Selasa, 13 Desember 2022

TUJUAN PARA RASUL DIUTUS

 


بسم الله الرحمن الرحيم

Dari 124.000 orang Nabi dan Rasul yang pernah diutus, 315 (tigaratus lima belas) orang di antaranya adalah Rasul (Al-Hadits).  Misi dan tujuan mereka semuanya sama, yaitu menyeru manusia agar menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, menegakkan Tauhid, memurnikan keta'atan kepada Allah dan Rasul-Nya, memurnikan syari'at, menjauhi kesyirikan, khurafat (tahayul), bid'ah (penyimpangan dalam keyakinan dan amal ibadah), dan pemikiran-pemikiran sesat manusia, bukan untuk mendirikan Negara Islam (Khilafah).


Rasulullah, Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam dahulu ditawari singgasana, kekuasaan dan harta oleh kaum kafir Quraisy, apakah Beliau menerimanya?  Tidak.  

Bahkan tidak tanggung-tanggung, Allah Subhanahu wa Ta'ala Sendiri pun pernah menawarkan kepada Beliau shallallahu'alaihi wa sallam, apakah akan dijadikan Nabi sekaligus Raja (Kepala Pemerintahan), atau sebagai seorang Nabi yang menjadi hamba, maka Beliau memilih yang kedua.  Demikian pula yang terjadi pada Nabi Musa 'alaihissalam, setelah Fir'aun dan bala tentaranya ditenggelamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala di Laut Merah, apakah Nabi Musa 'alaihissalam mengambil alih tahta kekuasaannya?  Tidak, padahal kesempatan itu terbuka lebar dan sangat mudah didapatkan.  Karena itu bukan tujuan Nabi Musa 'alaihissalam diutus. Banyak lagi contoh-contoh lainnya.  Hanya segelintir Nabi dan Rasul yang dijadikan Raja oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, itupun sebagai ujian, bukan sebagai tujuan!

Kamar tidur Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjadi saksi bisu, jangankan Singasana atau kasur empuk sebagai tempat duduk dan tempat berbaringnya tubuh Beliau yang mulia.  Hanya pelepah kurma dan daunnya yang dipakai sebagai alas tidur Khalilullah shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga berbekas pada pipi Beliau.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an menegaskan;

  وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ هَدَى اللّٰهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلٰلَةُ ۗ فَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ

"Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul bagi setiap umat (agar menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah thagut”, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan.  Maka berjalanlah kamu di permukaan bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (Rasul-rasul itu)."

(QS.  An-Nahl;  36)

Dimasa sekarang, tidak sedikit kaum muslimin yang memiliki pandangan keliru, menyangka bahwa tujuan para Nabi dan Rasul diutus Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah untuk mendirikan Negara Islam (Khilafah).  Dengan semangat yang menggebu-gebu terkadang membikin lupa pada kondisi umat Islam sekarang.

Maka, selayaknya kita ajukan pertanyaan pada mereka, agar tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan, "Negara Islam macam apa yang mau didirikan?  Khilafah yang bagaimana?"  Apakah Negara Islam versi NU (Islam Nusantara), MUHAMMADIYAH, AHMADIYAH, MASYUMI, NII, JAMA'AH TABLIGH, SYI'AH, SUFI, ISIS, DI-TII, SUNNI, FPI, HTI, Ponpes Al-Zaytun dan lain-lain?  Pertanyaan ini menjadi sangat penting, mengingat Sunnatullah yang telah terjadi (baca; terus berkembang), terpecahnya umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi 73 (tujuh puluh tiga) kelompok, bahkan lebih.  Semua di atas kebathilan (kesesatan) dan diancam oleh Allah dan Rasul-Nya dengan Neraka, kecuali satu kelompok saja yang selamat.  Yaitu mereka yang tetap berpegang teguh pada Manhaj (Metode beragama) Salafus shalih dari tiga generasi awal terbaik.  

Bagaimana mungkin mengharapkan orang-orang yang berbeda pandangan dan keyakinan tersebut menyatu dalam satu Khilafah Islam?  Padahal masing-masing kelompok memiliki persepsi, pemahaman dan keyakinan yang berbeda-beda tentang Islam?  Ada lagi Islam versi Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India.  

Berpikirlah wahai orang-orang yang memiliki Akal, jangan mudah terjebak perangkap Syaitan dan Iblis yang berkedok (baca; iming-iming) Negara Islam (Khilafah), tetapi berujung dengan kehancuran karena terjadi perang saudara.

(Baca artikel, BELAJAR DARI TRAGEDI SURIAH)

Dalam agama Islam yang penting (prinsip) itu bukan Negaranya, melainkan kemurnian syari'at Islam tersebut, shahih bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah (Karena keduanya merupakan Wahyu yang Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan dari atas langit ke-7), serta keikhlasan umat yang mengamalkannya.  Apa gunanya negara Islam bila masyarakat Islam yang ada di dalamnya bergaya hidup sekuler, tidak menghargai dan tidak mau berpegang pada Al-Qur'an dan As-Sunnah.

***

Ada perkataan Al-Imam Al-Qadhi Ibnu Abil 'Izz Al-Hanafi Ad-Dimasyqi (Wafat 792 H) rahimahullah yang patut kita pertimbangkan dengan seksama:

⭕  "Termasuk perkara yang mustahil adalah, ketika akal bersendirian dalam mengenal Allah dan mengetahui-Nya secara rinci (tanpa bimbingan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallammeskipun dia seorang pakar Bahasa Arab, pen blog).

🔆  Sehingga dengan rahmat Allah yang Maha perkasa lagi Maha penyayang, Allah telah mengutus para Rasul untuk memperkenalkan diri-Nya, mengajak kepada-Nya, memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang memenuhi seruan mereka, dan memberikan peringatan (dengan Neraka) bagi orang-orang yang menyelisihi mereka

🔆  Dan Allah telah menjadikan pembuka dakwah para Rasul dan intisari Risalah mereka adalah mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya (Dengan pengenalan yang benar / shahih, pen blog).

👉  Karena dengan pengenalan inilah dibangun apa yang disebut sebagai Risalah para Rasul, keseluruhannya dari awal hingga akhir."

Selesai kutipan.

📚  Syarh Aqidah Ath-Thahawiyyah Libni Abil 'Izz Al-Hanafi

(Baca juga artikel, THE POWER OF ISLAM)

oOo  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar