بسم الله الرحمن الرحيم
Allâh 'Azza wa Jalla melarang perbuatan zhalim sekecil apapun terhadap sesama manusia, seperti mengambil harta benda mereka dengan cara paksa, yang tidak dibenarkan syari’at, seperti mencuri, korupsi, riba (bunga uang), mewajibkan membayar pajak bagi seluruh rakyat - terutama kaum Muslimin, memalak, pungli (pungutan liar) dan lain sebagainya.
A. Definisi Pajak
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah atau bisa juga disebut Al-Maks, yang artinya adalah; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak (Instansi).”
Menurut istilah kontemporer, pajak adalah iuran rakyat untuk kas negara (Pemerintah) berdasarkan undang-undang - sehingga dapat dipaksakan- dengan tanpa mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut Penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Beberapa istilah yang mirip dengan pajak atau adh-dharibah, di antaranya;
Al-Jizyah; Upeti yang harus dibayarkan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) kepada pemerintahan Islam.
Al-Kharaj; Pajak bumi yang dimiliki oleh negara Islam.
Al-‘Usyur; Bea cukai bagi para pedagang non Muslim yang masuk ke negara Islam.
B. Beberapa Jenis Pajak di Masa Sekarang
Di zaman sekarang terdapat beberapa macam pajak yang sering kita temui, di antaranya:
PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang
PPh (Pajak Penghasilan), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan (gaji) seseorang.
PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
PBJ (Pajak Barang dan Jasa)
PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah).
Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya
Pajak Transit/Peron dan lain sebagainya.
C. Hukum Pajak Dalam Fiqih Islam
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-jizyah, al-kharaj, dan al-‘usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi non Muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka, ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum Muslimin, para Ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda pendapat dalam menyikapinya.
Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum Muslimin, karena kaum Muslimin telah dibebani kewajiban zakat.
Di antara dalil-dalil syar’i yang mendasari pendapat ini adalah:
Firman Allâh 'Azza wa Jalla :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil…”
[QS. An-Nisâ’(4): 29]
Dalam ayat ini Allâh melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan cara yang tidak dibenarkan syari’at. Dan pajak adalah salah satu cara yang batil untuk memakan harta sesamanya.
Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
"Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali, pent). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya."
(HR. Ahmad) di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani.
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib tersebut menjadi mansûkh (dihapuskan / dirubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah)
Hadits Buraidah radhiyallahu 'anhu dalam kisah seorang wanita Ghâmidiyah yang berzina, bahwasanya Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya :
فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak bertaubat sebagaimana taubatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.”
(HR. Muslim), di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albâni.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran dan hikmah yang agung di antaranya ialah, “Bahwasanya pajak termasuk seburuk-buruk kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali nanti di Akhirat kelak.”
Dari beberapa dalil di atas, banyak para Ulama yang menggolongkan pajak yang dibebankan kepada kaum Muslim secara zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Marâtibil Ijmâ’, Imam Adz-Dzahabi dalam bukunya Al-Kabâir (Dosa-dosa Besar), Imam Ibnu Hajar Al-Haitami di dalam Az-Zawâjir ‘an Iqtirâfil Kabâir, Syaikh Shiddiq Hasan Khan di dalam Ar-Raudah An-Nadiyah, Syaikh Syamsul Al-Haq Abadi dalam Aunul Ma’bûd dan selainnya.
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma pernah ditanya, apakah Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu pernah menarik pajak dari kaum Muslimin. Beliau menjawab, “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya.”
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Bâz rahimahullah dalam kitabnya, Huqûqur Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan, “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar Pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”
D. Syarat-Syarat Pemungutan Pajak
Para Ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari kaum Muslimin, dengan menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah:
Negara komitmen dalam menerapkan syariat Islam.
Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.
Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, seperti zakat, al-jizyah, al ‘usyur.
Harus dengan persetujuan para Ulama dan tokoh masyarakat.
Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari orang kaya saja, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Pendistribusiannya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.
Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, yaitu ketika Negara dalam keadaan genting (darurat), atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebihan (pemborosan / kebocoran / korupsi) dan yang menghambur-hamburkan uang.
Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.
(Lihat syarat-syarat ini secara lengkap dalam Abhâts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Az-Zakât Al-Mu’âshirah II/621-623)
E. Apakah Pajak di Zaman Ini Sesuai Dengan Syariat Islam?
Apakah pemungutan pajak hari ini telah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan para Ulama di atas? Jawabannya adalah; Tidak sesuai karena beberapa sebab:
Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat Islam.
Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil.
Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya. Ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil-mobil mewah untuk Anggota Dewan dan Para Pejabat, dan sebagainya.
Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan dengan serius (sungguh-sungguh).
Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para Ulama dan tokoh masyarakat.
Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapatan Negara yang lain seperti kekayaan alam tidak dikelola dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing. Sebenarnya kalau dikelola dengan baik bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat Indonesia.
Dari keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan hari ini di banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, termasuk Indonesia adalah perbuatan zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi hasilnya sebagian besar dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, atau mengandung dosa dan maksiat, dan bahkan terbukti sebagiannya telah dikorupsi, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu A’lam bish-Shawab.
F. Bagaimana Sikap Kaum Muslimin Terhadap Pajak?
Berdasarkan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’ân dan As-Sunnah bahwa setiap Muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori Muslim (kecuali bila para 'ulama menentukan lain, seperti terkena Pembatal Keislaman / murtad) dan selama yang diperintahkannya bukan suatu kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
Adapun jika Penguasa menyuruh rakyatnya melakukan kemaksiatan maka rakyat (kaum Muslimin) tidak boleh mentaatinya. Termasuk dalam hal ini adalah kewajiban membayar pajak dengan berbagai jenisnya yang telah disebutkan di atas.
Di dalam sebuah hadits, Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
Tidak ada ketaatan dalam melakukan kemaksiatan kepada Allâh 'Azza wa Jalla , karena sesungguhnya kewajiban taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf (baik) saja.
[HR. Bukhari no.6830, dan Muslim III/1469 no.1840].
Akan tetapi, bagaimana sikap kaum Muslimin jika Penguasa memaksa mereka atau menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari mereka, bolehkah melakukan perlawanan atau pemberontakan?
Dalam keadaan demikian kaum Muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau pemberontakan demi menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta mereka diambil Penguasa secara paksa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap sebagai dosa.
Merekalah sebagai Pemimpin / Pejabat Pemerintah yang akan dituntut tanggung jawabnya dan memikul dosa atas kezhaliman yang mereka perbuat terhadap rakyat.
(Baca artikel, KEZHALIMAN ADALAH KEGELAPAN PADA HARI KIAMAT, dan QISHAS DI PADANG MAHSYAR DAN QANTHARAH)
Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada umatnya:
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ . قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Akan datang setelahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan tuntunanku. Dan kelak akan ada para Pemimpin yang hatinya seperti hati Setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) bertanya: “Wahai Rasûlullâh, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan taat padanya.”
[HR. Muslim III/1475 no.1847 dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu 'anhu]
Syaikh Shâlih Al-Fauzan hafidzahullâh memberi alasan yang tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan, “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar terhadap kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (yang memukul dan merampas harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum Muslimin, dan memudahkan orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin (yang sedang terpecah-belah dan tidak bersatu).”
Wabillahi Taufiq wal hidayah.
oOo
Disadur dari tulisan;
Ustadz Muhammad Washito Abu Fawas Lc
(PEMUNGUTAN PAJAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar