Rabu, 11 Desember 2019

TAWAKAL


بسم الله الر حمان الر حيم

"Bila seseorang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, seandainya dia diperintahkan oleh Allah untuk memindahkan sebuah gunung, niscaya dia akan mampu melakukannya."
(Ibnu Qayyim rahimahullah)

Para 'ulama mendefinisikan tawakal yakni;
"Bersandar (menyerah) dengan kebenaran kepada Allah, dalam menggapai manfaat dan menolak mudharat disertai dengan keyakinan kepada Allah, dengan tetap melakukan sebab-sebab yang telah diatur oleh syariat  (sebab-sebab yang Shohih / halal)."
Bersandar dengan benar artinya, engkau benar-benar bersandar kepada-Nya semata, tidak memohon pertolongan kecuali kepada Allah, tidak berharap kecuali kepada Allah, tidak takut kecuali kepada Allah.  Engkau bersandar kepada Allah untuk meraih manfaat dan menolak segala mudharat.  Sekedar bersandar saja tidaklah cukup tanpa didukung oleh keyakinan yang penuh kepada-Nya, serta melakukan sebab-sebab yang diidzinkan (halal) secara bersungguh-sungguh (bersemangat).
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز
"...'Ihrish 'alaa maa yanfa'uka wa asta'in billahi wa laa ta'jaz'...

"Bersemangatlah terhadap apa-apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah perlindungan (pertolongan) kepada Allah, dan janganlah kamu malas."
Barangsiapa yang tidak bersandar kepada Allah - hanya mengandalkan diri sendiri, maka pada saatnya nanti pasti akan menemui kegagalan.  Oleh karenanya, sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bertawakal kepada Allah, tidak bersandar pada kemampuan, kepintaran, kekuatan, dan sebab-sebab lainnya.  Meyakini, bahwa tidak akan ada yang mampu mewujudkan semua sebab (hasil / musabab / akibat) tersebut selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sebuah pelajaran penting yang terjadi pada para Sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sewaktu perang Hunain, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman  (artinya),
"Sesungguhnya Allah telah menolong kalian di medan peperangan yang banyak, dan ingatlah peperangan Hunain, yaitu ketika kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah  kalian."  (At-Taubah;  25)
Dimana, sebelum berperang mereka sesumbar,  "Pada hari ini kita tidak akan kalah oleh tentara musuh yang sedikit."
"Maka, jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu,  kemudian kalian lari ke belakang dengan tercerai-berai.  Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman.  Dan Allah menurunkan bala tentara yang kalian tiada melihatnya."  (At-Taubah;  25-26)
Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, tetapi tidak melakukan sebab-sebab yang diidzinkan (halal), maka tawakalnya tidaklah benar, justru tidak melakukan sebab-sebab merupakan kebodohan akal dan kekurangan dalam agamanya, karena itu merupakan pelecehan yang nyata terhadap hikmah Allah.  Demikian pula dengan orang-orang yang melakukan sebab-sebab yang tidak diizinkan (haram), kemudian ia berasumsi telah bertawakal kepada Allah.  Maka tawakal seperti itu hanya angan-angan kosong yang tidak bermanfaat, dan siksa Allah sebagai balasannya.
Bertawakal kepada Allah adalah separuh dari Agama, dan separuhnya lagi adalah inaabah (kembali kepada Allah dengan berbagai keta'atan), sebagaimana firman Allah
ءاياك نعبد و ءاياك نستعين
"Iyyaa ka na'budu wa Iyyaa ka nasta'iyn"
"Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan."  (Al-Fatihah:  5)
Memohon pertolongan (ketundukan) kepada Allah merupakan buah dari tawakal.
Di dalam shalat, ketika seseorang mengucapkan, "Iyyaa ka na'budu wa Iyyaa ka nasta'iyn," Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjawab dengan, "Inilah bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku."
Perkataan Al-Imam Ibnu Qayyim, "Tawakal itu merupakan separuh dari agama, sedangkan separuhnya lagi adalah Inaabah (kembali kepada Allah)."
Perkataan ini menjelaskan, bahwa tawakal merupakan Al-Isti'anah (memohon pertolongan kepada Allah), dan Al-Inaabah adalah kembali kepada Allah dengan berbagai ketaatan.  Karena tujuan pokok (baca; nomor satu) penciptaan makhluk adalah untuk beribadah kepada-Nya, maka bila dikaitkan dengan permohonan, "Iyyaa ka na'budu wa Iyyaa ka nasta'iyn"  (Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan), berarti ia telah memohon pertolongan kepada Allah untuk beribadah kepada-Nya, karena tanpa pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala - ibadah secara hakiki tidak akan pernah terwujud.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar bertawakal kepada-Nya,
فاعبده و توكل عليه
"Fa'bud'-hu wa tawakkal 'alaihi"
"Maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. "  (Hud;  123)
Tawakal adalah ibadah hati.  Orang-orang yang bertawakal secara benar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan bersandar kepada sebab-sebab.  Melainkan menyerahkan (menyandarkan) semua urusan secara sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, meski dia menyadari bahwa melaksanakan sebab itu wajib hukumnya, dan mengetahui pula bahwa Allah akan menolongnya.
Oleh sebab itu, tawakal yang benar pasti akan membuahkan ketundukan dan kejujuran seseorang terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, disamping amalan-amalan mulia lainnya, seperti rasa takut (khauf), harap (raja'), cinta (mahabbah), ikhlash, dan ridha pada-Nya.  Ridha kepada Allah sebagai Rabb, dan ridha atas segala ketentuan takdir-Nya (baik atau buruk).
Kata tawakal diambil dari kata,  وكل  / "Wakkala", yang berarti menyerahkan suatu permasalahan kepada-Nya.  Menyerahkan segala urusan kepada Allah agar selamat dari segala keburukan (fitnah) dunia dan akhirat.
Jadi, tawakal ini adalah salah satu bentuk amalan hati.
Bertawakal kepada manusia berarti menyerahkan urusan kepada mereka.
Keadaan orang-orang yang bertawakal kepada selain Allah tidak akan lepas dari 3 (tiga) kemungkinan;
PertamaDia bertawakal secara penuh kepadanya.  Ini merupakan syirik besar, seperti dia meyakini bahwa apa yang dia jadikan sebagai tempat bertawakal adalah orang yang mendatangkan kebaikan baginya dan menolak mudharat yang datang kepadanya,  lalu dia menyerahkan segala urusan kepadanya dalam meraih kebaikan dan menolak mudharat disertai rasa takut dan harap.  Sama saja, apakah tempat dia menggantungkan tawakal tersebut benda hidup atau benda mati, karena penyerahan urusan seperti ini tidak diperbolehkan, kecuali hanya kepada Allah.
Kedua;  Bertawakal dengan sedikit bersandar kepada selain Allah, dia tetap meyakini bahwa orang itu hanya sebagai sebab, dan segala urusan berada di Tangan Allah, seperti tawakalnya kebanyakan manusia kepada raja dan pemimpin dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.  Tawakal jenis ini adalah salah satu bentuk syirik kecil.
Ketiga;  Bertawakal kepada seseorang karena dia adalah pengganti dirinya, dia tetap berposisi di atas pengganti tersebut, seperti seseorang yang mengandalkan orang lain dalam perkara jual-beli dan perkara-perkara lain yang mungkin digantikan.  Tawakal semacam ini diperbolehkan, tidak berseberangan dengan tawakkal kepada Allah.  Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyerahkan urusan jual-beli dan lain-lain kepada para Sahabat Beliau.
Di dalam Al-Qur'an disebutkan ayat yang maknanya,
"Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup Kekal Yang tidak mati."
Timbul pertanyaan, kenapa bunyi ayatnya bukan, "Dan bertawakallah kepada Allah Yang Mahakuat lagi Maha Perkasa?"  Karena kekuatan dan keperkasaan sepertinya lebih sesuai di dalam ayat ini.
Jawabannya adalah;  Tatkala manusia menjadikan makhluk (berhala-berhala) sebagai tempat tawakal (sandaran) selain Allah, maka orang-orang musyrik tersebut tak ubahnya seperti orang yang telah mati, sebagaimana disebutkan dalam makna firman-Nya,
"Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, mereka tidak mampu berbuat sesuatu apa pun, sedangkan berhala-berhala itu dibuat orang.  (Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup, dan berhala-berhala (itu) tidak mengetahui kapankah para penyembahnya akan dibangkitkan."  (An-Nahl;   20-23)
Berdasarkan konteks ayat di atas, seakan-akan Allah mengatakan, "Bertawakallah kepada Allah, Dzat Yang Sifat-Sifat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat berhala tersebut, yaitu, Allah Maha Hidup dan tidak mati."
Di tempat lain Allah berfirman  (artinya),
"Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang."  (Asy-Syu'ara;  217), karena Keperkasaan di sini lebih sesuai.
Alasan lain, bahwa Nama Al-Hayyu (Yang Maha Hidup) mengandung seluruh sifat-sifat kesempurnaan dalam kehidupan, dan termasuk dalam kesempurnaan Hidup-Nya adalah, bahwa Dia layak menjadi tempat bertawakal.
Mengenai firman-Nya,  لا يموت / "Laa yamuwtu"  /  "Yang tidak mati", yakni tidak mati karena kesempurnaan kehidupan-Nya, jadi keterkaitannya dengan kalimat sebelumnya bertujuan untuk memberi keterangan bahwa kehidupan di sini adalah Kehidupan Abadi dan Sempurna, tidak disisipi oleh kefanaan sebesar dzarrah pun.
Nama Allah Al-Hayyu (Yang Maha Hidup) - mengandung sifatnya yaitu Al-Hayat (Kehidupan).  Dan dinafikan (ditiadakan) dari-Nya kematian, karena kesempurnaan Hidup-Nya.  Jadi, ayat ini menetapkan dua sifat sekaligus dalam satu Nama Allah.

BEBERAPA FAIDAH TAWAKAL (Syaikh Shalih bin Abdullah Al-Fauzan);
1. Tawakal kepada Allah adalah ibadah yang wajib, termasuk seagung-agungnya ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.
2. Bertawakal kepada selain Allah pada perkara-perkara yang hanya mampu dipenuhi oleh Allah - seperti mendapatkan rezeki, jodoh, menolak mudharat dan lain-lain termasuk Syirik Akbar, misalnya bertawakal kepada para Malaikat, Nabi, Jin, dan orang-orang shalih yang telah meninggal (kuburan), dukun (peramal nasib), dan lain-lain.
3. Tawakal kepada Allah merupakan syarat syahnya iman seseorang.
4. Iman itu dapat bertambah dan berkurang.  Bertambah dengan ketaatan - dan berkurang dengan kemaksiatan.
5. Wajib untuk menempuh sebab-sebab yang masyru'ah (yang telah ditetapkan Syari'at) sebelum bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

oOo

(Disadur bebas dari kitab,  "Syarhu Al-Aqidah Al-Wasithiyah", Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syarah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar