin kokoh dan bagus pondasi yang dibuat semakin tinggi pula bangunan yang dapat didirikan di atasnya.
Maka, selayaknya kita ajukan pertanyaan pada mereka, agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan, "Negara Islam macam apa yang mau didirikan? Khilafah yang bagaimana?" Apakah Negara Islam versi NU (Islam Nusantara), MUHAMMADIYAH, AHMADIYAH, MASYUMI, NII, JAMA'AH TABLIGH, SYI'AH, SUFI, ISIS, DI-TII, SUNNI, FPI, HTI, Ponpes Al-Zaytun dan lain-lain? Pertanyaan ini menjadi sangat penting, karena Sunnatullah yang telah terjadi (baca; terus berkembang), terpecahnya pemahaman (keyakinan) umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi 73 (tujuh puluh tiga) kelompok, bahkan lebih. Semua di atas kebathilan (kesesatan) yang diancam Allah dan Rasul-Nya dengan Neraka, kecuali hanya satu kelompok saja yang selamat. Yaitu orang-orang yang tetap berpegang teguh pada Manhaj (Metode beragama) Salafus shalih dari tiga generasi awal terbaik Islam.
Mereka berbeda pemahaman tidak hanya dalam hal yang bersifat furu' (cabang Agama) saja melainkan juga dalam masalah aqidah (keyakinan), Ushul (pokok-pokok agama). Kalau tidak demikian mustahil Rasulullah mengancam mereka dengan Neraka dan mengatakan mereka sesat. Seperti misalnya orang-orang Khawarij yang Beliau sebut sebagai Kilabunnar ("Anjing-anjing Neraka"), padahal ibadah mereka secara dzahir mengungguli para Sahabat, seperti shalat, puasa, bacaan Al-Qur'an dan lain-lain, serta semangat juang mereka yang menggebu-gebu ingin menjadikan Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber hukum, tetapi mereka lupa bahwa hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah lebih rendah derajatnya sebagai sumber hukum dalam Islam, karena keduanya adalah Wahyu yang diturunkan dari atas langit. Siapapun tidak akan bisa memahami Islam dengan baik dan benar tanpa bimbingan keduanya (Al-Qur'an dan As-Sunnah).
Lalu, bagaimana mungkin mengharapkan orang-orang yang berbeda pandangan dan keyakinan tersebut menyatu dalam satu Khilafah Islam? Padahal masing-masing kelompok memiliki persepsi, pemahaman dan keyakinan (aqidah) yang berbeda-beda tentang Islam?
Ada lagi Islam versi Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India.
Berpikirlah wahai orang-orang yang memiliki Akal, jangan mudah terjebak perangkap Syaitan dan Iblis yang berkedok (baca; iming-iming) Negara Islam (Khilafah), tetapi berujung dengan kehancuran karena terjadi perang saudara sesama muslim.
(Baca artikel, BELAJAR DARI TRAGEDI SURIAH)
Dalam agama Islam yang lebih dipentingkan (prinsip) itu bukan Negaranya, melainkan kemurnian syari'at Islam tersebut, shahih bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah (Karena keduanya merupakan Wahyu yang Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan dari atas langit ke-7), serta keikhlasan umat yang mengamalkannya. Apa gunanya negara Islam bila masyarakat Islam yang ada di dalamnya bergaya hidup sekuler, berkeyakinan seperti orang-orang munafik, seperti kondisi masyarakat yang menggejala akhir-akhir ini di kota Makah dan Madinah maupun Jazirah Arab, serta hedonisme sebagai tujuan hidup, yang akan menjadikan mereka semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak menghargai (mengagungkan) dan tidak berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam.
Bahkan, semakin banyak mereka mereguk kenikmatan dunia ini akan menjadikan hati jadi semakin keras, sulit menangis dan bermunajat keharibaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta mudah tercebur ke dalam berbagai bentuk maksiat.
Satu hal lagi, bahwa mayoritas para Nabi dan Rasul Allah Subhanahu wa Ta'ala memulai dakwah mereka (berjuang) dari bawah (akar rumput), "Dor to dor" secara bertahap bergerak ke atas sampai ke pucuk pimpinan. Bukan sebaliknya, dengan cara menyuruh rakyat (demokrasi) untuk memilih (mencari) pemimpin yang "sekaliber Khulafaur Rasyidin" yang mustahil mereka temukan dan dapatkan pada zaman sekarang. Lalu, pemimpin tersebut menerapkan aturan syariat Islam dari atas hingga ke bawah. Hal ini disamping bertentangan dengan Sunnatullah yang berlaku, juga bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menetapkan seorang pemimpin di sebuah Negara berdasarkan keadaan (kondisi) rakyatnya, karena pemimpin itu adalah gambaran kualitas rakyatnya. Sunnatullah yang pasti berlaku. Meskipun tidak dipungkiri bahwa baiknya seorang pemimpin negara akan berdampak baik bagi rakyatnya. Tapi jangan lupa, bahwa pemimpin tersebut tidak akan bisa bekerja sendiri, tanpa bantuan orang-orang (para pejabat) yang berada di bawah yang mendukungnya.
Jadi, semakin baik kualitas rakyatnya maka pemimpin yang dipilihnya juga akan semakin bagus / baik pula. Sebaliknya pun begitu.
Dan, Allah Subhanahu wa Ta'ala sepanjang sejarah Islam selalu lebih meninggikan "satu ranting" (mengutamakan) kualitas iman (ilmu) seseorang daripada banyaknya jumlah (kuantitas).
Sebuah hadits yang berbicara tentang kualitas umat Islam akhir zaman ini (artinya);
"Dari Tsauban ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Suatu masa nanti, bangsa-bangsa akan memperebutkan kalian seperti orang-orang yang memperebutkan makanan di atas nampan." Kemudian ada sahabat yang bertanya: "Apakah saat itu kami berjumlah sedikit?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Sebaliknya, jumlah kalian saat itu banyak, namun kalian seperti buih di atas air bah. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mencabut rasa takut dari dalam diri musuh-musuh kalian terhadap kalian, sementara Dia meletakkan penyakit wahn ke dalam hati kalian." Ada sahabat yang bertanya lagi: "Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?" beliau menjawab: "Cinta dunia dan takut mati."
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya)
Adalah suatu hal yang mencengangkan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, pernyataan beberapa petinggi Ormas Islam terbesar di Indonesia ini yang tidak lagi meyakini Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai problem solving setiap permasalahan hidup manusia akhir zaman, tetap up to date hingga Hari Kiamat kelak. Aneh bin ajaib tapi nyata, bahkan mereka mengejek beberapa hadits shahih Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai kebudayaan bangsa Arab. Telah sedemikian butakah mereka? Tidak mampu membedakan antara syariat yang bersumber dari hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dengan kebudayaan bangsa Arab? Begini contoh manusia yang akan mendirikan Khilafah Islamiyah? Bahkan, mereka lebih cenderung pada Islam Nusantara (Islam model baru) yang mereka gagas sendiri daripada mencintai Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka berangan-angan, Islam Nusantara inilah yang akan mempersatukan umat Islam Indonesia. Laa haula walaa quwwata illaa billah. Musibah terbesar.
(Baca artikel, MASALAH IMAN BUKAN MASALAH SELERA)
Jadi, buih (busa) yang terdapat di atas air bah itu hakikatnya adalah air keruh bercampur dengan berbagai macam kotoran. Dan, bagaimana pun menyatukan (mengumpulkannya) akan tetap menguap (hilang) terkena cahaya matahari, karena isinya hanyalah udara yang kosong melompong.
Telah maklum di kalangan ahli ilmu dan orang-orang bertaqwa, bahwa kualitas iman yang dimaksud tidak akan berhasil diraih kecuali setelah melewati ujian (cobaan) dan tempaan hidup yang berat. Seperti digambarkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al-Baqarah; 214 berikut;
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga? Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan berbagai macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat."
Singkat kata, hanya manusia-manusia "berkualitas" yang akan dimasukkan Allah ke dalam Surga-Nya, tentunya setelah melewati berbagai saringan dan tempaan dalam hidup.
(Baca artikel, KAITAN ANTARA SURGA DENGAN IMAN)
Berbeda halnya dengan kemunculan Imam Mahdi kelak, yang dijadikan Allah 'Azza wa Jalla dalam satu malam, untuk menegakkan keadilan di muka bumi yang telah merata dipenuhi ketidak-adilan, kezaliman, dan porak-poranda (kacau) akibat dosa-dosa manusia.
Hanya Imam Mahdi yang mampu mengembalikan kejayaan Islam dan menghimpun seluruh kekuatan Islam dunia melalui pertolongan Allah 'Azza wa Jalla dan kaum muslimin yang masih lurus Manhaj dan akidahnya dalam menjalankan syari'at Islam, sebab tidak mungkin (baca; mustahil) Al-Imam Mahdi bekerja sama dengan kelompok-kelompok sempalan Islam (72 kelompok) yang menyimpang Manhajnya meskipun dengan dalih Persatuan Islam, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam mereka dengan Neraka.
(Baca artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA, dan KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN LANJUTAN)
Berkaitan dengan konteks hadits yang mulia di atas, kemunculan Imam Mahdi tidak sekedar mengembalikan kejayaan Islam secara fisik di muka bumi ini, tetapi juga memperbaiki (mengembalikan) pemahaman kelompok-kelompok sempalan tersebut ke jalan yang benar (lurus), selaras dengan tugas para 'ulama yang memiliki spesifikasi ilmu Jarh wa Ta'dil (Kritikan dan Pujian).
Setiap 💯 tahun sekali Allah Subhanahu wa Ta'ala memunculkan satu atau beberapa orang Mujaddid yang akan mengembalikan syariat Islam pada kemurniannya. Dari berbagai penyimpangan dan kesesatan kepada pemahaman yang benar (lurus).
Pada abad ini (abad ke 21), milenium ke-3 bendera itu dipegang oleh Asy-Syaikh, Al-Mujaddid, Al-Muhaddits, Prof. Dr. RABI' bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah. Beliaulah salah satunya yang akan mendampingi perjuangan Imam Mahdi nanti, in syaa Allah.
(Baca artikel, PANDANGAN ULAMA KIBAR (SENIOR) TERHADAP SYAIKH RABI', dan BIOGRAFI SYAIKH RABI' BIN HADI AL-MADKHALI)
Imam Mahdi-lah yang akan mengubah "buih di atas air bah" tersebut menjadi bening kembali, sehingga bermanfaat bagi seluruh alam.
Meskipun sepeninggal beliau dan Nabi Isa 'alaihissalam kelak dunia ini akan kembali porak-poranda (kacau) - dihuni oleh manusia-manusia yang sama sekali kosong dari iman sampai tegaknya Hari Kiamat Qubra (Besar).
***
Ada perkataan Al-Imam Al-Qadhi Ibnu Abil 'Izz Al-Hanafi Ad-Dimasyqi (Wafat 792 H) rahimahullah yang sebangun dengan permasalahan ini:
⭕ "Termasuk perkara yang mustahil adalah, ketika akal bersendirian dalam mengenal Allah dan mengetahui-Nya secara rinci (tanpa bimbingan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun dia seorang pakar Bahasa Arab, pen blog).
🔆 Sehingga dengan rahmat Allah yang Maha perkasa lagi Maha penyayang, Allah telah mengutus para Rasul untuk memperkenalkan Diri-Nya, mengajak kepada-Nya, memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang memenuhi seruan mereka, dan memberikan peringatan (dengan Neraka) bagi orang-orang yang menyelisihi mereka.
(Baca artikel, MANHAJ, dan MANUSIA PALING CERDAS MENURUT ISLAM)
🔆 Dan Allah telah menjadikan pembuka dakwah para Rasul dan intisari Risalah mereka adalah mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya (Dengan pengenalan yang benar / shahih, pen blog).
👉 Karena dengan pengenalan inilah dibangun apa yang disebut sebagai Risalah para Rasul, keseluruhannya dari awal hingga akhir."
Selesai kutipan.
📚 Syarh Aqidah Ath-Thahawiyyah Libni Abil 'Izz Al-Hanafi
(Baca juga artikel, THE POWER OF ISLAM)
oOo