Rabu, 25 Desember 2019

KAITAN ANTARA JIWA DENGAN QALBU


بسم الله الر حمان الر حيم

"Sesungguhnya jiwa itu satu.  Akan tetapi jiwa itu memiliki berbagai sifat, sehingga ia diberi nama berdasarkan sifat-sifat yang melekat padanya."
(Ar-Ruh, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)

A.  JIWA
Di dalam Al-Qur'an Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati jiwa-jiwa manusia dengan 3 (tiga) kriteria berikut;
1. Jiwa Muthma'innahu
2. Jiwa Ammarah bis-suu'.
3. Jiwa Lawwaamah.

1.  Jiwa Muthma'innahu
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
"Hai jiwa yang tenang  (Al-Muthma'innahu), kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.  Masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku.  Masuklah ke dalam Surga-Ku."
(QS. Al-Fajr;  27-30)
Jadi, jiwa yang Muthma'innahu adalah jiwa yang tenang dan tenteram menuju Rabb-nya, tenteram dengan berdzikir pada-Nya, kembali kepada-Nya dengan berbagai keta'atan (Inaabah), rindu untuk berjumpa dengan-Nya, dan tenang ketika dekat dengan-Nya.  Jiwa yang demikianlah yang dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saat wafatnya.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan ayat di atas, "Maksudnya yang membenarkan."
Qatadah rahimahullah mengatakan, "Jiwa yang tenteram dengan janji-janji Allah Subhanahu wa Ta’ala."
Hakikat ketenteraman adalah ketenangan dan kemapanan (mantap, pen blog.).
Dia tenang menuju Rabb-nya dan ta'at kepada-Nya, menuruti segala perintah-Nya, dan terus-menerus mengingat-Nya.  Dia tenteram dengan perintah-Nya, larangan-Nya, dan berita-berita dari-Nya.
Ia pun tenteram dengan memahami dan mengimani hakikat Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.
Tenteram dan ridha kepada Allah sebagai Rabb, Islam sebagai Agama  (Jalan hidup, pen blog.), dan Muhammad sebagai Rasul.
Tenteram dengan Qadha' dan Qadhar-Nya.
Tenteram dengan perlindungan dan jaminan dari-Nya.
Jiwa tersebut tenteram dengan keyakinan, bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb (Yang Menciptakan, Yang Memiliki, Yang Mengatur, Yang Menentukan Hukum, Yang memberikan pahala dan dosa, Yang Memberikan Berbagai Nikmat, Yang Menghidupkan dan Mematikan), dan ia juga meyakini, bahwa dirinya tidak akan bisa lepas sekejap mata pun dari-Nya.

2.  Jiwa Ammarah bis-suu'
Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan dengan makna firman-Nya,
"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku.  Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (QS. Yusuf;  53)
Ammarah bis-suu', yakni jiwa yang kerap memerintahkan (qalbu) pada keburukan.
Jadi, jiwa ini memiliki sifat yang berlawanan dengan Jiwa Muthma'innahu, karena jiwa ini memerintahkan kepada qalbu sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.  Nafsu yang melampaui batas, mengikuti yang bathil.  Ia menjadi tempat mangkalnya berbagai keburukan.  Maka, bila pemiliknya mengikuti jiwa tersebut, ia akan memerintahkan qalbu (hati nurani)nya pada setiap keburukan.

3.  Jiwa Lawwaamah
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah tentangnya,
"Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri  (Al-Lawwaamah)."  (QS Al-Qiyaamah;  2)
Sa'id Ibnu Jubair rahimahullah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, "Apa yang dimaksud dengan Lawwaamah?"
Beliau menjawab, "Yakni jiwa yang selalu mencela dirinya."
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengatakan, "Setiap jiwa akan mencela dirinya pada Hari Kiamat.  Jiwa yang baik akan mencela dirinya karena tidak memperbanyak berbuat kebaikan.  Adapun jiwa yang buruk mencela dirinya karena tidak kembali (berubah / bertaubat, pen blog.) dari keburukannya."
Al-Hasan rahimahullah juga pernah mengatakan, "Sesungguhnya seorang mukmin - Demi Allah - engkau tidak akan melihat melainkan dia mencela dirinya dalam setiap kondisi.  Ia menganggap (dirinya) kurang dalam segala kondisi.  Ia menganggapnya kurang dalam segala hal yang (pernah) diperbuatnya, sehingga ia menyesali dan mencela dirinya.
Adapun orang yang jahat, dia akan terus berlalu tanpa mencela dirinya."
(Ighatsatul Lahafan)

Berkata Ibnu Qayyim rahimahullah,
"Boleh jadi jiwa itu terkadang menjadi Jiwa yang Ammarah bis-suu', terkadang menjadi Jiwa yang Lawwaamah, dan terkadang menjadi Jiwa yang Muthma'innahu.  Bahkan, dalam waktu yang bersamaan, penilaian ada pada yang mendominasi (menguasai)nya.
Sifat Muthma'innahu adalah terpuji, sedangkan Ammarah bis-suu' adalah tercela.  Adapun pada Jiwa Lawwaamah terkadang keduanya - pujian dan celaan - tergantung pada jiwa itu sendiri apa yang disesali dan dicelanya."


KEUTAMAAN JIWA YANG SUCI
Jiwa yang Suci adalah karunia yang teramat besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Jiwa inilah yang pantas meraih Surga-Nya.
Makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Adapun orang-orang yang takut terhadap kebesaran-Nya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya Surga-lah tempat tinggalnya."  (QS. An-Nazi'at;  40-41), dan
"(Yaitu) Surga 'Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya.  Demikianlah balasan bagi orang-orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan)."  (QS. Thaha;  76), dan
"Sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. "  (QS. Asy-Syams;  9-10), dan
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri  (dengan beriman), dan dia ingat Nama Rabb-nya lalu dia beribadah."  (QS. Al-A'la;  14-15)
As-Sa'di rahimahullah berkata,
"Sungguh, telah menang dan beruntung orang yang mensucikan dan membersihkan jiwanya dari (berbagai bentuk, pen blog.) kesyirikan, kezhaliman, dan akhlak yang buruk."
Kesucian yang dia upayakan itu akan kembali kepada dirinya sendiri.  Karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman  (artinya),
"Barangsiapa yang mensucikan dirinya,  sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri, kepada Allah-lah kembali(mu)."  (QS. Fathir;  18)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
"Maksudnya, barangsiapa yang beramal shalih, manfaatnya akan kembali kepada dirinya."  (Tafsir Ibnu  Katsir)
As-Sa'di rahimahullah menafsirkan,
"Barangsiapa yang mensucikan dirinya dengan membersihkannya dari aib, seperti Riya,  Sombong (menolak kebenaran dan merendahkan manusia, pen blog.), Dusta, Curang, Makar, Menipu, Kemunafikan, akhlak yang hina dan sejenisnya.  Lalu, ia menghiasi dirinya dengan berbagai akhlak yang mulia seperti Jujur, Ikhlas, Tawadhu', Lemah-lembut, Suka menasihati sesama, membersihkan dadanya dari sifat iri, dengki, dan akhlak buruk lainnya.  Manfaat penyucian diri itu akan kembali pada dirinya sendiri.  Tujuannya akan menyasar pemilik jiwa tersebut.  Amalan itu tidak akan hilang meskipun sebesar dzarrah.
Sementara itu jiwa yang kotor sepantasnya ditempatkan di Neraka,
وقد خاب من دسها
"Wa qad' khaaba man dassaahaa"
"Sesungguhnya, merugilah orang yang mengotorinya."  (QS. Asy-Syams;  10)
As-Sa'di rahimahullah mengatakan,
"Maksudnya, mengotori dengan akhlak yang rendah, mendekatkannya kepada aib, melakukan dosa-dosa, meninggalkan sesuatu yang akan menyempurnakan dan membangunnya.  Serta melakukan sesuatu yang menjadikannya buruk dan kotor."
(Tafsir As-Sa'di)

"Perhatikanlah bagaimana nasib jiwa yang tidak dikaruniai kebaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Sesungguhnya, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab, dan menjualnya dengan harga yang sedikit  (dunia).  Mereka itu sebenarnya tidak memasukkan  (menelan) ke dalam perutnya kecuali api.  Dan, Allah tidak akan berbicara pada mereka pada Hari Kiamat, tidak akan mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang sangat pedih."  (QS. Al-Baqarah;  174)
 Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mensucikan mereka dari akhlak yang rendah (hina), dan mereka tidak memiliki amal shalih yang pantas untuk dipuji, diridhai, dan diberi balasan yang terbaik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berkehendak mensucikan mereka - karena mereka sendiri yang melakukan ketidak-sucian tersebut  (melakukan berbagai perbuatan kotor).
Di antara penyebab kesucian yang terbesar adalah mengamalkan Kitabullah, mengikuti bimbingannya, dan mengajak manusia kepadanya.  Sedangkan mereka justru menyingkir dari Kitabullah, berpaling darinya, lebih memilih kesesatan daripada petunjuk, dan memilih siksa daripada ampunan.  Tidak ada tempat yang pantas bagi mereka selain Neraka.  Bagaimana mereka akan (sanggup) bersabar dari Neraka, dan menahan siksanya?"  
(Tafsir As-Sa'di)

B.  QALBU
Kata "Qalbu" (Qalbun) dalam bahasa Arab bermakna jantung, yang berada di rongga dada.  Sedangkan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai "hati".  Hati yang dimaksud di sini adalah "hati nurani", bukan organ hati yang terdapat dalam rongga perut manusia.
Kata qalbu ini sebaiknya ditulis dengan huruf  "Q" (Qaf), bukan dengan huruf "K" (Kaf).  Karena bila ditulis dengan "K" (Kalbu) - maka maknanya dalam bahasa Arab adalah anjing (Kalbun), (saran penulis Blog).

Begitu besar bahaya yang bisa ditimbulkan bila qalbu (hati nurani) manusia telah rusak, benar-benar akan membuat seluruh amalannya menjadi rusak.
Demikian pula sebaliknya, bila qalbu itu baik - akan membuat seluruh amalnya menjadi baik.
Qalbu ini dipengaruhi (dikendalikan) sepenuhnya oleh jiwa - secara langsung sedemikian rupa, sehingga bila jiwa seseorang itu baik - akan baik pula qalbunya (hati nurani).  Dan, bila jiwa itu buruk - akan buruk pula qalbu (hati)nya.
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, "Sesungguhnya, semua penyakit qalbu berasal dari jiwa.  Segala bentuk benih kerusakan akan tertuang ke dalam qalbu (hati), kemudian dari qalbu tersebut menjalar ke seluruh anggota tubuh.  Qalbu (hati) adalah organ pertama yang terkena imbasnya..."  (Ighatsatul Lahafan, hal. 82)
Oleh sebab pengaruh dari jiwa tersebut, maka qalbu manusia dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam;
1.  Qalbu yang Selamat, Sehat, dan Hidup.
2.  Qalbu yang Sakit.  Ia tetap hidup, namun berpenyakit.
3.  Qalbu yang Mati.

1.  Qalbu yang Selamat
Qalbu yang Selamat, Hidup, dan Sehat disebut juga Al-Qalbu As-Salim.  Qalbu yang Selamat adalah qalbu yang selamat dari;
* Selamat dari segala nafsu yang menyelisihi setiap perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
* Selamat dari segala syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran) yang bertentangan dengan berita-berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
* Selamat dari peribadatan kepada selain-Nya, dan selamat pula dari berhukum kepada selain hukum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ibadahnya murni untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik Niat, Kehendak, Tawakal, Cinta, Taubat, Tunduk-patuh,  Takut, dan Harap.
Amal-ibadahnya pun semata-mata hanya dari Allah dan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila dia membenci, maka kebenciannya karena Allah.  Bila dia memberi, maka dia memberi karena Allah, dan tidak memberi pun juga karena Allah.  Bahkan tidak berhenti sampai di situ, ia bertekad sampai selamat dari berhukum kepada siapa pun selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.  Hingga qalbunya meyakini dengan keyakinan yang kokoh untuk menjadikan Beliau sebagai satu-satunya Uswah (Suri tauladan), tidak pada selain itu, siapa pun dia, baik dalam hal perkataan maupun perbuatan (amal), dalam urusan dunia maupun Akhiratnya.

2. Qalbu yang Sakit
Qalbu jenis ini tetap hidup, namun berpenyakit.
Hati ini memiliki 2 (dua) unsur.  Sesekali unsur kehidupan yang mengisinya, dan pada kesempatan lain unsur penyakit.  Qalbu jenis ini bergantung pada unsur mana yang mendominasinya.
Ada padanya rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, keimanan terhadap-Nya, keikhlasan, serta tawakal.  Hal ini menjadi unsur yang menghidupkannya.  Tetapi ada pula kecintaan terhadap syahwat, mendahulukannya daripada kebenaran, serta semangat memprioritaskannya.
Di samping itu, ada pula sifat dengki, sombong, berbangga diri, merendahkan orang lain, berbuat kerusakan di muka bumi menggunakan kekuasaannya.  Semua itu merupakan hawa nafsu yang menghancurkan dirinya.
Jadi, jenis qalbu ini diuji dengan 2 (dua) penyeru;
a. Penyeru yang mengajaknya kepada seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta negeri Akhirat.
b. Penyeru yang mengajaknya kepada selain Allah dan Rasul-Nya serta dunia.

Dia menyambut seruan yang paling dekat padanya, dan paling banyak pengikutnya  (Makna dari perkataan Ibnu Qayyim rahimahullah)

3. Qalbu yang Mati 
Ibnu Qayyim menyebutnya sebagai qalbu yang kering dan mati.
Adalah qalbu yang tidak memiliki unsur kehidupan di dalamnya.   Dia tidak mengenal Rabb-nya, tidak beribadah kepada-Nya dan perintah-perintah-Nya, hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya.
Ia senantiasa berdampingan dengan hawa nafsu dan kelezatannya, meskipun mengakibatkan kemurkaan dan kemarahan Rabb-nya, dia tidak peduli - asalkan syahwat dan keinginannya terpenuhi.

Dia telah menghambakan diri pada selain Allah, dengan cinta, takut, harap, ridha, pengagungan, serta menghinakan diri pada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila dia mencintai, maka cinta itu demi hawa nafsunya.  Bila membenci,  maka rasa bencinya didasarkan pada hawa nafsu (amarah).  Demikian pula bila dia memberi atau tidak memberi adalah karena hawa nafsunya.
Hawa nafsunya lebih dicintai dan didahulukan daripada Rabb-nya.  Hawa nafsu menjadi pemimpin dan pembimbingnya.  Kebodohan menjadi pengemudinya.  Kelalaian terhadap Akhirat menjadi tunggangannya.
Seluruh pemikirannya tenggelam dalam berbagai kepentingan untuk meraih manfaat duniawi.
Dari kejauhan dia diseru kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun dia tidak mempedulikan seruan tersebut.  Dia lebih suka mengekor di belakang setiap syaithan yang durhaka, baik syaithan dari kalangan Jin maupun Manusia.
Keduniaanlah yang mendorong kecintaan dan kebenciannya.  Nafsulah yang membuatnya buta dan tuli terhadap kebenaran.
Berbaur dengan pemilik qalbu jenis ini adalah penyakit, dan bergaul dengan mereka bagaikan meminum racun.  (Makna perkataan Ibnu Qayyim dalam Ighatsatul Lahafan)
Pemilik qalbu jenis ini tidak akan selamat, sedangkan pemilik qalbu yang sakit dekat pada kehancuran.  Sehingga, tidak ada yang benar-benar selamat pada Hari Kiamat selain pemilik qalbu yang Salim,  yang datang menemui Allah Subhanahu wa Ta’ala dengannya,
يو م لا ينفع مال ولا بنون إلا من أتى الله  بقلب سليم
"Yauma laa yanfa'u maa lun wa laa banuuna illaa man ataa Allaha biqalbin Saliimi."
"(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tiada berguna, melainkan orang-orang yang menghadap Allah dengan qalbu yang bersih."  (QS. Asy-Syu'ara;  88-89)
Oleh karena itu pulalah Nabiyullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a;
اللهم  إني أسألك الثبات في الأمر والعزيمة على الرشد وأسألك شكرنعمتك وحسن عبادتك وأسألك قلبا سليم ولسانا صادقا  وأسألك من خير ماتعلم واعوذبك من  شرماتعلم واستغفرك لماتعلم 
"Allahumma inniy as-aluka ats-tsabaata fiy al-amri wa al-'aziimata 'alaa ar-rusydi  wa as-aluka syukra ni'matika  wa husna 'ibaadatika  wa as-aluka qalban saliyman wa lisaanan shaadiqan  wa as-aluka min khairi maa ta'lamu  wa a'uudzubika min syarrimaa ta'lamu   wa as-tagfiruka limaa ta'lamu" 

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kekokohan dalam Agama ini, dan agar bertekad untuk senantiasa terbimbing.   Aku juga memohon agar bersyukur atas nikmat-Mu, kebaikan dalam beribadah kepada-Mu.  Aku memohon kepada-Mu qalbu yang selamat dan lisan yang jujur.  Aku memohon kepada-Mu dari kebaikan yang Engkau ketahui, serta berlindung kepada-Mu dari keburukan yang Engkau ketahui, dan aku memohon ampunan atas dosa yang Engkau ketahui."  (Shahih HR. An-Nasa'i, lihat Ash-Shahihah no. 3228)
Sudah semestinya sangat pantas bagi kita untuk menghafalnya, dan senantiasa memanjatkannya ke hadirat Allah Subahanahu wa Ta’ala.
Al-Hasan rahimahullah mengatakan,
"Obatilah qalbumu.  Sesungguhnya kebutuhan (kepentingan) Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba hanyalah dalam hal kebaikan qalbunya."
(Jami'ul Ulum wal Hikam)

oOo

(Disadur dari tulisan, "Hubungan Jiwa dengan Kalbu", Al-Ustadz Qomar Suaidi Lc,  Majalah Asy-Syariah, vol. VIII/no. 79/1433 H/2012 M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar