Selasa, 31 Desember 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (49)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Kelompok Khawarij adalah kelompok yang hina-dina sepanjang putaran sejarah."
(Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah)

"Pembunuhan dengan cara khianat dan pengerusakan adalah perkara yang dilarang (dalam Islam)."
(Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah)



oOo 

Sabtu, 28 Desember 2019

TAZKIYATUN NUFUS DAN PRINSIP-PRINSIPNYA


بسم الله الر حمان الر حيم

PENGERTIAN TAZKIYATUN NUFUS
Tazkiyatun Nufus merupakan rangkaian dua kata, Tazkiyah dan Nufus.
Tazkiyah memiliki makna suci dan berkembang  (Mu'jam Muqayis Al-Lughah, dan Tahdzibul Lughah).
Sedangkan kata Nufus adalah jamak dari Nafs, yang memiliki arti Jiwa.
Jadi, Tazkiyatun Nufus atau Tazkiyatun Nafs adalah, cara penyucian jiwa dan pengembangnya agar semakin bersih dan suci, sehingga menjadi semakin tunduk-patuh kepada Rabb-nya, serta memiliki banyak amal shalih.
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menjelaskan,
"Asal makna Zakah (atau Tazkiyah, pen. Mjlh.), adalah penambahan dalam kebaikan.  Dari kata ini muncul ungkapan 'Zaka az-zar'u', artinya tumbuhan itu berkembang.  Demikian pula 'Zaka al-maalu', artinya harta itu bertambah.  Kebaikan itu tidak akan berkembang melainkan dengan meninggalkan keburukan, sebagaimana halnya tumbuhan tidak akan berkembang melainkan dengan dibersihkannya dari semak belukar di sekelilingnya.   Begitu pula dengan jiwa dan amalan, tidak akan berkembang melainkan dengan membersihkannya dari segala hal yang berlawanan dengannya.
Seseorang itu juga tidak akan bersih dan berkembang melainkan dengan meninggalkan keburukan-keburukan, karena keburukan itulah yang menodainya."  (Az-Zuhd wal Wara')

Hakikat Nafs
Kata Nafs sering diterjemahkan dengan Jiwa (Roh / Nyawa) - bentuk jamaknya adalah Nufus (Jiwa-jiwa).
Para pakar agama Islam dari kalangan 'ulama fikih dan Aqidah,  juga para 'ulama ahli tafsir dan bahasa Arab telah banyak membahasnya, baik dalam literatur-literatur tafsir maupun mu'jam, yakni kamus-kamus bahasa Arab.
Ibnu Qayyim rahimahullah juga pernah membahasnya dalam kitab Al-Arwah, berkesimpulan bahwa mayoritas pakar agama Islam berpendapat, bahwa kata Nafs atau Jiwa dalam hal ini maksudnya adalah Roh, "Hakikat keduanya adalah satu.  Mereka yang berpendapat demikian adalah mayoritas  (jumhur) 'ulama," ungkap Ibnu Qayyim.
Meskipun demikian, dalam penggunaannya kata Nafs dan Roh terkadang juga memiliki maksud yang lain.  Namun yang dimaksud dalam kajian Tazkiyatun Nufus adalah Roh.
Pengertian semacam ini didukung banyak dalil, baik dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits.  Dalil-dalil tersebut menyebutkan kata Nafs dengan makna Roh.  Bahkan disebutkan pula, bahwa Roh itu ada yang baik (Thayyibah), ada pula yang buruk (Khabitsah).
Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diceritakan keadaan seseorang ketika Rohnya dicabut oleh Malaikat Maut.  Bila yang bersangkutan adalah orang beriman (baik-baik), maka Malaikat mengatakan,
ايتها النفس الطبية اخرجى إلى مغفرة من الله ورضوان
"Ayyatuha an-nafsu ath-thayyibatu ukhrujiy ilaa magfiratin mina Allahi wa ridh'waanin"
"Wahai jiwa yang baik, keluarlah engkau menuju ampunan dari Allah dan keridhaan-Nya"
Lalu, dibawalah roh (nyawa / arwah) tersebut oleh para Malaikat ke atas langit, dengan bau yang sangat harum semerbak.
Setiap kali melewati sekumpulan Malaikat - mereka pun bertanya,
ما هزا الروح الطيب؟
"Maa hadzaa ar-ruwhu ath-thayyibu?"
"Ruh siapakah yang baik ini?"
Para Malaikat yang membawa roh tersebut menjawab, "Fulan bin Fulan", disebutkan namanya yang terbaik ketika hidup di dunia.
Sebaliknya, bila yang meninggal tersebut adalah orang kafir atau munafik, para Malaikat berkata,
ايتها النفس الخبيثة اخرجى إلى سخط من الله وغضب
"Ayyatuhaa an-nafsu al-khabiitsatu ukhrujiy ilaa sakhathin mina Allahi wa ghadhabin"
"Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya."
Para Malaikat kemudian membawa roh tersebut menuju langit - dengan bau yang sangat busuk.  Setiap kali roh itu melewati sekumpulan Malaikat mereka bertanya,
ماهزا الروح الخبيث
"Maahadzaa ar-ruwhu al- khabiitsu"
"Ruh siapakah yang buruk ini?"
Para Malaikat pembawa roh tersebut menjawab, "Fulan bin Fulan", disebutkan namanya yang paling jelek ketika hidup di dunia.
Demikianlah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan keadaan jiwa yang baik dan yang buruk.
Di dalam hadits lain, Beliau juga mengisyaratkan tentang roh yang baik dan yang buruk (artinya),
"Roh-roh itu memiliki kelompok-kelompok yang banyak, yang cocok di antara mereka akan saling mendekat, dan yang tidak cocok akan saling menjauh."  (Shahih, HR.  Muslim)
Para 'ulama memaparkan, "Yang baik akan cenderung kepada yang baik, dan yang jelek akan cenderung kepada yang jelek."  (Syarah Jami' Shaghir, dan An-Nihayah fii Gharibil Hadits, dll.)
Oleh karena itulah, dalam pembukaan setiap khutbah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sering berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari keburukan jiwa,
"Sesungguhnya segala puja-puji hanya milik Allah, kami memohon pertolongan kepada-Nya,  memohon ampunan kepada-Nya, dan memohon perlindungan dari keburukan-keburukan jiwa kami."  (HR.  Abu Daud, dan lainnya)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajari seseorang dengan do'a,
اللهم قني شر نفسي واعزم لي على ارشد أمري
"Allahumma qiniy syarra nafsiy wa'zimliy 'alaa arsyadi amriy"

"Ya Allah, lindungilah aku dari kejahatan jiwaku,  dan kokohkanlah tekadku pada urusanku yang paling lurus."
Dan do'a-do'a lainnya yang memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari jiwa yang buruk.
Menyadari betapa pentingnya permasalahan ini, maka sudah seharusnya kita mengupayakan berbagai cara untuk melindungi kondisi kejiwaan kita, disamping upaya untuk mensucikan dan membebaskannya dari berbagai kotoran.
Ibnul Jauzi rahimahullah mengomentari hadits tentang jiwa manusia yang memiliki kelompok-kelompok,
"Dapat diambil dari hadits tersebut sebuah faidah yaitu, bila pada diri seseorang ditemukan sikap menjauh dari orang yang shalih, maka seyogyanya dia mencari tahu sebabnya.  Lalu, hendaklah ia berusaha membebaskan diri dari sifat tercela tersebut."  (Dinukil dari kitab, Dalil Al-Falihin)

PRINSIP-PRINSIP TAZKIYATUN NUFUS 
1.  Takhliyah dan Tahliyah
Artinya menanggalkan dan menghiasi.
Inilah prinsip utama dalam upaya penyucian jiwa.
Takhliyah, maknanya ialah meninggalkan segala sesuatu yang menyimpang dari ajaran syari'at Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus (benar / shahih).  Dilakukan dengan cara menjauhi segala bentuk maksiat, mulai dari yang paling besar seperti perbuatan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berbagai macam keyakinan dan amalan bid'ah, kemudian tingkatan-tingkatan dosa besar di bawahnya, hingga dosa-dosa kecil, dan hal-hal yang bersifat makruh (tidak disukai Allah).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
"Katakanlah kepada kaum mukminin (orang-orang beriman), hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka, dan menjaga kemaluan mereka, hal itu lebih suci bagi mereka..."  
(QS. An-Nur;  30), dan
"Surga 'Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya - mereka kekal di dalamnya.  Itulah balasan bagi orang-orang yang membersihkan diri."  
(QS. Thaha;  76)
Maksudnya, membersihkan diri dari syirik, kekafiran, kefasikan, bid'ah, dan berbagai maksiat - dengan tidak melakukannya sama sekali, atau bertaubat dari dosa-dosa tersebut bila pernah melakukannya.
Selain itu, ia juga mensucikan diri dengan cara menumbuhkan iman dan amal shalih.  Demikian diterangkan oleh Asy-Syaikh As-Sa'di rahimahullah.
Sedangkan makna Tahliyah adalah menghiasi dirinya dengan berbagai amalan shalih - mulai dari amalan yang paling mulia (besar), yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, beriman kepada-Nya dengan seluruh Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya, menegakkan aqidah yang benar (lurus), menghiasi diri dengan rukun iman yang enam, selalu tunduk-patuh, bersabar, bersyukur, qana'ah, tawakal, cinta, takut, bertaubat, dan harap - sampai pada amalan paling kecil, yakni menyingkirkan gangguan di jalan.
Makna firman-Nya,
"Kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari Neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) guna membersihkan dirinya."  
(QS. Al-Lail;  17-18)
Selain itu, ia juga harus berjihad melawan godaan syaithan dan nafsunya, membantah berita-berita yang menyesatkan dari orang-orang kafir dan munafik, beramar ma'ruf dan nahi munkar (mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran), dan lain-lain.
2.  Hanya Allah Yang Bisa Mensucikan Jiwa
Setelah kita mengetahui, bahwa Tazkiyah (penyucian) itu hanya bisa terlaksana dengan melakukan amal-amal shalih dan menjauhkan diri dari maksiat, kita pun harus mengetahui pula, bahwa semua itu tidak akan terwujud kecuali dengan Hidayah Taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bagaimana tidak, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saja menyatakan dengan sumpah Beliau,
"Demi Allah!  Kalau bukan karena Allah - kami tidak akan memperoleh petunjuk, kami tidak bisa shalat, dan kami tidak dapat memberi sedekah.  Oleh karena itu, (ya Allah) turunkanlah kepada kami ketenteraman jiwa, dan kokohkanlah kaki-kaki kami bila kami bertemu musuh."  (Shahih, HR.  Al-Bukhari)
Allah Subhanahu wa Ta’ala pulalah yang menjelaskan segala sarana dan fasilitas bagi manusia menuju kesucian jiwa-jiwa mereka.  Kalaulah bukan karena penjelasan tersebut, niscaya manusia akan buta, atau senantiasa berada dalam kegelapan dan bergelimang dengan kekufuran.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan.  Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaithan - sesungguhnya syaithan itu menyuruh melakukan perbuatan keji dan perbuatan munkar.  Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kalian yang bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar tersebut) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.  Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."  
(QS. An-Nur;  21)
Maksudnya,  tidak ada seorang pun dari kalian yang bersih dari mengikuti langkah-langkah syaithan.  Hal ini disebabkan, karena syaithan dengan bala tentaranya setiap detik berupaya menyeru manusia mengikuti langkah-langkahnya, dan menampilkannya dengan gambaran yang indah dan menarik hati.
Lebih-lebih lagi, karena jiwa manusia itu cenderung kepadanya.  Bahkan, jiwa itu memerintahkan kepada qalbunya (hati) untuk mengikuti langkah-langkah syaithan.  Hanya serba kekurangan, dan ketidak-berdayaanlah yang menguasai jiwa hamba dari segala sisi.  Iman pun tak berdaya menghadapinya bila semua faktor pendorong itu dibiarkan (tanpa rahmat dari Allah 'Azza wa Jalla, pen. Mjlh.), niscaya tak seorang pun bersih dari dosa dan keburukan, serta tidak mampu berkembang melakukan berbagai kebaikan.  Akan tetapi, karena karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala serta rahmat-Nya menuntut kesucian sebagian dari kalian.  (Tafsir Al-Karimir Rahman - dengan sedikit editan)
Oleh karena itu, hendaklah seseorang banyak berdoa dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar diberi Taufiq untuk mensucikan jiwanya.
Nabi shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah mencontohkan dengan do'a yang Beliau panjatkan,
اللهم إني اعوذبك من العجز والكسل والجبن والبخل والهرم وعذاب القبر   اللهم ات نفسي تقواها وزكها  انت خير من زكاها  انت وليها ومولاها  اللهم إني اعوذبك من علم لاينفع  ومن قلب لايخشع ومن نفس لاتشبع ومن دعوة لا يستجاب لها 
"Allahumma inniy a'uudzubika mina al-'ajzi wal kasali wal jubni wal bukhli wal harami wa 'adzaabil qabri  Allahumma aati nafsiy taqwaaha wa zakkihaa  Anta khairu man zakkaahaa  Anta waliyyuhaa wa maulaahaa  Allahumma inniy a'uudzubika min 'ilmin laa yanfa' wa min qalbin laa yakhsya' wa min nafsin laa tasyba' wa min da'watin laa yustajaabulahaa."
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat penakut, pelit, pikun,  dan adzab kubur.
Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia.  Engkaulah sebaik-baik Dzat Yang mensucikan, Engkau-lah Walinya dan Maulanya.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat,  qalbu yang tidak khusyu', jiwa yang tidak merasa puas, dan do'a yang tidak terkabul."  (HR.  Muslim)
Makna do'a di atas menunjukkan kepada kita, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari keburukan jiwa, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.

3.  Ittiba' kepada Nabi-Nya 
Mutaba'ah (mengikuti) Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan satu-satunya jalan (cara) yang dapat ditempuh oleh manusia untuk mensucikan jiwa mereka.  Mensucikan jiwa yang telah terkotori oleh noda-noda jahiliyah, sebagaimana yang difirmankan Allah 'Azza wa Jalla (artinya),
"Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman, ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.  Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata."  
(QS. Ali-Imran;  164)
Ini merupakan nikmat yang paling besar, yang diberikan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya.  Bahkan, ia adalah pangkal dari segala nikmat, yaitu pemberian karunia kepada mereka dengan diutusnya Rasul yang Mulia.  Dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan mereka dari bahaya kesesatan, dan melindungi mereka dari kebinasaan.
Makna firman-Nya,
"Ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri." Yakni yang mereka kenal nasab, perangai, dan tutur katanya.  Rasul itu berasal dari kaum dan suku mereka.  Ia adalah seorang yang beritikad baik terhadap kaumnya, belas kasih terhadap mereka, membacakan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka, mengajari mereka lafadz-lafadz dan maknanya, dan (mensucikan mereka) dari kesyirikan, maksiat, dan berbagai kerendahan - dan seluruh akhlak tercela.  (Tafsir As-Sa'di)
Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya akan menerima Tazkiyah yang dilakukan sesuai dengan cara yang Dia syariatkan terhadap Rasul-Nya.
Sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
"Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama ini, amalan itu tertolak."  (Shahih, HR. Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencanangkan tujuan manusia ini, yaitu Tazkiyah.  Allah pun telah memberikan sarananya melalui keterangan Rasul-Nya.   Maka dari itu, barangsiapa yang hanya ingin mencapai tujuan tanpa sarana yang telah digariskan, dipastikan dia tidak akan pernah sampai pada tujuan yang dikehendaki.*

4.  Tidak Mengklaim Diri Telah Suci

Ghurur,  terkecoh oleh diri sendiri.  Itulah kata yang tepat bagi mereka yang merasa dirinya telah suci.  Sesungguhnya, kesucian diri kita belum terjamin.  Yang kita lakukan hanya sebatas usaha, dan tentu saja hasilnya secara pasti baru bisa diketahui di Akhirat kelak.  Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah Yang paling mengetahui keadaan diri kita.  Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
فلا تزكوا أنفسكم  هو أعلم بمنتقى
"Falaa tuzakkuw anfusakum  huwa a'lamu bimanittaqaa."
"Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.  Dia-lah Yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa."  
(QS. An-Najm;  32)
Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela mereka yang menganggap dirinya suci - padahal kenyataannya tidak demikian, juga pada makna ayat berikut,
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?  Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan mereka tidak teraniaya sedikit pun."  
(QS. An-Nisa;  49)
Atas dasar itulah, ketika ada salah seorang Shahabiyah bernama Barrah,  yang memiliki arti "orang yang baik", Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menegur, dan mengganti namanya dengan Zainab, yang belakangan menjadi salah seorang isteri Beliau.
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan cerita Zainab radhiyallahu 'anha (artinya),
"Aku diberi nama Barrah.   Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, 'Janganlah kalian menganggap suci diri kalian .  Allah lebih mengetahui orang yang baik di antara kalian.'  Mereka berkata, 'Dengan apa kami memberi nama dia?  Beliau menjawab, 'Berilah nama Zainab. '"
Bahkan sampai dalam memuji pun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kita berhati-hati, agar tidak terjerumus ke dalam larangan ini.  Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
"Siapa saja di antara kalian yang mau tidak mau memuji saudaranya, hendaklah mengatakan, 'Perkiraanku Fulan (demikian), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah Yang lebih mengetahui tentang dia.  Dan aku tidak mendahului Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menganggap suci seseorang secara pasti.  Menurut saya demikian dan demikian ' Bila ia mengetahui hal itu darinya."  (Muttafaqun 'alahi)
Oleh karena itu, para Sahabat dari dulu adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat merasa suci.  Mereka justru khawatir terhadap diri mereka kalau ternyata masih kotor.
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah mengatakan,
"Aku telah bertemu dengan 30 (tiga puluh) Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, semuanya khawatir terhadap kemunafikan atas diri mereka."
Ibrahim At-Taimi rahimahullah mengatakan,
"Tidaklah kubandingkan ucapanku dengan amalanku, melainkan aku khawatir nanti menjadi orang yang didustakan."
Disebutkan pula, bahwa Al-Hasan Al-Basri rahimahullah dahulu mengatakan,
"Tidaklah seseorang merasa khawatir (dari sifat) kemunafikan, melainkan dia adalah seorang mukmin.  Dan tidaklah seseorang merasa aman dari kemunafikan, melainkan dia adalah orang munafik."

Ketiga riwayat di atas dikeluarkan oleh Al-Bukhari rahimahullah dalam bab "Khauful Mu'min an Yuhbatha 'Amaluhu..."
Wallahu a'lam bish-shawab.

*  Di Indonesia khususnya, terdapat puluhan bahkan ratusan ajaran tarikat (suluk).  Yakni ajaran (cara) untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tidak pernah dicontohkan (direkomendasikan) oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam (mencari dan mengambil jalan sendiri sesuai keinginan dan hawa nafsu penyerunya), (pen blog).

oOo

(Dikutip dan disadur dari dua tulisan, "Menuju Kesucian Jiwa", dan "Prinsip-Prinsip Tazkiyatun Nufus", Al-Ustadz Qomar Suaidi Lc, Majalah Asy-Syariah, vol. VII/no. 79/1433 H/2012 M)



Kamis, 26 Desember 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (48)


(Abud Darda radhiyallahu 'anhu)

بسم الله الر حمان الر حيم

"Memiliki teman yang baik lebih baik daripada menyendiri.  Sementara itu, menyendiri lebih baik daripada memiliki teman yang buruk."

"Orang yang menyeru pada kebaikan lebih baik daripada orang yang diam.  Sementara itu, orang yang diam lebih baik daripada orang yang menyeru pada keburukan."


oOo 

Rabu, 25 Desember 2019

KAITAN ANTARA JIWA DENGAN QALBU


بسم الله الر حمان الر حيم

"Sesungguhnya jiwa itu satu.  Akan tetapi jiwa itu memiliki berbagai sifat, sehingga ia diberi nama berdasarkan sifat-sifat yang melekat padanya."
(Ar-Ruh, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)

A.  JIWA
Di dalam Al-Qur'an Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati jiwa-jiwa manusia dengan 3 (tiga) kriteria berikut;
1. Jiwa Muthma'innahu
2. Jiwa Ammarah bis-suu'.
3. Jiwa Lawwaamah.

1.  Jiwa Muthma'innahu
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
"Hai jiwa yang tenang  (Al-Muthma'innahu), kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.  Masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku.  Masuklah ke dalam Surga-Ku."
(QS. Al-Fajr;  27-30)
Jadi, jiwa yang Muthma'innahu adalah jiwa yang tenang dan tenteram menuju Rabb-nya, tenteram dengan berdzikir pada-Nya, kembali kepada-Nya dengan berbagai keta'atan (Inaabah), rindu untuk berjumpa dengan-Nya, dan tenang ketika dekat dengan-Nya.  Jiwa yang demikianlah yang dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saat wafatnya.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan ayat di atas, "Maksudnya yang membenarkan."
Qatadah rahimahullah mengatakan, "Jiwa yang tenteram dengan janji-janji Allah Subhanahu wa Ta’ala."
Hakikat ketenteraman adalah ketenangan dan kemapanan (mantap, pen blog.).
Dia tenang menuju Rabb-nya dan ta'at kepada-Nya, menuruti segala perintah-Nya, dan terus-menerus mengingat-Nya.  Dia tenteram dengan perintah-Nya, larangan-Nya, dan berita-berita dari-Nya.
Ia pun tenteram dengan memahami dan mengimani hakikat Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.
Tenteram dan ridha kepada Allah sebagai Rabb, Islam sebagai Agama  (Jalan hidup, pen blog.), dan Muhammad sebagai Rasul.
Tenteram dengan Qadha' dan Qadhar-Nya.
Tenteram dengan perlindungan dan jaminan dari-Nya.
Jiwa tersebut tenteram dengan keyakinan, bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb (Yang Menciptakan, Yang Memiliki, Yang Mengatur, Yang Menentukan Hukum, Yang memberikan pahala dan dosa, Yang Memberikan Berbagai Nikmat, Yang Menghidupkan dan Mematikan), dan ia juga meyakini, bahwa dirinya tidak akan bisa lepas sekejap mata pun dari-Nya.

2.  Jiwa Ammarah bis-suu'
Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan dengan makna firman-Nya,
"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku.  Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (QS. Yusuf;  53)
Ammarah bis-suu', yakni jiwa yang kerap memerintahkan (qalbu) pada keburukan.
Jadi, jiwa ini memiliki sifat yang berlawanan dengan Jiwa Muthma'innahu, karena jiwa ini memerintahkan kepada qalbu sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.  Nafsu yang melampaui batas, mengikuti yang bathil.  Ia menjadi tempat mangkalnya berbagai keburukan.  Maka, bila pemiliknya mengikuti jiwa tersebut, ia akan memerintahkan qalbu (hati nurani)nya pada setiap keburukan.

3.  Jiwa Lawwaamah
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah tentangnya,
"Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri  (Al-Lawwaamah)."  (QS Al-Qiyaamah;  2)
Sa'id Ibnu Jubair rahimahullah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, "Apa yang dimaksud dengan Lawwaamah?"
Beliau menjawab, "Yakni jiwa yang selalu mencela dirinya."
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengatakan, "Setiap jiwa akan mencela dirinya pada Hari Kiamat.  Jiwa yang baik akan mencela dirinya karena tidak memperbanyak berbuat kebaikan.  Adapun jiwa yang buruk mencela dirinya karena tidak kembali (berubah / bertaubat, pen blog.) dari keburukannya."
Al-Hasan rahimahullah juga pernah mengatakan, "Sesungguhnya seorang mukmin - Demi Allah - engkau tidak akan melihat melainkan dia mencela dirinya dalam setiap kondisi.  Ia menganggap (dirinya) kurang dalam segala kondisi.  Ia menganggapnya kurang dalam segala hal yang (pernah) diperbuatnya, sehingga ia menyesali dan mencela dirinya.
Adapun orang yang jahat, dia akan terus berlalu tanpa mencela dirinya."
(Ighatsatul Lahafan)

Berkata Ibnu Qayyim rahimahullah,
"Boleh jadi jiwa itu terkadang menjadi Jiwa yang Ammarah bis-suu', terkadang menjadi Jiwa yang Lawwaamah, dan terkadang menjadi Jiwa yang Muthma'innahu.  Bahkan, dalam waktu yang bersamaan, penilaian ada pada yang mendominasi (menguasai)nya.
Sifat Muthma'innahu adalah terpuji, sedangkan Ammarah bis-suu' adalah tercela.  Adapun pada Jiwa Lawwaamah terkadang keduanya - pujian dan celaan - tergantung pada jiwa itu sendiri apa yang disesali dan dicelanya."


KEUTAMAAN JIWA YANG SUCI
Jiwa yang Suci adalah karunia yang teramat besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Jiwa inilah yang pantas meraih Surga-Nya.
Makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Adapun orang-orang yang takut terhadap kebesaran-Nya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya Surga-lah tempat tinggalnya."  (QS. An-Nazi'at;  40-41), dan
"(Yaitu) Surga 'Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya.  Demikianlah balasan bagi orang-orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan)."  (QS. Thaha;  76), dan
"Sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. "  (QS. Asy-Syams;  9-10), dan
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri  (dengan beriman), dan dia ingat Nama Rabb-nya lalu dia beribadah."  (QS. Al-A'la;  14-15)
As-Sa'di rahimahullah berkata,
"Sungguh, telah menang dan beruntung orang yang mensucikan dan membersihkan jiwanya dari (berbagai bentuk, pen blog.) kesyirikan, kezhaliman, dan akhlak yang buruk."
Kesucian yang dia upayakan itu akan kembali kepada dirinya sendiri.  Karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman  (artinya),
"Barangsiapa yang mensucikan dirinya,  sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri, kepada Allah-lah kembali(mu)."  (QS. Fathir;  18)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
"Maksudnya, barangsiapa yang beramal shalih, manfaatnya akan kembali kepada dirinya."  (Tafsir Ibnu  Katsir)
As-Sa'di rahimahullah menafsirkan,
"Barangsiapa yang mensucikan dirinya dengan membersihkannya dari aib, seperti Riya,  Sombong (menolak kebenaran dan merendahkan manusia, pen blog.), Dusta, Curang, Makar, Menipu, Kemunafikan, akhlak yang hina dan sejenisnya.  Lalu, ia menghiasi dirinya dengan berbagai akhlak yang mulia seperti Jujur, Ikhlas, Tawadhu', Lemah-lembut, Suka menasihati sesama, membersihkan dadanya dari sifat iri, dengki, dan akhlak buruk lainnya.  Manfaat penyucian diri itu akan kembali pada dirinya sendiri.  Tujuannya akan menyasar pemilik jiwa tersebut.  Amalan itu tidak akan hilang meskipun sebesar dzarrah.
Sementara itu jiwa yang kotor sepantasnya ditempatkan di Neraka,
وقد خاب من دسها
"Wa qad' khaaba man dassaahaa"
"Sesungguhnya, merugilah orang yang mengotorinya."  (QS. Asy-Syams;  10)
As-Sa'di rahimahullah mengatakan,
"Maksudnya, mengotori dengan akhlak yang rendah, mendekatkannya kepada aib, melakukan dosa-dosa, meninggalkan sesuatu yang akan menyempurnakan dan membangunnya.  Serta melakukan sesuatu yang menjadikannya buruk dan kotor."
(Tafsir As-Sa'di)

"Perhatikanlah bagaimana nasib jiwa yang tidak dikaruniai kebaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Sesungguhnya, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab, dan menjualnya dengan harga yang sedikit  (dunia).  Mereka itu sebenarnya tidak memasukkan  (menelan) ke dalam perutnya kecuali api.  Dan, Allah tidak akan berbicara pada mereka pada Hari Kiamat, tidak akan mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang sangat pedih."  (QS. Al-Baqarah;  174)
 Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mensucikan mereka dari akhlak yang rendah (hina), dan mereka tidak memiliki amal shalih yang pantas untuk dipuji, diridhai, dan diberi balasan yang terbaik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berkehendak mensucikan mereka - karena mereka sendiri yang melakukan ketidak-sucian tersebut  (melakukan berbagai perbuatan kotor).
Di antara penyebab kesucian yang terbesar adalah mengamalkan Kitabullah, mengikuti bimbingannya, dan mengajak manusia kepadanya.  Sedangkan mereka justru menyingkir dari Kitabullah, berpaling darinya, lebih memilih kesesatan daripada petunjuk, dan memilih siksa daripada ampunan.  Tidak ada tempat yang pantas bagi mereka selain Neraka.  Bagaimana mereka akan (sanggup) bersabar dari Neraka, dan menahan siksanya?"  
(Tafsir As-Sa'di)

B.  QALBU
Kata "Qalbu" (Qalbun) dalam bahasa Arab bermakna jantung, yang berada di rongga dada.  Sedangkan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai "hati".  Hati yang dimaksud di sini adalah "hati nurani", bukan organ hati yang terdapat dalam rongga perut manusia.
Kata qalbu ini sebaiknya ditulis dengan huruf  "Q" (Qaf), bukan dengan huruf "K" (Kaf).  Karena bila ditulis dengan "K" (Kalbu) - maka maknanya dalam bahasa Arab adalah anjing (Kalbun), (saran penulis Blog).

Begitu besar bahaya yang bisa ditimbulkan bila qalbu (hati nurani) manusia telah rusak, benar-benar akan membuat seluruh amalannya menjadi rusak.
Demikian pula sebaliknya, bila qalbu itu baik - akan membuat seluruh amalnya menjadi baik.
Qalbu ini dipengaruhi (dikendalikan) sepenuhnya oleh jiwa - secara langsung sedemikian rupa, sehingga bila jiwa seseorang itu baik - akan baik pula qalbunya (hati nurani).  Dan, bila jiwa itu buruk - akan buruk pula qalbu (hati)nya.
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, "Sesungguhnya, semua penyakit qalbu berasal dari jiwa.  Segala bentuk benih kerusakan akan tertuang ke dalam qalbu (hati), kemudian dari qalbu tersebut menjalar ke seluruh anggota tubuh.  Qalbu (hati) adalah organ pertama yang terkena imbasnya..."  (Ighatsatul Lahafan, hal. 82)
Oleh sebab pengaruh dari jiwa tersebut, maka qalbu manusia dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam;
1.  Qalbu yang Selamat, Sehat, dan Hidup.
2.  Qalbu yang Sakit.  Ia tetap hidup, namun berpenyakit.
3.  Qalbu yang Mati.

1.  Qalbu yang Selamat
Qalbu yang Selamat, Hidup, dan Sehat disebut juga Al-Qalbu As-Salim.  Qalbu yang Selamat adalah qalbu yang selamat dari;
* Selamat dari segala nafsu yang menyelisihi setiap perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
* Selamat dari segala syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran) yang bertentangan dengan berita-berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
* Selamat dari peribadatan kepada selain-Nya, dan selamat pula dari berhukum kepada selain hukum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ibadahnya murni untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik Niat, Kehendak, Tawakal, Cinta, Taubat, Tunduk-patuh,  Takut, dan Harap.
Amal-ibadahnya pun semata-mata hanya dari Allah dan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila dia membenci, maka kebenciannya karena Allah.  Bila dia memberi, maka dia memberi karena Allah, dan tidak memberi pun juga karena Allah.  Bahkan tidak berhenti sampai di situ, ia bertekad sampai selamat dari berhukum kepada siapa pun selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.  Hingga qalbunya meyakini dengan keyakinan yang kokoh untuk menjadikan Beliau sebagai satu-satunya Uswah (Suri tauladan), tidak pada selain itu, siapa pun dia, baik dalam hal perkataan maupun perbuatan (amal), dalam urusan dunia maupun Akhiratnya.

2. Qalbu yang Sakit
Qalbu jenis ini tetap hidup, namun berpenyakit.
Hati ini memiliki 2 (dua) unsur.  Sesekali unsur kehidupan yang mengisinya, dan pada kesempatan lain unsur penyakit.  Qalbu jenis ini bergantung pada unsur mana yang mendominasinya.
Ada padanya rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, keimanan terhadap-Nya, keikhlasan, serta tawakal.  Hal ini menjadi unsur yang menghidupkannya.  Tetapi ada pula kecintaan terhadap syahwat, mendahulukannya daripada kebenaran, serta semangat memprioritaskannya.
Di samping itu, ada pula sifat dengki, sombong, berbangga diri, merendahkan orang lain, berbuat kerusakan di muka bumi menggunakan kekuasaannya.  Semua itu merupakan hawa nafsu yang menghancurkan dirinya.
Jadi, jenis qalbu ini diuji dengan 2 (dua) penyeru;
a. Penyeru yang mengajaknya kepada seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta negeri Akhirat.
b. Penyeru yang mengajaknya kepada selain Allah dan Rasul-Nya serta dunia.

Dia menyambut seruan yang paling dekat padanya, dan paling banyak pengikutnya  (Makna dari perkataan Ibnu Qayyim rahimahullah)

3. Qalbu yang Mati 
Ibnu Qayyim menyebutnya sebagai qalbu yang kering dan mati.
Adalah qalbu yang tidak memiliki unsur kehidupan di dalamnya.   Dia tidak mengenal Rabb-nya, tidak beribadah kepada-Nya dan perintah-perintah-Nya, hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya.
Ia senantiasa berdampingan dengan hawa nafsu dan kelezatannya, meskipun mengakibatkan kemurkaan dan kemarahan Rabb-nya, dia tidak peduli - asalkan syahwat dan keinginannya terpenuhi.

Dia telah menghambakan diri pada selain Allah, dengan cinta, takut, harap, ridha, pengagungan, serta menghinakan diri pada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila dia mencintai, maka cinta itu demi hawa nafsunya.  Bila membenci,  maka rasa bencinya didasarkan pada hawa nafsu (amarah).  Demikian pula bila dia memberi atau tidak memberi adalah karena hawa nafsunya.
Hawa nafsunya lebih dicintai dan didahulukan daripada Rabb-nya.  Hawa nafsu menjadi pemimpin dan pembimbingnya.  Kebodohan menjadi pengemudinya.  Kelalaian terhadap Akhirat menjadi tunggangannya.
Seluruh pemikirannya tenggelam dalam berbagai kepentingan untuk meraih manfaat duniawi.
Dari kejauhan dia diseru kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun dia tidak mempedulikan seruan tersebut.  Dia lebih suka mengekor di belakang setiap syaithan yang durhaka, baik syaithan dari kalangan Jin maupun Manusia.
Keduniaanlah yang mendorong kecintaan dan kebenciannya.  Nafsulah yang membuatnya buta dan tuli terhadap kebenaran.
Berbaur dengan pemilik qalbu jenis ini adalah penyakit, dan bergaul dengan mereka bagaikan meminum racun.  (Makna perkataan Ibnu Qayyim dalam Ighatsatul Lahafan)
Pemilik qalbu jenis ini tidak akan selamat, sedangkan pemilik qalbu yang sakit dekat pada kehancuran.  Sehingga, tidak ada yang benar-benar selamat pada Hari Kiamat selain pemilik qalbu yang Salim,  yang datang menemui Allah Subhanahu wa Ta’ala dengannya,
يو م لا ينفع مال ولا بنون إلا من أتى الله  بقلب سليم
"Yauma laa yanfa'u maa lun wa laa banuuna illaa man ataa Allaha biqalbin Saliimi."
"(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tiada berguna, melainkan orang-orang yang menghadap Allah dengan qalbu yang bersih."  (QS. Asy-Syu'ara;  88-89)
Oleh karena itu pulalah Nabiyullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a;
اللهم  إني أسألك الثبات في الأمر والعزيمة على الرشد وأسألك شكرنعمتك وحسن عبادتك وأسألك قلبا سليم ولسانا صادقا  وأسألك من خير ماتعلم واعوذبك من  شرماتعلم واستغفرك لماتعلم 
"Allahumma inniy as-aluka ats-tsabaata fiy al-amri wa al-'aziimata 'alaa ar-rusydi  wa as-aluka syukra ni'matika  wa husna 'ibaadatika  wa as-aluka qalban saliyman wa lisaanan shaadiqan  wa as-aluka min khairi maa ta'lamu  wa a'uudzubika min syarrimaa ta'lamu   wa as-tagfiruka limaa ta'lamu" 

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kekokohan dalam Agama ini, dan agar bertekad untuk senantiasa terbimbing.   Aku juga memohon agar bersyukur atas nikmat-Mu, kebaikan dalam beribadah kepada-Mu.  Aku memohon kepada-Mu qalbu yang selamat dan lisan yang jujur.  Aku memohon kepada-Mu dari kebaikan yang Engkau ketahui, serta berlindung kepada-Mu dari keburukan yang Engkau ketahui, dan aku memohon ampunan atas dosa yang Engkau ketahui."  (Shahih HR. An-Nasa'i, lihat Ash-Shahihah no. 3228)
Sudah semestinya sangat pantas bagi kita untuk menghafalnya, dan senantiasa memanjatkannya ke hadirat Allah Subahanahu wa Ta’ala.
Al-Hasan rahimahullah mengatakan,
"Obatilah qalbumu.  Sesungguhnya kebutuhan (kepentingan) Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba hanyalah dalam hal kebaikan qalbunya."
(Jami'ul Ulum wal Hikam)

oOo

(Disadur dari tulisan, "Hubungan Jiwa dengan Kalbu", Al-Ustadz Qomar Suaidi Lc,  Majalah Asy-Syariah, vol. VIII/no. 79/1433 H/2012 M)

Minggu, 22 Desember 2019

DO'A MINTA KESUCIAN JIWA


بسم الله الر حمان الر حيم

اللهم ات نفسي تقواها وزكها  انت خير من زكاها  انت وليها ومولاها

"Allahumma aati nafsiy taqwaaha wa zakkihaa  Anta khairu Man zakkahaa  Anta Waliyyuhaa wa Maulaahaa"

"Ya Allah, berilah ketakwaan pada diriku dan sucikanlah ia, Engkau-lah sebaik-baik Yang mensucikannya, serta Engkaulah Yang mengurusinya dan memilikinya."
(HR.  Muslim, dari Zaid Ibnu Arqam Radhiyallahu 'Anhu)

oOo 

Rabu, 18 Desember 2019

BAHAYA CINTA DUNIA DAN KEKUASAAN


بسم الله الر حمان الر حيم

Peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala  (artinya),
"Ketahuilah (Ilmuilah), sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kamu, serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak - seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;  Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.  Dan di Akhirat (kelak) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.  Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu."  (Al-Hadiid;  20),
dan 
"Sekali-kali janganlah demikian.  Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (lalai terhadap) kehidupan Akhirat."  (Al-Qiyaamah;  20-21)

Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  (artinya),
"Dunia itu bukan tujuan utamaku.   Aku dalam kehidupan dunia hanyalah seperti seseorang pengendara yang sedang berteduh di bawah sebuah pohon - lalu ia  meninggalkan pohon itu."
"Demi Allah!  Kehidupan dunia bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat - hanya seperti salah seorang di antara kalian mencelupkan jarinya ke dalam air."

Jadi, kehidupan dunia dan kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya hanya laksana beberapa tetes air, dibandingkan dengan sisanya (lautan) yang akan diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala nanti di Akhirat.

 BAHAYA MENCINTAI DUNIA
1.  Mencintai dunia akan melahirkan sikap pengagungan terhadap dunia.  Sikap seperti ini sangat berbahaya, karena mengagungkan sesuatu yang dihinakan / dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan dosa besar.
2.  Memutar balikkan perintah dan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia, karena tujuannya beramal untuk meraih dunia - bukan untuk mendekatkan diri  (Taqarrub) dan mencari keridhaan-Nya, akibatnya hatinya pun akan diputar-balikkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala;  
* Berdakwah, berbuat baik untuk tujuan bisnis, atau politik.
* Menyelenggarakan pendidikan Ilmu Agama (Tarbiyah) untuk mendapatkan keuntungan dunia.
* Membaca Al-Qur’an untuk mendapatkan upah.
* Bacaan do'a yang diperjual-belikan (tergantung pesanan).
* Dan lain-lain.
Sehingga Allah 'Azza wa Jalla akan membutakan mata hatinya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala  (artinya),
"Dan barangsiapa yang buta mata hatinya di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta  (lagi) dan lebih tersesat dari jalan  (yang lurus)."  (Al-Israa';  72)
Cinta terhadap dunia akan menjadi penghalang baginya untuk mendapatkan amal-amal yang bermanfaat untuk kehidupan Akhirat.
3.  Cinta terhadap dunia akan menjadikan dunia sebagai cita-citanya yang  paling tinggi.
4.  Orang-orang yang mencintai dunia akan disiksa oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai siksaan (adzab) seperti;
* Mengakibatkan seluruh waktunya habis tersita untuk dunia  (1x24 jam non stop).
* Dia akan berusaha merebut dunia dari tangan orang lain yang sama-sama mencintai dunia.  Ambisinya yang sangat besar tersebut mengalahkan kemampuannya, dan membutakan mata hati (terhadap kebenaran).
* Akan diadzab di dalam kubur (di alam barzakh, dan di Akhirat dengan adzab yang lebih keras), serta harus mempertanggung-jawabkan harta yang ditinggalkan.
5.  Orang yang mencintai dunia adalah orang yang paling buruk keadaannya, dan dangkal akal-pikirannya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya)
"Dunia itu adalah penjaranya orang-orang mukmin, dan Surganya orang-orang kafir."  (HR.  Muslim)
Jadi, orang-orang beriman (mukmin) hendaknya tidak tertipu dengan segala keindahan dan kemewahan dunia, karena kehidupan dunia itu hanyalah tempat bagi orang-orang yang tidak memiliki tempat (di negeri Akhirat).
6.  Thuulul 'amal (panjang angan-angan) dan lupa dengan kematian.  Panjang angan-angannya melebihi batas kemampuan dan umurnya di dunia, sehingga menjadikannya lalai dan malas mempersiapkan masa depannya di Akhirat.
7.  Orang-orang yang mencintai dunia akan terhalang dari pertolongan Allah (sulit mendapatkan jalan yang lurus, hidayah Taufik).  Hal inilah yang menyebabkan lemahnya kekuatan kaum muslimin secara umum.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Hampir-hampir ummat yang lain menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang mengerumuni makanannya di tempat makan.  Seseorang berkata, 'Apakah sedikitnya kami waktu itu?'  Beliau bersabda, 'Bahkan kalian waktu itu sangat banyak, tetapi kalian seperti buih (kotoran) di atas airDan Allah mencabut rasa takut musuh-musuh kalian terhadap kalian, serta menjangkitkan di dalam hati kalian penyakit Wahn.'  Seseorang bertanya, 'Apakah Wahn itu?'  Beliau menjawab, 'Cinta dunia dan takut mati.'"
(HR.  Ahmad, Al-Baihaqi,  Abu Daud)

Adalah sebuah realita yang terjadi di masa sekarang, umumnya kaum muslimin sangat mencintai dunia, dan menjadikan dunia sebagai prioritas pertama dan utama dalam kehidupan mereka, sehingga ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala penyakit Wahn ke dalam hati mereka  ("Hubbuddunya wakaraahiyatul maut" / Cinta dunia dan takut mati).
"Tidaklah seekor kambing yang diserbu oleh dua ekor serigala yang kelaparan lebih rusak daripada agama seseorang yang cinta terhadap dunia dan kedudukan (kekuasaan)."  (Makna al-hadits)

Para 'ulama menerangkan, bahwa penyakit cinta terhadap kedudukan (kekuasaan) lebih berbahaya daripada cinta terhadap harta benda, karena cinta terhadap kedudukan tersembunyi di dalam hati dan sifat (perjuangannya) lebih rumit.  Banyak orang yang mampu bertahan dalam keadaan kekurangan harta, tetapi sedikit sekali orang yang mampu menahan diri dari godaan (ambisi) terhadap kedudukan - apapun akan dikorbankannya untuk meraih kedudukan yang diimpi-impikan.  Bila ia gagal meraih kedudukan yang diimpikan tersebut - timbul stres berat bahkan gila, karena begitu banyak harta maupun kehormatan diri yang telah dikorbankan.
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata,
"Aku belum pernah melihat orang yang zuhud dalam masalah kedudukan (kekuasaan)."
Maka, jagalah dirimu dari sifat cinta kedudukan, dan lakukanlah segala sesuatu dengan niat yang baik (karena Allah) dan benar, serta berhati-hatilah.
Al-Imam Ayyub As-Sikhtiyani berkata,
"Orang yang lebih menyukai popularitas (ketenaran) yang ingin diagungkan (manusia) adalah;
Orang yang tidak jujur, karena untuk  meraih kedudukan yang diimpikan tersebut sering kali ia menghalalkan apa yang diharamkan, serta mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala (menghalalkan segala cara)."

Orang yang suka ketenaran  (popularitas), dan kedudukan (kekuasaan) biasanya tidak lagi memiliki rasa takut (taqwa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, akalnya tidak lagi berfungsi dengan baik, keburukannya akan melebihi keburukan binatang.
Seperti perkataan seorang Sahabat yang mulia, Syaddad bin Aus radhiyallahu 'anhu,
"Sesungguhnya yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah sifat Riya dan Syahwat khafiyah (Syahwat yang tersembunyi, suka dipuji - disanjung, dan cinta kedudukan)."
Padahal kedudukan seseorang itu pasti akan diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bila ia taat, tunduk-patuh pada semua perintah dan larangan-Nya, karena kedudukan  (jabatan) itu merupakan anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

BEBERAPA TANDA ORANG YANG BERAMBISI TERHADAP DUNIA DAN KEDUDUKAN (KEKUASAAN)
1.  Pasti memiliki sifat hasad dan dengki, serta kebencian pada orang lain.  Oleh karena itu, mereka suka mencari-cari aib manusia.  Tidak senang melihat orang lain mendapat kenikmatan, menginginkan agar kenikmatan itu berpindah padanya.
(Makna perkataan Fudhail bin Iyadh rahimahullah)
2.  Dia benci mendengar, bila ada orang lain yang disebut-sebut kebaikannya, karena dia berkeinginan dialah yang diperlakukan seperti itu.
3.  Gembira bila memiliki banyak pengikut, oleh karena itu ia berusaha mengumpulkan pengikut (followers) sebanyak-banyaknya guna menaikkan pamor di tengah-tengah masyarakat, untuk meraih kedudukan, kekuasaan, dan keuntungan duniawi lainnya, sehingga keikhlasan karena Allah dan untuk Allah tersingkirkan.


BAHAYA CINTA PADA KEDUDUKAN 
A.  Merusak niat dan keikhlasan seseorang terhadap Allah.  Karena semua amalannya ditujukan untuk kepentingan diri sendiri dan tujuan duniawi lainnya, bukan karena Allah dan untuk Allah.  Menyumbang untuk pendirian Masjid, Madrasah, Yatim-Piatu dan lain-lain bertujuan untuk meraih simpati masyarakat.  Apapun akan dikorbankan untuk mencapai kedudukan tersebut.
B.  Hilangnya semangat untuk mendahulukan prioritas utama dan pertama dalam hidup (beribadah dengan ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan mencari keridhaan-Nya).  Jadi, hakikat tujuan hidupnya telah hilang (luntur), sibuk dengan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi kehidupan Akhirat-nya.
C.  Enggan melakukan "Amar ma'ruf - Nahi munkar" (Mengajak pada kebaikan - Mencegah kemungkaran), ada perasaan takut kehilangan pendukung (pengikut), oleh karena itu cenderung bersikap diam atau berpura-pura daripada menegakkan kebenaran (al-haq) agar orang-orang tetap bersamanya ("main aman").
D.  Cenderung mengikuti hawa nafsu dalam berselisih (Ittiba'ul Hawa), permusuhan, kesesatan, dan amalan-amalan buruk lainnya.
E.  Terhalang untuk mendapatkan Hidayah Taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala  (sesuatu yang paling mahal dalam hidup, merupakan hak Prerogatif Allah Subhanahu wa Ta'ala).  Tidak sedikit orang yang telah mengetahui (mengenal) As-Sunnah (kebenaran) tetapi tidak mampu mengamalkannya karena tidak mendapatkan Hidayah Taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Bahkan, sebaliknya memusuhi (menyerang) As-Sunnah tersebut.  "Na'uudzubillahi min dzaalika" (kita berlindung kepada Allah dari hal itu).
F.  Membuka berbagai pintu (peluang) terjadinya fitnah (keburukan) dalam agama Islam.  Kita melihat bahwa hal ini sering terjadi pada para da'i yang niatnya telah "terkontaminasi" (tercemar) dengan dunia dan kedudukan (kekuasaan), bahkan para syaikh sekalipun.
Padahal, orang yang selamat itu adalah orang yang menjauhi fitnah.
G.  Menanggung dosa yang berlipat-lipat sebanyak dosa orang-orang yang mengikutinya (followers) dalam kesesatan dan maksiat, ditambah lagi dengan dosa diri sendiri.  Karena, dia menyeru manusia untuk mengikuti diri dan kelompoknya, bukan menyeru manusia kepada Allah dan Rasul-Nya semata.

SEBAB-SEBAB SESEORANG MENCINTAI DUNIA DAN KEDUDUKAN (KEKUASAAN)
1.  Lemah iman - karena kurangnya Ilmu Pengetahuan tentang Agama (ilmu yang bermanfaat), Amal shalih, serta informasi tentang Akhirat.
2.  Kesalahan dalam didikan  (Tarbiyah) sehingga membentuk pola pikir, karakter, akhlak dan pemahaman yang menyimpang pula.  Pepatah lama mengatakan, "Apa yang ditanam - itulah yang dituai".  Dan, seseorang itu berangkat dari (keadaan) awalnya.
3.  Memiliki paradigma yang salah tentang dakwah Islam (selalu dikait-kaitkan dengan keuntungan duniawi dan kedudukan / kekuasaan).
4.  Sangkaan yang keliru, bahwa kemuliaan itu datang bersama harta dan kedudukan (kekuasaan).  Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada umat Islam agar selalu bersikap Qana'ah (Selalu merasa cukup) dan banyak bersyukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
"Kekayaan itu bukanlah tentang banyaknya harta, tapi kekayaan (yang sesungguhnya) ada di dalam hati."


oOo

(Disarikan dari  kajian Ust. Abu Hamzah Yusuf hafizhahullah di Radio Islam Indonesia / RII)
  





Jumat, 13 Desember 2019

KEHENDAK ALLAH


بسم الله الر حمان الر حيم

"Barangsiapa yang Allah kehendaki akan memberi petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.  Dan, barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit - seolah-olah dia sedang mendaki ke langit."
(QS. Al-An'am;  125)

Maksud dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberi petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam," yang dimaksud dengan Iradah  (kehendak) di sini adalah Iradah Kauniyah,  dan yang dimaksud dengan hidayah (petunjuk) di sini adalah Hidayah Taufiq.
(Baca artikel, EMPAT TAHAPAN / TINGKATAN HIDAYAH)
Kami mendapati orang yang seperti berlapang dada terhadap syari’at-syari’at dan syi'ar-syi'ar Islam, dia mengerjakannya dengan kebahagiaan, senyum, dan kegembiraan.
Jika anda melihat itu terjadi pada diri anda, maka ketahuilah bahwa Allah menginginkan kebaikan dan hidayah bagi anda.  Adapun orang yang menjadi sempit dengan syariat Islam - na'uudzubillah (kita berlindung kepada Allah), maka hal ini adalah pertanda bahwa Allah tidak menginginkan hidayah untuknya,  karena jika tidak (demikian), niscaya hatinya akan menjadi lapang.
Oleh karena itu, anda melihat bahwa shalat merupakan ibadah yang paling berat bagi orang-orang munafik, padahal ia adalah ibadah yang menenteramkan (jiwa) bagi orang-orang yang ikhlas.  Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
"Duniamu yang dijadikan disukai olehku adalah wanita dan minyak wangi, dan ketenteramanku dijadikan di dalam shalat."  (HR.  Ahmad)
Tidak diragukan lagi, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling sempurna imannya,  dada Beliau menjadi lapang karena shalat, dan ia (shalat) menjadi ketenteraman Beliau.
Jika dikatakan pada seseorang, "Kamu wajib shalat berjama'ah di masjid," lalu dadanya menjadi lapang dan dia menjawab, "Segala puji bagi Allah Yang  (telah) mensyariatkan hal itu untukku.  Seandainya Allah tidak mensyariatkannya, niscaya ia adalah bid'ah."  Lalu orang ini menerimanya dan melaksanankannya.  Itu adalah tanda, bahwa Allah menginginkan kebaikan dan hidayah untuknya.
Makna firman-Nya,
"Niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam."  Melapangkan artinya meluaskan.  Berkaitan dengan makna ini Nabi Musa  'Alaihissalam berkata ketika diutus oleh Allah kepada Fir'aun,  رب اشرح لى صدرى  /  "Rabbi asyrahliy shadriy"  /  "Ya Tuhan-ku, lapangkanlah untukku dadaku."  (Thaha;  25).
Yakni, luaskanlah dadaku dalam mendakwahi dan menyampaikan kepada orang ini, karena Fir'aun adalah raja lalim lagi keras kepala.
Firman-Nya,   للاءسلام  /  "Lil-Islaami"  (untuk memeluk agama Islam) adalah umum - mencakup dasar-dasar Islam, cabang-cabangnya, dan kewajiban-kewajibannya.  Sejauh mana kelapangan dada seseorang terhadap Islam beserta syariatnya, baik yang datang dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah, sejauh itu pula kehendak Allah memberikan petunjuk baginya.
(Baca juga artikel, HUKUM SHALAT BERJAMA'AH)
Makna firman-Nya, "Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit."  Yakni, menjadikan dadanya sangat sempit.  Kemudian Allah mengibaratkan dengan firman-Nya,  كاءنما يصعد فى أسماء  /  "Ka-annamaa yashsha'adu fiy as-samaa-i"  ("Seolah-olah ia sedang mendaki langit"), yakni ketika Islam disodorkan kepadanya seolah-olah ia sedang memaksakan diri naik ke langit.  Oleh karena itu ayatnya berbunyi,  يصعد  /  "Yashsha'adu"  , dengan Shad dan 'ain yang ditasydid,  dan bukan dibaca,  يصعد  /  "Yash-'adu  (naik), seolah-olah dia memaksakan diri dengan sangat sulit, dan tentunya orang yang memaksakan diri naik - dia pasti akan kelelahan dan merasa bosan.
Bayangkan seorang laki-laki yang dituntut mendaki gunung yang sulit lagi tinggi.  Jika ia mendakinya maka ia akan berusaha sekuat tenaga, nafasnya akan naik-turun dan ngos-ngosan karena dia pasti mendapat kesulitan karenanya.
Berdasarkan hasil penemuan masa kini dimana mereka berkata, "Orang yang naik ke langit, semakin dia naik lebih tinggi maka semakin kuat tekanannya (karena kandungan oksigennya semakin menipis, pent.) yang membuatnya semakin sulit dan susah bernafas".  Apapun itu, baik makna yang pertama atau yang kedua, orang yang disodori Islam ini sementara Allah berkehendak untuk menyesatkannya,  maka dia merasa sempit dan tertekan seperti orang yang memaksakan diri naik ke langit.
Ayat ini menetapkan sifat Iradah  (kehendak) bagi Allah.
Iradah yang disebutkan dalam ayat ini adalah Iradah Kauniyah bukan yang lain,  karena Dia berfirman,  فمن يرد الله  أن يهديه  /  "Faman yuridillahu an yahdiyahu"  ("Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan petunjuk kepadanya"), di sisi lain,  ومن يرد أن يضله  /  "wa man yurid' an yudhillahu"  ("Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya")
Pembagian (pembedaan) yang seperti ini hanya ada pada perkara-perkara Kauniyah, sedangkan Iradah Syar'iyah, maka Allah menghendaki (meminta) semua orang agar tunduk kepada syariat-Nya.
Dari segi perilaku dan ibadah, ayat ini menetapkan, bahwa manusia wajib menerima Islam secara keseluruhan  (Kaffah), baik dasar-dasar maupun cabang-cabangnya; apa-apa yang berkaitan dengan hak Allah dan apa-apa yang berkaitan dengan hak manusia, maka dia wajib berlapang dada dalam hal tersebut, karena jika tidak demikian maka ia akan digolongkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ke dalam kelompok kedua, dimana Allah menghendaki kesesatan baginya.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
"Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya Dia menjadikannya  memahami Agama(Nya)."  (HR.  Al-Bukhari)
Memahami agama berarti menerima agama, karena barangsiapa yang mengerti dan memahami agama, maka dia akan menerima dan mencintainya.
Makna firman-Nya,
"Maka Demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman - hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam (setiap) perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."  (An-Nisa;  65)
Ini adalah sumpah (Allah 'Azza wa Jalla) yang ditegakkan dengan huruf  لا ("lam"), dan ini adalah sumpah dengan Rububiyah Allah yang paling khusus terhadap hamba-Nya, yaitu Allah bersumpah kepada Rasul-Nya, atas lenyapnya iman dari orang-orang yang tidak mau melakukan (menancapkannya di dalam hati, pen blog) perkara-perkara berikut;
PertamaMenjadikan Rasulullah sebagai hakim (yang memutuskan hukum), atas dasar firman-Nya,  حتى يحكمو ك  /  "Hattaa yukakkimuu ka"  ("Hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim"), yakni Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka barangsiapa yang mencari hukum kepada selain Allah dan Rasul-Nya - dia bukanlah seorang mukmin (beriman dengan sejati); bisa jadi kafir yang mengeluarkannya dari Islam, atau kafir yang lebih rendah lagi dari itu (kafir asli, yang tidak pernah masuk Islam, pen blog).
KeduaLapang dadanya dengan hukum Rasul, dimana mereka tidak merasakan sempit dada terhadap keputusan Beliau, akan tetapi mereka menerima dengan lapang dada terhadap apa yang diputuskan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
KetigaMenerima secara totalitas, dan penerimaan ini ditegaskan dengan masdhar (kata dasar), yang bermakna dengan penerimaan yang sempurna, tanpa reserve.
Berhati-hatilah wahai kaum muslimin, jangan sampai iman lenyap dari dadamu tanpa disadari.
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
Sebagai contoh;  Ada dua orang yang berdebat tentang suatu hukum syar'i.  Salah seorang dari mereka berdalil dengan Sunnah - tetapi orang yang kedua menyikapinya dengan sempit dada dan berkata, "Bagaimana mungkin saya akan meninggalkan (pendapat) imam saya dengan mengikuti Sunnah ini?"
Jelas orang yang kedua ini imannya kurang, karena seorang mukmin yang benar (lurus aqidahnya) jika menemukan dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka dia akan sangat berbahagia, seolah-olah dia telah mendapatkan harta rampasan perang yang sangat berharga, lalu dia akan berkata, "Segala puji bagi Allah Yang telah memberiku petunjuk kepada hal (jalan) ini."
Sementara di sana ada orang yang fanatik buta terhadap pendapatnya (gurunya), dia berusaha "memelintir" dalil agar sesuai dengan apa yang diinginkan meski bertentangan dengan keinginan Allah dan Rasul-Nya.  Orang yang demikian ini berada dalam bahaya besar.

Iradah  (kehendak) Allah itu terbagi menjadi 2 (dua);
PertamaIradah Kauniyah, Iradah ini adalah sinonim dari Masyi'ah, maka  أراد  /  "Araada"  (kehendak) berarti,  شاء  /  "syaa-a"  (menghendaki atau menginginkan),  Iradah ini mengandung arti;
A.  Kehendak Allah ini berkaitan dengan apa yang dicintai maupun yang tidak Allah cintai.
Berdasarkan hal ini, jika ada yang bertanya, "Apakah Allah menginginkan kekufuran?"  Maka jawabannya adalah, "Iya."  Jika yang dimaksud adalah Iradah Kauniyah, karena jika Allah tidak menginginkannya, niscaya hal itu tidak akan pernah terjadi.
B.  Mengharuskan terjadinya apa-apa yang diinginkan Allah, artinya setiap yang diinginkan Allah pasti terjadi - tidak boleh tidak.
KeduaIradah Syar'iyah, ia merupakan sinonim dari Mahabbah (kecintaan).  Maka,  أراد  /  "Araada"  (menginginkan) berarti  أحب  /  "Ahabba"  (mencintai), di dalamnya terkandung;
1.  Khusus terhadap apa-apa yang dicintai Allah saja;  Maka, Allah tidak menginginkan  (dari sisi Iradah Syar'iyah)-Nya kekufuran dan kefasikan.
2.  Apa yang diinginkan Allah ini tidak mesti terjadi, artinya Allah menginginkan sesuatu secara syar'i,  dan itu tidak mesti terjadi.  Dia ingin semua manusia menyembah-Nya, tetapi apa yang diinginkan-Nya ini tidak mesti terwujud seluruhnya, sehingga ada manusia yang menyembah-Nya, dan ada pula yang tidak mau menyembah-Nya, lain halnya dengan Iradah Kauniyah (pasti terjadi, tidak boleh tidak).
Jadi, perbedaan antara dua Iradah ini terdapat pada dua sisi;
1.  Iradah Kauniyah mesti terjadi, sedangkan Iradah Syar'iyah tidak mesti terjadi.
2.  Iradah Kauniyah bersifat umum (luas) terjadi pada apa-apa yang Allah cintai maupun yang tidak dicintai-Nya, sedangkan Iradah Syar'iyah terjadi hanya pada apa-apa yang Allah cintai saja.
Jika ada yang bertanya, "Kenapa Allah menginginkan secara Kauniyah apa yang tidak dicintai-Nya?  Artinya, kenapa Dia menginginkan kekufuran, kefasikan, kemunafikan dan berbagai maksiat lain - sementara Dia tidak mencintainya?"
Dapat dijawab sebagai berikut;
Hal itu dibenci Allah dari satu sisi, tetapi dicintai-Nya dari sisi yang lain.  Ia dibenci karena merupakan kedurhakaan pada-Nya, tetapi dicintai karena terkandung keselamatan yang besar terhadap hamba-hamba-Nya yang lain, agar mereka bisa membedakan al-haq dan al-bathil, disamping sebagai ujian.
Bukanlah hal yang mustahil, bahwa sesuatu itu dibenci Allah pada satu sisi, sekaligus dicintai-Nya dari sisi yang lain.  Ia dibenci karena merupakan kedurhakaan, dan dicintai karena mengandung keselamatan yang besar pada hamba-hamba-Nya yang lain - bahkan tidak jarang bagi diri pelaku maksiat itu sendiri (bila diiringi dengan taubat nashuha, dan memperbaiki diri, pen blog.).
Tidak mustahil ada sesuatu yang dicintai dari satu sisi, dan dibenci dari sisi yang lainnya.
Ada seorang bapak yang membawa anak kesayangannya yang merupakan buah hatinya untuk berobat kepada seorang dokter.  Lalu dokter tersebut memutuskan untuk mengamputasi (memotong) bagian tertentu dari tubuh anak tersebut demi keselamatan hidupnya.  Begitu sayangnya bapak itu terhadap anaknya, seandainya ada orang lain yang menyakitinya sedikit saja, niscaya bapak itu akan menyerangnya.  Akan tetapi terhadap dokter dia menyerahkan anaknya untuk disayat-sayat (dipotong), dia menyerahkan anaknya "bulat-bulat" dengan keyakinan penuh kepada dokter tersebut.  Mengapa dia rela berbuat demikian?  Jawabannya;  Dari satu sisi bapak itu tidak menginginkan anaknya "disakiti".   Tapi dari sisi lain dia melihat ada kemashlahatan besar (kesembuhan) yang akan diperoleh anaknya dibalik semua itu.
Ada dua manfaat yang kita dapatkan dari segi perilaku dan pengetahuan tentang Iradah Allah Subhanahu wa Ta’ala;
Pertama;  Hendaklah kita menggantungkan harapan, ketakutan, seluruh keadaan dan amalan kita kepada Allah saja, karena sesuatu itu akan terjadi hanya dengan Iradah-Nya semata.  Hal ini menunjukkan realisasi dari sikap tawakal kita.
Kedua;  Hendaklah kita senantiasa melakukan apa yang diinginkan Allah secara syar'i.  Jika anda mengetahui apa yang dicintai dan diinginkan Allah secara syar'i, maka hal itu akan memperkuat (menambah) semangat anda untuk melakukannya, meskipun akan dibenci oleh manusia lain.
Inilah faidah secara Ilmiyah Iradah Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segi perilaku makhluk-Nya.  Yang pertama dari sisi Iradah Kauniyah, dan yang kedua dari sisi Iradah Syar'iyah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga Allah 'Azza wa Jalla memberikan Hidayah Taufiq kepada kita untuk memahami dan mengamalkan segala keinginan-Nya yang syar'i terhadap manusia.
Wabillahittaufiq.

oOo

(Disadur dari kitab, "BUKU INDUK AQIDAH ISLAM", Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Pust. Sahifa, 2011)

Kamis, 12 Desember 2019

DO'A KELUAR RUMAH


بسم الله الر حمان الر حيم

Berdo'a dan selalu mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kunci segala kebaikan, yang akan diperoleh seseorang baik selagi di dunia - apalagi di akhirat kelak, pencegah segala bentuk keburukan, mendatangkan berbagai manfaat dan menolak datangnya bahaya (mudharat).
Oleh karena itu, hendaklah orang-orang yang beriman (mukmin) membaca do'a ini sebelum keluar dari rumah dan memulai berbagai aktivitasnya;

بسم الله  توكلت على الله   لاحول ولاقوة الا بالله
"Bismillahi  tawakkaltu 'alaa Allahi  Laa haula wa laa quwwata illaa billahi"
"Dengan Nama Allah (aku keluar).  Aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah."  (HR.  Abu Daud dan At-Tirmidzi)

oOo

Rabu, 11 Desember 2019

TAWAKAL


بسم الله الر حمان الر حيم

"Bila seseorang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, seandainya dia diperintahkan oleh Allah untuk memindahkan sebuah gunung, niscaya dia akan mampu melakukannya."
(Ibnu Qayyim rahimahullah)

Para 'ulama mendefinisikan tawakal yakni;
"Bersandar (menyerah) dengan kebenaran kepada Allah, dalam menggapai manfaat dan menolak mudharat disertai dengan keyakinan kepada Allah, dengan tetap melakukan sebab-sebab yang telah diatur oleh syariat  (sebab-sebab yang Shohih / halal)."
Bersandar dengan benar artinya, engkau benar-benar bersandar kepada-Nya semata, tidak memohon pertolongan kecuali kepada Allah, tidak berharap kecuali kepada Allah, tidak takut kecuali kepada Allah.  Engkau bersandar kepada Allah untuk meraih manfaat dan menolak segala mudharat.  Sekedar bersandar saja tidaklah cukup tanpa didukung oleh keyakinan yang penuh kepada-Nya, serta melakukan sebab-sebab yang diidzinkan (halal) secara bersungguh-sungguh (bersemangat).
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز
"...'Ihrish 'alaa maa yanfa'uka wa asta'in billahi wa laa ta'jaz'...

"Bersemangatlah terhadap apa-apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah perlindungan (pertolongan) kepada Allah, dan janganlah kamu malas."
Barangsiapa yang tidak bersandar kepada Allah - hanya mengandalkan diri sendiri, maka pada saatnya nanti pasti akan menemui kegagalan.  Oleh karenanya, sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bertawakal kepada Allah, tidak bersandar pada kemampuan, kepintaran, kekuatan, dan sebab-sebab lainnya.  Meyakini, bahwa tidak akan ada yang mampu mewujudkan semua sebab (hasil / musabab / akibat) tersebut selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sebuah pelajaran penting yang terjadi pada para Sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sewaktu perang Hunain, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman  (artinya),
"Sesungguhnya Allah telah menolong kalian di medan peperangan yang banyak, dan ingatlah peperangan Hunain, yaitu ketika kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah  kalian."  (At-Taubah;  25)
Dimana, sebelum berperang mereka sesumbar,  "Pada hari ini kita tidak akan kalah oleh tentara musuh yang sedikit."
"Maka, jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu,  kemudian kalian lari ke belakang dengan tercerai-berai.  Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman.  Dan Allah menurunkan bala tentara yang kalian tiada melihatnya."  (At-Taubah;  25-26)
Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, tetapi tidak melakukan sebab-sebab yang diidzinkan (halal), maka tawakalnya tidaklah benar, justru tidak melakukan sebab-sebab merupakan kebodohan akal dan kekurangan dalam agamanya, karena itu merupakan pelecehan yang nyata terhadap hikmah Allah.  Demikian pula dengan orang-orang yang melakukan sebab-sebab yang tidak diizinkan (haram), kemudian ia berasumsi telah bertawakal kepada Allah.  Maka tawakal seperti itu hanya angan-angan kosong yang tidak bermanfaat, dan siksa Allah sebagai balasannya.
Bertawakal kepada Allah adalah separuh dari Agama, dan separuhnya lagi adalah inaabah (kembali kepada Allah dengan berbagai keta'atan), sebagaimana firman Allah
ءاياك نعبد و ءاياك نستعين
"Iyyaa ka na'budu wa Iyyaa ka nasta'iyn"
"Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan."  (Al-Fatihah:  5)
Memohon pertolongan (ketundukan) kepada Allah merupakan buah dari tawakal.
Di dalam shalat, ketika seseorang mengucapkan, "Iyyaa ka na'budu wa Iyyaa ka nasta'iyn," Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjawab dengan, "Inilah bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku."
Perkataan Al-Imam Ibnu Qayyim, "Tawakal itu merupakan separuh dari agama, sedangkan separuhnya lagi adalah Inaabah (kembali kepada Allah)."
Perkataan ini menjelaskan, bahwa tawakal merupakan Al-Isti'anah (memohon pertolongan kepada Allah), dan Al-Inaabah adalah kembali kepada Allah dengan berbagai ketaatan.  Karena tujuan pokok (baca; nomor satu) penciptaan makhluk adalah untuk beribadah kepada-Nya, maka bila dikaitkan dengan permohonan, "Iyyaa ka na'budu wa Iyyaa ka nasta'iyn"  (Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan), berarti ia telah memohon pertolongan kepada Allah untuk beribadah kepada-Nya, karena tanpa pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala - ibadah secara hakiki tidak akan pernah terwujud.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar bertawakal kepada-Nya,
فاعبده و توكل عليه
"Fa'bud'-hu wa tawakkal 'alaihi"
"Maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. "  (Hud;  123)
Tawakal adalah ibadah hati.  Orang-orang yang bertawakal secara benar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan bersandar kepada sebab-sebab.  Melainkan menyerahkan (menyandarkan) semua urusan secara sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, meski dia menyadari bahwa melaksanakan sebab itu wajib hukumnya, dan mengetahui pula bahwa Allah akan menolongnya.
Oleh sebab itu, tawakal yang benar pasti akan membuahkan ketundukan dan kejujuran seseorang terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, disamping amalan-amalan mulia lainnya, seperti rasa takut (khauf), harap (raja'), cinta (mahabbah), ikhlash, dan ridha pada-Nya.  Ridha kepada Allah sebagai Rabb, dan ridha atas segala ketentuan takdir-Nya (baik atau buruk).
Kata tawakal diambil dari kata,  وكل  / "Wakkala", yang berarti menyerahkan suatu permasalahan kepada-Nya.  Menyerahkan segala urusan kepada Allah agar selamat dari segala keburukan (fitnah) dunia dan akhirat.
Jadi, tawakal ini adalah salah satu bentuk amalan hati.
Bertawakal kepada manusia berarti menyerahkan urusan kepada mereka.
Keadaan orang-orang yang bertawakal kepada selain Allah tidak akan lepas dari 3 (tiga) kemungkinan;
PertamaDia bertawakal secara penuh kepadanya.  Ini merupakan syirik besar, seperti dia meyakini bahwa apa yang dia jadikan sebagai tempat bertawakal adalah orang yang mendatangkan kebaikan baginya dan menolak mudharat yang datang kepadanya,  lalu dia menyerahkan segala urusan kepadanya dalam meraih kebaikan dan menolak mudharat disertai rasa takut dan harap.  Sama saja, apakah tempat dia menggantungkan tawakal tersebut benda hidup atau benda mati, karena penyerahan urusan seperti ini tidak diperbolehkan, kecuali hanya kepada Allah.
Kedua;  Bertawakal dengan sedikit bersandar kepada selain Allah, dia tetap meyakini bahwa orang itu hanya sebagai sebab, dan segala urusan berada di Tangan Allah, seperti tawakalnya kebanyakan manusia kepada raja dan pemimpin dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.  Tawakal jenis ini adalah salah satu bentuk syirik kecil.
Ketiga;  Bertawakal kepada seseorang karena dia adalah pengganti dirinya, dia tetap berposisi di atas pengganti tersebut, seperti seseorang yang mengandalkan orang lain dalam perkara jual-beli dan perkara-perkara lain yang mungkin digantikan.  Tawakal semacam ini diperbolehkan, tidak berseberangan dengan tawakkal kepada Allah.  Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyerahkan urusan jual-beli dan lain-lain kepada para Sahabat Beliau.
Di dalam Al-Qur'an disebutkan ayat yang maknanya,
"Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup Kekal Yang tidak mati."
Timbul pertanyaan, kenapa bunyi ayatnya bukan, "Dan bertawakallah kepada Allah Yang Mahakuat lagi Maha Perkasa?"  Karena kekuatan dan keperkasaan sepertinya lebih sesuai di dalam ayat ini.
Jawabannya adalah;  Tatkala manusia menjadikan makhluk (berhala-berhala) sebagai tempat tawakal (sandaran) selain Allah, maka orang-orang musyrik tersebut tak ubahnya seperti orang yang telah mati, sebagaimana disebutkan dalam makna firman-Nya,
"Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, mereka tidak mampu berbuat sesuatu apa pun, sedangkan berhala-berhala itu dibuat orang.  (Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup, dan berhala-berhala (itu) tidak mengetahui kapankah para penyembahnya akan dibangkitkan."  (An-Nahl;   20-23)
Berdasarkan konteks ayat di atas, seakan-akan Allah mengatakan, "Bertawakallah kepada Allah, Dzat Yang Sifat-Sifat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat berhala tersebut, yaitu, Allah Maha Hidup dan tidak mati."
Di tempat lain Allah berfirman  (artinya),
"Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang."  (Asy-Syu'ara;  217), karena Keperkasaan di sini lebih sesuai.
Alasan lain, bahwa Nama Al-Hayyu (Yang Maha Hidup) mengandung seluruh sifat-sifat kesempurnaan dalam kehidupan, dan termasuk dalam kesempurnaan Hidup-Nya adalah, bahwa Dia layak menjadi tempat bertawakal.
Mengenai firman-Nya,  لا يموت / "Laa yamuwtu"  /  "Yang tidak mati", yakni tidak mati karena kesempurnaan kehidupan-Nya, jadi keterkaitannya dengan kalimat sebelumnya bertujuan untuk memberi keterangan bahwa kehidupan di sini adalah Kehidupan Abadi dan Sempurna, tidak disisipi oleh kefanaan sebesar dzarrah pun.
Nama Allah Al-Hayyu (Yang Maha Hidup) - mengandung sifatnya yaitu Al-Hayat (Kehidupan).  Dan dinafikan (ditiadakan) dari-Nya kematian, karena kesempurnaan Hidup-Nya.  Jadi, ayat ini menetapkan dua sifat sekaligus dalam satu Nama Allah.

BEBERAPA FAIDAH TAWAKAL (Syaikh Shalih bin Abdullah Al-Fauzan);
1. Tawakal kepada Allah adalah ibadah yang wajib, termasuk seagung-agungnya ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.
2. Bertawakal kepada selain Allah pada perkara-perkara yang hanya mampu dipenuhi oleh Allah - seperti mendapatkan rezeki, jodoh, menolak mudharat dan lain-lain termasuk Syirik Akbar, misalnya bertawakal kepada para Malaikat, Nabi, Jin, dan orang-orang shalih yang telah meninggal (kuburan), dukun (peramal nasib), dan lain-lain.
3. Tawakal kepada Allah merupakan syarat syahnya iman seseorang.
4. Iman itu dapat bertambah dan berkurang.  Bertambah dengan ketaatan - dan berkurang dengan kemaksiatan.
5. Wajib untuk menempuh sebab-sebab yang masyru'ah (yang telah ditetapkan Syari'at) sebelum bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

oOo

(Disadur bebas dari kitab,  "Syarhu Al-Aqidah Al-Wasithiyah", Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syarah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin")

Minggu, 08 Desember 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (47)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan urusan Akhirat adalah orang-orang yang beruntung.
Orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan urusan dunia adalah orang-orang yang akan binasa.
Dan, orang-orang yang menyibukkan dirinya untuk keduanya (Dunia dan Akhirat) adalah orang-orang yang dikhawatirkan keselamatannya."

(Yahya bin Muadz Ar-Razi rahimahullah)


oOo 

Sabtu, 07 Desember 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (46)


بسم الله الر حمان الر حيم 


"Sungguh!  Siapa yang bertakwa kepada Allah - Allah akan melindunginya.  Siapa yang bertawakal kepada-Nya - Allah akan mencukupinya.  Siapa yang berniaga dengan-Nya  (mengorbankan kehidupan dunia untuk-Nya) - Allah akan membalasnya.  Siapa yang bersyukur kepada-Nya - Allah pasti akan menambah nikmat-Nya.
Jadikanlah takwa sebagai sandaran amalanmu. 
Jadikanlah takwa sebagai kilauan kalbumu."

(Surat Umar bin Khaththab radhiyallahu 'Anhu kepada puteranya, Abdullah bin Umar radhiyallahu, Tarikh Dimasyq, Ibnu Asakir rahimahullah)

oOo